USAHATANI TEBU PADA LAHAN SAWAH DAN TEGALAN DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan

ANALISIS USAHATANI TEBU DI LAHAN TEGALAN KASUS DI KABUPATEN BONDOWOSO

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAMPAK PEMBANGUNAN JARINGAN IRIGASI TERHADAP PRODUKSI, PENDAPATAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Kelayakan Ekonomi Teknologi Petani Pada Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep (Studi Kasus di Desa Rajun Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep)

I. PENDAHULUAN. sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu,

ANALISIS USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR

Kata kunci: pendapatan, usahatani, jagung, hibrida Keywords: income, farm, maize, hybrid

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI BIAYA USAHATANI TEMBAKAU MAESAN 2 DI KABUPATEN BONDOWOSO

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO

KUISIONER RESPONDEN. 1. Pendidikan Terakhir (Berikan tanda ( ) pada jawaban) Berapa lama pengalaman yang Bapak/Ibu miliki dalam budidaya padi?

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

ANALISIS DAMPAK SOSIAL EKONOMI TERHADAP ADOPSI TEKNOLOGI PHT PERKEBUNAN TEH RAKYAT. Oleh : Rosmiyati Sajuti Yusmichad Yusdja Supriyati Bambang Winarso

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang tidak mengalami kelangkaan pupuk dilihat berdasarkan produktivitas dan

III. METODE PENELITIAN. penerimaan yang diperoleh petani kedelai, pendapatan dan keuntungan yang

PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS PENDAPATAN PETANI PADI LAHAN RAWA LEBAK DI KABUPATEN MUKO-MUKO, PROVINSI BENGKULU. Ahmad Damiri dan Herlena Budi Astuti

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

IV. METODE PENELITIAN

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

PENDAHULUAN Latar Belakang

IV METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

ANALYSIS OF COST EFFICIENCY AND CONRTIBUTION OF INCOME FROM KASTURI TOBACCO, RICE AND CORN TO THE TOTAL FARM HOUSEHOLD INCOME

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

III. METODE PENELITIAN. melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan

ANALISIS KOMPARATIF USAHATANI TEBU UNTUK PEMBUATAN GULA PASIR DAN GULA TUMBU DI KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG DI DESA LABUAN TOPOSO KECAMATAN LABUAN KABUPATEN DONGGALA

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu 4.2 Data dan Instrumentasi

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

PENGARUH PEMUPUKAN N, P, K PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI (Oryza sativa L.) KEPRAS

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI NANAS DI DESA DODA KECAMATAN KINOVARO KABUPATEN SIGI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Peran dan Kontribusi Hand Tractor terhadap Efisiensi Usahatani di Banten

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

ANALISIS KOMPARATIF MONOKULTUR UBIKAYU DENGAN TUMPANGSARI UBIKAYU-KACANG TANAH DI BANYUMAS

SEPA : Vol. 8 No.1 September 2011 : 9 13 ISSN : ANALISIS BIAYA DAN PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI DI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya

Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SILIWANGI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE. Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN SAMPANG

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN PUPUK BERSUBSIDI PADA TANAMAN PADI SAWAH. (Studi Kasus: Desa Melati II, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

e-j. Agrotekbis 2 (2) : , April 2014 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EFISIENSI EKONOMI USAHATANI TEBU DI KECAMATAN DAWE, KABUPATEN KUDUS ECONOMIC EFFICIENCY OF SUGARCANE FARMING IN DAWE DISTRICT, KUDUS REGENCY

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. untuk menciptakan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

Transkripsi:

USAHATANI TEBU PADA LAHAN SAWAH DAN TEGALAN DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH Oleh: Sri Nuryanti -- Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor Abstrak Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk mengkaji aspek finansial, yaitu biaya dan pendapatan usahatani tebu dengan variasi jenis lahan, luas garapan, dan pola tanam. Analisa komparatif dilakukan terhadap biaya dan pendapatan usahatani tebu antara sawah dan tegalan, luas garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola tanam tanam awal dan keprasan. Sampel ditentukan secara sengaja menurut lokasi jenis lahan (Bantul untuk sawah dan Klaten untuk tegalan). Disimpulkan bahwa usahatani tebu di lahan sawah lebih lebih menguntungkan diusahakan pada luasan lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal. Sebaliknya di tegalan lebih menguntungkan pada lahan kurang dari satu hektar dengan pola keprasan. Implikasinya, acceleration program akan berhasil apabila diterapkan secara luas dengan pola tanam awal pada lahan sawah. Kata kunci: Tebu, sawah, tegalan, biaya, pendapatan. Abstract This study was an investigation on financial aspect (cost and benefit) of sugar cane farming within land type using, holding size, and cultivation method variations. Comparative analysis was conducted on cost and benefit between wet and dry field, less and more than a hectare area, and plant cane and ratoon cultivation method. Purposive sampling was performed regarding to field type site (wet field at Bantul and dry field at Klaten). It was concluded that, sugar cane farming in wet field was more feasible done extensively by plant cane method. On the other hand, it was more feasible done on leass than a hectare area by ratoon method. The result implied that

acceleration program supposed to be done on large wet field area by plant cane method. Key words: Sugar cane, wet field, dry field, benefit, cost. PENDAHULUAN Kemerosotan produktivitas tanaman tebu/gula yang dialami sejak pemberlakuan Inpres nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat Intensifikasi masih terasa dampaknya sampai saat ini. Tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku dan berujung pada ditutupnya sepuluh pabrik gula (PG) di Jawa merupakan salah satu bukti nyata bahwa penurunan produktivitas masih tersebut terus berlangsung. Kebijakan baru di sektor usahatani tebu di lahan kering belum sepenuhnya menunjukkan keberhasilan meningkatkan produktivitas tebu/gula. Pencanangan program akselerasi peningkatan produktivitas industri dula nasional dengan rencana kenaikan gula dari 1.8 juta ton tahun 2002 menjadi 3 juta ton pada tahun 2007, kenaikan areal tebu dari 346 000 hektar menjadi 380 000 hektar, dan kenaikan produktivitas gula dari 5 ton menjadi 8 ton tentunya memerlukan angkaangka akurat disertai skenario pencapaian yang layak (Mubyarto, 2003). Berbagai penelitian terhadap komoditas tebu maupun gula sudah banyak dilakukan, mengingat gula merupakan komoditas strategis dan sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia. Dikatakan demikian karena setiap intervensi pemerintah dalam rangka mengembangkan industri gula perlu diikuti oleh campur tangan pemerintah pada pengembangan usahatani tebu dengan mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam pengembangan usahatani tersebut. Harapannya pendapatan petani dan kesempatan kerja yang diciptakan dengan adanya pengembangan industri gula lebih merata dinikmati oleh petani (Simatupang, 1999). Kajian usahatani tebu yang telah dilakukan antara lain oleh Rahmat (1992) yang mendeskripsikan profil tebu rakyat di Jawa Timur secara umum bahwa tebu telah diterima petani sebagai komoditas yang memberi harapan sumber pendapatan rumah tangga. Usahatani tebu rakyat cenderung ekstensif dan petani cenderung untuk

melakukan pengeprasan secara berulang. Seiring program akselerasi, kelayakan usahatani tebu masih harus terus dikahi guna meyakinkan petani bahwa usahatani tebu masih dapat diharapkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kelayakan finansial usahatani dengan cara membandingkan variasi usahatani tebu. Variasi tersebut antara lain lahan beririgasi (sawah) dan bukan irigasi (tegalan), luas garapan sempit (kurang dari satu hektar) dan luas (lebih dari satu hektar), serta pola tanam (tanam awal dan keprasan). METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Responden Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan perbedaan karakteristik jenis lahan, yaitu lahan beririgasi (sawah) terletak di Kabupaten Bantul DI Yogyakarta dan lahan tidak beririgasi (tegalan) terletak di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Berdasarkan jenis lahan, sampel dibedakan menurut pola tanam, yaitu tanam awal dan keprasan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data biaya dan pendapatan usahatani dikumpulkan melalui wawancara dengan acuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuesioner). B. Metode Analisa Data usahatani tebu yang diperoleh dikelompokkan menurut jenis lahan asal responden. Berdasarkan jenis lahan, dibedakan menurut pola tanamnya. Selain perbedaan pola tanam secara agregat dibandingkan skala usahatani tebu menurut luas garapan. Analisa usahatani dilakukan untuk melihat tingkat pendapatan petani, dan pengeluaran biaya produksi, sehingga dapat dihitung rasio pendapatan terhadap biaya (B/C ratio) untuk menentukan kelayakan usahatani tebu yang secara matematis dirumuskan: dan B/C =

dengan : keuntungan, X: jumlah input produksi, Y: jumlah produksi, Px: harga input produksi, dan Py: harga produksi. Usahatani dikatakan layak apabila nilai B/C ratio lebih besar dari satu. HASIL DAN PEMBAHASAN Sawah vs Tegalan Menurut jenis lahan yang diusahakan untuk tebu secara agregat dihitung biaya dan pendapatan petani di kedua wilayah penelitian (Tabel 1). Petani yang mengusahakan tebu di lahan sawah mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Biaya saprodi usahatani tebu di lahan sawah rata-rata mencapai Rp 2 juta/ha (23.1% dari total biaya), sementara untuk tegalan rata-rata mencapai Rp 1.3 juta/ha (24.4% dari total biaya). Biaya saprodi meliputi pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Pengeluaran biaya tenaga kerja untuk lahan sawah juga relatif lebih tinggi daripada untuk tegalan, yaitu Rp 5.5 juta/ha (63.5% dari total biaya) dibandingkan Rp 3.2 juta/ha (58.5% dari total biaya). Alokasi terbesar pada biaya saprodi untuk tegalan adalah biaya pembelian pupuk urea. Petani menggunakan urea agar tanaman menjadi subur, sehingga menambah berat tebu. Sementara untuk biaya tenaga kerja pada lahan sawah yang memerlukan alokasi lebih besar daripada tegalan antara lain untuk biaya irigasi. Petani umumnya mengairi tanaman tebu di lahan sawah sedikitnya dua kali. Tegalan menunjukkan alokasi biaya biaya lain-lain 17.2% dari total biaya. Sebanyak 16.6% dari total biaya merupakan proporsi biaya sewa lahan. Tabel 1. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu di Lahan Sawah (DI Yogyakarta) dan Tegalan (Jawa Tengah), 2003 Uraian Sawah (n = 26) Tegalan (n = 22) Nilai % Nilai %

(Rp/Ha) (Rp/Ha) A Biaya Saprodi 1.990.717 23,1 1.323.003 24,4 Tenaga Kerja 5.462.851 63,5 3.172.643 58,5 Lain-lain 1.148.013 13,3 931.348 17,2 TOTAL 8.601.581 100 5.426.992 100 B Pendapatan 15.431.515 10.829.137 C Keuntungan 6.829.934 79,4 5.402.145 99,5 B/C Ratio 1,794032 1,995422 Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: rendemen sawah 6,05 dan rendemen tegalan 6,1 Sementara pada lahan sawah biaya sewa lahan sebesar 12.7% dari total biaya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa tebu lebih banyak diusahakan petani penyewa lahan. Sementara dengan melihat perbandingan alokasi biaya, tersirat bahwa biaya sewa lahan sawah lebih mahal daripada tegalan, sehingga lebih sedikit proporsi petani yang menyewa sawah daripada tegalan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di tegalan lebih besar (1,995422) dibandingkan di lahan sawah, yaitu sebesar 1,794032. Artinya usahatani tebu di tegalan lebih menguntungkan dibandingkan di lahan sawah. Tanam Awal vs Keprasan Tebu yang diusahakan di Yogyakarta meliputi dua pola tanam, yaitu tanam awal dan keprasan. Pola keprasan lebih banyak dilakukan di wilayah Yogyakarta. Karena usahatani tebu di lahan sawah dengan pola tersebut masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola tanam awal (Tabel 2). Selain alasan mahalnya biaya bibit untuk pola tanam awal, biaya yang harus dikeluarkan untuk upah tenaga kerja selama budidaya tebu juga lebih besar. Biaya saprodi pada pola tanam awal mencapai 28.5% dari total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 22.4% dari total biaya. Perbedaan pengeluaran yang cukup besar terjadi pada biaya upah tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk pola tanam awal

mencapai 70.6% dari total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 56.3% dari total biaya. Karena pada pola tanam awal diperlukan biaya penanaman untuk budidaya, sementara pada pola keprasan cukup melakukan penggantian pada tanaman yang mati (penyulaman). Tanaman yang baru tumbuh memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif, sehingga kegiatan penyiangan juga harus lebih intensif dilakukan pada tanam awal. Karena pola keprasan lebih menguntungkan, maka pola ini lebih dipilih petani di lahan sawah, meskipun lahan yang diusahakan diperoleh dengan cara menyewa (pengeluaran sewa lahan 20.9% dari total biaya). Artinya, dengan cara sewa pun usahatani tebu masih menguntungkan kalau dilakukan dengan pola keprasan. Tabel 2. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Lahan Sawah (Bantul, DI Yogyakarta), 2003. Uraian Tanam Awal (n = Keprasan (n = 16) 10) Nilai (Rp/Ha) % Nilai (Rp/Ha) % A Biaya Saprodi 2.823.130 28,5 1.854.003 22,4 Tenaga Kerja 6.992.501 70,6 4.668.939 56,3 Lain-lain 87.119 0,9 1.772.069 21,3 TOTAL 9.902.750 100 8.295.011 100 B Pendapatan 16.399.524 14.862.098 C Keuntungan 6.496.774 65,6 6.567.087 79,2 B/C Ratio 1,656058 1,791691 Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1 Alokasi biaya untuk saprodi dan tenaga kerja pada pola tanam awal mencapai 99.1 persen. Sementara biaya di luar itu (sewa, iuran, dan pajak) bahkan kurang dari satu% dari total biaya. Hal ini menunjukkan pola tanam awal di lahan sawah umumnya dilakukan oleh petani pemilik penggarap, sehingga keseluruhan biaya tercurah pada budidaya tanaman. Sementara pada pola tanam keprasan biaya saprodi dan tenaga

kerja hanya sebesar 78.6% dari total biaya, sisanya (21.4%) dialokasikan untuk biaya sewa, pajak, dan iuran. Fenomena ini menunjukkan bahwa usahatani tebu dengan pola keprasan dilakukan para petani bermodal yang mengusahakannya secara luas (skala besar) dengan menyewa lahan petani lain karena dianggap menguntungkan. Pendapatan usahatani tebu pola tanam awal rata-rata sebesar Rp 16.4 juta per hektar, sementara pada pola keprasan pendapatannya sebesar Rp 14.9 juta/ha. Besarnya pendapatannya ini sangat terkait dengan tingkat rendemen tebu yang dihasilkan. Produktivitas tebu yang ditanam sejak awal rata-rata sebesar 954 ku tebu/ha, sementara tebu yang dikepras sebesar 917 ku tebu/ha. Namun dalam perhitungan keuntungan, rata-rata keuntungan pola tanam awal lebih rendah, yaitu sebesar Rp 6.5 juta/ha (65.6% dari biaya), sementara untuk pola keprasan sebesar Rp 6.6 juta/ha (79.2% dari biaya). Artinya, pola keprasan lebih menguntungkan untuk dilakukan di lahan sawah. Terdapat penghematan biaya bibit dan tenaga kerja. Berdasarkan analisa cost benefit dari kedua pola tanam tebu di lahan sawah, tampak bahwa biaya usahatani tebu pola keprasan di Yogyakarta rata-rata sebesar Rp 9.9 juta per hektar, sementara dengan sistem keprasan hanya Rp 8.3 juta/ha. Biaya pembelian bibit mencapai 16% biaya dari total biaya. Apabila diasumsikan petani menggunakan dosis yang sama untuk pupuk dan pestisida pada pola tanam awal dan keprasan, maka petani hanya membutuhkan sembialan% dari total biaya untuk mengganti tanaman yang mati apabila mempraktekkan pola keprasan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan pola tanam awal lebih kecil (1,656058) daripada keprasan, yaitu sebesar 1,791691. Artinya usahatani tebu di lahan sawah lebih menguntungkan diusahakan secara keprasan. Secara finansial terdapat kecenderungan yang sama pada usahatani tebu di tegalan di daerah Klaten (Tabel 3). Biaya usahatani tebu di tegalan yang diusahakan dengan pola tanam awal, 21.2% dari total biayanya digunakan untuk penyediaan saprodi. Alokasi biaya tersebut, 9.5% digunakan untuk membeli bibit. Biaya penyediaan saprodi untuk pola keprasan justru mencapai 24.9% dari total biaya. Persentase sebesar itu, 5.3% dialokasikan petani untuk membeli pupuk urea. Petani berpendapat, karena tegalan tidak subur, maka diperlukan urea agar tanaman tebu tumbuh subur, sehingga beratnya bertambah.

Tabel 3. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Tegalan (Klaten, Jawa Tengah), 2003 Uraian Tanam Awal (n = 2) Keprasan (n = 20) Nilai (Rp/Ha) % Nilai (Rp/Ha) % A Biaya Saprodi 1.851.375 21,2 1.270.165 24,9 Tenaga Kerja 4.870.000 55,8 3.002.906 58,9 Lain-lain 2.000.000 23,0 824.482 16,2 TOTAL 8.721.375 100 5.097.553 100 B Pendapatan 11.874.316 10.724.619 C Keuntungan 3.152.941 36,2 5.627.066 110,4 B/C Ratio 1,361519 2,103876 Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1 Perbedaan alokasi biaya untuk tenaga kerja pada kedua pola tanam di tegalan tidak cukup signifikan. Pola tanam awal memerlukan 55.8% dari total biya, sementara untuk pola keprasan memerlukan 58.9% dari total biaya. Perbedaan alokasi biaya yang cukup besar terjadi pada kegiatan pengolahan tanah. Pola tanam awal, umumnya dilakukan dengan mempersiapkan got, guludan, dan bedengan sebagai sarana drainase dan media tanam. Berbeda dengan petani di lahan sawah, petani lahan kering umumnya adalah petani penyewa penggarap. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya alokasi biaya sebesar sewa sebesar 22.9% dari total biaya pada pola tanam awal dan 15.6% dari total biaya pada pola keprasan. Artinya, sifat usahatani tebu yang intensif memerlukan biaya yang besar, sehingga hanya petani yang mempunyai cukup modal yang tertarik untuk mengusahakannya, meskipun dengan cara menyewa lahan.

Secara umum, usahatani tebu dengan pola tanam awal pada tegalan di wilayah Kabupaten Klaten rata-rata memerlukan biaya sebesar Rp 8.7 juta per hektar, sementara untuk pola keprasan rata-rata mencapai Rp 5.1 juta/ha. Perbedaan biaya yang cukup besar tersebut merupakan faktor pendorong petani untuk lebih sering melakukan keprasan, meskipun sudah melampaui batas intensitas yang direkomendasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar petani bahkan melakukan keprasan lebih dari tiga kali karena masih menguntungkan. Tingkat produktivitas tebu harus diperhatikan. Baik pada lahan sawah maupun tegalan, pola tanam awal mempunyai produktivitas yang relatif lebih tinggi. Produktivitas tanam awa pada tegalan rata-rata sebesar 713 ku tebu/ha, sementara keprasan rata-rata sebesar 646 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh pada pendapatan pola tanam awal menjadi lebih tinggi daripada pola keprasan, yaitu Rp 11.9 juta/ha dibandingkan Rp 10.7 juta/ha. Namun karena biaya pola tanam juga lebih tinggi, maka berimplikasi pada nilai keuntungan pola tanam awal justru lebih rendah, yaitu sebesar Rp 3.2 juta/ha (36.2% dari biaya) sementara pada pola keprasan keuntungan rata-rata mencapai Rp 5.6 juta/ha (110.4% dari biaya). Nilai B/C ratio usahatani tebu di tegalan dengan pola tanam awal jauh lebih kecil (1,361519) dibandingkan pola keprasan, yaitu sebesar 2,103876. Seperti halnya di lahan sawah, usahatani tebu di tegalan jauh lebih menguntungkan diusahakan dengan keprasan. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 diketahui bahwa komponen biaya usahatani tebu baik di lahan sawah maupun tegalan dengan pola tanam awal maupun keprasan alokasi biaya tenaga kerja mencapai lebih dari 50% dari total biaya. Tingginya komponen biaya tersebut merupakan petunjuk bahwa efisiensi penggunaan tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usaha peningkatan keuntungan usahatani tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Berdasarkan pola tanam (awal dan keprasan) diketahui bahwa produktivitas tanaman awal baik yang diusahakan di lahan sawah maupun lahan kering rata-rata lebih tinggi daripada tanaman keprasan ke-1 sampai dengan ke-3, dan keprasan lebih dari tiga kali (Tabel 4). Terdapat kecenderungan semakin sering dikepras maka produktivitasnya akan semakin turun. Seperti disebutkan di muka, bahwa penurunan produktivitas tiap kali kepras mencapai 20% dari produktivitas tanaman sebelumnya (P 3GI, 2002).

Tabel 4. Perbandingan Biaya Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003 Sistem Tanam Lahan sawah Kepras 1-3 Kepras > 3 Tanam awal Keprasan Biaya Pendptan Keuntungan Produktvtas(Ku/Ha) B/C (Rp/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha) Ratio 9.902.750 16.399.524 6.496.774 954 1,66 8.295.011 14.862.098 6.567.087 917 1,79 7.876.571 14.739.073 6.862.502 912 1,87 7.869.366 14.806.017 6.936.650 886 1,88 8.601.581 15.431.515 6.829.934 935 1,79 Rata-rata sawah Tegalan Kepras 1-3 Kepras > 3 Tanam awal Keprasan 8.721.375 11.874.316 3.152.941 713 1,36 5.097.553 10.724.619 5.627.066 463 2,10 5.298.825 11.874.316 4.782.342 609 2,24 4.446.899 10.081.167 5.253.567 489 2,27 6.909.464 11.299.468 4.390.004 588 1,64 Rata-rata tegalan Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Produktivitas tebu di lahan sawah untuk tanam awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3, dan kepras lebih dari tiga masing-masing 954, 912, dan 886 ku tebu/ha. Rata-rata produktivitas tebu lahan sawah secara agregat adalah 935 ku tebu/ha. Sementara produktivitas tebu di tegalan untuk tanaman awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3, dan kepras lebih dari tiga masing-masing 713, 609, dan 489 ku tebu/ha.

Produktivitas tebu tanam awal dan kepras di lahan sawah relatif sama. Namun produktivitas tebu di tegalan jauh lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan tebu lahan sawah. Apabila proporsi tebu lahan kering semakin besar, maka secara agregat akan menurunkan produktivitas tebu (Soentoro, et al. 1999). Meskipun di lahan sawah tebu tanam awal mempunyai produktivitas lebih tinggi daripada tebu keprasan, apabila proporsi tebu keprasan semakin besar, maka produktivitas rata-rata tebu sawah menjadi rendah (Soentoro, et al. 1999). Berdasarkan nilai B/C ratio, lahan sawah menunjukkan kelayakan usahatani terbesar pada pola keprasan lebih dari tiga jkali, yaitu sebesar 1,88. Seperti halnya pada lahan sawah, kelayakan usahatani terbesar diperoleh pada keprasan lebih dari tiga kali, yaitu sebesar 2,27. Namun, secara agregat, kelayakan usahatani tebu lahan sawah (1,79) lebih besar daripada tegalan (1,64). Menurut Soentoro et al. (1999), apabila usahatani tebu tanam awal pada satu jenis lahan diteruskan dengan tebu kepras maka akan semakin kompetitif terhadap tanaman alternatifnya, karena dapat menghemat biaya bibit, pengolahan tanah dan waktu, dan meningkatkan kelayakan usahatani tebu dibanding tanaman non tebu. Keuntungan yang lebih tinggi pada tebu keprasan merupakan salah satu faktor yang mendorong petani tegalan untuk mengepras tebunya berulang kali. Sempit (< 1 Ha) vs Luas (>1 Ha) Luas lahan yang diusahakan (garapan) untuk tanaman tebu menunjukkan skala usaha yang dikuasasi petani. Luas garapan sangat menentukan pendapatan petani dalam mengusahakan tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Selain itu luas garapan juga menentukan tingkat efisiensi penggunaan saprodi, tenaga kerja, dan transportasi. Secara teoritis penggunaan input yang sama dengan variasi yang proporsional terhadap luas lahan akan mengarahkan pada suatu keadaan yang memenuhi persyaratan fungsi produksi yang merupakan fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale, CRT). Usahatani tebu yang mempunyai skala usaha yang berkarakteristik demikian masih akan memberi pertambahan hasil yang semakin meningkat (Debertin, 1986). Biaya, nilai produksi, dan pendapatan petani menurut luas garapan di lahan sawah dan tegalan di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dirangkum dalam Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan luas garapan lebih dari satu hektar lebih tinggi (1,97) daripada luas garapan kurang dari satu hektar (1,74). Apabila petani mengusahakan lahan kurang dari menjadi lebih dari satu hektar, maka akan menghemat biaya sebesar 20,8%, mengalami penurunan pendapatan sebesar 10,6%, dan akhirnya masih memperoleh tambahan keuntungan sebesar 3,3%. Artinya, kelayakan perluasan skala usaha tersebut secara agregat meningkat sebesar 51%. Sementara, untuk meningkatkan luas garapan tebu dari kurang menjadi lebih dari satu hektar diperlukan tambahan biaya sebesar 44,4%, yang akan meningkatkan pendapatan sebesar 23,1% dan keuntungan sebesar 5,1%. Secara agregat kelayakan usaha penambahan skala usahatani tebu tegalan meningkat sebesar 52%. Tabel 5. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Luas Garapan DI Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003 Jenis lahan Biaya Pendapatan Keuntungan B/C Ratio (Rp/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha) Lahan Sawah < 1 Ha 9.403.705 16.363.170 6.959.464. 1,74 > 1 Ha 7.443.828 14.629.854 7.186.025 1,97 Perubahan -20,8-10,6 3,3 0,51 (%)* Tegalan < 1 Ha 4.349.183 9.516.344 5.167.161 2,19 > 1 Ha 6.281.625 11.711.261 5.429.636 1,86 Perubahan (%)* 44,4 23,1 5,1 0,52 Sumber: Data primer, 2003 (diolah). * : Perubahan dari skala usaha kurang dari menjadi lebih dari satu hektar

Menurut Irawan dan Budiman (1991), kondisi ekonomi skala usaha pada dasarnya terjadi karena perbedaan produktivitas masukan usahatani yang dapat disebabkan oleh pengaruh ketersediaan irigasi atau kualitas bibit yang digunakan. Usahatani tebu yang memiliki produktivitas masukan lebih tinggi, ekonomi skala usaha yang masih menguntungkan akan terjadi pada ukuran usahatani yang lebih luas. Sejalan dengan hasil penelitian Irawan dan Budiman (1991), tampak jelas apabila dibandingkan antara tanaman tebu tanam awal di lahan sawah dan tanaman tebu keprasan di tegalan. Tanaman tebu tanam awal di lahan sawah yang berproduktivitas lebih tinggi daripada tebu keprasan di tegalan, meningkat produktivitasnya karena ketersediaan irigasi yang lebih terjamin maupun kualitas bibit yang lebih baik. Luas garapan lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal masih dapat memperlihatkan ekonomi skala usaha yang meningkat. Sementara pada tebu keprasan di tegalan, luas garapan lebih dari satu hektar akan menunjukkan ekonomi skala usaha menurun. Usahatani tebu tanam awal pada lahan sawah memiliki ekonomi skala usaha yang lebih baik daripada usahatani tebu keprasan, meskipun dilakukan pada ukuran usahatani (luas garapan) yang lebih luas. Artinya, usaha mengelompokkan lahan para petani menjadi satu blok tanaman tertentu yang merupakan basis kegiatan usahatani tebu dapat diraih manfaat ekonomi skala usaha secara optimal. Luas blok tebu tanam awal di lahan sawah hendaknya berukuran lebih luas daripada di tegalan. Berdasarkan produktivitas lahan, lahan sawah dapat menghasilkan 930 ku tebu/ha, sementara tegalan hanya 650 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan dan keuntungan. Usahatani tebu lahan sawah rata-rata keuntungannya sebesar Rp 6.8 juta per hektar, sementara tegalan rata-rata Rp 5.4 juta/ha. Namun, karena total biaya usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi daripada di tegalan, maka keuntungan di tegalan justru lebih tinggi. Berdasarkan nilai keuntungan tampak bahwa keuntungan usahatani tebu tegalan lebih tinggi (99.5% dari biaya) dibandingkan lahan sawah (79.4% dari biaya). Artinya, usahatani tebu di lahan sawah lebih intensif dan padat modal dibandingkan usahatani tebu di tegalan. Secara umum, baik di Yogyakarta maupun di Klaten, terdapat beberapa hal yang menyebabkan produktivitas tebu menjadi rendah. Pertama, masih rendahnya penggunaan bibit baru oleh petani. Sebagian besar petani mengusahakan tebu dengan pola keprasan. Secara teoritis sistem kepras yang direkomendasikan hanya sampai

dengan tanaman kepras ketiga atau keempat. Penurunan produktivitas tiap keprasan mencapai 20% dari produktivitas tanaman awal (P 3GI, 2002). Intensitas keprasan yang melebihi batas rekomendasi disertai penggunaan pucuk tebu untuk penyulaman akan menambah ketidakmurnian sifat bibit asli, sehingga kualitas tebu yang dihasilkan juga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengatasi penurunan kualitas dan kuantitas yang berdampak pada produktivitas tebu yang dihasilkan.namun petani melakukan keprasan lebih dari empat kali bahkan sampai sepuluh kali. Selain itu, dalam kegiatan penyulaman, petani hanya menggunakan pucuk tebu dan jarang menggunakan bibit baru dengan alasan lebih murah. Penyebab kedua adalah kegiatan pemupukan yang dilakukan petani untuk tebu di lokasi penelitian sangat rendah dibandingkan dosis pupuk yang dianjurkan. Dosis pemupukan tebu yang dilakukan petani di lokasi penelitian masih 20 45% di bawah dosis anjuran, sehingga berakibat pada penurunan produktivitas. Petani di Yogyakarta rata-rata memupuk tanaman tebu di lahan sawah dengan dosis urea sebesar 586 kg/ha, ZA sebesar 702 kg/ha (87.8%), KCl sebesar 126 kg/ha (63%), dan SP-36 127 kg/ha (63.5%). Berdasarkan kumulatif dosis yang dianjurkan petani tebu di Yogyakarta hanya menggunakan 79.6% dari dosis anjuran. Sementara petani di Klaten rata-rata memupuk tanaman tebu di tegalan dengan dosis urea sebesar 100 kg/ha, ZA sebesar 472 kg/ha (59%), KCl sebesar 90 kg/ha (45%), dan SP-36 sebesar 100 kg/ha (50%). Secara kumulatif, dosis pemupukan yang dilakukan petani tebu di Klaten sebesar 55% dari dosis anjuran. Dosis pemupukan tebu yang dianjurkan adalah 800 kg/ha ZA, 200 kg/ha KCl, dan 200 kg/ha SP-36. Petani justru menggunakan pupuk urea dengan maksud untuk menambah berat tebu dan meningkatkan rendemen. Namun, kenyataanya berat maupun rendemen yang diharapkan tidak meningkat, ditunjukkan oleh produktivitas tebu yang semakin menurun. Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disusun suatu tabel rangkuman perbandingan nilai B/C ratio berbagai variasi sebagai disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa menurut jenis lahan usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan, khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari satu hektar. Namun,

berdasarkan pola tanam, baik di lahan sawah maupun tegalan, keprasan lebih menguntungkan dan layak diusahakan bahkan lebih dari tiga kali pada skala usaha kurang dari satu hektar. Kenyataan pada petani dan temuan empiris kelayakan usaha ini bertolak belakang dengan teori yang direkomendasikan P 3GI. Secara umum peningkatan skala usaha akan lebih menguntungkan dilakukan pada lahan sawah dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50%. Tabel 6. Pemilihan Kategori Usahatani Tebu Luas Garapan Pola Tanam Sawah Tegalan Sempit (< 1 Ha) Tanam awal np pn Keprasan nn pp Kepras 1-3 nn pp Kepras > 3 nn pp Rata-rata np pn Luas (> 1 Ha) Tanam awal pp nn Keprasan pn np Kepras 1-3 pn np Kepras > 3 pn np Rata-rata pp nn Keterangan: n = negatip, p = positip. KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disimpulkan bahwa menurut jenis lahannya usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan, khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari satu hektar. Berdasarkan pola tanam, tanaman keprasan lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan dengan skala usaha kurang dari satu hektar. Berdasarkan skala usahatani, secara umum peningkatan skala usaha pada lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50%.

Implikasi dari kesimpulan di muka dikaitkan dengan program akselerasi pergulaan adalah usahatani tebu harus diusahakan secara luas atau ekstensif pada lahan sawah dengan pola tanam awal. Artinya, target akselerasi dapat dicapai dengan tingkat produktivitas tanaman yang baik dan ketersediaan sarana irigasi yang memenuhi. Dukungan program dana talangan harus terus dipertahankan untuk memberi insentif bagi petani tebu yang menyediakan bahan baku industri gula Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 1997 2002. Klaten Dalam Angka Tahun 1998 2001. BPS Kabupaten Klaten. Badan Pusat Statistik. 1998 2001. Yogyakarta Dalam Angka 1998 2001. BPS Propinsi DI Yogyakarta. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Co. Irawan, B. dan Budiman H. 1991. Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala UsahaTani Tebu di Jawa Timur. JAE, Volume 10, Nomor 1 dan 2, Oktober 1991. Hal. 73 90. Isma il, N.M. 2001. Peningkatan Industri Daya Saing Gula Nasional Sebagai Langkah MenujuPersaingan Bebas. ISTECS Journal, II (2001). Hal 3-14. Mubyarto. 2003. Penelitian Kebijakan untuk Mendukung Akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. Makalah disampaikan pada Workshop Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Memacu Program akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. 16 Juli 2003, LPP Yogyakarta. Rahmat, M. 1999. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. JAE Vol. II/ No. 2/ Okt 1992. Hal. 39 57. Rusastra, I.W., Achmad S, dan Ali A.N. Amsari. 1999. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 427 479.

Simatupang, P. 1999. Nizwar S, Farida Liestijati. 1999. Keterkaitan antar Industri dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 21 68. Soentoro, Novi I, Abdul Muis SA. 1999. Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 69 130.