PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat) Riki Yuniagara, S.HI
PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat) Riki Yuniagara, S.HI @ rikiyuniagara.wordpress.com Banda Aceh, 2015 P a g e 1
DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN... 3 BAB II : TAP MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA... 11 A. Pengertian TAP MPR... 11 B. Kedudukan Tap MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan... 15 BAB III : JUDICIAL REVIEW PERATURAN HUKUM DI INDONESIA... 20 A. Hak Menguji Perundang-Undangan di Indonesia... 20 B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek Judicial Review... 22 BAB IV : PENGUJIAN TAP MPR DALAM KAJIAN FILSAFAT... 26 A. Norma Hukum... 26 B. Pengujian Norma Hukum... 30 BAB V : PENUTUP... 37 DAFTAR PUSTAKA... 39 P a g e 2
BAB I PENDAHULUAN Dalam negara hukum, pembentukan undangundang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi sebagai hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat setiap warga dan seluruh komponen kehidupan bernegara. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh suatu negara hukum harus didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap kebijakan-kebijakan P a g e 3
yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. 1 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap kebijakan-kebijakan yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. 2 Sehingga setiap pemberlakuan peraturan perundangundangan merujuk kepada peraturan perundangundangan yang berada di atasnya dan tersusun secara hirarki. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Pemberlakuannya harus merujuk kepada peraturan 1 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, (Jakarta: Teratai Publisher, 2011), hlm. 13. 2 Ibid. P a g e 4
perundang-undangan yang ada di atasnya yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. UUD 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundangundangan sesuai dengan hirarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan P a g e 5
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari undang-undang. Dari uraian di atas muncul permasalah baru, ketika ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945 atau bertentangan dengan masyarakat umum, apa upaya hukum yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi, kemanakah harus diuji kelayakannya, karena mengingat tidak ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sehingga, apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bertentangan dengan UUD 1945 atau masyarakat umum, kemanakah harus mengajukan keberatannya sesuai dengan tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini, terjadinya kekosongan hukum (recht vacum) pengujian terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan salah P a g e 6
satu jenis produk perundang-undangan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut mengenai hal ini, dikarena kekosongan hukum akan mengganggu sistem hukum di Indonesia. Jika merujuk kepada hukum ketatanegaraan di Indonesia, lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 24 huruf a dan Pasal 24 huruf c UUD 1945 adalah Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berarti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mungkin diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena pada pasal tersebut tidak disebutkan kewenangannya menguji Ketetapan P a g e 7
Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan hanya menguji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar saja. Jadi intinya, Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat karena tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar atau peraturan perundangundangan lainnya. Jika dilihat secara historis, pada masa orde lama dan orde baru (sebelum amandemen UUD 1945) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diuji oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga pembuat ketetapan itu sendiri yaitu dengan cara mengeluarkan Ketetapan yang baru untuk mencabut Ketetapan yang lama. Dalam hal ini, metode pengujian yang digunakan yaitu legeslative review (pengujian lembaga legeslatif). Apabila legeslative review diaplikasikan terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat sekarang ini, maka akan P a g e 8
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dikarenakan menurut Undang-Undang Dasar setelah amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat lagi mengeluarkan produk hukum ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan hanya bisa mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking). Apalagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang bukan lembaga tertinggi lagi melainkan lembaga tinggi sama kedudukannya dengan lembaga tinggi lainnya (Presiden, DPR, MK) sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak semena-mena mengeluarkan atau mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan menguji Ketetapannya sendiri. Berarti, status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang tidak jelas, dikarenakan tidak ada P a g e 9
landasan hukum yang menjelaskannya untuk dijadikan pedoman dalam proses pengujiannya. P a g e 10
BAB II TAP MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Pengertian Tap MPR Dari berbagai pendapat yang menyatakan telah terjadi perubahan atas UUD 1945 dapat diketahui, bahwa salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3 Sejak tahun 1960 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan dan mengeluarkan satu jenis produk hukum peraturan baru yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 4 Di dalam Pasal 3 ayat (2) Ketetapan Majelis 3 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Konstitusi, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2005), hlm.53. 4 Ibid P a g e 11
Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 dijelaskan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Pasal 98 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/1983 bahwa bentuk-bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah: 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 5 Perbedaan antara kedua peraturan perundang-undangan ini dikatakan dalam ayat (2) dan ayat (3). Menurut kedua ayat tersebut bahwa 5 S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Proklamasi dan Kekuasaan MPR, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), hlm.167. P a g e 12
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai kekuatan hukum (umum) mengikat ke luar dan ke dalam, sedangkan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat saja. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang pertama adalah segala keputusan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang dapat berbentuk Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 6 Penyebutan nama Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 2 dan 3 UUD 1945. Jika diperhatikan dengan teliti, tidak semua Ketetapan Majelis 6 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 2006), hlm.229. P a g e 13
Permusyawaratan Rakyat dapat diklasifikasikan sebagai suatu ketetapan, dan sangat jauh perbedaan jika diartikan dalam hukum administrasi negara. Menurut Sri Soemantri: Dalam dua pasal tersebut ditemukan istilah menetapkan atau ditetapkan. Hasil dari menetapkan atau ditetapkan adalah ketetapan. Konstitusi ini tidak keliru tetapi tidak selalu menetapkan menghasilkan ketetapan. Istilah menetapkan dapat dipergunakan dalam pengertian umum dan khusus. Dalam pengertian umum, tindakan menetapkan dapat berwujud undang-undang (menetapkan undang-undang), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pengertian khusus, keluaran dari tindakan menetapkan adalah ketetapan, dan kalangan Ilmu Hukum Administrasi Negara, istilah ketetapan bisa dipakai sebagai nama perbuatan administrasi negara yang bersifat individual, konkrit atau yang lazim disebut beschikking. Ketetapan P a g e 14
sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan administrasi negara tidak lagi tergolong sebagai peraturan perundang-undangan. 7 B. Kedudukan Tap MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hirarki peraturan perundang-undangan memang mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di atas undangundang adalah keliru. Menurutnya, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat seharusnya sederajat dengan undang-undang sehingga bisa 7 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.161 P a g e 15
dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi. 8 Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam hirarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan. 9 Mengenai kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 terjadi perubahan mendasar atas kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat menurutnya tidak 8 Ibid. 9 Ibid. P a g e 16
lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 10 Dalam hal yang sama, pakar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia (UI) yang kini adalah hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang presiden dipilih oleh rakyat, maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi ketetapan yang memberikan mandat ke presiden. Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersifat beschikking. 11 10 Ibid. 11 Ibid P a g e 17
Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan HAM) mengusulkan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diletakkan di atas UUD 1945. Ia berargumentasi bahwa pengesahan perubahan UUD 1945 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehingga wajar saja bila TAP MPR diletakan di atas UUD 1945, ujarnya. Dengan argumentasi seperti itu berarti posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari UUD 1945. Sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat memang telah disepakati untuk dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan, tetapi Pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai posisinya dalam hirarki tersebut. Apakah akan sejajar dengan UUD 1945, di bawah UUD 1945 atau P a g e 18
sejajar dengan undang-undang. 12 Dengan lahirnya Undang-Undnag Nomor 12 Tahun 2011, kedudukan Tap MPR berada diurutan kedua dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang terletak di bawah UUD dan diatas undang-undang. 12 Hukumonline.com, Eksistensi Tap MPR akan Dihidupkan Kembali, Diakses pada tanggal 25 Maret 2015 dari Situs: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d6e72f9346bf /eksistensi-tap-mpr-akan-dihidupkan-kembali. P a g e 19
BAB III JUDICIAL REVIEW PERATURAN HUKUM DI INDONESIA A. Hak Menguji Perundang-undangan di Indonesia Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dari lembaga tertinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat itulah cabang-cabang kekuasaan negara dibagikan ke lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan. Karena itu, hubungan antar cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak didasarkan atas prinsip checks and balances, dan karena itu, produk lembaga legislatif bersama-sama eksekutif berupa undang-undang dinilai tidak dapat P a g e 20
dilakukan pengujian (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. 13 Pengujian terhadap produk hukum di Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap undangundang (legislative acts) dan terhadap produk di bawah undang-undang (executive acts). Di Indonesia sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, dalam pengertian judicial review itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislatif dan eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakim sendiri. 14 Dalam tatanan hukum di Indonesia, judicial review menjadi suatu hal yang selalu diperdebatkan 13 Dian Rositawati, Judicial Review (Bahan Materi). Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 tentang Mekanisme Judicial Review, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hlm. 15. 14 Ibid. P a g e 21
sejak founding fathers membicarakan tentang Undang-Undang Dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Hal yang diperdebatkan mengenai kekuasaan kehakiman sehingga terjadinya pasang surut menurut kondisi sosial politik yang berada diruang lingkup sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman. 15 B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek Judicial Review Salah satu hal penting dari perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara baru yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana 15 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, hlm. 88. P a g e 22
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 16 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang pembentukannya pada masa amandemen UUD 1945. Lahirnya Mahkamah Konstitusi merupakan suatu bentuk upaya dalam mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan, serta menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara serta sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak 16 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Ps. 2. P a g e 23
ditentukan oleh konstitusi. 17 Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk mengawal Konstitusi (UUD 1945). 18 Dalam Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum 17 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya) Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari 2010, hlm. 30-47. 18 Ibid. P a g e 24
Jadi, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek judicial review sangat jelas diatur dalam Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini dapat berjalan dengan baik sehingga terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. P a g e 25
A. Norma Hukum BAB IV PENGUJIAN TAP MPR DALAM KAJIAN FILSAFAT Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya. Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku. 19 Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan 19 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundangundangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 2006), hlm. 6. P a g e 26
terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa. 20 Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti ajaran Teori Hukum Murni adalah : 1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi ke-4, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 20. P a g e 27
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya 3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam 4. Teori hukum sebagai teori tentang normanorma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum 5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus 6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum psoitif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. 21 21 JimlyAsshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 1-2. P a g e 28
Selain itu Hans Kelsen juga memaparkan bahwa suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman menunjukkan kesesuaian dengan realitas tersebut. Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi. 22 Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hirarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi 22Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal.111. P a g e 29
norma yang ada di bawahnya. 23 Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori. 24 B. Pengujian Norma Hukum Mengenai hirarki peraturan perundangundangan, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka perlu ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang di atasnya. Pengujian terhadap setiap norma hukum (peraturan perundang-undangan) dengan maksud 23 Hans Kelsen,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), cet. V, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 179. 24 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta : Penerbit UAJY, 2010), hlm. 9. P a g e 30
agar tidak saling bertentangan atau berbenturan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya baik norma hukum yang berada di atasnya maupun yang sederajat dengannya. Dengan demikian, terhindar terjadinya tumpangtindih norma hukum yang berlaku dan menghasilkan norma hukum yang berjenjang serta seirama dengan saling menguatkan antara norma hukum yang ada seperti seperti teori yang dikembangankan oleh Hans Kelsen bahwa hukum itu berjenjang. Setiap norma hukum diperlukan pengujian karena setiap produk hukum yang diciptakan ataupun yang dibentuk oleh penguasa (legislatif dan eksekutif) belum tentu lengkap, sempurna dan sesuai dengan perkembangan yang hidup di dalam masyarakat serta tidak seluruhnya mencakup apa yang terkandung dalam nilai-nilai konstitusi Negara. Pembentuk norma hukum dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukan berarti tidak pernah P a g e 31
salah dan keliru. Bukan berarti juga norma hukum yang dihasilkan oleh pembentuk hukum tidak dapat diubah dan bukan bersifat saklar atau suci. Pembentuk hukum tidak semua paham tentang hukum dan paham terhadap kondisi masyarakatnya. Jadi, tak heran jika norma hukum yang dihasilkan oleh pembuat hukum tersebut dapat di uji. Setelah dilakukan pengujian terhadap norma hukum dapatkah hukum itu menjadi lebih baik. Tujuan dilakukannya pengujian terhadap norma hukum agar hukum itu menjadi terarah dan tidak saling berbenturan sehingga hukum itu menjadi lebih baik. Ukuran baiknya suatu norma hukum itu tidak lepas dari efektifnya pemberlakuan hukum itu sendiri. Karena hukum harus dirasakan oleh masyarakat tanpa terlanggar hak-haknya sebagai warga yang hidup dalam sebuah Negara hukum. Hukum itu dikatakan baik apabila pemberlakuan P a g e 32
hukum itu tidak bertentangan atau tidak melanggar hak masyarakat. Pemberlakuan Setiap peraturan perundangundangan harus disesuaikan dengan masyarakat. Makanya setiap peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain serta melanggar hak konstitusional masyarakat. Begitu juga dengan Tap MPR yang diberlakukan serta dimasukkan kembali ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan, norma hukum tersebut harus diuji karena merupakan produk hukum yang terdapat di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Setiap peraturan perundang-unndangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya karena norma hukum itu berjenjang dan sistematis seperti yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Tapi MPR harus diuji agar terjadi harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. P a g e 33
Jika Tap MPR tidak diberi ruang untuk pengujiannya maka akan berdampak buruk pada sistem hukum di Indonesia. Dan dapat merusak harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berjenjang sehingga tidak lagi sistematis serta berakibat pada penerapan produk hukum lainnya. Apalagi Tap MPR itu kedudukannya berada di bawah UUD, berarti ada batu uji yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai apakah Tap MPR bertentangan dengan UUD ataukah sesuai. Mengenai lembaga mana yang berwenang mengujinya secara jelas tidak diatur dalam produk hukum baik dalam UUD maupun dalam undangundang. Namun, bila dikaji menurut kajian review maka terjadi masalah hukum yang baru. Konsep review undang-undang telah dikenal pasca perubahan UUD 1945. Secara kelembagaan, lembaga negara yang berhak melakukan review, adalah lembaga bidang kekuasaan kehakiman. Menurut P a g e 34
Pasal 24C UUD 1945, pelaksanaan judicial review dilakukan oleh MK, dengan batasan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Selain MK, MA juga mempunyai wewenang dalam melakukan judicial review, yang dibatasi hanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 25 Demikian juga halnya Mahkamah Konstitusi harus mengakomodir Tap MPR untuk dapat diuji Sebab TAP MPR termasuk bagian integral dari hukum dasar yang posisinya di atas undangundang.maka secara hierarkis dan menurut prinsip berjenjang itu MK harus juga menguji undangundang terhadap TAP MPR. Artinya, di negeri ini tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan TAP MPR. Ini sesuatu yang baru yang harus mendapatkan perhatian MK dalam melaksanakan fungsinya menguji undang-undang. 25 Isra, Saldi. Ihwal pengajuan Judicial Review. Koran Tempo, 16 Januari 2003. P a g e 35
Dilihat dari segi materi muatan Tap MPR itu sendiri sama dengan halnya dengan materi muatan undang-undang. Apabila materi muatannya sama, maka batu uji serta lembaga yang mengujinya juga sama. Dengan demikian, MK berwenang menguji Tap MPR terhadap UUD. P a g e 36
BAB V PENUTUP 1. Tap MPR harus diuji karena telah termasuk dalam bagian dari hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia. Setiap peraturan perundang-unndangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya karena norma hukum itu berjenjang dan sistematis seperti yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Tapi MPR harus diuji agar terjadi harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. 2. Tap MPR perlu diuji Karena materi muatan yang terdapat di dalamnya sama dengan materi muatan undang-undang. Sehingga perlu diberi ruang dalam pengujiannya sehingga dapat terakomodir hak-hak masyarakat yang terlanggar atas pemberlakuaannya. P a g e 37
3. Secara filosofi hukum, Mahkamah Konstitusi yang lebih berwenang melakukan pengujian terhadap Tap MPR karena MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (UUD) berwenang menguji produk hukum yang berada di bawah undangundang dan dan menjadikan UUD sebagai batu uji dalam penliaianya. P a g e 38
Buku-Buku : DAFTAR PUSTAKA Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, Jakarta: Teratai Publisher, 2011 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Konstitusi, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2005 S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Proklamasi dan Kekuasaan MPR, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 2006 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundangundangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, Yogyakarta : Kanisius, 2006. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi ke-4, cet. II Yogyakarta : Liberty, 1999 P a g e 39
JimlyAsshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006. Hans Kelsen,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta : Penerbit UAJY, 2010. Jurnal : Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya) Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari 2010. P a g e 40
DAFTAR RIWAYAT HIDUP a. Biodata Diri Nama : Riki Yuniagara Tempat / Tgl. Lahir : Terbangan, 02 Juni 1989 Jenis kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Kebangsaan / Suku : Indonesia / Aceh Status : Belum Kawin Alamat : Jl. Rukoh Utama No. 3, Lr. Lam Ara, Desa Rukoh, Banda Aceh. Email/web : rikiyuniagara@gmail.com www.rikiyuniagara.wordpress.com P a g e 41
b. Riwayat Pendidikan 1. SD Negeri 1 Blangpidie Berijazah Tahun 2001 2. SLTP N 2 Blangpidie Berijazah Tahun 2004 3. SMA N 1 Blangpidie Berijazah Tahun 2007 4. Strata 1 (S1) Fakultas Syari'ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN Ar- Raniry Banda Aceh Tahun 2012. 5. Strata 2 (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Tahun masuk 2014 s/d sekarang 6. Program Pendidikan dan Peningkatan Mutu Dosen Muda (P3MDM)/SPU Ke-35 di IAIN Ar- Raniry Tahun 2013 c. Riwayat Pekerjaan 1. Asisten Pengacara Publik di YLBHI-LBH Banda Aceh tahun 2014 s/d sekarang 2. Asisten Dosen di Fakultas Syariah UIN Ar- Raniry Tahun 2014 s/d sekarang 3. Lembaga Survei (LSI, Indikator Politik Indonesia, Populi Center) Tahun 2013 s/d 2014 4. Lembaga Peneitian The Aceh Institute Tahun 2009 s/d 2010 P a g e 42
d. Pengalaman Organisasi 1. Ketua DPD LPLHI-KLHI Aceh Barat Daya Tahun 2014-2015 2. Wakil Ketua Koordinatoriat Wilayah Kesatuan Mahasiswa Islam Provinsi Aceh Periode 2013-2015 3. Pengurus Pemuda Islam Provinsi Aceh Periode 2013-2016 4. Sekretaris Kabinet BEMA IAIN Ar-Raniry Tahun 2011-2012 5. Pengurus BEM se-aceh Tahun 2012-2013 6. Ketua Umum MPM Fakultas Syariah Tahun 2010-2011 7. Peneliti Muda The Aceh Institute tahun 2009 8. Ketua Litbang Himpunan Mahasiswa Islam Kom. Fak. Syariah Tahun 2010 9. Ketua HUAL Himpunan Pelajar Mahasiswa ABDYA (HIPELMABDYA) Tahun 2010-2012 10. Wakil Ketua HMJ-SPH Tahun 2009-2010 11. Wakil Ketua Lembaga Seni Mahasiswa Islam HMI Tahun 2009-2010 12. Dewan Pembina HMJ-SPH Tahun 2010-2011 13. Ketua Komisi Pemilihan Raya Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry tahun 2010 P a g e 43
14. Pengawas Pemilihan Raya Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Tahun 2011 15. Penanggungjawab Tabloid Media Diplomasi dan Aspirasi (MEDIASI) Tahun 2010-2011 e. Pelatihan dan Kegiatan yang diikuti 1. Karya Latih Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH Banda Aceh Tahun 2014 2. Debat Konsitusi Tahun 2012 di Fakultas Syari ah IAIN Ar-Raniry 3. Jelajah Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2011 4. Bakti Sosial IAIN Ar-Raniry Di Kabupaten Simeulue Tahun 2009 5. Bakti Sosial BEMA IAIN ar-raniry di Kecamatan Tangse Tahun 2012 6. Latihan Kepemimpinan Mahasiswa IAIN Ar- Raniry Tahun 2010 7. Seminar Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun 2011 8. Kampanye Pendidikan di Kabupaten ABDYA Tahun 2009 9. Sosialisasi Napza dan HIV/AIDS di ABDYA Tahun 2009 P a g e 44
10. Pelatihan tentang Revitalisasi lembaga Keuangan Syari ah Tahun 2009 11. Pelatihan Manajemen Keuangan Tahun 2009 12. Pelatihan Spiritual Awareness and Leadership Training Tahun 2010 13. Training Motivation and Public Speaking Tahun 2010 14. Seminar Nasional Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Mensukseskan Pemilikada Aceh Tahun 2011 15. Pelatihan Sehari Pertolongan Pertama dan kesiagaan Menghadapi Bencana Tahun 2008 16. Survey Pelayanan Publik di Kabupaten ABDYA tahun 2010 17. Survey Musyawarah Rencana Gampong (Musrembang) di Banda Aceh tahun 2010 18. Kursus Bahasa Inggris Basic Comversation di KIES Aceh 2012 19. Kursus Test Of English Foreign Language (TOEFL) di Pusat Bahasa Unsyiah tahun 2013 P a g e 45
f. Karya Ilmiah/Opini 1. Tanpa Negara Rakyat Hidup Sejahtera (diterbitkan di Website YLBHI-LBH Banda Aceh) tahun 2015 2. Kewenangan Judicial Review Terhadap TAP MPR RI (diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry ) tahun 2012 3. Keberadaaan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa di Kampus IAIN Ar-Raniry (diterbitkan Oleh IAIN Ar-Raniry) tahun 2012 4. Fungsionalitas Badan Legislatif Kampus (diterbitkan oleh tabloid MEDIASI) tahun 2011 5. Peran Lembaga Adat dalam Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/ Mesum di Kota Banda Aceh (diterbitkan Oleh The Aceh Institute) Tahun 2010 6. Sistem Kekerabatan Aceh Singkil (diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh) Tahun 2011 7. Buku Saku: Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (TAP MPR dari Masa Ke Masa). (diterbitkan melalui website: www.rikiyuniagara.wordpress.com) P a g e 46
8. Dan masih banyak tulisan lainnya yang berbentuk Opini dan Karya Ilmiah dalam website www.rikiyuniagara.wordpress.com P a g e 47