Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

dokumen-dokumen yang mirip
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

RINOSINUSITIS KRONIS

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

KARAKTERISTIK PASIEN POLIP HIDUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh: FETRA OLIVIA SIMBOLON

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

Polip Nasi Pada Anak. Bestari Jaka Budiman/Aci Mayang Sari. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS Dr.M.Djamil Padang

Kesehatan Hidung pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar Negeri 11 Manado

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB 4 METODE PENELITIAN

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT- KL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB 3 METODE PENELITIAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

PROFIL PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

LAPORAN KASUS. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus Periode 17 Oktober November 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

Laporan Operasi Tonsilektomi

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN. yang ditimbulkan. Meskipun hanya dari gejala klinis (gejala-gejala yang

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

Transkripsi:

BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid in the cavity of the nose, grayish white in color, which is caused by inflammation of the mucous. Many theories that drive these polyps as a manifestation of chronic inflammation, therefore, any condition that causes chronic inflammation of the nasal cavity may be a predisposing factor polyps. Case. Mr. B, 42 years old, came with complaints of both nostrils clogged and jammed since 1 years ago, worsened in the last 1 months. There is a history of polypectomy and allergic rhinitis. In the posterior rhinoscopy found that nasal cavity is narrow, clear secretions, inferior turbinate colored livide, there are a masses of soft, sessile, round, solitary, movable, grayish white from both meatus media. Patients treated by dexamethason 3x4 mg, fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/each nostril, loratadine 1x10 mg and planned to polypectomy. Patients were given education about nasal polyps. Conclusion. Rhinitis alergica is one of the factors predisposing the onset of recurrent nasal polyps. [Medula Unila.2014;2(3):73-78] Key words: nasal polyps, recurren, rhinitis allergic POLIP NASI REKUREN BILATERAL STADIUM 1 PADA PRIA PENDERITA RHINITIS ALERGIKA Abstrak Latar Belakang. Polip nasi adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.. Penyebab polip nasi sering dikaitkan dikaitkan dengan rhinitis alergi, asma, dan intoleransi aspirin. Banyak teori yang mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis, oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kasus. Tn. B, 42 tahun, datang dengan keluhan kedua lubang hidung terasa tersumbat dan mengganjal sejak 1 tahun lalu, dan memberat dalam 1 bulan terakhir. Terdapat riwayat polipektomi dan rhinitis alergi. Pada rinoskopi anterior tampak kedua cavum nasi sempit, sekret bening, konka inferior berwarna livide, terdapat massa lunak, bertangkai, bulat, soliter, dapat digerakkan, berwarna putih keabu-abuan yang berasal dari kedua meatus media. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah dexamethason 3x4 mg, fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi, loratadin 1x10 mg dan direncanakan polipektomi. Pasien diberikan edukasi mengenai polip nasi. Simpulan. Rhinitis alergi merupakan salah satu faktor predisposisi timbulnya polip nasi yang bersifat rekurens. [Medula Unila.2014;2(3):73-78] Kata kunci: polip nasi, rekuren, rhinitis alergi Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 73

Pendahuluan Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum nasi) dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi) (Syaifuddin., 2006) Polip nasi adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada laki-laki ataupun perempuan, dari usia anakanak hingga usia lanjut (Adams et al, 1997) Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% (Erbek et al, 2007; Soepardi et al, 2007). Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari infeksi, inflamasi non infeksi, kelainan anatomis, serta abnormalitas genetik. Banyak teori yang mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis, oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kondisi-kondisi ini seperti rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis, intoleransi aspirin, asma, Churg-strauss syndrome, cystic fibrosis, katagener syndrome, dan Young syndrome (Ahmad et al, 2012; Kirtsreesakul, 2005; Soepardi et al, 2007). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke ccavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton et al, 2008). Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 74

Kasus Tn. B, 42 tahun, datang ke poliklinik THT RSUD Dr. H Abdul Moeloek dengan keluhan kedua lubang hidung tersumbat dan terasa mengganjal sejak ±1 tahun yang lalu. Keluhan ini dirasakan semakin memberat dalam 1 bulan terakhir. Pasien sulit untuk bernafas melalui hidung sehingga sering menggunakan bantuan mulutnya untuk bernafas. Kadang keluhan terasa sedikit berkurang apabila pasien tidur miring ke kanan ataupun kiri. Pasien juga mengeluhkan penciumannya mulai berkurang sehingga semakin sulit untuk mencium bau-bauan, suara pasien juga menjadi sengau. Keluhan ini disertai keluarnya cairan jernih encer dari hidung, sakit kepala berdenyut yang hilang timbul dan mendengkur saat tidur. Keluhan demam, kepala terasa penuh, nyeri daerah wajah, telinga terasa penuh, berdenging, nyeri telinga dan gangguan pendengaran, sulit menelan, rasa menelan cairan di tenggorokkan, hidung berdarah, cairan hidung berbau dan nyeri hidung, serta penglihatan ganda disangkal oleh pasien. Pasein terkadang bersin-bersin disertai keluarnya cairan jernih encer, hidung gatal dan tersumbat, serta mata gatal dan berair apabila pasien terpajan debu ataupun udara dingin. Keluhan ini sudah dirasakan sejak kecil. Serangan biasanya lebih dari 4 hari dalam seminggu. Sekitar 21 tahun yg lalu pasien pernah mengalami keluhan seperti ini, Pasien dikatakan menderita polip hidung dan sudah dilakukan pengangkatan oleh dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/60 mmhg, denyut nadi 86x/menit, pernafasan 22x/menit, suhu 36,2 0 C. Pada rinoskopi anterior tampak kedua cavum nasi sempit, sekret bening, konka inferior berwarna livide, terdapat massa lunak, bertangkai, bulat, soliter, dapat digerakkan, berwarna putih keabu-abuan yang berasal dari kedua meatus media. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis polip nasi rekuren bilateral stadium 1 e.c rhinitis alergi persisten. Kemudian pasien ditatalaksana dengan dexamethason 3x4 mg, fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi, loratadin 1x10 mg, dan direncanakan untuk polipektomi. Pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari faktor pencetus terjadinya rhinitis alergi (debu, udara dingin) yang Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 75

merupakan etiologi dari polip nasi itu sendiri. Berdasarkan kepustakaan, penegakkan diagnosis polip nasi dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini didapatkan keluhan utama berupa hidung tersumbat dan terasa mengganjal disertai dengan hipoosmia dan suara sengau yang mengarah pada diagnosis polip nasi. Pada kepustakaan disebutkan keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari ringan hingga berat, rinore yang jernih hingga purulen, hipoosmia atau anosmia. Dapat juga disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu dapat juga menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma (Ahmad et al, 2012; Gillespie et al, 2004). Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rhinitis alergi, sinusitis kronis, iritasi dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. Pada pasien ini diduga kuat faktor predisposisi untuk terjadinya polip adalah rhinitis alergi persisten yang ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu bersin berulang dengan keluarnya cairan jernih encer, hidung dan mata gatal, kadang keluar air mata. Keluhan ini timbul saat udara dingin ataupun terpapar debu. Sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak kedua cavum nasi sempit, sekret bening, konka inferior berwarna livide, terdapat massa lunak, bertangkai, bulat, soliter, dapat digerakkan, berwarna putih keabu-abuan yang berasal dari kedua meatus media. Dari kepustakaan, gambaran konka inferior berwarna livide dengan sekret serous menunjukkan adanya rhinitis alergi (Erbek et al, 2007; Sopardi et al, 2007). Selain itu, pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan jika diagnosis masih meragukan atau belum bisa ditegakkan. Namun, pada pasien tidak dilakukan karena diagnosis sudah tegak dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 76

nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (Ferguson et al, 2006; Adams et al, 1997). Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi dari pembuluh darah submukosa yang diakibatkan oleh peradangan yang menahun dapat menyebabkan edema mukosa. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip (Erbek et al, 2007; Ferguson et al, 2006; Guillespie et al, 2004). Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan dexamethason 3x4 mg dan fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi. Berdasarkan guideline penatalaksanaan polip nasi di Indonesia, pengobatan lini pertama pada kasus polip nasi adalah steroid oral dan topikal. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya kortikosteroid intranasal dan/atau oral selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Pada polip nasi rekuren perlu dicari faktor alergi (kausatif). Jika polip sudah sangat mengganggu pernafasan disarankan untuk terapi bedah yaitu polipektomi. Pada pasien ini alergen yang mungkin berdasarkan anamnesis adalah debu dan udara dingin. Untuk itu pasien perlu diberikan edukasi untuk menghindari pajanan dengan alergen. Pemberian loratadin 1x10 mg sebagai antihistamin berguna untuk mengurangi reaksi alergi polip akibat rhinitis alergi (Erbek et al, 2007). Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 77

Polip pada pasien ini dirasakan sudah sangat mengganggu pernafasan sehingga disarankan untuk terapi bedah yaitu polipektomi. Pada pasien ini sebelumnya telah mengalami hal serupa meskipun sebelumnya sudah dilakukan polipektomi. Hal ini dikarenakan kausa dari polip nasi yang dialami pasien adalah rhinitis alergi. Jadi selama alergi masih tetap berlanjut maka polip nasi dapat muncul kembali. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila terdapat polip yang multiple. Oleh karena itu, pasien disarankan untuk menghindari faktor-faktor pencetus dan menjaga daya tahan tubuh (Soepardi et al, 2007). Simpulan Telah ditegakkan diagnosis polip nasi bilateral stadium 1 e.c rhinitis alergi. Polip nasi dapat mengalami rekurensi, dan rhinitis alergi merupakan salah satu faktor predisposisinya. Daftar Pustaka Adams GL, Boies LR, Higler PH. 1997. Boies buku ajar penyakit THT, edisi ke-6. Jakarta: EGC. hlm 246-7. Ahmad MJ, Ayeh S. 2012. The epidemiological and clinical aspect of nasal polyps that require surgery. Iranian Journal Of Otorhinolaryngology. 2(24): 76-7. Erbek SS, Erbek S, Topal O, Cakmak O. 2007. The role of allergy in the severity of nasal polyposis. Am J Rhinol. 21(6): 686-90. Ferguson BJ, Orlandi RR. 2006. Chronic hypertrophic rhinosinusitis and nasal polyposis in head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. pp. 393-8. Gillespie MB, Osguthorpe JD. 2004. Pharmacologic management of chronic rhinosinusitis, alone or with nasal polyposis. Curr Allergy Asthma. 4(6): 478-85. Kirtsreesakul V. 2005. Update on nasal polyps: etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 88 (12):1966-72 Newton JR, Ah-See KW.2008. A review of nasi polyposis. Therapeutics and Clinical Risk Management 4(2): 507-12 Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi ke-6. Jakarta: FKUI. hlm 123-5 Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. hlm 1-2 Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 78