BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi



dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

BAB I. PENDAHULUAN A.

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada anak, karena alergi membebani pertumbuhan dan perkembangan anak

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 3 METODE PENELITIAN

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi barier epidermal, infiltrasi agen inflamasi, pruritus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TETAP SEHAT! PANDUAN UNTUK PASIEN DAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa Yunani (yang berarti terengah-engah) dan pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antigen) yang terkandung di dalam sel darah merah (Fitri, 2007).

I. PENDAHULUAN. Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang. serta predileksi yang khas (Patrick, 2008).

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

Kontaminasi Pada Pangan

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan respon imun yang abnormal dari tubuh. Reaksi alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. populasi dalam negara yang berbeda. Asma bronkial menyebabkan kehilangan

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

BAB I PENDAHULUAN. Serangan asma merupakan salah satu penyebab rawat inap pada anak dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan ditujukan pada penderita dengan penyakit yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). 8,9 Bayi atopi memiliki predisposisi herediter untuk menghasilkan antibodi IgE melawan alergen yang berasal dari lingkungan sekitarnya dan memiliki satu atau lebih penyakit yang berkaitan dengan atopi seperti dermatitis atopi, rinitis alergi dan asma. 8 Faktor risiko terhadap perkembangan penyakit yang berkaitan dengan atopi adalah riwayat atopi dalam keluarga, hal ini dapat dilihat dari bayi yang baru lahir akan dijumpai adanya peningkatan kadar IgE dari sampel darah tali pusat. 10-12 Kelainan atopi diperkirakan terjadi pada 10% sampai 30% populasi negara maju. 13 Di Swedia terdeteksi 1/3 anak berusia lebih dari 11 tahun mengidap kelainan atopi. 14 Prevalens kelainan atopi juga dikatakan meningkat di negara industri. 15 Insidens yang meningkat di negara maju dikaitkan dengan polusi udara dan terjadinya deviasi respons imun karena berkurangnya penyakit infeksi pada anak. 13 Etiologi atopi mencakup faktor genetik kompleks yang belum sepenuhnya dipahami. 10,14,15 Peningkatan prevalensi ini sering dikaitkan dengan hygiene hypothesis yang menyatakan bahwa berkurangnya

paparan mikroba pada usia dini terutama pada mukosa usus menyebabkan kecenderungan pergeseran profil respons sistem imun dari T helper tipe 1 (Th-1) kepada dominasi T helper tipe 2 (Th-2) yang lebih cenderung mencetuskan respons alergi. 16,17 Penyakit yang berkaitan dengan atopi diturunkan secara genetik dan dipengaruhi faktor lingkungan dan riwayat keluarga dijadikan sebagai prediktor terbaik yang dihubungkan dengan penyakit yang berkaitan dengan atopi yang akan timbul di kemudian hari. 24 Hubungan antara kelainan atopi orang tua dan anaknya bervariasi mengikut jenis kelainan atopi yang diderita orang tuanya. 25 Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat atopi pada kedua orang tuanya mempunyai risiko hingga 50% sampai 80% untuk mendapat kelainan atopi dibanding dengan anak tanpa riwayat atopi keluarga (risiko hanya sebesar 20%). Risiko akan menjadi lebih tinggi jika kelainan alergi diderita oleh ibu dibanding ayah. 13,25 Imunglobulin E merupakan golongan imunoglobulin yang paling akhir ditemukan, dan baru teridentifikasi dan dipastikan sebagai bahan aktif pada proses alergi pada tahun 1967. 16,26 IgE merupakan mediator kunci dari penyakit alergi. 23 IgE sudah dapat dideteksi pada usia tiga bulan, sebelum gejala klinis timbul. 20 Pembentukan IgE dimulai pada masa awal kehidupan dimana sensitisasi sering dapat terdeteksi sebelum gejala klinis timbul. 16 Ia merupakan suatu antibodi khusus yang diproduksi sistem imun sebagai respons terhadap antigen tertentu. 20

Setelah disekresikan oleh limfosit B, IgE mengikuti sirkulasi aliran darah hingga ia berikatan dengan permukaan membran sel mast dan basofil yang terdapat dipermukaan epitel di seluruh tubuh, misalnya pada saluran nafas, saluran cerna dan kulit. Pada paparan ulang, alergen akan bereaksi dengan membran yang terikat dengan IgE spesifik tersebut dan mencetuskan pelepasan zat mediator inflamasi seperti: histamin, leukotrin, prostaglandin, dan protease, sehingga menimbulkan tanda dan gejala alergi. 20 Atopic march, atau lebih dikenal dengan allergic march, merupakan istilah yang menggambarkan adanya riwayat alami dari alergi atau manifestasi atopi dengan karakteristik berupa urutan yang khas dari gejala dan kondisi klinis yang muncul pada usia tertentu. Secara umum gambaran klinis dermatitis atopi merupakan yang pertama kali muncul kemudian diikuti asma dan rinitis alergi. 18,19 Atopi dapat juga bersifat asimtomatik dimana terdapat banyak orang dengan status atopi yang mempunyai IgE spesifik dalam tubuhnya namun tidak menunjukkan gejala klinis alergi. 10,13,20-23 2.2. Hygiene hypothesis Seorang ahli epidemiologi pada tahun 1989 mengemukakan hygiene hypothesis dimana beliau melaporkan suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Dikemukakan juga bahwa insidens infeksi yang lebih rendah pada masa awal kehidupan atau yang didapat sebelum lahir, mungkin menjadi penyebab

meningkatnya penyakit alergi. 27 Fasilitas peralatan rumah tangga yang lebih baik dan standar kebersihan pribadi yang tinggi juga dikatakan mengurangi kesempatan infeksi-silang pada keluarga, yang berakibat penyakit atopi meningkat. 4,28 Para ahli alergi-imunologi kemudian melakukan eksplorasi lebih jauh, didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba merupakan faktor penyebab utama insidens atopi meningkat. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan paparan terhadap mikroba berkurang antara lain air dan makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin, proses kelahiran. Faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari pedesaan ke perkotaan juga menyebabkan paparan terhadap mikroba berkurang. 28 Literatur lain menyatakan paparan terhadap lingkungan merupakan faktor utama sensitisasi alergi terhadap alergen lingkungan sehingga muncul penyakit alergi. Faktor lingkungan tersebut antara lain paparan yang sering terhadap alergen, paparan terhadap binatang peliharaan dan ternak, tingkat sosio-ekonomi, status nutrisi, dan jumlah saudara kandung. Tempat penitipan anak, faktor gaya hidup seperti diet, pemberian ASI, dan kebiasaan merokok pada ibu juga merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi munculnya penyakit alergi. 29 Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba terhadap

berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, dan flora normal usus. Endotoksin lingkungan, produk mikroba lain di lingkungan dan kecacingan juga disebutkan memiliki efek protektif. Pola pemaparan terhadap faktor risiko dan faktor protektif di lingkungan akan menentukan prevalensi penyakit alergi dan atopi pada populasi. 29 2.3. Alergen Alergen adalah molekul antigenik yang berperan pada reaksi imun yang menyebabkan alergi, sedangkan sensitisasi merupakan proses induksi pertama kali dari respons IgE terhadap suatu alergen. 22 Alergen hirup atau aero/inhallant allergen adalah merupakan alergen yang terdapat di udara pada lingkungan sehari-hari. 21 Alergen hirup dapat dibagi dua: 23 1. Alergen hirup dalam rumah (indoor-household): kutu debu rumah, bulu dan serpihan kulit manusia atau hewan peliharaan. 2. Alergen hirup luar rumah (outdoor): serbuk sari rumput dan spora jamur Anak berusia muda lebih cenderung tersensitisasi oleh alergen yang dijumpai pada masa awal kehidupan, seperti makanan dan alergen hirup yang terdapat di lingkungan rumah (kutu debu rumah, serpihan kulit hewan peliharaan, kecoa dan jamur), dimana sensitisasi terhadap alergen

lingkungan luar rumah belum terjadi. Sementara anak berusia lebih dari empat tahun lebih cenderung menunjukkan sensitisasi terhadap serbuk sari. 16,20,30 2.4. Hubungan tempat tinggal dengan sensitisasi alergi Prevalensi asma dan atopi pada anak dilaporkan lebih rendah pada daerah pedesaan daripada perkotaan. Suatu penelitian pada tahun 2000 di Kanada mendapatkan anak yang tinggal di kota memiliki sensitisasi atopi yang lebih tinggi (53.4%) daripada anak yang tinggal di desa (40.8%). 31 Perbedaan gaya hidup lainnya antara perkotaan dan pedesaan dapat mempengaruhi prevalens asma dan atopi. Anak di pedesaan biasanya memiliki saudara kandung yang lebih banyak, kurang terpapar dengan asap rokok di rumah, dan lebih sering memiliki hewan peliharaan atau terpapar dengan hewan dibandingkan dengan anak di perkotaan. 2 Kebanyakan anak yang tinggal di pedesaan terpapar terhadap ligkungan pertanian karena bertempat tinggal, bekerja, atau bermain di daerah pertanian. Paparan tehadap pertanian yang dapat mempengaruhi kesehatan saluran nafas dan atopi diantaranya endotoksin, debu padi, pestisida, hewan ternak, dan patogen zoonosis. Beberapa penelitian di Eropa dan Kanada menunjukkan anak yang tinggal di daerah pertanian memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menderita asma dan penyakit atopi lainnya dibandingkan anak yang tinggal di daerah perkotaan. 2

2.4. Uji Tusuk Kulit Uji tusuk kulit adalah salah satu cara termudah untuk memeriksa kelainan atopi dan sensitifitas terhadap alergi atas keberadaan antibodi IgE spesifik. 23,30,32 Ia merupakan metoda pendekatan diagnostik yang tepat untuk mendeteksi sensitisasi IgE oleh alergen hirup, makanan, bisa hewan dan obat-obatan. 33 Uji tusuk kulit, selain murah juga menyediakan hasil yang cepat didapat, 18,33,34 sebagai alat diagnostik pada kelainan alergi anak. 35 Uji ini biasanya direkomendasikan sebagai sarana uji diagnostik lini pertama untuk mendeteksi adanya reaktivitas spesifik. 23,33 Beberapa studi menunjukkan bahwa uji tusuk kulit adalah merupakan teknik yang paling baik dan mempunyai hasil paling prediktif diantara uji kulit. 21 Ia juga mempunyai keamanan dan sensitifitas yang baik, dengan hasil yang dapat dipercaya karena sudah sering diteliti secara luas. 35 2.4.1 Reaksi Imunologis, Cara Kerja dan Penilaian Uji Tusuk Kulit Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu, pemberian sejumlah kecil alergen cair yang di tusukkan dengan jarum pada epidermis superfisial fleksor volar lengan bawah, 20,21,34 atau punggung atas, 30 akan menyebabkan kontak antara alergen dengan IgE spesifik yang terikat dengan permukaan sel mast kulit. 23,30 Jika sel mast mengandung IgE terhadap alergen yang diaplikasikan, maka sel mast tersebut akan mengalami degranulasi dan melepas mediator-

mediator termasuk histamin, 23 lalu menyebabkan reaksi imun tipe I berupa reaksi bengkak kemerahan pada kulit tersebut. 30,34,35 Bengkak kemerahan tersebut biasanya akan mencapai diameter maksimal dalam 15 sampai 20 menit sesudah pemberian alergen, 18,20,21 yang dibandingkan dengan kontrol positif (histamin 1%) dan kontrol negatif (saline). 18,20,30 Hasil uji kulit dapat dilaporkan secara subjektif dalam bentuk skala numerik atas diameter bengkak yang diukur. 20 Terdapat beberapa sistem skor yang berbeda yang digunakan untuk mencatat hasil reaktivitas uji kulit. Namun hal yang terpenting adalah apakah hasil uji kulit tersebut positif atau negatif. 21,30 Uji tusuk kulit dinyatakan positif jika suatu alergen mengakibatkan bengkak dan kemerahan dengan indurasi > 3 mm. 34,36 Bengkak kemerahan dengan diameter 3 mm atau lebih besar dari kontrol biasanya dinyatakan mempunyai nilai positif. 18,21,30 2.4.2. Peralatan pada Uji Tusuk Kulit Saat ini banyak peralatan komersial tersedia untuk melaksanakan uji tusuk kulit, seperti jarum hipodermik, alat tusuk metal, alat tusuk bercabang, jarum Morrow-Brown dan alat multitest. 21,30,32

2.4.3. Usia pada Pelaksanaan Uji Tusuk Kulit Tidak terdapat batasan usia pada pelaksanaan uji tusuk kulit. Namun para ahli jarang melaksanakan uji ini pada anak berusia dibawah enam bulan sehubungan dengan: 30 Terbatasnya jumlah alergen yang dapat digunakan seperti: susu, kedelai, telur dan alergen hirup dari lingkungan rumah saja. Reaktivitas uji kulit mungkin kurang pada anak berusia sangat muda, hal ini membuat kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) menjadi sangat penting. Terbatasnya jumlah uji kulit yang dapat dilaksanakan sehubungan dengan luas permukaan tubuh yang lebih kecil. 2.4.4. Sensitifitas dan Spesifisitas Uji Tusuk Kulit Nilai prediktif uji tusuk kulit telah dinyatakan dapat digunakan untuk memeriksa sensitisasi alergi. 36 Uji tusuk kulit masih tetap merupakan uji untuk memeriksa IgE spesifik yang paling sensitif dan spesifik, dan telah dinyatakan lebih sensitif dibanding teknik radioallergo-sorbent test (RAST) dalam mendeteksi reaktivitas IgE. 23,35 Uji tusuk kulit mempunyai korelasi yang lebih baik dengan riwayat klinis dan hasil uji alergen provokatif dibanding uji intradermal. 30 Sampson dkk telah menunjukkan bahwa uji tusuk kulit mempunyai nilai positif terbesar

dibanding uji food challenge dalam suatu studi plasebo-kontrol tersamar dikutip dari 35 ganda. Uji tusuk kulit terutama akan membantu untuk mengeksklusikan alergen potensial yang dicurigai menimbulkan gejala alergi, karena jarang mempunyai hasil negatif-palsu, oleh keberadaan nilai prediksi negatifnya yang sangat tinggi (95%). Hasil uji negatif akan menunjukkan tidak terdapatnya reaktivitas alergi oleh mediasi IgE. Sebaliknya nilai prediksi positifnya biasanya hanya berkisar sekitar 30% sampai 50%, sehingga hasil uji kulit positif saja belum dapat menjadi bukti adanya reaksi terkait. 23,32,37 2.4.5. Reaksi Sistemik pada Uji Tusuk Kulit Reaksi serius yang berhubungan dengan uji tusuk kulit jarang dijumpai. 30,38 Uji tusuk kulit merupakan suatu prosedur yang aman dan hanya mempunyai risiko yang sangat kecil akan terjadinya reaksi sistemik. 33,38 Survei terakhir menyatakan bahwa dari keseluruhan risiko induksi reaksi anafilaksis oleh uji tusuk kulit adalah hanya sebesar kurang dari 0,02%. 33 2.4.6. Pasien Dengan Perlakuan Khusus Uji tusuk kulit dapat dilaksanakan pada siapa saja yang dicurigai memiliki reaksi yang dimediasi oleh IgE, namun terdapat beberapa situasi yang memerlukan pertimbangan klinis, seperti pada: 30

Pasien dengan kelainan dermatografisme akan bereaksi terhadap trauma kulit, seperti goresan, menghasilkan hasil positif-palsu. Maka aplikasi kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) harus dilaksanakan dan dinilai terlebih dahulu guna memastikan apakah hasil yang valid bisa didapat. Pasien yang mempunyai eksim yang parah dapat meliputi permukaan kulit yang luas sehingga tak adekuat untuk pelaksanaan uji kulit. Antihistamin dapat menekan reaktivitas uji kulit dan akan mengganggu terjadinya reaksi bengkak kemerahan, maka pemakaian obat tersebut harus dihentikan sementara sebelum pelaksanaan uji kulit agar uji tersebut tetap mendapatkan hasil yang baik. 30,38,39 Antihistamin generasi pertama dapat dihentikan dua sampai tiga hari sebelum uji dilaksanakan, namun antihistamin generasi kedua dapat mempengaruhi uji kulit hingga 10 hari atau lebih. 20,40 Obat kortikosteroid sistemik, dikarenakan pengaruhnya yang lebih kecil, cukup hanya dihentikan selama 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. 41

2.5. Kerangka Konseptual Tingkat sosioekonomi Polusi udara Sanitasi dan higiene Status nutrisi Jumlah saudara Paparan asap rokok Vaksin dan antibiotika Pemberian ASI Keseimbangan Th1 / Th2 ATOPI Kecacingan Paparan alergen dan mikroba Paparan hewan peliharaan dan ternak Pengenalan makanan padat Riw. Atopi Uji tusuk kulit Yang diamati dalam penelitian Gambar 2.7. Kerangka konseptual penelitian