Mahlinda 1 Email : mahlinibr_aceh@yahoo.com. Abstrak



dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa Orde Baru terjadi kegoncangan ekonomi dan politik. Perusahaan

PERAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA UNTUK MASYARAKAT DAERAH PERBATASAN Kasus Propinsi Kepulauan Riau

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

PERAN SERTA BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) *) Oleh : Andang Setyobudi, SE **)

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima,

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

Perempuan dan Industri Rumahan

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

IV.B.10. Urusan Wajib Koperasi dan UKM

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terhadap. 1. Peran UMKM terhadap Perekonomian di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dari peran para pengusaha (entrepreneur) baik besar, menengah maupun kecil.

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Indonesia. kerakyatan yang tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENGERTIAN PENYULUHAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

BAB I PENDAHULUAN. makmur yang merata secara material dan spiritual seperti yang tertuang pada

Taufik Madjid, S.Sos, MSi. Direktur Pemberdayaan Masyarkat Desa

PENDAHULUAN Latar Belakang

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

BAB I PENDAHULUAN. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

EVALUASI PERTUMBUHAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI SURAKARTA TAHUN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

BAB I. PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peran strategis UMKM dalam

I. PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah perusahaan yang didirikan dan. mengelola BUMD Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan suatu isu yang

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

- 2 - sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pemba

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN...

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

FORMALISASI UMKM KE DALAM SISTEM PERPAJAKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP INKLUSI FINANSIAL DI INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

Transkripsi:

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA UNTUK PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DEVELOPMENT OF APPROPRIATE TECHNOLOGY FOR MICRO, SMALL AND MEDIUM ENTERPRISE (SME,s) EMPOWERMENT Mahlinda 1 Email : mahlinibr_aceh@yahoo.com Abstrak Pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berdasarkan pada kemampuan masyarakat lokal dalam membangun teknologi tepat guna merupakan salah satu faktor kunci dalam meningkatkan standar kehidupan dan meningkatkan rasa percaya diri mereka. Untuk meningkatkan partisipasi dari masyarakat lokal/usaha mikro, kecil dan menengah di Provinsi Aceh, pilihan yang terbaik adalan dengan mengunakan peralatan yang dikatagorikan sebagai teknologi tepat guna. Teknologi ini telah digunakan dengan sukses di beberapa negara. Menggunakan teknologi tepat guna mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: lebih murah, dapat dibuat secara lokal, ramah lingkungan, dan keikutsertaan masyarakat yang tinggi. Teknologi tepat guna merupakan sebuah teknologi yang cocok dengan kebutuhan masyarakat dan dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing, meningkatkan nilai tambah dari produk, menambah produktifitas dan dapat mengurangi biaya produksi. Di Provinsi Aceh, teknologi ini telah lama dikembangkan dalam skala kecil tetapi sangat sulit dikembangkan lebih lanjut dalam skala besar karena kurangnya apresiasi dari masyarakat dan masih kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah. Untuk memecahkan masalah ini, diperlukam sebuah konsep dalam pengembangan teknologi tepat guna menggunakan proses difusi inovasi dengan melibatkan pihak terkait (stake holder) seperti pemerintah, tim fasilitator, perbankan, dan tim evaluasi. Kata Kunci: teknologi tepat guna, pemberdayaan, UMKM 1 Pejabat Fungsional Peneliti di Balai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh 15

Abstract The development of small and medium enterprice (SME,s) based on the capability of their local community in constructing appropriate technologies is one of the key factors in promoting their living standar and in boosting their self confidence. To increase the participant of local community/micro, small and medium enterprice in Aceh Province, it seems that the best choice is to use equipment catagorized as appropriate technology. This kind of technology has been used successfully in many foreign countries. Using appropriate technology has many advantage, among other: less expensive, made locally, evironment friendly and high local community participation. Appropriate Technology is a technology that fit with community needsand can be used to increase competitiveness, create value added of product, add productivity and can reduce the cost of production. In Aceh province, this technology has been developed in small scale for quite long time but it is very difficult to further develop in large scale because of lack appreciation from the society and very minimum attention and support from the government. To solve this problem, it need a concept to develop appropriate technology using innovation diffusion process involve interrelated party (stake holder) like government, facilitator team, financing, cooperation and evaluation team. Key words: approriate technology, empowerment, SME,s PENDAHULUAN Provinsi Aceh dikaruniai sumberdaya alam yang sangat melimpah baik dalam bidang pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan maupun pertambangan. Namun akibat minimnya pengetahuan, fasilitas serta akses informasi yang dimiliki menyebabkan sumber daya alam tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Umumnya hasil alam yang melimpah tersebut belum diolah secara maksimal dan lebih banyak dijual dalam bentuk mentah tanpa melalui proses terlebih dahulu sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Disamping itu akibat keterbatasan teknologi, proses produksi terutama pada tingkat 16

usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sering menjadi tidak efektif dan efisien karena memakan waktu lebih lama dan biaya produksi lebih besar. Karena itu, perlu adanya sentuhan teknologi untuk memberikan nilai tambah pada komoditas lokal dan sekaligus dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 tentang penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna (Anonimous, 2001a) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2010 tentang pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan teknologi tepat guna (Anonimous, 2010) maka pemerintah dituntut untuk memiliki kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat dan pelaku UMKM dengan memanfaatkan sumber daya alam dan teknologi agar pembangunan dapat berjalan optimal. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi yang telah ada seperti teknologi tepat guna (TTG). Teknologi tepat guna adalah suatu teknologi yang dapat diserap dengan mudah oleh budaya masyarakat setempat yang dapat memberi nilai tambah dan berkelanjutan sehingga membawa masyarakat untuk melepaskan diri dari sistem produksi tradisional. Pemanfaatan teknologi tepat guna merupakan salah satu strategi yang banyak diterapkan dalam pembangunan di banyak negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, karena teknologi tepat guna sangat mudah diterapkan, murah dan diyakini sebagai salah satu pemicu percepatan pertumbuhan suatu wilayah. Penggunaan teknologi tepat guna sangat sesuai diaplikasikan di negara berkembang karena berbagai kualifikasi yang ditawarkan oleh teknologi ini cenderung lebih cocok dengan negara berkembang, antara lain biaya operasi yang lebih rendah, kesesuaiannya dengan kondisi lingkungan, pemanfaatan sumber daya yang tidak berlebihan, serta porsi penggunaan tenaga manusia yang masih proporsional (Ricardo. 2007). PEMBERDAYAAN Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an (Anonimous, 2002). Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Memberdayakan masyarakat adalah 17

suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang masih belum mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat hingga muncul perubahan yang lebih efektif dan efisien. Pemberdayaan masyarakat sebenarnya merupakan upaya dalam membantu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan yang digambarkan sebagai suatu tatanan (tata kehidupan) yang meliputi material dan spiritual, dengan tidak menempatkan satu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetapi lebih pada adanya keseimbangan. Pada dasarnya menginduksi suatu metode/teknik/cara baru (termasuk teknologi tepat guna) ke dalam masyarakat merupakan bagian dari proses perubahan masyarakat sekaligus sebagai suatu upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, sarana dan prasarana dan pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat (Vitalaya, 2000). Menurut kaidah ekonomi, pemberdayaan masyarakat adalah proses memperoleh pelaku ekonomi untuk mendapatkan nilai lebih sebagai bagian dari hak manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi, upaya ini dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam pemberdayaan masyarakat saat ini adalah pendekatan teknologi melalui pengelolaan teknologi tepat guna. Model pendekatan ini sangat cocok diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia karena dapat mempercepat pemulihan ekonomi, meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan mutu produksi, menunjang pengembangan suatu wilayah melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab menuju keunggulan kompetitif, 18

dan dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru di bidang teknologi yang mudah di terapkan di tengah-tengah masyarakat. TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) Hampir semua orang kalau mendengar istilah teknologi, yang terbayangkan adalah teknologi canggih. Terkesan bahwa teknologi berupa peralatan atau mesin yang rumit, harga yang mahal, membutuhkan keahlian/keterampilan khusus (high skill) untuk mengoperasionalkannya, serta dihasilkan oleh pabrik yang memiliki modal yang besar. Dalam kenyataan, teknologi juga meliputi suatu metode atau cara sederhana namun dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik, teknologi ini biasa disebut dengan teknologi tepat guna (appropriate technology). Teknologi tepat guna adalah teknologi yang didesain dengan pertimbangan khusus aspek-aspek lingkungan, etika, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat yang menggunakannya. Dengan pertimbangan tersebut maka TTG memerlukan lebih sedikit sumberdaya, lebih mudah dipelihara, memerlukan biaya operasi lebih kecil dan mempunyai dampak lingkungan lebih rendah dibanding teknologi industri modern. Oleh karena itu, teknologi tersebut dapat diartikan sebagai cara yang lebih baik dan efisien dalam memecahkan suatu permasalahan, sehingga dapat meningkatkan produktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan daya serap masyarakat. Teknologi tidak harus serba baru yang belum terdapat di lingkungan masyarakat setempat, meskipun juga tidak harus selalu bersifat tradisional. Istilah TTG mulai terkenal pada saat krisis energi tahun 1973 dan munculnya gerakan pencinta lingkungan pada tahun 1970-an. Istilah TTG digunakan di dua arena yaitu: (1) penggunaan teknologi yang paling efektif untuk memenuhi keperluan negara-negara sedang berkembang; dan (2) penggunaan teknologi yang dari segi sosial dan lingkungan dapat diterima di negara-negara industri. TTG adalah jenis teknologi yang sesuai untuk kegiatan ekonomi berskala kecil, akar rumput (grassroots) dan berfokus pada ekonomi masyarakat (Anonimous, 2008). TTG digunakan untuk memecahkan masalah teknologi dengan menyediakan solusi yang berkesinambungan yang menguntungkan bagi masyarakat lokal khususnya pelaku UMKM. TTG membuka jalan untuk hidup berkesinambungan dan oleh karena itu prosesnya berjalan dari bawah ke atas (bottom up) untuk 19

memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat akar rumput, bukan proses dari atas ke bawah (top down). TTG dimulai dari teori bahwa masyarakat lokal khususnya pelaku UMKM mengetahui masalah lokal mereka lebih baik sehingga mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap penggunaan sumberdaya lokal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat lokal/umkm juga dapat menentukan prioritas solusi untuk menghemat dana dan tenaga. Solusi berkesinambungan terhadap masalah teknologi adalah lebih efektif bila menggunakan keahlian lokal (local skills) dan pengetahuan serta pengalaman yang ada pada mereka yang dapat dibagikan (sharing) dengan seluruh anggota masyarakat. Cara ini juga dapat membantu penghematan biaya secara keseluruhan (Tinambunan, 2008). Di negara-negara sedang berkembang, istilah TTG biasanya digunakan untuk menggambarkan teknologi sederhana yang sesuai untuk digunakan di negara-negara sedang berkembang atau di daerah kurang maju (rural areas). Bentuk TTG ini biasanya memilih solusi padat karya (labor intensive). Dalam praktek, TTG sering digambarkan sebagai penggunaan tingkat teknologi sederhana yang dapat secara efektif beroperasi sesuai tujuan di suatu lokasi. Di negara-negara industri, TTG menpunyai pengertian berbeda dan sering dimaksudkan untuk teknologi yang secara khusus mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan lingkungan (Anonimous, 2008). Sumber: Muhi (2009) Gambar 1. Perbedaan Teknologi Canggih dan Teknologi Sederhana Kinerja atau keberhasilan TTG diukur dari empat faktor 20

(Sudarmo, 2005), yaitu: 1. Kelayakan teknis. Teknologi harus menghasilkan nilai lebih, mempunyai fitur atau kemampuan yang makin beragam untuk memenuhi keperluan yang makin beragam, hemat dalam menggunakan sumber daya termasuk energi, awet dan faktor teknis lainnya. 2. Dapat menghasilkan keuntungan finansial. Teknologi tepat guna harus dapat menghasilkan produktivitas ekonomi atau keuntungan finansial. Salah satu cara untuk mengevaluasi produktifitas teknologi adalah dengan menghitung rasio output rupiah dibandingkan dengan input rupiah. Teknologi yang tidak menghasilkan keuntungan atau nilai produktifitasnya kurang dari satu, disebut non-performing, tidak berkinerja, teknologi tersebut biasanya tidak akan tahan lama. 3. Diterima oleh masyarakat. Teknologi harus dapat diterima oleh masyarakat pengguna. Teknologi dapat diterima karena memang diperlukan dan bermanfaat bagi pengguna, disenangi, mudah dan enak dipakai, dapat dibeli dengan harga terjangkau, serta dapat tidak bertentangan dengan kebiasaan, adat istiadat, budaya dan agama yang ada di masyarakat. 4. Teknologi harus serasi dengan lingkungan. Faktor ini akan menentukan keberadaan teknologi ditengah masyarakat yang menggunakannya. Keempat faktor tersebut adalah tolok ukur yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pengembangan teknologi tepat guna. KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS TTG Berbicara tentang teknologi tepat guna, sebenarnya tidak asing lagi bagi masyarakat di Provinsi Aceh, secara alami masyarakat sudah sejak lama mengenal suatu teknologi yang diperoleh secara turun temurun atau sebagai akibat dari interaksi sosial dengan kelompok masyarakat lainnya sehingga terjadinya proses alih teknologi (technology transfer). Terkait dengan pengembangan teknologi tepat guna, ada beberapa kemungkinan potensi yang terkandung dalam masyarakat, antara lain : Pertama, teknologi tersebut mungkin sudah ada/tersedia dalam masyarakat setempat, namun belum sempurna. Maka, teknologi 21

tersebut dapat dikaji/didalami lebih lanjut untuk dikembangkan menjadi teknologi tepat guna yang lebih baik, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Kedua, Teknologinya belum ada di masyarakat setempat. Akan tetapi potensi sumber daya cukup tersedia. Maka, teknologi dapat diadopsi dari teknologi yang sudah ada yang berasal dari daerah lain/lembaga perguruan tinggi/lembaga penelitian atau yang diproduksi oleh industri. Ketiga, Potensi sumber daya di masyarakat cukup tersedia. Akan tetapi teknologinya belum tersedia di masyarakat setempat, dan juga belum ada diproduksi oleh lembaga perguruan tinggi/lembaga penelitian dan industri. Maka, perlu dilakukan penelitian/pengkajian secara seksama oleh lembaga/pusat kajian yang terkait untuk dapat menginovasi penciptaan teknologi tepat guna yang baru (Muhi, 2009) Namun perkembangan TTG saat ini belum optimal dimanfaatkan yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya informasi mengenai teknologi tepat guna sehingga rendahnya akses masyarakat, terdapat kesenjangan antara teknologi yang tersedia dengan kebutuhan masyarakat, serta ketidak tepat-gunaan teknologi yang dipakai oleh masyarakat sehingga terjadinya penolakan terhadap teknologi tersebut dan adanya pemahaman terhadap teknologi tepat guna yang masih dipersepsikan dengan teknologi sederhana, teknologi skala kecil bahkan ada pula yang menganggap sebagai teknologi tradisional yang rendah. Secara umum permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan TTG yang terjadi saat ini: a. Gandengan dan interaksi antar pengambil keputusan dan pelaksana dalam berbagai tingkat masih perlu penyempurnaan. b. Kerja sama antarberbagai unsur terkait belum selancar yang diinginkan. c. Sikap dan kebiasaan mengenai masalah pembangunan secara multi dan inter-disiplin belum mewujudkan secara jelas. Hal ini antara lain masih menimbulkan kesan terjadinya duplikasi yang tidak perlu. d. Alokasi dana dan sumber daya dari pemerintah yang belum optimal Untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi tersebut, perlu dilakukan suatu pola/konsep yang dapat diterapkan untuk pengembangan TTG dalam pemberdayaan masyarakat/umkm, salah satunya adalah menggunakan teori difusi inovasi. Difusi adalah proses 22

dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara anggota sistem sosial. Pesan yang disebarluaskan dalam proses komunikasi tersebut berisi ide-ide atau praktik yang bersifat baru atau dianggap baru. Difusi merupakan medium inovasi yang dapat digunakan oleh agent of change ketika berupaya membujuk seseorang atau komunitas agar mengadopsi suatu inovasi (Fatonah dan Afifi, 2008). Untuk dapat melaksanakan konsep difusi inovasi diperlukan adanya kerjasama antar institusi terkait (stake holder), seperti pemerintah (government), fasilitator kecamatan/desa, tim evaluasi (evaluator), perbankan (financing), dan Koperasi/Kelompok Usaha Bersama (KUB). Gambar 2: Konsep Pengembangan TTG Gambar diatas menjelaskan hubungan kerjasama lintas sektor yang saling terkait dalam rangka pengembangan teknologi tepat guna dengan menggunakan manajemen planning, organizing, actuating dan controlling. Adapaun fungsi masing-masing intansi dapat dijabarkan adalah sebagai berikut: Pemerintah (Transferor) Peran pemerintah dalam konsep ini adalah sebagai pemberi teknologi (transferor), pembuat kebijakan sekaligus sebagai pengendali (regulator) dan mengarahkan proses. Pengertian pemerintah dalam konsep ini adalah suatu lembaga yang selama ini melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam pemberdayaan masyarakat seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan lembaga yang melaksanakan tupoksi dalam penelitian dan pengembangan teknologi seperti Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dengan cara mencari 23

alternatif teknologi dan temuan baru yang menarik dan memberikan nilai tambah melalui pengembangan inovasi-inovasi dan kegiatan penelitian. Temuan-temuan baru tersebut diadopsi kepada penerima teknologi melalui fasilitator sehingga akan terjadi perpindahan teknologi yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu pendekatan yang dapat dilaksanakan adalah melalui penerapan manajemen planning, organizing, actuating, dan controlling. Tahap perencanaan TTG meliputi kajian kebutuhan dan potensi, kajian lapangan dan kajian rekayasa. Tahap perencanaan diawali dengan mengumpulkan informasi dan data primer dan sekunder mengenai data potensi daerah, kondisi geografis, data kebutuhan dan tingkat teknologi, data sosial, budaya dan ekonomi, kondisi lingkungan, informasi tentang rencana pembangunan daerah, peluang kerjasama, fasilitas umum, sarana, prasarana, dan lain-lain. Dalam tahap penataan ditentukan siapa melakukan apa, bagaimana, dimana dan bilamana. Penataan disesuaikan dengan hasil kajian kebutuhan, kajian lapangan dan perencanaan. Dalam tahap pelaksanaan, TTG dilaksanakan sesuai dengan perencanaan serta diadakan pembagian tugas dan dikelola sesuai dengan penataan dengan cara merekrut dan membentuk fasilitator-fasilitator mulai dari fasilitaotor tingkat Provinsi hingga pedesaan. Fasilitator Di sini peran fasilitator sangat penting dan strategis untuk mendorong perubahan atau memperkuat perubahan yang terjadi dalam masyarakat ke arah yang lebih baik. Fasilitator berfungsi untuk memperkuat pengetahuan dan keyakinan masyarakat penerima teknologi, sehingga ia mampu menerapkan perubahan (adopsi TTG) dengan penuh percaya diri. Lebih penting lagi adalah fasilitator dan masyarakat secara bersama-sama menggali potensi yang ada di masyarakat. Selain itu fasilitator juga dituntut untuk mampu berkomunikasi kepada masyarakat ilmiah maupun masyarakat luas, pemerintahan dan lembaga-lembaga masyarakat untuk memotivasi mereka untuk mendukung ataupun meyakinkan kemanfaatan dari apa yang akan dilakukan, sedang dilakukan, dan yang sudah dihasilkan Salah satu metode yang cocok diaplikasikan dalam alih teknologi adalah melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada masyarakat seperti pelatihan life skil atau capacity building, tetapi 24

pelatihan saja tidak cukup untuk dapat menumbuhkan usaha produktif, melainkan harus disertai dengan pendampingan mulai proses pembentukan unit-unit usaha kecil, pembentukan kelompok usaha bersama (KUB) hingga proses pengembangannya. Umumnya masyarakat akan lebih cepat berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila kegiatan tersebut memberikan hasil yang nyata atau dapat dilihat. Dalam proses pengelolaan TTG, fasilitator juga berfungsi untuk menumbuhkan semangat kemandirian penerima teknologi (trafsferee), yaitu tidak tergantung dari orang lain. Kemandirian dalam pengembangan TTG bermakna mempunyai prakarsa, kemauan, dan dapat membuat keputusan sendiri untuk mengembangkan dan mengelola TTG sesuai dengan kebutuhannya, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial dan meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam proses kemandirian perlu dibarengi dengan kemampuan wirausaha yaitu suatu kemampuan untuk mengenali produk baru, menemukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkan, serta mengatur permodalan operasinya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang fasilitator perlu menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta kesediaan untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami kondisi masyarakat itu sendiri. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri. Penerima Teknologi (Transferee) Dewasa ini di Indonesia terdapat tidak kurang dari 34 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), termasuk di dalamnya 2,1 juta industri kecil dan menengah. Oleh karena itu pengembangan kemampuan UMKM merupakan isu pembangunan yang sangat penting, karena selain memiliki peranan strategis dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam pemerataan kesempatan serta pendistribusian hasil-hasil pembangunan (Anonimous, 2001b). UMKM merupakan salah satu sektor usaha penyangga utama yang dapat menyerap 25

banyak tenaga kerja. Namun, dukungan pembiayaan (modal kerja, transfer teknologi dan investasi serta cakupan pendanaan yang diperlukan lainnya) terhadap pengembangan UMKM masih sangat kurang memadai. Bagi pelaku UMKM terutama yang ada di pedesaan yang sehari-hari hanya akrab dengan teknologi pengolahan hasil pertanian sederhana, perkembangan teknologi pertanian di negara lain yang lebih maju nyaris tak terdengar bagi mereka. Ciri khas kondisi UMKM pedesaan adalah keterbatasan infrastruktur, modal kerja, ketrampilan, pemasaran. Artinya, kompleksitas permasalahan tersebut tidak bisa diatas dengan pemberian salah satu fasilitas saja misalnya kredit. Untuk itu, dalam memberdayakan UMKM perlu diberikan motivasi dan manfaat dari berbagai peluang dan fasilitasi yang diberikan oleh berbagai pihak (stakeholder yang lain) karena tanpa partisipati UMKM secara individu maupun kelompok akan berakibat gagalnya usaha pemberdayaan yang dilakukan. Namun demikian perlu disadari setiap program pemberdayaan harus berangkat pada pemenuhan kebutuhannya, meski kadang untuk menentukan kebutuhan tersebut membutuhkan pendampingan pula. Perbankan (Financing) Salah satu masalah klasik pemberdayaan UMKM adalah masalah kekurangan modal, namun UMKM enggan untuk datang ke bank khususnya karena terkait oleh banyaknya persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh fasilitas kredit dari perbankan. Sebaliknya sering lembaga keuangan menghadapi masalah bagaimana memasarkan modal yang dihimpun dari masyarakat tersebut dapat tersalur kepada pengusaha UMKM dengan aman. Artinya, kedua belah pihak sebenarnya dapat membentuk hubungan yang saling menguntungkan. Untuk itu perlu diupayakan pendekatan baru perbankan terhadap UMKM, yang salah satunya dengan pendekatan melalui Kelompok Simpan Pinjam (KSM) maupun kelompok usaha (koperasi) dalam memberikan layanan kredit terhadap UMKM. Adanya pendekatan kelompok tidak akan efektif jika pandangan Bank terhadap UMKM masih menggunakan paradigma lama bahwa kredit terhadap UMKM tidak ekonomis dan berisiko. Untuk itu perlu menggunakan paradigma baru, dimana UMKM harus dipandang tidak 26

sebagai pemanfaat kredit saja, namun juga sebagai sumber potensial (Karsidi, 2005). Di bidang jasa keuangan pada saat ini, lembaga perbankan telah menciptakan berbagai produk perkreditan dan pembiayaan yang tersedia untuk UMKM. Kredit mikro sudah menjadi industri keuangan baru yang dibuka untuk persaingan secara luas tanpa proteksi khusus antara perbankan, koperasi dan lembaga keuangan lainnya, termasuk pegadaian dan PNM bahkan program ini diikuti dukungann secara selektif untuk sektor tertentu dengan jaminan dan subsidi pemerintah melalui APBN (Soetrisno, 2009). Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan bantuan kredit bagi para pengusaha mikro merupakan angin segar. Menengok kembali tentang sektor perekonomian rakyat, bahwa sektor ini telah mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis. Akhirnya memang benar dengan adanya pendapat bahwa sektor ini berdikari dan ulet. Koperasi/KUB Beragamnya jenis usaha dan skala usaha memang memerlukan beragam perlakuan yang berbeda. Untuk itu, perlu dilihat masalah demi masalah, apakah ada masalah yang perlu penanganan secara kelompok atau dilakukan secara individual. Masalah permodalan misalnya akan lebih mudah penanganannya dengan sistem kelompok karena dapat mengurangi risiko dan memudahkan dalam pembinanaannya. Kalau kelompok usaha mikro kemudian menjadi lebih besar dan teradministrasi dengan baik, maka kemudian dapat dikembangkan menjadi koperasi. Koperasi adalah suatu badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Melalui koperasi diharapkan bisa memperkuat kekuatan tawar pasar baik dalam mendapatkan bahan baku, proses produksi, maupun penjualan produk. Demikian pula dengan berbagai fasilitas yang tersedia bagi lembaga koperasi akan dapat dinikmati oleh para anggotanya. 27

Tim Evaluasi (Evaluator) Dalam pengembangan TTG, tahap evaluasi adalah tahapan yang sangat penting. Evaluasi dilaksanakan dengan membandingkan sasaran yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai. Evaluasi merupakan proses pembelajaran untuk dapat meningkatkan mutu kegiatan TTG selanjutnya (Sudarmo, 2005). Tim evaluasi berfungsi tidak saja untuk mengetahui hasil pelaksanaan program kerja bersama apakah yang dikerjakan sudah sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan bersama, namun juga untuk membuat penyesuaianpenyusuaian jika diperlukan sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan. Dalam konsep ini, tim evaluasi terdiri dari anggota organisasi non pemerintah (NGO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam melaksanakan kegiatan evaluasi, tim evaluasi mendapatkan masukan-masukan secara berkala dari penerima teknologi. Hasil masukan-masukan tersebut oleh tim evaluasi dijadikan rekomendasi dan dilaporkan secara berkala kepada pemerintah, serta pihak lain yang membutuhkan. KESIMPULAN 1. Memberdayakan masyarakat yang diadopsi dari istilah empowerment adalah suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang masih belum mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat hingga muncul perubahan yang lebih efektif dan efisien. 2. Teknologi Tepat Guna (TTG) dapat didefinisikan sebagai suatu metode atau cara sederhana namun dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik dengan pertimbangan khusus aspek-aspek lingkungan, etika, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat yang menggunakannya. 3. Secara umum permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan TTG yang terjadi saat ini: Gandengan dan interaksi antar pengambil keputusan dan pelaksana dalam berbagai tingkat masih perlu penyempurnaan, kerja sama antar berbagai unsur terkait belum selancar yang diinginkan, sikap dan kebiasaan mengenai masalah pembangunan secara multi dan 28

inter-disiplin belum mewujudkan secara jelas dan alokasi dana dan sumber daya dari pemerintah yang belum optimal. 4. Untuk mengatasi kendala dalam pengembangan TTG kepada UMKM, maka diperlukan kejasa sama lintas sektor antar institusi terkait (stake holder), seperti pemerintah (government), fasilitator kecamatan/desa, tim evaluasi (evaluator), perbankan (financing), dan Koperasi/Kelompok Usaha Bersama (KUB) dengan mengunakan konsep difusi inovasi dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara anggota sistem sosial. Pesan yang disebarluaskan dalam proses komunikasi tersebut berisi ide-ide atau praktik yang bersifat baru atau dianggap baru sehigga akan terjadinya perpindahan teknologi (technology transfer). DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2001a. Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 3 Tahun 2001 (3/2001) Tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Pemerintah Republik Indonesia. Anonimous, 2001b. Studi Tranfer Teknologi Kepada UKM. www.ristek.go.id Anonimous, 2002. Teknik Pemberdayaan Masyarakat Secara Partisipatif. Makalah pada Pelatihan Program Pengembangan Desa Binaan. Bogor, 26 29 September 2002. Anonimous, 2008. Appropriate Technology. Website: http:/en.wikipedia. org/wiki/ Appropriate Technology. Diakses pada tanggal 25 Mei 2012. Anonimous. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2010 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Teknologi Tepat Guna. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Fatonah S, dan S. Afifi. 2008. Difusi Inovasi Teknologi Tepat Guna di Kalangan Wanita Pengusaha di Desa Kasongan Yokyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 6, Januari April 2008. Muhi, H.A. 2009. Teknologi Tepat Guna (TTG) Dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat. Makalah pada Acara Temu Karya Pendampingan Masyarakat Pedesaan dalam Bidang 29

Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan di Kabupaten Bekasi pada tanggal 13 April 2009 dan 7 Mei 2009. Karsidi R. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro (Pengalaman Empiris di Wilayah Surakarta, Jawa Tengah). Makalah Seminar Nasional Pengembanangan Sumber Daya Manusia. Ricardo J. S. 2007. Ketimpangan Kemajuan Teknologi diantara Negara Maju dan Negara Berkembang dalam Kaitam Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Niaga Universitas Indonesia. Soetrisno N, 2009. Pengembangan Klaster IKM/UKM di Indonesia: Pengalaman dann Prospek. Makalah yang disampaikan pada Seminar-Workshop Pengembangan Klaster UMKM di Surakarta 26-28 Oktober 2009. Tinambunan, D. 2008. Teknologi Tepat Guna Dalam Pemanfaatan Hutan di Indonesia: Perkembangan, Keunggulan, Kelemahan dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Optimasi Pemanfaatannya. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 5 No. 2, Agustus 2008: 59 76. Vitayala, A. 2000. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Prosiding Seminar Pemberdayaan Manusia menuju Masyarakat Madani. Bogor, 25 26 September 2000. 30