EFISIENSI PEMELIHARAAN JALAN AKIBAT MUATAN BERLEBIH DENGAN SISTEM TRANSPORTASI BARANG MULTIMODA/INTERMODA



dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH MUATAN TRUK BERLEBIH TERHADAP BIAYA PEMELIHARAAN JALAN

AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EVALUASI UMUR LAYAN JALAN DENGAN MEMPERHITUNGKAN BEBAN BERLEBIH DI RUAS JALAN LINTAS TIMUR PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2006), hampir 83% pergerakan barang di Indonesia terjadi di pulau Jawa, 10% di

BAB I PENDAHULUAN. di bidang ekonomi ini membutuhkan adanya sarana dan prasarana yang baik

BIAYA PRESERVASI JALAN AKIBAT TRUK DENGAN BEBAN BERLEBIH DI JALAN PESISIR TIMUR PROVINSI ACEH

Perkembangan Jumlah Penelitian Tahun

Bab III Metodologi Penelitian

BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI UMUR LAYAN JALAN DENGAN MEMPERHITUNGKAN BEBAN BERLEBIH DI RUAS JALAN LINTAS TIMUR PROVINSI ACEH

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

ANALISIS DAMPAK BEBAN OVERLOADING KENDARAAN BERAT ANGKUTAN BARANG TERHADAP UMUR RENCANA DAN BIAYA KERUGIAN PENANGANAN JALAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jembatan merupakan sebuah struktur yang dibangun melewati jurang,

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Transportasi. Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut,

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Gambar 1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumbar Tahun (%) Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2015)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHALUAN I.1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat, sehingga mempengaruhi aktifitas sehari-hari

PENGANGKUTAN BARANG DI JALUR PANTURA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 November 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN Tinjauan Umum

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

PENGARUH KELEBIHAN BEBAN TERHADAP UMUR RENCANA JALAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rp ,- (Edisi Indonesia) / Rp ,- (Edisi Inggris) US$ 750 Harga Luar Negeri

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat secara keseluruhan (Munawar, 2004). Untuk tujuan tersebut, maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja.

Badan Litbang Perhubungan telah menyusun kegiatan penelitian yang dibiayai dari anggaran pembangunan tahun 2010 sebagai berikut.

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I.1 Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

PERBANDINGAN BIAYA ANGKUTAN BARANG ANTARA SISTEM TRANSPORTASI SINGLE-MODA DAN MULTIMODA (STUDI KASUS : TRAYEK PONTIANAK-SINTANG)

BAB I PENDAHULUAN I-1

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. di sembarang tempat. Selain itu sumber bahan baku tersebut harus melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi

BAB I PENDAHULUAN. satu atau beberapa lapis perkerasan dari bahan-bahan yang diproses, dimana

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2016, No Rakyat tentang Kriteria Tipologi Unit Pelaksana Teknis di Bidang Pelaksanaan Jalan Nasional di Direktorat Jenderal Bina Marga; Menging

PENGARUH KENDARAAN ANGKUTAN BARANG MUATAN LEBIH (OVER LOAD) PADA PERKERASAN DAN UMUR JALAN

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL BAB IX SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Pemindahan Moda Angkutan Barang di Jalan Raya Pantura Pulau Jawa (Studi kasus: Koridor Surabaya Jakarta)

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 20 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel. optimalisasi proses pergerakan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jalan Raya

PENINJAUAN TINGKAT KEHANDALAN LINTAS KERETA API MEDAN - RANTAU PARAPAT

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Peningkatan kinerja..., Suntana Sukma Djatnika, FT UI.,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

PERENCANAAN ANGKUTAN TRANSPORTASI BARANG REGIONAL DI PELABUHAN BITUNG SULAWESI UTARA

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. titik pada jalan per satuan waktu. Arus lalu lintas dapat dikategorikan menjadi dua

ANALISA BEBAN KENDARAAN TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN JALAN DAN UMUR SISA

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN

BAB. I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STRATEGI PENGEMBANGAN JARINGAN JALAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA BERDASARKAN KONSEP SISTEM TRANSPORTASI ANTARMODA

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi logis yaitu timbulnya lalu lintas pergerakan antar pulau untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Data AMDK tahun 2011 Gambar 1.1 Grafik volume konsumsi air minum berdasarkan tahun

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN TEORI

Ir. Dicky Gumilang, MSc. Manajemen Rantai Pasokan

BAB I PENDAHULUAN. raya adalah untuk melayani pergerakan lalu lintas, perpindahan manusia dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGENALAN ANALISIS OPERASI & EVALUASI SISTEM TRANSPORTASI SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN

Stimulus kegiatan Industri Logistik dan kendaraan niaga di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

SU Studi Basic Design Rancangan Bangun Pesawat Udara Untuk Flying School. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III NIM NIM

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU

Transkripsi:

EFISIENSI PEMELIHARAAN JALAN AKIBAT MUATAN BERLEBIH DENGAN SISTEM TRANSPORTASI BARANG MULTIMODA/INTERMODA Prof. Dr. Ir. Ofyar Z. Tamin, MSc Lab. Transportasi FTSL ITB Bandung Email: ofyar@trans.si.itb.ac.id Ir. Sofyan M. Saleh, MSc.Eng Program Doktor Studi Transportasi, FTSL ITB Bandung sofyan_saleh@yahoo.com, sms350@students.itb.ac.id 1. Latar Belakang Berdasarkan survey asal tujuan transportasi nasional (ATTN 2001 dan 2006), hampir 83% pergerakan barang di Indonesia terjadi di pulau Jawa, 10% di pulau Sumatera, dan sisanya terdistribusi di bagian timur kepulauan Indonesia. Dari pergerakan total barang tersebut ternyata 90% dilakukan dengan moda darat (jalan), 7% dengan moda laut, dan sisanya dengan moda lain (seperti kereta api, pesawat terbang, dan angkutan sungai dan penyeberangan). Kurangnya perhatian terhadap pergerakan barang dengan moda laut dan kereta api, terutama disebabkan oleh kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana serta lemahnya sistem dan regulasi, maka pergerakan barang melalui jalan masih merupakan pilihan yang dianggap lebih efisien. Pilihan ini tentu berpengaruh terhadap beban lalu lintas di jalan raya dan mempercepat tingkat kerusakan jalan, apalagi dengan masih diberikannya toleransi terhadap muatan truk untuk melebihi tonase yang diizinkan. Padatnya lalu lintas angkutan barang dengan truk, terutama pada jalur lintas pantura di pulau Jawa dengan rata-rata 70 unit truk besar/jam (Kompas, 2 Agustus 2004) dan jalur lintas Timur (jalintim) di Sumatera yang rata-rata 500 truk besar/hari (Kompas, 29 Mei 2006), membuat proses terjadinya kerusakan jalan menjadi lebih cepat, selain beberapa faktor penyebab lainnya seperti cuaca dan kegagalan konstruksi. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa jalan mempunyai peran yang sangat strategis, bukan hanya dalam bidang angkutan orang dan barang, melainkan juga dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan hankam. Hal ini dapat dilihat dari besarnya tuntutan agar jalan yang dilewati memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pergerakan. Namun dalam kenyataannya, kondisi jalan mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya umur, apalagi jika dilewati oleh truk-truk dengan muatan yang cenderung berlebih. Jembatan timbang yang seharusnya merupakan tempat untuk mengukur apakah truk barang bermuatan lebih atau tidak, sejak otonomi daerah banyak dimanfaatkan untuk menaikkan pendapatan asli daerah (Media Indonesia, 4 Agustus 2004). 1

Berdasarkan organda, pungutan liar terhadap angkutan jalan raya, terutama truk-truk yang mengangkut barang mencapai 18 trilliun rupiah per tahun (Liputan 6 pagi SCTV Rabu 21 Maret 2007), memang pungutan resmi dari pergerakan barang melalui moda jalan ini yang mencapai 50 trilliun rupiah pertahun. Jika dilakukan banding maka biaya pemeliharaan dan perbaikan jalan yang hanya 5.1 trilliun untuk tahun 2006, adalah jumlah yang tidak sampai 30 persen dari nilai pungutan tidak resmi (pungli) dan hanya 10% dari pungutan resmi yang dialokasikan oleh pemerinyah. 2. Permasalahan Harian Kompas (14 Februari 2008) memberitakan bahwa kerusakan jalan terjadi semakin cepat karena jalan terbebani melebihi kapasitasnya. Toleransi jumlah beban yang diizinkan (JBI) saat ini masih 50-60%%, artinya jalan yang direncanakan untuk beban sumbu tunggal 8 sampai 10 ton masih diizinkan dilewati truk dengan sumbu tunggal 16 ton. Dengan toleransi tersebut, maka kerusakan jalan terjadi 6,5 kali lebih cepat (Dept. PU). Kerusakan jalan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, karena waktu tempuh menjadi lebih lama dan kendaraan juga lebih cepat rusak. Jika kelebihan muatan harus diturunkan atau didenda, maka denda kelebihan tersebut selayaknya dapat dijadikan sebagai kompensasi untuk rehabilitasi kerusakan jalan, sebab kelebihan muatan akan berakibat kerusakan jalan dan berbahaya bagi keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan. Antisipasi terhadap kecenderungan peningkatan pergerakan barang dan orang ini memang mendapat tanggapan positif dari pemerintah dengan rencana peningkatan fungsi dan kapasitas beberapa ruas jalan nasional, beberapa bandara, beberapa pelabuhan laut, dan rencana pembangunan beberapa ruas jalan tol baru serta pembangunan jalan rel baru di beberapa daerah di Sumatera dan jalan rel double track (khususnya di pulau Jawa) untuk kemudahan akses termasuk akses logistik. Berbeda dari moda lain, moda darat (jalan) dengan truk yang mendominasi angkutan barang selama ini menyebabkan banyak hal yang di antaranya adalah : Menambah beban lalu lintas dan mengganggu kelancaran arus lalu lintas Volume barang yang diangkut cenderung melebihi beban ijin Mempercepat kerusakan konstruksi jalan Untuk menjaga agar konstruksi jalan relatif sesuai dengan umur rencana (masa layan), dengan biaya pemeliharaan yang sesuai rencana, maka diperlukan kebijakan untuk memperkecil pelanggaran muatan berlebih dengan mengalihkan pengangkutan barang melalui sistem multimoda. 2

Belajar dari kondisi yag ada di negara maju, ternyata efisiensi pengangkutan barang bila diukur dengan rasio antara biaya transport per satuan unit barang dan jarak tempuh ternyata sangat bervariasi sesuai dengan pemilihan moda. Rodrigue (2004) melakukan pembagian dalam tiga moda untuk rentang jarak tertentu seperti dalam Gambar 1 di bawah ini. Transport costs per unit Road Rail C1 Maritime C2 C3 D1 D2 Distance Freight Services : Short Dist. : <500 km, a highway mode is more efficient Medium Dist : Between 500-1500 km, a rail mode is more efficient Long Dist. : >1,500 km, a sea mode is more efficient Gambar 1. Efisiensi jarak angkut dengan pemilihan moda (Rodrigue dan Comtois). http://people.hofstra.edu/geotrans/ Untuk kondisi Indonesia, Departemen Perhubungan telah membuat penuntun atau pedoman penyusunan tatanan transportasi wilayah (Tatrawil) dengan membagi rentang jarak pengangkutan barang yang efisien pada jarak angkut dan pemilihan moda ke dalam kelompok-kelompok sebagai berikut : Jarak pendek : < 300 km, moda jalan raya lebih efisien Jarak menengah : 300 s.d 800 km, kereta api lebih efisien, Jarak jauh : > 800 km, transportasi laut lebih efisien. Masalahnya adalah terjadinya penyimpangan besar dalam implementasi di lapangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala geografis, ketersediaan sarana dan prasarana, kualitas pelayanan, maupun regulasi. Kerusakan konstruksi jalan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kerusakan akibat kegagalan konstruksi yang disebabkan mutu pelaksanaan yang tidak sesuai dan kerusakan akibat pemanfaatan yang disebabkan oleh tidak ditaatinya ketentuan (misalnya overload) ataupun 3

penyimpangan iklim/cuaca (Anas Aly, 2005). Konteks penulisan ini dibatasi hanya pada kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak sesuai, sementara pembahasan kerusakan akibat kegagalan konstruksi dan penyimpangan iklim dan cuaca serta faktor regional lainnya tidak dimasukkan, karena masalah ini diasumsikan telah ikut diperhitungkan saat setiap perencanaan konstruksi jalan. Penggunaan beberapa moda transportasi sudah sering terjadi sebagai pembawa barang dari produsen kepada konsumen. Ketika beberapa moda digunakan sekaligus dalam pengangkutan barang dari asal ke tujuan (point to point network), walaupun antar-moda dimungkinkan, digunakan sebuatan jaringan transportasi multi-moda, sementara sistem jaringan dua atau lebih moda transportasi dengan pemberlakuan satu tarif disebut jaringan transportasi antar-moda terpadu (Rodrigue, et al, 2004). Sistem transportasi barang multimoda dan antarmoda terpadu merupakan sistem yang bertujuan melayani perdagangan dengan memberikan atau menawarkan kemudahan dalam menangani proses pengiriman barang. Kemudahan tersebut diarahkan kepada pengirim dan penerima barang agar mereka tidak lagi dibebani oleh kompleksitas yang dihadapi dalam menangani sendiri seluruh atau sebagian dari proses pengiriman barang (Tamin, 2000). Comtois, et al (2004) menyatakan bahwa sistem transportasi dihadapkan pada persyaratan untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi biaya-biaya transportasi. Biaya transportasi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh penyedia jasa transportasi untuk melakukan pelayanan transportasi yang meliputi baik biaya tetap (infrastruktur) maupun biaya tidak tetap (pengoperasian). Biaya-biaya tersebut tergantung pada variasi kondisi yang berhubungan dengan geografis infrastuktur, batasan administrasi, energi, dan bagaimana barang itu dibawa. Pergerakan barang di Indonesia yang didominasi oleh angkutan jalan raya dengan truk yang cenderung membawa muatan berlebih telah menimbulkan masalah kerusakan jalan. Kerusakan jalan ini tentu harus diperbaiki dengan program pemeliharaan, agar distribusi barang tetap berjalan. Kegiatan pemeliharaan adalah seluruh pekerjaan yang ditujukan kepada upaya agar jalan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan yang direncanakan yang termasuk ke dalam jenis kegiatan pemeliharaan ini adalah: 1. Pekerjaan pemeliharaan rutin, yakni pekerjaan yang dilaksanakan secara terus menerus (sepanjang tahun) untuk mengatasi kerusakan jalan yang bersifat minor dan memerlukan penanganan segera, seperti penambalan lubang, penutupan retak-retak, pembersihan saluran dan sebagainya. Tercakup di dalamnya kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala. Pemeliharaan rutin dan berkala ini akan sangat mempengaruhi tingkat kemampuan layan 4

jalan yang dikaitkan dengan umur rencana jalan, seperti dapat dilihat pada gambar berikut ini. 2. Pekerjaan perkuatan struktur perkerasan, yakni pekerjaan yang apabila pekerjaan pemeliharaan berkala terlambat dilaksanakan sehingga kerusakan jalan yang terjadi telah mempengaruhi pondasi. Melalui pekerjaan ini kinerja jalan dikembalikan keadaan seperti kondisi awal saat jalan itu dibangun. Dalam Gambar 2 berikut disampaikan hubungan antara kondisi dan umur jalan yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan jalan. Pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, yang dalam Gambar 2 berada pada level dari 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung pada fungsi jalannya. PEMILIHARAAN BERKALA 4,5 < IRI < 8 RUSAK RINGAN 8 < IRI < 12 RUSAK BERAT 12 IRI < IRI > 12 Po PEMELIHARAAN BERKALA PENINGKATAN Pt BATAS KONTRUKSI JALAN LINTASAN IDEAL BATAS KRITIS Iri < 4,5 Iri < 4,5 Iri < 4,5 Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin JIKA TANPA PROGRAM PENINGKATAN JALAN 3. Solusi BATAS MASA PELAYANAN TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI Keterangan: LOS YANG ADA Po : Service ability Index Awal (PHO) Pt : Service ability Index Akhir (Batas Umur Pelayanan) Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR Gambar 2. Hubungan antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan Dari kenyataan selama ini 90 persen barang untuk koridor pulau Jawa dan pulau Sumatera diangkut dengan truk (angkutan jalan)dan yang cenderung membawa muatan berlebih, sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk perbaikan kerusakan jalan. Sementara ada moda lain yang dapat mengangkut barang dalam jumlah yang lebih besar dengan sekali angkut, tapi belum digunakan secara optimal dengan berbagai alasan. Kami mencoba mensimulasikan pergerakan barang pada jaringan hipotetikal dengan sistem multimoda/intermoda (jalan, kereta api, dan laut) dengan asumsi bahwa semua prasarana tersedia 5

sesuai dengan kapasitas dan biaya masing-masing moda. Khusus untuk moda jalan simulasi dilakukan pada dua opsi yaitu pada beban normal sesuai jumlah berat izin (JBI) dan pada beban berlebih 50% dari JBI. Semua prasarana dan sarana diasumsikan memenuhi persyaratan perawatan dan pemeliharaan yang baku, khusus untuk moda jalan diasumsikan adanya perawatan rutin dan berkala yang terjadwal dan yang mempengaruhi masa layan dalam tinjauan ini hanya dengan indikator kekasaran permukaan (IRI). Untuk menghitung laju pertambahan kekasaran permukaan jalan atau prediksi IRI dapat digunakan persamaan yang diambil dari IRMS yaitu: RI t = (RI 0 + 725 (1+SNC) -5. NE t ) e 0.0153t Di mana: RI t = Kekasaran pada waktu t, IRI (m/km) RI 0 = Kekasaran awal, IRI (m/km) NE t = Nilai ESAL pada saat t (per 1 juta ESAL) SNC = Nilai kekuatan perkerasan (Structure Number Capacity) yang tergantung pada setiap jenis perkerasan Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan masa layan yang cukup signifikan bila truk rata-rata mengangkut beban lebih sebesar 50% dari JBI (toleransi yang diberikan saat ini) karena faktor daya rusak kendaraan (vehicle damage factor) terhadap jalan yang diakibatkan oleh muatan berlebih ini rata-rata mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah sekitar 5 (lima) kali lebih cepat dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh beban normal (sesuai JBI). Hal ini dapat dilihat dari nilai ekivalensi kendaraan dengan beban normal dan kendaraan dengan beban berlebih 50%. Dalam simulasi ini diasumsikan semua truk adalah truk 3 sumbu atau (as) mengangkut 23 ton/truk untuk beban normal, dan 34.5 ton/truk untuk muatan berlebih 50% termasuk berat kendaraan. Hasil ekivalensi kendaraan dengan beban normal adalah sebesar 3,75 sedangkan ekivalensi kendaraan dengan beban berlebih 50% menjadi 19,01 (bila dipakai persamaan Liddle berikut ini). bebansumbu( ton) AE STRG = 8,16 bebansumbu( ton) AE SDRG = 13.76 4 4 Diasumsikan pada awal tahun pembukaan jalan nasional jenis perkerasan lentur dengan lebar jalan 7 meter, nilai IRI awal adalah 2,0, dan setelah dilakukan overlay IRI juga adalah 2,0. Asumsi lain adalah 6

0<IRI<4,5 pemeliharaan rutin dan 4,5<IRI<8 pemeliharaan berkala biaya pemeliharaan rutin Rp 50 juta/km dan pemeliharaan berkala Rp1,3 milyar/km tingkat pertumbuhan lalu lintas angkutan barang 6% pertahun, Jumlah truk pada tahun dasar adalah 211.156 unit Tabel berikut ini adalah hasil perbandingan antara truk dengan muatan sesuai JBI dan truk dengan kelebihan muatan mencapai 50% dari JBI untuk CESAL, IRI prediksi, dan jenis pemeliharaan dalam kurun waktu sesuai umur rencana jalan 10 tahun. Tabel 1. Perbandingan antara muatan sesuai JBI dan muatan berlebih 50% Tahun ke Jlh LL Truk CESAL Muatan Sesuai JBI IRI Prediksi Pemeliharaan Muatan Berlebih 50% CESAL IRI Prediksi Pemeliharaan 1 211.156 791.835 2,128 Rutin 4.014.076 2,522 Rutin 2 223.825 839.345 2,263 Rutin 4.254.920 3,081 Rutin 3 237.255 889.706 2,407 Rutin 4.510.215 3,681 Rutin 4 251.490 943.088 2,559 Rutin 4.780.828 4,322 Rutin 5 266.580 999.673 2,721 Rutin 5.067.678 5,009 Berkala 6 282.574 1.059.654 2,893 Rutin 5.371.739 2,688 Rutin 7 299.529 1.123.233 3,075 Rutin 5.694.043 3,426 Rutin 8 317.501 1.190.627 3,268 Rutin 6.035.685 4,217 Rutin 9 336.551 1.262.065 3,473 Rutin 6.397.827 5,065 Berkala 10 356.744 1.337.789 3,690 Berkala 6.781.696 2,861 Rutin Berdasarkan asumsi di atas, pada tahun ke 10 baru tercapai 1,35 juta CESAL dan IRI prediksi 3,69 untuk kondisi beban kendaraan sesuai JBI, tetapi sesuai dengan umur rencana sudah harus dilakukan pemeliharaan berkala. Sedangkan untuk kondisi beban 50% melebihi JBI, dengan asumsi pemeliharaan berkala sudah harus dilakukan pada tahun ke-5 dengan 5,067 juta CESAL dan IRI prediksi 5,01. Setelah dilakukan overlay maka IRI awal menjadi 2 kembali, pada tahun ke- 9 nilai ekivalen sudah mencapai 6,397 juta CESAL dan IRI prediksi adalah 5,065 dan dilakukan overlay kembali. Pada tahun ke-10 dengan lintas ekivalen mencapai 6,781 juta CESAL dan IRI prediksi hanya bertambah menjadi 2,861, karena telah dilakukan overlay pada tahun ke-9. Jadi dengan muatan truk berlebih 50% dari JBI telah dilakukan 2 kali pemeliharaan berkala selama umur rencana jalan. Tentu saja dalam kenyataan di lapangan bisa menjadi lebih besar dari simulasi ini, karena dalam simulasi ini diasumsikan bahwa yang berlalu lintas adalah truk barang 3 sumbu saja, sementara pada kenyataannya semua lalu lintas roda empat ke atas harus diperhitungkan. Dengan nilai penanganan di atas, biaya total pemeliharaan ruas jalan tersebut selama 10 tahun untuk kondisi beban normal adalah Rp. 1,75 milyar/km,- (9 kali rutin x Rp. 50 juta + 1 kali berkala x 1,3 milyar), sedangkan untuk kondisi muatan berlebih Rp.3 milyar/km,- (8 kali rutin x Rp 50 juta + 2 kali berkala x Rp 1,3 milyar). Di sini terjadi peningkatan biaya penanganan sebesar Rp. 1,25 7

milyar/km dalam rentang waktu 10 tahun umur rencana. Dengan asumsi tersebut terjadi tambahan biaya pemeliharaan jalan sebesar rata-rata Rp. 125 juta/km/tahun yang diakibatkan oleh muatan truk yang melebihi JBI sampai batas toleransi 50%. Ini berarti bahwa muatan berlebih truk itu berpengaruh terhadap biaya pemeliharaan jalan sampai 2,5 kali biaya pemeliharaan rutin pertahun seperti yang diasumsikan di atas. Peningkatan biaya penanganan jalan akibat beban berlebih ini tentu menjadi hambatan bagi pemerintah yang disibukkan hanya dengan pemeliharaan jalan yang ada, sementara masih banyak ruas jalan yang perlu ditingkatkan dan bahkan dibangun baru, terutama di daerah tertinggal. Dari hasil simulasi tersebut ditemukan juga bahwa jika nilai penambahan biaya transportasi barang akibat muatan berlebih selama 10 tahun umur rencana jalan tersebut dibebankan kepada operator, maka setiap kelebihan muatan menyumbang biaya transport sebesar Rp. 45,-/ton-km. Dampak penambahan biaya transportasi akibat muatan berlebih ini ditambah lagi dengan adanya pungutan tidak resmi (contoh kasus angkutan barang Medan Banda Aceh mencapai antara 400 dan 500 ribu rupiah sekali jalan, laporan Bank Dunia dan BRR tahun 2007), selalu bermuara pada harga jual produk di tingkat konsumen, sehingga yang dirugikan adalah konsumen. Solusinya adalah diterapkannya sistem transportasi barang multimodal/intermodal terpadu. Khusus untuk pulau Jawa dan sebagian Sumatera, pemanfaatan intermodal antara moda truk dan moda kereta api tentu lebih efisien, sedangkan untuk luar Jawa (terutama kawasan Indonesia Bagian Timur) kombinasi moda jalan dengan moda laut tentu lebih efisien. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan toleransi kelebihan muatan truk. Tidak hanya diberlakukan disinsentif dengan denda di jembatan timbang, tetapi juga insentif dengan meningkatkan prasarana dan sarana moda lain, sehingga penerapan sistem multimodal dan intermodal terpadu dapat berjalan dengan baik di samping penyempurnaan regulasi. Sudah selayaknya diterapkan sistem transportasi barang multimodal ataupun intermodal terpadu di Indonesia, agar beban lalu lintas di jalan raya berkurang dan sekaligus kerusakan jalan menjadi minimal sehingga biaya pemeliharaan jalan dapat dialihkan ke pembangunan jaringan jalan baru. 8