Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pengomposan dipandang lebih mampu. memberikan peluang kerja bagi masyarakat, lebih memiliki potensi konflik yang



dokumen-dokumen yang mirip
V ANALISIS HASIL STUDI AHP

Uraian secara lengkap setiap aspek dan kriteria yang menjadi bahan. pertimbangan dalam penentuan teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur

VII ANALISIS KETERKAITAN HASIL AHP DENGAN CVM

DESKRIPSI PROGRAM AIR LIMBAH

BAB 1 P E N D A H U L U A N. kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN

LAMPIRAN 2 ANALISA SWOT AIR LIMBAH KABUPATEN ACEH TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten

Outline 0 PENDAHULUAN 0 PERENCANAAN UNTUK IMPLEMENTASI 0 PENGENDALIAN DAN PERAWATAN SOLUSI 0 TINDAK LANJUT IMPLEMENTASI MODEL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

VI ANALISIS HASIL STUDI CVM

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Menurut Sangaji dan Sopiah

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

X. ANALISIS KEBIJAKAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012)

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

2 sebagaimana mestinya perlu ditetapkan suatu peraturan pemerintah yang mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Meskipun pembentukan perat

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

I. PENDAHULUAN. Perusahaan perikanan merupakan salah satu pelaku dalam. pembangunan perekonomian nasional. Walaupun didukung oleh sumberdaya

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

docking kapal perikanan; (2) mengkaji kelayakan finansial di bidang usaha pelayanan jasa docking kapal perikanan sebagai bagian upaya dalam

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IV.1. Tujuan, Sasaran, dan Tahapan Pencapaian

DESKRIPSI PROGRAM AIR LIMBAH

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

III. METODE PENELITIAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

B. Identifikasi Kelemahan (Weakness). Sedangkan beberapa kelemahan yang ada saat ini diidentifikasikan sebagai berikut: Sektor air limbah belum

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

VI. PERUMUSAN STRATEGI

Lampiran 4 Panduan scoring untuk mengetahui tingkat kepentingan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB VI PENUTUP. hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional

BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KOTA

Hak Atas Standar Penghidupan Layak dalam Perspektif HAM. Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

Bab 4 Strategi Pengembangan Sanitasi

BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014

BAB I. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah lembaga pendidikan kejuruan. yang tujuan utamanya mempersiapkan siswa menjadi tenaga kerja andal dengan

LAMPIRAN 2 SWOT ANALISYS AIR LIMBAH KOTA LANGSA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

I. PENDAHULUAN. Dari sembilan program pembangunan yang ditetapkan pemerintah

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PENGEMBANGAN SANITASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan. Negara adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global

I. PENDAHULUAN. negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres

VI. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI MITRA PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG.

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik pada masyarakat di masa mendatang. Pembangunan ekonomi

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Batasan Masalah...

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. melalui Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN. Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

Transkripsi:

Gambar 16. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Pengomposan Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Sosial. Keterangan : TENAKER = Penyerapan tenaga kerja KONFLIK = Potensi konflik dengan masyarakat rendah USAHA = Menumbuhkan lapangan usaha FORMAL = Menumbuhkan sektor formal dan/atau informal PSM = Penguatan peran serta masyarakat Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pengomposan dipandang lebih mampu memberikan peluang kerja bagi masyarakat, lebih memiliki potensi konflik yang rendah jika diterapkan di lapangan, lebih mampu memberikan peluang usaha bagi masyarakat, lebih mampu membuka peluang bagi terciptanya sektor informal maupun formal, dan lebih memungkinkan untuk dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan masalah sampah dibandingkan dengan teknologi incenerator. D. Penentuan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Sosial Jika didasarkan atas kriteria membuka kesempatan kerja dan membuka sektor informal dan/atau formal, teknologi sanitary landfill dipandang lebih mampu untuk memenuhinya ketimbang teknologi incenerator. Sehingga jika dua kriteria 69

tersebut yang mendapat perhatian utama yang ingin ditekankan, maka sanitary landfill lebih diprioritaskan ketimbang incenerator. Namun jika didasarkan atas kriteria potensi konflik yang rendah, dapat membuka peluang usaha bagi sektor swasta, dan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan sampah, maka incenerator merupakan prioritas utama dibandingkan dengan teknologi sanitary landfil, seperti dapat dilihat pada Gambar 17. Secara keseluruhan teknologi incenerator lebih diprioritaskan dibandingkan dengan sanitary landfill. Gambar 17. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Sosial. Keterangan : TENAKER = Penyerapan tenaga kerja KONFLIK = Potensi konflik dengan masyarakat rendah USAHA = Menumbuhkan lapangan usaha FORMAL = Menumbuhkan sektor formal dan/atau informal PSM = Penguatan peran serta masyarakat E. Penentuan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Sosial Semua kriteria dalam aspek sosial menunjukkan bahwa teknologi pengomposan lebih merupakan prioritas utama untuk diterapkan di Jakarta Timur dibandingkan dengan sanitary landfill, sebagaimana terlihat pada Gambar 18. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pengomposan dipandang lebih mampu 70

memberikan peluang kerja bagi masyarakat, lebih memiliki potensi konflik yang rendah jika diterapkan di lapangan, lebih mampu memberikan peluang usaha bagi masyarakat, lebih mampu membuka peluang bagi terciptanya sektor informal maupun formal, dan lebih mungkin untuk dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan masalah sampah dibanding dengan teknologi sanitary landfill. Gambar 18. Perbandingan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Sosial. Keterangan : TENAKER = Penyerapan tenaga kerja KONFLIK = Potensi konflik dengan masyarakat rendah USAHA = Menumbuhkan lapangan usaha FORMAL = Menumbuhkan sektor formal dan/atau informal PSM = Penguatan peran serta masyarakat F. Penentuan Skala Prioritas antara Incenerator dan Pengomposan Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis Jika didasarkan atas kriteria efektifitas dalam mereduksi sampah, dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan, dan banyaknya lokasi yang memungkinkan penerapan suatu teknologi, maka teknologi incenerator lebih diprioritaskan untuk diterapkan di Jakarta Timur dibandingkan dengan pengomposan. Sedangkan jika ditinjau dari aspek ketersediaan teknologi, kemudahan operasional, ketersediaan 71

SDM, dan pemanfaatan sampah maka teknologi pengomposan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan incenerator. Namun jika setiap kriteria dalam aspek teknis dibobotkan, maka incenerator lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pengomposan. Untuk lebih jelas berikut disajikan Gambar 19. Gambar 19. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Pengomposan Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis. Keterangan : EFEKTIF = Tingkat efektifitas dalam mengurangi tumpukan sampah LAHAN = Dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan LOKASI = Ketersediaan lokasi TEKNOLOGI = Ketersediaan teknologi MUDH-OPR = Kemudahan penerapan teknologi (kemudahan operasional) SDM = Ketersediaan SDM yang memahami teknologi MANFAAT = Pemanfaatan sumberdaya (dapat memanfaatkan sampah sebagai sebuah sumberdaya) G. Penentuan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis Jika didasarkan atas kriteria efektifitas dalam mereduksi sampah, dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan, dan banyaknya lokasi yang memungkinkan penerapan suatu teknologi, maka teknologi incenerator lebih diprioritaskan untuk diterapkan di Jakarta Timur daripada sanitary landfill. Sedangkan jika ditinjau dari aspek ketersediaan teknologi dan ketersediaan SDM yang memahami teknologi, 72

maka sanitary landfill lebih diprioritaskan. Namun jika didasarkan atas kriteria kemudahan operasional dan pemanfaatan sampah, maka kedua teknologi memiliki skala prioritas relatif sama. Jika seluruh kriteria dalam aspek teknis dibobotkan, maka incenerator lebih diprioritaskan dibandingkan dengan teknologi sanitary landfill. Untuk lebih jelas berikut disajikan Gambar 20. Gambar 20. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis. Keterangan : EFEKTIF = Tingkat efektifitas dalam mengurangi tumpukan sampah LAHAN = Dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan LOKASI = Ketersediaan lokasi TEKNOLOGI = Ketersediaan teknologi MUDH-OPR = Kemudahan penerapan teknologi (kemudahan operasional) SDM = Ketersediaan SDM yang memahami teknologi MANFAAT = Pemanfaatan sumberdaya (dapat memanfaatkan sampah sebagai sebuah sumberdaya) H. Penentuan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis Jika kriteria efektifitas dalam mereduksi sampah digunakan sebagai dasar penentuan skala prioritas teknologi antara pengomposan dengan sanitary landfill, maka sanitary landfill merupakan prioritas utama dibandingkan dengan pengomposan, karena dipandang lebih efektif dalam hal mereduksi sampah. Sedangkan jika didasarkan atas kriteria dapat mengatasi keterbatasan lahan, 73

ketersediaan lokasi yang memungkinkan teknologi bisa diterapkan, ketersediaan teknologi, kemudahan operasional, ketersediaan SDM yang memahami teknologi, dan pemanfaatan sampah, maka pengomposan lebih merupakan prioritas utama untuk diterapkan di Jakarta Timur dibandingkan dengan sanitary landfill. Secara keseluruhan, jika semua kriteria dalam aspek teknis dibobotkan, maka teknologi pengomposan lebih merupakan prioritas utama dibandingkan sanitary landfill. Untuk lebih memperjelas berikut disajikan Gambar 21. Gambar 21. Perbandingan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Teknis. Keterangan : EFEKTIF = Tingkat efektifitas dalam mengurangi tumpukan sampah LAHAN = Dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan LOKASI = Ketersediaan lokasi TEKNOLOGI = Ketersediaan teknologi MUDH-OPR = Kemudahan penerapan teknologi (kemudahan operasional) SDM = Ketersediaan SDM yang memahami teknologi MANFAAT = Pemanfaatan sumberdaya (dapat memanfaatkan sampah sebagai sebuah sumberdaya) I. Penentuan Skala Prioritas antara Incenerator dan Pengomposan Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi Seluruh kriteria dalam aspek ekonomi mengarah kepada penetapan pengomposan sebagai prioritas utama untuk diterapkan dalam kegiatan 74

pengolahan sampah di Jakarta Timur dibandingkan dengan incenerator. Hal ini berarti teknologi pengomposan dipandang sebagai teknologi yang investasi pengadaannya lebih murah, biaya operasionalnya juga lebih murah, dan lebih memiliki kemungkinan untuk dapat menghasilkan PAD jika dibandingkan dengan teknologi incenerator. Untuk lebih memperjelas berikut ditampilkan Gambar 22. Gambar 22. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Pengomposan Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi. Keterangan : INVEST = Investasi rendah BEA-OPRS = Biaya operasional rendah PAD = Menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi J. Penentuan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi Jika didasarkan atas kriteria rendahnya investasi pengadaan teknologi dan kemungkinan menghasilkan PAD, maka teknologi incenerator dan sanitary landfill memiliki skala prioritas relatif sama. Sedangkan jika ditinjau dari kriteria rendahnya biaya operasional, maka sanitary landfill lebih diprioritaskan dibandingkan dengan incenerator. Secara keseluruhan dapat ditentukan bahwa berdasarkan pertimbangan semua kriteria dalam aspek ekonomi, incenerator dan 75

sanitary landfill memiliki skala prioritas relatif sama untuk diterapkan di Jakarta Timur, seperti dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Perbandingan Skala Prioritas antara Incenerator dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi. Keterangan : INVEST = Investasi rendah BEA-OPRS = Biaya operasional rendah PAD = Menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi K. Penentuan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi Semua kriteria dalam aspek ekonomi mengarah kepada penetapan teknologi pengomposan sebagai prioritas utama dibandingkan dengan sanitary landfill. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa jika dibandingkan antara pengomposan dan sanitary landfill, maka teknologi pengomposan dipandang lebih murah dalam hal investasi dan biaya operasional, serta lebih mungkin untuk menghasilkan PAD dibandingkan dengan sanitary landfill. Untuk lebih memperjelas, berikut disajikan Gambar 24. 76

Gambar 24. Perbandingan Skala Prioritas antara Pengomposan dan Sanitary Landfill Berdasarkan Kriteria dalam Aspek Ekonomi. Keterangan : INVEST = Investasi rendah BEA-OPRS = Biaya operasional rendah PAD = Menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi Secara umum, hasil studi AHP yang dilakukan menunjukkan bahwa teknologi pengolahan sampah yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah pengomposan dengan nilai bobot 0,449, kemudian incenerator dengan nilai bobot 0,402, dan sanitary landfill dengan nilai bobot 0,149, seperti dapat dilihat pada Gambar 25 berikut ini : Gambar 25. Nilai Bobot yang Menunjukkan Skala Prioritas Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah di Jakarta Timur Hasil Studi AHP. Hasil analisis sidik ragam yang dilakukan pada taraf nyata 1% menunjukkan bahwa minimal ada satu nilai bobot teknologi yang berbeda sangat nyata. Hasil 77

perhitungan analisis sidik ragam hasil studi AHP selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebagai konsekuensi dari penerimaan H 1, maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui nilai bobot manakah yang sesungguhnya berbeda sangat nyata. Uji lanjut yang digunakan adalah uji wilayah berganda Duncan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada taraf nyata 1% nilai bobot pengomposan tidak berbeda nyata dengan nilai bobot incenerator, dan nilai bobot kedua teknologi tersebut berbeda sangat nyata dengan nilai bobot sanitary landfill. Perhitungan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perspektif statistik sesungguhnya skala prioritas teknologi pengomposan dengan incenerator tidak berbeda nyata. Artinya pihak Pemerintah Kota Jakarta Timur dapat memprioritaskan penggunaan teknologi pengomposan dan incenerator dalam upaya pengolahan sampah di wilayahnya 3. Analisis Sensitivitas Hasil Studi AHP Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penentuan skala prioritas teknologi pengolahan sampah berkaitan dengan periode waktu adalah adanya faktor ketidakpastian dimasa depan. Dalam hal ini terdapat peluang untuk terjadinya perubahan preferensi para stakeholder terhadap titik berat aspek yang menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan suatu jenis teknologi. Perubahan preferensi ini dapat diakibatkan oleh perubahan kebijakan pemerintah, perubahan 78

kondisi yang terjadi di masyarakat, dan lain-lain. Untuk itu perlu dilihat sejauh mana skala prioritas (nilai bobot) teknologi pengolahan sampah yang telah ditentukan berdasarkan hasil penelitian ini dipengaruhi oleh perubahan preferensi setiap aspek, dengan cara melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara meningkatkan preferensi aspek lingkungan, sosial, teknis, dan ekonomi hingga mencapai nilai bobot 50% dan 75%. Kenaikan nilai bobot salah satu aspek, secara otomatis akan menurunkan nilai bobot aspek yang lain. Setelah nilai bobot aspek yang dinaikkan mencapai nilai yang diharapkan, yaitu 50% dan 75%, maka dilihat perubahan nilai bobot setiap teknologi. Apakah teknologi pengomposan dan incenerator masih tetap merupakan prioritas utama dan teknologi sanitary landfill merupakan prioritas terakhir ataukah mengalami perubahan. Berikut diuraikan hasil analisis sensitivitas terhadap hasil studi AHP yang telah dilakukan. A. Sensitivitas Skala Prioritas Teknologi Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Lingkungan Jika diasumsikan dimasa depan terjadi peningkatan preferensi aspek lingkungan sedemkian rupa sehingga secara kuantitif nilai bobotnya mencapai 50%, ternyata pengomposan tetap memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 44% walaupun lebih rendah dari nilai bobot sebelumnya (44,9% = 0,449) seperti disajkan pada Gambar 26. 79

Gambar 26. Nilai Bobot Setiap Teknologi Jika Nilai Bobot Aspek Lingkungan Mencapai 50%. Jika preferensi terhadap aspek lingkungan meningkat lagi menjadi 75%, maka incenerator merupakan teknologi yang memiliki nilai bobot tertinggi (47,2% = 0,472), seperti disajikan Gambar 27. Gambar 27. Nilai Bobot Setiap Teknologi Jika Nilai Bobot Aspek Lingkungan Meningkat Menjadi 75%. Hal ini menunjukkan, jika pada suatu saat pertimbangan terpenting dalam menentukan jenis teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur adalah aspek lingkungan, yang berarti pula aspek sosial, ekonomi, dan teknis relatif tidak menjadi masalah, maka incenerator merupakan teknologi yang menjadi prioritas utama untuk diterapkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skala prioritas teknologi yang dipilih relatif tidak sensitif terhadap perubahan preferensi aspek lingkungan karena masih tetap salah satu dari pengomposan dan incenerator yang menjadi prioritas utama. 80

B. Sensitivitas Skala Prioritas Teknologi Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Sosial Jika diasumsikan dimasa depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek sosial sehingga nilai bobot aspek sosial mencapai 50%, yang berarti pula nilai bobot aspek lainnya mengalami penurunan, maka teknologi pengomposan merupakan prioritas utama yang sebaiknya diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta Timur dengan nilai bobot 47,6%. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28. Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Preferensi Terhadap Aspek Sosial Meningkat Hingga Memiliki Nilai Bobot 50%. Jika preferensi terhadap aspek sosial terus mengalami peningkatan sehingga nilai bobotnya mencapai 75% maka teknologi pengomposan tetap merupakan prioritas utama (nilai bobot 55,1%) seperti dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar 29. Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Nilai Bobot Aspek Sosial Mencapai 75%. 81

Hal ini berarti bahwa jika kondisi yang dihadapi mengharuskan penentuan teknologi pengolahan sampah ditikberatkan kepada perhatian : membuka kesempatan kerja, meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi, menciptakan peluang berusaha bagi masyarakat, membuka peluang kepada sektor informal dan formal untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta masyarakat, maka teknologi pengomposan adalah prioritas utama untuk diterapkan di Jakarta Timur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skala prioritas teknologi yang telah ditetapkan tidak sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek sosial karena prioritas utama teknologi yang dipilih tetap salah satu dari pengomposan dan incenerator. C. Sensitivitas Skala Prioritas Teknologi Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Teknis Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek teknis menunjukkan bahwa jka nilai bobot aspek teknis meningkat hingga mencapai 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai 42,2% dan merupakan prioritas utama. Kemudian jika nilai bobot aspek teknis terus meningkat hingga mencapai 75%, ternyata nilai bobot teknologi incenerator mencapai 41,1% yang hampir sama dengan nilai bobot pengomposan (40,2%), seperti disajikan pada Gambar 30 dan Gambar 31. 82

Gambar 30. Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Preferensi Terhadap Aspek Teknis Meningkat Hingga Memiliki Nilai Bobot 50%. Gambar 31. Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Preferensi Terhadap Aspek Teknis Meningkat Hingga Memiliki Nilai Bobot 75% Kondisi seperti ini mengindikasikan jika aspek teknis menjadi pertimbangan yang paling utama dalam menentukan teknologi, sedangkan ketiga aspek lainnya relatif tidak terlalu diutamakan, maka pengomposan dan incenerator merupakan teknologi yang mendapat prioritas utama untuk diterapkan dalam pengolahan sampah di Jakarta Timur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentuan skala prioritas teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur relatif tidak sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek teknis. D. Sensitivitas Skala Prioritas Teknologi Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Ekonomi Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek ekonomi menunjukkan bahwa jka nilai bobot aspek ekonomi meningkat hingga mencapai 50%, maka nilai 83

bobot pengomposan akan mencapai 53,4% dan merupakan prioritas utama. Kemudian jika nilai bobot aspek ekonomi terus meningkat hingga mencapai 75%, nilai bobot teknologi pengomposan tetap tertinggi yaitu 60%. Gambaran secara terperinci mengenai nilai bobot setiap teknologi akibat peningkatan nilai bobot aspek ekonomi hingga mencapai 50% dan 75% secara berturut-turut disajikan Gambar 32 dan 33. Gambar 32 Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Nilai Bobot Aspek Ekonomi Mencapai 50% Gambar 33. Nilai Bobot Setiap Jenis Teknologi Jika Preferensi Terhadap Aspek Ekonomi Meningkat Hingga Memiliki Nilai Bobot Sebesar 75% Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan ekonomi sangat kuat mendominasi keputusan penentuan teknologi pengolahan sampah. Meningkatnya preferensi aspek ekonomi akan meningkatkan nilai bobot pengomposan. Jika pertimbangan investasi yang rendah, biaya operasional yang rendah, dan kemungkinan menghasilkan PAD menjadi titik berat penentuan teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur, maka prioritas utama penggunaan teknologi jatuh pada 84

pengomposan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skala prioritas penentuan teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur relatif tidak sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek ekonomi karena salah satu dari pengomposan atau incenerator tetap menjadi prioritas utama. Mengingat skala prioritas teknologi pengolahan sampah yang terpilih relatif tidak sensitif terhadap perubahan preferensi aspek lingkungan, sosial, teknis, dan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa teknologi yang sebaiknya diprioritaskan untuk kegiatan pengolahan sampah di Jakarta Timur adalah pengomposan dan incenerator. Keputusan tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh pertimbangan aspek lingkungan, khususnya kriteria teknologi yang minimal dalam menimbulkan dampak terhadap pencemaran air. Dengan demikian, hipotesis yang mengatakan bahwa teknologi yang sebaiknya diterapkan dalam pengolahan sampah di Jakarta Timur adalah incenerator, tidak sepenuhnya dapat diterima. 85