BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esential bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Dimulai dari ketika masih janin di dalam kandungan hingga mencapai usia lanjut, kondisi ini menunjukkan bahwa pangan dan gizi merupakan indikator masyarakat yang berkelanjutan. Dengan demikian, setiap pemerintah suatu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi. Kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban tersebut berarti melanggar hak asasi (Baliwati dkk, 2004). Peranan pangan dalam membentuk dan membangun mutu sumberdaya manusia suatu bangsa, yang biasanya diukur dengan tingkat kesehatan, produktivitas dan intelektualitas, telah semakin disadari dan diyakini baik individu maupun oleh pembuat kebijakan. Karena itulah istilah pangan dan gizi sering digunakan untuk menekankan kepentingan aspek kualitatif yaitu mutu gizi dan keamanannya (Seto, 2001). Mutu gizi pangan dapat dilihat dari kadar zat gizi pangan, nilai zat gizi pangan serta keberadaan zat lain yang dapat mengganggu penyerapan zat gizi oleh tubuh, dan untuk keamanan pangan dapat dilihat dari tercemar tidaknya pangan oleh cemaran mikrobiologi, fisik, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan. 1
2 Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting perannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan itu perlu diselenggarakan pengawasan terhadap penyehatan makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat. Sebagai kebutuhan dasar bagi kita pangan seharusnya tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, bergizi, beragam dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan daya beli masyarakat. Ketersediaan dan keamanan makanan harus diperhatikan agar mayarakat terlindungi dari pangan yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat dari proses produksinya (Khomsan, 2005). Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam prakteknya masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan. Hal ini terutama disebabkan karena ketidaktahuan produsen pangan, baik mengenai sifat-sifat dan keamanan bahan tambahan pangan. Pengaruh bahan tambahan pangan terhadap kesehatan umumnya tidak dapat langsung dirasakan atau dilihat, maka produsen sering tidak menyadari bahaya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan. Peningkatan kebutuhan panganmenjadi salah satu penyebab yang mengakibatkan banyak produsen berlaku curang untuk mendapatkan keuntungan yang besar dengan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang murah namun berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini, telah sering mengakibatkan
3 terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya (Syah, 2005). Berdasarkan pendapat para ahli (Adriani dan Bambang, 2012), makanan yang aman adalah makanan yang bebas dari cemaran fisik, kimiawi maupun mikrobiologi yang berbahaya bagi kesehatan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Syarat makanan aman menurut ISO 22000 Food Safety Management System membagi tiga tipe bahaya pada makanan yang dikonsumsi, yaitu: bahaya kimia, bahaya biologi dan bahaya fisik. Memenuhi kebutuhan akan keadaan bebas dari resiko kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan, pemalsuan dan kontaminasi, baik oleh mikroba atau senyawa kimia maka keamanan pangan merupakan faktor terpenting baik untuk konsumsi pangan dalam negeri maupun tujuan ekspor. Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring peradapan manusia dan kemajuan IPTEK maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak dipoduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan pada konsumen (Seto, 2001). Seiring berkembangnya teknologi, makanan instant sangat digemari oleh masyarakat karena mudah, cepat dan murah. Inilah salah satu faktor pemicu semakin berkembang dan dibutuhkannya bahan tambahan pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dewasa ini sangat beragam, dari pengawet sampai pemberi aroma dan pewarna. Berkembangnya bahan tambahan pangan
4 mendorong pula perkembangan makanan hasil olahan pabrik, yakni bertambah aneka ragam jenisnya serta cita rasa maupun kenampakannya (Saparinto dan Hidayati, 2006). Banyak sekali bahan tambahan pangan yang sengaja ditambahkan untuk memperbaiki properties dari produk makanan tersebut, diantaranya adalah pewarna, pemanis, pengawet, anti kempal dan lain-lain. Padadasarnya penambahan bahan tersebut diizinkan oleh regulasi asal menggunakan bahanbahan yang sudah disetujui oleh otoritas pemerintah, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sayangnya banyak produsen makanan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang tidak seharusnya digunakan dalam makanan, dengan alasan lebih murah(adriani dan Bambang, 2012). Bahan tambahan pangan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan, terutama berbagai produk jajanan pasar serta berbagai makanan olahan yang dibuat oleh industri kecil ataupun industri besar. Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian bahan tambahan pangan untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan dan disamping itu juga harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan (Yuliarti, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2004 menyatakan bahwa cabe merah giling di DKI Jakarta mengandung zat pewarna yang tidak diizinkan untuk dimakan seperti
5 Rhodamin B. Penggunaan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) serta dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Walaupun penggunaan Rhodamin B telah dilarang digunakan tetapi ada produsen yang sengaja menambahkan Rhodamin B pada produk cabe merah giling sebagaipewarna merah. Alasan penggunaan pewarna ini adalah untuk memperbaiki warna merah cabe yang berkurang (menjadi pudar) akibat penambahan bahan campuran seperti wortel dan kulit bawang putih. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Nasution terhadap cabe giling yang beredar di pasar tradisional Kota Medan tahun 2009, menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji, terdapat 1 sampel dari pusat pasar (pasar sentral) yang positif menggunakan zat pewarna sintetis yaitu Rhodamin B. Dari hasil penelitian yang dilakukan olehmujianto dkk pada bumbu giling di pasar tradisional di Jakarta tahun 2013, ditemukan dari 112 sampel bumbu giling, 84 diantaranya dinyatakan positif mengandung boraks. Diantara 36 sampel cabe merah giling, terdapat 1 sampel mengandung boraks dan 4 sampel mengandung Rhodamin B. Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan berdasarkan hasil pengawasan tahun 2011 khususnya Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dan Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) dilakukan pengujian terhadap 2.666 sample, ditemukan 94 sampel mengandung formalin, 124 sampel mengandung boraks, 203 sampel mengandung Rhodamin B, 12 sampel mengandung Kuning Metil, 1 sampel mengandung Amaran, 1 sampel mengandung Auramin. Dari hasil
6 tersebut menunjukkan masih ditemukan bahan berbahaya yang dilarang dalam pangan digunakan dan diperjualbelikan secara bebas (BPOM, 2011). Salah satu jenis produk Industri Rumah Tangga (IRT) yaitu bumbu giling yang digunakan sebagai penambah cita rasa makanan yang banyak dijumpai di pasar tradisional sehingga dengan mudah dapat dibeli oleh konsumen dan juga karena konsumen tidak ingin repot untuk meracik bumbu, sehingga bumbu giling ini menjadi pilihan serta semakin berkembangnya warung makanan yang ada di masyarakat, semakin banyak pula masyarakat yang mempunyai kebiasaan makan di luar terutama bagi masyarakat yang perpenghasilan lebih. Namun masih banyak juga masyarakat kita untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya dengan memasak di rumah. Hal ini dilakukan karena kebersihan makanan yang diolah di rumah lebih menjamin kebersihannya disamping lebih murah. Bagi masyarakat yang malas untuk membuat bumbu-bumbu untuk masakan, sekarang ini banyak kita temukan bumbu masakan yang siap pakai, mulai dari cabai giling, bawang giling, jahe giling dan lain-lain. Bumbu giling ini banyak dijual dipasarpasar tradisional. Bumbu giling merupakan produksi home industry yang belum dikemas menggunakan wadah, sehingga kualitas dari bumbu giling tersebut masih dipertanyakan. Masyarakat yang biasa menggunakan bumbu giling ini harus waspada terhadap kandungan yang ada di dalamnya, apakah bumbu tersebut mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan tubuh kita. Produsen bumbu giling ini kemungkinan akan menggunakan bahan tambahan makanan berupa zat pewarna, pengawet dan penyedap rasaagar tahan lama dan menarik dilihat. Maka
7 dari itu kita perlu berhati-hati dalam memilih dan mengonsumsi bumbu giling yang beredar di pasaran. Hasil survei pendahuluan peneliti di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan yang merupakan pasar tradisional terbesar yang menjual beragamkebutuhan termasuk bumbu giling. Terdapat banyak penjual bumbu giling pada pasar tersebut yaitu sebanyak 9 pedagang, tetapi hanya 5 pedagang yang dipilih untuk diteliti yaitu pedagang yang menjual bumbu giling dalam jumlah yang banyak yang ditampung dalam wadah-wadah besar berupa ember (belum dikemas dalam plastik) dan bumbu giling yang dijualnya tidak selalu habis dalam satu hari (habis 2-4 hari), hal ini memungkinkan bumbu giling tersebut diberi bahan tambahan pangan seperti zat pewarna sintetis, pengawet dan penyedap rasa. Jenis bumbu giling yang dipilih untuk diteliti yaitu cabe merah giling, bawang merah giling, bawang putih giling, kunyit giling dan jahe giling. Dikarenakan dari masing-masing bumbu giling tersebut dalam sekali produksi lebih banyak diproduksi pedagang berkisar 15-25 kg sedangkan bumbu giling yang lain hanya 7-10 kg dan lebih banyak dibeli masyarakat, maka bumbu giling tersebut dipilih sebagai objek penelitian. Produksi dilakukan oleh pedagang sendiri menggunaakan mesin giling, waktu produksinya setelah bumbu giling sebelumnya hampir terjual habis. Zat pewarna yang dicurigai pada cabe merah giling karena warna bumbu giling tersebut mencolok, dan pengawet pada semua bumbu giling dicurigai menambahkan borak karena lebih murah, tidak memiliki aroma yang khas jika dicampurkan pada pangan maka pembeli tidak akan mengetahui adanya
8 penambahan boraks tersebut sebagai pengawet, dan juga Natrium Benzoat karena pengawet ini banyak digunakan pada pangan serta diizinkan penggunaannya tetapi dengan kadar tertentu. Sedangkan kecurigaan terhadap penggunaan penyedap rasa yaitu Monosodium Glutamat (MSG) karena bumbu giling memiliki rasa yang lebih gurih dibandingkan dengan yang kita olah sendiri tanpa MSG. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian pada beberapa bumbu giling yang dijual di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tahun 2016. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini apakah ada penambahan bahan tambahan pangan yang meliputi zat pewarna sintetis, pengawet dan penyedap rasa pada beberapa bumbu giling yang dijual di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tahun 2016. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui ada atau tidaknya penambahan bahan tambahan pangan meliputi zat pewarna sintetis, pengawet, penyedap rasapada beberapa bumbu giling yang dijual oleh pedagang di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan.
9 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui ada atau tidaknya penambahan zat pewarna sintetis yang diizinkan dan yang tidak diizinkan, pengawet meliputi boraks dan Natrium Benzoat serta penyedap rasa yaitu Monosodium Glutamat pada beberapa bumbu giling yang dijual di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan. 2. Mengetahui kadar pengawet dan penyedap rasayang diizinkan penggunaanya dalam batas tertentu yaitu Natrium Benzoat dan Monosodium Glutamat pada beberapa bumbu gilingyang dijual di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberi masukan bagi instansi terkait yaitu Dinkes dan BPOM untuk lebih memperhatikan (dalam hal pengawasan) penggunaan bahan tambahan pangan berbahaya yang disalahgunakan ke dalam makanan khususnya pada bumbu giling yang beredar di pasaran. 2. Sebagai bahan masukan atau petunjuk bagi produsen maupun pengolah makanan dalam memproduksi bumbu giling. 3. Sebagai informasi bagi masyarakat dalam memilih makanan siap saji yang diproduksi industri rumah tangga yang aman untuk dikonsumsi.