III KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikiran Lada merupakan salah satu komoditas rempah yang sangat penting dalam industri pangan di dunia. Oleh karena itu Indonesia sebagai salah satu eksportir lada terbesar dituntut untuk selalu menghasilkan lada dengan kualitas terbaik. Namun sayangnya saat ini Indonesia belum mampu menghasilkan lada dengan kualitas ekspor yang baik. Lada masih diekspor dalam bentuk utuh tanpa pengolahan untuk memperbaiki ataupun mempertahankan kualitasnya. Hasilnya kualitas lada yang diterima oleh konsumen di manca negara mengalami penurunan akibat terjadinya degradasi kualitas selama pengiriman. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan dalam peningkatan kualitas ekspor lada adalah dengan pengolahan lada ke dalam bentuk oleoresin. Menurut Winarno dan Agustinah (2005), oleoresin adalah suatu cairan, semi padat atau residu padat yang diperoleh dengan ekstraksi pelarut dan memiliki seluruh sifat organoleptik dari rempah-rempah alamiah yang mengandung fixed oil, pigmen, cita rasa pedas, dan antioksidan alamiah. Pengubahan bentuk lada kedalam bentuk ekstrak cair memberikan beberapa keuntungan diantaranya akan memperlambat degradasi kualitas serta mempermudah transportasi karena volume dan berat oleoresin lebih kecil daripada lada utuh. Oleoresin murni hasil ekstraksi dari lada pada umumnya memiliki karakteristik semi padat, lenget, dan mudah rusak. Oleh karena itu biasanya oleoresin diperdagangkan dalam bentuk emulsi dalam minyak. Salah satu teknik pembuatan oleoresin murni yang sering digunakan adalah teknik maserasi. Teknik 21
22 ini dipilih karena memiliki beberapa keuntungan yaitu bagian tanaman yang akan diekstrak tidak harus dalam wujud bubuk halus, tidak diperlukan keahlian khusus, dan lebih sedikit kehilangan pelarut dibandingkan dengan teknik perkolasi atau soxhlet (Kumoro, 2015). Selain itu menurut Borges dan Pino (1993), metode maserasi dapat menghasilkan rendemen oleoresin lada 1%-2% lebih banyak dibandingkan dengan metode sokhlet yang berkisar 12-14% namun memiliki kadar piperin yang sama yairu 33%. Sementara itu pelarut etanol dipilih karena etanol dianggap lebih baik dalam mengekstrak senyawa aktif dibandingkan dengan pelarut lain (Hirasawa, 1999 dikutip Fakhrurrozy (2012). Arifianti, Oktarina dan Kusumawati (2014) juga mengungkapkan bahwa pelarut etanol 96% dapat mengekstrak senyawa sinensetin dengan kuantitas yang lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain. Hasil ekstraksi harus dilakukan pemisahan antara pelarut dan oleoresin. Menurut Thiessen dan Scheide dalam Purseglove et al. (1987) karakteristik lada dapat berubah apabila diberi perlakuan panas hingga 90 o C dan akan semakin memburuk seiring penambahan suhu. Oleh karena itu pemisahan pelarut dilakukan dengan rotary vacuum evaporator karena memiliki kemampuan menurunkan titik uap pelarut dengan memodifikasi tekanan udara. Menurut Hikmawanti et al. (2016), suhu yang optimal dalam pemisahan pelarut dengan senyawa piperin adalah 50 o C Oleoresin murni memiliki kelemahan yakni bersifat lengket dan kental, mudah teroksidasi dan terjadinya offlavor selama penyimpanan, serta memiliki kelarutan rendah dalam air (Yuliani, Desmawarni dan Harimurti, 2007). Oleh
23 karena itu diperlukan proses emulsifikasi dalam minyak sehingga dapat mencegah oleoresin dari kerusakan. Minyak yang digunakan sebagai fase minyak dalam pembuatan emulsi ini adalah minyak kedelai (soybean oil). Minyak kedelai dipilih karena berdasarkan penelitian (Fitriani et al., 2017), karakteristik dan kestabilan fisik minyak kedelai, minyak VCO, dan minyak kelapa sawit lebih baik jika dibandingkan dengan minyak zaitun. Penelitian dimulai dengan pembuatan oleoresin yang diekstrak dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Terdapat dua jenis lada yang dibedakan berdasarkan kualitasnya yaitu lada dengan kualitas yang baik (kualitas A) dan lada dengan kualitas yang kurang baik (kualitas B). Lada dengan kualitas yang kurang baik merupakan lada yang tidak lolos dari proses pengayakan. Tujuan dari diikut sertakan lada dengan kualitas yang kurang baik ini adalah untuk membandingkan jumlah pipperin yang terdapat dalam kedua jenis lada dengan kualitas yang berbeda tersebut. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah peneliti lakukan, ditemukan bahwa kadar air lada kualitas A sebesar 11,25% sedangkan lada kualitas B memiliki kadar air sebesar 11,5%. Kadar air tersebut masih berada dalam rentang kadar air lada yang dapat diproses yaitu sebesar 12-14% sehingga tidak perlu diadakan pengeringan pendahuluan (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Tahapan selanjutnya ialah membuat oleoresin tersebut dapat teremulsifikasi dalam minyak. Emulsifikasi dikatakan berhasil apabila emulsi yang dihasilkan bersifat stabil dalam jangka waktu yang panjang. Terdapat
24 beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsifier diantaranya jenis emulsifier, konsentrasi emulsifier, dan kecepatan pengadukan. Emulsifier yang digunakan terdiri dari tiga jenis emulsifier yaitu: lesitin, gelatin, dan tween 80, yang mana secara berurutan memiliki HLB rendah (4,0) (Fitriyaningtyas dan Widyaningsih, 2015), sedang (9,8) (Aisyah, Haryani dan Safriani, 2017), dan tinggi (15) (Taylor, 2011). Emulsifier ini dianggap sudah mewakili jenis emulsifier lainnya sehingga hasilnya dapat merepresentasikan emulsifier lain yang memiliki HLB yang sama. Penelitian Cicilia (2016) melaporkan bahwa emulsifier yang memiliki HLB rendah akan stabil dalam emulsi air dalam minyak (W/O). Hal ini dibenarkan oleh Pan, Tomás dan Añón (2002) dan (Cabezas, Diehl dan Tomás, 2016) bahwa lesitin memiliki tingkat kestabilan yang tinggi dalam emulsi W/O. Adapun pada penggunaan Tween 80 dan gelatin hanya dipergunakan sebagai pembanding atas dasar tingkatan HLB yang berbeda pada emulsifikasi oleoresin lada tersebut. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa emulsi akan mulai terbentuk dengan baik pada penambahan emulsifier lesitin sebesar 7,5% dari total minyak dan emulsifier. Oleh karena itu nilai ini dijadikan nilai tengah dan digunakan konsentrasi rendah dan konsentrasi tinggi yaitu sebesar 5%, 7,5%, dan 10% dari jumlah total minyak dan oleoresin. Kecepatan pengadukan memiliki peranan penting dalam menentukan kestabilan sebuah emulsi. Penelitian Zehn (2016) mengungkapkan bahwa ada pengaruh antara kecepatan pengadukan dengan stabilitas emulsi yang ditunjukkan dengan keseragaman ukuran droplet emulsi. Berdasarkan penelitian tersebut
25 disimpulkan bahwa kecepatan pengadukan 20.000 rpm selama 10 menit menghasilkan emulsi dengan ukuran droplet yang paling kecil. 3.2 Hipotesis Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis sebgai berikut: emulsifier yang memiliki nilai HLB paling rendah akan dapat meghasilkan oleoresin dengan kestabilan yang paling baik.