I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali serta Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terdiri dari Pulau Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur. Dari kedua wilayah tersebut terdapat kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah. Sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Ketimpangan ini dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS pada tahun 2008 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan kegiatan ekonomi di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 58,79 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 23,29 persen, Kalimantan menguasai 10,51 persen, Sulawesi menguasai 4,21 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masing-masing hanya 1,35; 0,24; 1,60 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2008 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya; masih adanya kasus busung lapar yang diderita warga; tingginya angka kematian; kemiskinan dan keterisolasian; terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi;
masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas; bencana alam; masih rendahnya kualitas hidup masyarakat; serta masih rawannya ancaman separatisme. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi penyebab pembangunan di kawasan timur Indonesia berjalan lambat karena masih minimnya sarana dan prasarana/infrastruktur dasar, sumber daya manusia yang rendah, serta industrialisasi yang belum berkembang. Salah satunya dengan indikator nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator kualitas sumber daya manusia, terlihat pada Tabel 1. Ada perbedaan nilai rata-rata IPM pada wilayah barat sebesar 72,2 persen pada tahun 2008 dibandingkan pada wilayah timur yang hanya mencapai 68,6 persen. Pada wilayah barat, nilai IPM merata diatas 70 persen hampir di seluruh provinsi. Sedangkan pada wilayah timur, hanya Sulawesi dan Maluku yang mempunyai nilai IPM diatas 70 persen. Tabel 1 Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Wilayah Timur Indonesia Tahun 2004-2008 (%) PROVINSI IPM 2004 2005 2006 2007 2008 Nusa Tenggara Barat 60,6 62,4 63,0 63,7 64,1 Nusa Tenggara Timur 62,7 63,6 64,8 65,4 66,2 Sulawesi Utara 73,4 74,2 74,4 74,7 75,2 Sulawesi Tengah 67,3 68,5 68,8 69,3 70,1 Sulawesi Selatan 67,8 68,1 68,8 69,6 70,2 Sulawesi Tenggara 66,7 67,5 67,8 68,3 69,0 Gorontalo 65,4 67,5 68,0 68,8 69,3 Sulawesi Barat 64,4 65,7 67,1 67,7 68,6 Maluku 69,0 69,2 69,7 70,0 70,4 Maluku Utara 66,4 67,0 67,5 67,8 68,2 Papua Barat 63,7 64,8 66,1 67,3 68,0 Papua 60,9 62,1 62,8 63,4 64,0 Sumber : BPS (diolah) Ketersediaan infrastruktur dasar sangat penting karena dapat menunjang aktivitas perekonomian serta berperan dalam mengakselerasi pembangunan dalam suatu wilayah. Dengan adanya sarana infrastruktur yang memadai dapat menarik
investasi untuk masuk ke daerah tersebut sehingga dapat menjadi lebih cepat berkembang. Penyediaan sarana infrastruktur dasar ini dilakukan oleh pemerintah karena investasi ini membutuhkan dana yang sangat besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembaliannya sangat lama. Oleh sebab itu pemerintah berperan menanamkan investasi khususnya investasi publik, sebagai fungsi yang meliputi pengalokasian sumber daya, distribusi pendapatan hingga menciptakan stabilitas perekonomian. Investasi ini juga memiliki arti bahwa investasi dilakukan pada sektor publik yaitu sektor pelayanan pemerintah secara umum dan perusahaan non-keuangan seperti jasa transportasi; jalan kereta api, pesawat terbang atau jasa-jasa publik lainnya. Pada pelaksanaannya. investasi pemerintah berdampingan dengan investasi swasta. Investasi pemerintah sangat dibutuhkan sebagai stimulus investasi swasta, memberi arah. serta sasaran pembangunan bangsa sehingga mampu menangkap preferensi masyarakat demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan. Pengeluaran pemerintah yang digambarkan pada APBN/APBD yang bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam APBN/APBD terbagi atas dua kelompok utama yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dari keduanya, pengeluaran terbesar adalah pengeluaran rutin yaitu sekitar 60 persen terhadap total pengeluaran sementara 40 persennya digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meliputi belanja pegawai, barang, pemeliharaan. perjalanan dinas, pinjaman beserta bunga, dan subsidi yang kesemua jenis tersebut mempunyai sifat pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran pembangunan terbagi menurut sektor-sektor pembangunan yang lebih bersifat sebagai investasi atau modal pemerintah. Sejalan dengan semakin luas jangkauan lingkup pembangunan di daerah maka pengeluaran pemerintah secara total terus meningkat begitupun dengan pengeluaran pembangunan yang merupakan nilai investasi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia (Brata, 2002). Walaupun pemilihan prioritas investasi pemerintah tersebut merupakan permasalahan yang cukup sulit. pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut yang harus dikurangi
atau ditambah dalam menciptakan anggaran pembangunan yang efektif dan efisien. Dengan adanya otonomi daerah maka daerah memiliki kewenangan dalam menyusun anggaran terutama yang terkait dengan investasi pemerintah sehingga daerah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta investasi tersebut tepat guna. Tabel 2 Anggaran Belanja Rutin & Modal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2008 Provinsi Total Belanja (Jutaan Rupiah) Belanja Rutin Belanja Modal (%) Belanja Tak Terduga Nusa Tenggara Barat 4.667.453.49 78.52 20.97 0.51 Nusa Tenggara Timur 3.565.401.76 68.79 31.02 0.19 Sulawesi Utara 3.305.179.76 72.41 27.48 0.11 Sulawesi Tengah 3.491.374.39 69.70 30.08 0.22 Sulawesi Selatan 9.159.956.85 71.26 28.57 0.16 Sulawesi Tenggara 3.786.303.52 69.90 29.81 0.29 gorontalo 2.175.998.89 69.51 30.40 0.09 Sulawesi Barat 1.552.528.05 64.10 35.54 0.36 Maluku 2.183.557.76 68.29 31.31 0.39 Maluku Utara 2.483.503.63 61.92 37.69 0.39 Papua Barat 5.359.789.10 55.65 43.93 0.42 Papua 13.653.190.08 68.69 30.33 0.99 Sumber : Kemenkeu. (diolah) Pada Tabel 2 dapat dilihat besaran persentase pengeluaran rutin atau biasa disebut dengan belanja rutin dan pengeluaran pembangunan atau belanja modal dari keseluruhan total belanja daerah (APBD) pada provinsi di wilayah timur Indonesia. Secara total belanja rutin memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yaitu 68, 23 persen dan 31, 43 persen dengan 0, 34 persen belanja tak terduga. Terlihat pengeluaran pembangunan yang sangat kecil, hal ini membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah masih digunakan untuk membiayai kegiatan yang mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan yang bersifat operasional dan peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan terhadap masyarakat. Dengan kata lain pengeluaran yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan peningkatan output. Hal ini berarti
pengeluaran pemerintah berperan hanya dalam konsumsi, tidak atau belum dapat meningkatkan atau menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah barat Indonesia. Beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan di wilayah timur agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan yang terjadi tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010-2014 adalah dengan meningkatkan koordinasi antar-provinsi. daya saing serta perubahan manajemen publik yang responsif terhadap tantangan. potensi dan masalah daerah. Langkah ini memerlukan kesiapan pemerintah daerah yang bersangkutan (Nanga M, 2005), untuk itu diperlukan peranan pemerintah dalam hal ini APBD sebagai modal atau investasi publik dalam membangun daerah. Beberapa tahun terakhir ini. nilai pengeluaran pemerintah daerah di wilayah timur meningkat namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia tidak mengalami peningkatan sesuai yang direncanakan. 1.2. Perumusan Masalah Investasi merupakan salah satu komponen yang membentuk PDB yang mempunyai definisi modal yang digunakan seseorang atau perusahaan untuk memberikan manfaat di masa yang akan datang. Selama tahun 2000 hingga 2009, Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan investasi riil yang terus menurun. Hal ini merupakan masalah yang serius, karena apabila investasi turun maka kegiatan produksi secara nasional akan turun dan mengakibatkan secara langsung nilai output juga turun. Apabila nilai output ini turun terus menerus. akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam. Penurunan nilai investasi dapat kita lihat pada Gambar 1. Investasi menurut sumbernya dibagi menjadi dua kelompok yaitu investasi yang bersumber dari investor asing atau disebut dengan penanaman modal asing (PMB) dan yang bersumber dari dalam negeri (PMDN). Investasi menurut pelaku dikelompokkan menjadi dua. yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta dan sektor publik dalam hal ini pemerintah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah ini membuktikan peranan pemerintah yang aktif dalam perekonomian.
Gambar 1 Tingkat Pertumbuhan Investasi Riil Indonesia Tahun 2001-2009 (%). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Munnel AH, 1992 dan Perkins P, 2005). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama. dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya. yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah (Adi PH, 2006). Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di
daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia sehingga dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri? 2. Bagaimana peran investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia? 3. Bagaimanakah dampak investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan output di Kawasan Timur Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1. Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri. 2. Menganalisis peran investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama 2005-2009. 3. Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain. 1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia, baik itu kontribusinya maupun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia.
2. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan. wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang investasi pemerintah. 3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan agar lebih memprioritaskan dan menentukan apa yang akan dilakukan sehubungan dengan memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. 4. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang pengaruh investasi pemerintah terhadap pembangunan perekonomian. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada wilayah timur Indonesia dengan menggunakan data time series tahunan yaitu pada data ouput yang didekati dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan investasi pemerintah yang dimaksud adalah investasi yang didekati dengan menggunakan data belanja modal atau belanja pembangunan pada anggaran dan keuangan daerah yang di agregasi dari fiskal provinsi dan kabupaten/kota. Model yang digunakan yaitu analisis data panel dengan rentang waktu lima tahun antara tahun 2005 hingga 2009. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, data time series yang digunakan hanya tahun 2005 hingga 2009 karena keterbatasan data. Kedua, data investasi pemerintah yang digunakan hanya berasal dari investasi menurut wujudnya yaitu infrastruktur dan fisik karena lebih mudah terukur dan terdata. Ketiga, pembatasan investasi pemerintah menurut jenis yang dibelanjakan yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah investasi pemerintah dengan pendekatan pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah sebagai fiskal stimulus sesuai yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah masing-masing di wilayah KTI.