BAB V PENUTUP Dalam bab-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang dinamika proses penyetaraan gender di Swedia serta penjelasan di balik kebijakan parental leave dan perawatan anak. Bab ini akan memaparkan kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan oleh penulis. Penulis telah memaparkan bahwa isu ketimpangan relasi gender telah menjadi sorotan isu politik internasional. Dinamika politik internasional tidak hanya di dominasi oleh isu high politic, tetapi berbagai isu low politic pelan-pelan muncul di panggung politik global. Proses penyetaraan gender sampai saat ini terus berjalan di berbagai belahan dunia, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju. Saat ini, Swedia merupakan salah satu pemimpin dalam proses penyetaraan gender yang berlangsung di dunia, ini dibuktikan dengan berbagai rangking yang diperoleh Swedia dalam berbagai index dan penelitian mengenai proses penyetaraan gender di dunia. Tetapi, hal ini tidak dicapai Swedia secara instan. Sebelum tahun 1970-an, kondisi relasi gender di Swedia jauh berbeda dari Swedia sekarang. Sebelumnya pemerintah tidak menganggap isu kesetaraan gender menjadi isu penting dalam kehidupan politik Sw edia. Tetapi berkat, proses penyetaraan relasi gender yang terjadi di dekade sebelumnya, persepsi yang ada sebelumnya mulai berubah. Salah satu dasar dalam memperbaiki ketimpangan relasi gender ialah dengan memperbaiki kekuatan ekonomi wanita. Partisipasi wanita dalam sektor publik, dalam hal ini sektor ekonomi, menjadi sebuah indikator dalam melihat posisi kesetaraan gender yang ada di masyarakat. Dalam sejarahnya, wanita Swedia telah turut berpartisipasi dalam sektor ekonomi sejak dahulu. Iklim Eropa Utara yang keras masyarakat Swedia membuat wanita turut serta membantu para laki-laki untuk bercocok tanam. Pendeknya musim bercocok tanam membuat masyarakat Swedia pada saat itu harus bekerja dua kali lebih keras untuk mempertahankan keberlangsungan hidup me reka. Pada saat itu tidak ada perbedaan yang mendasar bagi pria dan wanita dalam pembagian kerja di ruang 57
publik. Situasi ini perlahan mulai berubah seiring waktu berlalu, mata pencaharian masyarakat Swedia bergeser dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pada awal abad 20, tren partisipasi tenaga kerja wanita di pasar tenaga kerja mulai terlihat, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor industri. Ekonomi Swedia terus berkembang di abad 20, tren partispasi tenaga kerja wanita juga terus menanjak, terutama pada periode pasca perang dunia. Perkembangan perekonomian dan sektor industri menimbulkan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar. Dengan minimnya arus imigrasi tenaga kerja wanita dilirik sebagai solusi dari masalah tersebut. Pem erintah juga mendukung tren ini dengan cara mengubah regulasi pajak yang kemudian memberikan keuntungan bagi wanita, terutama bagi wanita yang telah menikah dan berkeluarga, untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Sementara itu dalam sektor publik yang lain, yaitu sektor politik, wanita serta isuisu yang berkaitan mulai terlihat di kehidupan politik sehari-hari Swedia. Hal ini juga tidak terjadi secara instan, kaitan wanita dan politik di Swedia mempunyai fondasi pada akhir abad 19 dan awal abad 20 dengan gerakan wanita yang menuntut hak bersuara dan politik bagi semua para wanita Swedia. Setelah mendapatkan hak suara universal di tahun 1921, gerakan wanita menggeser fokusnya kepada representasi wanita di badan pemerintahan dan parlemen. Para wanita Swedia yang aktif dalam politik sadar akan pentingnya representasi wanita yang akan membawa kepentingan serta isu -isu wanita Swedia untuk dibicarakan di parlemen. Partai-partai politik juga membangun gerakan wanita di konstelasi internal partai mereka masing-masing sebagai salah satu cara menarik suara wanita dan perspektif baru dalam pembuatan kebijakan. Adanya persepsi baru bahwa isu kesetaraan gender bukan hanya isu wanita saja, tetapi juga isu pria. Persepsi ini mulai di adopsi oleh masyarakat dan pem erintah Swedia dalam melihat isu kesetaraan gender. Dalam skripsi ini, penulis berusaha menjelaskan bahwa kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan hasil dari proses penyetaraan gender yang telah berlangsung di Swedia serta alasan Swedia bisa m enjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. Berlawanan dengan pandangan awam yang mengatakan kebijakan parental leave dan perawatan anak sebagai sebuah pelopor dan memulai proses penyetaraan 58
gender di Swedia, jika ditelusuri lebih lanjut kebijakan-kebijakan bisa diluncurkan karena adanya proses penyetaraan gender yang telah berjalan sebelumnya, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Dengan melihat dari sisi historis, proses penyetaraan relasi gender di Swedia telah berjalan secara aktif di banding negara -negara lainnya dan hal itu yang menjadi sebuah fondasi utama pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut. Tujuan dari proses penyetaraan gender di Swedia ialah kepemilikan kekuasaan yang sama dalam membentuk kehidupan masyarakat dan individu masing-masing, maka dari itu penting bagi pria dan wanita untuk memiliki hak, kepentingan serta akses yang sama dalam kehidupannya. Proses penyetaraan gender yang terjadi membutuhkan perubahan yang terinstitusionalisasi yang berupa kebijakan dalam melindungi perjalanan proses tersebut dalam meraih gol akhirnya. Dalam konsep women-friendly state, disebutkan bahwa mobilisasi dari atas, yang berupa kebijakan yang terinstitusionalisasi merupakan respons dari mobilisasi dari bawah. Disini penulis melihat kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan bentuk mobilisasi dari atas atau state feminism yang merupakan jawaban pemerintah Swedia atas proses penyetaraan yang telah berlangsung. Kebijakan-kebijakan ini berhasil diterapkan di Swedia karena latar belakang historis, ekonomi, dan politik yang telah berlangsung sebelumnya. Kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan contoh kecil dalam masalah politik dan kebijakan gender. Namun, isu tersebut memberikan gambaran nyata mengenai dinamika politik serta usaha untuk memperjuangkan agenda feminis dari pihak-pihak yang terlibat. Kebijakan parental leave dan perawatan anak muncul sebagai sebuah hasil produk struktur institusi pemerintahan Swedia dalam mendukung proses penyetaraan relasi gender yang telah terjadi sebelumnya. Kebijakan-kebijakan ini berhasil diterapkan karena adanya perubahan yang signifikan baik dalam sektor publik, baik ekonomi maupun politik, dalam melihat isu-isu kesetaraaan. Selain itu, perubahan norma gender mulai terjadi di masyarakat Swedia dan menggeser isu-isu gender menjadi isu yang mempengaruhi pria dan wanita. Kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan upaya pemerintah agar masyarakat Swedia bisa mengombinasikan peran di area privat dan publik tanpa harus melihat gender individu. Bagi studi hubungan internasional, tulisan ini bisa menjadi pembelajaran 59
mengenai diskursus politik kebijakan gender. Masalah kebijakan gender serta isu-isu wanita tidak bisa lagi dipandang sebagai isu yang bersifat domestik. Isu gender yang telah berevolusi menjadi isu politik yang mendapat perhatian masyarakat internasional. Berbagai konferensi dan konvensi internasional mengenai masalah gender telah menjadi salah satu prioritas agenda tahunan negara-negara. Namun, banyak pihak masih mempertanyakan efektivitas dari struktur negara serta langkah yang dapat diambil dalam menyelesaikan masalah isu penyetaraan gender dan isu wanita. Sehingga, muncul gerakan-gerakan dari masyarakat sipil yang memberikan tekanan-tekanan politik terhadap usaha proses penyetaraan gender. Penulis melihat betapa pentingnya intervensi oleh pemerintah dengan menggunakan kebijakan publik untuk melindungi kelom pok yang termarjinalkan, dalam hal ini kaum wanita di lingkungan pasar tenaga kerja. Tujuan utama dari dua kebijakan itu ialah mendorong kaum perempuan untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja, tetapi secara tidak langsung rancangan dan bentuk kebijakan tersebut mengganggu budaya masyarakat patriarki yang mengakar di Swedia pada saat itu. Dengan implementasi kombinasi dua kebijakan ini berarti mayoritas wanita di Swedia bisa bergabung ke dalam pasar tenaga kerja sepanjang hidup mereka, dengan gangguan minor setelah proses melahirkan anak. Sekarang, perempuan di Swedia berpartisipasi dalam angkatan tenaga kerja lebih daripada negara-negara lain dan hal ini bisa terjadi karena adanya intervensi negara ke dalam ranah privat. Negara dan pemerintah dalam hal ini memberikan layanan sosial yang memungkinkan perempuan dan laki-laki bekerja. Layanan ini tidak hanya dirancang untuk memudahkan masuknya perempuan dan menjaga kelanjutan perempuan untuk tetap ada di pasar tenaga kerja, namun juga mendorong ayah untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurus anak-anak dan tugas dalam rumah tangga. Sistem pajak di Swedia juga memberi insentif bagi wanita dan pria untuk memiliki perkerjan berbayar di ranah publik karena pajak pendapatan pasangan suami-istri ditaksir secara indicidu di Swedia. Dalam kebijakan parental leave dan perawatan anak, penulis merasa bahwa kebijakan dan politik pemerintah Swedia bersifat lebih progresif dibandingkan opini publik yang ada pada saat itu, walaupun pada akhirnya dua kebijakan ini disambut dengan baik oleh masyarakat. Disini bisa menjadi pelajaran bahwa politisi dan pemerintah harus berani mendorong perjalanan masyarakat sipil dalam usaha penyetaraan relasi gender, secara hati-hati, 60
karena masyarakat sipil cenderung mendukung perubahan yang terjadi setelah kebijakan tersebut diperkenalkan. Pelajaran politik lain yang penulis dapatkan bahwa kebijakan yang bersifat women-friendly tidak hanya menguntungkan bagi para wanita tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan negara. Swedia berhasil memecahkan masalah dalam sektor ekonomi mengenai kebutuhan tenaga kerja dengan menggunakan dua kebijakan ini, tenaga kerja wanita Swedia yang pada saat itu tidak terutilisasi dengan baik berhasil didorong untuk memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja tanpa harus meningkatkan jumlah imigrasi untuk mencari tenaga kerja. Selain itu, berbeda dengan negara-negara modern yang memilki masalah mengenai tingkat fertilitas dan natalitas wanita di negara mereka, Swedia memiliki tingkat fertilitas dan partisipasi wanita di pasar tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding negara-negara maju lainnya. Keadaan ini bisa dikaitkan dengan sistem perawatan anak yang ekstensif dan minimnya rintangan bagi wanita yang memiliki karir untuk memulai keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan parental leave dan perawatan anak tidak hanya merupakan kebijakan untuk para wanita tetapi merupakan sebuah investasi sosial yang menguntungkan bagi masyarakat Swedia secara luas. Penulis menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya mengkaji kebijakan parental leave dan perawatan anak di Swedia. Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai tulisan yang terdapat dalam buku, jurnal ilmiah, dokumen pemerintah, serta artikel media massa. Masih terdapat berbagai aspek lain yang memungkinkan untuk dilakukannya penelitian lanjutan terkait dengan pertarungan kepentingan politik serta kebijakan dalam isu gender. Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat khususnya bagi ilmu hubungan internasional dan ilmu politik secara umum. 61