Dibalik Kebijakan Parental Leave dan Perawatan Anak: Swedia sebagai Women-Friendly State

dokumen-dokumen yang mirip
2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998).

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Kredo Tentang Perbedaan: Perempuan di Parlemen di Norwegia

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari. Akan tetapi wanita sendiri juga memiliki tugas

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

KISAH PILU KAUM PEREMPUAN INDONESIA SEPANJANG MASA Jumat, 23 Desember :17 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 23 Desember :20

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

2015 PENYESUAIAN PERANAN IBU BEKERJA DALAM KEHIDUPAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN. Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

BAB 5 PENUTUP. sebagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di wilayah Grobogan mampu

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

BAB II FINLANDIA DAN MASALAH KETIDAKADILAN GENDER. A. Hak Pilih Perempuan (Women Suffrage) sebagai Awal Mula Perwujudan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

Mobilisasi Sumber Daya untuk Transformasi Sosial: Tantangan Kita

PERGESERAN PERAN WANITA KETURUNAN ARAB DARI SEKTOR DOMESTIK KE SEKTOR PUBLIK

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Nilai sosial budaya dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia.

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

Budaya dan Komunikasi 1

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya jaman dan arus globalisasi membuat tidak sedikit

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

Pemberdayaan Peran Perempuan dalam Kegiatan Perdamaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam proses produksi masyarakat pantai dimana keterlibatan tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. dalam keluarga, dan pola pemikiran yang berbeda. Hal inilah yang secara tidak langsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. standar Internasional mengenai hak-hak perempuan dan diskriminasi peremupuan

AGENDA BESAR PEMBAHASAN PEREMPUAN DAN ISLAM DI INDONESIA

Bab 1. Pendahuluan. Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat. Kodrat itu antara lain; lahir,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

2015 PERANAN ALICE PAUL DALAM MEMPEROLEH HAK SUARA BAGI WANITA DI AMERIKA SERIKAT

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tingkat produktifitas maksimal. Persaingan yang ketat juga

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat membuat perempuan yang terlibat di dalam dunia politik ataupun

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Transkripsi:

BAB V PENUTUP Dalam bab-bab sebelumnya telah dijelaskan tentang dinamika proses penyetaraan gender di Swedia serta penjelasan di balik kebijakan parental leave dan perawatan anak. Bab ini akan memaparkan kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan oleh penulis. Penulis telah memaparkan bahwa isu ketimpangan relasi gender telah menjadi sorotan isu politik internasional. Dinamika politik internasional tidak hanya di dominasi oleh isu high politic, tetapi berbagai isu low politic pelan-pelan muncul di panggung politik global. Proses penyetaraan gender sampai saat ini terus berjalan di berbagai belahan dunia, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju. Saat ini, Swedia merupakan salah satu pemimpin dalam proses penyetaraan gender yang berlangsung di dunia, ini dibuktikan dengan berbagai rangking yang diperoleh Swedia dalam berbagai index dan penelitian mengenai proses penyetaraan gender di dunia. Tetapi, hal ini tidak dicapai Swedia secara instan. Sebelum tahun 1970-an, kondisi relasi gender di Swedia jauh berbeda dari Swedia sekarang. Sebelumnya pemerintah tidak menganggap isu kesetaraan gender menjadi isu penting dalam kehidupan politik Sw edia. Tetapi berkat, proses penyetaraan relasi gender yang terjadi di dekade sebelumnya, persepsi yang ada sebelumnya mulai berubah. Salah satu dasar dalam memperbaiki ketimpangan relasi gender ialah dengan memperbaiki kekuatan ekonomi wanita. Partisipasi wanita dalam sektor publik, dalam hal ini sektor ekonomi, menjadi sebuah indikator dalam melihat posisi kesetaraan gender yang ada di masyarakat. Dalam sejarahnya, wanita Swedia telah turut berpartisipasi dalam sektor ekonomi sejak dahulu. Iklim Eropa Utara yang keras masyarakat Swedia membuat wanita turut serta membantu para laki-laki untuk bercocok tanam. Pendeknya musim bercocok tanam membuat masyarakat Swedia pada saat itu harus bekerja dua kali lebih keras untuk mempertahankan keberlangsungan hidup me reka. Pada saat itu tidak ada perbedaan yang mendasar bagi pria dan wanita dalam pembagian kerja di ruang 57

publik. Situasi ini perlahan mulai berubah seiring waktu berlalu, mata pencaharian masyarakat Swedia bergeser dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pada awal abad 20, tren partisipasi tenaga kerja wanita di pasar tenaga kerja mulai terlihat, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor industri. Ekonomi Swedia terus berkembang di abad 20, tren partispasi tenaga kerja wanita juga terus menanjak, terutama pada periode pasca perang dunia. Perkembangan perekonomian dan sektor industri menimbulkan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar. Dengan minimnya arus imigrasi tenaga kerja wanita dilirik sebagai solusi dari masalah tersebut. Pem erintah juga mendukung tren ini dengan cara mengubah regulasi pajak yang kemudian memberikan keuntungan bagi wanita, terutama bagi wanita yang telah menikah dan berkeluarga, untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Sementara itu dalam sektor publik yang lain, yaitu sektor politik, wanita serta isuisu yang berkaitan mulai terlihat di kehidupan politik sehari-hari Swedia. Hal ini juga tidak terjadi secara instan, kaitan wanita dan politik di Swedia mempunyai fondasi pada akhir abad 19 dan awal abad 20 dengan gerakan wanita yang menuntut hak bersuara dan politik bagi semua para wanita Swedia. Setelah mendapatkan hak suara universal di tahun 1921, gerakan wanita menggeser fokusnya kepada representasi wanita di badan pemerintahan dan parlemen. Para wanita Swedia yang aktif dalam politik sadar akan pentingnya representasi wanita yang akan membawa kepentingan serta isu -isu wanita Swedia untuk dibicarakan di parlemen. Partai-partai politik juga membangun gerakan wanita di konstelasi internal partai mereka masing-masing sebagai salah satu cara menarik suara wanita dan perspektif baru dalam pembuatan kebijakan. Adanya persepsi baru bahwa isu kesetaraan gender bukan hanya isu wanita saja, tetapi juga isu pria. Persepsi ini mulai di adopsi oleh masyarakat dan pem erintah Swedia dalam melihat isu kesetaraan gender. Dalam skripsi ini, penulis berusaha menjelaskan bahwa kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan hasil dari proses penyetaraan gender yang telah berlangsung di Swedia serta alasan Swedia bisa m enjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. Berlawanan dengan pandangan awam yang mengatakan kebijakan parental leave dan perawatan anak sebagai sebuah pelopor dan memulai proses penyetaraan 58

gender di Swedia, jika ditelusuri lebih lanjut kebijakan-kebijakan bisa diluncurkan karena adanya proses penyetaraan gender yang telah berjalan sebelumnya, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Dengan melihat dari sisi historis, proses penyetaraan relasi gender di Swedia telah berjalan secara aktif di banding negara -negara lainnya dan hal itu yang menjadi sebuah fondasi utama pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut. Tujuan dari proses penyetaraan gender di Swedia ialah kepemilikan kekuasaan yang sama dalam membentuk kehidupan masyarakat dan individu masing-masing, maka dari itu penting bagi pria dan wanita untuk memiliki hak, kepentingan serta akses yang sama dalam kehidupannya. Proses penyetaraan gender yang terjadi membutuhkan perubahan yang terinstitusionalisasi yang berupa kebijakan dalam melindungi perjalanan proses tersebut dalam meraih gol akhirnya. Dalam konsep women-friendly state, disebutkan bahwa mobilisasi dari atas, yang berupa kebijakan yang terinstitusionalisasi merupakan respons dari mobilisasi dari bawah. Disini penulis melihat kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan bentuk mobilisasi dari atas atau state feminism yang merupakan jawaban pemerintah Swedia atas proses penyetaraan yang telah berlangsung. Kebijakan-kebijakan ini berhasil diterapkan di Swedia karena latar belakang historis, ekonomi, dan politik yang telah berlangsung sebelumnya. Kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan contoh kecil dalam masalah politik dan kebijakan gender. Namun, isu tersebut memberikan gambaran nyata mengenai dinamika politik serta usaha untuk memperjuangkan agenda feminis dari pihak-pihak yang terlibat. Kebijakan parental leave dan perawatan anak muncul sebagai sebuah hasil produk struktur institusi pemerintahan Swedia dalam mendukung proses penyetaraan relasi gender yang telah terjadi sebelumnya. Kebijakan-kebijakan ini berhasil diterapkan karena adanya perubahan yang signifikan baik dalam sektor publik, baik ekonomi maupun politik, dalam melihat isu-isu kesetaraaan. Selain itu, perubahan norma gender mulai terjadi di masyarakat Swedia dan menggeser isu-isu gender menjadi isu yang mempengaruhi pria dan wanita. Kebijakan parental leave dan perawatan anak merupakan upaya pemerintah agar masyarakat Swedia bisa mengombinasikan peran di area privat dan publik tanpa harus melihat gender individu. Bagi studi hubungan internasional, tulisan ini bisa menjadi pembelajaran 59

mengenai diskursus politik kebijakan gender. Masalah kebijakan gender serta isu-isu wanita tidak bisa lagi dipandang sebagai isu yang bersifat domestik. Isu gender yang telah berevolusi menjadi isu politik yang mendapat perhatian masyarakat internasional. Berbagai konferensi dan konvensi internasional mengenai masalah gender telah menjadi salah satu prioritas agenda tahunan negara-negara. Namun, banyak pihak masih mempertanyakan efektivitas dari struktur negara serta langkah yang dapat diambil dalam menyelesaikan masalah isu penyetaraan gender dan isu wanita. Sehingga, muncul gerakan-gerakan dari masyarakat sipil yang memberikan tekanan-tekanan politik terhadap usaha proses penyetaraan gender. Penulis melihat betapa pentingnya intervensi oleh pemerintah dengan menggunakan kebijakan publik untuk melindungi kelom pok yang termarjinalkan, dalam hal ini kaum wanita di lingkungan pasar tenaga kerja. Tujuan utama dari dua kebijakan itu ialah mendorong kaum perempuan untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja, tetapi secara tidak langsung rancangan dan bentuk kebijakan tersebut mengganggu budaya masyarakat patriarki yang mengakar di Swedia pada saat itu. Dengan implementasi kombinasi dua kebijakan ini berarti mayoritas wanita di Swedia bisa bergabung ke dalam pasar tenaga kerja sepanjang hidup mereka, dengan gangguan minor setelah proses melahirkan anak. Sekarang, perempuan di Swedia berpartisipasi dalam angkatan tenaga kerja lebih daripada negara-negara lain dan hal ini bisa terjadi karena adanya intervensi negara ke dalam ranah privat. Negara dan pemerintah dalam hal ini memberikan layanan sosial yang memungkinkan perempuan dan laki-laki bekerja. Layanan ini tidak hanya dirancang untuk memudahkan masuknya perempuan dan menjaga kelanjutan perempuan untuk tetap ada di pasar tenaga kerja, namun juga mendorong ayah untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurus anak-anak dan tugas dalam rumah tangga. Sistem pajak di Swedia juga memberi insentif bagi wanita dan pria untuk memiliki perkerjan berbayar di ranah publik karena pajak pendapatan pasangan suami-istri ditaksir secara indicidu di Swedia. Dalam kebijakan parental leave dan perawatan anak, penulis merasa bahwa kebijakan dan politik pemerintah Swedia bersifat lebih progresif dibandingkan opini publik yang ada pada saat itu, walaupun pada akhirnya dua kebijakan ini disambut dengan baik oleh masyarakat. Disini bisa menjadi pelajaran bahwa politisi dan pemerintah harus berani mendorong perjalanan masyarakat sipil dalam usaha penyetaraan relasi gender, secara hati-hati, 60

karena masyarakat sipil cenderung mendukung perubahan yang terjadi setelah kebijakan tersebut diperkenalkan. Pelajaran politik lain yang penulis dapatkan bahwa kebijakan yang bersifat women-friendly tidak hanya menguntungkan bagi para wanita tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan negara. Swedia berhasil memecahkan masalah dalam sektor ekonomi mengenai kebutuhan tenaga kerja dengan menggunakan dua kebijakan ini, tenaga kerja wanita Swedia yang pada saat itu tidak terutilisasi dengan baik berhasil didorong untuk memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja tanpa harus meningkatkan jumlah imigrasi untuk mencari tenaga kerja. Selain itu, berbeda dengan negara-negara modern yang memilki masalah mengenai tingkat fertilitas dan natalitas wanita di negara mereka, Swedia memiliki tingkat fertilitas dan partisipasi wanita di pasar tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding negara-negara maju lainnya. Keadaan ini bisa dikaitkan dengan sistem perawatan anak yang ekstensif dan minimnya rintangan bagi wanita yang memiliki karir untuk memulai keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan parental leave dan perawatan anak tidak hanya merupakan kebijakan untuk para wanita tetapi merupakan sebuah investasi sosial yang menguntungkan bagi masyarakat Swedia secara luas. Penulis menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya mengkaji kebijakan parental leave dan perawatan anak di Swedia. Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman penulis terhadap berbagai tulisan yang terdapat dalam buku, jurnal ilmiah, dokumen pemerintah, serta artikel media massa. Masih terdapat berbagai aspek lain yang memungkinkan untuk dilakukannya penelitian lanjutan terkait dengan pertarungan kepentingan politik serta kebijakan dalam isu gender. Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat khususnya bagi ilmu hubungan internasional dan ilmu politik secara umum. 61