BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kendari tahun anggaran Dengan adanya Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD yang mengamanatkan bahwa keterwakilan kuota 30% perempuan dalam pemilihan legislatif sudah dapat dijalankan pada pemilihan legislatif tahun Dipilihnya kajian pada periode karena keterwakilan 30% legislatif perempuan di Kota Kendari sudah terpenuhi secara kuantitas. Berbeda dengan periode sebelumnya, dimana sebelum adanya UU Nomor 10 tahun 2008 jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kendari dapat dikatakan jauh dari harapan untuk memenuhi kuota 30%. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPRD Kota Kendari,pada periode tahun dari 25 orang jumlah anggota DPRD terdapat empat orang (16%) perempuan. Yang idealnya saat itu anggota DPRD perempuan seharusnya berjumlah 6-7 orang. Kemudian, pada periode keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kendari terdapat 5 orang perempuan atau tetap mencapai (16%) dari 30 orang jumlah anggota DPRD, yang seharusnya berjumlah 8-9 orang. Pada periode , keterwakilan perempuan berjumlah 10 orang dari 30 kursi 1

2 yang disediakan. Dalam hal ini, jumlah anggota legislatif perempuan telah mencapai 33,3%. Munculnya UU Nomor 10 tahun 2008, merupakan indikasi bahwa pemerintah Indonesia sejak itu sudah mempunyai sensitivitas terhadap gender karena adanya kepedulian terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan. Sehingga dirasa sangat perlu adanya keterwakilan perempuan di dunia politik, dalam hal ini perempuan juga berhak mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisi strategis sebagai penentu kebijakan. Tentunya pemberian kuota ini, memberikan peluang besar agar tiap daerah mempersiapkan wakil-wakil perempuan yang dianggap berpotensi memberikan kontribusi nyata dalam pembuatan kebijakan pro gender. Isu gender ini sudah mendunia, dan sudah banyak konvensi-konvensi Internasional yang merespon tentang ketimpangan gender. Sudah banyak yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dan konvensi-konvensi Internasional. Ketimpangan gender ini ternyata dirasakan oleh pemerintah Indonesia khususnya di daerah, karena adanya budaya patriarkis yang terus melekat di masyarakat, yakni budaya dimana lelaki dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding wanita. Dengan demikian, pemerintah Indonesia terus meratifikasi konvensi hukum Internasional CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang sejalan dengan UU No.7/1984 tentang penghapusan diskriminasi. Konvensi tersebut telah diterima dan disahkan oleh Dewan Umum PBB pada tahun Sudah 35 tahun sejak disahkannya konvensi 2

3 tersebut, lebih dari 170 negara di dunia telah meratifikasinya. Konvensi ini bisa menjadi landasan untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberikan suara dan mencalonkan diri. Untuk memperkecil kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, pada tahun 2000, dikeluarkan Instruksi Presiden (lnpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Instruksi ini mengharuskan semua kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG). Sejak saat itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempercepat pelaksanaan PUG di berbagai bidang pembangunan, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah dokumen perencanaan pembangunan nasional. Pelaksanaan PUG harus terefleksikan dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran untuk menjamin agar perencanaan dan penganggaran yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah, organisasi profesi, masyarakat dan yang lainnya sudah responsif gender. Anggaran responsif gender disusun berdasarkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang dilakukan secara adil antara perempuan dan laki-laki. Artinya APBD yang disusun oleh pemerintah daerah yang bekerjasama dengan DPRD Kota Kendari semestinya mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan dan permasalahan pihak perempuan dan laki-laki, baik dalam proses penyusunannya hingga dalam pelaksanaan kegiatan. 3

4 Diakui bahwa dalam menjalankan fungsi anggaran DPRD, anggota legislatif tidak bekerja sendiri namun secara kolektif bersama-sama dengan pemerintah daerah. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan terpenuhinya kuota tersebut maka anggota legislatif selalu memasukkan isu gender pada saat pembahasan APBD Kota Kendari? Apakah anggaran yang dibuat mampu menjawab persoalan gender? Apakah DPRD Kota Kendari mempunyai sensitifitas terhadap isu gender? Apakah DPRD mampu menegaskan setiap SKPD agar membuat anggaran yang responsif gender? Persoalan kuota sebenarnya bukan menjadi tujuan, tetapi bagaimana menggunakan kuota dan tindakan afirmatif sebagai instrumen mencapai tujuan dan merespon persoalan masyarakat. Lembaga legislatif memiliki peran yang signifikan agar proposal anggaran yang diajukan pemerintah daerah dapat responsif gender. Dengan terpenuhinya kuota perempuan di DPRD Kota Kendari diharapkan dapat menyeimbangkan perannya dengan anggota legislatif laki-laki. Adanya anggota legislatif laki-laki dan perempuan diharapkan secara bersama-sama mendukung anggaran responsif gender dengan melakukan fungsi budgeter serta dapat mempengaruhi setiap tahapan perencanaan penganggaran daerah. Nordiawan, dkk (2007) menjelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang disingkat APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Tentu hal yang menarik untuk dikaji tentang APBD responsif gender yang disusun bersama-sama oleh DPRD Kota Kendari, sehingga ketimpangan gender yang selama ini ada bisa diketahui sumber masalah dan kendalanya yang ada di 4

5 tingkat daerah. Idealnya, jika APBD pro gender mampu disusun secara adil maka pemerintah daerah bisa menjalankan kegiatan untuk meminimalisir ketimpangan gender yang ada di tingkat daerah karena alokasi anggaran yang dikeluarkan cukup untuk memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan. Tulisan ini akan mencoba menganalisis isu tersebut, mengingat kedepan isu ini akan semakin menguat. Setidaknya ada beberapa alasan untuk kita ketahui bersama mengenai hal ini, yaitu : (1) Adanya tuntutan demokratisasi dan kuatnya gerakan gender yang mendorong pembagian peran yang lebih adil antara laki-laki dan perempuan; (2)Adanya persoalan mengenai kuota 30% untuk perempuan di parlemen sehingga peran perempuan diharapkan mampu mengatasi persoalan gender; (3) Adanya budaya patriarkis yang terus menghambat peran perempuan termasuk di bidang politik dan parlemen; (4) Masih minimnya lembaga di tingkat daerah yang melaksanakan Anggaran Responsif Gender, sehingga peran DPRD diharapkan mampu mengatasi persoalan ini. Oleh karena pentingnya isu tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Dampak Kuota 30% Perempuan di DPRD Kota Kendari terhadap Anggaran Responsif Gender pada APBD TA Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yakni : Bagaimana dampak kuota 30% perempuan di DPRD Kota Kendari terhadap anggaran responsif gender pada APBD TA ? 5

6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk memahami dampak kuota 30% perempuan di DPRD Kota Kendari dalam penyusunan APBD yang responsif gender TA Untuk mengetahui alokasi anggaran responsif gender pada struktur APBD Kota Kendari tahun anggaran Melihat sejauhmana capaian keberhasilan kuota 30% DPRD Kota Kendari dalam melaksanakan anggaran repsonsif gender. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasidan masukan bagi pemerintah Kota Kendari baik legislatif maupun eksekutif dalam menyusun APBD yang responsif gender. 2. Sebagai salah satu pendekatan dalam memberikan solusi pada permasalahan dan pertentangan mengenai kuota perempuan di parlemen. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dalam memahami bagaimana kebijakan publik responsif terhadap persoalan gender. Selain itu, sebagai sumbangan pemikiran tentang pengetahuan di bidang politik khususnya perempuan dan permasalahan gender di daerah. Serta bermanfaat dalam ranah ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik (Ilmu Administrasi Negara). 6

7 1.5 Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan di DPRD. Temuan ini berlatar belakang dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh lembaga penelitian Universitas Haluoleo (2009) tentang Studi Persepsi Perempuan tentang Undang-Undang Kuota 30% di Kota Kendari T.A Inti dari penelitian ini menjelaskan bahwa Persepsi perempuan di Kota Kendari walaupun mereka telah mendengar istilah Undang-Undang kuota 30% keterwakilan perempuan dan seluruhnya setuju dengan keberadaan undangundang tersebut, tetapi mereka belum sepenuhnya mengerti tentang maksud dan tujuan Undang-Undang tersebut. Walaupun kuota 30% telah terpenuhi pada periode , tetapi terdapat hambatan dalam mencapai keterwakilan perempuan dilegislatif. Hambatan terbesarnya adalah dukungan dan waktu untuk keluarga, kurangnya dukungan dana, serta elit partai yang masih mempunyai budaya patriarkis. Temuan penelitian lainnya yaitu pada Jurnal Perempuan yang dilakukan oleh Rosawati (2014) mengkaji tentang Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kabupaten Banyumas Periode Penelitian kualitatif ini, menggunakan pengukuran kinerja organisasi pada sektor publik ini yang meliputi enam aspek menurut Mahsun (2006), yaitu (1)Aspek masukan (Input); (2)Aspek proses (Process); (3)Aspek keluaran (Output); (4)Aspek hasil (Outcomes); (5)Aspek manfaat (Benefit); (6)Aspek dampak (Impact). Berdasarkan hasil penelitian Rosawati, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa peran dan kedudukan perempuan dalam lembaga legislatif selama 7

8 ini meskipun secara kuantitas bertambah, namun secara kualitas tidak banyak membantu mengatasi kondisi ketertindasan dan posisi marginal perempuan yang diwakilinya. Hal ini dikarenakan tidak ada peningkatan kualitas diri (kompetensi dan pengetahuan) dalam mengatasi isu-isu keperempuanan. Kemampuan mereka dalam membaca dan mengatasi masalah perempuan yang rendah mengakibatkan permasalahan yang terjadi tidak terselesaikan pada tataran legislasi. Melihat fakta tersebut maka perlu adanya peningkatan kompetensi dan kemampuan diri dalam mengatasi permasalahan perempuan. Penelitian lainnya yang juga relevan dengan penelitian ini adalah tentang Analisis Sensitif Gender dalam Anggaran Pendidikan (Studi Kasus Pemerintah Kota Jayapura) yang ditulis oleh Runruboy tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Alokasi anggaran belanja sektor pendidikan dalam APBD Pemerintah Kota Jayapura tahun masih relatif kecil (dibawah 10%) dengan kecenderungan dipergunakan untuk keperluan siswa, guru, dan pembangunan/rehabilitasi sekolah (proyek fisik). Disamping itu juga, pembangunan di bidang pendidikan Pemerintah Kota Jayapura masih sangat tergantung dengan bantuan dari APBN maupun APBD Provinsi Papua. 2) APBD Pemerintah Kota Jayapura tahun dalam pembangunan pendidikan dasar belum memenuhi ketiga kategori dalam anggaran yang sensitif gender, baik anggaran yang spesifik tergetter, alokasi anggaran untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan maupun pada kategori anggaran umum yang meanstreaming-pun belum dapat diwujudkan. Yang terjadi adalah anggaran yang bersifat netral gender. 8

9 Temuan lainnya pada penelitian Erviantono (2013) tentang Implementasi Kebijakan Gender Budgeting di Tingkat Lokal, Tinjauan Anggaran Responsif Gender pada Struktur APBD Provinsi Bali Tahun Anggaran Kesimpulan dari penelitian ini adalah kenyataan minimnya alokasi anggaran yang berbasis pengarusutamaan gender, karena selain masih sedikitnya perempuan pada eselon strategis, para pengambil keputusan, termasuk top manajemen (kepala daerah) cenderung masih berpikir sektoral dalam penanganan persoalan kesetaraan gender maupun pemberdayaan perempuan. Padahal pengelolaan atas persoalan ini sifatnya harus holistik yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN yang menetapkan gender sebagai isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan. Temuan lainnya yang juga relevan dengan penelitian ini yaitu tentang Evaluasi Anggaran Responsif Gender Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun oleh Hastuti (2010). Penelitian ini menemukan bahwa berdasarkan pengalokasian dan jumlah anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan Kota Surakarta tahun belum mendapatkan alokasi yang memadai dan terus mengalami penurunan yang berakibat pada output dan outcome kegiatan menjadi tidak tercapai. Hasil-hasil studi terdahulu sebagaimana disebutkan di atas sangat memberi kontribusi dalam memetakan anggaran responsif gender di berbagai daerah dan dapat digunakan sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan yang responsif gender. namun demikian hasil studi tersebut belum memotret secara spesifik tentang bagaimana andil para anggota legislatif yang memenuhi kuota 30% dalam 9

10 melaksanakan fungsi budgeternya yakni melaksanakan anggaran responsif gender. Studi ini memiliki keaslian karena menganalisis dampak dari adanya kuota 30% perempuan terhadap anggaran responsif gender pada struktur APBD Kota Kendari, dinamika anggaran responsif gender pada tiap tahunnya, serta menjelaskan berhasil atau gagalnya DPRD dalam mengawal anggaran responsif gender. Dengan studi ini diharapkan dapat merancang upaya-upaya strategis yang perlu dilakukan daerah khususnya DPRD dalam mengadopsi nilai-nilai kesetaraan gender dalam kebijakan-kebijakan mereka serta mengimplementasikannya dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pada APBD. 10