BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PROFIL PENYANDANG EPILEPSI DI POLIKLINIK SARAF RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO PERIODE JUNI 2013 MEI 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia mempunyai dua faktor yang berpengaruh besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

DRUGS USED IN EPILEPSI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. panjang dengan rata-rata 44 juta kecacatan, dengan memberi dampak emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. setelah penyakit jantung dan kanker (World Health Organization (WHO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

Epilepsi (Epilepsy, Ayan)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Profil Penggunaan Obat Sistem Saraf Pusat (SSP) Pada Pasien BPJS Di Apotik Rawat Jalan RSUD Labuang Baji Makassar. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sama, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi

I. PENDAHULUAN. fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat dalam detik

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5%

BAB I PENDAHULUAN. degeneratif seperti jantung koroner dan stroke sekarang ini banyak terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu

BAB II TINJAUAN TEORI. listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR...

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Corwin (2009) menyatakan dalam Buku Saku

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. juga perlu, seperti halnya di Negara berkembang seperti Indonesia banyak orang yang

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Fellow Clinical Neurophysiology UMC Utrecht The Netherlands

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (2001) stroke adalah tanda tanda klinis mengenai gangguan

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA KAJIAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN FENITOIN, KARBAMAZEPIN, DAN ASAM VALPROAT TUNGGAL TERHADAP OUTCOME PASIEN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara

BAB I PENDAHULUAN. namun juga sehat rohani juga perlu, seperti halnya di negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia. pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Epilepsi sebelumnya telah didefinisikan sebagai setidaknya terjadi kejang sebanyak dua kali yang tak beralasan dengan kejadian lebih dari 24 jam ( Fisher et al, 2016). Epilepsi didefinisikan sebagai kejadian berulang secara tiba-tiba yang ditandai oleh kejang dengan kompleks gejala yang heterogen. Bangkitan berlebih secara serebral pada neuron mengakibatkan gangguan kesadaran, gangguan sensasi, pergerakan, penurunan nilai fungsi mental, atau kombinasi dari berbagai gangguan tersebut. Karena sifatnya yang mendadak, kejang disebut sebagai peristiwa ictal. Ictal berasal dari bahasa Latin yaitu ictus yang berarti 'menyerang'. Secara istilah yaitu Epilepsi, bangkitan, atau seizure. Kejang merupakan gejala fungsi abnormal pada sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi karena kelainan lepas muatan (discharge) pada neuron-neuron serebrum (Bowman et al, 2015). Epilepsi bukanlah bentuk tunggal, melainkan suatu kumpulan beberapa jenis bangkitan kejang dan sindrom yang bersumber dari beberapa mekanisme dengan kesamaan dalam hal muatan neuron serebrum yang bersifat tiba-tiba, berlebihan, dan muatan yang sinkron (Williams & Wilkins, 2009). Epilepsi merupakan suatu kondisi neurologis yang umum dengan prevalensi di seluruh dunia sekitar 1% dengan perkiraan kejadian 50 per 100.000 orang. Sekitar 60% sampai 70% penderita epilepsi akan mendapatkan terapi jangka panjang untuk kejang, dan sebagian besar akan mengalami pengurangan gejala segera setelah memulai pengobatan antiepilepsi (Nevitt et al, 2017). Survei yang telah dilakukan oleh Epilepsy Innovation Institute dari 76% responden di Amerika didapatkan bahwa penderita epilepsi paling banyak ditemukan pada tipe Generalized Epilepsy dan Focal Epilepsy. Epilepsi dinyatakan sebagai kelainan otak kronik yang paling umum terjadi di dunia dan dapat menyerang manusia dari segala umur. 1

2 Pengobatan yang diberikan sangat berpengaruh pada kondisi pasien. Hal ini di terdapat lebih dari 50 juta orang diseluruh dunia menderita epilepsi dan 80% diantaranya adalah negara berkembang. perkirakan sebanyak 70% penderita epilepsi dapat bebas dari kejang karena terapi yang diberikan. Akan tetapi, sekitar tiga seperempat orang di negara berkembang tidak mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan (WHO, 2017). Prevalensi epilepsi di Indonesia sekitar 0,5% sampai 4%. Hal ini menunujukkan jika total populasi penduduk Indonesia Indonesia ± 220 juta maka jumlah penderita epilepsi adalah kira-kira sekitar 1,1-8,8 juta (Pandaf et al, 2014). Pada kasus epilepsi terjadi penurunan aktivitas sinaps inhibitori yaitu GABA yang merupakan neurotransmiter penghambatan utama, atau peningkatan aktivitas sinaps eksikatori yaitu glutamat yang merupakan neurotransmiter eksikatori utama yang diduga dapat memicu suatu serangan kejang dalam sistem neurotansmisi pada otak (Rogers and Cavazos, 2011). Akan tetapi pada beberapa kejadian penyebabnya sering tidak diketahui (Richardson, 2014). Pada beberapa kasus epilepsi dapat disebabkan oleh keadaan otak seperti tumor atau abses, cedera kepala, stroke, atau ketidakseimbangan kimiawi. Kejang epilepsi dapat menyeluruh atau sebagian, tergantung pada seberapa banyak gangguan otak akibat aktivitas listrik tidak normal (parker, 2013). Peneletian lain menyebutkan bahwa orang dengan epilepsi terjadi jenis kelainan imunologi, seperti tingkat serum imunoglobulin A (IgA) rendah, kurangnya subkelas imunoglobulin G (IgG) dan identifikasi jenis antibodi tertentu (Geng et al, 2017). Penyebab epilepsi sangat menentukan mortalitas dan morbiditas pasien, Penyebab spesifik harus dicari dan diobati untuk mencegah terjadinya kerusakan neuron dan kejang dapat terkontrol. Penyebab tersering adalah epilepsi simtomatik (33%) dan kejang demam lama yang (32%) (Mangunatmadja, 2013). Serangan kejang merupakan tanda utama penyakit epilepsi. Manifestasi klinis epilepsi tergantung pada jenis kejang yang timbul sesuai dengan bagian otak yang terkena dampaknya (Ikawati, 2011). Pada tahun 2017 International Classification of Epileptic Seizures telah mengklasifikasi epilepsi menjadi beberapa tingkatan yaitu, kejang fokal yang dikategorikan sebagai motorik (dengan subkelompok otomatisme, atonik, klonik, kejang epilepsi, hiperetik, mioklonik, tonik), nonmotorik (dengan subkelompok otonom, penangkapan perilaku, kognitif, emosional,

3 sensorik), dan fokus pada bilateral tonik-klonik. Kejang umum dikategorikan sebagai motorik (tonik-klonik, klonik, tonik, myoclonic, myoclonic-tonic-clonic, myoclonic-atonic, atonic, epilepsi spasme) dan non-motor atau absen (miokliko tipikal, atipikal, myoclonic, eyelid myoclonia). Revisi klasifikasi ini memungkinkan jenis kejang fokal baru dan beberapa kejang umum baru, dan mengklarifikasi istilah yang digunakan untuk menyebutkan kejang (Fisher, 2017). Selain itu, menurut International League Against Epilepsy (ILAE) perubahan dilakukan untuk membantu dalam mendiagnosis dan menentukan terapi yang tepat dan lebih akurat. Tujuan utama terapi epilepsi tidak hanya menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan, tapi juga mencegah timbulnya efek samping dan mencegah komplikasi sehingga tercapai kualitas hidup yang optimal bagi penderita. Terapi utama pada epilepsi adalah penggunaan obat anti epilepsi (OAE). Obat antiepilepsi yang paling sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin dan asam valproat (Vera, 2014). Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul (PERDOSSI, 2013). Karbamazepin dan Fenitoin adalah obat antiepilepsi spektrum luas yang umum digunakan, cocok untuk sebagian besar jenis kejang epilepsi. Karbamazepine adalah pengobatan lini pertama saat ini untuk serangan onset parsial di Amerika Serikat dan Eropa. Fenitoin tidak lagi dianggap sebagai pengobatan lini pertama karena kekhawatiran akan efek samping yang terkait dengan penggunaannya, namun obat tersebut masih umum digunakan di negara berkembang sampai menengah karena harganya yang relatif rendah. Tidak ada perbedaan keberhasilan yang bermakna antara karbamazepine dan fenitoin pada percobaan individu (Marson et al,2015). Fenitoin merupakan obat golongan hidantoin yang banyak diresepkan untuk pengobatan epilepsi umum maupun parsial. Fenitoin juga merupakan terapi lini pertama untuk pengobatan epilepsi karena sifatnya yang amat potensial dan ekonomis (Utomo,2011). Fenitoin menghambat kanal natrium dengan berikatan

4 secara selektif dengan kanal tersebut dalam keadaan tidak aktif dan memperlambat laju pemulihannya. Pada konsentrasi yang sangat tinggi, fenitoin dapat menghambat kanal kalsium yang dapat mengganggu pelepasan neurotransmiter monoaminergik. Fenitoin efektif untuk terapi kejang parsial dan kejang tonikklonik umum, serta status epileptikus (Williams & Wilkins, 2009). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Li JN et al dengan judul Perbandingan Efetivitas dan Keamanan dari Levetiracetam dan Fenitoin Sebagai Terapi Untuk Pasien Epilepsi karena Cedera Otak yaitu dengan meneliti pasien dengan penderita epilepsi sebanyak 529 pasien dari tahun 2000 sampai 2016 didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifkan dari kedua obat tersebut. Akan tetapi fenitoin tetap menjadi pilihan lini pertama untuk bebas dari kejang setelah cedera otak (Li JN, 2016). Studi lain yang dilakukan oleh Tiamkao et al dengan judul Efikasi Asam Valproat dan Fenitoin Secara Intravena Sebagai Lini Pertama Untuk Terapi Status Epilepsi yaitu dengan meneliti pasien dengan diagnosa status epilepsi yang terjadi sejak 2003 hingga 2010 dengan usia pasien diatas 15 tahun, 37 pasien diberi terapi fenitoin dan 17 pasien diberi asam valproat, dimana semua pasien telah mendapat terapi diazepam 10 mg secara intravena sebelum mendapat obat antiepilepsi. Dari hasil studi tersebut tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada dua kelompok yang mendapat terapi fenitoin dan asam valproat, sehingga keduanya dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan diagnosa status epilepsi dengan tidak adanya kelainan kardiovaskuler (Tiamkao et al, 2013). Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilakukan sebuah studi mengenai pola penggunaan fenitoin meliputi dosis, cara penggunaan dan aturan pemakaian obat pada penderita epilepsi di Instalasi Rawat Inap RSUD Sidoarjo. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana pola penggunaan fenitoin pada pasien epilepsi di Instalasi Rawat Inap RSUD Sidoarjo?

5 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pola penggunaan fenitoin pada pasien epilepsi di Instalasi Rawat Inap RSUD Sidoarjo, sehingga dapat memberikan informasi mengenai penggunaan fenitoin bagi klinisi yang memerlukan. 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui profil penggunaan fenitoin meliputi jenis dosis, interval dan rute penggunaan obat yang diberikan terkait data laboratorium dan data klinik. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Bagi RSUD Sidoarjo Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola penggunaan fenitoin pada pasien epilepsi sehingga mampu memberikan masukan kepada instalasi terkait di Instalasi Rawat Inap RSUD Sidoarjo. 1.4.2 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi media informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mendukung pelaksanaan pelayanan farmasi klinis, terutama untuk pasien epilepsi yang mendapat terapi fenitoin secara maksimal.