HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. dengan kuantitas berbeda dilaksanakan di kandang Laboratorium Produksi Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. Materi. Metode

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. pisang nangka diperoleh dari Pasar Induk Caringin, Pasar Induk Gedebage, dan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

Kombinasi Pemberian Starbio dan EM-4 Melalui Pakan dan Air Minum terhadap Performan Itik Lokal Umur 1-6 Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga

MATERI. Lokasi dan Waktu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2016.Lokasi penelitian di

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

MATERI DA METODE. Lokasi dan Waktu

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

BAB III METODE PENELITIAN. konversi pakan ayam arab (Gallus turcicus) ini bersifat eksperimental dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak (KTT) Manunggal

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kecernaan dan Deposisi Protein Pakan pada Sapi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III MATERI DAN METODE. Lokasi yang digunakan dalam penelitian adalah Laboratorium Ilmu Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi ph Produksi Biomineral Cairan Rumen Pengasaman (asidifikasi) pada proses produksi biomineral cairan rumen bertujuan untuk pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya. Pengasamanan dalam penelitian ini menggunakan pelarut asam organik HCl dengan level ph 3,5; 4,5; dan 5,5. Rataan bobot endapan, kadar bahan kering endapan dan kadar abu biomineral cairan rumen dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Level ph Pengasaman Terhadap Bobot Endapan, Kadar BK dan Kadar Abu Cairan Rumen Level ph Bobot Endapan (gram/100 ml) Kadar Bahan Kering (%) Kadar Abu Endapan (%) 3,5 1,52±0,19 89,24±0,32 a 17,09±4,39 A 4,5 1,65±0,49 87,08±0,30 a 23,70±5,43 A 5,5 2,02±0,07 93,15±3,02 b 39,02±6,78 B Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangta nyata (P<0,01). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat ph pada proses pengasaman secara nyata (P<0,05) mempengaruhi kadar BK endapan dan sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi kadar abu endapan cairan rumen, sedangkan bobot endapan yang terbentuk tidak terpengaruh oleh perbedaan level ph. Kadar bahan kering dan kadar abu endapan meningkat pada level ph pengasaman 5,5. Sementara itu, secara statistik tidak terdapat perbedaan antara level ph pengasaman 3,5 dan 4,5. Kadar bahan kering endapan cairan rumen pada level ph 5,5 meningkat sebesar 4,38% dibandingkan level ph 3,5 dan meningkat sebesar 6,97% dibandingkan level ph 4,5. Peningkatan kadar abu endapan pada level ph 5,5 dibandingkan level ph lainnya sebesar 128,32% (ph 3,5) dan 64,64% (ph 4,5). Pengasaman dengan penambahan larutan HCl menurunkan ph cairan rumen hingga mendekati ph isoelektrik (pi) protein mikroba rumen. Pada ph isoelektrik (pi) protein sangat mudah diendapkan karena pada saat itu muatan listriknya nol. Semakin jauh perbedaan ph dari titik isoelektrik semakin tinggi kelarutan protein dan semakin rendah endapan terbentuk (Autran, 1996). Kadar bahan kering dan

kadar abu endapan yang lebih tinggi pada pengasaman dengan ph 5,5 dibandingkan ph 3,5 dan 4,5 menunjukkan bahwa ph pengasaman 5,5 merupakan ph yang paling mendekati titik isoelektrik atau ph optimal dalam produksi biomineral cairan rumen. Dengan demikian produksi biomineral dalan penelitian ini menggunakan ph pengasaman pada level 5,5. Kandungan Zat Makanan Biomineral Cairan Rumen Perbandingan kandungan zat makanan biomineral cairan rumen origin maupun yang telah diperkaya dengan bahan carrier dapat dilihat pada Tabel 6. Penambahan bahan carrier pada biomineral origin (asli) meningkatkan kadar bahan kering sebesar 5,81%. Selain itu, penambahan bahan carrier mengakibatkan penurunan kadar semua zat makanan kecuali bahan ekstrak tanpa N (BETN) yang mengalami kenaikan sangat tinggi dari 20,46% menjadi 79,14% atau kenaikan sebesar 286,8%. Penambahan tepung terigu dan agar sebagai bahan carrier menyebabkan peningkatan yang sangat tinggi pada kandungan BETN biomineral. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan karbohidrat mudah tercerna pada tepung terigu dan agar. Secara umum nampak jelas bahwa penambahan bahan carrier sangat signifikan meningkatkan kandungan bahan organik biomineral cairan rumen. Semakin tinggi kandungan bahan organik berarti semakin tinggi pula tingkat kecernaannya. Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Biomineral Cairan Rumen Origin dan dengan Penambahan Bahan Carrier Zat Makanan Perlakuan Bahan Kering (%) 1 90,13 96,04 Abu (% BK) 1 38,85 4,18 Protein Kasar (% BK) 1 23,84 14,11 Lemak Kasar (% BK) 1 12,26 1,09 Serat Kasar (% BK) 1 4,59 1,48 BETN (% BK) 1 20,46 79,14 BO Keterangan: BO = Biomineral cairan rumen origin (tanpa penambahan bahan carrier), BC = Biomineral cairan rumen dengan penambahan bahan carrier. 1 Hasil analisa Laboratorium Pusat Penelitian Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor (2008). BC

Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 7. Penambahan suplemen mineral baik mineral komersil maupun biomineral cairan rumen ke dalam ransum basal memberikan perubahan pada komposisi zat makanan. Secara umum terjadi kenaikan pada kandungan protein kasar, penurunan pada bahan ekstrak tanpa nitrogen dan lemak kasar serta variasi peningkatan dan penurunan pada serat kasar dan abu. Ketidakseragaman kandungan zat makanan dari keenam ransum perlakuan sangat dimungkinkan karena kekuranghomogenan dalam proses pencampuran ransum. Tabel 7. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan Zat Makanan Ransum Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 Bahan Kering (%) 1 89,57 92,02 90,84 88,25 89,08 91,91 Abu (% BK) 1 4,23 4,89 4,54 4,69 5,35 5,85 Protein Kasar (% BK) 1 20,44 20,98 20,08 22,10 20,13 22,15 Lemak Kasar (% BK) 1 8,40 8,00 8,34 8,32 8,11 7,80 Serat Kasar (% BK) 1 3,30 3,15 3,49 3,46 3,20 3,44 BETN (% BK) 1 63,63 62,98 63,55 61,43 63,21 60,76 Keterangan: R0 = Ransum basal; R1 = R0 + 1% mineral komersil; R2 = R0 + 0,5% biomineral cairan rumen; R3 = R0 + 1% biomineral cairan rumen; R4 = R0 + 1,5% biomineral cairan rumen; R5 = R0 + 2% biomineral cairan rumen. 1 Hasil analisa Laboratorium Pusat Penelitian Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor (2008). Penambahan suplemen mineral ke dalam ransum kontrol mengakibatkan peningkatan kadar abu pada semua ransum perlakuan. Peningkatan kadar abu ransum perlakuan pada R1, R2, R3, R4, dan R5 terhadap ransum kontrol (R0) masingmasing sebesar 15,6; 7,33; 10,88; 26,48 dan 38,3%. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa suplementasi mineral baik mineral komersial anorganik maupun dengan biomineral cairan rumen dengan level bertahap dari 0,5% hingga 2% terbukti meningkatkan kandungan mineral ransum perlakuan yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar abu. Kandungan protein kasar untuk masing-masing ransum perlakuan adalah 20,54 (R0), 20,98 (R1), 20,08 (R2), 22,10 (R3), 20,13 (R4), dan 22,15% (R5). Hal

ini memperlihatkan bahwa ransum perlakuan telah memenuhi rekomendasi NRC (1978) sebesar 12% serta kisaran yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebesar 20-25%. Kandungan lemak kasar ransum perlakuan berkisar antara 7,8% (R5) hingga 8,4% (R0). Nilai ini berada di atas kebutuhan yang direkomendasikan NRC (1978) sebesar 5% dan berada pada kisaran yang disarankan oleh Malole dan Pramono (1989) sebesar 5-15%. Tingginya kandungan lemak ini diduga berasal dari tingginya penggunaan CPO sebagai bahan penyusun ransum yang mencapai level 5%. Kandungan serat kasar yang terdapat pada keenam ransum perlakuan berada pada kisaran 3,15% (R1) 3,49% (R2). Kandungan bahan eksrak tanpa nitrogen (BETN) cenderung mengalami kenaikan dengan perlakuan suplementasi mineral pada ransum basal. Ransum kontrol (R0) memiliki kandungan tertinggi sebesar 63,63% sedangkan kandungan BETN terendah ditunjukkan oleh R5 sebesar 60,76%. Nilai kandungan serat kasar dan BETN pada keenam ransum perlakuan seperti disebutkan di atas masih berada pada batas toleransi kebutuhan yang disarankan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu maksimal 5% untuk serat kasar dan 45-50% untuk BETN. Serat kasar dan BETN merupakan zat makanan yang tergolong ke dalam karbohidrat. Akan tetapi keduanya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap daya cerna ternak akan suatu bahan makanan. Serat kasar merupakan fraksi karbohidat yang susah tercerna terutama bagi ternak monogastrik sehingga keberadaannya cenderung menurunkan kecernaan. Sebaliknya, BETN adalah fraksi karbohidrat mudah tercerna dan mudah dimanfaatkan ternak. Tinggi rendahnya nilai BETN umumnya berbanding lurus dengan tingkat kecernaan suatu bahan makanan. Konsumsi Segar, Bahan Kering dan Bahan Organik Rataan konsumsi segar, bahan kering, dan bahan organik ransum selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Konsumsi Segar Ransum Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor perlakuan suplementasi mineral secara nyata (P<0,05) mempengaruhi konsumsi segar ransum. Nilai rataan konsumsi segar untuk keenam ransum perlakuan berkisar antara 9,91-12,74 g/ekor/hari. Konsumsi ransum menurun dengan penambahan biomineral cairan rumen pada

taraf 0,5% (R2) dan 1,5% (R4) dibandingkan ransum kontrol (R0). Sementara itu, ketiga perlakuan yang lainnya menunjukkan tingkat konsumsi yang relatif sama bahkan secara deskriptif cenderung meningkat dibandingkan ransum kontrol. Besarnya nilai penurunan dibandingkan ransum kontrol adalah 16,25% untuk R2 dan 11,85% untuk R4. Penurunan ini menunjukkan tingkat palatabilitas yang menurun pada R2 dan R4. Tabel 8. Konsumsi Segar, Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Selama Penelitian Faktor A Faktor B (Jenis Kelamin) (Ransum Perlakuan) B1 (Jantan) B2 (Betina) Rataan ±sd Konsumsi Segar (g/ekor/hari) A1 11,22 12,44 11,83± 0,86 a A2 13,93 10,91 12,42± 2,14 a A3 7,94 11,87 9,91± 2,78 b A4 13,76 11,72 12,74± 1,44 a A5 11,34 9,52 10,43± 1,29 b A6 14,17 10,63 12,40± 2,50 a Rataan ±sd 12,06± 2,41 11,18± 1,05 11,62± 2,66 Konsumsi BK (g/ekor/hari) A1 10,02 11,1 10,56± 0,76 a A2 12,67 9,91 11,29± 1,95 a A3 7,15 10,7 8,93± 2,51 b A4 11,96 10,47 11,22± 1,05 a A5 10,24 8,6 9,42± 1,16 b A6 12,89 9,67 11,28± 2,28 a Rataan ±sd 10,82± 2,17 10,08± 0,89 10,44± 2,40 Konsumsi BO (g/ekor/hari) A1 9,54 10,58 10,06± 0,73 a A2 12,05 9,43 10,74± 1,85 a A3 6,83 10,21 8,52± 2,39 b A4 11,40 9,98 10,69± 1,00 a A5 9,69 8,14 8,91± 1,10 b A6 12,14 9,10 10,62± 2,14 a Rataan ±sd 10,27± 2,03 9,57± 0,88 9,92± 2,28 Keterangan: A1 = Ransum kontrol (R0); A2 = R0 + 1% mineral komersil; A3 = R0 + 0,5% biomineral cairan rumen; A4 = R0 + 1% biomineral cairan rumen; A5 = R0 + 1,5% biomineral cairan rumen; A6 = R0 + 2% biomineral cairan rumen; B1 = ternak jantan; B2 = ternak betina. Superskrip huruf kecil yang berbeda untuk faktor perlakuan yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). BK = Bahan Kering; BO = Bahan Organik Penurunan tingkat palatabilitas pada R2 dan R4 dibandingkan ransum kontrol disebabkan oleh lebih rendahnya kandungan protein kasar ransum perlakuan R2 dan R4 dibandingkan R0. Parakkasi (1998) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ternak adalah kualitas pakan. Nilai protein kasar

seringkali digunakan sebagai indikator tinggi rendahnya kualitas pakan. Semakin tinggi nilainya maka semakin baik kualitasnya. Hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin terbukti tidak mempengaruhi konsumsi segar ransum. Tikus jantan maupun betina menunjukkan tingkat konsumsi ransum yang relatif sama. Rataan konsumsi segar untuk ternak jantan adalah 12,06 g/ekor/hari sedangkan betina 11,18 g/ekor/hari. Terdapat interaksi yang sangat nyata (P<0,01) antara faktor suplementasi mineral dengan jenis kelamin. Suplementasi mineral menunjukkan respon yang berbeda pada ternak jantan dan betina. Pada tikus jantan, suplementasi mineral memberikan efek positif dengan meningkatkan konsumsi segar ransum kecuali pada R2 (penambahan 0,5% biomineral cairan rumen) yang justru menurunkan tingkat konsumsi. Sebaliknya pada tikus betina suplementasi mineral justru menurunkan tingkat konsumsi segar ransum. Konsumsi Bahan Kering Konsumsi bahan kering menunjukkan nilai sebenarnya dari kandungan zat makanan ransum yang dikonsumsi ternak. Konsumsi bahan kering diperoleh dengan mengalikan antara konsumsi ransum dengan kadar bahan kering ransum. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor perlakuan suplementasi mineral ke dalam ransum memberikan efek nyata terhadap nilai konsumsi bahan kering ransum (P<0,05). Nilai rataan konsumsi bahan kering keenam ransum perlakuan berkisar antara 8,93-11,29 g/ekor/hari. Perbedaan nyata ditunjukkan dengan penurunan nilai konsumsi bahan kering pada R2 dan R4, dengan nilai penurunan masing-masing sebesar 15,48 dan 10,82% dibandingkan ransum kontrol. Hal ini sejalan dengan penurunan pada peubah konsumsi segar ransum. Kadar bahan kering keenam ransum perlakuan yang relatif sama memungkinkan hal ini terjadi. Seperti halnya pada peubah konsumsi segar ransum, rataan nilai konsumsi bahan kering ransum antara tikus jantan dan betina tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Tikus jantan rata-rata mengkonsumsi ransum sebanyak 10,82 g/ekor/hari, sedangkan tikus betina sebanyak 10,08 g/ekor/hari. Keidentikan atau kesamaan konsumsi bahan kering secara statistik antara jantan dan betina tersebut semestinya tidak terjadi. Pada tingkat umur yang sama, konsumsi tikus jantan seharusnya lebih tinggi dibandingkan betina. Berdasarkan National Research Council

(1978), konsumsi harian rata-rata tikus dalam masa pertumbuhan adalah 10-15 g untuk betina dan 15-20 g untuk jantan. Hal ini dapat dijelaskan bila mengamati pola tingkah laku tikus selama pemeliharaan. Tikus jantan cenderung lebih aktif daripada betina. Ternak yang lebih aktif dengan suhu kandang yang tinggi cenderung lebih mudah terkena stress dibanding yang kurang aktif.. Dengan suhu kandang yang relatif tinggi (23-25 0 pada pagi hari dan 28-30 0 pada sore hari) dibandingkan suhu ideal pemeliharaan tikus yaitu 20-25 0 C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), tikus jantan lebih mudah mengalami stres sehingga konsumsinya pun turun. Ini terlihat dari nilai konsumsi rata-ratanya yang lebih rendah dari yang semestinya. Interaksi sangat nyata (P<0,01) terjadi antara faktor suplementasi mineral dan jenis kelamin. Suplementasi mineral pada jantan meningkatkan konsumsi bahan kering kecuali pada R2 yang mengalami penurunan. Pada tikus betina meskipun tidak berbeda secara statistik, terdapat penurunan secara deskriptif konsumsi bahan kering sebagai dampak suplementasi mineral. Konsumsi Bahan Organik Berdasarkan sidik ragam konsumsi bahan organik tikus selama penelitian dipengaruhi secara nyata oleh suplementasi mineral (P<0,05). Kisaran rataan konsumsi bahan organik keenam ransum perlakuan adalah 8,52-10,74 g/ekor/hari. Respon yang diberikan dengan perlakuan suplementasi mineral menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai konsumsi bahan organik pada R2 dan R4 dibandingkan ransum kontrol (R0). Nilai penurunannya masing-masing sebesar 15,31% untuk R2 dan 11,40% untuk R4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai konsumsi bahan organik. Rataan nilai konsumsi bahan organik tikus jantan adalah 10,27 g/ekor/hari, sedangkan ternak betina sebesar 9,57 g/ekor/hari. Meski demikian terdapat perbedaan respon pengaruh suplementasi mineral antara jantan dan betina. Berdasarkan uji lanjut suplementasi mineral pada jantan sangat nyata meningkatkan konsumsi bahan organik dibandingkan R0 kecuali pada R2 dimana terjadi penurunan sebesar 28,45%. Sebaliknya, pada betina cenderung terjadi penurunan konsumsi bahan organik dengan perlakuan suplementasi mineral.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak disekresikan melalui feses. Nilai rataan kecernaan bahan kering dan bahan organik keenam ransum perlakuan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Selama Penelitian Faktor A Faktor B (Jenis Kelamin) (Ransum Perlakuan) B1 (Jantan) B2 (Betina) Rataan ±sd Kecernaan BK (%) A1 81,10 83,72 82,41± 1,849 A2 80,73 79,58 80,15± 0,809 A3 73,13 83,16 78,14± 7,090 A4 80,17 81,47 80,82± 0,917 A5 79,60 75,90 77,75± 2,613 A6 81,14 83,43 82,28± 1,621 Rataan ±sd 79,31± 3,085 81,21± 3,030 80,26± 4,800 Kecernaan BO (%) A1 85,16 87,90 86,53± 1,941 A2 84,76 83,56 84,16± 0,850 A3 76,79 87,31 82,05± 7,444 A4 84,18 85,55 84,86± 0,963 A5 83,58 79,69 81,63± 2,744 A6 85,19 87,60 86,40± 1,702 Rataan ±sd 83,28± 3,239 85,27± 3,182 84,27± 5,04 Keterangan: A1 = Ransum kontrol (R0); A2 = R0 + 1% mineral komersil; A3 = R0 + 0,5% biomineral cairan rumen; A4 = R0 + 1% biomineral cairan rumen; A5 = R0 + 1,5% biomineral cairan rumen; A6 = R0 + 2% biomineral cairan rumen; B1 = ternak jantan; B2 = ternak betina. BK = Bahan Kering; BO = Bahan Organik Hasil sidik ragam menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata faktor perlakuan suplementasi mineral maupun jenis kelamin terhadap nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik. Nilai kecernaan bahan kering keenam ransum perlakuan berkisar antara 77,75-82,41%, sedangkan kecernaan bahan organiknya berkisar antara 81,63-86,53%. Kendati tidak terdapat efek nyata terhadap nilai kecernaan makanan, namun terdapat kecenderungan penurunan kecernaan bahan

kering (KCBK) maupun kecernaan bahan organik (KCBO) dengan perlakuan suplementasi mineral. Suplementasi mineral komersil anorganik (R1) menurunkan KCBK sebesar 2,74% dan KCBO sebesar 2,70% dibandingkan ransum kontrol (R0). Suplementasi biomineral cairan rumen mulai dari level 0,5-2% masing-masing menurunkan KCBK dan KCBO dibandingkan ransum kontrol sebesar 5,18 dan 5,26% (R2); 1,92 dan 1,88% (R3) ; 5,49 dan 5,66% (R4) serta 0,18 dan 0,15% (R5). Rataan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik untuk tikus jantan adalah 79,31% dan 83,28%, sedangkan untuk betina 81,21 dan 85,27%. Nilai kecernaan bahan kering baik pada jantan maupun betina tersebut masih berada di bawah standar kecernaan bahan kering untuk tikus menurut Ahlstrom dan Skrede (1998) sebesar 86,20%. Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sangat ditentukan oleh komposisi nutrien dalam bahan makanan. Masing-masing zat makanan memiliki tingkat kecernaan yang berbeda. Interaksi nyata (P<0,05) terjadi antara faktor perlakuan suplementasi dan jenis kelamin baik pada peubah kecernaan bahan kering maupun kecernaan bahan organik. Uji lanjut menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik tikus jantan menurun dibandingkan ransum kontrol pada supementasi biomineral cairan rumen dengan taraf 0,5% (R2), sementara tidak terjadi perubahan secara statistik dengan perlakuan suplementasi lainnya. Besarnya penurunan KCBK dan KCBO pada R2 sebesar 9,83 dan 9,77%. Pada betina kecernaan bahan kering dan bahan organik justru menurun pada suplementasi mineral komersil (R1) dan biomineral cairan rumen pada taraf 1,5% (R4). Penurunan masing-masing adalah sebesar 4,92 dan 4,97% untuk R1 dan 9,34 dan 9,27% untuk R4. Pertambahan Bobot Badan Tikus Selama Penelitian Rataan pertambahan bobot badan tikus selama penelitian disajikan pada Tabel 10. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan tikus. Rataan pertambahan bobot badan tikusselama pemeliharaan untuk faktor perlakuan suplementasi mineral berkisar antara 2,29-2,85 gram/ekor/hari. Nilai rataan ini lebih rendah dari nilai PBB ideal untuk tikus dalam masa pertumbuhan menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebesar 5 gram/ekor/hari. Rendahnya nilai PBB ini dikarenakan konsumsi maupun tingkat

kecernaan tikus terhadap ransum yang masih dibawah nilai semestinya. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suplementasi mineral ke dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan tikus selama pemeliharaan. Meski demikian, terdapat kecenderungan perbaikan performa pada tikus yang memperoleh perlakuan suplementasi mineral dibandingkan tikus yang diberi pakan ransum kontrol. Nilai rataan PBB ternak yang memperoleh suplementasi mineral (R1 hingga R5) menunjukkan peningkatan dibandingkan ransum kontrol (R0). Peningkatan PBB masing-masing sebesar 21,40% untuk R1; 1,31% untuk R2; 22,27% untuk R3; 12,23% untuk R4 dan 24,45% untuk R5. Meski tidak nyata secara statistik, peningkatan-peningkatan tersebut menunjukkan bahwa suplementasi mineral memberikan respon positif terhadap performa tikus. Perbaikan kualitas ransum dan keseimbangan zat-zat nutrisinya sebagai konsekwensi dari suplementasi mineral yang dibutuhkan tikus memberikan perbaikan terhadap performa tikus. Tabel 10. Rataan Pertambahan Bobot Badan Tikus (gram/ekor/hari) Faktor A Faktor B (Jenis Kelamin) (Ransum Perlakuan) B1 (Jantan) B2 (Betina) Selama Penelitian Rataan ± sd A1 2,65 1,93 2,29 ± 0,51 A2 3,55 1,99 2,77 ± 1,10 A3 2,49 2,15 2,32 ± 0,24 A4 3,30 2,28 2,79 ± 0,72 A5 2,75 2,38 2,57 ± 0,26 A6 3,80 1,90 2,85 ± 1,34 rataan ± sd 3,09± 0,54 A 2,11± 0,20 B 2,60 ± 0,78 Keterangan: A1 = Ransum kontrol (R0); A2 = R0 + 1% mineral komersil; A3 = R0 + 0,5% biomineral cairan rumen; A4 = R0 + 1% biomineral cairan rumen; A5 = R0 + 1,5% biomineral cairan rumen; A6 = R0 + 2% biomineral cairan rumen; B1 = ternak jantan; B2 = ternak betina. Superskrip huruf besar yang berbeda untuk faktor perlakuan yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Rataan PBB tikus selama penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan respon yang nyata antara tikus yang memperoleh suplementasi mineral anorganik komersil dan tikus yang memperoleh suplementasi biomineral cairan rumen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan biomineral cairan rumen

dapat mensubstitusi mineral anorganik komersil sebagai mineral suplemen dalam ransum tikus. Dilihat dari rataannya, pertambahan bobot badan tikus yang diberi suplementasi biomineral cairan rumen lebih tinggi dibandingkan tikus yang mendapatkan suplementasi mineral komersil (R1) pada perlakuan R3 dan R5. Sedangkan pada perlakuan R2 dan R4 nilainya lebih rendah dibandingkan R1. Lebih rendahnya rataan PBB pada R2 dan R4 dibandingkan R1 dikarenakan konsumsi ransum pada R2 dan R4 yang secara nyata lebih rendah daripada R1. Faktor perlakuan jenis kelamin terbukti memberikan pengaruh nyata terhadap nilai PBB tikus. Hasi sidik ragam menunjukkan bahwa nilai PBB tikus jantan sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan betina. Rataan pertambahan bobot badan keduanya adalah sebesar 3,09 gram/ekor/hari pada jantan dan 2,11 gram/ekor/hari pada betina. Perbedaan pertambahan bobot badan antara jantan dan betina menunjukkan perbedaan kecepatan pertumbuhan diantara keduanya. Kecepatan pertumbuhan ternak sangat dipengaruhi oleh hormon. Pertumbuhan pada tikus jantan dipengaruhi oleh hormon testoteron, sedangkan pada betina dipengaruhi hormon estrogen. Menurut Robinson (1979), pada masa awal pertumbuhan, hormon testoteron pada jantan lebih tinggi dibandingkan hormon estrogen pada betina. Hal inilah yang mengakibatkan pertumbuhan tikus jantan lebih pesat dibandingkan tikus betina. Grafik pertambahan bobot badan antara jantan dan betina selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa terdapat interaksi sangat nyata (P<0,01) antara faktor perlakuan suplementasi mineral dan jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan tikus. Hasil uji lanjut menunjukkan respon peningkatan pertambahan bobot badan yang sangat nyata (P<0,01) pada R1, R3 dan R5 dibandingkan R0. Peningkatannya dibandingkan R0 masing-masing sebesar 33,96 (R1); 24,53 (R3) dan 43,40% (R5). Sementara pada R2 dan R4 nilai pertambahan bobot badan tikus relatif sama dibandingkan R0. Pada tikus betina cenderung tidak terdapat perbedaan pertambahan bobot badan antara keenam ransum perlakuan meski bila dilihat dari rataannya terdapat peningkatan pertambahan bobot badan kecuali pada R5.

Gambar3. Grafik Perubahan Bobot Badan Tikus Jantan dan Betina Tiap Minggu Selama Penelitian Efisiensi Penggunaan Ransum Nilai efisiensi penggunaan ransum diperoleh dari perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan konsumsi bahan kering ransum. Semakin tinggi nilai efisiensi penggunaan ransum berarti semakin sedikit kebutuhan pakan untuk meningkatkan bobot badan tikus. Demikian sebaliknya, semakin rendah nilai efisiensi penggunaan ransum semakin banyak pakan yang diperlukan untuk meningkatkan bobot badan tikus. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor perlakuan suplementasi mineral tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi ransum untuk keenam ransum perlakuan berkisar antara 21,92-28,23%. Secara deskriptif penggunaan suplemen mineral baik mineral komersil maupun biomineral cairan rumen (0,5-2%) mampu memperbaiki nilai efisiensi ransum kontrol. Suplementasi mineral ke dalam ransum meningkatkan efisiensi ransum sebesar 13,75 (R1), 28,77 (R2), 14,30 (R3), 27,83 (R4), dan 12,39 (R5). Peningkatan-peningkatan nilai efisiensi ransum tersebut dikarenakan perbaikan nilai guna mineral maupun keseimbangan zat makanan dalam ransum sebagai akibat penambahan suplemen mineral. Rataan efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Efisiensi Ransum per Ekor per Hari Selama Penelitian (%) Faktor A (Ransum Perlakuan) Faktor B (Jenis Kelamin) B1 (Jantan) B2 (Betina) Rataan ± sd A1 26,54 17,30 21,92± 6,534 A2 28,84 21,04 24,94 ± 5,518 A3 36,35 20,12 28,23 ± 11,478 A4 27,87 22,52 25,06 ± 3,970 A5 27,16 28,89 28,03 ± 1,222 A6 29,52 19,77 24,64 ± 6,894 x ± sd 29,38± 3,581 A 21,56± 3,947 B 25,47 ± 7,642 Keterangan: A1 = Ransum kontrol (R0); A2 = R0 + 1% mineral komersil; A3 = R0 + 0,5% biomineral cairan rumen; A4 = R0 + 1% biomineral cairan rumen; A5 = R0 + 1,5% biomineral cairan rumen; A6 = R0 + 2% biomineral cairan rumen; B1 = ternak jantan; B2 = ternak betina. Superskrip huruf besar yang berbeda untuk faktor perlakuan yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Faktor perlakuan lainnya yaitu jenis kelamin terbukti sangat nyata mempengaruhi nilai efisiensi penggunaan ransum (P<0,01). Nilai efisiensi penggunaan ransum pada tikus jantan lebih tinggi (29,38%) dibandingkan betina (21,56%). Ini berarti bahwa tikus jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan yang diberikan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama dibandingkan betina. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai pertambahan bobot badan harian tikus jantan yang lebih tinggi dibandingkan betina dengan jumlah konsumsi harian yang relatif sama. Tidak terdapat interaksi nyata antara faktor suplementasi mineral dengan faktor jenis kelamin pada penelitian ini. Tidak adanya interaksi menandakan bahwa suplementasi mineral memberikan respon yang sama pada tikus jantan maupun betina.