Sopir taxi hanya mengangguk pelan. Dan taxi yang membawaku menuju kantor berlalu dengan begitu cepat. Pagi ini begitu lelah dan sangat penat yang aku rasakan. Padahal, semalam menjadi waktu yang sangat menyenangkan. Aku menikmati malam itu. tettt...tettt...teeet. Terdengar dering ringtone ponselku. Segera ku raih dan melihat pesan yang masuk. "Cukup sampai disitu saya tahu kelakuan kamu. Jangan pernah hubungi saya lagi. Karena bagi saya, anda cukup membuat saya kecewa. Memang benar, saya salah dan selalu seperti itu menilai anda yang baik-baik, tetapi kebalikannya. Semoga bahagia atas apa yang menjadi pilihan hatimu. Take Care, salam. Boy" begitulah bunyi pesan singkat itu. Nafasku sedikit tertahan. Tanpa pikir panjang lagi, segera jemariku menghungi nomor Boy, mantan pacar pertamaku. Hubungan kami sangat serius. Meski diwarnai oleh dinamika putus nyambung. Kami menjalani hubungan istimewa sudah 6 tahun. Namun, restu orang tua tidak kunjung hadir dalam doa mereka terhadap hubungan kami. Dan memang, pada akhirnya, jika tanpa restu orang tuaku, apalah arti perjalanan asmara kami selama ini. Dan jika diteruskan, tidak akan ada ujungnya. Hanya akan menambah lembaran kekecewaan orang tuaku. Nampaknya, Boy memang sudah tidak menganggapku lagi. Terbukti, sudah ke 10 kalinya aku mencoba menghubunginya, namun selalu gagal. Aku tidak bisa berbuat banyak.pesan singkat itu
semakin menambah beban pikiranku. Kenapa semuanya terasa sulit. Hanya untuk mendapatkan kebahagiaan bathin saja, aku harus mengorbankan semua. Tidak tersisa. Pandanganku hanya tertuju pada gedung-gedung yang aku aku lewati.berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya untuk menetralkan pikiran dan perasaanku. Berusaha menganggap tidak terjadi apaapa. Pepohonan demi pepohonan berlalu dibelakangku. Mereka berdiri kokoh di pinggir jalan, memperindang dan memperindah tampilan jalanan ibu kota. Pikiranku masih bercampur aduk dengan kejadian demi kejadian yang aku alami dan bertubitubi selama sepekan ini, sangat-sangat menyakitkan. Kadang aku berpikir, "Pohon itu begitu kokoh. Mulia sekali. Ia ternoda oleh lem dan sisa kertas selebaran yang menempel pada tubuhnya, ia masih kokoh menjulang, mengikuti hembusan sang bayu, kemanapun berhembus, ranting-rantingnya luwes mengikuti hembusan sang bayu. Aku ingin mengikuti sikap pohon itu" kataku dalam hati. Sekali lagi, berbicara dengan diri sendiri adalah hal yang sudah sering kulakukan jika aku menghadapi kekacauan seperti ini. "Tuhan, jika Kau berkehendak aku untuk mengikuti aturan mainmu, aku akan turuti.logika dalam aturan mainmu aku serahkan sepenuhnya kepadamu. Namun, tolong jelaskan kembali, posisiku saat ini seperti apa?" aku mengiba dalam hati kepada Sang Khalik. 2
Tanpa ku sadari, butiran air mata jatuh membasahi pipiku. Aku sudah tidak mengerti bagaimana harus aku akhiri semuanya. Mungkin jika aku bodoh, menabrakkan diri di tengah jalanan ibu kota menjadi hal tergila yang aku lakukan. Biarlah aku tahu, bagaimana kemampuanku untuk bertahan dalam situasi terjepit seperti ini. Mataku terpejam cukup lama. Aku merasakan derasnya aliran air mataku membasahi pipiku. "mbak, kita sudah sampai" kata driver taxi aku masih terpejam. Berusaha membuat semuanya normal kembali. "mbak..." kata driver taxi" ku hirup nafas dalam-dalam. Dan sedikit berbenah, Aku membuka kaca rias yang selalu ku bawa, untuk memperbaiki riasan wajahku. "berapa pak?" tanyaku, dengan suara yang sedikit tertahan. "sesuai dengan argonya mbak, 35rb." Jawab sang driver Dengan segera ku sodorkan pecahan 50rb kepadanya. "kembaliannya buat bapak aja." kataku lagi seraya menyerahkan lembaran uang tersebut ke driver taxi. "Terima kasih mbak" jawabnya kemudian. 3
Aku segera membuka pintu taxi dan bergegas menuju ruanganku. Jam arlojiku menunjukkan pukul 08.46. Aku sudah sangat terlambat. Sebenarnya aku ada jadwal meeting hari ini membahas prospek yang harus aku tawarkan kepada beberapa mitra langganan kantorku. Aku sudah siap menerima semua konsekuensi hari ini. Di pikiranku masih terngiang-ngiang dengan pesan singkat dari Boy. "Kenapa kau begitu tega Boy, aku ini masih sayang sama kamu. Fine, kita memang tidak ada hubungan apa-apa lagi. Tapi setidaknya kita kan bisa menjadi temen. Kita bisa menjadi kakak adik yang kompak. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir dari hubungan yang sudah kita jalani. Aku memang tidak bisa meneruskan hubungan kita. Aku tidak berani membohongi perasaanku. Aku masih sayang kamu..." kataku membatin. Kembali bulirbulir airmata berusaha keluar dari sumbernya. Namun aku menahannya. "Heii, ciiin." sapa Dina, teman kerjaku. Aku hanya melemparkan senyumku kepadanya. Dina diam seribu bahasa. Tidak biasanya aku seperti ini. Dina mungkin merasa aneh dengan sikapku. "Heii ciiin" sapa Dina lagi. Dia mencoba menggodaku. "Kenapa ciin? Lagi dapet ya?" seloroh Dina lagi. Aku masih berbenah merapikan mejaku. Aku tidak sempat 4
meladeni godaan Dina. Aku sudah sangat terlambat dalam meeting hari ini. "Hellloo...ada orang loh disini." bentak Dina lagi. Nampaknya Dina sudah mulai kesal, kehadirannya tidak dianggap sama sekali oleh ku. Dan itu membuat aku sedikit risih. "Apaan sih Din, heboh deh pagi-pagi. Konde lu ilang semalem?" aku merespon balik dengan nada sedikit membentak. "Eh lagian ya, gw udah greeting dengan manis gitu malah dikacangin, siapa yang engga ngenes coba. Lu sakit ngel?" tanya Dina lagi "udah Din, urusan konde lu jangan dibawa-bawa. Nanti aja ya. Gw udah telat banged inih." kataku sambil membereskan berkas-berkas yang akan dipresentasikan. Dina hanya terdiam. Dan berlalu dari mejaku. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Aku harus segera menuju ruang meeting. Sampai detik ini aku bisa melupakan sejenak beban pikiranku. Yang jelas hari ini, aku harus meeting dan selesai. Aku berusaha menyisakan senyum, meski aku memaksakan diri. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan semua orang. Aku dikenal sebagai pribadi yang sangat-sangat keras, tegas dan frontal. Aku harus pertahankan itu. 5
Langkah kakiku terhenti pada ruangan yang seharusnya aku berada. Ruang Melati. Ruangan itu memiliki kapasitas menampung orang yang cukup banyak. Kira-kira 30 orang. Kali ini adalah kesekian kalinya aku menggunakan ruangan ini. Dan Ruangan ini menjadi saksi kesuksesanku yang selama ini aku raih serta bisa bertahan di perusahaan yang bergerak di advertising ini. 6