BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. perusahaan untuk mencapai tujuannya adalah tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hamzah, Nyorong, 2013). Sebagai instansi yang berorientasi pada pelanggan (consumeroriented),

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Organisasi adalah sarana atau alat dalam pencapaian tujuan, sebagai wadah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai komitmen pada organisasi biasanya mereka menunjukan sikap kerja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia menjadi sebuah masalah yang menarik dan cukup pelik untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Perusahaan terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang sangat cepat pada berbagai aspek. Organisasi dituntut untuk lebih responsif

BAB I PENDAHULUAN. organisasi (Arthur, 1994). Menurut Samad (2006) bahwa karakteristik pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. untuk memproduksi barang-barang yang berkualitas demi meningkatkan daya

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Eximbank atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. organisasi adalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan suatu

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa: A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, sumber daya alam, dan sumber-sumber ekonomi lainnya untuk mencapai

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB I PENDAHULUAN. ini, oleh karena itu perusahaan membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi, memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. baik tidak akan pernah mengabaikan sumber daya manusia mereka, karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.

BAB II LANDASAN TEORI. Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peningkatan daya saing di era perdagangan bebas menjadi salah satu kunci ketahanan

Kuesioner (Job Insecurity) A. Arti Penting Aspek Kerja 1. Sangat Tidak Penting (STP) 2. Tidak Penting (TP) 3. Tidak Tahu, Apakah penting atau tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan

Kepada Yth. Bapak / Ibu / Sdr / i SMA Kesatrian 1 Semarang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. penting yang dibutuhkan dalam menjaga kepercayaan individu dan organisasi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dasar pembangunan nasional. Dengan kata lain manusia adalah unsur kerja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tertinggal dari masyarakat lainnya, pembangunan di. berdampak positif bagi peningkatan berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Hal ini sangat mendesak dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. bagian mempunyai tugas dan wewenang masing-masing. Dimana satu sama

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat baik yang bergerak di bidang produksi barang maupun jasa.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

KATA PENGANTAR. Saya mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah sebagai salah satu komponen dari pendidikan yang eksistensinya

KUESIONER. Lama Bekerja :. *) coret yang tidak perlu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kesuksesan organisasi di masa depan. Kemampuan perusahaan. efektif dan efisien (Djastuti, 2011:2).

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan ini berdiri pada tahun 1973 sebagai sebuah home industry yang

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sumber daya tersebut. Sebagai institusi pendidikan, sekolah

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS. Dengan menjadi bagian dari perusahaan, karyawan dididik untuk berkomitmen

BAB I PENDAHULUAN. dinamis, sehingga semua organisasi atau perusahaan yang bergerak di

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk mengoptimalkan fungsi manajemennya melalui sumber daya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB I PENDAHULUAN. dalam hadist bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap muslim.

BAB I PENDAHULUAN. adalah mencapai keuntungan dan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu: 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi;

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Udayana (Unud) sebagai sebuah lembaga pemerintah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istijanto, 2005). Seseorang yang berkeinginan keras dikatakan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan, visi dan misi dari perusahaan. karyawan serta banyaknya karyawan yang mangkir dari pekerjaannya.

pengaruh variabel bebas (X1, dan X2) adalah besar terhadap adalah kecil terhadap variabel terikat (Y). BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk bertahan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. tujuannya adalah tersedianya karyawan/sumber daya manusia (SDM) yang

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sampai-sampai beberapa organisasi sering memakai unsur komitmen sebagai

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu faktor kunci yang turut menentukan berhasil tidaknya suatu perusahaan untuk mencapai tujuannya adalah tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan faktor produksi insani yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan proses produksi (Alam, 2006). Tenaga kerja atau karyawan dalam perusahaan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan statusnya, yaitu pegawai kontrak PKWT dan pegawai tetap PKWTT (Adisu, 2008). Selain itu, terdapat pula karyawan yang memberikan jasa pada suatu perusahaan, namun tidak memiliki ikatan langsung dengan perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja, karyawan tersebut biasa disebut sebagai outsourcing. Karyawan outsourcing hanya memiliki hubungan dengan pihak yang mempekerjakannya, bukan yang menggunakan jasanya (Sembiring, 2016). Tenaga kerja outsourcing saat ini, menjadi kebijakan yang sangat diminati oleh banyak perusahaan, karena memiliki banyak keuntungan, salah satunya adalah aspek ekonomis, sehingga tenaga outsourcing dapat menjadi alternatif sebagai efisiensi secara cost (Taringan dkk, 2010). Tren outsourcing dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh bank dunia dan serikat buruh internasional (ILO) pada akhir 2014, menyatakan bahwa jumlah pekerja tetap sebanyak 36,7% dari 118,2 juta buruh formal di Indonesia. Hal tersebut

2 menandakan bahwa 63,3% atau sekitar 74,8 juta adalah pekerja informal/tidak tetap (outsourcing dan kontrak). Data tersebut terlihat meningkat pada tahun 2012, dari 112,5 juta pekerja, terdapat sebesar 71,6 juta pekerja informal/tidak tetap (outsourcing dan kontrak). Sedangkan pada tahun 2013, dari jumlah pekerja 112,8 juta, sekitar 71,7 pekerja informal/tidak tetap (outsourcing dan kontrak). Semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja, membuat perusahaan semakin selektif dalam memilih karyawan. Perusahaan perlu memilih karyawan yang selalu memperbaiki kemampuannya sendiri (Zimmerer dkk, 2008). Karyawan yang telah bergabung menjadi anggota perusahaan, haruslah mampu menjalankan semua tugas yang diberikan. Selain itu karyawan dalam melaksanakan tugasnya, dituntut memiliki etos kerja yang baik, produktif, datang tepat waktu, menerima kebijakan perusahaan, disiplin dan pantang menyerah (Wulandari, 2005). Untuk itu, perusahaan harus memilih karyawan yang dapat bekerja dengan sepenuh hati, hal tersebut dapat terlaksana bila karyawan memiliki komitmen kerja yang tinggi. Karyawan dengan komitmen kerja yang tinggi akan lebih menjiwai pekerjaannya, bekerja menggunakan hati, dan pikirannya tanpa memiliki beban (Santoso, 2005). Seorang karyawan yang memiliki komitmen kerja yang tinggi, akan memiliki catatan kehadiran yang lebih baik, dan akan memiliki masa kerja yang lama, dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki komitmen (Ivancevich dkk, 2006). Pada kenyataannya di Indonesia, pemahaman tentang komitmen kerja masih sangat kecil, menurut perhitungan Watson Wyatt dalam Winarko (2008), yang mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman terhadap komitmen menjadikan

3 Negara Indonesia dalam indeks komitmen karyawan (Commitment Index), Indonesia hanya 57%, lebih rendah 7 poin dibandingkan Asia Pasifik. Selain itu, berdasarkan survei dari Hay Gruop (dalam Djastuti, 2011), menempatkan indeks komitmen kerja karyawan Indonesia berada pada tingkat 63% di bawah Filipina (77%), dan Malaysia (65%), itu menandakan bahwa karyawan Indonesia, masih banyak yang belum memiliki komitmen pada pekerjaannya. Komitmen kerja karyawan yang rendah, tentu dapat menjadi masalah bagi perusahaan, hal tersebut membuat karyawan tidak nyaman dengan kebijakan perusahaan, bahkan keinginan untuk berhenti (turnover). Hal tersebut senada dengan pendapat Lincoln dalam Sopiah (2008), komitmen kerja karyawan mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, kerelaan anggota untuk bertahan dan kemauan anggota pada pekerjaannya. Komitmen kerja, merupakan sikap atau perilaku karyawan, yang berkaitan dengan keinginan kuat dari anggota organisasi/ karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya pada organisasi, serta mendukung dan menjalankan tujuan organisasi atau perusahaan secara suka rela (Robbins dan Judge, 2008). Komitmen kerja lebih dari sekedar kesetiaan, namun lebih kepada keintiman atau ikatan batin anggota terhadap organisasinya (Steers dan Poeter, 1983). Pernyaaan tersebut senada dengan pendapat O reilley dan Chatman (dalam Kusumaputri, 2015), komitmen kerja adalah ikatan psikologis individu pada organisasi, termasuk keterlibatan kerja (job involvement), loyalitas, dan keyakinan terhadap nilai organisasi.

4 Komitmen kerja karyawan, dapat dilihat berdasarkan beberapa aspek, Robbins dan Judge (2008), mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek, meliputi (1) komitmen afektif/ affective commitment, (merupakan perasaan emosional dan keyakinan-keyakinan dari anggota/ karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan dari perusahaan, rasa kepemilikan terhadap organisasi, dan rasa keterlibatan dalam organisasi), (2) komitmen berkelanjutan/ continuance commitment (berkaitan dengan nilai ekonomis yang didapat seorang karyawan), (3) komitmen normatif/ normative commitmen (komitmen untuk bertahan dengan organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis). Komitmen kerja yang rendah, merupakan penjelasan dari menurunnya loyalitas, ketidakhadiran, keluarnya anggota, kurang optimalnya saat bekerja, ketidak puasan kerja, dan keinginan berpindah ke bagian lain (Kusumaputri, 2015). Rendahnya komitmen kerja karyawan dapat terjadi di berbagai perusahaan, tidak terkecuali di CV.X. CV.X merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kayu dengan pemasaran lokal dan export. Perusahaan ini memproduksi hasil olahan kayu, seperti playwood, triplek, dan multiplak. CV.X berada di wilayah Jawa Tengah. CV.X terbilang perusahaan yang cukup aktif dalam produksinya, setiap hari CV.X melakukan pengiriman lokal, dan hampir setiap minggu terdapat produknya yang di export. Karyawan di CV.X pun terbilang cukup banyak, yaitu 148 orang karyawan, dengan karyawan produksi sejumlah 125 orang karyawan. Karyawan produksi di CV.X sendiri terbagi dalam tiga status kerja, yaitu karyawan tetap, karyawan kontrak, dan karyawan outsourcing.

5 Karyawan produksi yang bekerja di CV.X sebagian besar memiliki status kerja sebagai karyawan outsourcing, yaitu berjumlah 102 karyawan. Karyawan outsourcing di CV.X sering mengalami masalah-masalah pekerjaan tidak terkecuali komitmen kerja, yang berdampak pada tidak tercapainya target produksi. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan pada HRD perusahaan pada tanggal 18 desember 2017, yang mengatakan bahwa hampir setiap hari target yang diberikan oleh perusahaan tidak terpenuhi, kurangnya kerjasama antar karyawan, bahkan hampir setiap bulan terdapat 3 orang karyawan yang mengajukan pengunduran diri. Masalah masalah tersebut sering terjadi pada karyawan yang memiliki status kerja sebagai karyawan outsourcing. Berdasarkan hal di atas pada penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah karyawan CV.X, yang bekerja pada bagian produksi, dan memiliki status sebagai karyawan outsourcing. Hal tersebut dipilih karena karyawan produksi bekerja pada bagian inti, dan bagian tersebut dirasa menjadi bagian yang sangat penting bagi kelangsungan perusahaan. Sementara karyawan pada bagian produksi, bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan, baik terpenuhi atau tidaknya kebutuhan produk, ataupun kualitas dari produk yang dihasilkan, dengan menggunakan cara yang efektif dan efisien (Sinarti dkk, 2015). Karyawan outsourcing, sangat rentan mengalami penurunan komitmen kerja, hal tersebut terjadi karena karyawan outsourcing bukanlah karyawan yang secara langsung dikontrak oleh perusahaan, dan membuat keresahan atas tidak jelasnya status, tidak jelasnya jenjang profesi, bahkan kekawatiran dapat diberhentikan sewaktu-waktu. Keresahan-

6 keresahan yang berlebihan akan membuat penurunan komitmen kerja dari pegawai itu sendiri, bahkan dapat berpotensi untuk mengundurkan diri. Hal tersebut senada dengan ungkapan Pasewark dan Strawer (dalam Lydiasari, 2010), mengungkapkan bahwa kekhawatiran-kekhawatiran dalam bekerja muncul akibat rasa tidak aman dalam bekerja, yang menimbulkan konsekuensi berupa perasaan yang mengancam, dan dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap perusahaan, yang dapat berdampak pada terlepasnya komitmen kerja. Karyawan produksi yang memiliki status kerja sebagai karyawan outsourcing, berbeda dengan karyawan pada bagian lain yang memiliki status kerja sama (outsourcing), ataupun karyawan yang terikat langsung pada perusahaan (PKWT/PKWTT), karyawan pada bagian produksi, lebih cenderung bekerja menggunakan tenaga (fisik), yang memungkinkan karyawan merasa kelelahan fisik yang lebih dibandingkan karyawan yang bekerja dibagian lain. Karyawan produksi juga memiliki persentase kecelakaan kerja lebih besar dibandingkan karyawan lain. Selain itu, karyawan produksi lebih mudah terkena stres kerja, karena berkaitan dengan target yang selalu harus terpenuhi, hal tersebut senada dengan pendapat Novitasari, dkk (2015) yang mengatakan, karyawan pada bagian produksi memiliki aktifitas yang cukup tinggi, serta shift kerja yang cukup padat, yang membuat pekerja produksi mudah mengalami kelelahan kerja, serta karyawan produksi memiliki beban kerja yang dapat meningkatkan bahaya psikolgis, seperti stres kerja, dan dapat memicu keinginan keluar pada karyawan tersebut.

7 Keluarnya karyawan dari perusahaan dapat terjadi pada semua karyawan, tidak terkecuali karyawan yang berstatus outsourcing. Hal tersebut diungkapkan Yunanti dkk. (2014) pada penelitiannya, berdasarkan pada hasil wawancara dengan HRD dan karyawan outsourcing yang dilakukannya pada perusahaan PT.Pura Baru Tama, dari 100 orang pegawai outsourcing kira-kira 70% atau 70 orang keluar, bukan karena kontraknya habis, tetapi karena memang tidak betah dalam perusahaan, hal ini mengindikasikan tingkat komitmen yang rendah dari karyawan outsourcing. Hasil tersebut senada dengan pendapat Mowday dkk. (1979) yang mengungkapkan, bahwa indikasi dari pekerja yang mempunyai komitmen kerja adalah pekerja yang tetap berusaha mempertahankan keanggotaannya, keikutsertaan dalam perusahaan, selalu memilih bertahan dalam organisasi/ perusahaan, dan tidak memiliki alasan untuk keluar. Hal tersebut berarti, bahwa keinginan untuk keluar atau tidak betahnya dalam suatu perusahaan/ organisasi, merupakan indikasi lemahnya komitmen kerja seorang karyawan. Karyawan outsourcing pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama dengan karyawan lain. Karyawan outsourcing, juga berkesempatan untuk memiliki jenjang karier yang sama, walaupun dalam rentan waktu yang cukup panjang. Karyawan outsourcing, dapat mengubah statusnya menjadi karyawan kontrak, bahkan menjadi karyawan tetap seperti yang ada pada CV.X. Hal tersebut dapat terjadi bila karyawan memiliki prestasi dan kompetensi yang sesuai standar pada perusahaan. Karyawan outsourcing, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan karyawan kontrak, maupun karyawan tetap yang ada di perusahaan. Karyawan dengan status

8 outsourcing juga mendapatkan gaji dari perusahaan walaupun tidak sebesar karyawan yang memiliki ikatan langsung dengan perusahaan. Karyawan outsourcing, juga mendapatkan fasilitas yang sama, seperti porsi cuti, tunjangan berupa asuransi ketenagakerjaan, bahkan fasilitas lain sesuai dengan jabatan yang dimilikinya. Selain itu CV.X juga memberikan kemudahan bagi karyawan, bila sedang ada keperluan, seperti izin tidak masuk, izin pulang lebih awal bila sedang dalam keadaan mendesak (maksimal 2 kali dalam seminggu), namun pada kenyataannya, karyawan outsourcing sering merasa dibedakan, dan menyebabkan komitmen kerjanya menurun. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 18 Desember 2017, kepada 10 orang karyawan produksi yang memiliki status sebagai karyawan outsourcing di CV.X, menunjukkan adanya masalah komitmen kerja karyawan outsourcing. Masalah yang terjadi adalah kurangnya keinginan karyawan untuk bekerja maksimal/ mencapai tujuan dari perusahaan, kurangnya partisipasi karyawan pada kerjasama tim, kurangnya penerimaan kebijakan perusahaan, tidak adanya kepuasan dalam bekerja, merasa upah yang diberikan tidak sesuai dengan pekerjaannya, keinginan untuk meninggalkan perusahaan dan mencari pekerjaan baru, dan kurang peduli dengan rekan kerja ataupun perusahaan. Selai hal tersebut karyawan juga mengungkapkan bahwa masalah tersebut terjadi karena ketidak jelasan akan status kerja dari karyawan tersebut, karyawan menganggap bahwa keseriusan kerjanya tidak akan mengubah status dari karyawan tersebut, selain itu karyawan juga

9 mengatakan bahwa pekerjaan yang diberikan terlalu berat, dan karyawan merasa dirinya tidak akan mampu untuk menyelesaikannya. Dari hasil wawancara yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa karyawan outsourcing di CV.X memiliki komitmen kerja yang rendah. Hal tersebut dilihat dari jawaban karyawan melalui wawancara, berdasarkan aspek-aspek komitmen kerja, dari 10 orang karyawan outsourcing terdapat 6 orang mengalami masalah pada aspek komitmen afektif, seperti kurangnya kerjasama tim, kurangnya rasa ingin mencapai tujuan perusahaan, dan penolakan diri terhadap kebijakan perusahaan. Pada aspek komitmen berkelanjutan, dari 10 orang yang diwawancara, terdapat 7 orang karyawan yang memiliki masalah komitmen berkelanjutan, hasil tersebut terlihat pada kurang puasnya karyawan terhadap upah yang diberikan oleh perusahaan, dan subjek mengatakan akan berpindah pekerjaan bila mendapatkan tawaran gaji yang lebih tinggi di perusahaan lain. Sedangkan pada aspek komitmen normatif, dari 10 orang karyawan yang diwawancara, terdapat 5 orang karyawan yang bermasalah, seperti subjek tidak ada beban moral ketika subjek akan mengundurkan diri nantinya, dan subjek merasa bahwa berpindah pekerjaan merupakan hal yang wajar. Dampak komitmen kerja karyawan tidak hanya pada pihak perusahaan saja, namun juga pada karyawan itu sendiri. Untuk itu perlu bagi karyawan memiliki komitmen kerja. Komitmen kerja akan berdampak baik bagi karyawan itu sendiri, karyawan akan mendapatkan timbal balik yang saling menguntungkan dengan pihak perusahaan (Judge dan Robbins, 2008).

10 Perusahaan yang memiliki karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi, akan berdampak pada produktivitas yang baik pula, maka perusahaan haruslah memilih karyawan yang memiliki komitmen kerja yang tinggi, agar perusahaan tidak merugi, dari pihak karyawan juga haruslah memahami dan memiliki komitmen kerja yang baik, agar visi dan misi perusahaan tercapai. Pendapat tersebut didukung oleh Yudhaningsih (2011), tingginya komitmen akan berdampak positif bagi produktivitas kerja, hal tersebut membuat semakin efektifnya perusahaan dalam mencapai tujuannya. Terkait dengan hal tersebut perusahaan dan karyawan harus menjaga hubungan yang baik agar terciptanya komitmen kerja. Begitu pentingnya komitmen kerja bagi kelangsungan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya, maka sangat penting bagi perusahaan memiliki karyawan dengan tingkat komitmen kerja yang tinggi. Komitmen kerja, merupakan hal yang mendorong karyawan untuk bekerja sepenuh hati, dan akan berusaha mewujudkan visi dan misi perusahaan tanpa harus diminta. Karyawan yang memiliki komitmen kerja tinggi, akan terus berusaha memperbaiki kemampuannya dalam bekerja dan tidak mudah menyerah (Tasmara, 2002). Banyak hal yang mempengaruhi komitmen kerja seorang karyawan. Menurut Kusumaputri (2015) terdapat tujuh faktor yang dapat mempengaruhi munculnya komitmen kerja, yang meliputi (1) faktor - faktor terkait pekerjaan (job related factors), (2) kesempatan para anggota, (3) karakteristik individu, (4) lingkungan kerja, (5) hubungan antar anggota, (6) struktur organisasi, dan (7) gaya manajemen. Secara khusus dari tujuh faktor yang telah disebutkan, karakteristik individu

11 mendapatkan perhatian lebih, hal tersebut dikarenakan karakteristik individu merupakan faktor yang paling melekat, dan merupakan faktor yang berasal dari individu itu sendiri. Karakteristik individu dapat berupa, usia, masa kerja, tingkat pendidikan, dan kepribadian, kepercayaan diri/keyakinan diri (self-efficacy) (dalam Kusumaputri, 2015). Hal tersebut senada dengan pendapat Bandura (1997) mengatakan bahwa karakteristik individu dapat dipengaruhi oleh kekuatan selfefficacy masing-masing individu. Pendapat tersebut juga diungkapkan oleh Yusril, dkk (2014), yang mengatakan bahwa self-efficacy merupakan indikasi dalam mengoptimalkan kemampuan dan faktor karakteristik personal pada individu, dan dapat meningkatkan komitmen kerja seseorang. Self-efficacy secara tidak langsung menjadi faktor munculnya komitmen kerja pada karyawan, hal ini dikarenakan Selfefficacy merupakan hal yang paling berpengaruh pada mekanisme psikologis individu, untuk membentuk pengaruh diri (self-influence) (Bandura dalam Luthans, 2006). Self-efficacy merupakan hasil proses kognitif, yang berupa keputusan, keyakinan, atau penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu, yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Bandura, 1997). Sedangkan Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

12 Self-efficacy seorang karyawan, sangat diperlukan dalam menjalankan tugasnya, dan berguna untuk mengembangkan kompetensinya. Self-efficacy menurut Bandura (1997) memiliki 3 dimensi, yaitu (1) magnitude (tingkat kesulitan tugas), (2) strenght (kegigihan dalam peyelesaian tugas) dan (3) generality (keyakinan terhadap situasi yang bervariasi). Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan. Self-efficacy merupakan bentuk dari karakteristik personal yang berpengaruh pada subjek penelitian (outsourcing), karena pada dasarnya karyawan outsourcing adalah karyawan musiman, dan tenaga outsource dapat diberhentikan sewaktuwaktu, karena statusnya tidak terikat langsung pada perusahaan (Taringan dkk, 2010). Hal itu tentunya akan menyebabkan kekhawatiran bagi karyawan itu sendiri, untuk itu sangat perlu bagi karyawan memiliki self-efficacy yang baik untuk mengatasi kekhawatirannya, hal tersebut selaras dengan pendapat Gist dan Mitchell (dalam Sopiah, 2008), self-efficacy dapat membawa perilaku yang berbeda diantara individu dengan kemampuan yang sama, karena self-efficacy mempengaruhi pilihan, tujuan, penyelesaian masalah, dan kegigihan dalam berusaha. Karyawan yang memiliki self-efficacy yang rendah, tidak mempunyai motivasi atau dorongan untuk bertindak seperti, karyawan tersebut tidak yakin dapat melakukan suatu hal, atau tidak yakin dapat mencegah hal yang tidak diinginkannya. Citra dan Kasmirudin (2013) mengatakan bahwa karyawan dengan self-efficacy yang rendah akan selalu berusaha menolak pekerjaan atau bahkan langsung menghakimi dirinya tidak mampu, dan tidak mau berusaha untuk mampu. Keyakinan yang kurang atas kemampuannya, secara tidak langsung akan mempengaruhi perilakunya dalam

13 bekerja, dan tidak akan merasa nyaman dengan pekerjaannya, bahkan karyawan akan lebih memilih beralih pada pekerjaan lain. Hasil penelitian yang sama dengan pendapat di atas juga diungkapkan oleh Agarwal &Mishra (2016), yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self-efficacy dengan komitmen kerja. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi self-efficacy seorang karyawan maka semakin tinggi pula komitmen kerjanya. Sebaliknya semakin rendah self-efficacy seorang karyawan, maka semakin rendah pula komitmen kerjanya. Hasil penelitian lain yang senada diungkapkan oleh Aisyah (2012), yang mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh secara langsung dan signifikan anatara self-efficacy dan komitmen kerja karyawan. Hal tersebut berarti bahwa self-efficacy merupakan salah satu indikator yang dapat memunculkan komitmen kerja karyawan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dan fokus penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan komitmen kerja pada karyawan outsourcing?

14 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara selfefficacy dengan komitmen kerja pada karyawan outsourcing di CV.X. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat yang bersifat teoritis dan bersifat praktis yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan atau informasi baru yang dapat memberikan kontribusi bagi ilmu Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya dibidang pengembangan sumber daya manusia yang terkait dengan komitmen kerja dan self-efficacy karyawan. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan dijadikan dasar bagi pihak cv.x ataupun perusahaan lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi yang dapat digunakan sebagai referensi atau landasan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil terkait permasalahan dalam hal sumber daya manusianya, khususnya masalah dalam hal komitmen kerja. Selain itu apabila hipotesis dalam penelitian ini terbukti diharapkan menjadi suatu refrensi bagi perusahaan yang mengalami masalah komitmen kerja pada karyawannya, dan mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan self-efficacy dari karyawan outsourcing melalui kegiatan pelatihan ataupun kegiatan lain yang dapat meningkatkan self-efficacy.