I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba Garut termasuk ke dalam ternak ruminansia kecil yang merupakan salah satu rumpun domba lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Provinsi Jawa Barat dan telah dibudidayakan secara turun temurun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi domba di Indonesia pada beberapa tahun terakhir terus meningkat. Dimulai dari Tahun 2013 populasi domba di Indonesia mencapai 14.925.898 ekor, hingga pada Tahun 2017 mencapai 16.462.274 dan penyumbang terbanyak adalah Jawa Barat dengan populasi sebanyak 10.714.663 ekor di Tahun 2017. Domba Garut memiliki keunggulan yang cepat dalam berkembang biak dan dapat beranak lebih dari satu ekor, serta memiliki produktivitas yang baik sebagai penghasil daging karena dapat menghasilkan persentase daging yang cukup tinggi, sekitar 50 persen daging dari berat badan (Merkens dan Soemirat, 1926 dalam Inounu, dkk., 2008). Selain itu domba Garut memiliki keunikan tersendiri yang dapat dijadikan sebagai daya tarik parawisata daerah. Salah satu masalah dalam peternakan domba Garut adalah feses yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya karena bau yang kurang sedap. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia (NH3) yang tinggi dan gas hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Bau dari feses tersebut dipengaruhi oleh pakan yang diberikan kepada ternak. Biasanya ternak domba yang berada di penggemukan diberi tambahan konsentrat selain hijauan pakan. Alasan utama peternak menggunakan konsentrat sebagai pakan ternak adalah untuk mempercepat pertumbuhan domba agar sesuai dengan target produksi.
Kandungan zat kimia yang cukup banyak dalam feses domba adalah kandungan N feses. Kandungan tersebut bergantung pada bahan penyusun ransum, tingkat kelarutan nitrogen pakan, nilai biologis pakan dan kemampuan ternak untuk mencerna makanan. Suatu upaya penanggulangan untuk mengurangi produksi dan kandungan N feses perlu dilakukan, dengan penambahan leguminosa yang kaya akan kandungan protein untuk mengurangi pemberian konsentrat, sehingga kandungan N yang ada di dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh mikrobial rumen untuk membentuk protein mikrobial. Leguminosa yang dapat diberikan antara lain Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. Calliandra calothyrsus merupakan hijauan pakan ternak yang kaya protein namun kandungan energi yang dapat dicerna relatif rendah. Paterson dkk. (1996) menyebutkan bahwa seluruh bagian tanaman kaliandra yang dapat dimakan ternak memiliki kandungan protein kasar antara 20-25%, sehingga cocok sebagai pakan tambahan bagi ternak ruminansia yang hanya diberi rumput saja. Kaliandra mengandung zat anti nutrisi tannin yang mempunyai sifat mengikat protein dengan stabil sehingga akan menurunkan nilai cerna protein. Indigofera sp. mengandung saponin dan tannin dalam jumlah sedikit, sehingga kedua zat anti nutrisi ini berdampak positif dan masih aman jika digunakan sebagai pakan tambahan. Kandungan tannin berfungsi sebagai pelindung protein dari degradasi di dalam rumen sehingga menjadi by pass protein, sedangkan kandungan saponin dapat berfungsi sebagai agensia defaunasi yang dapat menurunkan populasi protozoa, sehingga pada waktu yang bersamaan dapat meningkatkan populasi bakteri pada rumen. Keadaan ini akan meningkatkan kecernaan pakan dan mengurangi produksi feses. Penambahan Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. dalam pakan ternak diharapkan mengurangi kandungan gas metana, karena meningkatnya kecernaan protein sehingga aroma yang tidak sedap dari feses dapat dikurangi. Pemberian keduanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ternak dalam rumen dan pencernaan pascarumen serta diharapkan dapat menggantikan konsentrat sebagai pakan ternak dan dapat menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan terutama untuk skala peternak
rakyat. Kempton dan Leng (1978) menyatakan bahwa penggunaan leguminosa pohon sebagai suplemen pada ransum ruminansia akan meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi protein dan efisiensi penggunaaan pakan. Selain itu diharapkan dapat menghasilkan performans dan nilai kecernaan yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji tentang pengaruh pemberian imbangan Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. pada ransum domba Garut jantan terhadap produksi feses dan kandungan N feses. 1.2. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh pemberian Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. terhadap produksi feses dan kandungan N feses domba Garut. 2. Pada taraf berapa pemberian Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. menghasilkan produksi dan kandungan N feses domba Garut yang paling rendah. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. terhadap produksi feses dan kandungan N feses domba Garut. 2. Mempelajari dan mengetahui dosis pemberian Calliandra calotyhrsus dan Indigofera sp. yang menghasilkan produksi dan kandungan N feses domba Garut yang paling rendah.
1.4. Kegunaan Penelitian Dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi ilmiah mengenai pemberian Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. terhadap produksi feses dan kandungan N feses domba Garut jantan dalam upaya mengatasi tingkat pencemaran lingkungan. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.5. Kerangka Pemikiran Seiring dengan semakin bertambahnya populasi dan meningkatnya pendapatan masyarakat, tingkat kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan gizi yang seimbang juga semakin meningkat terutama kebutuhan protein hewani. Domba Garut merupakan salah satu ternak plasma nutfah asli Jawa Barat yang memiliki kemampuan cukup baik sebagai ternak penghasil daging. Selain dari mudahnya dalam manajemen pemeliharaan, target pasar daging domba telah memiliki pasar yang tersedia setiap saat. Jumlah populasi domba Garut yang bertambah banyak menimbulkan masalah yang terus berkelanjutan. Salah satu masalah dalam peternakan domba adalah feses yang dihasilkan. Populasi ternak yang banyak akan menghasilkan kotoran yang banyak pula sehingga dapat menimbulkan bau yang kurang sedap bagi lingkungan sekitar. Dewasa ini, banyak para peternak domba di Indonesia yang memberikan konsentrat untuk penggemukan. Konsentrat merupakan pakan kaya akan kandungan sumber protein, sumber energi, tinggi kandungan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) dan rendah kandungan serat kasar (SK) yaitu lebih rendah dari 18% serta dapat mengandung pelengkap pakan dan atau imbuhan pakan. Penambahan sumber protein akan mempercepat pertumbuhan domba dan dalam skala luas mempercepat waktu pemeliharaan sehingga domba bisa dijual lebih cepat (Sodiq dan Abidin, 2002). Konsentrat relatif mengandung serat kasar yang rendah, maka hampir semua konsentrat mempunyai kecernaan yang tinggi. Pakan konsentrat harus diseimbangkan dengan penggunaan legume pohon sebagai suplemen pada ransum
ruminansia karena akan meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi protein dan efisiensi penggunaaan pakan (Kempton dan Leng, 1978). Hijauan merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia dengan serat kasar tinggi (Anggorodi, 1994). Ternak domba merupakan hewan yang memerlukan hijauan dalam jumlah yang besar kurang lebih 90%. Pakan domba umumnya berasal dari hijauan yang terdiri dari berbagai jenis rumput, legum, daundaunan dan lainnya. Pakan domba umumnya terdiri atas hijauan dan konsentrat. Pakan memiliki proporsi terbesar diantara faktor-faktor lainnya sehingga biaya yang dikeluarkan sebisa mungkin untuk diminimalisir. Hijauan merupakan sumber utama pakan ternak ruminansia. Kemampuan ternak untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, produksi dan reproduksi bisa didapat dari asupan kualitas nutrisi pakan yang baik sehingga faktor pakan merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha ternak. Jenis hijauan yang diberikan biasanya rerumputan dan leguminosa (kacangkacangan). Pada dasarnya hijauan jenis rerumputan memiliki kandungan protein kasar rendah sehingga harus diberikan asupan pakan lain dengan kualitas nutrisi yang baik, misalnya hijauan dari jenis leguminosa. Tanaman leguminosa merupakan jenis tanaman yang memiliki kandungan protein kasar tinggi sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengefisienkan biaya yang dikeluarkan. Beberapa jenis tanaman leguminosa diantaranya adalah Calliandra calothyrsus, dan Indigofera sp. Beberapa keunggulan dari tanaman ini adalah memiliki produksi yang tinggi, mudah didapat, mampu mensuplai protein fermentable dan by pass (dengan adanya tannin), serta tahan terhadap kondisi kekeringan sehingga masih dapat memenuhi kebutuhan ternak pada saat musim kemarau dan dapat digunakan sebagai pakan alternatif selain rumput ataupun sebagai pakan kombinasi pengganti konsentrat. Kandungan protein kasar yang dimiliki leguminosa dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti konsentrat yang harganya relatif murah. Kempton dan Leng (1978) menjelaskan bahwa penggunaan legume pohon sebagai suplemen pada ransum ruminansia akan
meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi protein dan efisiensi penggunaan pakan. Penggunaan leguminosa sebagai pakan memiliki keterbatasan, salah satunya adalah adanya zat anti nutrisi didalam tanaman tersebut sehingga penggunaannya harus dalam batas toleransi. Tingkat suplementasi kaliandra yang paling baik adalah 30% dari total hijauan yang diberikan, karena pemberian yang lebih banyak tidak memberikan pengaruh positif (Tangendjaja, dkk., 1992). Selanjutnya Paterson, dkk. (2001) menjelaskan bahwa pemberian kaliandra pada ternak sebaiknya dibatasi paling banyak 30-40% dari total berat ransum yang diberikan, karena bila diberikan lebih banyak tidak akan dapat dimanfaatkan seluruhnya. Sedangkan untuk penggunaan Indigofera sp. menurut penelitian yang dilakukan oleh Simanihuruk dan Sirait (2009) sebanyak 50% sebagai pakan kambing boerka fase pertumbuhan menghasilkan pertambahan bobot harian sebesar 44,29 gram dengan efisiensi penggunaan pakan sebesar 0,115. Anti nutrisi pada leguminosa sering dikatakan sebagai faktor pembatas dalam penggunannya sebagai pakan, karena sebagian besar dari zat tersebut bersifat racun bagi ternak. Secara alami, anti nutrisi terdapat dalam tanaman sebagai proteksi dari serangan hama. Salah satu zat anti nutrisi yang sering ditemukan dalam tanaman leguminosa adalah tanin, selain itu juga ada mimosin, asam sianida, saponin, dan flavonoid. Adanya zat anti nutrisi yang terdapat dalam pakan di dalam batas tertentu dapat dianggap menguntungkan karena dapat membantu protein by pass yang mudah dicerna di dalam usus dan dapat menyediakan kebutuhan ternak pasca rumen. Ternak ruminansia dalam memperoleh kebutuhan protein untuk kebutuhan hidupnya didapatkan dari dua sumber, yakni protein yang berasal dari mikroba rumen dan protein yang berasal dari pakan yang dikonsumsi yang lolos degradasi dalam rumen (protein by pass). Protein by pass bisa didapatkan dari pakan yang mengandung tannin, dimana tannin memiliki sifat memproteksi protein sehingga tahan degradasi dalam rumen. Protein by pass dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak sehingga dengan adanya anti nutrisi berupa tannin dalam batas tertentu (1%) berpengaruh positif terhadap ternak.
Salah satu masalah dari feses domba adalah kandungan N feses yang menyebabkan bau pada feses yang berasal dari N ammonia. Mathers dkk. (1972) menjelaskan dari hasil penelitiannya bahwa kandungan nitrogen feses dari kecernaan beberapa bahan pakan yang dilakukan menunjukkan bahwa feses domba mengandung bahan kering dan nitrogen berturut-turut sebesar 40-50% dan 1,2-2,1%. Variasi konsentrasi kandungan bahan kering dan nitrogen tersebut sangat bergantung pada bahan penyusun ransum, tingkat kelarutan nitrogen pakan, nilai biologis ransum, kemampuan individu ternak untuk dapat mencerna ransum dan lain sebagainya. Amonia (NH3) merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba. Protein sebagian besar diubah menjadi peptida dan amonia, kemudian akan disintesis menjadi protein sel mikroba dan akhirnya dicerna dalam usus. Sebagian amonia akan diserap melalui dinding rumen kemudian menjadi urea melalui daur ulang saliva dan masuk kembali ke rumen, sebagian lagi dikeluarkan melalui urin (McDonald, 1988). Produksi amonia pada ketiga jenis leguminosa pohon tersebut memiliki hasil yang sama, dimana produksi amonia yang dihasilkan gamal lebih tinggi dibandingkan dengan Calliandra calothyrsus dimana berturutturut 13,33 mm dan 3,49 mm (Suharlina, 2008), dan lebih rendah dibandingkan Indigofera sp. dengan produksi amonia sebesar 11,29-13,76 mm (Jovintry, 2011). Charles dan Hariono (1991) menyebutkan bahwa konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan. Calliandra calothyrsus memiliki produksi ammonia yang lebih rendah diantara keduanya karena mengandung zat anti nutrisi tannin sampai 11 % (Tangendjaja dan Wina, 1998), sedangkan gamal tidak mengandung tanin (Mariyono dkk, 1998). Dalam kadar rendah diasumsikan bahwa tannin mampu melindungi protein dari aktivitas mikroba rumen tetapi dapat dicerna secara enzimatis di dalam usus, sehingga protein kasar yang lolos cerna dari mikroba rumen (protein by pass) dapat dimanfaatkan secara efisien dalam usus halus.
Calliandra calothyrsus juga dapat mengurangi produksi gas metana yang dihasilkan oleh ternak ruminansia (Tiemann dkk., 2008). Kandungan tannin dalam Indigofera sp. hanya sebesar 0,08% dan dapat berfungsi positif sebagai pelindung protein dari degradasi di dalam rumen sehingga menjadi by pass protein yang menguntungkan bagi tubuh ternak ruminansia karena protein dapat dipecah menjadi asam amino di saluran usus dan diserap langsung oleh tubuh. Kandungan saponin dalam Indigofera zollingeriana dilaporkan sebesar 2,24% (Abdullah dkk, 2012). Saponin yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia akan berfungsi untuk menekan populasi protozoa di dalam rumen sehingga meningkatkan populasi bakteri rumen dan asam propionate (Wina, 2005) serta menekan produksi gas metana di dalam rumen (Thalib dan Widiawati, 2008). Tingginya kandungan protein kasar ransum perlakuan 85% pakan hijauan (20% rumput gajah : 60% gamal : 20% waru ) dan 15% konsentrat disertai konsumsi protein kasar dan energy yang tinggi akibat meningkatnya pencernaan fermentatif akan semakin meningkatkan konsumsi N tenak. Tingginya konsumsi N yang mengarah pada kambing yang diberikan perlakuan 80% pakan hijauan (20% rumput gajah : 60% gamal : 20% waru ) dan 15% konsentrat menyebabkan semakin tingginya defekasi N feses menurunnya kadar N-amonia pada feses. Kambing yang diberikan hijauan berbasis leguminosa semak dan pohon (rumput gajah : gamal : waru = 1 : 3 : 1) dengan tingkat konsentrat 15% memiliki neraca nitrogen yang terbaik. Hal ini menunjukan bahwa pakan yang diberikan dapat terserap dan termetabolis lebih efisien di dalam tubuh (Dinata dan Sentana, 2004). Upaya untuk mengoptimalkan penggunaan tannin, dapat dilakukan dengan sistem pemberian pakan co-feeding. Sistem pemberian co-feeding ini yaitu pemberian dengan mencampurkan dua tanaman yang mengandung tannin yang tinggi dan tannin yang rendah, dimana fungsinya untuk mencegah sebagian protein terlarut agar tidak pecah di dalam rumen. Sistem co-feeding yang diberikan pada sapi bunting tua yang dipelihara peternak di Jawa Timur dapat memberikan hasil yang positif terhadap performans, reproduksi, menekan kematian dan interval beranak dapat diperpendek.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sistem pemberian pakan cofeeding dapat memberikan efek positif pada performans ternak, sehingga pemberian antara tanaman Calliandra calothyrsus dan Indigofera sp. yang dicampurkan diharapkan dapat menghasilkan performans dan nilai kecernaan yang tinggi. Berdasarkan penelitian Trisnadewi dan Cakra (2015) nilai kecernaan kaliandra sekitar 64,74% dan 65,39% untuk kecernaan bahan kering dan bahan organik, dan menurut Paterson (2001) kecernaan kaliandra sangat bervariasi, dari sekitar 30-60%. Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik Indigofera sp. menurut Hassen, dkk. (2006) berturut-turut 74,0% dan 63-75%. Nilai kecernaan pada pakan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kemudahan pakan didegradasi oleh mikroba rumen dan dicerna oleh enzim pencernaan di pascarumen. Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka dapat diambil hipotesis bahwa campuran imbangan pada perlakuan P6 (70% rumput : 15% Indigofera sp. : 15% Calliandra) menghasilkan produksi feses dan kandungan N feses terendah. 1.6. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 12 minggu terhitung dari mulaimya penelitian pada bulan Januari 2018 di Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba, Margawati, Garut, Jawa Barat. Analisis N feses dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Universitas Padjadjaran.