1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan daging sebagai bahan baku produk peternakan guna memenuhi kebutuhan gizi masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas usaha di bidang peternakan maka salah satu faktor yang perlu mendapat penanganan yang lebih serius adalah penanganan yang lebih diarahkan untuk mempertahankan kualitas yang baik. Daging sapi adalah salah satu produk pangan yang mudah rusak karena daging kaya akan zat yang mengandung nitrogen, mineral, karbohidrat, dan kadar air yang tinggi serta ph yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk pertumbuhannya. Perkembangan mikroorganisme dapat menyebabkan perubahan kualitas daging karena mikroorganisme ini dapat mengakibatkan perubahan fisik, kimiawi maupun mikrobiologi yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Kerusakan daging tergantung pada kebersihan pada saat pemotongan dan penanganan setelah dipotong. Kondisi kebersihan yang tidak terjaga akan mempermudah kontaminasi dan mempercepat pertumbuhan mikroorganisme dalam daging terutama oleh bakteri pembusuk yang menyebabkan daya awet daging berkurang. Metode pengawetan daging dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut agar kualitas daging tidak cepat menurun akibat pencemaran oleh bakteri pembusuk. Pengawetan daging merupakan salah satu cara untuk menyimpan daging dalam jangka waktu yang cukup lama agar kualitasnya tetap terjaga. Salah satu cara
2 untuk menjaga kualitas daging adalah dengan menambahkan bahan aditif berupa zat antimikroba dalam bentuk rempah-rempahan. Salah satu jenis rempahrempahan yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah jahe. Jahe dapat dijadikan sebagai antimikroba alami karena adanya pengaruh zat zingeron dan gingerol yang merupakan senyawa turunan metoksi fenol dalam oleoresin jahe dan menyebabkan rasa pedas yang disebabkan oleh senyawa keton. Jahe dapat mengawetkan dan menambah masa simpan produk makanan. Jahe pun dapat ditambahkan dengan kadar tertentu pada bahan pangan sebagai penambah cita rasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengaruh konsentrasi perendaman daging sapi dalam sari jahe merah terhadap total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas. 1.2 Identifikasi Masalah 1. Bagaimana pengaruh konsentrasi perendaman menggunakan sari jahe merah terhadap total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi. 2. Berapa konsentrasi perendaman menggunakan sari jahe merah yang optimal terhadap total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi. 3. Bagaimana pola hubungan antara konsentrasi sari jahe merah dengan total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi.
3 1.3 Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui pengaruh konsentrasi perendaman menggunakan sari jahe merah terhadap total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi. 2. Menentukan konsentrasi perendaman daging sapi menggunakan sari jahe merah yang optimal terhadap total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas. 3. Menentukan pola hubungan antara sari jahe merah dengan total bakteri, awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi ilmiah yang baik bagi para peneliti, akademisi, pemerintah, produsen maupun konsumen daging sapi. Selain itu diharapkan menjadi informasi praktis bagi masyarakat umum pada pengolahan daging sapi untuk menggunakan sari jahe sebagai bahan pengawet daging. 1.5 Kerangka Pemikiran Daging merupakan bahan makanan bergizi tinggi, namun merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya mikroorganisme. Invasi mikroorganisme ke dalam daging (infeksi) menyebabkan daging mengalami penurunan kandungan gizi dan tidak aman untuk dikonsumsi serta tidak menarik karena terjadinya beberapa perubahan seperti pembusukan. Batas maksimum total bakteri pada daging segar, karkas dan daging cincang yaitu 1 x 10 6 koloni/g (Standar Nasional Indonesia, 2009).
4 Jumlah bakteri pencemar pada permukaan karkas berkisar antara 10 2 koloni/g sampai 10 4 koloni/g dan jika dibiarkan jumlahnya akan semakin banyak. Jika jumlah bakteri bertambah mencapai 10 7 koloni/g - 10 8 koloni/g menyebabkan daging berlendir dan berbau busuk dan rusak sehingga tidak cocok untuk dijual (Buckle, dkk., 2009). Oleh karena itu untuk menekan kontaminasi dan perkembang biakan bakteri diperlukan pengawetan. Pengawetan daging adalah usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan atau perubahan pada daging. Metode pengawetan yang digunakan bertujuan untuk mengontrol aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas enzimatik dan reaksi kimia pada daging. Salah satu senyawa yang mengandung antimikroba yang dapat digunakan untuk pengawetan daging adalah jahe merah. Jahe (Zingiber officinale, Roscoe) merupakan jenis rempah-rempah beraroma, mempunyai rasa pedas, hangat, dan umumnya digunakan sebagai bahan penambah cita rasa pada produk-produk peternakan seperti daging sapi. Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya dikenal tiga jenis jahe yaitu jahe putih (kuning besar dan sering disebut jahe gajah), jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah. Secara umum, ketiga jenis jahe mengandung pati, minyak atsiri, serat, sejumlah kecil protein, vitamin, mineral, dan enzim proteolitik yang disebut zingibain. Jahe merah mempunyai kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%) dan ekstrak yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit yang mempunyai kandungan pati (41,48%), minyak atsiri (3,5%), dan ekstrak yang larut dalam alkohol (7,29%) dan jahe gajah kandungan pati (44,25%), minyak atsiri (2,5%), ekstrak yang larut dalam alkohol (5,81%) (Nwinuka, dkk., 2005).
5 Terdapat dua zat penyusun utama yang terdapat di dalam jahe yaitu minyak jahe dan oleoresin. Minyak atsiri memberikan aroma harum sedangkan oleoresin memberikan rasa pedas. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas yang tidak menguap, terdiri atas gingerol, zingiberen, shagaol, minyak jahe dan resin. Jahe memiliki zat aktif yang terdapat pada minyak volatile (minyak atsiri) yang mempunyai komposisi 1-3 % dari bobot. Zat aktif tersebut dapat berfungsi sebagai antioksidan alami (natural antioxidant) yang dapat menurunkan tingkat oksidasi dan mencegah bau (off-flavor). Antioksidan ini dapat bekerja pada daging sebelum ataupun sesudah pengolahan (Ravindran, dkk., 2005) Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jahe, kunyit dan bawang putih sebanyak 10% selama 10 menit berpengaruh terhadap total bakteri daging babi sehingga dapat memperpanjang masa simpan. Hasil rata-rata total bakteri pada kontrol (25,2 x 10 6 CFU/gram) sangat nyata (P<0,01) lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan kunyit (20,6 x 10 6 CFU/ gram), jahe (18,6 x 10 6 CFU/ gram) dan bawang putih (12,5 x 10 6 CFU/ gram) (Nengah, dkk., 2013). Hal ini disebabkan karena jahe mengandung flavonoid, zingeron dan gingerol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai bahan pengawet alami karena bersifat menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian ini diduga akan memberikan hasil yang sama pada daging sapi karena kandungan air dan protein daging sapi hampir sama dengan daging babi. Kadar air dan protein daging sapi berkisar 65-80% dan 16-22% sedangkan kadar air dan protein babi sebesar 60-70% dan 20-28% (Soeparno, 2005). Perendaman daging ikan bandeng dengan konsentrasi ekstrak jahe 6 %, 8%, dan 10% dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hasil terbaik dengan konsentrasi ekstrak jahe 10% yang
6 dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Sriwulandari, 2010). Komposisi kimia daging ikan bandeng tidak jauh berbeda dengan daging sapi. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kadar air dan protein daging ikan bandeng berturut-turut sebesar 74% dan 20% sedangkan kandungan protein daging sapi sebesar 18,10% (Soeparno, 2005). Dengan demikian penelitian ini diduga akan dapat memberikan dampak yang sama jika dilakukan pada daging sapi. Jahe mengandung oleoresin dan minyak atsiri aromatis berupa zingiberen, zingiberol dan gingerol yang dapat menghasilkan rasa pedas pada produk olahan. Pengaruh pemberian jahe merah terhadap karakteristik dendeng daging ayam petelur afkir menunjukkan bahwa perendaman dendeng petelur afkir dalam jahe merah 10 % dapat meningkatkan persentase tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, warna dan rasa dendeng. Daging sapi seperti halnya daging ayam memiliki kandungan protein hampir sama yakni 18,7% dan 18,10% (Soeparno, 2005). Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijabarkan maka penelitian ini akan memberikan dampak serupa jika dilakukan pada daging sapi. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dapat ditarik hipotesis bahwa perendaman daging sapi dengan konsentrasi sari jahe 10% menurunkan total bakteri serta meningkatkan awal kebusukan dan akseptabilitas daging sapi. 1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari tanggal 20-27 Oktober 2017. Lokasi Penelitian bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang.