BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang semakin meningkat pada saat ini mengisyaratkan bahwa masyarakat kalangan menengah sudah semakin sejahtera. Tingkat pendapatan yang mencukupi membuat masyarakat memperbaiki pola konsumsinya. Tak lepas dari itu, kemajuan teknologi dan informasi membuatnya mengerti dan mulai menyisipkan berbagai gizi sebagai sumber energi untuk aktivitas ke dalam makanannya. Sehingga konsumsi pangan bergizi semakin meningkat, salah satunya pada pola konsumsi daging. Menurut Komariah et. al (2009), daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati. Salah satu daging yang mengalami peningkatan jumlah persediaannya adalah daging sapi. Permintaan akan daging sapi yang terus meningkat membuat para produsen daging sapi harus lebih memperhatikan aliran rantai pasok daging sapi agar dapat memenuhi kebutuhan kosumen. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjadi peningkatan jumlah populasi sapi potong maupun jumlah produksi daging sapi. Tabel 1.1 menunjukkan peningkatan jumlah persediaan sapi potong dan daging sapi di DIY. 1
2 Tabel 1.1 Persediaan sapi potong dan daging sapi di DIY periode 2009-2015 Tahun Sapi Potong (Ekor) Daging Sapi (Ton) 2009 283.043 5.384 2010 290.949 5.690 2011 375.844 7.657 2012 358.387 8.896 2013 272.794 8.637 2014 302.011 8.611 2015 306.691 7.584 2016 311.470 7.765 Sumber: Badan Pusat Statistik DIY, 2017 Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa jumlah populasi sapi potong maupun jumlah produksi daging sapi di DIY mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah persediaan tersebut mengindikasikan bahwa jumlah permintaan daging sapi juga meningkat di DIY. Peningkatan persediaan daging sapi setiap tahun mengindikasikan bahwa terjadi fluktuasi permintaan. Hal tersebut juga membuat harga yang meningkat tidak dapat dihindari lagi. Bahkan pada waktu tertentu, harga daging sapi di DIY bisa melebihi harga daging sapi di Kota Besar, seperti Jakarta maupun Bandung. Jumlah produksi daging sapi di DIY yang semakin meningkat setiap tahunnya merupakan akumulasi dari angka produksi daging sapi di Kabupaten/Kota se-diy. Pemotongan yang dilakukan pada setiap Kabupaten/Kota di DIY digunakan untuk memenuhi permintaan daging sapi di DIY. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan daging sapi yang dihasilkan di DIY
3 disetor ke daerah lain. Tabel 1.2 akan menunjukkan jumlah pemotongan sapi potong per Kabupaten di DIY. Tabel 1.2 Jumlah pemotongan sapi di DIY (dalam ekor) periode 2014-2016 Kab/Kota 2014 2015 2016 Kulon Progo 2.735 2.580 2.630 Bantul 13.307 13.554 14.169 Gunung Kidul 6.503 6.220 6.345 Sleman 7.996 8.464 8.510 Kota Yogyakarta 8.667 8.644 8.748 Jumlah 39.208 39.462 40.402 Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2017 Berdasarkan Tabel 1.2 diatas dapat diketahui bahwa kabupaten di DIY yang memproduksi daging sapi tertinggi adalah Kabupaten Bantul. Menurut sumber yang diketahui bahwa sentra produksi daging sapi di Kabupaten Bantul adalah di daerah Segoroyoso. Daging sapi yang diproduksi di Bantul pun tidak hanya dijual dan dikonsumsi oleh warga Bantul, tetapi juga dijual atau dipasok ke daerah lain. Terutama dipasok untuk daerah Kota Yogyakarta yang mempunyai angka konsumsi yang tinggi. Daging sapi dari Bantul dipasok ke Kota Yogyakarta melalui pasar induk yaitu Pasar Beringharjo. Daging sapi yang akan dikonsumsi masyarakat telah melewati beberapa proses pada masing-masing tier dalam rantai pasoknya. Proses-proses tersebut haruslah tetap menjaga kualitas dari daging sapi. Di DIY, proses pemotongan sapi potong menjadi daging sapi dilakukan pada dua tempat yaitu RPH (Rumah Potong Hewan) dan TPH (Tempat Potong Hewan) begitu pula yang terjadi di Bantul. Pemotongan sapi potong menjadi daging sapi seharusnya dilakukan di
4 RPH dibawah pengawasan Dinas Pertanian setempat. Akan tetapi pada prakteknya masih banyak pedagang daging sapi melakukan pemotongan di TPH milik pribadi. Hal ini tentunya akan menimbulkan beberapa risiko, terutama pada risiko kualitasnya. Peningkatan persediaan daging sapi mengindikasikan permintaan daging sapi mengalami peningkatan yang fluktuatif. Sehingga produsen harus lebih memperhatikan persediaan daging sapi agar dapat memenuhi permintaan konsumen. Untuk itu perlu dilakukan pengawasan terhadap aliran rantai pasok daging sapi. Harga yang melambung tinggi juga tidak dapat dihindari dengan banyaknya tier atau tingkatan pelaku usaha dalam sistem yang ada dalam rantai pasok daging sapi. Semakin banyak tier yang dilewati suatu produk maka biaya yang akan dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut juga semakin meningkat. Apalagi daging sapi merupakan produk perisabel, yang mempunyai potensi timbulnya beberapa risiko dalam rantai pasoknya. Penelitian tentang daging sapi sudah banyak dilakukan. Begitu pula dengan penelitian terkait manajemen risiko yang menggunakan dasar ISO 31000 juga telah banyak digunakan untuk mengelola risiko pada beberapa kasus. Penelitian terdahulu terkait daging sapi maupun penerapan ISO 31000 dapat dilihat pada Tabel 1.3. Banyaknya tingkatan pelaku rantai pasok daging sapi dan adanya pemotongan sapi potong yang tidak melalui RPH melainkan TPH, mengakibatkan timbulnya beberapa risiko. Risiko tersebut tidak dapat dihindari tetapi dapat diminimalisasi. Setiap risiko mempunyai dampak dan kemungkinan terjadinya
5 yang berbeda-beda. Perlakuan yang diterapkan pun berbeda-beda tergantung besarnya dampak dan kemungkinan terjadinya risiko tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai Analisis Risiko pada Rantai Pasok Daging Sapi di Kabupaten Bantul, DIY untuk mengetahui faktor-faktor kritis yang menyebabkan timbulnya risiko untuk dinalisis dan dilakukan risk treatment. Tabel 1.3 Penelitian terdahulu terkait daging sapi dan penerapan ISO 31000 No Peneliti Judul Penelitian Tahun 1 Elih Dalilah Evaluasi Nilai Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan Hasil Olahannya 2006 2 Iman Haromain Faktor-Faktor yang Mempengaruhi 2010 Permintaan Daging Sapi di Indonesia pada Tahun 2000-2009 3 Sekar Panawang Analisis Tingkat Persediaan pada Sistem 2013 Rantai Pasok Daging Sapi di Kaupaten Bantul 4 Megita Ryanjani Tanuputri Supply Chain Risk Management dan Analisis Struktur Biaya Logistik untuk Mitigasi Dampak Negatif Mikotoksin pada Komoditas Jagung (Zea Mays L) 2014 5 Demas Seto Analisis Faktor-Faktor Risiko Proyek 2014 Ardhiwirawan Eksplorasi Panas Bumi di Wilayah Kerja Baru Studi Kasus pada PT.X 1.2. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Bantul banyak pengusaha daging sapi/jagal yang melakukan pemotongan sapi potong di TPH dibanding dengan di RPH. Tentu saja hal ini menimbulkan faktor
6 kendala yang berbeda disetiap tier baik daging yang dipotong di RPH maupun di TPH. Para pengusaha daging sapi yang berjualan daging juga mengeluhkan sering mengalami kekurangan maupun kelebihan daging sapi setiap harinya. Faktor kendala ini merupakan bentuk risiko yang harus dihindari. Selain itu kondisi bahwa daging sapi merupakan produk yang perisabel mempunyai potensi timbulnya beberapa risiko. Risiko yang dialami masing-masing memiliki kejadian dan dampak yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan analisis. Selain itu, banyaknya tier yang terlibat dalam rantai pasok daging sapi juga menjadi faktor kendala yang tidak bisa lepas begitu saja. Maka berdasarkan paparan di atas rumusan masalah yang perlu dikaji adalah: 1. Bagaimana peta rantai pasok daging sapi di Kabupaten Bantul? 2. Risiko apa saja yang dimiliki setiap tier dalam rantai pasok daging sapi di Kabupaten Bantul? 3. Perlakuan seperti apa yang tepat dilakukan terhadap risiko yang muncul pada setiap tier? 1.3. Batasan Masalah Terdapat beberapa batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Komoditas yang dikaji dalam penelitian ini adalah daging sapi segar yang diproduksi di Kabupaten Bantul 2. Dalam penelitian ini, sapi potong yang diteliti berasal dari Kabupaten Bantul 3. Daging sapi yang dikirim ke daerah lain hanya untuk daerah yang termasuk dalam lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta
7 4. Indikator yang digunakan sebagai tolak ukur kinerja manajemen risiko rantai pasok meliputi kualitas, kuantitas, dan finansial pada rantai pasok daging sapi dari peternak hingga konsumen. 5. Penentuan kemungkinan kejadian (likelihood) dan dampak yang ditimbulkan (severity) diperoleh dari pemangku risiko (risk owner) 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain: 1. Identifikasi tier pada rantai pasok daging sapi di Kabupaten Bantul 2. Identifikasi faktor-faktor risiko pada rantai pasok daging sapi di Kabupaten Bantul 3. Menentukan mitigasi yang tepat terhadap risiko yang muncul pada setiap tier yang ada 1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Mengetahui pelaku dan peta rantai pasok daging sapi serta risiko yang dialami dari masing-masing tier 2. Menyediakan pemahaman yang lebih luas tentang risiko kepada pelaku rantai pasok daging sapi yang harus bekerja dengan menghadapi risiko
8 3. Memberikan gambaran mengenai penyebab timbulnya suatu risiko dan kemungkinan kemunculannya sehingga dapat dilakukan perlakuan risiko untuk mengurangi dampak rantai pasokan yang buruk.