BAB I PENDAHULUAN. Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran masa lalu (Soemardjan, 1990).

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di Jawa Tengah, wilayahnya meliputi km 2 termasuk 105 km 2 daerah enclave yang masuk dalam wilayah Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran masa lalu (Soemardjan, 1990). Dari luas wilayah tersebut, lebih dari separuhnya yaitu km 2 merupakan lahan pertanian dan 838 km 2 merupakan pekarangan dan tempat tinggal. Sisanya sebesar 478 km 2 merupakan hutan hutan, jalan, tempat penggembalaan ataupun tempat lain yang belum termanfaatkan seperti pantai dan lereng lereng gunung yang curam. Yogyakarta dihuni oleh penduduk seperti disajikan dalam Tabel 1.1 Tabel 1.1 Kepadatan Penduduk di DIY Tahun 2011 Kabupaten atau Kota Daerah (km 2) Jumlah penduduk Kepadatan /(km 2) Kota Yogyakarta 32, Bantul 506, Sleman 574, Gunung Kidul 1.485, Kulon Progo 586, Sumber: BPS Provinsi DIY, Angka angka di atas memperlihatkan perbandingan penduduk yang tinggal di kota dan di desa. Sekitar 11,3 % penduduk Yogyakarta tinggal di kota dan 1

2 2 88,7% sisanya tinggal di desa. Penduduk pedesaan ini 90 % diperkirakan terdiri dari kaum tani baik itu memiliki lahan maupun yang tidak memiliki lahan (Soemardjan, 1990). Yogyakarta merupakan kota yang menjunjung tinggi budaya, hal ini terlihat dari filosofi yang mendasari pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita - cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya. Budaya dalam suatu bangsa merupakan suatu pola tingkah laku yang merepresentasikan nilai nilai dalam masyarakatnya. Dengan kata lain budaya dapat dikatakan sebagai sebuah identitas (Yumni, 2012). Budaya memberikan pengaruh paling luas dan dalam pada perilaku konsumen karena budaya merupakan kumpulan nilai nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku yang dipelajari oleh seorang anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya. Salah satu produk budaya masyarakat Yogyakarta khususnya Gunung Kidul adalah tiwul. Tiwul mulai dikenal masyarakat Yogyakarta pada jaman Belanda. Tiwul terbuat dari singkong yang merupakan tanaman asli dari Amerika Latin. Pada jaman penjajahan, tiwul digunakan untuk mengatasi kelaparan besar ketika tanam paksa (Anonim 1, 2014). Di daerah Gunung Kidul pada jaman dulu tiwul dimakan sebagai pengganti nasi untuk disantap bersama sayur dan lauk-pauk karena mengenyangkan dan lebih murah dibandingkan beras. Biasanya setiap rumah memiliki singkong yang

3 3 dapat dipanen sendiri. Sebagai bahan makanan pokok, tiwul memiliki kalori lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan pangan pengganti beras. Djuwardi (2009) menunjukkan perbedaan kandungan gizi nasi tiwul dan nasi beras adalah seperti pada Tabel 1.2 berikut ini: Tabel 1.2. Kandungan Gizi Nasi Tiwul dengan Nasi Beras. Kandungan Gizi per 100 g Nasi Tiwul Nasi Beras Kadar abu (g) Max. 3 Max. 3 Protein (g) 1,5 2,1 Lemak (g) 0,7 0,1 Karbohidrat (g) Gula (g) 1 2 < 1 Serat Makanan (g) - - Vitamin A (mg) - - Vitamin B12 (mcg) - - Asam folat (mcg) - - Besi (mg) 1,9 0,5 Sumber: (Djuwardi, 2009). Selain dimakan sebagai makanan pokok, tiwul juga dimakan sebagai makanan selingan atau kudapan. Kandungan zat gizi tiwul sebagai kudapan per porsi adalah seperti yang tercantum dalam tabel 1.3 berikut:

4 4 Tabel 1.3 Kandungan Gizi Tiwul per Porsi Zat Gizi Satuan Nilai Energi kkal 237,4 Protein g 1,1 Lemak g 6,4 Karbohidrat g 45,4 Kalsium mg 42,9 Fosfor mg 43,1 Besi mg 1,5 Seng mg 0,1 Sumber: Winarno, 1999 dalam Silitonga, Daya tarik tiwul sesungguhnya terletak pada potensinya dalam menjaga kesehatan pencernaan. Rangkaian proses selama pembuatan tiwul memungkinkan pati yang ada di dalamnya mengalami retrogradasi. Retrogradasi adalah interaksi antar fraksi amilosa pada pati setelah pati tergelatinisasi. Pati retrogradasi merupakan salah satu jenis pati yang lolos dari sistem pencernaan individu sehat. Jenis pati ini sering disebut pati resisten. Pati resisten akan menuju usus besar yang selanjutnya difermentasi oleh bakteri yang ada di dalamnya. Hasil utama fermentasi adalah asam lemak rantai pendek diantaranya asam asetat, propionate dan butirat. Diantara ketiganya, asam butirat merupakan sumber energi utama bagi sel kolon. Butirat dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon pada penelitian in vitro maupun in vivo (Purwani, 2014). Selain mengenyangkan dan sehat, tiwul juga memiliki harga yang murah karena bahan baku singkong mudah ditemukan. Produksi singkong tertinggi di

5 5 Yogyakarta berasal dari daerah Gunung Kidul seperti dituliskan dalam Tabel 1.4 di bawah ini. Tabel 1.4. Luas Panen dan Hasil Produksi Singkong Provinsi DIY tahun 2011 No Kabupaten Luas Panen (Ha) Produksi (ton) 1 Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta - - Sumber: BPS Daerah Istimewa Yogyakarta, Perkembangan Yogyakarta sebagai daerah wisata menyebabkan tiwul berubah citranya dari makanan pokok pengganti nasi menjadi makanan khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Rakernas Kadin Indonesia Bidang Industri Tradisional Berbasis Budaya dan Bidang Industri Kreatif & MICE bulan Oktober 2013 lalu, dikatakan bahwa industri kreatif sebagaimana perkembangan di berbagai negara secara empiris mampu menjadi sektor pendorong bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya termasuk industri berbasis budaya. Namun demikian, hingga saat ini kontribusi ekspor dan PDB dari industri berbasis budaya dan industri kreatif masih sekitar 1 % sedangkan prospek pengembangan kedua sektor ini ke depan sangat besar (Anonim 2, 2014).

6 6 Akan tetapi dengan arus globalisasi saat ini banyak makanan impor dan makanan modern yang membanjiri pasar pasar di Yogyakarta, menjadikan produk tiwul mulai kurang diminati karena tiwul terkesan ndeso. Anna Susilaningtyas, peneliti Lembaga Konsumen Yogyakarta mengatakan bahwa gaya hidup dan penilaian sosial status pengonsumsi tiwul mempengaruhi bagaimana masyarakat memperlakukan pangan lokal tersebut. Terlebih anggapan di masyarakat mengatakan, mereka yang mengonsumsi tiwul statusnya lebih rendah dari yang mengonsumsi nasi. Berdasarkan penelitian Andrarini (2004), sebanyak 66,7 % sampel masyarakat di desa daerah Gunung Kidul mengkonsumsi tiwul disebabkan karena alasan ekonomi, sedangkan 33,3 % sampel masyarakat di kota mengkonsumsi tiwul adalah karena untuk hidangan selingan dan mengobati rasa rindu ingin makan tiwul. Meski potensinya besar, saat ini sebagian besar warga tidak lagi mengenal pangan lokal di daerahnya. Bahkan berdasarkan sebuah survei, pangan lokal hanya dikenal oleh 20 % masyarakat. Tanpa upaya berarti, pangan lokal yang potensial ini akan semakin terlupakan. Upaya untuk terus melestarikan tiwul sebagai produk budaya perlu dipertahankan. Upaya tersebut dapat tercapai apabila pemerintah dan pelaku industri tiwul mengetahui prospek produk tiwul dilihat dari budaya masyarakat di Yogyakarta sehingga dapat diterapkan strategi yang tepat dalam pengembangan produk tiwul.

7 7 1.2 Rumusan Masalah 1.Apa yang menyebabkan masyarakat memilih produk tiwul? 2. Bagaimana prospek industri tiwul? 3. Bagaimana strategi yang harus dikembangkan industri tiwul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 1.3 Batasan Masalah a. Penelitian dilakukan pada industri tiwul di Kabupaten Gunung Kidul berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Koperasi Gunung Kidul. b. Kebiasaan makan masyarakat dilihat dari kebiasaan masyarakat di daerah desa, masyarakat di daerah kota dan wisatawan di Daerah Istimewa Yogyakarta c. Kekuatan dan kelemahan industri dilihat dari segi pasar, teknis dan finansial. d. Peluang dan ancaman produk tiwul dilihat berdasarkan kebiasaan makan masyarakat Yogyakarta yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, pengetahuan membuat tiiwul dan preferensi rasa tiwul. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui struktur pasar industri tiwul di Yogyakarta. 2. Mempelajari kekuatan dan kelemahan produk tiwul dilihat dari aspek internal perusahaan.

8 8 3. Menganalisis peluang dan ancaman produk tiwul berdasarkan budaya masyarakat di Yogyakarta. 4. Mengevaluasi prospek industri tiwul di Yogyakarta. 5. Memberikan usulan strategi pengembangan industri tiwul. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi pelaku industri: Sebagai dasar pengambilan keputusan dalam mengembangkan industri tiwul agar memiliki prospek yang baik dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang ada. 2. Bagi pemerintah: Sebagai dasar bagi penentuan kebijakan pengembangan UKM dan makanan tradisional Yogyakarta khususnya tiwul.