BAB 1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gangguan mental pada immigrants telah ada sebelum terjadinya migrasi dan berkembang selama proses imigrasi, seperti saat mereka tinggal di lokasi pengungsi pada bulan dan tahun pertama atau saat mereka pertama kali di negara tempat mereka bermigrasi. Proses migrasi dan trauma sebelumnya dapat memicu timbulnya sindrom depresif atau mengalami eksaserbasi dari gangguan yang sudah ada sebelumnya. 1 Jumlah migrasi terus berlanjut hingga awal dekade abad 21 populasinya diperkirakan meningkat lebih dari 50 juta hingga tahun 2050. Pada abad 20 hampir sebagian besar populasi immigrants berkonsentrasi di kota industri hal ini berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya, saat ini immigrants telah tersebar di seluruh negara. 1 Tahun 1990 sampai 2005 total jumlah immigrants di dunia termasuk para temporary immigrants, refugee, asyluum seekers meningkat 30% dari 155 juta ke 191 juta orang sekitar 3% dari populasi di dunia. Tahun 2005 hampir seluruh immigrants di seluruh dunia tinggal di negara Asia, dan Afrika sekitar 15%, Eropa dan Amerika Utara kurang dari 5%. 1 Data statistik yang diperoleh dari International Organization for Migration (IOM) yang berada di Indonesia per 30 Juni 2011 menyebutkan jumlah migrants yang berada di Indonesia adalah sebanyak 1639 orang dan terbanyak berasal dari Afganistan sebanyak 856 orang atau sekitar 52,2%. Penyebaran migrants terbanyak sekitar 23,79% berada di Medan, 19,40% Tanjung Pinang, 16,47% Bogor, Surabaya 7,99%, Makasar 8,24%, Jakarta 6,22%, Kupang 5,43%. 2 Data per 1 November 2011 Di Medan jumlah immigrants Afganistan sebanyak 257 orang dengan usia terbanyak 18 hingga 50 tahun sebanyak 216 immigrants, dan kelompok laki-laki dijumpai sebanyak 244 orang dan wanita sebanyak 13 orang. 2 Immigrants dan pengungsi sebagian besar yang berasal dari negara muslim memiliki pengalaman buruk baik pada saat sebelum, saat dan
sesudah bermigrasi dan berdampak terhadap emosional dan merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah yang berhubungan dengan kejiwaan. Prevalensinya di negara berkembang 76,3% sampai 85,4% dan di negara kurang berkembang 35,5% sampai 50,3%. 1,3 Kehidupan immigrants dari negara konflik atau mengalami peperangan ke negara berkembang menyebabkan mereka mengalami kesulitan sehubungan dengan rendahnya keahlian mereka, tidak dapat membaca tulis, kendala bahasa, kondisi kesehatan, menimbulkan masalah kejiwaan sebelum mereka bermigrasi, sosioekonomi, konflik perang berkepanjangan di negara asal yang terkait dengan aspek sukuisme, politik keamanan dan lain sebagainya juga menjadi alasan immigrants melakukan migrasi, telah menempatkan mereka kedalam kelompok yang memiliki risiko menjadi gangguan jiwa yang kronis. 1-4 Menurut pandangan Bhugra pada tahun 1996 sindrom depresif seperti perasaan bersalah malu dan kehilangan minat dijumpai bervariasi pada setiap budaya. Murphy dan kawan-kawan pada tahun 1967 melaporkan para psikiater di 30 negara menjumpai prevalensi yang bervariasi dari sindrom depresif seperti rasa lelah, kehilangan selera, kehilangan ketertarikan seksual, kehilangan berat badan. Bhugra pada tahun 2003 menyebutkan adanya rasa bersalah, keluhan somatik dan malu pada migrants tergantung dari budaya asal mereka, sehingga kadang mereka mengabaikan sindrom depresif tersebut. 3 Suatu metaanalisis dari 37 studi epidemiologi di dunia pada survey kesehatan jiwa dunia menemukan angka depresi sebesar 56,3%. Data National Comorbidity Survey Replication (NCS R) sekitar 41,2% pada orang Meksiko sebanyak 78,2%, dan pada negara berkembang hampir 100%, dan suatu studi yang dilakukan pada immigrants yang berada di Amerika sekitar 89%. Prevalensi seumur hidup 19,8%. 1,5 Ismail R, Siste K, 2010 yang menyebutkan depresi terjadi sekitar usia 40 tahun dengan onset usia 20 hingga 50 tahun. 6 Usia rata-rata onset gangguan depresif adalah 40 tahun dan 50% dari seluruh pasien onsetnya
tahun. 7 Penelitian yang dilakukan oleh Finch pada tahun 2000, Sodowsky dan antara usia 20 hingga 50 tahun. 7 Data epidemiologi terbaru menyebutkan insiden gangguan depresi dapat meningkat pada usia lebih muda dari 20 Lai pada tahun 1997 immigrants yang memiliki pendidikan rendah sangat mudah mengalami pengalaman dalam kesehatan jiwa salah satunya adalah depresi. Penelitian yang dilakukan Min dan Song tahun 1998 terhadap immigrants Korea yang bermigrasi ke Amerika Serikat dijumpai memiliki status pendidikan rendah yang banyak mengalami sindrom depresif. 8 Diaz MJ, Perez MA, Farley T, Cabanis CM tahun 2004 yang menyatakan sindrom depresif banyak dijumpai pada immigrants Meksiko yang menikah sebanyak 72,4%. Kondisi ini disebabkan beberapa faktor antara lain proses akulturasi, culture shock, culture conflict. 3,5,9-10 Dukungan sosial yang lemah atau tidak ada dukungan termasuk didalamnya jaringan sosial, interaksi sosial dan keikutsertaan keluarga dapat menjadi pertimbangan sebagai faktor risiko utama terjadinya sindrom depresif hingga terjadinya gangguan mental lain. 11 Penelitian epidemiologi pada kelompok immigrants tentang sindrom depresif masih belum jelas dan dapat dikatakan sangat sedikit. 2 Hasil pengamatan pada kunjungan ke klinik IOM di lokasi pengungsi Padang Bulan terhadap irreguler migrants Afganistan dijumpai yang tidak mengikutsertakan keluarga inti sebagian besar mengalami sindrom depresif. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melihat faktorfaktor yang berkaitan dengan sindrom depresif pada irreguler migrants Afghanistan yang berada di Medan dihubungkan dengan usia, tingkat pendidikan, status pernikahan dan keikutsertaan keluarga. Seiring dengan perhatian yang diberikan terhadap immigrants di Indonesia khususnya di bidang kesehatan jiwa masih sedikit sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini walaupun negara Indonesia hanya menjadi transit bagi para imigran tetap dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa dan deteksi
sedini mungkin sindrom depresif yang mungkin dapat berkembang menjadi masalah jiwa yang kronis. 1.2. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1.2.1. Apakah terdapat sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan? 1.2.2. Apakah terdapat hubungan sindrom depresif pada irregular migrants Afganistan berdasarkan usia, pendidikan, status pernikahan? 1.2.3. Apakah terdapat hubungan sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan berdasarkan status keikutsertaan keluarga pada irreguler migrants membawa keluarga dan tidak membawa keluarga? 1.3. Hipotesis 1.3.1.Terdapat sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan. 1.3.2.Terdapat hubungan sindrom depresif berdasarkan usia, pendidikan, status pernikahan. 1.3.2.Terdapat hubungan sindrom depresif dengan status keikutsertaan keluarga pada irreguler migrants yang membawa keluarga dan tidak membawa keluarga? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui berapa banyak proporsi irreguler migrants Afganistan yang mengalami sindrom depresif dengan menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory II (BDI II). Tujuan Khusus Mengetahui hubungan sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan berdasarkan karakteristik demografik usia, pendidikan, status pernikahan.
Mengetahui hubungan sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan berdasarkan keikutsertaan keluarga dengan membawa keluarga dan tidak membawa keluarga 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat sindrom depresif pada irreguler migrants Afganistan, sehingga mereka bisa mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih adekuat untuk sindrom depresif, memberikan informasi pada pembuat keputusan kesehatan (health policy maker) dengan memberikan informasi tentang aspek penting dari kesehatan jiwa yang dibutuhkan oleh para irreguler migrants. Hasil penelitian lanjutan yang sejenis atau penelitian lain yang memakai penelitian ini sebagai bahan acuannya.