I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena beberapa penyakit sistemik dapat bermanifestasi ke rongga mulut (Mays dkk., 2012). Stomatitis aftosa rekuren atau sering disingkat SAR merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang sering dialami masyarakat pada umumnya. Kurang lebih 20% dari masyarakat dunia mempunyai riwayat SAR dengan prevalensi terjadinya SAR pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Boras dan Savage, 2007). Penderita SAR umumnya berusia kurang dari 40 tahun, dengan mayoritas terjadi pada ras kaukasian, tidak merokok, dan kelas sosial ekonomi yang tinggi (Rivera-Hidalgo dkk., 2004; Shulman, 2004). Perkembangan SAR dapat didahului oleh sensasi prodromal seperti rasa terbakar, gatal atau tersengat. Tahap selanjutnya pra ulserasi dengan terbentuk area kemerahan disertai sensasi nyeri bertambah, lalu diikuti oleh tahap ulserasi yang bertahan hingga 7-14 hari. Tahap akhir penyembuhan ditandai dengan terjadi granulasi diikuti migrasi jaringan epitel tanpa pembentukan jaringan parut (Sharumati dkk., 2014). Stomatitis aftosa rekuren merupakan ulkus kambuhan yang menyakitkan di mukosa mulut, dengan karakteristik ulkus dangkal, berbentuk oval atau bulat, dikelilingi batas jelas warna merah, dan permukaannya tertutup oleh selaput berwarna putih kekuningan. Umumnya ulkus muncul pada mukosa non keratinisasi (Chavan dkk., 2012). Manifestasi klinis SAR dapat tunggal atau jamak, dengan interval kambuhan bervariasi antara 2-3 bulan (Scully dkk., 2008; 1

2 2 Field dkk., 2006). Ulkus pada lidah dapat mengganggu fungsi mengunyah dan ketidaknyamanan saat bicara, sedangkan ulkus di palatum lunak, orofaring, dan esofagus dapat mengganggu fungsi bicara dan menelan (Bruch dan Treister, 2010). Penilaian klinis keparahan SAR tidak memerlukan uji laboratorium, karena tidak adanya gambaran histologis yang spesifik (Baccaglini dkk., 2013). Salah satu penilaian klinis keparahan SAR dikembangkan oleh Tappuni dkk. (2013) yang disebut Ulcer Severity Score (USS). Kriteria penilaian ini meliputi 6 aspek, yaitu jumlah ulkus, ukuran ulkus, durasi SAR, periode bebas SAR, lokasi SAR, serta skala nyeri. Faktor timbulnya SAR sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, beberapa peneliti melaporkan terdapat kondisi multifaktorial. Porter dkk. (1998) melaporkan faktor etiologi timbulnya SAR dapat dibedakan menjadi faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal berupa genetik, perubahan sistem imun, infeksi mikroba, dan faktor sistemik meliputi sindrom Behcet s dan sindrom Sweet. Scully dkk. (2003) melaporkan ada 2 faktor utama timbulnya SAR yaitu faktor etiologi, meliputi riwayat keluarga dan perubahan sistem imun, dan faktor predisposisi meliputi trauma, hormon, alergi makanan tertentu, frekuensi merokok dan faktor psikologis. Faktor psikologis yang berperan dalam perkembangan SAR antara lain kecemasan, stres, dan depresi (Gavic dkk., 2014). Stres merupakan sebuah terminologi yang mengindikasikan berbagai jenis koping pada individu terhadap peristiwa dalam hidupnya. Reaksi terhadap stres bervariasi pada beberapa orang. Reaksi koping positif apabila mampu

3 3 menyesuaikan diri lebih baik, dan mempelajari hal baru, dan reaksi koping negatif apabila tidak mampu menyesuaikan diri sehingga berkembang suatu penyakit (Janusek dkk., 2012). Ansietas atau kecemasan merupakan kondisi pada seseorang ditandai dengan ketakutan terhadap sesuatu tanpa penyebab jelas, disertai rasa panik dalam suatu peristiwa hidupnya (Li dkk., 2007). Depresi dalam bahasa psikologi klinis merupakan sindrom atau kumpulan beberapa gejala emosional, fisik, dan perilaku yang ditandai dengan kesedihan, harga diri rendah, kehilangan kesenangan dan susah konsentrasi (Pinsky, 2010). World Health Organization (WHO) 2012 melaporkan bahwa kurang lebih 350 juta orang di dunia menderita depresi, dan dilaporkan 1 dari 20 orang mempunyai riwayat depresi pada 17 negara tertentu. Depresi dapat berubah menjadi kambuhan atau menjadi kronis, sehingga menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu, bahkan dalam kondisi depresi berat dapat menyebabkan bunuh diri (WHO, 2012). Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi (UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Menurut Laurence dkk. (2009) dalam pengamatannya terhadap mahasiswa menyatakan bahwa mahasiswa rentan mengalami stres, suatu kondisi yang dapat meningkatkan risiko terkena depresi. Stres yang tinggi mengakibatkan munculnya gejala depresi, seperti insomnia dan kelelahan (Laurence dkk., 2009). Galan dkk. (2013) menemukan bahwa prevalensi depresi cukup tinggi pada mahasiswa kedokteran gigi tahun kedua dan keempat. Penyebab munculnya depresi pada mahasiswa kedokteran gigi diantaranya adalah menurunnya nilai akademik, masalah keuangan, padatnya

4 4 kegiatan pre-klinik, kecemasan mengenai karir masa depan dan kurangnya dukungan sosial sekitar mahasiswa (Laurence dkk., 2009). Beberapa peneliti melaporkan SAR sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Suling dkk. (2013) melaporkan mahasiswa FKG Universitas Sam Ratulangi yang mengalami SAR sebanyak 68%. Ulkus SAR dapat muncul karena faktor stres (Gallo dkk., 2009; Huling dkk., 2012). Al-Omiri dkk. (2012) melaporkan bahwa ansietas atau kecemasan sering dialami oleh penderita SAR. Gallo dkk. (2009) mengemukakan faktor stres mempengaruhi keparahan SAR dengan melebarnya ulkus seiring dengan stres yang meningkat, sedangkan menurut Huling dkk. (2012), besarnya stres dapat mempengaruhi durasi dan munculnya SAR. Depresi yang dialami oleh mahasiswa merupakan dampak negatif terhadap stres yang dapat memicu kesehatan fisik lainnya (Dyrbye dkk., 2006). Aytugar dkk. (2014) melaporkan bahwa faktor depresi mempengaruhi frekuensi kemunculan SAR lebih tinggi. Gavic dkk., (2014) melaporkan bahwa depresi yang dialami penderita SAR berpengaruh terhadap intensitas rasa nyeri dan meningkatnya kekambuhan SAR. Penelitian menunjukkan bahwa ulkus SAR terjadi akibat aksi sitokin abnormal dalam mukosa mulut yang meningkatkan respon imun tubuh (Natah dkk., 2000). Pasien SAR mengalami peningkatan level TNF-α, sitokin (IL-2, IL-6, IL-10, IL-1β), VCAM-1 (vascular adhesion molecule), sel mast, makrofag, dan genotip Th1 (Guimaraes dkk., 2007). Peningkatan jumlah IL-1β, TNF-α dan genotip inflamasi Th1 berhubungan dengan perkembangan SAR (Bazrafshani

5 5 dkk., 2002). Level IL-1β telah diuji meningkat dalam darah dan cairan serebrospinal pada pasien depresi, sehingga genotip inflamasi Th1 yang telah diidentifikasikan berhubungan dengan SAR dan membentuk IL-1β tinggi mempunyai hubungan terhadap depresi (Rosa dkk., 2004). Hubungan depresi dengan SAR dapat diketahui berdasarkan penjelasan di atas. Berdasarkan latar belakang di atas perlu diketahui hubungan mengenai depresi yang terjadi pada mahasiswa FKG dengan keparahan SAR. Penjelasan di atas mengemukakan risiko depresi pada mahasiswa FKG karena berbagai hal. Mahasiswa FKG yang menderita SAR perlu diidentifikasi keparahan dan penyebabnya secara psikologis seperti depresi. B. Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dari latar belakang di atas adalah apakah terdapat hubungan antara depresi dengan keparahan SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM? C. Keaslian Penelitian Penelitian ini untuk mengetahui hubungan depresi dengan tingkat keparahan SAR pada mahasiswa FKG UGM. Penelitian tentang hubungan depresi dan timbulnya SAR, sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Aytugar dkk. (2013) membandingkan tingkatan ansietas dan depresi pada pasien Behcet s dengan pasien SAR, diketahui pasien Behcet s tingkatan ansietas dan depresi lebih tinggi. Gavic dkk. (2014), meneliti hubungan faktor psikologis, ansietas, stres dan depresi pada pasien SAR dan pasien oral lichen planus, diketahui sebanyak 48% pasien SAR mengalami depresi.

6 6 Farhadmollashahi dkk. (2011), meneliti hubungan antara ansietas dan depresi yang timbul pada pasien SAR yang berkunjung di klinik Oral Medicine Zahedan Dental School, Iran, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara ansietas dan depresi dengan SAR. Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa FKG untuk mengetahui hubungan depresi dengan keparahan SAR belum pernah dilakukan. Penelitian ini menghubungkan antara depresi dengan keparahan SAR yang dialami oleh mahasiswa S1 FKG UGM dengan menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory (BDI) oleh Beck (1985) dan kuesioner Ulcer Severity Score (USS) oleh Tappuni dkk. (2013). D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan keparahan SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan khalayak umum diantaranya: 1. Mengetahui keparahan SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM 2. Memberikan informasi mengenai hubungan depresi dengan keparahan SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM.