BAB IV PEMBAHASAN Pembahasan audit operasional atas fungsi pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku pada PT. TWK dilakukan berdasarkan hasil pengumpulan dan pengujian bukti audit pada tahap Survey Pendahuluan (Preliminary Survey) dan Evaluasi atas Sistem Pengendalian Manajemen (Review & Testing of Management Control System) perusahaan, melalui: 1. Inquiries of the Client. a) Internal Control Questionnairres. Internal Control Questionnairres dibagikan kepada 3 (tiga) orang staf Departemen PPIC, 3 (tiga) orang Grader Bahan Baku, 3 (tiga) orang staf Departemen Pemasaran, 3 (tiga) orang staf Departemen Ekspor/Impor, 1 (satu) orang Supervisor Gudang Basah, dan 1 (satu) orang Supervisor Gudang Kering. b) Wawancara. Melakukan wawancara dengan staf Departemen PPIC, Grader Bahan Baku, Supervisor Gudang Basah, Supervisor Gudang Kering, staf Departemen Pemasaran, serta staf Departemen Ekspor/Impor untuk memperoleh gambaran mengenai pengendalian intern dalam fungsi pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku. 2. Observation. Melakukan pengamatan atas aktivitas penyimpanan persediaan bahan baku di Gudang Basah maupun Kering. 51
3. Documentation. a) Mempelajari tahap-tahap prosedur pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku. b) Melakukan pemeriksaan atas bukti-bukti pendukung aktivitas pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku di perusahaan, yaitu: Purchase Order, Sales Order, Working Order, Bukti Penerimaan Barang, Bukti Pengeluaran Barang, dan Laporan Grader. IV.1. Hasil Evaluasi atas Pengendalian Intern pada Fungsi Pembelian dan Pengelolaan Persediaan Bahan Baku PT. TWK Pengendalian intern yang kuat dalam fungsi pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku akan mendukung kegiatan operasional perusahaan berjalan dengan baik. Beberapa temuan dari hasil evaluasi atas fungsi pembelian dan pengelolaan persediaan bahan baku pada PT. TWK adalah sebagai berikut: 1. Direktur Pemasaran juga merangkap sebagai Fungsi Pembelian dalam perusahaan. Sejak pengunduran diri Direktur Pembelian (15 Desember 2008), Fungsi Pembelian tidak lagi diisi, tetapi ditangani langsung oleh Direktur Pemasaran. Seharusnya, tiap posisi/jabatan dalam struktur organisasi perusahaan diisi oleh orang-orang yang kompeten, agar setiap fungsi dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Direktur Pemasaran juga merangkap sebagai Fungsi Pembelian disebabkan Direktur Pemasaran yang merupakan pemilik perusahaan menilai bahwa Fungsi Pembelian dapat ditangani oleh dirinya sendiri. 52
Akibatnya, beban kerja dari Direktur Pemasaran menjadi berlebihan (over-load) dan fungsi pengendalian intern dalam perusahaan menjadi tidak dapat berjalan dengan baik/dengan semestinya. Sebaiknya, perusahaan tetap berpedoman pada job description yang telah ditetapkan berdasarkan SK 001/PS/TWK-XII/2007. Job description tersebut telah menjabarkan secara spesifik wewenang tugas dan tanggung jawab dari masingmasing posisi/jabatan dalam perusahaan. Selain itu, perusahaan juga perlu mencari personil yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengisi posisi Fungsi Pembelian. 2. Terdapat penggunaan kayu kualitas terbaik, yaitu kualitas A, sebagai kayu tempelan. Padahal penggunaan kayu kualitas A sebagai kayu tempelan tidak memberikan nilai tambah (added value) terhadap barang jadi. Terdapat penggunaan kayu kualitas terbaik, yaitu kualitas A, sebagai kayu tempelan. Penggunaan kayu kualitas A sebagai kayu tempelan tidak memberikan nilai tambah (added value) terhadap barang jadi. Dari hasil sampling yang dilakukan dalam periode Januari s/d April 2009, diketahui bahwa kayu kualitas A yang dipakai sebagai kayu tempelan adalah sebagai berikut: Ukuran yang No. PO Jenis kayu seharusnya Ukuran yang dibeli Volume Rp. 003/PO/TWK-JKT/I/09 Meranti 44x240x2450 mm 42x240x2450 mm 300 m 3 567 juta 001/PO/TWK-JKT/II/09 Kruing 38x240x2450 mm 36x240x2450 mm 100 m 3 156 juta 001/PO/TWK-JKT/III/09 Bayur 21x240x2450 mm 20x240x2450 mm 100 m 3 166 juta 53
Seharusnya, kayu yang digunakan sebagai kayu tempelan adalah kayu-kayu dengan kualitas C atau D. Berdasarkan hasil sampling yang telah dicantumkan di atas, apabila perusahaan membeli kayu kualitas C atau D maka biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebagai berikut: Jenis kayu Volume Rp. Meranti 300 m 3 240 juta Kruing 100 m 3 60 juta Bayur 100 m 3 50 juta Kondisi tersebut disebabkan Direktur Pemasaran melakukan pembelian tidak berdasarkan hasil estimasi kebutuhan bahan baku serta spesifikasi ukuran dari Departemen PPIC. Apabila menunggu estimasi kebutuhan bahan baku serta spesifikasi ukuran dari Departemen PPIC, maka dibutuhkan waktu sekitar 5-6 hari hingga Departemen PPIC menerbitkan Surat Permintaan Pembelian. Akhirnya kayukayu kualitas A yang under-sized tersebut tidak dapat digunakan dengan semestinya. Oleh karena itu, kayu-kayu tersebut dijadikan sebagai kayu tempelan oleh Departemen Produksi. Akibat dari penggunaan kayu kualitas A sebagai kayu tempelan adalah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan. Dari hasil sampling yang dilakukan dalam periode Januari s/d April 2009, dapat diketahui bahwa peningkatan biaya produksi perusahaan adalah sebagai berikut: 54
Peningkatan biaya Jenis kayu Volume Kayu kualitas C/D Kayu kualitas A produksi Meranti 300 m 3 240 juta 567 juta 327 juta Kruing 100 m 3 50 juta 156 juta 106 juta Bayur 100 m 3 60 juta 166 juta 106 juta Sebaiknya, Direktur Pemasaran melakukan pembelian berdasarkan estimasi dari Departemen PPIC. Oleh karena itu, Departemen PPIC harus mengusahakan agar pembuatan estimasi kebutuhan dan spesifikasi ukuran bahan baku dapat dipercepat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menambah personil dalam Departemen PPIC, yaitu bagian Drafter, yang selama ini tidak ada. Drafter bertugas untuk membuat gambar (outlook) barang jadi dari spesifikasi yang diberikan oleh pelanggan. Dengan adanya Drafter, Estimator dapat menghitung kebutuhan dan spesifikasi ukuran bahan baku dengan lebih tepat dan cepat. Selain itu, untuk kayu tempelan sebaiknya menggunakan kayu kualitas C atau D. Catatan manajemen: Penggunaan kayu kualitas A sebagai kayu tempelan tidak memberikan nilai tambah (added value) terhadap barang jadi tersebut, sebab yang dilihat oleh pelanggan adalah lapisan luar dari produk itu. Yang biasa dijadikan sebagai kayu tempelan adalah kayu dengan kualitas C dan D, dimana kayu-kayu tersebut mengalami cacat kayu berupa pinhole dan bluestain. Kayu tempelan tersebut nantinya akan dilapisi oleh veneer setebal 0,25 mm yang terbuat dari kayu kualitas A. Harga kayu kualitas A adalah Rp.2.100.000/m 3, sedangkan harga kayu tempelan dengan kualitas C dan D adalah Rp.800.000/m 3. 55
3. Terdapat keterlambatan penerimaan bahan baku dari supplier. Berdasarkan hasil sampling terhadap Bukti Penerimaan Barang, khususnya penerimaan bahan baku yang dilakukan dalam periode Januari s/d April 2009, diketahui adanya keterlambatan penerimaan bahan baku yang berkisar antara 5 hingga 7 hari, yaitu sebagai berikut: Nama supplier PT. MKB PT. UKB PT. TMJ No. BTB Tanggal penerimaan seharusnya Tanggal penerimaan bahan baku Keterlambatan Volume 002/BTB/TWK- JKT/I/09 13 Januari 2009 21 Januari 2009 7 hari 150 m 3 004/BTB/TWK- JKT/III/09 4 Maret 2009 13 Maret 2009 7 hari 200 m 3 001/BTB/TWK- JKT/IV/09 22 April 2009 28 April 2009 5 hari 125 m 3 Seharusnya, kayu yang dibeli dapat diterima tepat waktu oleh perusahaan, yaitu pada saat perusahaan membutuhkannya untuk melakukan proses produksi. Keterlambatan penerimaan bahan baku disebabkan dalam Purchase Order tidak dicantumkan mengenai tanggal bahan baku harus sudah diterima oleh perusahaan. Perjanjian mengenai tanggal bahan baku harus sudah diterima hanya dilakukan secara lisan antara perusahaan dengan pihak supplier. Fungsi Pembelian melakukan pencatatan mengenai tanggal penerimaan bahan baku yang telah dijanjikan oleh supplier. Akan tetapi, karena dalam Purchase Order tidak dicantumkan tanggal bahan baku harus sudah diterima, maka pihak supplier dapat berkelit bahwa tidak ada perjanjian secara tertulis antara perusahaan dengan pihak supplier mengenai tanggal tersebut. Selain itu, perusahaan juga tidak mengenakan denda kepada supplier yang terlambat mengirimkan pesanan bahan baku. 56
Akibatnya, perusahaan terlambat memulai proses produksi. Bahan baku belum tersedia ketika Departemen Produksi ingin memulai proses produksi. Karena proses produksi terlambat, maka penyelesaian produk dan pengiriman pesanan ke pelanggan pun menjadi terlambat, sehingga perusahaan dikenakan denda sebesar 10% atas keterlambatan itu. Pelanggan pun akan merasa kecewa karena tidak dapat menerima pesanannya secara tepat waktu. Sebaiknya, dalam Purchase Order dicantumkan tanggal bahan baku harus sudah diterima oleh perusahaan, agar tidak terjadi perbedaan pendapat terkait dengan tanggal tersebut. Selain itu, perusahaan sebaiknya juga mempertimbangkan kemungkinan pengenaan denda kepada supplier yang terlambat mengirimkan bahan baku. Perusahaan juga perlu memiliki arsip/catatan mengenai kinerja para supplier yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memilih supplier di kemudian hari. 4. Perusahaan lebih banyak membeli kayu basah dibandingkan kayu kering. Perbandingan antara pembelian kayu basah dan kayu kering adalah 70%:30%. Perusahaan lebih banyak membeli kayu basah dibandingkan kayu kering. Perbandingan pembelian kayu basah dan kayu kering tersebut adalah 70%:30%. Berikut adalah hasil sampling terhadap Purchase Order perusahaan yang dikeluarkan pada bulan Januari s/d April 2009: No. PO Volume kayu basah yang dibeli Volume kayu kering yang dibeli 001/PO/TWK-JKT/I/09 150 m 3 50 m 3 001/PO/TWK-JKT/II/09 115 m 3 60 m 3 004/PO/TWK-JKT/III/10 170 m 3 80 m 3 57
Seharusnya, perusahaan melakukan pembelian kayu kering dalam volume yang lebih banyak untuk kelancaran produksi serta tetap membeli kayu basah untuk memenuhi mesin KD yang sudah ada. Perusahaan lebih banyak membeli kayu basah dibandingkan kayu kering disebabkan harga kayu basah yang lebih murah di pasaran. Harga kayu basah adalah Rp.1.800.000/m 3, sedangkan harga kayu kering adalah Rp.2.100.000/m 3. Biasanya tiap bulan perusahaan membeli sekitar 1.250 m 3 kayu, yang terdiri dari 70% kayu basah (+/- 875 m 3 ) dan 30% kayu kering (+/- 375 m 3 ). Apabila dihitung, maka pengeluaran perusahaan untuk membeli kayu basah adalah sebesar Rp.1.575.000.000 tiap bulannya. Sedangkan apabila perusahaan membeli 70% kayu kering, maka pengeluaran perusahaan adalah sebesar Rp.1.837.500.000 tiap bulannya. Penyebab lainnya adalah karena supplier lebih senang menjual kayu basah. Dengan menjual kayu basah maka mereka akan mendapatkan cashflow yang lebih cepat. Supplier tidak perlu mengolah dan mengeringkan kayu-kayu basah tersebut terlebih dahulu. Selain itu, perusahaan juga tidak mempunyai skedul pembelian bahan baku. Akibatnya, stok kayu basah menumpuk di gudang dan proses produksi terlambat. Kayu basah tidak dapat langsung digunakan dalam proses produksi dan harus melalui proses KD terlebih dahulu untuk menjadi kayu kering. Perusahaan hanya memiliki 5 chamber (ruangan untuk melakukan proses pengeringan), dimana setiap chamber memiliki kapasitas 50 m 3 kayu. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dalam proses KD adalah +/- 14 hari. Hal ini mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian waktu, karena tidak semua kayu basah yang dibeli dapat langsung masuk ke dalam proses pengeringan, sehingga perusahaan mengalami keterlambatan dalam 58
memulai proses produksinya sebab harus menunggu tersedianya kayu kering yang cukup untuk melakukan produksi. Dengan terlambatnya proses produksi, maka pengiriman pesanan ke pelanggan pun menjadi terlambat. Hal tersebut akan mengakibatkan perusahaan dikenakan denda sebesar 10%. Selain itu, perusahaan pun mengalami kehilangan pelanggan karena kekecewaan pelanggan terhadap keterlambatan itu. Dari hasil penelusuran atas daftar pelanggan dan laporan penjualan, diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) pelanggan yang sudah tidak melakukan pemesanan lagi (repeat order) kepada perusahaan. Sebaiknya, perusahaan melakukan pembelian kayu kering lebih banyak dengan perbandingan 60%:40%. Kebutuhan produksi tiap bulannya sebanyak 1.200 m 3. Dengan kapasitas total chamber sebesar 250 m 3 dan jangka waktu pengeringan +/- 14 hari, maka sebaiknya perusahaan membeli 500 m 3 kayu basah tiap bulannya agar chamber KD dapat digunakan secara optimal. Sedangkan pembelian kayu kering sebanyak 750 m 3 /bulan. Jadi, total pembelian kayu adalah 1.250 m 3 /bulan, sehingga perusahaan mempunyai safety stock sebanyak 50 m 3 /bulan. Total harga pembelian 70% kayu basah dan 30% kayu kering, ditambah dengan biaya KD, adalah sebesar Rp.2.471.875.000/bulan. Biaya KD yang dimaksud terdiri dari biaya tenaga kerja (operator mesin KD), biaya sarana penunjang (seperti solar dan pelumas), serta biaya depresiasi mesin KD, yaitu sebesar Rp.125.000/m 3. Sedangkan apabila perusahaan membeli 60% kayu kering dan 40% kayu basah, ditambah biaya KD, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp.2.537.500.000/bulan. Perusahaan memang akan mengeluarkan biaya yang lebih besar, yaitu sebesar Rp.65.625.000/bulan. Tetapi, perusahaan dapat menggunakan chamber KD secara optimal dan tidak akan terjadi keterlambatan waktu produksi. Perusahaan juga harus 59
mencari beberapa supplier baru yang dapat menyediakan kayu kering. Skedul pembelian bahan baku yang dapat dilakukan oleh perusahaan; disesuaikan dengan kapasitas produksi, lama produksi, kapasitas chamber KD, dan lama pengeringan; adalah sebagai berikut: Januari (pembelian) Februari (produksi) I II III IV I II III IV Kayu basah 250 300 300 300 300 Kayu kering 375 Kayu basah 250 Kayu kering 375 5. Bagian Gudang tidak memiliki Inventory Tag untuk tiap bahan baku yang ada di Gudang. Bahan baku di Gudang ditumpuk secara acak dan tidak diklasifikasikan berdasarkan satu jenis kayu tertentu. Selain itu, kayu-kayu tersebut juga tidak memiliki Inventory Tag. Seharusnya, semua bahan baku yang disimpan dalam Gudang diberikan Inventory Tag untuk memudahkan pengidentifikasian dan monitoring terhadap kuantitas suatu jenis kayu yang ada di Gudang. 60
Kondisi tersebut disebabkan bagian Gudang menganggap bahwa semua personil di Gudang telah memiliki kemampuan untuk melakukan pengidentifikasian jenis kayu, sehingga tidak merasa perlu untuk membuat Inventory Tag. Akibatnya, ketika bahan baku dikirim kepada Departemen Produksi terjadi kesalahan pengambilan bahan baku oleh bagian Gudang, sehingga bahan baku tersebut harus dikembalikan lagi oleh Departemen Produksi ke bagian Gudang. Selain itu, berakibat juga pada tidak diketahuinya saldo sisa dari tiap jenis kayu yang ada di Gudang. Berdasarkan hasil sampling terhadap pengeluaran bahan baku yang dilakukan dalam periode Januari s/d April 2009, diketahui adanya kesalahan jenis kayu dalam pengeluaran bahan baku, yaitu sebagai berikut: No. Working No. Bukti Pengeluaran Jenis kayu yang Jenis kayu yang Order Barang diminta dikeluarkan Volume 002/WO/TWK- JKT/I/09 003/BKB/TWK-JKT/I/09 Kruing Bayur 50 m 3 003/WO/TWK- JKT/II/09 004/BKB/TWK-JKT/II/09 Bayur Duren 75 m 3 005/WO/TWK- JKT/IV/09 001/BKB/TWK-JKT/IV/09 Kruing Bayur 75 m 3 Sebaiknya, kayu-kayu di Gudang disusun berdasarkan satu jenis kayu tertentu. Kemudian, bagian Gudang membuat Inventory Tag yang kemudian ditempelkan pada kayu tersebut. Hal ini akan mempermudah pekerjaan dari personil di bagian Gudang, sebab ia dapat langsung mengenali jenis kayu yang akan diambilnya. Selain itu, monitoring terhadap kuantitas kayu yang ada di Gudang pun dapat lebih ketat. 61
IV.2. Prosedur Audit untuk Tahap Audit Terinci Berhubung adanya keterbatasan dari penulis yang tidak mungkin dalam melakukan audit pada tahap audit terinci, maka berikut ini penulis hanya akan menyusun prosedur audit untuk tahap audit terinci, yaitu sebagai berikut: Pemeriksaan atas transaksi pembelian. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefektifan, keefisienan, dan keekonomisan dari pelaksanaan proses pembelian bahan baku. Prosedur audit: 1. Periksa administrasi perusahaan, yaitu laporan pembelian dan catatan persediaan. 2. Lakukan pengujian secara sampling atas laporan pembelian dan catatan persediaan yang dibuat oleh bagian Akuntansi. 3. Periksa secara sampling dokumen-dokumen yang mendukung proses pembelian bahan baku. 4. Analisa apakah perusahaan memiliki kebijakan mengenai safety stock dan reorder point. 5. Telusuri apakah Fungsi Pembelian menentukan jumlah pesanan ekonomis (Economic Order Quantity) dalam setiap transaksi pembelian. 6. Telusuri apakah Fungsi Pembelian melaksanakan kegiatan pembelian sesuai dengan spesifikasi permintaan dari Departemen PPIC, yaitu dengan mencocokkan Surat Permintaan Pembelian dengan Purchase Order. 7. Periksa apakah Fungsi Pembelian telah melakukan seleksi terhadap para supplier yang akan dijadikan rekanan. 62
8. Telusuri apakah Fungsi Pembelian telah melakukan perbandingan terhadap harga, kualitas barang, dan syarat pembelian yang diajukan oleh para supplier untuk memperoleh transaksi pembelian yang ekonomis. 9. Telusuri apakah ada otorisasi dari pejabat yang berwenang atas Surat Permintaan Pembelian dan Purchase Order untuk mengecek keabsahannya. 10. Periksa apakah Purchase Order didistribusikan kepada Departemen Akuntansi. 11. Lakukan analisis atas kombinasi pembelian kayu basah dan kayu kering, dikaitkan dengan fasilitas dan kapasitas KD, Gudang, dan kegiatan produksi. 12. Hitung kemungkinan terjadinya ketidakekonomisan dalam transaksi pembelian yang dilakukan oleh perusahaan. 13. Buat draft temuan audit. 14. Diskusikan temuan audit. 15. Buat simpulan audit. Pemeriksaan atas penerimaan barang. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefektifan prosedur penerimaan barang yang dilakukan oleh bagian Gudang, baik Gudang Basah maupun Gudang Kering. Prosedur audit: 1. Periksa administrasi perusahaan, yaitu catatan penerimaan barang. 2. Lakukan pengujian secara sampling atas catatan penerimaan barang yang dibuat oleh bagian Gudang. 63
3. Observasi pelaksanaan penerimaan bahan baku oleh petugas di bagian Gudang, untuk memastikan bahwa mereka telah menerapkan kebijakan dan prosedur yang berlaku. 4. Periksa (cross-check) secara sampling Purchase Order yang berfungsi sebagai pesanan pembelian dan Surat Jalan yang berfungsi sebagai surat bukti penerimaan barang, untuk mengetahui kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian spesifikasi dan kuantitas antara barang yang dipesan dengan barang yang diterima. 5. Telusuri apakah barang diterima sesuai dengan tanggal yang dijanjikan oleh supplier. 6. Periksa apakah bagian Gudang membuat dokumen Bukti Penerimaan Barang. 7. Periksa apakah Bukti Penerimaan Barang didistribusikan ke Departemen PPIC. 8. Observasi apakah kayu basah yang diterima dapat langsung dimasukkan ke dalam proses pengeringan. 9. Telusuri berapa lama rata-rata waktu tunggu kayu basah untuk masuk dalam proses pengeringan. 10. Evaluasi metode pemeriksaan kualitas kayu. 11. Analisis kemungkinan terjadinya ketidakefektifan dalam proses penerimaan barang yang dilakukan oleh bagian Gudang. 12. Buat draft temuan audit. 13. Diskusikan temuan audit. 14. Buat simpulan audit. 64
Pemeriksaan atas penyimpanan persediaan. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefektifan dan keefisienan dari aktivitas penyimpanan bahan baku (tata letak penyusunan bahan baku dan fasilitas gudang yang memadai). Prosedur audit: 1. Observasi aktivitas penyimpanan bahan baku dan fasilitas yang tersedia. 2. Lakukan pemilihan bahan baku secara acak, kemudian periksa apakah bahan baku tersebut telah disimpan dengan baik. 3. Lakukan analisa apakah terdapat sirkulasi pemasukan dan pengeluaran bahan baku. 4. Periksa secara sampling apakah bahan baku telah diberi keterangan produk untuk memudahkan pengidentifikasian. 5. Periksa secara sampling apakah setiap bahan baku telah dikelompokkan sesuai dengan jenis dan ukurannnya. 6. Periksa secara sampling apakah kayu basah yang belum masuk ke proses pengeringan ada yang mengalami kerusakan. 7. Observasi apakah kayu yang disusun dapat dengan mudah diambil ketika hendak digunakan dalam proses produksi. 8. Buat draft temuan audit. 9. Diskusikan temuan audit. 10. Buat simpulan audit. 65
Pemeriksaan atas pengeluaran persediaan. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefektifan dan keefisienan dari aktivitas pengeluaran bahan baku. Prosedur audit: 1. Periksa administrasi perusahaan, yaitu catatan pengeluaran barang. 2. Lakukan pengujian secara sampling atas catatan pengeluaran barang yang dibuat oleh bagian Gudang. 3. Observasi aktivitas pengeluaran bahan baku yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait, untuk memastikan bahwa mereka telah menerapkan prosedur dan kebijakan yang berlaku. 4. Lakukan vouching apakah setiap pengeluaran bahan baku selalu didasarkan atas Bukti Permintaan Barang yang telah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang. 5. Lakukan perbandingan antara jumlah persediaan yang tercantum dalam Bukti Pengeluaran Barang dengan jumlah yang tercantum dalam Bukti Permintaan Barang. 6. Periksa secara sampling apakah jenis kayu yang dikeluarkan oleh bagian Gudang telah sesuai dengan permintaan dari Departemen Produksi. 7. Analisis kemungkinan terjadinya ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam proses pengeluaran bahan baku. 8. Buat draft temuan audit. 9. Diskusikan temuan audit. 10. Buat simpulan audit. 66
Pemeriksaan atas prosedur penghitungan fisik persediaan. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefektifan dan keefisienan dari prosedur penghitungan fisik bahan baku. Prosedur audit: 1. Periksa administrasi perusahaan, yaitu laporan stok opname. 2. Lakukan pengujian secara sampling atas laporan stok opname yang dibuat oleh bagian Akuntansi dan bagian Gudang. 3. Observasi aktivitas penghitungan fisik bahan baku yang dilakukan oleh pihakpihak yang terkait, untuk memastikan bahwa mereka telah menerapkan prosedur dan kebijakan yang berlaku. 4. Periksa apakah telah dilakukan cut-off atas penerimaan dan pengeluaran bahan baku ketika akan melakukan stok opname. 5. Evaluasi apakah telah dilakukan rekonsiliasi antara hasil penghitungan fisik bahan baku dengan jumlah yang tercantum pada kartu stok. 6. Analisa selisih kuantitas bahan baku yang signifikan. 7. Analisis kemungkinan terjadinya ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam prosedur penghitungan fisik bahan baku. 8. Buat draft temuan audit. 9. Diskusikan temuan audit. 10. Buat simpulan audit. 67
Pemeriksaan atas efisiensi penggunaan bahan baku. Tujuan pemeriksaan: Untuk menilai keefisienan dari penggunaan bahan baku. Prosedur audit: 1. Periksa administrasi perusahaan, yaitu catatan penggunaan bahan baku. 2. Lakukan pengujian secara sampling atas catatan penggunaan bahan baku yang dibuat oleh bagian Produksi. 3. Periksa secara sampling apakah dalam kegiatan produksi terdapat bahan baku sisa. 4. Analisa apakah bahan baku sisa tersebut masih dapat dimanfaatkan lagi. 5. Observasi apakah bahan baku sisa tersebut dimanfaatkan lagi oleh perusahaan. 6. Analisis kemungkinan terjadinya ketidakefisienan dalam penggunaan bahan baku. 7. Buat draft temuan audit. 8. Diskusikan temuan audit. 9. Buat simpulan audit. 68