25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian Ilustrasi 3. Lokasi Peternakan Rakyat Milik Bapak Dede Peternakan rakyat milik bapak Dede berada di Dusun Cinenggang, Desa Cileles, Kecamatan Jatingangor, RT 01 RW 04, berjarak sekitar 190 meter dari Gedung D3 Agribisnis Universitas Padjadjaran, 2,9 Km dari Jalan Raya Bandung Sumedang, dan 1,8 Km dari Jalan Cikuda. Komoditas yang diternakkan adalah sapi perah, sapi potong, domba Ekor Tipis, ayam kampung, dan ikan nila. Peternakan bapak Dede terletak relatif dekat dari perkebunan dan sawah milik bapak Dede dan warga sekitar peternakan. Kelembaban di peternakan bapak Dede berkisar 61 74 % di pagi hari dan 62 81 % di siang hari. Temperatur berkisar 23 26 o C di pagi hari dan 27 30 o C di siang hari diukur menggunakan termometer bola kering, berada di kisaran TNZ (Thermoneutral Zone). Yousef (1985)
26 dalam Septiadi dkk. (2015) menyatakan, daerah TNZ (Thermoneutral Zone) domba berkisar 22 31 C. 4.2 Keterkaitan Faktor Lingkungan (THI, Tdb, RH, dan TCZ) terhadap Frekuensi Respirasi Domba Ekor Tipis Betina Tabel 1. THI (Temperature Humidity Index), Tdb (dry bulb temperature) RH (Relative Humidity), TCZ (Thermal Comfort Zone), dan Frekuensi Respirasi per Menit Domba Ekor Tipis Betina Waktu Rataan Nilai Maksimal Nilai Minimal THI Pagi 72,95 75,50 70,99 Siang 78,48 81,06 76,16 Tdb ( o C) Pagi 24,40 26 23 Siang 27,73 30 26 RH (%) Pagi 68,40 74 61 Siang 73,13 81 62 TCZ Pagi Comfort Zone Alert Zone Comfort Zone Frekuensi Respirasi per Menit Siang Danger Zone Danger Zone Alert Zone Pagi 27,10 35,13 23,17 Siang 46,96 63,29 37,29 Rataan THI (Temperature Humidity Index) masing-masing di pagi dan siang hari adalah 72,95 dan 78,48. TCZ (Thermal Comfort Zone) di pagi hari umumnya berada di Comfort Zone dan siang hari di kisaran Alert Zone dan Danger Zone. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wright (1999) yang menyatakan, THI (Temperature Humidity Index) dibawah 74 termasuk Comfort Zone, 75 78 Alert Zone, 79 83 Danger Zone, dan 84 91 Emergency Zone. Pembagian TCZ (Thermal Comfort Zone) didasari respon fisiologis yang dialami domba. Kelembaban, ventilasi dan aliran udara, dan faktor-faktor dari ternak itu sendiri mempengaruhi reaksi panting. Aklimatisasi sebelumnya mempengaruhi kemampuan hewan mempertahankan suhu normal (Barnes dkk., 2004). Respon seluler
27 adalah salah satu mekanisme adaptif genetik yang ditunjukkan oleh ternak untuk mengatasi tingkat keparahan cekaman panas (Benitez dkk., 2017 dalam Afsal dkk., 2018). Perubahan ekspresi gen termasuk berbagai mekanisme molekuler yang berkaitan dengan berbagai jenis sel. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jaringan merespon suhu di atas zona termonetral melalui respons adaptif seluler yang menentukan karakteristik genetik yang akhirnya mengontrol homeostasis seluler (Simons dkk., 2015 dalam Afsal, 2018). Pengaktifan Gen HSP (Heat Shock Proteins) dan ekspresi gen rambut licin adalah upaya mengurangi cekaman panas melalui respon genetik. Gen HSP (Heat Shock Proteins) dan ekspresi gen rambut licin menunjukkan keparahan cekaman panas pada hewan ternak (Srikanth dkk., 2017 dalam Afsal, 2018). Keduanya diaktifkan oleh HSF (Heat Shock Factors) dan ekspresi mereka meningkat ketika sel-sel terkena tekanan panas yang ekstrim. Sekresi HSF (Heat Shock Factors) yang disebabkan cekaman panas menstimulasi sistem endokrin dan kekebalan melalui sekresi ekstraseluler HSP (Heat Shock Proteins). Berbagai respon seluler terhadap tekanan panas meliputi penghambatan sintesis DNA, transkripsi, pengolahan RNA, translasi, perkembangan siklus sel, gangguan elemen sitoskeletal, denaturasi protein dan perubahan permeabilitas membran. Perubahan dalam ekspresi gen merupakan bagian integral dari respon seluler terhadap cekaman panas (Pockley dkk., 2018 dalam Afsal, 2018). Cekaman adalah peristiwa eksternal atau kondisi eksternal yang menempatkan tekanan di sistem alami. Terkait cekaman, berbagai respon endokrin terlibat dalam peningkatan kemampuan bertahan ternak. Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) sangat bertanggung jawab terhadap komponen adaptif di respon cekaman neuroendokrin. Respon endokrin adalah salah satu regulator utama adaptasi ter-
28 nak selama terpapar lingkungan yang menantang. Hormon-hormon utama yang mengatur adaptasi ternak termasuk glukokortikoid, hormon tiroid, katekolamin, hormon antidiuretik dan hormon pertumbuhan. Ketika ternak terkena tekanan lingkungan yang ekstrim itu menghasilkan aktivasi sumbu Hipotalamus-Pituitari- Adrenal (HPA) dan sumbu meduler simpatum-adrenal (SAM). Umumnya, regulasi neuroendokrin dianggap sebagai pengatur utama dari semua mekanisme adaptif yang membantu ternak untuk bertahan dari cekaman (Afsal dkk.,2018). Rataan frekuensi respirasi seluruh domba Ekor Tipis betina di pagi hari (05.00-06.00) adalah 27,10 kali per menit dan siang hari (13.00-14.00) 46,96 kali per menit. Domba Ekor Tipis betina mengalami cekaman panas ringan di siang hari. Frekuensi respirasi 40 60 kali per menit menunjukkan cekaman ringan dialami domba (Silanikove, 2000 dalam Kerr, 2015). Frekuensi respirasi yang tinggi dipengaruhi perubahan kadar hemoglobin (Hb), PCV (Packed Cell Volume), plasma, dan glukosa dalam darah (Etim dkk. dalam Afsal, 2014). Cekaman panas meningkatkan tingkat konsumsi oksigen hewan melalui cara mempengaruhi tingkat respirasi (Salin dkk., 2015 dalam Afsal, 2018). Peningkatan tingkat konsumsi oksigen mengurangi tekanan karbon dioksida dalam darah dan akhirnya menghasilkan alkalosis respirasi (Sejian dkk., 2013 dalam Afsal, 2018). Cekaman panas dapat diatasi melalui respon neuroendokrin. Respon neuroendokrin terjadi terkait upaya mengatasi cekaman panas. Selama cekaman, berbagai tanggapan endokrin terlibat dalam meningkatkan kemampuan hewan bertahan hidup. Sistem Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) bertanggung jawab terkait komponen adaptif respon cekaman neuroendokrin. Virden dan Kidd (2009) dalam Tamzil (2014) menyatakan, sistem neurogenik diaktifkan ternak yang ditandai perubahan tekanan darah, otot, gula darah dan respirasi. Ternak
29 yang masih gagal mengatasi cekaman menyebabkan sistem Hipotalamus-Pituitari- Adrenal (HPA) diaktifkan. Terkait sistem ini, hipotalamus menghasilkan CRF (Corticotrophin-releasing Factor), yang merangsang pituitari untuk pelepasan ACTH (Adrenocorticotropic hormone). Sekresi ACTH (Adrenocorticotropic hormone) menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid. Hormon ini kemungkinan difasilitasi oleh aksi katekolamin yang menyebabkan katekolamin merangsang CRF (Corticotrophin-releasing Factor) yang dibebaskan dari hipotalamus (Siegel, 1995; Virden & Kidd, 2009 dalam Tamzil (2014). Peningkatan frekuensi respirasi berkaitan terhadap peningkatan Temperature Humidity Index (THI) berdasarkan perbandingan hasil frekuensi respirasi dan THI (Temperature Humidity Index) di pagi dan siang hari. Frekuensi respirasi ditingkatkan seiring peningkatan suhu lingkungan yang mempengaruhi laju metabolisme tubuh. Kerr (2015) menyatakan kecepatan respirasi yang sangat tinggi adalah dampak usaha hewan mendinginkan diri yang berakibat aktivitas otot ditingkatkan menghasilkan lebih banyak panas tubuh. Kelebihan panas tidak mampu dibuang melalui sistem ekskresi berupa kelenjar keringat karena dihalangi bulu. Kelenjar keringat yang dimiliki ternak tidak cukup mampu membuang panas melalui penguapan dan alat respirasi adalah satu-satunya organ dimana proses penguapan secara efektif diselenggarakan (Soeharsono dkk., 2010). Kehilangan panas dari kulit tidak cukup mempertahankan suhu inti yang stabil, tambahan panas bisa hilang dari membran respirasi yang disebut panting (Barnes dkk., 2004). Panting adalah metode utama kehilangan panas evaporatif untuk domba (Thwaites, 1985 dalam Barnes dkk., 2004). Panting penting terkait pe-ningkatan suhu dan kelembaban. Penguapan air memerlukan tekanan uap yang
30 bertujuan mengurangi energi panas terkait penguapan air ke udara sekitar, yang di kondisi lembab tekanan uap dan penguapan panas lewat kulit berkurang. Pendinginan respirasi terjadi di kondisi ini disebabkan udara masuk dipanaskan dengan suhu tubuh dan dapat mengambil lebih banyak uap air yang mempertahankan gradien. Suhu udara inspirasi naik mendekati suhu tubuh, ini berarti kehilangan panas dari panting menjadi terbatas (Sparke dkk., 2001 dalam Barnes dkk., 2004). 4.3 Koefisien Korelasi, Regresi, dan Determinasi Besaran THI (Temperature Humidity Index) terhadap Frekuensi Respirasi Domba Ekor Tipis Betina Tabel 2. Koefisien Korelasi, Regresi, dan Determinasi Besaran THI (Temperature Humidity Index) terhadap Frekuensi Respirasi Domba Ekor Tipis Betina Pagi Siang Koefisien Korelasi (r) 0,36 0,02 Koefisien Determinasi (R 2 ) 0,13 0,0003 Koefisien Regresi (b) 0,86 0,11 Konstanta (a) - 35,68 38,18 Persamaan Garis Regresi Y = - 35,68 + 0,86 X Y = 38,18 + 0,11 X Hasil penelitian didapatkan koefisien korelasi THI (Temperature Humidity Index) dengan frekuensi respirasi di pagi dan siang hari masing-masing adalah 0,36 dan 0,02, tergolong positif lemah. Lind dkk. (2008) menyatakan, korelasi kurang dari 0,5 tergolong positif lemah, 0,5 positif sedang, dan diatas 0,5 positif kuat. Korelasi THI (Temperature Humidity Index) dengan frekuensi respirasi memiliki hubungan yang linear. Noor (2011) menyatakan, koefisien korelasi po-
31 sitif menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dan koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Persamaan garis regresi penelitian di pagi hari adalah Y = - 35.68 + 0.86 X dan siang hari Y = 38.18 + 0.11 X. Dapat diartikan di pagi hari setiap perbedaan 1 THI (Temperature Humidity Index) lebih tinggi didapatkan 0,86 kali frekuensi respirasi dan 0,11 kali frekuensi respirasi di siang hari lebih tinggi. Garis regresi penelitian pagi dan siang memiliki ketepatan yang rendah berdasakan koefisien determinasi masing-masing yaitu 0,13 dan 0,0003. Siagian dan Sugiarto (2006) menyatakan, nilai R 2 yang lebih besar menunjukkan garis regresi yang dibentuk lebih mewakili data hasil penelitian. Ilustrasi 4 dan 5 di bawah ini menjelaskan persamaan garis regresi di pagi dan siang hari. Ilustrasi 4. Persamaan Garis Regresi Penelitian Pagi Hari
32 Ilustrasi 5. Persamaan Garis Regresi Penelitian Siang Hari Cekaman panas di siang hari lebih sulit dihadapi domba Ekor Tipis betina dibandingkan di pagi hari diketahui melalui lemahnya koefisien korelasi. Respon fisiologis setiap domba Ekor Tipis betina di siang hari bervariasi, yang dapat diketahui melalui frekuensi respirasi. Soeharsono dkk. (2010) menyatakan, variasi respirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain oleh aktivitas ternak, temperatur, kondisi tubuh, ukuran tubuh hewan, aktivitas metabolisme, dan umur. Respon fisiologis meliputi mekanisme pembuangan panas yang dikendalikan sistem saraf, terutama melalui respirasi.