119 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan analisis secara komprehensif, dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa: Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi pada Terdakwa Angelina Sondakh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013, yang dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dapat dilihat dari hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim untuk menjatuhkan jenis dan berat ringannya pemidanaan. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pemidanaan baik yang terdapat di dalam undang-undang maupun di luar undang-undang. Pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan ada dua, yaitu pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis antara lain: dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana; kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain: latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor-faktor agama terdakwa. 119
120 Adapun hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa Angelina Sondakh, diantaranya : 1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi akan tetapi justru memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan tindak pidana korupsi; 2. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat; 3. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan teladan yang baik kepada masyarakat; 4. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya; Sedangkan hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa Angelina Sondakh, diantaranya: 1. Terdakwa bersikap sopan di persidangan; 2. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang masih kecil; 3. Terdakwa belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri; Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan untuk mengadili sendiri suatu perkara yang mana perkara tersebut menurut Mahkamah Agung memenuhi kualifikasi bahwa telah dikeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan hukum acara yang sebenarnya,
121 misalnya kurangnya pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) hukum hakim pada putusan sebelumnya termasuk dalam kasus Angelina Sondakh. Dengan alasan kurangnya pertimbangan hakim sebelumnya, maka untuk menciptakan putusan yang adil, maka Hakim MA diberi kewenangan untuk menilai fakta fakta persidangan dan membuat putusan sendiri. Sehingga tidak tertutup kemungkinan jika putusan yang dikeluarkan pun mungkin saja lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis disarankan kepada: 1. Hakim selaku orang yang memutus perkara di pengadilan seharusnya menerapkan atau menegakkan hukum sesuai dengan ilmu hukum yang selalu berorientasi kepada keilmuan (scientific approach), sebab citra buruk lembaga pencari keadilan tersebut yang sarat dengan mafia peradilan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi masyarakat luas. 2. Hakim dalam menjatuhkan pidana agar selalu memerhatikan tujuan pemidanaan (purpose of sentencing), yang bukan hanya sebagai pembalasan, melainkan juga guna mendidik dan memperbaiki perilaku untuk kembali kepada masyarakat serta pemidanaan tersebut memenuhi rasa keadilan (justice) baik bagi terpidana, korban maupun masyarakat luas.
122 3. Pemerintah perlu menyediakan lembaga khusus yang diberi wewenang untuk menentukan berat-ringannya pidana (strafmaat) atau ada pertimbangan-pertimbangan lain (selain hakim) yang dijadikan pertimbangan untuk menjatuhkan pidana. 4. Untuk menjamin terpenuhinya keadilan terkait penjatuhan pidana seseorang, seharusnya Mahkamah Agung diberi kewenangan yang lebih luas untuk menilai fakta hukum yang telah dinilai sebelumnya oleh hakim judex faxtie karena dalam praktek seringkali ditemukan kekeliruan yang dilakukan oleh hakim judex facti terkait penilainya terhadap fakta persidangan, sehingga menyebabkan penjatuhan pidana menjadi kurang tepat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan revisi terhadap R-KUHAP sebelum pengesahan, khususnya terkait poin yang membatasi kewenangan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari yang telah dijatuhkan hakim judex factie, karena mungkin saja Mahkamah Agung memberi putusan yang lebih berat karena penilain fakta yang ditemukan Mahkamah Agung memungkinkan untuk penjatuhan pidana yang demikian. 5. Terkait hal yang meringankan dan memberatkan pemidanaan, harusnya dibuat suatu aturan yang memberikan arahan kepada jaksa untuk hal apa saja yang menjadi faktor peringan dan pemberat pidana si terdakwa. Kemudian untuk penentuanya pun harusnya ditentukan oleh jaksa yang memang memeriksa si tersangka semenjak awal pemeriksaan hingga proses persidangan. Hal demikian adalah penting karena memang jaksa
123 yang memeriksa itulah yang mengetahui kondisi si terdakwa, bukan atasan dari jaksa yang bersangkutan.