37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh terhadap Kecernaan Selulosa Kecernaan suatu bahan pakan merupakan pencerminan dari tinggi rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan tersebut dengan mengukur jumlah makanan yang dikonsumsi dan jumlah makanan yang dikeluarkan melalui feses. Zat makanan yang dapat diukur nilai kecernaannya diantaranya adalah selulosa. Kecernaan selulosa sangat berkaitan dengan proses pencernaan dan penyerapan selulosa ransum yang terjadi di dalam tubuh domba. Hasil penelitian mengenai pengaruh penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral dalam ransum komplit terhadap kecernaan selulosa pada Domba Garut jantan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Kecernaan Selulosa pada Berbagai Ulangan R0 R1 R2 R3 R4...%... 1 60,79 60,53 68,01 57,54 51,65 2 62,20 64,03 66,00 65,43 63,28 3 71,69 54,41 61,29 55,85 61,52 4 67,39 65,71 57,80 65,17 71,61 Rata-rata 65,52 61,17 63,28 61,00 62,02 Keterangan: R0 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat standar R1 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R2 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks R3 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R4 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks
38 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral dalam ransum komplit menghasilkan kecernaan selulosa yang bervariasi pada berbagai perlakuan. Nilai rataan kecernaan selulosa tertinggi dihasilkan perlakuan R0 (hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat standar) yaitu 65,52 persen, kemudian diikuti oleh R2 (63,28%), R4 (62,02%), R1 (61,17%), dan R3 (61,00%). Berdasarkan hasil penelitian, rataan perlakuan R1, R2, R3, R4 lebih kecil dibandingkan perlakuan R0. Selain selulosa merupakan fraksi yang sulit dicerna, penambahan protein terproteksi berbahan tannin pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 diduga dapat menurunkan kecernaan selulosa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Butler dan Rogler (1992), bahwa ternak yang mengkonsumsi pakan bertannin tinggi dapat menurunkan bobot badan dan terlihat sangat nyata pada penurunan kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan. Ransum perlakuan R0 menghasilkan kecernaan selulosa sebesar 65,52 persen, hal ini menandakan bahwa ransum R0 memiliki kualitas pakan yang baik dan mampu mencukupi kebutuhan selulosa pada domba. Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan adalah komposisi ransum, faktor daya cerna, penyiapan makanan dan jumlah makanan. Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), bahwa kecernaan bahan makanan dapat dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian pakan, cara pengolahan dan pemberian pakan, komposisi pakan dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan selulosa dilakukan Uji-t berpasangan yang tercantum pada Tabel 6. Berdasarkan hasil Uji-t berpasangan,
39 signifikansi menunjukkan semua perlakuan (P>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap kecernaan selulosa. Hasil perbedaan rata-rata antar perlakuan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji-t Berpasangan Pengaruh Terhadap Kecernaan Selulosa Rataan Kecernaan Selulosa (%) Signifikansi (0,05) R0 vs R1 65,52 vs 61,17 a R0 vs R2 65,52 vs 63,28 a R0 vs R3 65,52 vs 61,00 a R0 vs R4 65,52 vs 62,02 a R1 vs R2 61,17 vs 63,28 a R1 vs R3 61,17 vs 61,00 a R1 vs R4 61,17 vs 62,02 a R2 vs R3 63,28 vs 61,00 a R2 vs R4 63,28 vs 62,02 a R3 vs R4 61,00 vs 62,02 a Keterangan : a = Tidak berbeda secara signifikan (P>0,05) terhadap kecernaan selulosa ransum b = Berbeda secara signifikan (P 0,05) terhadap kecernaan selulosa ransum Kisaran nilai kecernaan selulosa ransum hasil penelitian berkisar antara 61,00 persen - 65,52 persen. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanti (2005), kisaran kecernaan selulosa yaitu antara 59,90 persen - 72,02 persen dari total selulosa yang dikonsumsi ternak. Nilai tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata nilai kecernaan hemiselulosa pada penelitian, disajikan pada Tabel 7. Nilai kecernaan pada selulosa rendah dikarenakan selulosa merupakan fraksi serat yang sulit dicerna. Menurut Church (1976), bahwa selulosa sukar dihancurkan dalam sistem pencernaan tetapi karena adanya mikroorganisme yang terdapat pada rumen ternak ruminansia sehingga selulosa mampu dicerna dan dimanfaatkan dengan
40 baik. Hasil akhir dari pencernaan selulosa pada rumen adalah asam lemak terbang (VFA) yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Tillman,1998). Selulosa terdiri dari dua bentuk yaitu amorf dan kristal. Bagian amorf jika dihidrolisis akan larut sedangkan bagian kristal tetap utuh dan sebagian lagi larut dalam larutan asam encer. Keadaan inilah yang menyebabkan enzim-enzim ternak monogastrik tidak mampu mencernanya kecuali enzim selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme di dalam rumen ternak ruminansia (McDonald, dkk., 1995). 4.2 Pengaruh terhadap Kecernaan Hemiselulosa Hasil penelitian mengenai pengaruh penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral dalam ransum komplit terhadap kecernaan hemiselulosa pada Domba Garut jantan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Kecernaan Hemiselulosa pada Berbagai Ulangan R0 R1 R2 R3 R4...%... 1 66,42 73,57 68,18 66,33 58,28 2 68,28 74,94 64,16 69,36 60,14 3 74,46 68,16 66,35 63,53 52,59 4 74,10 74,85 65,11 69,11 70,67 Rata-rata 70,82 72,88 65,95 67,08 60,42 Keterangan: R0 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat standar R1 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R2 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks R3 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R4 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks Berdasarkan pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral dalam ransum komplit menghasilkan kecernaan
41 hemiselulosa yang bervariasi pada berbagai perlakuan. Rataan kecernaan hemiselulosa tertinggi diperoleh pada perlakuan R1, yaitu pada hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi, dengan rataan kecernaan hemiselulosa sebesar 72,88 persen, kemudian diikuti oleh R0 (70,82%), R3 (67,08%), R2 (65,95%), dan R4 (60,42%). Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan hemiselulosa dilakukan Uji-t berpasangan yang tercantum pada lampiran 15. Hasil Uji-t berpasangan menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit dengan kombinasi penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral, memberikan perbedaan rata-rata antar perlakuan yang signifikan (P 0,05) terhadap kecernaan hemiselulosa ransum. Hasil perbedaan rata-rata antar perlakuan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji-t Berpasangan Pengaruh Terhadap Kecernaan Hemiselulosa Rataan Kecernaan Hemiselulosa (%) Signifikansi (0,05) R0 vs R1 70,82 vs 72,88 a R0 vs R2 70,82 vs 65,95 a R0 vs R3 70,82 vs 67,08 a R0 vs R4 70,82 vs 60,42 a R1 vs R2 72,88 vs 65,95 b R1 vs R3 72,88 vs 67,08 b R1 vs R4 72,88 vs 60,42 b R2 vs R3 65,95 vs 67,08 a R2 vs R4 65,95 vs 60,42 a R3 vs R4 67,08 vs 60,42 a Keterangan : a = Tidak berbeda secara signifikan (P>0,05) terhadap kecernaan hemiselulosa ransum b = Berbeda secara signifikan (P 0,05) terhadap kecernaan hemiselulosa ransum
42 Berdasarkan hasil Uji-t berpasangan, signifikansi menunjukkan perbandingan rataan antar perlakuan (R1-R2), (R1-R3), dan (R1-R4) P 0,05 yang berarti ada perbedaan nyata antar perlakuan terhadap kecernaan hemiselulosa ransum. Meskipun demikian, perbandingan rataan antar perlakuan (R0-R1), (R0-R2), (R0-R3), (R0-R4), (R2-R3), (R2-R4), dan (R3-R4) P>0,05 yang berarti tidak berbeda nyata antar perlakuan terhadap kecernaan hemiselulosa. Kisaran nilai kecernaan hemiselulosa ransum hasil penelitian adalah berkisar antara 60,42 persen - 72,88 persen. Nilai tersebut menjadi nilai tertinggi dari penelitian kecernaan yang dilakukan karena hemiselulosa merupakan fraksi yang mudah dicerna. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Soest (1982), bahwa hemiselulosa dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Bakteri hemiselulolitik tidak dapat mendegradasi selulosa, sebaliknya bakteri selulolitik dapat mendegradasi hemiselulosa. Enzim hemiselulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen akan menghidrolisis hemiselulosa dengan hasil akhir asam lemak terbang (VFA). 4.3 Pengaruh terhadap Kecernaan Lignin Hasil penelitian mengenai pengaruh penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral dalam ransum komplit terhadap kecernaan lignin pada Domba Garut jantan disajikan pada Tabel 9.
43 Tabel 9. Rataan Kecernaan Lignin pada Berbagai Ulangan R0 R1 R2 R3 R4...%... 1 43,20 47,42 49,22 48,55 41,51 2 46,57 44,78 38,50 53,67 39,08 3 61,20 38,64 40,12 43,56 39,00 4 57,84 58,27 50,55 37,35 42,03 Rata-rata 52,20 47,28 44,60 45,78 40,41 Keterangan: R0 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat standar R1 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R2 = Hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks R3 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi R4 = Silase Rumput Gajah Taiwan + konsentrat mengandung bungkil kedelai terproteksi + premiks Berdasarkan pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa penggunaan protein terproteksi, probiotik, dan premiks mineral dalam ransum komplit menghasilkan kecernaan lignin yang bervariasi pada berbagai perlakuan. Rataan kecernaan lignin tertinggi diperoleh pada perlakuan R0, yaitu pada pakan hay Rumput Gajah Taiwan + konsentrat standar, dengan rataan kecernaan lignin sebesar 52,20 persen, kemudian diikuti oleh R1 (47,28%), R3 (45,78%), R2 (44,60%), dan R4 (40,41%). Berdasarkan hasil penelitian, rataan perlakuan R1, R2, R3, R4 lebih kecil dibandingkan perlakuan R0. Selain lignin merupakan fraksi yang sulit dicerna, penambahan protein terproteksi berbahan tannin pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 diduga dapat menurunkan kecernaan lignin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Smith dkk. (2005), kemampuan tannin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tannin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim. Tannin juga dapat
44 berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner, dkk., 1994). Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan lignin dilakukan Ujit berpasangan yang tercantum pada lampiran 19. Hasil Uji-t berpasangan menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit dengan kombinasi penggunaan protein terproteksi, probiotik dan premiks mineral, tidak memberikan perbedaan rata-rata antar perlakuan yang signifikan (P>0,05) terhadap kecernaan lignin ransum. Hasil perbedaan rata-rata antar perlakuan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Uji-t Berpasangan Pengaruh Terhadap Kecernaan Lignin Rataan Kecernaan Lignin (%) Signifikansi (0,05) R0 vs R1 52,20 vs 47,28 a R0 vs R2 52,20 vs 44,60 a R0 vs R3 52,20 vs 45,78 a R0 vs R4 52,20 vs 40,41 a R1 vs R2 47,28 vs 44,60 a R1 vs R3 47,28 vs 45,78 a R1 vs R4 47,28 vs 40,41 a R2 vs R3 44,60 vs 45,78 a R2 vs R4 44,60 vs 40,41 a R3 vs R4 45,78 vs 40,41 a Keterangan : a = Tidak berbeda secara signifikan (P>0,05) terhadap kecernaan lignin ransum b = Berbeda secara signifikan (P 0,05) terhadap kecernaan lignin ransum Berdasarkan hasil Uji-t berpasangan, tidak ada perbedaan yang nyata antara perbedaan perlakuan terhadap kecernaan lignin. Kisaran nilai kecernaan lignin hasil penelitian adalah 40,41 persen - 52,20 persen. Nilai tersebut menjadi nilai terendah dari penelitian kecernaan yang dilakukan, karena lignin merupakan fraksi yang sulit untuk
45 dicerna. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Soest (1982), bahwa lignin merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna, bahkan mengurangi kecernaan fraksi tanaman lainnya. Lebih lanjut Sutardi dkk. (1980) menyatakan lignin berperan untuk memperkuat struktur dinding sel tanaman dengan mengikat selulosa dan hemiselulosa sehingga sulit dicerna oleh mikroorganisme. Sesuai dengan pendapat Jung dan Vogel (1986), bahwa lignin menghambat kecernaan hemiselulosa dan selulosa. Kadar lignin tanaman bertambah dengan bertambahnya umur tanaman (Tillman, dkk., 1986).