BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usaha pembibitan ayam merupakan usaha untuk menghasilkan ayam broiler

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Industri Peternakan unggas dibagi menjadi 4 sektor yaitu sektor 1 merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur. Ayam bibit bertujuan untuk menghasilkan telur berkualitas tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler pembibit merupakan ayam yang menghasilkan bibit ayam

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berproduksi secara maksimal adalah kelompok ayam pada peternakan tersebut

DETEKSI ANTIBODI Salmonella pullorum DAN Mycoplasma gallisepticum PADA ANAK AYAM (DOC) PEDAGING BEBERAPA PERUSAHAAN YANG DIJUAL DI KABUPATEN LAMONGAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006)

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

PERKEMBANGAN AYAM KUB pada Visitor Plot Aneka Ternak BPTP NTB. Totok B Julianto dan Sasongko W R

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Perkembangan Kasus AI pada Itik dan Unggas serta Tindakan Pengendaliannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

BAB I PENDAHULUAN. energi, vitamin dan mineral untuk melengkapi hasil-hasil pertanian. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. badan yang bertujuan untuk memproduksi daging. Ayam pedaging dikenal dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) PADA AYAM RAS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang tinggi. Ikan mas dibudidayakan untuk tujuan konsumsi, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BBPMSOH telah mengikuti 6 uji profisiensi. internasional yang diselenggarakan oleh GD- Deventer, Belanda. nasional yang diselenggarakan oleh BSN-KAN

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia

METODE PENELITIAN. pada peternakan ayam ras petelur di Desa Gulurejo adalah metode deskripsi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

karena sudah sepantasnya bila perhatian lebih diarahkan pada pemberian penyuluhan kepada peternak, mengenai unsur-unsur teknik yang mencakup dalam pan

Resistensi antimikroba pada hewan: Perspektif produksi ternak global dan korelasinya dengan penggunaan antimikroba

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

GUBERNUR MALUKU UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA KEJADIAN PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN PADA. BURUNG PUYUH (Cortunix cortunix japonica )

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 200 kandang percobaan ayam dan itik adalah sebagai berikut : a. Menyediakan makanan dan minuman yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

AKABANE A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Tinjauan Mengenai Flu Burung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari -- Maret 2013 di unit kandang

BAB I PENDAHULUAN. kandungan berbagai asam amino, DHA dan unsur-unsur lainnya yang dibutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk menyeleksi pejantan dan betina yang memiliki kualitas tinggi

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Skematis virus ND. (FAO 2004)

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Transkripsi:

12 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara menggunakan 291 sampel darah ayam kampung. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive. Sampel tersebut diambil dari 5 desa yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan sentra peternakan ayam komersil. Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda. Desa Tanjung didapatkan sebanyak 146 sampel, Desa Jati sebanyak 43 sampel, Desa Pada Mulya sebanyak 12 sampel, Desa Parigi Mulya sebanyak 56 sampel, dan Desa Wanasari sebanyak 34 sampel. Sehingga didapatkan total sampel sebanyak 291 (Tabel 1). Jumlah sampel yang diambil merupakan jumlah proporsional yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan populasi ayam kampung yang dipelihara secara tradisional (sektor 4) di masing-masing desa. Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum Nama Desa Jumlah Positif Negatif Persentase Persentase Sampel Positif (%) Negatif (%) Tanjung 146 42 104 28,77 71,23 Jati 43 15 28 34,88 65,12 Pada Mulya 12 3 9 25,00 75,00 Parigi Mulya 56 15 41 26,78 73,21 Wanasari 34 8 26 23,53 76,47 Total Sampel 291 83 208 28,52 71,48 Pengujian serologis menunjukkan hasil bahwa dari 291 sampel, 83 sampel (28.52%) menunjukkan hasil positif terhadap Mycoplasma gallisepticum. Sedangkan 208 sampel (71.48%) menunjukkan hasil negatif (Tabel 1). Jika dilakukan perbandingan terhadap prevalensi serologis mycoplasmosis antar desa, maka didapatkan bahwa Desa Jati memilki persentase yang lebih besar

13 dibandingkan dengan desa lainnya, yaitu sebesar 34.88%. Sedangkan desa yang lainnya relatif hampir sama besar. Tanjung sebesar 28.77%, Pada Mulya sebesar 25%, Parigi Mulya sebesar 26.78%, dan Wanasari sebesar 23.53% (Tabel 1). Tidak berwarna= negatif Warna biru= positif Gambar 2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi. Pengujian ini dilakukan pada sampel darah ayam kampung dari peternakan sektor 4 yang merupakan peternakan skala rumah tangga. Ayam-ayam pada sektor ini umumnya hanya mendapatkan vaksinasi terhadap Newcastle Disease (ND) dan jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan vaksin terhadap penyakit lain termasuk CRD. Apabila hasil uji menunjukkan positif terhadap Mycoplasma gallisepticum, artinya kemungkinan besar ayam-ayam tersebut telah terpapar Mycoplasma gallisepticum. Menurut Bradbury (2006) gejala klinis penyakit ini lebih sering terlihat pada ayam muda umur 4 sampai 9 minggu. Apabila penyakit menyerang ayam usia relatif tua, maka gejala klinis jarang terlihat. Sehingga keberadaan penyakitpun sulit untuk diketahui. Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa di samping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion

14 patologis yang ditemukan (OIE 2008). Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA. Sampel darah ayam kampung yang digunakan diambil dari peternakan sektor 4, yaitu peternakan tradisional yang dipelihara oleh masyarakat setempat. Sampel darah ayam diambil di 5 desa dari 10 desa di kecamatan Cipunagara. Berdasarkan data Pemkab Subang (2010b) desa-desa di kecamatan ini yaitu Simper, Kosambi, Jati, Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari, Manyingsal, Sidamulya, dan Sidajaya. Sampel yang diambil berasal dari wilayah desa yang berdekatan langsung dengan area peternakan sektor 1, 2, dan 3. Positif Negatif Gambar 3 Hasil pengujian serologis ayam kampung Kecamatan Cipunegara. Angka prevalensi Mycoplasma gallisepticum di kelima desa Kecamatan Cipunegara ini relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sato (1996), yang menyebutkan bahwa angka prevalensi mycoplasmosis di Indonesia dengan menggunakan sampel dari 7 breeding farm, rata-rata menunjukkan hasil pada rentang 0% sampai 74% positif mycoplasmosis. Selain itu, survei serologis terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan pada bebek di daerah Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Hasil tersebut menunjukkan angka prevalensi sebesar 17.4% di Indramayu, 7.7% di Sumedang, dan 4.1% di Cirebon (Soeripto 1988). Infeksi Mycoplasma gallisepticum telah dilaporkan sebagai masalah yang signifikan pada flok-flok ayam di negara-negara lainnya di Asia, diantaranya yaitu Jepang, Banglades, India, China, Korea, Malaysia, Philipina, Vietnam, Thailand,

15 dan Israel (Levisohn et al. 2000; Sato 1996). Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum juga dilakukan di beberapa negara di Asia. Salah satu diantaranya adalah Korea. Penelitian ini telah dilakukan semenjak tahun 1967 pada flok-flok ayam dengan pengujian secara serologis dan isolasi Mycoplasma gallisepticum dari ayam-ayam yang terinfeksi secara alami. Pada tahun 1977, tingkat insidensi mycoplasmosis pada 20 flok breeder dari 6 wilayah di Korea menunjukkan hasil yang berada pada rentang 20% sampai 67% positif mycoplasmosis, dengan ratarata 47,4%. Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum di Malaysia dilakukan pada tahun 1976 dengan hasil lebih kurang 50% dari 224 peternakan ayam terinfeksi avian mycoplasmosis. Kemudian dilakukan survei serologis terhadap prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1987 sampai 1989 di 79 peternakan unggas dari 6 wilayah terpilih di Malaysia. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil sebesar 17,2% sampel positif Mycoplasma gallisepticum (Sato 1996). Tingkat infeksi Mycoplasma gallisepticum di Philipina tidak jauh berbeda dengan negara asia lainnya. Sekitar 75 000 kasus CRD dilaporkan terjadi di industri ternak di Bureau. Infeksi ini juga dilaporkan terjadi di pulau Ruson pada tahun 1958 dan 1971. Pada tahun 1977 dilakukan pengujian serologis pada 156 sampel ayam dari 9 flok yang terdapat di pulau Palawan. Hasil uji menunjukkan persentase ayam yang positif Mycoplasma gallisepticum adalah sebesar 35.9%. Tetapi hasil ini relatif lebih rendah dibandingkan hasil pengujian yang dilakukan di China Taipei. Kemudian dilakukan pengujian serologis selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 1990 sampai tahun 1992 pada flok unggas di China Taipei. Pengujian tersebut menunjukkan hasil positif sebesar 52.7% pada tahun 1990, 81.65% pada tahun 1991, dan 79% pada tahun 1992. Diantara 18 flok yang diuji, 16 flok menunjukkan hasil yang positif mengandung antibodi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1990. Dan 11 dari 12 flok breeder yang diuji pada tahun 1991 menunjukkan hasil yang positif (Sato 1996). Penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan di Banglades. Pada 2005 penelitian dilakukan pada peternakan breeder di wilayah Banglades. Hasil pengujian menunjukkan hasil angka prevalensi serologis sebesar 58.90% positif infeksi Mycoplasma gallisepticum dari 382

16 sampel serum yang diuji (Sarkar et al. 2005). Pada tahun 2006, dilakukan penelitian yang sama untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum dengan menggunakan 400 sampel serum yang terdiri atas 200 sampel serum ayam petelur dan 200 sampel serum ayam pedaging. Hasil pengujian menunjukkan angka prevalensi serologis total sebesar 58% (Barua et al. 2006). ). Hasil ini relatif hampir sama dengan hasil pengujian pada tahun 2007 di wilayah Rajashi, Banglades yang menunjukkan hasil sebesar 55.13% (Hossain et al. 2007). Jika dibandingkan ketiga hasil tersebut, maka dapat dilihat bahwa ketiganya memiliki nilai yang hampir sama, yaitu 50%. Angka ini cukup tinggi untuk tingkat prevalensi suatu penyakit. Hal inilah yang mendorong negara Banglades untuk lebih memperhatikan pergerakan kejadian penyakit ini. Karena penyakit ini dianggap salah satu masalah penting di peternakan unggas di Banglades (Hossain et al. 2007). Masyarakat Indonesia selalu berpendapat bahwa ayam kampung relatif lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan ayam ras. Namun demikian, bukan berarti bahwa masalah pengendalian penyakit dapat diabaikan begitu saja. Hal ini dapat mempengaruhi laju populasi dan produktivitas ayam kampung, disamping akan menurunkan berat badan ayam kampung pedaging (Suryana 2008). Beberapa faktor yang dapat memicu berkembangnya penyakit pada ayam antara lain lingkungan kandang yang kotor, kekurangan vitamin, keracunan pakan dan minuman yang kotor, cacat, dan sifat kanibal. Sanitasi kandang merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan, terutama pada musim hujan. Angka prevalensi serologis infeksi Mycopasma gallisepticum pada ayam kampung tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Menurut Soeripto (2009) estimasi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Chronic Respiratory Disease mencapai milyaran rupiah pertahun di Indonesia sedangkan di Amerika kerugiannya mencapai ratusan juta dollar pertahun. Di samping itu, jika penyakit benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4 (peternakan tradisional), ayam yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi ayam-ayam lain di peternakan sektor 4 maupun ayam-ayam di peternakan sektor lainnya. Lokasi peternakan sektor 4 terletak berdekatan dengan peternakan sektor lainnya dan sistem

17 pemeliharaannya sebagian besar masih bersifat tradisional-ekstensif. Ayam-ayam tersebut dilepas secara bebas di lingkungan. Sehingga perlu dilakukan tindakantindakan pencegahan. Menurut Suryana 2008, ada dua cara untuk mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program pengendalian dan pembasmian. Program pengendalian meliputi: 1) menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya, 2) meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik, dan 3) melakukan diagnosis dini secara cepat dan tepat. Program pembasmian penyakit dapat dilakukan melalui: 1) test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita penyakit pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan, 2) test and treatment, bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan 3) stamping out, yaitu bila terjadi kasus penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka ayam, kandang, dan peralatan harus dimusnahkan. Menurut Hadi (2001) salah satu usaha untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada ayam adalah melalui program biosecurity. Program ini dipandang sebagai cara termurah dan efektif. Bahkan tidak satupun program pengendalian penyakit dapat berjalan baik tanpa disertai program biosecutity. Asal kata biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau pengamanan. Jadi biosecurity adalah sejenis program yang dirancang untuk melindungi kehidupan. Dalam arti yang sederhana kalau untuk peternakan ayam adalah membuat kuman atau agen penyakit jauh dari tubuh ayam dan menjaga ayam jauh dari kuman. Pelaksanaan program biosecurity meliputi kontrol lalu lintas hewan, vaksinasi, pencucian kandang ayam, kontrol terhadap pakan, kontrol air, kontrol limbah (sisa-sisa produksi) dan ayam mati. Salah satu cara pengendalian yang dianggap mampu menekan kejadian mycoplasmosis pada ayam adalah dengan cara vaksinasi. Salah satu vaksin yang pernah diuji lapang dapat mencegah infeksi Mycoplasma gallisepticum pada ayam, adalah vaksin inaktif Mycoli. Vaksin ini memilki efektifitas yang baik untuk perlindungan terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum dari luar, meningkatkan berat badan, dan meningkatkan efisiensi pakan (Soeripto 2006). Menurut Soeripto (2009) salah satu vaksin yang baru ditemukan adalah vaksin Mutan MGTS 11, yang merupakan isolat Mycoplasma gallisepticum yang telah

18 diproses dengan kondisi tertentu. Menurut Withear (1996) baik vaksin aktif maupun inaktif Mycoplasma gallisepticum dapat digunakan untuk menekan kejadian mycoplasmosis. Pada umumnya hampir semua vaksin bertujuan untuk mencegah penurunan produksi telur, menghindari kerugian akibat tindakan eradikasi, dan mencegah transmisi penyakit ke ayam sehat lainnya (CFSPH 2007). Tetapi vaksin aktif MGTS-11 dinilai lebih efektif dibandingkan dengan vaksin inaktif karena vaksin ini memiliki daya proteksi yang lebih baik, bersifat avirulen, dan daya sebar ke unggas lainnya yang rendah (Kleven 2005). Salah satu program pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain, yaitu makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolon. Tetapi bakteri ini resisten terhadap antibiotik yang memiliki target pada dinding sel (Songer 2005).