NASKAH MIMBAR AGAMA HINDU

dokumen-dokumen yang mirip
TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

NASKAH DHARMA WACANA REMAJA PUTRA CINTA KASIH OLEH: PUTU NOPA GUNAWAN UTUSAN KOTA MAKASSAR UTSAWA DHARMA GITA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN. Secara geografis lokasi penelitian ini berada di Jl. Ketintang Wiyata

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis multimedia berasal dari kata multi (Bahasa Latin, nouns) yang berarti

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

Om bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

DOA SEHARI-HARI MENURUT HINDU

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

Mahapuja Satyabuddha

Sambutan Presiden RI pd Dharma Santi Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi, di Jakarta, 25 Apr 2014 Jumat, 25 April 2014

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

BAGAIMANA MENERAPKAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DI TATANAN TEMPAT IBADAH (PURA)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

MAKALAH : MATA KULIAH ACARA AGAMA HINDU JUDUL: ORANG SUCI AGAMA HINDU (PANDHITA DAN PINANDITA) DOSEN PEMBIMBING: DRA. AA OKA PUSPA, M. FIL.

MELASTI (Upacara Ritual Masyarakat Hindu) SKRIPSI

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

BAB III. Bab ini membahas tentang ritual kelahiran umat hindu meliputi: setting

AKULTURASI HINDU BUDDHA DI PURA GOA GIRI PUTRI DESA PEKRAMAN KARANGSARI, KECAMATAN NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

SOP Pelayanan Kedukaan Tradisi Veda (Vaisnava)

SILABUS PEMBELAJARAN

UTSAWA DHARMA GITA TAHUN 2008, DI ISTANA NEGARA, JAKARTA, 8 AGUSTUS 2008

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

Sambutan Presiden RI pd Upacara Tawur Agung Kesangan Nasional, di Candi Prambanan, tgl. 20 Mar 2015 Jumat, 20 Maret 2015

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) : Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Tri Parartha Pertemuan ke- : 1, 2, 3, 4 dan 5 Alokasi Waktu :

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SMPLB TUNAGRAHITA

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

ETIKA PERSEMBAHYANGAN PURNAMA DAN TILEM DI PURA AGUNG MUNCAK SARI DUSUN II PULUK-PULUK SARI DESA BERABAN KECAMATAN BALINGGI KABUPATEN PARIGI MOUTONG

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SMPLB AUTIS

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

PENDIDIKAN AGAMA HINDU

TATA IBADAH HARI MINGGU. Minggu Pemuliaan Kristus

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 89

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu

BAB I PENDAHULUAN. B. Pokok Permasalahan.

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

GAYATRI MANTRAM FUNGSI DAN BERKAHNYA BAGI YANG MENGUCAPKAN

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA Nomor : Ol/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002. Tentang DANA PUNYA

BAB IV ANALISIS DATA. A. Makna Ritual Tilem di Pura Pasraman Saraswati Tiga

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH ANTARA JAMA AH HALAQOH SHALAT KHUSYUK DAN BUKAN JAMA AH HALAQOH SHALAT KHUSYUK DI SURAKARTA SKRIPSI

BUPATI KULONPROGO. Sambutan Pada Acara FESTIVAL KREASI OLAHAN GEBLEK SE-KULONPROGO DI WADUK SERMO KOKAP Tanggal, 24 Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Allah Swt. menciptakan langit dan bumi beserta isinya.

Tarik Nafas Tahan Nafas Keluarkan Nafas Jumlah 10 Detik 10 Detik 10 Detik 30 Detik Minggu I : 3 kali

IBADAT PEMBERKATAN PERTUNANGAN

Depertemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan 2010

UPACARA PENDAHULUAN

SEKAPUR SIRIH. - Ciptakan kemitraan strategis dengan berbagai stakeholders untuk membangun kekuatan sebagai agent of change.

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

GKI MENGALAMI PEMBARUAN BUDI Roma 12:1-2

Disebarluaskan melalui: website: November, TIDAK untuk tujuan KOMERSIL

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

PEMBANGUNAN APLIKASI MOBILE PEMBELAJARAN MANTRA HARI RAYA HINDU TUGAS AKHIR

ARTIKEL. Judul PURA AGUNG JAGATNATHA DI DENPASAR, BALI (PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA-SISWI SMPN 1 DENPASAR) Oleh

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a

Fokus mendengar Firman menghasilkan keubahan

Tata Upacara Pernikahan Sipil

GPIB Immanuel Depok Minggu, 27 September 2015

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana

Minggu, 21 Januari 2018 ALLAH MENYESAL. Yunus 3:1-10 PERSIAPAN T A T A I B A D A H M I N G G U G K I K E B A Y O R A N B A R U 0

28. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SD

PENILAIAN EFEKTIVITAS PENERAPAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI BERBASIS KOMPUTER PADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) KANTOR PUSAT KABUPATEN GIANYAR

TATA TERTIB MAHASISWA

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

Berdiri. 2. NYANYIAN JEMAAT Ya Tuhan Kami Puji Nama-Mu Besar KJ 7:1,4. (prosesi Alkitab simbol Firman Allah yang siap untuk diberitakan)

Tahun A-B-C Hari Raya Natal - Allah menjadi manusia LITURGI SABDA

TATA IBADAH HARI MINGGU I SESUDAH NATAL

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

DAFTAR ISI... SAMPUL DEPAN... SAMPUL DALAM... LEMBAR PRASYARAT GELAR... LEMBAR PENGESAHAN... LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN... PERSYARATAN KEASLIAN...

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Kami datang kepada-mu, kami datang kepadamu Bersyukur sebulat hati, kar na kasihmu besar

Transkripsi:

NASKAH MIMBAR AGAMA HINDU PENGISI ACARA : PEMBIMBING MASYARAKAT HINDU KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SULAWESI UTARA HARI/TANGGAL : 9 JULI 2010 JUDUL : MAKNA DAN TATA PERSEMBAHYANGAN WAKTU : 18.00-1830 DIBAWAKAN OLEH : NI WAYAN ASRYANINGSIH, S.Ag Om Swastyastu, Saudara-saudara pendengar siaran Radio Republik Indonesia Programa satu Stasiun Manado, selamat malam dan salam berbahagia kita berjumpa kembali dalam siaran keagamaan Mimbar Agama Hindu, yang diselenggarakan atas kerjasama antara RRI Manado bersama Pembimbing Masyarakat Hindu Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara. Saudara-saudari umat sedharma yang berbahagia dimanapun berada yang dapat mendengarkan siaran kami, adapun judul mimbar yang akan dibawakan pada saat ini adalah : MAKNA DAN TATA CARA PERSEMBAHYANGAN Umat sudharma yang berbahagia selamat rahina tilem sasih karo pada hari jni, umat sedharma kita sebagai umat beragama sudah tidak asing lagi mendengar istilah sembahyang dan banyak sekali yang telah mendifinisikan kata sembahyang itu. Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur srdaha di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12). Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan

penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Umat sedharma yang berbahagia, di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut muspa atau mebhakti atau maturan. Disebut muspa karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut mebhakti karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata maturan yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita ngelungsur (prasadam) apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya. Manfaat Bersembahyang Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus. Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatnya. Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk

melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya. Persiapan Sembahyang Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang (Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut: 1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi. 2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan) 3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita. 4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi. 5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.

6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana. 7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah cakupang kara kalih, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari. Urutan Sembahyang Sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya melukat terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju. Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya. Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan. Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:29) sebagai berikut: 1. Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran. 2. Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bungan dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudnya dalam segala manifestasinya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah. 3. Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatnya dan mengantarkan kembali ke alam gaib. Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka

(meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila, 2002:31) Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-siwaan itu di dalam diri umat (Sujana & Susila, 2002:31-32). Melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti supir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga, persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-nya dan tuntunan-nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Gede Darsa bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang. Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam persembahyangan, tidak hanya sekedar nyakupang tangan dan ngelungsur. Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan tata cara persembahyangan umat Hindu dapat bermanfaat bagi umat sedharma. dan akhir kata saya ucapkan paramasantih Om santih santih santih Om