I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi sapi perah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dari data statistik Disnak Jabar tahun 2007 hingga tahun 2011 yaitu 103.489, 111.250, 117,839, 120.475, 139.970 ekor. Peningkatan populasi ini meningkatkan pula jumlah feses sapi perah, yang apabila tidak diolah akan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Upaya pengolahan feses sapi perah yang telah banyak dilakukan salah satunya adalah mengolah feses sapi perah menjadi biogas. Pengolahan feses sapi perah menjadi biogas bertujuan selain untuk mengurangi pencemaran lingkungan, biogas yang dihasilkan juga dapat menjadi sumber energi alternatif. Biogas diharapkan menjadi energi alternatif karena bahan baku untuk pembuatannya merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui. Pada pembuatan biogas selain dihasilkan biogas terutama gas metana (CH 4 ) juga dihasilkan sludge (lumpur) biogas. Lumpur biogas memiliki potensi untuk digunakan sebagai pupuk organik pada tanaman. Pupuk organik dihasilkan dari bahan organik asal tanaman ataupun hewani yang dapat dirombak sehingga memenuhi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik memiliki karakteristik tekstur yang gembur seperti tanah, tidak berbau, dan berwarna kehitaman. Namun lumpur biogas walaupun potensial sebagai pupuk organik tetapi belum siap
2 menjadi pupuk. Salah satu alternatif pengolahan lumpur biogas tersebut yaitu dengan cara vermicomposting. Vermicomposting merupakan salah satu cara pengolahan bahan organik menjadi pupuk menggunakan cacing tanah sebagai pengurai utama dan mikroorganisme yang lain. Vermicomposting akan terjadi apabila persyaratannya terpenuhi. Salah satu hal penting harus dipenuhi pada vermicomposting adalah pemilihan jenis cacing tanah yang digunakan. Cacing tanah yang dipilih adalah cacing tanah yang sudah dibudidayakan dan mempunyai produktivitas tinggi yaitu Lumbricus rubellus. Persyaratan vermicomposting, selain pemilihan cacing tanah yaitu penyiapan lumpur biogas sebagai media hidup cacing tanah. Penyiapan lumpur biogas harus sesuai dengan persyaratan media sehingga cacing tanah dapat tumbuh dan berkembang biak. Syarat media hidup cacing tanah teksturnya harus gembur, ph yang relatif netral, dan kadar air yang cukup. Lumpur biogas belum sesuai persyaratan karena teksturnya kompak, phnya belum netral, masih sedikit berbau. Oleh karena itu, agar lumpur biogas ini sesuai maka perlu dicampurkan dengan bahan lain sehingga persyaratan media terpenuhi. Bahan yang bisa digunakan untuk memenuhi persyaratan media tersebut salah satunya adalah serbuk sabut kelapa. Serbuk sabut kelapa merupakan limbah dari industri kerajinan dari sabut kelapa yang di daerah tertentu mulai menimbulkan masalah. Serbuk sabut kelapa memiliki tekstur yang remah seperti serbuk gergaji. Tekstur yang remah dapat membantu aerasi di dalam media sehingga cacing tanah dapat mudah bergerak dan
3 bereproduksi. Oleh karena itu, serbuk sabut kelapa cocok digunakan untuk pencampuran lumpur biogas agar sesuai untuk media cacing tanah. Informasi mengenai pengaruh berbagai campuran lumpur biogas dengan serbuk sabut kelapa pada vermicomposting terhadap biomassa cacing tanah Lumbricus rubellus dan kascing sampai saat ini belum diperoleh. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Campuran Lumpur Biogas Sapi Perah dan Serbuk Sabut Kelapa pada Vermicomposting terhadap Biomassa Cacing Tanah Lumbricus rubellus Dan Kascing. 1.2. Identifikasi Masalah 1. Sejauh mana pengaruh campuran lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa pada vermicomposting terhadap biomassa cacing tanah dan kascing. 2. Pada campuran lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa berapa yang menghasilkan biomassa cacing tanah dan kascing terbaik. 1.3. Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui sejauh mana pengaruh campuran lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa pada vermicomposting terhadap biomassa cacing tanah dan kascing. 2. Untuk mengetahui pada campuran lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa berapa yang menghasilkan biomassa cacing tanah tertinggi dan kascing terbaik.
4 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan bahan informasi untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah baik berupa lumpur biogas sapi perah maupun serbuk sabut kelapa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi praktis terutama bagi peternak sapi perah dalam menangani dan mengolah limbah sapi perah menjadi kompos untuk meningkatkan nilai manfaatnya. 1.5. Kerangka Pemikiran Peningkatan populasi sapi perah akan berbanding lurus dengan peningkatan limbah feses sapi perah yang dihasilkan. Jumlah feses yang dihasilkan seekor sapi perah setiap hari mencapai 7-8% dari bobot hidupnya (Schmidt, 1988). Jika feses tidak diolah akan mencemari lingkungan sehingga diperlukan pengolahan yang mampu mendegradasi feses sapi perah menjadi bahan bermanfaat, salah satunya yaitu biogas. Biogas merupakan hasil pengolahan limbah peternakan yang banyak dilakukan oleh peternak sebagai sumber energi. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari fermentasi bakteri anaerob di dalam tangki pencerna (digester) (Suyitno, dkk, 2010). Proses anaerob ini terdiri dari 4 tahap yaitu hidrolisis, acidogenesis, acetogenesis dan metanogenesis (Deublein, 2008). Fermentasi anaerobik tersebut menghasilkan gas CH 4, CO 2, dan lumpur biogas sebagai hasil ikutannya.
5 Lumpur biogas merupakan limbah keluaran berupa lumpur dari lubang pengeluaran digester setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri metanogenik dalam kondisi anaerobik. Lumpur biogas yang digunakan berasal dari substrat feses sapi perah dengan kadar air tinggi. Pemanfaatan lumpur biogas sebagai pupuk, dapat memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Sahidu, 1983). Lumpur biogas sangat baik dijadikan pupuk, karena mengandung berbagai mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti fosfor (P), Magnesium (Mg), Nitrogen (N), Kalsium (Ca), Kalium (K), Tembaga (Cu), dan seng (Zn). Karakteristik pupuk organik yang baik memiliki ciri dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan sudah tidak berbau. Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, bahan organik belum siap digunakan sebagai pupuk. Penggunaan pupuk yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman (Parnata, 2004). Penggunaan langsung lumpur biogas yang masih mengandung bakteri patogen dan berbau busuk sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan baik untuk manusia maupun tanaman sehingga harus diolah (Thomas, 1981 dalam Price, 1981; Deublein, 2008). Lumpur biogas ini perlu diolah lebih lanjut agar sesuai untuk digunakan sebagai pupuk. Dengan mengolah limbah tersebut sebagai media hidup cacing tanah merupakan metode paling baik, karena metode daur ulang yang sempurna, alami, dan tidak merusak. Metode ini dapat menguraikan lumpur biogas menjadi bahan yang stabil berupa hara sehingga dapat digunakan sebagai pupuk organik lingkungan (Waluyo dan Alim, 1990 ; Sahidu, 1983).
6 Vermicomposting merupakan proses mengubah bahan organik oleh cacing tanah menjadi bahan-bahan seperti humus yang disebut vermicompost (kascing). Bekas media hidup cacing tanah atau yang lebih dikenal dengan sebutan kascing merupakan suatu bahan tanah yang berbentuk seperti tanah yang dihasilkan dari ekskresi aktivitas metabolisme cacing tanah (casting) yang bercampur dengan media tempat hidupnya (Catalan, 1981). Persyaratan vermicomposting yaitu pemilihan cacing tanah, penyediaan media hidup (kadar air antara 40-60%, suhu antara 18 29 o C, porous, ph antara 6,8-7,2), penyediaan pakan (Munroe,2013 ; Catalan,1981). Pada vermicomposting media hidup digunakan sekaligus sebagai sumber pakan. Pemilihan cacing tanah ada 3 kriteria yang perlu diperhatikan. Pertama, kemampuan cacing untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi dan mudah dibudidayakan. Kedua, mampu mengurai bahan organik dengan efektif. Ketiga, memiliki kemampuan untuk tumbuh, dan berkembang biak dengan cepat (Catalan, 1981). Cacing tanah Lumbricus rubellus merupakan salah satu cacing tanah yang dapat dibudidayakan. Cacing tanah tersebut mampu mengkonsumsi bahan organik seberat tubuhnya selama 24 jam. Seekor cacing tanah Lumbricus rubellus akan menghasilkan 1 kokon setiap 7-10 hari dan menetas antara 14-21 hari, dimana setiap kokon akan menghasilkan 2-20 anak cacing tanah dengan rata-rata 7 anak cacing tanah (Sihombing, 1999). Selain pemilihan cacing tanah yang harus diperhatikan adalah penyiapan lumpur biogas yang digunakan sebagai media pakan dan media hidup cacing tanah. Media yang digunakan untuk cacing tanah harus
7 memenuhi beberapa persyaratan yaitu daya serap air yang tinggi, gembur, dan adanya ketersediaan nutrisi (Catalan,1981). Lumpur biogas mampu menahan air, tetapi bersifat kompak. Lumpur biogas memiliki nisbah C/N yang rendah yaitu 3,5 14,6 (Murarka, 1987 dalam Marlina, 2009). Penggunaan lumpur biogas sapi perah sebagai media hidup cacing tanah memerlukan bahan organik lain yang sesuai untuk media agar cacing tanah dapat hidup dan berkembangbiak sehingga dapat menghasilkan kascing dengan kualitas baik. Selain itu, untuk membuat lumpur biogas menjadi gembur perlu dicampur bahan organik sebagai sumber karbon diantara lain salah satunya adalah serbuk sabut kelapa. Serbuk sabut kelapa memiliki bagian 46% dari sabut kelapa (Rumokoi, 1990). Penggunaan serbuk sabut kelapa sebagai media dalam budidaya cacing tanah dapat memenuhi persyaratan, karena serat kasar yang terkandung di dalamnya mempengaruhi aerasi media untuk perkembangan cacing tanah. Sifat serat kasar pada serbuk sabut kelapa mempunyai daya serap yang tinggi untuk menahan air dan mempertahankan kelembapan. Serbuk sabut kelapa sangat remah memiliki aerasi 15 25 % (Mazeen dan Van Holm, 1993). Berdasarkan hasil analisis, kadar air dari serbuk sabut kelapa yaitu 53,5%. Selain itu, serbuk sabut kelapa mengandung 51,33% lignin, 0,42% N, 34,11% selulosa dengan nisbah C/N 114,81 (Anand,dkk, 2002). Hasil akhir vermicomposting harus sesuai dengan persyaratan standardisasi kompos yang telah ditetapkan. Cacing tanah umumnya mengkonsumsi bahan makanan atau bahan organik yang sedang mengalami fermentasi. Hasil akhir yang akan diperoleh dari aktivitasnya dalam
8 vermicomposting adalah berupa biomassa cacing tanah dan kascing (bekas media hidup cacing). Parameter yang diukur pada penelitian lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa ini adalah biomassa cacing tanah dan kascing. Komposisi lumpur biogas dan serbuk sabut kelapa dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut 4:4, 4:3, 4:2 dan 4:1 dengan nisbah C/N secara berurutan, 21,86; 19,14; 16,27; 13,21. Variasi pencampuran ini masih dalam nisbah C/N yang cocok untuk persyaratan media hidup cacing tanah Lumbricuss rubellus yaitu 12,44 21,21 (Lee,1985). Berdasarkan perhitungan konversi kandungan N menjadi protein dengan komposisi 4:4, 4:3, 4:2 dan 4:1, menghasilkan protein sebesar 11,53% ; 12,81% ; 14,52% ; 16,91%. Walaupun protein dibutuhkan untuk pertumbuhan namun kandungan protein pada media hidup cacing tanah memiliki batas maksimum yaitu 15% (Catalan,1981). Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat ditarik hipotesis campuran lumpur biogas dan serbuk sabut kelapa dengan komposisi 4:2 menghasilkan biomassa cacing tanah tertinggi dan kascing terbaik. 1.6. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama tanggal 29 Maret 2013 sampai 28 April 2013 di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah Ternak Jatinangor Sumedang, Jawa Barat.