BAB I PENDAHULUAN. (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Adanya otonomi daerah ditandai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I LATAR BELAKANG. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Adanya otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan sebagai titik awal adanya otonomi daerah. Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah yaitu meningkatkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Hal tersebut demi terciptanya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Siregar, 2004:291). Dalam hal ini pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengatur sendiri urusan pemerintahan daerah seperti yang berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Yani, 2008:369). 1

2 Diterapkannya otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah setempat untuk menggali potensi-potensi sumber keuangan di daerahnya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan sekaligus dapat mengalokasikan sumber daya ke belanja daerah sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerahnya (Sumarmi, 2010). Salah satu belanja daerah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah belanja modal. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menyebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Sumarmi, 2010). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan bahwa sumber pembiayaan dalam membiayai belanja daerah yaitu pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, transfer pemerintah pusat, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3 Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini pemerintah pusat mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Sumber pendapatan daerah lainnya yaitu bersumber dari transfer pemerintah pusat berupa dana perimbangan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menyebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar-pemerintah daerah. Dana perimbangan diantaranya terdiri dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

4 Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat (Putro, 2010). Berdasarkan informasi yang dikutip dari surat kabar Pikiran Rakyat tahun 2013 tekait belanja modal menyebutkan bahwa pada triwulan I/2013 belanja modal yang direalisasikan baru sebesar 0,82% dari total belanja modal yang dianggarkan sebesar Rp1,192 triliun. Pada triwulan I/2012 yang dapat mencapai 5,19% dari total belanja modal sebesar Rp1,31 triliun. Hal ini menunjukan bahwa penyerapan anggaran belanja modal di Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa masih kurang maksimalnya kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pengalokasian belanja modal. Pada semester I tahun 2013 penyerapan anggaran belanja modal lebih rendah dibandingkan dengan semester I tahun 2012 (Wijanarko, 2013). Selain itu berdasarkan informasi yang dikutip dari surat kabar Tempo tahun 2015 tekait belanja modal menyebutkan bahwa serapan anggaran pemerintah Jawa Barat baru 36 persen terhitung 21 Agustus 2015 dari total anggaran murni tahun ini Rp 25,25 triliun, posisinya sudah Rp 9,67 triliun (Fikri, 2015). Hal tersebut didukung dari informasi yang dikutip dari Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri pada 8 September 2015 terkait belanja modal yaitu

5 menyebutkan bahwa realisasi belanja modal dalam APBD provinsi 2015 baru mencapai 11,4%, sedangkan APBD Kabupaten/Kota baru mencapai 13,8%. Sejumlah provinsi yang penyerapan anggarannya rendah antara lain Kalimantan Utara 19%, DKI Jakarta 19%, Papua 22%, dan Jawa Barat 26%. Sejumlah provinsi lainnya sudah mencatatkan realisasi di atas 50%, yakni Kalimantan Tengah 56%, Gorontalo 54%, Maluku Utara 53%, dan Sulawesi Tenggara 51% (Faisal, 2015). Berdasarkan kasus mengenai penyerapan anggaran belanja modal di Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa masih kurang maksimalnya kinerja Provinsi Jawa Barat dalam pengalokasian belanja modal, sehingga Provinsi Jawa Barat tergolong ke dalam Provinsi yang penyerapan anggarannya rendah. Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh Badan Statistik Porvinsi Jawa Barat akan disajikan gambaran mengenai pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan belanja modal di Kota Provinsi Jawa Barat periode 2011-2015 yaitu sebagai berikut : Tabel 1.1 Data Rata-Rata Realisasi Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun Periode 2011-2015 (dalam Ribuan Rupiah) Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Belanja Modal 2011 Rp.269.392.186 Rp.511.338.168 Rp.21.450.065 Rp.212.667.831 2012 Rp.345.937.235 Rp.643.744.092 Rp.26.855.448 Rp.300.826.031 2013 Rp.474.796.975 Rp.716.417.143 Rp.28.249.932 Rp.414.571.004 2014 Rp.586.923.524 Rp.775.787.172 Rp.30.863.969 Rp.411.317.461 2015 Rp.656.271.728 Rp.788.742.094 Rp.41.632.977 Rp.529.751.864 Sumber : Data diolah (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat)

6 Berdasarkan tabel tersebut pada tahun 2011-2015 menunjukan bahwa nilai rata-rata realisasi pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan belanja modal terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari data di atas juga menunjukan bahwa nilai rata-rata realisasi belanja modal Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2011-2015 masih relatif rendah dibandingkan dengan nilai total rata-rata pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana dana alokasi khusus. Selain itu nilai rata-rata realisasi belanja modal di atas menunjukkan adanya gap dengan kasus sebelumnya di atas yang menunjukan masih rendahnya penyerapan anggaran belanja modal. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa pada kenyataannya nilai belanja modal yang terus meningkat tidak diimbangi dengan realisasi penyerapan anggaran belanja modal yang tinggi seperti pada pembahasan sebelumnya (Faisal, 2015). Salah satu provinsi yang penyerapan anggaran belanja modalnya masih rendah yaitu Provinsi Jawa Barat (Faisal, 2015). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya nilai ratarata belanja modal dibandingkan dengan nilai total rata-rata pendapatan daerah yang bersumber dari nilai rata-rata pendapatan asli daerah, nilai rata-rata dana alokasi umum, dan nilai rata-rata dana alokasi khusus, serta adanya gap antara nilai rata belanja modal yang terus mengalami peningkatan namun realisasi penyerapan anggarannya cenderung masih rendah. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan mampu mendorong peningkatan alokasi belanja modal daerah (Wertianti dan Dwirandra, 2013). Sedangkan pernyataan lainnya yang

7 menyebutkan bahwa dengan adanya dana alokasi umum dari pemerintah pusat maka daerah bisa menggunakannya untuk menambah dalam membiayai belanja modal dalam menunjang tujuan pemerintah yaitu meningkatkan pelayanan publik (Putro, 2010). Selain itu pernyataan lainnya yang menyebutkan bahwa dana alokasi khusus untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal (Wandira, 2013) Beberapa penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengalokasian belanja modal sudah pernah dilakukan, seperti diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) yang meneliti mengenai pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap pengalokasian belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara simultan variabel PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Martini dkk (2014) yang meneliti mengenai pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus terhadap belanja modal pada Kabupaten Buleleng tahun 2006-2012. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap belanja modal. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai alokasi belanja modal dengan judul penelitian yang akan diajukan yaitu sebagai berikut :

8 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2012-2015). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis, dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015? 2. Bagaimana pengaruh dana alokasi umum terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015? 3. Bagaimana pengaruh dana alokasi khusus terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015? 4. Bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

9 1. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015. 2. Untuk mengetahui pengaruh dana alokasi umum terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015. 3. Untuk mengetahui pengaruh dana alokasi khusus terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015. 4. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2012-2015. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat diantaranya sebagai berikut : 1. Bagi Penulis Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalokasian belanja modal Pemerintah Kota di Provinsi Jawa Barat, serta menambah pemahaman terkait perbandingan antara konsep yang diberikan pada masa perkuliahan dengan penerapannya langsung di instansi pemerintahan. 2. Bagi Pemerintah

10 Bahan masukan kepada Pemerintah Kota di Provinsi Jawa Barat dalam mengambil kebijaksanaan untuk terus meningkatkan dan mengembangkan daerahnya di masa yang akan datang terkait pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk pengembangan serta menjadi sumber informasi atau masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang yang sama. 4. Bagi Akuntansi Sektor Publik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi untuk para instansi akuntansi sektor publik Kota di Provinsi Jawa Barat untuk memahami konsep konsep pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan alokasi belanja modal Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 1.5 Waktu dan Lokasi Penelitian Dalam rangka untuk memperoleh data yang dibutuhkan oleh peniliti dalam penulisan skripsi ini, peniliti melakukan penelitian pada Pemerintah Daerah Kota di Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2017 sampai dengan selesai.