JATUHNYA BLAMBANGAN 1768 Sri Margana. Blambangan: Antara Mitos dan Realitas

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Di dalam sejarah Islam

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian

Untung Suropati. Untung Bersekutu Dengan VOC

BAB IV HASIL AKHIR MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN. pada awal penyerangan terhadap Blambangan, mampu menahan serangan Sultan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB III MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN. ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan tembok, tetapi banyak di antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR

Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Perjuangan Wong Agung Wilis Melawan VOC Belanda di Banyuwangi

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

I. PENDAHULUAN. Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah

BAB I STRATEGI MARITIM PADA PERANG LAUT NUSANTARA DAN POROS MARITIM DUNIA

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah

BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT

Benteng Fort Rotterdam

SD kelas 5 - BAHASA INDONESIA BAB 7. Tema 7 Sejarah Peradaban IndonesiaLatihan Soal 7.1

TANGGAPAN ATAS LAPORAN

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME

Trainers Club Indonesia Surabaya Learning Forum episode 28. Rabu 29 Juli 2009 WILLEM ISKANDAR

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Sentral dari Komite-komite Kemerdekaan Indonesia mengeluarkan sebuah manifesto:

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing.

I. PENDAHULUAN. telah berlangsung sejak zaman purba sampai batas waktu yang tidak terhingga.

BAB 5 RINGKASAN. jatuh. Padahal ia telah menetapkan segala peraturan untuk dalam dan luar negeri. menyebabkan jatuhnya kekuasaan politik Tokugawa.

BAB 2 DATA & ANALISA

PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG HARI JADI KOTA OTONOM TANJUNGPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN. Nagasaki, Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat pada sekutu pada tanggal 15

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN

Warisan Rezim Prancis di Jawa: Kajian Strategi Militer dan Politik Birokrasi dalam Historiografi Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. historis berasal dari bahasa latin istoria yang memiliki arti kota istoria yaitu kota ilmu di

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Profil Keraton Kasunanan Surakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu, bangsa Indonesia kaya akan hasil bumi antara lain rempah-rempah

Sejarah Sosial & Politik Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Palembang muncul sebagai Kesultanan Palembang sekitar pada tahun 1659 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berdasarkan posisi geografisnya Aceh berada di pintu gerbang masuk

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation.

Revolusi Fisik atau periode Perang mempertahankan Kemerdekaan. Periode perang

Penyebarluasan Proklamasi yang cukup efektif dilakukan juga melalui media siaran radio.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

Tatanan Politik di Nusantara Masa Kedatangan Islam

dari periode yang awal sampai pada periode-periode berikutnya?. Perkembangan terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk yang

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

Oleh: Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar. Menurut berita-berita Cina, pulau Bali dikenal dengan nama P oli.

BAB IV DAMPAK PERANG PALEMBANG A. Kemenangan Sultan Mahmud Badaruddin II. maupun dampak yang buruk bagi kehidupan manusia di daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pembukaan. Semoga berkenan, terima kasih.

BAB II KEHADIRAN SERIKAT YESUIT DI NUSANTARA. perdagangan ke pusat rempah-rempah di Asia. Perdagangan Portugis ke Asia

BAB II DESKRIPSI TOKOH

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

2. Title Bagian ini akan ditampilkan setelah bulatan menjadi besar kembali dan peta berubah menjadi judul film Djakarta Tempo Doeloe.

Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI

CLS di Zaman Kerajaan Mataram

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN A ZIZATUL MAR ATI ( )

Arsip dan Naskah Banten yang tersimpan di Luar Negeri. Titik Pudjisatuti 1

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu gejala positif yang seharusnya dilakukan oleh para sastrawan,

Disusun Oleh : Kelompok 5. 1.Alma Choirunnisa (02) 2.Anjar Kumala Rani (03) 3.Sesario Agung Bagaskara (31) 4.Umi Milati Chanifa (35) XI MIPA 5

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dikenal dengan nama Vulkan dalam mitologi Romawi. Ia adalah putra pertama dewa

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan

I.PENDAHULUAN. Majapahit adalah salah satu kerajaandi Indonesia yangberdiri pada tahun 1293-

BAB V KESIMPULAN. Malaka membuat jalur perdagangan beralih ke pesisir barat Sumatra.

BAB I PENGANTAR. Sejarah militer menorehkan catatan panjang tentang betapa pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB II KERAJAAN MATARAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dan masyarakat Jepang merupakan hal yang cukup menarik

YAYASAN WIDYA BHAKTI SMA SANTA ANGELA Jl. Merdeka 24, Bandung MODUL 2 BAHASA INDONESIA XII MIA 3-6 & XII IIS 1-2 OLEH :

RESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2)

SISTEM KETATANEGARAAN KERAJAAN MAJAPAHIT

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui

2015 PERISTIWA MANGKOK MERAH (KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN

senopati tersebut berada di Desa Gading. Mereka menetap di sana hingga akhir hayat. Kapal yang mereka gunakan untuk berlayar dibiarkan begitu saja

HANCURNYA KESULTANAN BANTEN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF

BAB I PENDAHULUAN. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena terjadinya peristiwa

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah

Kerajaan Ternate dan Tidore. Oleh Kelompok 08 : Faiqoh Izzati Salwa (08) Muhammad Anwar R (21) Shela Zahidah Wandadi (27)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

I. PENDAHULUAN. kerajaan Jawa dipegang oleh raja baru dari Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan

KISI-KISI PENYUSUNAN SOAL UJIAN SEKOLAH PENYUSUN : 1. A. ARDY WIDYARSO, DRS. ID NO :

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

David J. Stuart Fox, penulis buku Pura Besakih; Pura, Agama,

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009

Negara Jangan Cuci Tangan

Transkripsi:

1 JATUHNYA BLAMBANGAN 1768 Sri Margana Blambangan: Antara Mitos dan Realitas Kerajaan Blambangan terletak di ujung timur pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki sejarah panjangnya sendiri, berkembang bersamaan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa, Majapahit. Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satusatunya kerajaan Hindu di Jawa, mengontrol bagian terbesar wilayah Ujung Timur Jawa (wilayah ini sekarang terbagi dalam lima kabupaten: Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo). Hampir selama tiga abad, Blambangan berada di antara dua faksi politik yang berbeda, kerajaan Islam Mataram di Barat dan berbagai kerajaan Hindu di Bali (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi) di Timur. Kedua kekuatan yang bertetangga ini secara simultan terus memperebutkan wilayah Blambangan untuk memuaskan ambisi politik, ekonomi dan religius mereka. Para penguasa Bali menggunakan Blambangan sebagai wilayah antara untuk melawan ekspansi Islam yang dilakukan oleh Mataram Islam dari barat, dan mereka juga mendapati bahwa wilayah tersebut sangat bermanfaat untuk menyokong ekonomi Bali yang bangkrut akibat peperangan antar-kerajaaan yang endemik. Pada paruh akhir abad ke-16, beberapa misionaris Barat tiba di Jawa Timur untuk mencoba mengubah agama penduduk lokal dan, satu abad kemudian Belanda dan Inggris mengadu kekuatan politik dan ekonomi masing-masing di kawasan tersebut. Kerusuhan internal berkaitan dengan penggantian raja di kerajaan Blambangan memperlemah kerajaan tersebut, menjadikannya rawan terhadap intervensi asing. 1 Blambangan sangat jarang disebut dalam historiografi Indonesia. Dalam karya pionirnya Pengantar Sejarah Indonesia dan berjilid-jilid buku Sejarah Nasional Indonesia 2 karyanya, Sartono Kartodirdjo tidak sekalipun membuat kalimat tentang kawasan tersebut. Sebelum penerbitan karya I Made Sujana pada tahun 2003, episode sejarah Blambangan hanya dapat ditemukan pada karya-karya C. Lekkerker dan H. J. De Graaf. Karya penting Lekkerker tentang Ujung Timur Jawa sangat jarang dibaca oleh para pembaca Indonesia karena ditulis dalam bahasa Belanda. Saya mendapatkan banyak manfaat dari penelitian penting ini. Meski 1 Etimologi Blambangan atau Balambangan, dijelaskan oleh Atmosudirdjo sebagai berikut: nama Balambangan ditemukan pertama kalinya dalam Negara Kertagama 1365. Encyclopaedie van Nederlandsch- Indië, vol. 2, merujuk pada Kawi-Balineesch Woordenboek yang menjelaskan kata lambwang (Jawa dan Indonesia; lambung) berarti pinggir atau batas, yang dapat dibaca Kalambwangan. Dokumen-dokumen VOC abad ke-18 menyebut Balemboangang atau Balamboang(han). Ejaan lainnya adalah Balaboanghan (seperti ditemukan dalam R. van Goens, Reijsbeschrijvingen na Mataram (1856), 307.), Baliboangh and Balimbang (dalam Encyclopaedie van Nederlandsch- Indië, vol. 4, 300) atau Bolamboan. P. J. Veth mengaitkan kata Balambangan, yang berarti perbatarasan dengan Wong Pinggir atau orang pinggiran. Dua artikel dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie berjudul Pinggir dan Tenggereezen, merujuk pada para tahanan yang diangkut ke Mataram dari Blambangan pada masa Perang Mataram-Blambangan 1625-1645. Lihat P. J. Veth, Java: Geographisch, Ethnologish, Historisch, vol. iv, hlm., 103-104. Atmosudirdjo sendiri menawarkan sebuah interpretasi alternative dari kata Balambangan yang barangkali berasal dari dua kata bala, orang dan (i)mbang, batas. Brandes menjelaskan pengejaan Balamboang(han) dari dialek Oesing dialect, di mana kata itu dilafalkan sebagai Balambjangan atau Balambwangan. J. L. A., Brandes, Verslag over een babad Balambwangan (1894), hlm., 325. Lihat juga, R. S. P. Atmosudirdjo, Vergelijkende adatrechtelijk studie van Oost Javase, Madoerezen en Oesingers. (Amsterdam: 1952), hlm., 2-4. 2 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia: Dari Emporium ke Imperium, 1600-1800 (Jakarta: Gramedia, 1987); Idem. (et.al.), Sejarah Nasional Indonesia. 6 jilid, (Jakarta: Departemen Pedidikan & Kebudayaan,1976)

2 demikian, cerita dramatis Blambangan sangat populer di antara penduduk Indonesia, terutama mereka yang hidup di Jawa, karena roman kerajaan Blambangan sering kali ditulis dalam banyak novel atau disebut-sebut dalam tradisi oral dan tulis lokal (babad). Oleh karena itu, dalam benak penduduk Indonesia Blambangan lebih sering atau setidaknya dianggap sebagai negeri entah brantah. 3 Pada tahun 1935, sebuah novel tentang Blambangan berjudul Digdaja diterbitkan dalam majalah sastra Penghidoepan. Pengarang dari novel ini, Tan Boen Swie (T.B.S), mencoba menjawab teka-teki mengenai asal usul Tiyang Pinggir atau Wong Pinggir, sebuah komunitas terpisah yang hidup di Surakarta dan Yogyakarta. 4 Tiyang Pinggir berasal dari ujung timur Pulau Jawa atau pinggiran, Blambangan tepatnya. Tiyang Pinggir atau rakyat Blambangan terkenal digdaya (sakti). Tan Boen Swie menceritakan bahwa pada masa Mataram, laki-laki dari Blambangan digunakan sebagai guinea-pig (percobaan) untuk senjata yang lazim mereka gunakan dalam pertempuran. Jika terbunuh, senjatanya akan dianggap sakti dan layak digunakan dalam pertempuran. 5 Para perempuan Blambangan dijadikan abdi untuk menyusui anak-anak raja dan bangsawan. Ada kepercayaan bahwa ketika hamil, perempuan Blambangan memiliki kebiasaan meminum jamu yang dibuat dari dedaunan rajegwesi. Jamu ini menjadikan warna air susu mereka berwarna setengah wulung (indigo), dan seorang bayi yang mengonsumsi air susu tersebut akan tumbuh menjadi seorang yang digdaya dan kebal senjata. Ketika Blambangan dikalahkan oleh Mataram, Tiyang Pinggir dipindah ke Mataram dan direkrut sebagai anggota pasukan kerajaan, di mana mereka disebut sebagai Prajurit Blambangan. Setelah pembagian Mataram pada tahun 1755, korps Prajurit Blambangan terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok tetap berada di bawah administrasi Surakarta, sementara satunya lagi dipindah pada Sultan baru, Hamengkubuwana I Yogyakarta. Di Surakarta, pada masa kekuasaan Pakubuwana III, korps Prajurit Blambangan dibubarkan karena mereka tidak lagi digdaya, namun mereka kemudian direkrut lagi pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (17881820). Korps baru ini diberi 400 pangkon lungguh (tanah garapan) atau sekitar 100 bahu, terletak di sekitar Kartasura dan Ngadireja. Pada masa pemerintahan Pakubuwana IV korps Prajurit Blambangan berada di bawah komando Pangeran Aria Mangkubumi II. Setelah kematian Mangkubumi II, korps Prajurit Blambangan dibagi menjadi dua kelompok; Suratetana dan Jayatetana, yang kemudian lebih terkenal sebagai Prajurit Kartasura. Setelah masa itu, nama Prajurit Blambangan surut di Surakarta. Citra Blambangan sebagai tanah air wong digdaya masih terus terpelihara hingga kini. Banyuwangi, nama saat ini untuk Blambangan, telah lama menikmati reputasi sebagai salah satu pusat belajar ilmu kekuatan supernatural di Indonesia; sebuah reputasi yang juga dimiliki oleh Banten di Jawa Barat dan Lombok. Ilmu supranatural yang dipraktekkan di Banyuwangi saat ini dipercaya sebagai campuran kepercayaan animistik dan mistisisme Islam, yang ditumbuhkan dalam atmosfer konflik antar agama yang menguasai istana Blambangan sejak abad ke-16. Rakyat Banyuwangi meyakini dengan sepenuh hati bahwa seluruh kekacauan baik komunal ataupun personal disebabkan oleh kekuatan gelap. Kematian yang tidak wajar atau tiba-tiba, kegagalan panen, kematian ternak, dan persoalan pernikahan ini segalanya dianggap sebagai hasil kerja keji para dukun ilmu hitam. Pada tahun 1998, pembunuhan massal atas 3 I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII (Bali: Larasan-Sejarah, 2001); C. Lekkerkerker, Blambangan IG, 45/2, (1923); H. J. de Graaff, Geschiedenis van Indonesië (s- Gravenhage: Nijhoff, 1949). 4 Mengenai Tiyang Pinggir, lihat Soehari, Pinggir, Djava, 5-6, (1929), hlm., 160-168. 5 Tan Boen Swie, Digdaja (Soerabaja: Tan s Drukkerij, 1935). Diterbitkan juga dalam Penghidoepan, no. 128, (1935). Novel kedua, Tjoban: Samboengan dari Digdaja (Soerabaja: Tan s Drukkerij, 1936), juga diterbitkan dalam Pengidoepan, no. 133, (1936).

3 ratusan praktisi ilmu hitam menjadi salah satu isu politik besar pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid. 6 Blambangan merupakan negara fragmentaris yang strukturnya bahkan dibuat lebih rentan oleh kekacauan politik internal, perang, dan konsekuensi-konsekuensinya yang tidak dapat ditawar-tawar: intervensi dan pendudukan asing. Sejak pendiriannya pada paruh akhir abad ke-13, ibukota Blambangan telah berpindah ke enam lokasi berbeda. 7 Meski artifakartifak historis yang signifikan yang berhasil ditemukan bertanggal dari masa sangat awal kerajaan tersebut, informasi tentang kerajaan ini tertutup bagi tradisi historiografi lokal yang, dalam banyak kasus tercampur dengan mitos dan legenda. Peta Perkiraan Lokasi yang pernah menjadi Ibukota Kerajaan Blambangan Banyak sejarawan meyakini bahwa tidak lama setelah kejatuhan Tumapel atau Singasari dan pendirian Majapahit pada paruh akhir abad ke-13 (1293), sebuah kerajaan baru didirikan di sebelah timur Jawa menggunakan nama Blambangan. Pendiri kerajaan ini dan lokasi ibukotanya yang tepat sangat sulit ditentukan. Versi prosa dari Babad Blambangan menyatakan bahwa raja pertama Blambangan adalah Menak Sopal, namun penulis babad menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat diceritakan mengenai raja ini dan pemerintahannya. 8 Kronik lain, Babad Sembar, meletakkan Lembu Miruda di puncak pohon keluarga Blambangan dan menunjuk Watu Putih (dekat Panarukan) sebagai ibu kotanya. Pada abad ke-14 (1365) Blambangan juga disebut dalam sebuah kakawin (sastra klasik Jawa), Negarakertagama, dan sebuah kronik Melayu, Hikayat Raja-raja Pasei. Sumber lokal lain, Serat Pararaton, menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanagara (1309-1328), Majapahit meluaskan kekuasaannya ke belahan timur Jawa, menekan ke arah timur Lumajang 6 Mengenai pembantaian ini, lihat Veven S. P. Wardhana (ed.), Geger Santet Banyuwangi (Institut Studi Arus Informasi ISAI). Lihat juga S. Saiful Rohim, Merah Darah Santet di Banyuwangi, (Jakarta: Metro Pos, 1998); Jason Brown, The Banyuwangi Murders (The Australian Consortium of In Country Indonesian Studies, 1999); Sunarlan, Kekerasan Negara dan Konflik Elite: Studi Kasus di Banyuwangi 1998-1999, Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 2 (2002), hlm., 110-136. 7 Gagasan mengenai Blambangan sebagai Negara fragmentaris diperkenalkan oleh I Made Sujana. Pengarang mengasosiasikan Blambangan dengan Nagari Tawon Madu. lihat, I Made Sujana, Nagari Tawon Madu, op. cit., hlm., 3. 8 Babad Notodinngratan, dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995).

4 termasuk Blambangan. Kemudian, pada masa pemerintahan Rajasanagara atau Hayamwuruk (1359-1389), kawasan ini dihadiahkan pada anaknya Bhre Wirabumi. Ketika Hayamwuruk meninggal pada tahun 1389, sepupunya dan menantu laki-lakinya, Wikramawardana, berkuasa, namun sepuluh tahun kemudian penguasa ini turun tahta dan menarik diri ke pedalaman untuk menjadi seorang petapa. Dia mengambil keputusan ini setelah kematian putra tunggalnya, yang bakal menjadi penggantinya. Sebelum mengundurkan diri, dia memilih satusatunya putrinya yang masih hidup, Dewi Suhita, sebagai pewarisnya. Bhre Wirabumi menolak keputusan tersebut, dan mencoba untuk melepaskan Blambangan dari Majapahit. Hal ini berujung pada pecahnya perang antara Majapahit dan Blambangan (1404-1406), yang berakhir dengan kehancuran Bhre Wirabumi, yang kemudian dipenggal lehernya. Kepalanya dipersembahkan kepada Ratu Majapahit. Sejarah Kematian Bhre Wirabumi mirip dengan salah satu cerita yang dituturkan dalam epik Jawa terkenal Serat Damarwulan. J. L. A. Brandes mengasosiasikan Bhre Wirabumi dengan Raja Menak Jingga, seorang figur antagonis dalam epik tersebut. Garis yang diambil dalam cerita ini adalah bahwa Menak Jingga, raja Blambangan, tidak mengakui kedaulatan Majapahit dan dia ingin menikahi Ratu Majapahit, Kencanawungu (Dewi Suhita). Sang Ratu menolak lamaran Menak Jingga dan mengirim Damarwulan ke Blambangan untuk membunuhnya. Pada saat perang terjadi, Menak Jingga terbunuh dan kepalanya pun dipersembahkan pada sang Ratu. Sebagai imbalannya, sang Ratu menikahi Damarwulan dan mengangkatnya ke singgasana. 9 Ilustrasi dalam naskah Serat Damarwulan yang sekarang tersimpan di British Museum London. Dalam naskah itu Menak Jingga duduk di kursi merangkul selirnya sambil menikmati makanan dan pertuunjukkan tarian. Penulis Babad Blambangan juga menempatkan cerita Menak Jingga pada plot utama sejarah Blambangan. Menurut babad ini, setelah penaklukan Raja Brawijaya menganugerahkan Blambangan pada Ajar Gunturgeni, seorang petapa dari Tengger, yang dengan gagah berani mengusir musuh dari Majapahit. Petapa ini juga dianugerahi nama baru, Pamengger. Akan tetapi, Pamengger tidak memiliki anak yang dapat menggantikannya. Yang dia miliki hanyalah seekor anjing. Dia mengubah anjingnya tersebut menjadi sesosok manusia, namun tidak sempurna, kepala sosok manusia itu masih berbentuk anjing. Dia menamai makhluk ciptaannya 9 Brandes, Verslag over een Babad Balambwangan, TBG, 37, (1894).

5 ini sebagai Menak Jingga dan menaikkannya ke singgasana. Dari titik ini, kisah berlanjut seperti yang telah disebutkan dalam epik di atas. Sekali lagi, Menak Jingga dilengserkan oleh Damarwulan. Dua tokoh utama Menank Jingga (antagonis) dan Damarwulan (protagonis) dalam Wayang Krucil tradisi Mangkunegara Surakarta. Penggambaran tokoh Menak Jingga tampaknya mengadopsi cerita yang digambarkan dalam Serat Kanda, manusia berkepala anjing. Bhre Wirabumi, Pamengger, dan Menak Jingga, semua tokoh ini barangkali merujuk pada satu figur yang sama. Jika yang pertama diterima sebagai figur yang lebih historis, maka dua yang terakhir mestinya merupakan personifikasi dari yang pertama. Patung yang disebutkan oleh Veth barangkali adalah patung Bhre Wirabumi. Siapa pun yang menulis epik Damarwulan, maka pastilah dia dipenuhi dengan gairah tentang kejayaan Majapahit. Menak Jingga dianggap bukan manusia dan diasosiasikan tidak berbeda dengan anjing. Barangkali penulis Babad Blambangan menolak untuk mengakui sosok penuh tanda tanya semacam itu sebagai Bhre Wirabumi, ke dalam pohon keluarga Blambangan. Oleh karena itu, ia menciptakan seorang tokoh antagonis, Menak Jingga, yang dapat mewakili seluruh sifat-sifat buruk yang ada. Dengan kata lain, penulis mengakui Menak Jingga sebagai salah satu raja Blambangan, namun secara genealogis dia tidak disangkutkan pada garis utama keluarga. Barangkali ini merupakan sebuah upaya untuk menghapus noda politik pada dinasti penguasa Blambangan. Kronik Jawa terkenal, Serat Pararaton, tidak memberi banyak petunjuk mengenai nasib Blambangan setelah kematian Bhre Wirabumi di tahun 1406, namun Babad Blambangan dengan jelas menyebut nama Menak Dadaliputih. Babad ini menyebutkan bahwa setelah kematian Menak Jingga, raja Majapahit, Brawijaya, menunjuk Menak Dadaliputih, anak Menak Jingga, sebagai penguasa baru Blambangan. Menak Dadaliputih juga dibunuh ketika raja mengetahui bahwa dia telah mencuri sebuah pusaka Majapahit yang terkenal, sebuah keris bernama Kyai Semelagandring. Meski demikian, ada jurang yang tidak bisa dipahami dalam cerita ini. Sang Penulis Babad tiba-tiba melompat menuju peristiwa lain yang terjadi di Blambangan satu setengah abad berikutnya. Kronik Blambangan lain, Babad Sembar, menghadirkan sebuah versi yang sangat berbeda mengenai dinasti penguasa Blambangan. Seperti disebutkan di atas, Babad Sembar menyatakan bahwa Lembu Miruda, anak Brawijaya Majapahit, adalah raja pertama Blambangan. Hal ini seolah menyatakan bahwa, setelah pembunuhan Menak Dadaliputih, penguasa Majapahit memilih untuk tidak mengangkat seorang penguasa baru di Blambangan dari dinasti Bhre Wirabumi yang pemberontak, namun

6 anaknya sendiri, Lembu Miruda. Dengan kata lain, penulis Babad Sembar melacak dinasti penguasa Blambangan hanya dari garis Raja Brawijaya yang secara genealogis bersambung dengan para penguasa Blambangan abad ke-18. 10 Blambangan pada Abad ke-17 Pada akhir abad ke-16, Blambangan jatuh ke dalam kekuasaan Raja Bali Gelgel. Lekkerkerker meyakini bahwa setelah tahun 1600, raja-raja Blambangan memiliki darah Bali. Dalam waktu yang bersamaan, Mataram juga mulai mengonsolidasikan kekuatannya di Jawa Timur. Pada tahun 1625, Sultan Agung (1613-1646) mengirim ekspedisi militer ke Blambangan, melibatkan 20.000 hingga 30.000 prajurit. Pada tahun 1628, Blambangan meminta bantuan Belanda untuk memukul invasi Mataram ini, namun pengepungan atas Batavia oleh para prajurit Sultan Agung (1628-1629) merusak seruan ini. Pada tahun 1631, Panarukan, ibukota Blambangan, dihancurkan oleh para bajak laut, dan para penduduknya terpaksa mengungsi sejauh enam mil ke pedalaman. Pada 1636, Mataram melancarkan serangan baru terhadap Blambangan membuat seluruh Blambangan hancur lebur. Dengan bantuan dari rakyat Bali, pekerjaan rekonstruksi segera dilakukan. Gubernur Jenderal Van Diemen menulis pada Heeren XVII Desember 1639 bahwa Susuhunan sekali lagi mengirim pasukan ke Blambangan, dan juga menyerang Bali. Babad Tanah Jawi mengatakan bahwa ekspedisi tersebut dilaksanakan di bawah kepemimpinan Pangeran Selarong dan Raden Padureksa. Pasuruan yang pertama kali diserang. Raja Blmabangan, Sang Dipati, meminta bantuan Bali, namun hanya menerima 500 orang di bawah kepemimpinan Dewa Lengkara, Dewa Agong Panji Buleleng, dan Panji Macan Kuning. Sang Dipati dapat dihancurkan namun tidak jelas apakah dia dibunuh atau tidak. Anaknya, Mas Kembar, menggantikannya, namun setelah perang yang panjang dan penuh darah, Blambangan dapat ditaklukkan. Mas Kembar dideportasi ke Mataram bersama sejumlah besar pengikutnya, namun setelah dia berjanji untuk tetap setia pada Mataram dia kembali diangkat menjadi Raja Blambangan. 11 Setelah kematian Sultan Agung Mataram, Dewa Agong dari Gelgel kembali berusaha merebut takhta Blambangan, dan seorang raja baru diangkat. Murka dengan penentangan ini, Amangkurat I mengirim prajurit ke Blambangan di bawah komando Wiraguna, Danupaya, dan Bupati Sampang, yang memaksa Mas Kembar untuk lari ke Bali. Sekitar 1500 penduduk lainnya dideportasi ke Mataram namun tidak pernah tiba di tujuan mereka. Ketika kembali ke Mataram, Wiraguna dan Danupaya dibunuh atas perintah Amangkurat I, karena mereka gagal meluaskan penyerangannya ke Bali. Para penduduk Blambangan yang dideportasi diasingkan di Taji (Prambanan), setengah dari mereka kembali ke tanah air. Raja Blambangan kembali ke negerinya. Pada tahun 1647, Dewa Agong dari Bali mengirim duta lain ke Batavia, meminta bantuan Belanda, namun pada Februari 1648 duta tersebut kembali dengan tangan kosong. 12 Pada tahun 1651, Gubernur Jenderal Reinersz mengirim seorang utusan, Jacob Bacharach, ke Gelgel untuk menawarkan aliansi melawan Mataram, namun ketika tiba di Gelgel, dia mendapati kerajaan Bali telah terpecah belah. Karangasem, Mengwi, dan Buleleng kini menjadi kerajaan merdeka. Gusti Agong dari Karangasem memegang kekuasaan di Gelgel. Di bawah kondisi ini, Raja Mataram mempertahankan cengkeramannya di Blambangan, dan sejak saat itu penguasa kerajaan ini harus mengirim duta-duta dan upeti tahunan ke Mataram. Pada tahun 1659, Mataram mengirim ekspedisi lain ke Blambangan. Prajurit Mataram 10 Babad Sembar dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995). 11 Lekkerkerker, Blambangan, hlm., 1038. 12 Ibid., hlm., 1039; lihat juga, H. J. De Graaf, De Regering van Sultan Agung, vorst van Mataram,1613-1645, en die van zijn voorvanger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613, ( s-gravenhage: Verhandelingen van het KITLV, No. 23, 1958).

7 menyerang dan menghancurkan Puger yang terletak di pesisir selatan Blambangan, sementara sekali lagi para penduduknya dideportasi ke Mataram. 13 Blambangan memasuki periode yang sejahtera dan penuh kedamaian pada masa kekuasaan Tawangalun (1665-1691). Tidak banyak informasi yang ditemukan dalam arsiparsip VOC mengenai kondisi Blambangan pada masa kekuasaan penguasa ini, kecuali tahuntahun terakhir pemerintahannya, tepat sebelum kematiannya pada tahun 1691. Untunglah sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap tersimpan dengan baik. Tiga filolog, Brandes, Winarsih Arifin, dan Darusuprapto telah meneliti teks-teks tersebut. 14 Dalam analisisnya terhadap Babad Blambangan dalam versi tembang, Brandes mengatakan bahwa penulis babad ini adalah seorang pendukung Bali. 15 Dengan membandingkan tiga sumber berbeda dari De Jonge, Brandes, dan J.C. Wikkerman, Lekkerkerker mencoba merekonstruksi sejarah Blambangan pada masa kekuasaan Tawangalun. Tawangalun adalah anak dari Kedawung. Ia naik takhta pada tahun 1665. Saudaranya yang termuda, Mas Wila, memegang jabatan sebagai Patih, namun empat tahun kemudian, ia berontak terhadap kakaknya. Tawangalun lari dari istana dan mengungsi ke Bayu, tempat yang seratus tahun kemudian menjadi markas para pemberontak Blambangan, Rempeg atau Jagapati. Di tempat ini Tawangalun membangun sebuah keraton baru dan mendapatkan dukungan dari rakyat Blambangan. Enam tahun kemudian, saudaranya yang termuda, Mas Wila, datang untuk menyerang dan mengadakan pengepungan atas Bayu. Akhirnya, sang Mas Wila terbunuh. Setelah itu, Tawangalun menguasai seluruh Kerajaan Blambangan. Dia dijuluki Pangeran Adipati Macan Putih, setelah ia menarik diri untuk menjadi seorang asketis di Pangabekten, bagian tenggara gunung Raung. 16 Kuil Macan Putih, Engelhard 1802 13 Lekkerkerker, op. cit., hlm., 1039. 14 Brandes, Verslag over een Babad Balambangan TBG, 37, (1894), hlm., 325-365; Idem, Nalezing over een Babad Balambangan, TBG, 38, (1895), hlm., 282-288; Winarsih Arifin, Babad Blambangan, (Yogyakarta: Bentang, 1995); Darusuprapto, Babad Blambangan: Pembahasan - Suntingan Naskah Terjemahan (Disertasi Universitas Gadjah Mada 1984). 15 Brandes: Verslag over een Babad Balambangan, hlm., 453-457, dan hlm., 348-365. 16 Ibid., hlm., 1040.

8 Kuil Macan Putih 1855 Prosa Babad yang disunting oleh Brandes mengatakan, bahwa dia adalah pendiri kota Macan Putih di hutan rimba Sudyamara. Wikkerman meyakini bahwa tempat inilah yang merupakan ibukota Blambangan pada masa pemerintahan Tawangalun (saat ini puingpuingnya masih dirawat oleh para penduduk lokal. Terutama Keraton Macan Putih, sebuah tempat di mana tubuh Tawangalun mengalami moksa/hilang atau dalam Budisme menjadi bebas dari reinkarnasi dan pergi ke kahyangan). Yang menarik, juru kunci tempat ini meyakini bahwa Tawangalun adalah Wali yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. 17 Pada tahun 1805, beberapa puing batu bata masih dapat dilihat di dalam belantara. Macan Putih, berlokasi di desa Malar utara Ragajampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata. Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding batu bata besar. 18 Puing ini mengindikasikan bahwa pada masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera dan banyak berdiri kuil dan kota, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Mataram. Sekitar tahun 1676, Tawangalun memutuskan untuk mencoba membebaskan dirinya dari Mataram dan menghentikan pemberian upeti serta kunjungan tahunannya ke Mataram. 19 17 Ibid., hlm., 1041. 18 N. J. Krom, Inleideing tot de Hindoe-Javaansche Kunst, vol. ii, ( s-gravenhage: Nijhoff, 1920), hlm., 409-416. Lihat juga Idem., De regering van Matjan Poetih, hlm., 429. 19 Lekkerkerker, Blambangan, hlm., 1041.

9 Di lokasi reruntuhan istana Macan Putih dibangun sebuah monument yang oleh penduduk setempat disebut Sanggar Pamujan. Foto diambil tahun 2003 Pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), banyak penguasa bawahannya yang bangkit melawan raja tiran ini. Pada 1680, seorang kapten Belanda, Jeremias van Vliet, dikirim ke Blambangan untuk meredam pemberontakan orang-orang Makasar dan Melayu yang membantu upaya pemberontakan Trunajaya. Van Vliet mencoba memberikan Tawangalun pada Susuhunan Mataram, tidak menyadari bahwa ia sendiri telah mendeklarasikan kemerdekaannya sendiri dengan julukan Susuhunan Blambangan. Pada tahun 1685, sekali lagi Gubernur Jenderal Camphuys mengirim Van Vliet ke Blambangan, dengan tawaran persekutuan untuk bergabung dengan Tawangalun yang tengah mencoba membebaskan dirinya dari Mataram. Tidak ada satu pun laporan yang dapat ditemukan berkaitan dengan respon Tawangalun, namun pada tahun 1690, Tawangalun mengirim utusannya ke Jepara dan Surabaya untuk bekerja sama dengan VOC melawan Surapati, yang telah merebut sebagian wilayahnya. Batavia meresponnya dengan mengirim dua utusan ke Blambangan, Kapten Jan Bervelt dan Letnan Jan Francen pada 14 September. Mereka tiba di Macan Putih, dan sang Raja ingin bertemu mereka pada 18 September, namun pada saat yang ditentukan sang Raja meninggal. Tidak lama setelah itu, perselisihan muncul di antara anak-anak Tawangalun untuk menentukan pengganti ayahnya yang kemudian diikuti dengan pecahnya perang suksesi. Kedua utusan Belanda tersebut diusir oleh dua anak tertua Tawangalun dan kembali ke Batavia. 20 Tampaknya, tidak ada satu hal pun yang membuat nama Tawangalun ternoda dalam pandangan rakyat Blambangan. Menurut Babad Blambangan, tubuhnya dikubur di belantara Lecutan, dan pada tanggal 13 Oktober, atau dua puluh lima hari setelah kematiannya, mayatnya dikremasi dalam sebuah sati raksasa bersama dengan 270 orang dari 400 istrinya. Tujuh hari setelah kematian Tawangalun, Pangeran Adipati Sasranagara yang memenangkan perselisihan suksesi meninggal, dan anak yang lain, yaitu Pangeran Adipati Mancanapura atau Pangeran Macan Putih naik takhta. Wikkerman menyatakan, bahwa ia membangun sebuah keraton baru di Wijenan, sebelah selatan Macan Putih, karena Macan Putih telah menjadi puing. Tempat baru ini kemudian dinamai Blambangan (Wijenan terletak di sebelah barat Macan Putih, namun ibu kota baru Blambangan terletak lebih jauh ke selatan, di pedalaman Muncar). Mancanapura 20 Ibid., hlm., 1041.

10 memerintah dengan independen, namun Panarukan, Jember, dan Malang diduduki oleh Surapati yang mengangkat kerabatnya sebagai bupati di tempat itu. 21 Blambangan di Bawah Hegemoni Bali (1697-1764) Setelah perang suksesi, dua anak Sasranagara, Mas Purba dan Mas Patih, mencari bantuan dari Raja Buleleng Gusti Ngurah Panji Kertanagara dan Panji Sakti. Barangkali, upaya kedua orang anak ini didorong oleh ibunya Mas Ayu Gading, untuk menggulingkan paman mereka dari takhta pada 1697. Mereka berdua juga mendapat dukungan dari Karangasem dan Makasar, musuh VOC dan sahabat Surapati. Sebagian dari pasukan mendarat di Tanjungjajar atau Watudodol, sebelah utara Banyuwangi, sementara yang lain mendarat di Banyualit. Mancanapura bersama sedikit pengikutnya melarikan diri ke Pasuruan melalui Garahan, Besuki, dan Probolinggo. Di Pasuruan, dia beralih memeluk Islam. Dia menunggu di sini untuk mencari kesempatan kembali ke Blambangan, namun dia diracun oleh kemenakan dan penggantinya. Bersamaan dengan kepulangan prajurit Buleleng ke Bali, 800 orang Blambangan juga berlayar ke Buleleng dengan membawa pusaka raja yang berarti bahwa kedaulatannya secara simbolis dialihkan ke Buleleng. Mas Purba diangkat sebagai Raja Blambangan berjuluk Pangeran Adipati Danureja (1698-1736). Orang-orang Bali menjulukinya Dewa Nyurga. Dia membangun istana baru di Kebrukan, di Lateng, dekat Ulupampang. Danureja memerintah selama tiga puluh sembilan tahun yang penuh pergolakan. Dia dipaksa oleh raja Bali untuk berperang melawan Mataram dan sekutu-sekutunya. Pada tahun 1726, Gusti Panji dari Buleleng terlibat peperangan dengan Gusti Agong dari Mengwi, yang berakhir dengan kekalahan Gusti Panji. Sebagai akibatnya, Buleleng harus menyerahkan Blambangan kepada Mengwi. Pada tahun 1729, Gusti Agong dari Mengwi mengirim 700 prajurit untuk menduduki Blambangan. 22 Penyerahan Ujung Timur Jawa kepada VOC Serangkaian ekspedisi militer besar ke Blambangan yang dilakukan oleh Mataram pada tahun 1635 dan 1636-1640 lebih menyerupai perampokan ketimbang pendudukan. 23 Mataram tidak pernah mengukuhkan kekuasaan riil di tanah yang baru saja ditaklukkan itu. Para prajuritnya menjarah barang-barang dan harta istana, dan mengubah para penduduknya menjadi budak di ibu kota. Selain itu, juga tidak tampak gerak Islamisasi yang lazimnya berhubungan dengan penaklukan sebuah wilayah pada masa itu. Blambangan tidak sepenuhnya ditaklukkan, bahkan meski Mataram mengklaim telah menguasai seluruh Jawa. Satu abad kemudian, 1743, Raja Pakubuwana II dari Mataram menyerahkan Java s Oosthoek (dari sebelah timur Malang sampai Banyuwangi), termasuk Blambangan kepada VOC sebagai balasan atas pengembalian takhtanya yang direbut VOC dari para pemberontak. 24 Penyerahan kawasan ini berdasarkan atas sebuah klaim teritorial kuno Mataram, yang sebenarnya sangat jauh dari realitas politik aktual. Pada akhir abad ke-17, Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang direbut oleh seorang pemberontak terkenal Surapati, dan 21 Ibid., hlm., 1043. 22 Ibid., hlm., 1043-1044. 23 Mengenai penyerbuan Blambangan oleh Sultan Agung lihat de Graaf, De Regering van Sultan Agung, vorst van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613, ( s- Gravenhage: Verhandelingen van het KITLV, No. 23, 1958), terjemahan bahasa Indonesia, Puncak Kejayaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta: Grafitipers, 1986), hlm., 262-271. 24 Mengenai pemberontakan ini lihat W. G. J. Remmelink, The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743, (Leiden: KITLV, 1994).

11 pada saat kematian Surapati tahun 1705, Mataram hanya mampu merebut Pasuruan dan Probolinggo. Kawasan lain, seperti Malang dan Lumajang, tetap dipegang oleh keturunan Surapati dan merupakan sebuah wilayah yang independen, di mana Blambangan di ujung timur Jawa diklaim oleh orang-orang Bali. 25 Dengan kata lain, Pakubuwana II menyerahkan tanahtanah yang tidak berada dalam kontrolnya. Peta Ujung Timur Jawa sekitar Tahun 1743 Setelah perjanjian damai 1743, Gubernur Jenderal Van Imhoff dan Konsul Hindia tidak mengambil langkah-langkah langsung guna mengokohkan kekuasaan di Ujung Timur Jawa, kecuali Pasuruan dan Probolinggo. Di kedua tempat tersebut, Batavia mendirikan benteng kecil yang hanya dijaga oleh sejumlah kecil prajurit Eropa. Pendudukan atas seluruh wilayah Ujung Timur Jawa terus terhenti diakibatkan oleh dua hal. Pertama-tama adalah Kompeni sekali lagi ditarik masuk ke dalam perselisihan politik di Jawa Tengah yang belum usai hingga tahun 1757 ketika kerajaan Mataram terpecah menjadi tiga bagian. Pada saat itu, otoritas Belanda di Batavia tidak sepenuhnya menyadari situasi politik riil di Ujung Timur Jawa dan ancaman laten datang dari kompetitor utamanya dari Eropa, English East India Company (EIC), yang pada saat itu meluaskan tentakelnya hingga ke Kepulauan dan bahkan dengan berani membangun sebuah pos di dekat selat Bali. Meski Gezaghebber Hendrik Breton dari Surabaya terus mendesak pembangunan sebuah pos baru di Blambangan, Batavia bersikeras pada kebijakannya untuk tidak mendirikan sebuah loji baru karena Kompeni merasa mereka telah terlalu jauh meluaskan kehadirannya di Jawa. Dua Undangan Tak Diharapkan: Ajakan Kolaborasi Beberapa tahun setelah serangan terakhir ke Blambangan oleh Mataram pada tahun 1647, prajurit Bali dari Buleleng menduduki kawasan tersebut tanpa memicu pembalasan dari Mataram. Sejak pertengahan abad ke-17, nasib Blambangan ditentukan oleh iklim politik yang rentan di Bali yang dipenuhi dengan konflik dan peperangan. Kepemilikan Blambangan diperebutkan oleh tiga kekuatan utama di Bali, Buleleng Gelgel di Utara, Mengwi di selatan dan Karangasem bagian timur pulau itu. Blambangan, yang kaya kayu, sarang burung, dan 25 Kerajaan Buleleng di bawah Gusti Panji Sakti menduduki Blambangan sejak 1659. lihat Soegianto Sastrodiwiryo, I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng, 1599-1680 (Kayu Mas Agung, 1995).

12 beras dilihat sebagai sebuah akuisisi yang tak ternilai oleh kerajaan-kerajaan berpenduduk padat Bali. Pada tahun 1726, tarik menarik antara dua kerajaan Bali, Buleleng dan Mengwi, berakhir dengan kemenangan Mengwi. Konsekuensinya, Raja Buleleng, Gusti Panji, harus menyerahkan Blambangan pada Gusti Agong di Mengwi. Selama hampir satu abad pendudukan, ribuan penduduk Bali menyeberangi selat Bali dan berpindah ke Blambangan. Ini memberikan efek positif karena populasi penduduk segera meningkat dan perekonomian kembali bergairah. Pada tahun 1736, Raja Blambangan, Pangeran Adipati Danureja, meninggal. Gusti Agong dari Mengwi dengan segera mengirim empat puluh prajurit Bali di bawah komando Gusti Gedhe Lanang Denpasar untuk menginterverensi proses suksesi. Raden Mas Noyang (13 tahun), anak dari raja yang meninggal diumumkan sebagai penguasa baru dengan nama Pangeran Adipati Danuningnrat atau Pangeran Adipati Mangkuningrat (dalam sumber-sumber Belanda Pangeran Pati), sementara saudaranya, Raden Mas Sirna atau Mas Wilis, diangkat sebagai Patih dengan julukan Wong Agong Wilis. Karena sang raja baru masih sangat muda, Gusti Agong mengangkat seorang bupati pengasuh (emban) bernama Ranggasatata, seorang Bali dari Klungkung, untuk mengatur administrasi kerajaan. Kondisi politik Blambangan pada masa pemerintahan Danuningrat sangat dipengaruhi oleh para aristokrat berpengaruh, Tepasana, yang para leluhurnya berasal dari Lumajang. 26 Tepasana merasa terusik oleh kenyataan bahwa Blambangan berada di bawah kontrol Bali. Dia mendorong Danuningrat untuk berontak terhadap pengaruh Bali dalam pemerintahannya yang tumbuh semakin kuat selama beberapa tahun ini. pengaruhnya menjadi semakin nyata ketika Danuningrat memutuskan untuk memecat Wilis, yang ibunya berasal dari Bali, dari posisinya sebagai Patih. Wilis merasa sangat terhina dengan keputusan ini, namun dia tidak mengajukan keberatan sedikitpun. Dia memutuskan untuk meninggalkan Blambangan dan mendirikan sebuah pemukiman baru di Pesisir Manis, pesisir tenggara Blambangan. 27 Pada 1763, sebuah upaya yang bahkan lebih kentara untuk mengurangi pengaruh Bali dilakukan oleh Danuningrat, ketika dia membunuh Ranggasatata. Kericuhan antara Sutajiwa, anak Danuningrat, dan Ranggasatata yang terjadi ketika adu jangkrik digunakan sebagai dalih untuk pembunuhan ini. 28 Wilis menafsirkan kedua insiden tersebut sebagai upaya untuk membebaskan Blambangan dari kekuasaan Mengwi. Ia melaporkan situasi ini pada Gusti Agong Mengwi, dan Gusti Agong membuat seruan keras pada Danuningrat untuk mengekstradisi Sutajiwa dan Tepasana ke Mengwi. Setelah peringatan pertamanya diabaikan oleh Danuningrat, peringatan kedua dikirikan dengan ancaman bahwa Gusti Agong akan mengirim prajuritnya ke Blambangan untuk menangkap Sutajiwa dan Tepasana dengan paksa. Sejak kepergian Wilis, Blambangan tidak kekurangan prajurit pertahanan karena kekuatan militer Blambangan setia kepada Wilis, yang sangat populer di antara rakyat jelata, ketimbang Raja sendiri. Pengaruh Danuningrat hanya terbatas pada kalangan elit dalam lingkaran istana. Ketika pasukan Bali menginvasi istana, mereka tidak mendapatkan perlawanan berarti. Danuningrat melarikan diri dari istana bersama dengan anaknya dan beberapa pengikut setia mereka menuju Banger, di mana ia berharap dapat menemukan mediator yang dapat mempertemukannya dengan otoritas Belanda di Surabaya. Dengan bantuan Bupati Banger dan Bupati Pasuruan, Danuningrat akhirnya dapat bertemu dengan Panembahan Madura, Cakradiningrat yang 26 Nama Tepasana disebutkan dua kali dalam sumber-sumber lokal. Yang pertama adalah Bupati Jipang yang mengungsi ke Blambangan setelah kalah melawan Mataram pada awal tahun 1760-an. Hubungan Tepasana dengan Danuningrat semakin menguat setelah Danuningrat menikahi anaknya. Tepasana yang kedua adalah Mas Bagus Tepasana, anak Mas Ayu Tawi, saudari dari ayah Danuningrat, Pangeran Danureja. Ini berarti bahwa Tepasana ini adalah sepupu Danuningrat. Lihat lampiran 1, Pohon Keluarga Tawangalun. 27 Babad Tawangalun dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, bait vii, hlm., 12-18. 28 Kerusuhan ini bermula di arena adu jangkrik. Babad Tawangalun, bait viii, hlm., 14-21.

13 memperkenalkannya pada komandan Belanda di Pasuruan, Hogewitz, dan Gezaghebber dari Surabaya, Hendrik Berton. Besuki dipilih untuk pertemuan antara Gezaghebber Breton dan Danuningrat. Pada 19 Oktober 1763, Danuningrat ditemani dua menantunya dan 100 pengikutnya yang tiba di tempat tersebut namun tidak bisa bertemu Breton dengan segera, karena Breton ingin beristirahat terlebih dahulu dan mereka bertemu di hari berikutnya. Bupati Surabaya, Candranagara, Bupati Pasuruan, Nitinagara, dan Scriba Jan Lapro juga menghadiri pertemuan tersebut pada tanggal 20 Oktober. Danuningrat mengumumkan bahwa dia datang untuk tunduk pada Kompeni dan meminta bantuan untuk mengusir orang-orang Bali yang diundang oleh saudaranya (Wilis) untuk menguasai wilayahnya. Dia berjanji untuk menyerahkan Blambangan dan Lumajang, dan untuk mengirim produk-produk yang dibutuhkan Kompeni. Breton menyambut gembira tawaran Danuningrat untuk menyerahkan diri pada Kompeni, namun dia hanya bisa menerimanya jika Danuningrat menyatakannya secara tertulis. Dia memberinya beberapa arahan mengenai cara pembuatan pernyataan tersebut dan dalam kondisi seperti apa dia ingin menyerahkan diri. Dalam pernyataan tertulisnya, yang isinya terlebih dahulu ia diskusikan dengan Panembahan Madura, Danuningrat berjanji untuk mengirim 600 koyan beras, 10 pikul lilin, dan 4 pikul sarang burung. Dalam keadaan damai, jumlah itu akan ditingkatkan. Dia juga meminta Kompeni untuk mendirikan sebuah benteng militer di Blambangan guna mencegah invasi Bali di masa depan. Dia bahkan menjanjikan untuk menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan sekaligus pekerjanya untuk membangun benteng tersebut. Seluruh janji ini ditulis dan ditandatangani secara pribadi oleh Danuningrat. 29 Breton menganggap tawaran ini sebagai kesempatan baik bagi VOC untuk akhirnya menegaskan kedaulatannya atas seluruh Jawa dan, di saat yang sama, meningkatkan keuntungan dari wilayah yang sejauh ini terabaikan. Pada tanggal 30 Oktober 1763, ia mengirimkan proposal ke Batavia dan mendorong VOC untuk menegaskan kehadirannya dan mengibarkan benderanya di Blambangan. Pada kata pengantar proposal tersebut, Breton menyatakan bahwa jika VOC tidak mengamankan Blambangan dengan segera, maka orangorang Bali akan memperkokoh kedudukan mereka di sana. Breton sangat memperhatikan bahwa banyak penduduk lokal yang akan musnah dalam perang berkepanjangan. 30 Untuk menghindari situasi yang memilukan tersebut, VOC harus mengirim pasukan dan mendirikan sebuah perusahaan dagang di Blambangan, yang juga akan dapat menghentikan penyelundupan, kehadiran Inggris, dan mengalirnya barang-barang asing yang dibawa ke Blambangan oleh para smokkelaars (penyelundup) dari Bali. Penguasa Palembang, yang memiliki hubungan dagang dengan Blambangan, harus menandatangani sebuah kontrak dengan Gubernur VOC di Semarang jika dia ingin dianggap bukan penyelundup dan dilarang berlayar ke Selat Bali. Blambangan adalah sebuah pasar potensial bagi opium, karena banyak penduduknya adalah para pecandu opium. Oleh karena itu, Kompeni menyalurkan opium ke sana untuk mencegah distribusi opium asing yang dilakukan oleh para pedagang Bali dan Inggris. Di Blambangan, sebuah sistem irigasi yang memanfaatkan banyak sungai dapat meningkatkan hasil pertanian padi, dan dapat memberikan cadangan suplai bagi Batavia pada musim kemarau. Akhirnya, pendudukan Blambangan akan menjadikan Belanda mampu membasmi para pemberontak yang bersembunyi di Malang dan Lumajang. 31 Respons negatif dari Batavia dan Semarang membuat Breton dan Danuningrat kaget luar biasa. Direktur pesisir Timur Laut Jawa, Willem Hendrik Ossenberch, menolak proposal 29 NA, Koleksi Engelhard 19a, Proposal tentang Blambangan oleh Hendrik Breton, Surabaya 30 Oktober 1763, hlm., 152. 30 Ibid. hlm., 152 31 Malang dan Lumajang adalah tempat tinggal Pangeran Singasari dan Raden Mas yang berkolaborasi dengan keturunan pemberontak terkemuka, Surapati. Mereka sangat menentang Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Mataram menjadi dua bagian.

14 Brenton dan menyarankan agar Danuningrat dibiarkan menghadapi nasibnya sendiri. Sang Gubernur menulis: Sejak awal saya akui bahwa usulan ini tidak bisa saya setujui, terutama karena Pangeran Adipati (Danuningrat) berjanji bahwa seandainya ia bisa mendapatkan kembali tanahnya dengan bantuan (Kompeni), sebuah kontrak dengan Kompeni akan dibuat, yang secara keseluruhan terlihat menjanjikan. Akan tetapi, Dewan Yang Mulia benar dalam opini mereka, bahwa kekuasaan Kompeni telah cukup luas, dan pemukiman baru tidak memiliki kaitan dengan kepentingan Kompeni Yang Terhormat. Oleh karena itu, kami menolak permintaan ini, dan kami membiarkan Pangeran Adipati untuk menempuh takdirnya sendiri. 32 Gagal mendapatkan bantuan dari Belanda, Danuningrat mencari alternatif perlindungan dari Bupati Lumajang, Kartanagara, cucu dari pemberontak terkenal Surapati. Namun untuk yang kedua kalinya upaya Danuningrat gagal. Argumennya gagal meyakinkan sang Bupati, dan dia terpaksa meninggalkan Lumajang dengan tangan kosong. Hasilnya adalah Danuningrat dan Wilis keduanya dikurung di Mengwi oleh Gusti Agong yang kemudian mengontrol Blambangan. 33 Jelas bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan opini antara otoritas di Batavia dan Surabaya mengenai proposal Breton. Ossensberch di Semarang lebih memahami situasi riil di Ujung Timur Jawa, namun bodohnya dia tidak mengambil tindakan vital untuk meyakinkan otoritas Batavia akan arti penting proposal tersebut. Tidak lama setelah itu Breton dipindah ke Ambon. Alasan lain di balik penolakan tersebut adalah Pemerintahan Tinggi di Batavia merasa bahwa, secara formal, Danuningrat tidak memiliki hak untuk menyerahkan tanahnya pada Kompeni, karena di bawah perjanjian tahun 1743, Blambangan telah diserahkan kepada VOC. Dengan kata lain, Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia berpikir secara legalistik dan mengabaikan situasi aktual yang terjadi di kawasan tersebut. Otoritas Belanda kembali memberikan reaksi dengan cara yang berbeda pada sebuah undangan tidak diinginkan dari Raja Tawangalun Blambangan tahun 1692. Pada saat itu, Tawangalun menawarkan aliansi militer pada Pemerintah Tinggi di Batavia untuk bekerja menghancurkan Surapati dan para pengikutnya, yang telah menjarah properti rakyat Blambangan dan menghancurkan wilayahnya. Sang Raja berjanji untuk mengabdikan dirinya dan membantu VOC dalam membangun sebuah perusahaan dagang di Blambangan. Batavia segera merespons undangan tersebut dengan mengirim dua utusan, Jan Francen dan Jan Bervelt, namun aliansi ini batal menyusul terjadinya Perang Suksesi di Blambangan. Dalam hal ini Batavia tampak bereaksi dengan cepat karena mereka berharap dapat membentuk sebuah kesepakatan formal dengan Blambangan. 34 Pada awal tahun 1767, Batavia mengubah jantung kebijakannya pada Ujung Timur Jawa, dan menyiapkan sebuah ekspedisi militer guna merespons laporan-laporan yang menyebutkan terjadinya perkembangan politik yang menganggu di Ujung Timur Jawa, terutama di Blambangan, setelah pendudukan Bali tahun 1764. Belanda mengungkap sebuah plot yang merancang aliansi politik dan ekonomi di antara para penguasa Bali, baik di Bali 32 Memorie opgesteld door den Raad Extraordinaris van Nederlansch-Indie en afgaand Directeur van Java s Noord-Ooskust, Willem Hendrik Ossenberch, om te strekken tot narigt van zijnen successeur, den Heer Johannes Vos, aankomend Gouverneur en Directeur van Java s Noord-Oostkust, in De Jonge, De Opkomst, vol. xi, hlm., 24; Babad Wilis menceritakan bahwa Breton sangat marah dengan penolakan ini dan bahkan Hogewits yang ditahan karena menyampaikan berita buruk ini, sangat mengutuknya. Winarsih Arifin, Babad Wilis, hlm., xxxv. 33 Menurut Babad Tawangalun, Wilis secara sukarela pergi ke Bali dengan saudaranya Pangeran Adipati Danuningrat. Babad Tawangalun, dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, bait viii, hlm., 27-35. 34 ANRI, Arsip Daerah Residensi Banyuwangi 5, laporan ditulis oleh J. Bervelt dan J. Francen pada Susuhunan Blambangan tahun 1691-1692.

15 maupun Blambangan beserta para pedagang Inggris. Ini menghadirkan ancaman bagi posisi VOC di Jawa, terutama di Ujung Timur Jawa. Motif-motif Invasi Setelah kematian Danuningrat, Blambangan otomatis didominasi penuh oleh Mengwi. Ciri paling tampak dari hal ini adalah Raja Mengwi, Gusti Agong, mengangkat dua orang Bali, Kotabeda dan Gusti Ngurah Ketut Kabakaba, untuk mengatur Blambangan. Pada masa pemerintahan mereka, dua orang pejabat Bali ini berusaha menarik lebih banyak pedagang, baik lokal maupun asing, terutama para pedagang Inggris, untuk mengunjungi Blambangan. Secara krusial, hal ini bertepatan dengan rencana Kompeni dagang Inggris, English East India Company (EIC), untuk meluaskan kekuasaannya hingga ke belahan timur Kepulauan Indonesia, khususnya pelabuhan-pelabuhan yang ada di dalam dan di sekitar Selat Bali. Alasan atas kehadiran baru di kawasan ini berkaitan erat dengan meningkatnya aktivitas-aktivitas dagang Inggris di Canton. EIC kesulitan membayar biaya peningkatan ekspor sutra dan teh dari Canton, dan berusaha membatasi pengiriman perak ke Cina dengan menggunakan produk-produk Asia Tenggara sebagai sebuah alternatif pembayaran. Inggris juga berharap dapat menarik barang Cina ke entrepot yang ada di luar monopoli Co Hong dari Canton, di mana perjanjian dagangnya akan lebih menyenangkan dibanding di Cina sendiri. Pendirian permukiman baru Inggris di mana pun di Kepulauan Indonesia dirasa akan dapat menjadi solusi yang baik bagi persoalan-persoalan ini. Skema ini melibatkan baik EIC dan para country traders (para saudargar Inggris di luar EIC) Inggris. Pada tahun 1765, Konsul EIC merekomendasikan beberapa pelabuhan yang mungkin cukup tepat untuk menjalankan informasi ini. Di antara pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Pasir di Kalimantan Timur, pulau Sumbawa, dan Bali, serta pelabuhan-pelabuhan lain di sebelah timur. Pada bulan Agustus 1766, tiga kapal besar Inggris diikuti lima belas chialoup, dua puluh lima pencalang, dan seratus kapal yang lebih kecil, membawa para pelaut Bugis dan Madura tiba di Blambangan, di bawah komando Edward Coles. 35 Mereka mendekati salah seorang pedagang Cina lokal bernama Encik Lok, dan memberinya dua buah kain hijau (laken) dan dua gulung armasijn disertai permintaan agar dia bersedia membantu mereka mengirimkan permohonan pada Gusti Agong dari Mengwi untuk membeli beras. Melalui Encik Lok, para pedagang Inggris berhasil menukar satu paket opium, 21 senjata api, dan 2 ton bubuk mesiu dengan 10 koyan beras. 36 Inggris juga membawa senjata api dan menjual delapan di antara senjata tersebut, membeli beras, kerbau, dan sapi dari gubernur Blambangan, Kotabeda. Sementara itu, dari Gusti Gurah Ketut Kabakaba, Gusti Kotabeda, dan Gusti Pasekan mereka membeli sepuluh kerbau, beberapa kati beras, dan sejumlah besar kayu berbagai ukuran. 37 Adalah hal yang lumrah jika para penguasa Bali mencoba memperoleh keuntungan dari kedatangan Inggris untuk kepentingan politik mereka yang lebih jauh. Ketika pedagang Inggris mendarat di Buleleng, dua faksi yang berseberangan mendekati mereka dan menawarkan kerja sama. Tawaran pertama datang dari Raja Karangasem yang meminta dukungan Inggris atas invasi ke Blambangan yang tertunda. Inggris menunggu saat yang tepat sembari meyakinkan bahwa invasi tersebut harus ditunda hingga bulan Desember, dan mengisyaratkan bahwa keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari sebuah pemukiman Inggris akan melampaui barang rampasan yang bisa didapatkan dari perang di Blambangan. Undangan kedua datang dari seorang Cina, Kay Ban, yang mengklaim telah berbicara dengan Gusti Agong Mengwi, di mana Gusti Agong memberi isyarat akan keinginannya untuk melihat pedagang Inggris membuka loji di Blambangan. Tawaran ini menggugah keinginan Inggris untuk 35 VOC 3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-7. 36 VOC 3186, laporan Encik Mida, 4 September 1766, folio 699-704. 37 VOC 3186, laporan Mantri Banger, Sastrayuda, 15 Agustus 1766, folio 677-679.

16 mengeksplorasi Blambangan. Oleh karena itu, mereka berlayar ke timur menuju Pantai Pangpang di sebelah timur pesisir Blambangan. Kunjungan ini tampaknya meninggalkan kesan baik pada kapten Inggris. Dia menunda pelayarannya ke Sumbawa dan secara tiba-tiba kembali ke Bengkulu untuk mendiskusikan hasil dari perjalanan tersebut. Sebelum keberangkatan mereka, Inggris mengirim Kay Ban ke Mengwi untuk memperoleh konfirmasi dari tawaran Gusti Agung. Kay Ban diberi beberapa pakaian untuk dijual dan sebuah perahu agar setelah itu dia dapat berlayar ke Bengkulu sembari membawa laporan. 38 Inggris mengharapkan kehadiran mereka di Pantai Pangpang akan menstimulasi orangorang Cina lokal untuk memulai lagi produksi arak dan gula, dan mengundang imigran Cina lainnya untuk datang dan membantu mereka. Barang bekas yang dibawa imigran dari Cina akan menjadi sebuah dorongan bagi perdagangan lokal, dan memberikan barang-barang Cina dengan perjanjian yang lebih baik ketimbang di Kanton. EIC mengharapkan keuntungan dari penjualan besi, baja, tembaga, sendawa, dan opium, ekspor kayu cendana, dan tugas-tugas pabrik arak dan gula. Akhirnya, pemukiman Inggris di Pantai Pampang akan membuat Perusahaan Inggris bisa merusak monopoli Belanda atas rempah. Tidak lama setelah keberangkatan ekspedisi pertama Inggris, dua orang pedagang Inggris mengunjungi Blambangan. Mereka juga terlibat dalam konflik lokal, namun cenderung untuk memberikan bantuan pada rencana Karangasem untuk menduduki Blambangan dengan kekuatan setelah Gusti Agong Mengwi menolak permintaan mereka untuk mengangkat kembali Danuningrat dan Wilis di Blambangan. 39 Segera, sebuah rencana dan persiapan untuk melakukan serangan pada Blambangan disusun. Jika serangan ini berhasil, Inggris berencana untuk membangun sebuah loji di Blambangan. Seorang mata-mata dikirim ke Blambangan beserta dua kapal Inggris, tiga belas meriam, dan sejumlah paduwakan disiapkan lengkap dengan prajurit dari Karangasem, Tabanan, Badung, Sumenep, dan Madura yang terlibat dalam serangan ini. Seorang mata-mata juga dikirim ke Blambangan. 40 Menurut rumor, Inggris juga berupaya mendapatkan dukungan militer dari Sumbawa. 41 Yang jelas, Inggris mendiskusikan rencana ini dengan seorang Bali asal Buleleng, bernama Endo Bandayuda. 42 Seorang Bugis, bernama Daeng Calak (atau Daeng Mancalak), juga terlibat dalam negosiasi dengan para pedagang Mandar dan Cina yang bertempat tinggal di sepanjang sungai Pangpang agar mereka mau memberi dukungan atas rencana ini. Inggris memberikan 1.000 Rds kepada seorang pedagang Cina untuk membangun penggilingan gula dan pabrik gula di tempat itu. 43 Blambangan membangun sedikit benteng di sepanjang pesisir, dari mulut sungai Pampang di utara hingga mulut sungai Pakem di selatan, guna menanggulangi invasi dari Karangasem. 44 Sejak awal, Belanda meyakini bahwa kehadiran Inggris di Blambangan tidak hanya untuk membeli beras dan kayu. Gubernur Semarang, Johannes Vos, serta Gezaghebber 38 D. K. Basset, Britsh Trade, hlm., 215. 39 Pada 1766, Inggris mempersembahkan beberapa hadiah; 1 bokor emas, 1 lalantjang atau tempat sirih dan sedikit paket opium, pada Gusti Agong Mengwi disertai dengan permintaan untuk membebaskan kedua bangsawan Blambangan. Namun Gusti Agong menolak dan mengatakan bahwa Pangeran Adipati Danuningrat dan Pangeran Wilis adalah urusannya sendiri. VOC 3186, Laporan Salammudin, 17 Juli 1766, folio 693-698; pada saat itu Inggris juga meminta otorisasi untuk menyerang Madura, namun Gusti Agong Mengwi juga menolaknya karena itu akan mengundang interferensi Belanda, karena Madura juga loyal terhadap VOC. VOC 3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-677. 40 VOC 3186, Laporan Bagus Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 462. 41 VOC 3186, Laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-677. 42 VOC 3186, Ngabehi Surapernala Besuki pada komandan Pasuruan, Casper Lodewijk Tropponegro, 11 Augustus 1766, folio 707. Lihat juga VOC 3186, Ngabehi Surapernala pada komandan Pasuruan Casper Lodewijk Tropponegro, folio 708. 43 VOC 3186, laporan Bagus Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 462; VOC 3186, Ngabehi Surapernala Besuki pada komandan Pasuruan, Casper Lodewijk Tropponegro, 4 September 1766, folio 705. 44 VOC 3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-7; VOC 3186, laporan Mantri Banger, Sastrayuda, 15 Agustus 1766, folio 677-9.

17 Surabaya, Coop a Groen, bereaksi dengan cepat atas peningkatan perdagangan ini dengan mengirim mata-mata ke Blambangan dan Bali untuk menginvestigasi pergerakan pedagang Inggris dan mengumpulkan informasi tentang kemungkinan partisipasi kelompok lokal di sana. Seluruh mata-mata ini kembali dengan laporan bahwa kedatangan Inggris tidak hanya bertujuan untuk mendistribusikan opium dan kapas, namun mereka juga mencoba untuk memperoleh pijakan di sana. Akan tetapi, Belanda masih membutuhkan lebih banyak informasi tentang partisipasi penduduk lokal. Pada bulan Agustus 1766, Gubernur Vos mengirim Encik Mida (Bagus Mida) ke Blambangan dan Bali untuk mengumpulkan lebih banyak informasi tentang respons Blambangan dan Bali pada krisis politik di Blambangan dan kedatangan Inggris di sana. Di Blambangan, Kotabeda enggan memberikan pendapatnya mengenai persoalan ini, meski Encik Mida menyampaikan bahwa Gezaghebber menjanjikan akan memberi 1.000 Rds untuk melawan Inggris. 45 Bali merespons dengan cara yang sama. Gusti Agong Mengwi menyambut para utusan Belanda dengan pertanyaan: mengapa Belanda sangat menentang kedatangan para pedagang Inggris di wilayahnya? Ia mencoba meyakinkan utusan Belanda bahwa Inggris tidak memiliki tujuan lain selain menjual opium, senjata api, dan tekstil, namun ketika Encik Mida menjelaskan bahwa Belanda menentang kedatangan para pedagang Inggris karena mereka menjual opium dengan harga yang murah, utusan Belanda kehilangan kata-kata. 46 Perdagangan Bebas di Selat Bali dan Sekitarnya Salah satu efek signifikan yang disebabkan oleh kehadiran Inggris di wilayah ini adalah meningkatnya eskalasi perdagangan bebas atau seperti yang kerap disebut Belanda, smokkelhandel atau pedagang penyelundup. Para pedagang pribumi dari wilayah sekitar tertarik pada opium dan kapas yang dijual Inggris dengan harga yang lebih murah, sementara mereka menawarkan garam, beras, dan bahan makanan lain sebagai bentuk pertukaran. Sebenarnya, opium dan tekstil juga dijual oleh Belanda, namun para pedagang lokal lebih memilih membeli kedua barang ini dari para pedagang Inggris yang menawarkan harga yang lebih masuk akal. Di antara para pedagang ini adalah, para pedagang dari Bugis dan Mandar yang telah mengenal baik para pedagang Inggris dan dagangannya, karena banyak di antara pedagang Bugis yang sering berlayar ke Bengkulu di Sumatra Barat. Kedatangan Inggris di perairan laut Jawa jelas-jelas memperpendek perjalanan mereka, sehingga mereka dapat dengan mudah mengangkut opium dengan risiko yang lebih sedikit. Para pedagang pribumi ini lazimnya berlayar tanpa izin masuk seperti yang ditetapkan oleh otoritas Belanda, karena mereka keberatan untuk membelinya dari para syahbandar atau bandar lokal yang ditunjuk oleh Belanda. Dalam memandang hal ini, Belanda mengategorisasikan mereka sebagai smokkelaars (penyelundup). Untuk menghindari patroli Belanda, para pedagang ini menggunakan strategi yang berisiko, seperti berlayar ke selatan Jawa menuju Bengkulu dengan menggunakan perahu kecil. Strategi yang lain adalah menyamar sebagai penumpang dan menggunakan kapal milik pedagang lain yang memiliki izin untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Dalam beberapa kasus mereka membayar para pemilik kapal, namun dalam kasus yang lain mereka tidak segan-segan menggunakan kekuatan untuk memaksa para pemilik kapal. Petualangan Encik Saleh memberi sedikit gambaran mengenai praktek penyelundupan di kawasan ini. Pada permulaan tahun 1766, Encik Saleh, seorang pedagang Mandar yang licin yang tinggal di Batavia selama dua tahun, memutuskan untuk pergi ke Sumenep. Kabar tentang meningkatnya permintaan garam, beras, dan bahan-bahan makanan 45 VOC 3186, Kotabeda Blambangan pada Ngabehi Surapernala Besuki, 23 Agustus 1766, folio 677. 46 VOC 3186, laporan oleh Encik Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 462.

18 lainnya dari para pedagang lokal dan asing di Jawa Timur dan Madura mendorongnya untuk memulai sebuah bisnis baru di tempat itu. Calon perusahaannya mendapatkan awal yang baik. Encik Saleh memperoleh lisensi dari Belanda di Sumenep untuk menjual beberapa bahan makanan di Blambangan. Pada bulan Maret 1766, ia berlayar ke Pantai Pampang dengan enam awak Bugis dan Mandar. Ia mengisi perahu gonting-nya dengan satu koyan garam dan sejumlah besar kelapa untuk ditukar dengan beras di Blambangan. Encik Saleh mendeskripsikan Pantai Pampang sebagai salah satu pelabuhan paling sibuk di Selat Bali dan sekitarnya. Banyak pedagang dari berbagai etnis seperti Bugis, Mandar, Cina, Melayu, dan Jawa secara reguler berkumpul di sini. Ketika ia memasuki pelabuhan Pampang, ia menyaksikan dua kapal Belanda yang tengah menurunkan opium dan kapas. Pada kesempatan itu, Inggris membeli kayu, beras, dan garam. Ketika ia hendak bersiap kembali ke Madura, empat pedagang Melayu memintanya untuk membawa mereka ke Buleleng. Di tengah jalan menuju Bali, ia bertemu dengan sebuah kapal Belanda yang tengah berpatroli di selat tersebut. Setelah kapal Encik Saleh diangkuti, barulah terungkap bahwa empat pedagang Melayu tadi ternyata membawa 20 kati opium ilegal yang mereka beli dari Inggris. 47 Para pedagang Melayu tersebut ditahan dan dikirim ke Surabaya, namun dapat melarikan diri. Ketika kapten patroli Belanda mendapati hal ini, ia meminta Encik Saleh untuk mengantarkannya ke Buleleng tempat di mana kemungkinan para tersangka ini menyembunyikan diri, namun Encik Saleh menolak untuk melakukannya dengan alasan bahwa ia tidak lagi berani untuk berlayar ke pelabuhan itu. 48 Perdagangan opium di sekitar Selat Bali juga melibatkan para anggota elite pedagang Jawa dan Cina. Pada Januari 1767, tiga bupati dari pesisir timur laut Jawa, Raden Tumenggung Suradiningrat dari Sedayu, Raden Tumenggung Tirtadirja, dan Raden Tumenggung Astanagara dari Gresik dipanggil landraad di Semarang. Para bupati ini dituduh turut serta dalam perdagangan opium di Pasir (Kalimantan Timur). Ketiga bupati tersebut dengan sengit menolak tuduhan tersebut. Mereka berdalih bahwa para penyelundup memaksa pedagang mereka untuk mengirim opium dari Jawa ke Pasir. 49 Sementara itu, tuduhan yang sama juga diberikan pada Bupati Juwana, Ngabehi Sebajaya. Dua pedagangnya, Tosaya dan Bapak Sabra, bekerja sama dengan dua penumpang, seorang Makasar, Si Munen, dan seorang Melayu, Encik Manan, yang ditangkap ketika bandar China Pagirikan menemukan satu paket opium Inggris dalam kapal mereka, yang coba mereka selundupkan ke Jawa dari Buleleng. Sang Bandar juga menemukan bahwa para juragan Jawa ini berlayar tanpa izin. Ketiga bupati tersebut didenda 100 hingga 300 Rds. 50 Perdagangan opium ini juga melibatkan sejumlah atau para pedagang Cina, termasuk Kapten Cina Surabaya, Han Bwee Kong (Han Boeijko dalam arsip Belanda). Kan Ga Sing, seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang pedagang Han Bwee Kong, menjual kapalnya pada para pedagang Inggris di Pasir (Kalimantan Timur), dan pulang ke Jawa dengan membawa satu setengah peti opium Inggris. 51 Penyelidikan lebih detil mengungkap, jika orang ini adalah seorang buronan dari Batavia. Sementara itu, Raad van Justitie di Semarang juga menginvestigasi penemuan 200 pound opium di salah satu gonting milik pedangan Cina, Thee 47 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio 643. 48 VOC 3215, salinan laporan oleh pedagang Mandar, Encik Saleh, 14 Oktober 1766, folio 257-259. 49 VOC 3215, notulensi pertemuan Landraad di Semarang, 13 Januari 1767, folio 253-256. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Johannes Vos, konselor luar biasa Hindia, Gubernur dan Direktur Pesisir Timur Laut Jawa, Adipati Sura Adimanggala Bupati Semarang, Raden Adipati Jayaningrat Bupati Pekalongan, Raden Tumenggung Sumadiwirya Bupati Kaliwungu, Tumenggung Sumanagara Bupati Kendal, TumenggungWiranagara dan Suradirja Bupati Demak, dan Tumenggung Citrasoma Bupati Jepara. 50 VOC 3215, salinan kutipan catatan Rade van Justitie Semarang, Selasa, 28 Oktober 1766, folio 249-253. Laporan ditulis oleh Jacob Spiegel pada Hermanus Munnik. 51 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio 655-6.

19 Kong. Opium tersebut, bersama dengan dua meriam dan beberapa blunderbusses (senapan), berasal dari Gusti Kotabeda Blambangan, dan hendak dikirim ke Gusti Tamboa di Buleleng. Pedagang Cina lain yang bekerja untuk Gusti Kotabeda ditangkap ketika dia mengangkut opium dari Batavia. 52 Dua kapal Belanda yang beroperasi di Selat Bali juga berhasil menangkap sejumlah besar opium Inggris. 53 Kapten Dekker, kapten kapal tersebut, melaporkan bahwa tidak ada satu pun kapal Inggris yang ditemukan di Besuki, namun dia menemukan bukti bahwa opium didistribusikan di tempat tersebut. Di Panarukan, ia menangkap satu gonting milik seorang pedagang Cina dari Blambangan. Kapal kecil tersebut dimuati dengan opium ilegal dan beberapa barang lain, seperti strooisuiker. Di Selat Bali, Dekker juga menangkap beberapa pedagang Melayu dari Buleleng dengan dua puluh kati opium dan sebuah surat yang mengindikasikan bahwa opium tersebut dipesan oleh Cina bandar Surabaya. Kemudian, lima belas kati opium Inggris juga ditemukan di salah satu kapal milik seorang pedagang Jawa dari Bali. Di kapal yang sama, Kapten Dekker juga menemukan satu setengah peti opium yang dibeli dari Belanda. Hasil penyelidikan menemukan bahwa opium legal tersebut digunakan sebagai samaran bagi opium ilegal. 54 Kolaborasi dan Bantuan Lokal Keputusan untuk mengirim sebuah ekspedisi militer ke Blambangan dibuat oleh Hoge Regering pada bulan Juni 1766. Setelah menerima laporan tambahan dari Surabaya dan Semarang, Batavia memutuskan untuk memperluas skup proyek. Tujuan dari ekspedisi kali ini bukan hanya untuk menghalangi upaya Inggris untuk mendirikan perusahaan dagang di Blambangan, namun juga untuk mengeliminasi para pemberontak yang melarikan diri, Pangeran Prabujaka atau Singasari dan anaknya Raden Mas, yang dilaporkan memiliki tempat pelarian baru di Malang. Prabujaka adalah saudara kandung Sultan Mangkubumi, sultan Yogyakarta pertama. Ketika Mangkubumi menandatangani sebuah perjanjian dengan Kompeni dan Pakubuwana III untuk mengakhiri perang, Prabujaka pergi dari Jawa Tengah dan memutuskan diri untuk melanjutkan perlawanannya. Laporan terakhir tentang keberadaannya menyebutkan jika dia bergabung dengan para keturunan Surapati di Malang dan Lumajang. Alasan lain mengapa ekspedisi militer diperluas ke Malang dan Lumajang adalah karena Bupati Malang, Malayakusuma, menolak untuk membebaskan beberapa prajurit Eropa yang ditangkap olehnya di Malang sejak tahun 1757. 55 Ini membuat persiapan ekspedisi di Surabaya dan Semarang lebih lama dari yang diperkirakan. 52 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral van der Parra di Batavia, 12 November 1766, folio 439-444. 53 VOC 3186, salinan atas salinan instruksi Opperstuurman Jan Smit yang berlayar dari Sumenep ke Bali, folio 683-686. 54 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio 649-51. 55 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral Petrus Albertus van der Parra, 15 Maret 1767, folio 39-72.

20 Pembicaraan pengiriman ekspedisi ke Ujung Timur Jawa oleh Penguasa VOC di Batavia Secara keseluruhan dibutuhkan waktu selama enam bulan sebelum pasukan siap untuk diberangkatkan. Realisasi proyek ini dibayangi oleh kesulitan finansial dan terbatasnya jumlah kapal besar untuk mendukung ekspedisi masif semacam itu. Untuk menghemat waktu, Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa, Johannes Vos, melakukan kunjungan pribadi ke Ujung Timur Jawa. Vos mendapati bahwa akan sangat berisiko untuk mengirim ekspedisi di waktu musim hujan. Satu-satunya kapal besar yang ada di Semarang kapal De Draak yang sangat lamban. Sementara jika digunakan kapal-kapal kecil, itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Gubernur sendiri yang harus menggunakan jalan darat untuk berkunjung ke Surabaya menemui kesulitan di jalan karena hujan yang tiada hentinya menyebabkan kondisi jalan sangat buruk. 56 Masalah lain yang tidak kalah pelik dalam mengatur proyek ini adalah kurangnya awak prajurit. Sebagian besar prajurit Eropa yang diturunkan dalam ekspedisi ini diambil dari benteng Surakarta digabung dengan Semarang dan Surabaya berisi kurang dari 200 orang. Satu-satunya solusi yang mungkin untuk menjalankan rencana ini adalah mengaktifkan kembali kolaborasi dengan sekutu-sekutu utama Kompeni di Jawa, yaitu Mataram (Sultan Mangkubumi), Pasuruan, Banger, Surabaya, dan Madura. Kompeni memiliki alasan kuat untuk melibatkan Sultan Mangkubumi dalam ekspedisi ini, memaksanya bertanggung jawab untuk membujuk saudara kandungnya Pangeran Prabujaka, untuk menghentikan perlawanannya. Ini merupakan salah satu perjanjian tak tertulis antara dia dan Kompeni ketika perjanjian Giyanti tahun 1757 ditandatangani. Sultan mengambil beberapa langkah untuk menjalankan rencana ini dengan menunjuk Rangga dari Jipang untuk membuat persiapan guna memenuhi tugas tersebut. Beberapa dari prajuritnya ditempatkan di sekitar Malang. Meski Sultan memilih untuk menggunakan dalam menghentikan pemberontakan Prabujaka, namun Batavia berhasil meyakinkannya bahwa upaya semacam itu tidak akan lagi bisa diterapkan. 57 Di antara para sekutunya yang lain, Panembahan dari Madura adalah sekutu yang paling penting. Pada masa lalu ia telah menunjukkan dirinya sangat setia kepada Kompeni. Ia membantu mengakhiri pemberontakan ayahnya sendiri Cakraningrat IV, dan bersiap untuk memberikan hukuman buangan padanya dan pada saudaranya ke Ceylon. Panembahan 56 Ibid. folio 40-1. 57 VOC 3186, Batavia pada Direktur VOC, 12 Maret dan 16 Juni 1766.

21 menjanjikan kekuatan sejumlah 2.000 orang Madura di bawah komando anaknya Brajamanggala. Dari sekutu-sekutu lainnya, terutama Surabaya, Kompeni memperoleh prajurit dengan jumlah sedikit lebih banyak. Hasilnya, kekuatan ekspedisi ini sebagian besar terdiri atas para prajurit pribumi. Setelah lolos dari seluruh kesulitan ini dan mengerahkan tenaga yang sangat besar, akhirnya ekspedisi tersebut pun diberangkatkan pada Februari 1767. Beberapa kapal Belanda di antaranya dalah Geertruijde Susanna, De Meeuw, Vosmaar, De Buijs, De Vrijheijt, De Dankbaarheijd, De Draak dan banyak kapal lain yang lebih kecil digunakan dalam ekspedisi ini. Pada tanggal 16 Februari, dua kapal, De Draak dan De Geertruijde Sussanna diberangkatkan dari Semarang. Kedua kapal ini mengangkut dua peleton infanteri Eropa yang masing-masing terdiri atas empat belas prajurit di bawah Cornet Rijgers dan Vaandrig Walter. Hari berikutnya, 17 Februari, rombongan lain berkekuatan 104 prajurit Eropa, berangkat dari Semarang di bawah komando Kapten Blanke dan Vaandrig Wipperman dan Biesheuvel. Mereka hendak bergabung dengan Kapten Casper Lodewijk Tropponegro dan tiga puluh milisi dari Besuki, di Panarukan. Pada tanggal 20 Februari, pasukan Madura diberangkatkan dari Kwanyer untuk mendukung kapal De Draak di bawah komando Opperstuurman Simon Feijke. 58 Ilustrasi kapal-kapal VOC dan Pribumi dalam ekspedisi ke Ujung Tmur Jawa. dalam naskah Babad Balambangan yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta (KBG 63) 58 VOC 3215, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 15 March 1767, folio 39-72.

22 Pada tanggal 21 Februari, Kapten Tropponegro dan pasukan Madura mendarat di Panarukan. Prioritas pertama mereka adalah memilih sebuah tempat yang pas untuk membangun sebuah kamp militer, dan tempat pendaratan bagi kapal Kompeni yang akan mengangkut Gubernur Vos ke Panarukan. Sebuah desa kecil di sebelah barat Sungai Pulosari dipilih sebagai kamp sementara pasukan Belanda. Ketika mereka menaikkan bendera Belanda di pantai, para penduduk lokal menunjukkan sedikit perlawanan, namun ini dapat dihalau dengan mudah. Dalam serangan tersebut, prajurit Madura memainkan peran penting. Demang Pulosari dan orang-orangnya menyerah pada Kompeni, namun pemimpin kedua, yang merupakan peranakan Makasar berhasil melarikan diri. Sementara itu, sebagian besar wanita dan anakanak mengungsi dari desa mereka dan mengurung diri mereka di hutan, ketakutan akan keganasan dan kekejaman prajurit Madura. 59 kolaborasi dengan para penguasa lokal terutama Bupati pesisir Utara, Probolinggo dan Madura menjadi kunci kekuatan VOC dalam invasinya ke Ujung Timur Jawa KBG 63 Unit lain dari tiga puluh prajurit pribumi dari Pasuruan juga mendarat di Besuki. Mereka bergerak melalui darat dan menduduki dalem Ngabehi Besuki di desa Sela Katupan. Jalan utama yang menghubungkan Blambangan dan Malang terletak di dekat dalm tersebut. Di tempat ini didirikan sebuah pos pengawas untuk menangkap para buronan yang mencoba melarikan diri ke Malang dari Blambangan. Orang-orang Sentong dan Bondowoso juga memberikan perlawanan, namun mereka dapat dipadamkan dengan mudah. Desa Sentong, yang terletak di perbatasan antara Panarukan dan Besuki, dianggap sebagai sebuah lokasi strategis untuk mencegah para buronan melarikan diri, baik dari Blambangan maupun Lumajang. Di tempat ini didirikan juga sebuah pos militer yang dijaga oleh tiga puluh hingga lima puluh prajurit. 60 Di Blambangan, pasukan Belanda dan Madura di bawah komando Kapten Blanke menghadapi situasi yang sangat berbeda dengan saat mereka tiba pada tanggal 15 Maret. Tidak ada perlawanan dari rakyat Blambangan atau Bali ketika mereka mendarat di Banyualit. Sebelumnya, dilaporkan bahwa Gusti Ngurah Ketut Kabakaba memperkuat posisinya dengan 59 Ibid. folio 39-72. 60 Ibid., folio 39-72.

23 mengumpulkan lebih banyak pejuang untuk mempertahankan posisinya di Kota, namun tidak ada satu pun dari para pejuang ini yang muncul. Ketika Belanda memasuki kota, mereka mendapati pemandangan pembantaian besar-besar. Kepala dan jasad manusia tersebar di manamana, sebagian besar dari mereka adalah orang Bali. Tampaknya, telah terjadi pertempuran besar beberapa saat sebelumnya. Pasukan Koalisi antara Kompeni dan Pasukan Lokal bergerak ke Ujung Timur Jawa KBG 63 Akhirnya, mereka mendapatkan jawaban mengenai apa yang terjadi di ibu kota ketika mereka menemui dua bangsawan Blambangan, Mas Anom dan Mas Uno, yang kemudian bersekutu dengan Kompeni. Mereka memiliki 300 prajurit untuk membantu Kompeni bertempur melawan orang Bali. Mereka juga meminta agar diizinkan untuk menduduki Kota, ibu kota Blambangan, dan menggunakannya sebagai sebuah basis militer. Kapten Blanke tidak sepenuhnya mempercayai mereka, namun ia mengizinkan kedua pangeran itu bergabung dengannya masuk ke Kota. Di tengah jalan ke Blambangan, mereka menerima pesan bahwa Kotabeda, salah satu penguasa Bali di Blambangan, telah dibunuh oleh rakyat Blambangan. Blanke terus bergerak memasuki Kota, dan di sini dia menemukan sejumlah rakyat Blambangan yang menyerahkan seluruh senjata mereka dan memberinya persembahan kepala Kotabeda. Mereka juga menunjukkan sejumlah kepala orang Bali yang mereka bunuh. Diperkirakan, Gusti Ngurah Ketut Kabakaba juga terluka dalam pertempuran. Pada sore hari, lima belas orang Cina dan sejumlah orang Blambangan muncul dari arah Ulupampang, tempat di mana para pedagang dari berbagai etnis tinggal. Para penduduk Cina ini menyimpan senjata dalam beberapa kapal di Sungai Pampang untuk mempertahankan dirinya dari Belanda. Namun ketika kapal Vosmmar dan De Dankbaarheid melepaskan jangkar di tempat tersebut, mereka memutuskan diri untuk menyerah. 61 Di seberang sungai Pampang, 100 orang Bugis dan Melayu telah membangun benteng kecil dan menawarkan kerja sama. Pada tengah hari, mereka datang ke kapal Kompeni, dan meminta diizinkan untuk bertemu Kapten Blanke. Sang komandan Belanda itu berjanji memberi mereka perlindungan, namun dia ingin mereka membuktikan kesetiaan mereka dengan menyerahkan padanya sebanyak mungkin kepala para pemimpin Bali. Dua hari kemudian, seorang utusan Bugis menghadap Kapten Belanda dan memberikan kepala salah 61 VOC 3215, surat resmi Gubernur Johannes Vos ke Batavia, 29 Maret 1767, folio 71-2.