J. Manusia & Lingkungan, Januari 2017, 24(1): DOI: /jml.23074

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "J. Manusia & Lingkungan, Januari 2017, 24(1): DOI: /jml.23074"

Transkripsi

1 J. Manusia & Lingkungan, Januari 2017, 24(1): DOI: /jml IMPLEMENTASI DIALOG OTENTIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI BKPH NGARENGAN KPH PATI PERUM PERHUTANI DIVISI REGIONAL JAWA TENGAH (Authentic Dialogue Implementation on Forest Management in BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani Central Java Regional Division) Rela Pambudi 1*, Ahmad Maryudi 2 dan Ris Hadi Purwanto 2 1 Program Master Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta * Penulis korespondensi. Tel: rela_simbil@yahoo.com. Diterima: 16 September 2016 Disetujui: 3 Januari 2017 Abstrak Perum Perhutani berusaha berkolaborasi dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan meluncurkan progam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah saat ini terhambat karena adanya konflik dengan masyarakat. Penelitian ini berusaha mengkaji pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan dari sudut pandang collaborative policymaking serta mencari solusi konflik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman kepentingan dan saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan serta menyusun strategi untuk menciptakan kondisi pengelolaan hutan kolaboratif. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam kepada petugas Perhutani, pengurus LMDH serta masyarakat. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan bentuk saling ketergantungan dan ragam kepentingan dalam pengelolaan hutan, sedangkan analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi menuju pengelolaan hutan kolaboratif. Hasil penelitian ini yaitu terdapat bentuk ragam kepentingan dan saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan. Untuk menciptakan pengelolaan hutan kolaboratif dan sebagai resolusi konflik dilakukan dengan model pengaruh politik dengan membuat program bersama berupa pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan bersama yang sebelumnya didahului dengan dialog otentik untuk membangun kesepahaman, tawar-menawar dan membuat kesepakatan program bersama. Kata kunci: dialog otentik, masyarakat, pengelolaan kolaboratif, perhutani. Abstract Perum Perhutani efforts in a collaboration with the local community of forest management introduce Forest Management with Community (PHBM) Program. PHBM implementation in BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani, Central Java Regional Division is currently hampered because of a conflict with the local community. This study examines the implementation of PHBM in BKPH Ngarengan from the perspective of collaborative policymaking as well as finding solutions to conflicts. This study aims to determine the diversity of interests and interdependence between community and Perhutani in forest management and develop strategies to create the conditions of collaborative forest management. Data were collected by observation and interviews with Perhutani officials, administrators of LMDH, and the community. Descriptive analysis is used to describe the interdependence and diverse of interests in forest management, while SWOT analysis is used to formulate strategies toward collaborative forest management. Result of this research isthere is a form of diversity of interests and interdependence between community and Perhutani in forest management. To create collaborative forest management and as a model of conflict resolutioncan be carried out using political influence by creating a joint program such as plant spacing arrangement and forest security protection.which are preceded by dialogue to build understanding, bargaining and deal making programs together. Keywords: authentic dialogue, collaborative management, community, perhutani. PENDAHULUAN Terbatasnya akses masyarakat ke dalam hutan yang menyebabkan masalah sosial ekonomi masyarakat sering menjadi potensi konflik antara masyarakat dan pengelola seperti banyak terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara (Webb, 2007). Permasalahan tersebut ditanggapi oleh ahli kehutanan dunia dengan mengangkat masalahmasalah sosial ekonomi dalam pertemuan kehutanan di tingkat dunia seperti World Forestry Congres (WFC) VI di Seattle 1960 dan WFC VIII di Jakarta 1978 yang membawa pesan bahwa pengelolaan hutan harus diarahkan untuk

2 Rela Pambudi dkk.: Implementasi Dialog Otentik 47 pembangunan masyarakat lokal (Awang, 2004) dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan sehingga meningkatkan kesejahteraannya (FAO, 1978). Kongres tersebutlah yang menjadi awal munculnya kehutanan sosial dan kehutanan masyarakat yang beberapa dekade terakhir telah menjadi prioritas utama dari pembuat kebijakan (Gauld, 2000). Partisipasi masyarakat dalam program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan kelestarian hutan (Maryudi dan Krott, 2012) Pergeseran konsep pengelolaan hutan juga terjadi di Perum Perhutani. Penurunan kontrol negara atas sumberdaya hutan yang ditandai oleh penjarahan kayu besar-besaran pasca rezim Orde Baru ( ) serta maraknya tuntutan desentralisasi, otonomi dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta maraknya tuntutan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan mendorong Perum Perhutani meluncurkan desain baru program kehutanan sosial dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Djamhuri, 2008). Dengan PHBM antara masyarakat dan Perhutani berbagi peran dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan (Maryudi, 2012) sehingga meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan kapasitas ekonomi serta sosial masyarakat (Djajanti, 2006). Kehadiran PHBM dalam pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan mampu menciptakan pengelolaan hutan yang lebih kolaboratif. Dalam pelaksanaan PHBM masyarakat sekitar hutan seyogyanya diberikan akses yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan serta peluang untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, perencanaan kegiatan kehutanan, melakukan monitoring dan evaluasi seperti yang dirancang dalam program PHBM (Yuwono dan Putro, 2008). Masyarakat sekitar hutan bukan hanya berperan sebagai tenaga kerja, tetapi berperan sebagai subyek pengelola hutan bersama-sama Perhutani. Sejak diluncurkannya program PHBM oleh Perhutani sampai saat ini (2015) pelaksanaan PHBM di lapangan sangat beragam, terdapat pelaksanaan PHBM yang berjalan dengan baik namun terdapat pula yang pelaksanaannya terhambat dan belum optimal seperti terjadi di BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah yang terhambat karena sering terdapat kepentingan yang tidak koheren antara masyarakat dan Perhutani sehingga menyebabkan konflik. Permasalahan PHBM yang terdapat di BKPH Ngarengan menarik apabila dikaji menggunakan pendekatan kolaboratif. Kajian kolaboratif di tempat ini diharapkan dapat digunakan sebagai cara penyelesaian konflik yang terjadi serta menyususun strategi pengelolaan hutan kolaboratif sehingga terjadi keseimbangan peran antara masyarakat dan Perhutani. Pada akhirnya hutan tetap lestari dan masyarakat sekitar hutan tetap diakomodir kepentingannya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk keragaman kepentingan dan saling kertegantungan antara masyarakat dan Perhutani serta untuk menyusun strategi untuk menciptakan kondisi pengelolaan hutan yang kolaboratif. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan di BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani Divisi Regional 1 Jawa Tengah yang secara administratif terletak di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April Pengambilan sampel LMDH dilakukan terhadap 6 LMDH dari 22 LMDH yang ada di BKPH Ngarengan. Masing-masing RPH diwakili oleh satu LMDH yang dipilih secara random. Prosedur dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menjabarkan fenomena keragaman kepentingan dan saling ketergantungan antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam rangka pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan. Dalam hal ini pemangku kepentingan yang dianalisis adalah Perum Perhutani dan masyarakat serta para pihak yang berkepentingan. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber informasi dengan melakukan pengamatan terlibat dan teknik wawancara secara mendalam (indepth interview) kepada key informan dan informan dengan alat bantu berupa panduan wawancara. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling untuk pengurus LMDH dan Perhutani, secara insidental untuk petani. Key informan yang dimaksud yaitu anggota dan pengurus LMDH, kepala desa, tokoh masyarakat, petani, pihak dari Perhutani (Kepala KPH, Waka ADM, KSS PHBM, Asper dan Mantri) dan pihak terkait. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data dan dokumen dari Perhutani maupun kantor Desa. Untuk menjawab tujuan pertama dan kedua, analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan bentuk saling

3 48 J. Manusia & Lingkungan Vol. 24, No. 1 ketergantungan dan bentuk ragam kepentingan dalam pengelolaan hutan antara masyarakat dan Perhutani. Untuk merumuskan strategi pengelolaan hutan kolaboratif dilakukan analisis SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threaths). HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Pengelolaan Hutan di BKPH Ngarengan Dinamika pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan dimulai saat penjarahan hutan pasca reformasi tahun dan saat ini pencurian masih terjadi, ditunjukkan dengan angka tingkat pencurian kayu di BKPH Ngarengan yang paling tinggi di KPH Pati (Data pencurian KPH Pati). Eksploitasi sumberdaya alam secara illegal yang hanya mementingkan keserakahan akan berdampak pada kerusakan lingkungan (Armawi, 2013) seperti terjadi di BKPH Ngarengan saat ini. Kerusakan hutan berdampak pada erosi tanah yang tinggi sehingga sedimen tanah menyebabkan pendangkalan sungai. Petani mulai merasakan bahwa saat ini kesulitan mendapatkan air irigasi saat musim kemarau. Masyarakat juga berpendapat bahwa seringnya banjir akhir-akhir ini karena rusaknya hutan di sekitar rempat tinggal. Dinamika pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan tidak bisa terlepas dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan merupakan masyarakat dengan kelas ekonomi rendah. Berdasarkan data PHBM KPH Pati, Sebanyak 51,28% masyarakat sekitar hutan berpenghasilan sebesar kurang dari Rp ,00, bermatapencaharian sebagai petani sebanyak 42,60% dan buruh tani sebanyak 25,90%. Kondisi seperti ini berpengaruh terhadap tekanan sumberdaya hutan. Tanah kosong yang ditimbulkan akibat penjarahan kayu dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menanam ketela di dalam kawasan hutan. Saat ini penanam ketela menimbulkan masalah karena meluas ke hampir seluruh kawasan BKPH Ngarengan (73% dari total kawasan BKPH Ngarengan). Penanaman ketela menimbulkan gangguan terhadap hutan berupa pemotongan ranting tanaman pokok yang berlebihan, mematikan tanaman pokok dengan sengaja oleh petani dan meningkatkan angka pencurian pohon dengan tujuan membebaskan tanaman ketela dari naungan sehingga merugikan Perhutani. Perhutani mengeluarkan aturan larangan penanaman ketela di dalam kawasan hutan untuk menyelesaikan masalah ketela. Namun kebijakan ini menimbulkan konflik antara masyarakat dan Perhutani sehingga menyebabkan hubungan masya- - Penjarahan pasca reformasi 1998/ Pencurian kayu yang tinggi Banyak tanah kosong -Tanah kosong dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian ketela - Penanaman ketela dianggap merusak tanaman pokok Konflik Dominasi masyarakat tinggi Perhutani tidak mampu mengontrol sumberdaya hutan Pelarangan oleh Perhutani Gambar 1. Bagan dinamika pengelolaan hutan BKPH Ngarengan. Sumber : Hasil analisis. rakat dengan Perhutani menjadi renggang sampai saat ini. Bahkan pelarangan secara represif dengan pencabutan paksa tanaman ketela sempat mendapat perlawanan fisik dari petani. Upaya yang dilakukan Perhutani saat ini sebatas pendekatan secara personal kepada petani untuk mengarahkan penanaman ketela agar tidak mengganggu tanaman pokok. Melihat permasalahan yang dihadapi BKPH Ngarengan tersebut menunjukkan bahwa saat ini Perhutani tidak mampu mengontrol sumberdaya hutan. Perhutani sebagai pemegang mandat dari negara untuk mengelola sumberdaya hutan tidak mampu dijalankan dengan baik. Terhadap masalah yang dihadapi BKPH Ngarengan, Perhutani tidak mampu bertindak tegas terhadap oknum pencuri maupun petani. Secara umum dinamika pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis Keragaman Kepentingan dan Saling Ketergantungan antara Masyarakat dan Perhutani Upaya pengelolaan hutan kolaboratif di BKPH Ngarengan telah dilakukan melalui program PHBM. Dengan skema PHBM ini masyarakat sekitar hutan dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan sampai monitoring dan evaluasi program. Namun seiring dengan berjalannya waktu, program PHBM di BKPH Ngarengan saat ini terhambat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya yaitu kebijakan pelarangan penanaman ketela.

4 Rela Pambudi dkk.: Implementasi Dialog Otentik 49 Tabel 1. Bentuk ragam kepentingan dan saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan. Ragam kepentingan Saling ketergantungan Masyarakat Perhutani Masyarakat Perhutani - Kebutuhan lahan untuk - Menyelenggarakan - Ketergantungan - Ketergantungan dengan pertanian ketela pengelolaan hutan dengan lahan tenaga kerja masyarakat - Tempat mencari kayu sesuai tugas dan fungsi yang dimiliki - Ketergantungan harapan bakar - Tempat mencari rumput pokoknya. - Menciptakan Perhutani bantuan keamanan hutan dari masyarakat. - Mendapatkan dana bagi kelestarian hutan untuk - Ketergantungan karena hasil (sharing) dari memupuk keuntungan pengelolaan hutan dibatasi tebangan kayu perusahaan. oleh kepentingan masyarakat Sumber: Analisis data lapangan. Upaya pelarangan ini menjadikan konflik sehingga hubungan antara Perhutani dan masyarakat menjadi renggang dan kegiatan PHBM vakum. Innes dan Booher (2003) menyebutkan bahwa untuk mencapai kebijakan kolaboratif rasa saling ketergantungan dan ragam kepentingan harus tercipta di antara aktor yang terlibat. Apabila hanya ada satu kepentingan maka kebijakan kolaboratif tidak akan terjadi. Begitu juga apabila tidak ada rasa saling ketergantungan, yang terjadi adalah aktor-aktor tersebut akan berjalan sendiri-sendiri. Untuk mencapai pengelolaan hutan kolaboratif di BKPH Ngarengan maka dalam penelitian ini dilakukan analisis ragam kepentingan dan saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani. Bentuk ragam kepentingan dan saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani di BKPH Ngarengan dapat dilihat pada Tabel 1. Hutan bagi masyarakat sekitar hutan BKPH Ngarengan mempunyai peran yang sangat besar dan merupakan salah satu penopang hidup. Hutan dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian ketela, sumber pakan ternak dan kayu bakar serta bagi hasil tebangan kayu sesuai skema program PHBM. Sedangkan bagi Perhutani hutan merupakan mandat dari negara yang harus dikelola secara lestari serta memberikan pendapatan bagi negara. Dalam pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan antara masyarakat dan Perhutani terdapat saling ketergantungan. Masyarakat bergantung dengan Perhutani karena keterbatasan sumberdaya lahan untuk pertanian ketela. Begitu juga sebalikanya, Perhutani bergantung dengan masyarakat karena keterbatasan sumberdaya untuk mendukung pencapaian kepentingan Perhutani yaitu terciptanya hutan yang lestari. Perhutani sangat membutuhkan tenaga kerja dari masyarakat dan bantuan keamanan hutan. Ketergantungan Perhutani terhadap masyarakat juga tercermin pada ketidakmampuan Perhutani dalam mengatur masyarakat karena dominasi masyarakat dalam konflik sangat besar sehingga gerak Perhutani dalam pengelolaan hutan tergantung kepada masyarakat. Analisis Kolaboratif: Evaluasi pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan Analisis kolaboratif bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan dijalankan dengan prinsipprinsip kolaboratif. Prinsip-prinsip dalam pendekatan kolaboratif menurut Innes dan Booher (2003) bahwa : pertama, setiap pemangku kepentingan (stakeholder) harus menyadari posisinya. Mereka tidak bisa begitu saja menyerah atau sebaliknya bersikeras dengan kepentingan mereka sendiri. Kedua, mereka harus belajar dan mengenal satu sama lain. Ketiga, mereka harus mencari solusi bersama yang sejauh mungkin memenuhi semua kepentingan. Keempat, mereka harus dapat bertahan dalam 2 (dua) kondisi, yaitu bersaing dan bekerjasama dalam rangka pengambilan kebijakan. Kelima, ketegangan antara persaingan dan kerjasama adalah inti dari kolaborasi. Menurut Innes dan Booher (2003), terdapat 4 (empat) hal yang terjadi dalam pendekatan kolaboratif, yaitu timbal balik (reciprocity), hubungan baik (relationships), pembelajaran (learning) dan kreativitas (creativity). Oleh karena itu, analisis kolaboratif dilakukan dengan mengidentifikasi 4 (empat) hal tersebut. Hasil pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan dapat dilihat pada Tabel 2. Hubungan timbal balik antara Perhutani dan masyarakat belum sesuai dengan yang diharapkan dalam program PHBM. Pertanian ketela oleh masyarakat justru merusak tanaman pokok karena masyarakat melakukan pemangkasan cabang secara berlebihan. Dukungan keamanan dan perlindungan hutan dari masyarakat juga belum terjadi. Hubungan antara masyarakat dan Perhutani saat ini tidak baik karena konflik akibat pelarangan penanaman ketela.

5 50 J. Manusia & Lingkungan Vol. 24, No. 1 Tabel 2. Hasil pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan. Aspek Keterangan Hubungan timbal balik Hubungan timbal balik belum terjadi secara dua arah. Perhutani belum mendapat keuntungan dari program PHBM, bahkan Perhutani sebagai pihak yang dirugikan. Hubungan baik Dengan adanya PHBM terdapat hubungan yang lebih baik. Namun saat ini menjadi kurang baik karena konflik akibat pelarangan penanaman ketela. Pembelajaran Sudah ada upaya proses pembelajaran melalui pertemuan keduabelah pihak untuk memecahkan masalah. Namun begitu hasil pembelajaran belum terasa. Kreativitas Belum nampak kreativitas yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah. Sumber: Analisis data lapangan. Tabel 3. Bentuk adaptasi pelaksanaan PHBM di BKPH Ngarengan. Aspek Keterangan Identitas bersama Sebagian besar anggota LMDH tidak mengetahui peran dan posisinya di dalam program PHBM. Pemahaman bersama Antara masyarakat dan Perhutani belum terjadi kesepahaman bersama dan masih terjadi konflik kepentingan. Heuristik/norma baru Rasa saling menghormati belum terbentuk, antara masyarakat dan Perhutani masih mementingkan kepentingannya sendiri Inovasi Inovasi yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan Perhutani belum terbentuk Sumber: Analisis data lapangan. Upaya pembelajaran melalui pertemuan keduabelah pihak sudah pernah dilaksanakan saat awal pelaksanaan program PHBM, namun begitu hasil pembelajaran bersama belum terasa terbukti masalah konflik dan pencurian kayu belum terselesaikan. Dari permasalahan yang belum terselesaikan maka dapat dikatakan kreatifitas dari hasil program PHBM belum nampak. Pengelolaan kolaboratif akan membawa perubahan yang mengakibatkan adaptasi dari suatu sistem. Innes dan Booher (2003) menyebutkan bahwa perubahan tersebut adalah identitas bersama, pemahaman bersama, norma baru dan inovasi. Analisis bentuk adapatasi pengelolaan kolaboratif juga dilakukan dalam penelitian ini. Hasil adaptasi dari program PHBM di BKPH Ngarengan dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagai aktor yang terlibat dalam program PHBM, sebagian besar anggota LMDH tidak mengetahui peran dan posisinya serta hak dan kewajibannya. Mereka seharusnya memahami identitasnya dalam sebuah sistem sehingga tahu mengenai apa yang harus dilakukan. Kesepahaman bersama antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan juga belum terjadi. Kesadaran masyarakat mengenai fungsi hutan masih rendah sehingga mereka kurang peduli terhadap kelestarian hutan. Rasa saling menghormati sebagai bentuk adaptasi pengelolaan hutan bersama belum terlihat sehingga masyarakat masih mementingkan kepentingannya sendiri dengan menanam ketela dan mengabaikan aturan yang telah dikeluarkan oleh Perhutani, begitu juga dengan Perhutani yang kurang memahami ketergantungan masyarakat terhadap ketela dengan tetap melarang penanaman ketela di dalam kawasan hutan. Ide-ide baru yang inovatif juga belum terjadi dalam pengelolaan hutan di BKPH Ngarengan. Keputusan yang diambil untuk mengatasi masalah bersama yang dapat mengakomodir semua kepentingan dengan win-win solutions belum terjadi. Model Pengaruh Politik Sebagai Strategi Kolaboratif dalam Upaya Resolusi Konflik dan pelestarian lingkungan Pendekatan kolaboratif muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang lebih mengakomodir kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan. Kolaborasi dianggap sebagai cara untuk mengurangi konflik antara para pemangku kepentingan, membangun modal sosial, perbaikan lingkungan dan sosial ekonomi yang harus ditangani secara bersama-sama sehingga menghasilkan keputusan yang lebih baik (Weber, 2000) dan saat ini dipromosikan sebagai cara yang menjajikan untuk menangani sumberdaya alam dengan berbagai masalah yang kompleks (Conley dan Moote, 2003). Konflik antara masyarakat dan Perhutani di BKPH Ngarengan terjadi karena terdapat ragam kepentingan terhadap sumberdaya hutan yang berseberangan. Kepentingan masyarakat untuk menanam ketela berseberangan dengan kepentingan Perhutani untuk membangun hutan yang lestari. Kedua belah pihak saling berusaha untuk mencapai kepentingannya sehingga keragaman kepentingan

6 Rela Pambudi dkk.: Implementasi Dialog Otentik 51 yang tidak selaras ini menimbulkan konflik. Posisi masyarakat dalam konflik yang terjadi di BKPH Ngarengan ini lebih dominan dibanding dengan Perhutani. Perhutani sebagai pemegang mandat mengelola hutan tidak mampu mengatur masyarakat. Konflik yang terjadi di BKPH Ngarengan berpotensi apabila diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif. Antara masyarakat dan Perhutani terdapat saling ketergantungan dan ragam kepentingan sebagai modal untuk berkolaborasi. Konflik yang terjadi di BKPH Ngarengan tidak menjadi penghalang untuk berkolaborasi tetapi dapat dijadikan sebagai insentif untuk menciptakan pengelolaan hutan kolaboratif. Ansell and Gash (2007) menyebutkan bahwa ketika para pemangku kepentingan sangat saling tergantung dan tingkat konflik yang tinggi dapat benar-benar menciptakan insentif yang kuat untuk mendorong kolaborasi. Melihat kondisi di lapangan saat ini, ragam kepentingan antara masyarakat dan Perhutani termasuk tinggi dengan intensitas yang kuat. Ragam kepentingan yang kuat yaitu terletak pada perebutan pemanfaatan sumberdaya lahan sehingga di antara keduanya timbul konflik, sedangkan saling ketergantungan di antara mereka tidak begitu kuat. Walaupun Perhutani tergantung dengan tenaga kerja dari masyarakat sekitar hutan, Perhutani dapat mencari tenaga kerja dari daerah lain. Selain itu harapan bantuan keamanan dari masyarakat juga tidak begitu dapat diandalkan. Kondisi sebaliknya masyarakat sangat tergantung dengan Perhutani dengan lahan yang dimiliki oleh Perhutani. Dengan kondisi ragam kepentingan yang tinggi dan saling ketergantungan yang rendah maka bentuk perencanaan yang dapat dipilih yaitu model pengaruh politik (Innes dan Booher, 2003). Model pengaruh politik melibatkan pemimpin dengan pengaruh yang kuat biasanya berbasis proyek dan mempunyai kekuasaan dari loyalitas yang tinggi. Tujuan pengaruh politik adalah bahwa para stakeholder yang kuat dan pejabat yang terpilih memiliki proyek dan program yang mereka dapat lakukan. Pemimpin itu kemudian memiliki legitimasi politik untuk tawar-menawar dengan orang lain dan komunitas untuk memiliki sumber daya. Model ini mempertahankan politik perdamaian. Dalam perencanaan model pengaruh politik di BKPH Ngarengan, aktor yang berpotensi dilibatkan dalam proses tawar menawar yaitu Perhutani, Pengurus LMDH, Kepala Desa dan tokoh masyarakat. Pengurus LMDH, Kepala Desa dan tokoh masyarakat cukup mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dan mampu bernegosiasi dengan Perhutani. Hasil yang diharapkan yaitu menghasilkan kesepakatan winwin solutions dan menciptakan suatu program bersama untuk menyelesaikan konflik. Pengurus LMDH, Kepala Desa dan tokoh masyarakat diharapkan mampu menyampaikan dan mempengaruhi kepada masyarakat luas mengenai hasil kesepakatan yang dibuat. Untuk menyusun strategi pengelolaan hutan kolaboratif, dalam penelitian ini dilakukan analisis SWOT. Bentuk strenght untuk mendukung pengelolaan kolaboratif yaitu antara masyarakat dan Perhutani terdapat saling ketergantungan dan Perhutani mempunyai kemauan untuk berkolaborasi, masyarakat juga menyadari akan kesalahnnya. Sementara itu terdapat weakness untuk mendukung pengelolaan kolaboratif yaitu antara masyarakat dan Perhutani belum terdapat kesepahaman dalam pengelolaan hutan serta kesadaran masyarakat mengenai fungsi hutan rendah, sebagian besar masyarakat juga belum mengetahui peran dan posisinya dalam PHBM. Opportunity untuk mendukung pengelolaan kolaboratif yaitu terdapat dukungan pemerintah desa untuk menyelesaikan konflik, kelembagaan LMDH sudah terbentuk dan Perhutani memberikan hak garap di bawah tegakan. Bentuk threaths untuk mendukung pengelolaan kolaboratif yaitu kelembagaan LMDH vakum, aturan larangan penanaman ketela dan pencurian kayu yang tinggi. Bentuk strategi yang dihasilkan dari kajian SWOT yaitu (1) Membangun dialog otentik, (2) Pengaturan jarak tanam dan keamanan hutan bersama (3) Mengevaluasi aturan larangan penanaman ketela dan (4) Optimalisasi dan peningkatan kapasitas LMDH. Strategi tersebut disusun dengan skema seperti Gambar 2. Strategi dialog otentik merupakan kunci dari perdamaian untuk membangun kesepahaman, proses tawar menawar dan membuat kesepakatan untuk menciptakan pengelolaan hutan kolaboratif. Pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan bersama diharapkan menjadi program bersama yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan Perhutani. Hal ini didasarkan karena Perhutani dan masyarakat saling membutuhkan lahan. Strategi evaluasi aturan larangan penanaman ketela dan optimalisasi serta peningkatan kapasitas LMDH dapat menjadi strategi untuk mendukung program bersama. Strategi-strategi tersebut diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan Perhutani dan Masyarakat sehingga dapat meredam konflik dan menciptakan pengelolaan kolaboratif yang win-win solutions.

7 52 J. Manusia & Lingkungan Vol. 24, No. 1 Dialog otentik sebaiknya diinisiasi oleh Perhutani dengan melibatkan LMDH, Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat. Perhutani sebagai inisiator karena merupakan pihak yang mempunyai kepentingan untuk mengatasi konflik. LMDH, pemerintah desa dan tokoh masyarakat dipilih dalam melakukan dialog otentik ini karena dianggap dapat mempresentasikan kepentingan masyarakat dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Konsep dalam dialog otentik diarahkan untuk menghasilkan program bersama yang bijak dan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan Perhutani. Program bersama tersebut nantinya akan dijadikan model pengaruh politik yang disampaikan kepada masyarakat oleh LMDH, Pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Dalam strategi pengelolaan hutan kolaboratif di BKPH Ngarengan, pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan bersama dapat menjadi alternatif program bersama dan dijadikan sebagai model pengaruh politik. Pemilihan strategi pengaturan jarak tanam didasarkan pada kepentingan Perhutani dan masyarakat yang saling membutuhkan lahan sehingga harus ada pembagian ruang tumbuh antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian, sebagai timbal baliknya Perhutani mendapat bantuan keamanan dari masyarakat. Ada beberapa konsep pengaturan jarak tanam misalnya konsep management regime (MR) yang memberi hak kepada masyarakat untuk mengelola lahan pertanian di areal hutan dengan membentuk jalur pertanian baru (Simon, 2001). Pengaturan jarak tanam dinilai cocok diterapkan di BKPH Ngarengan sebagai strategi mengatasi konflik dan menuju pengelolaan kolaboratif karena tekanan masyarakat terhadap hutan saat ini tinggi. Masyarakat mempunyai keterbatasan lahan pertanian sehingga dengan pola jarak tanam yang lebih lebar masyarakat mendapatkan lahan pertanian baru. Pengaturan jarak tanam dapat dijadikan sebagai insentif bagi masyarakat sekitar hutan agar mau bekerjasama dan berkolaborasi dalam pengelolaan hutan. Pelaksanaan program pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan sangat membutuhkan peran dari LMDH, pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Pihak-pihak tersebut berperan dalam menyampaikan program terebut kepada masyarakat dalam bentuk pengaruh politik. Semuanya harus mampu meyakinkan bahwa program tersebut merupakan program yang paling bijak dan benar sehingga masyarakat mau mengikuti program tersebut. Strategi evaluasi aturan larangan penanaman ketela di dalam kawasan hutan merupakan dukungan terhadap program bersama. Setelah peng- LMDH Pemerintah Desa Tokoh masyarakat Evaluasi aturan larangan penanaman ketela Masyarakat FASILITATOR YANG DISEPAKATI DIALOG OTENTIK Membangun kesepahaman Tawar-Menawar Menyusun program bersama PROGRAM AKSI Pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan sebagai program bersama PENGARUH POLITIK Oleh Perhutani, LMDH, Pemerintah desa dan tokoh masyarakat PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF Perhutani Optimalisasi dan Penguatan Kapasitas LMDH Gambar 2. Strategi pengelolaan hutan kolaboratif BKPH Ngarengan. aturan jarak tanam berjalan maka aturan larangan penanaman ketela di dalam kawasan hutan harus ditinjau lagi. Strategi ini dipilih karena aturan Perhutani yang melarang penanaman ketela di dalam kawasan hutan merupakan pemicu konflik antara masyarakat dan Perhutani. Optimalisasi dan peningkatan kapasitas LMDH penting dilakukan untuk mendukung strategi pengelolaan hutan kolaboratif di BKPH Ngarengan. Keberadaan LMDH sangat penting sebagai wadah yang mempresentasikan masyarakat desa hutan. LMDH sangat berperan dalam menjalankan pengaruh politik kepada masyarakat atas program bersama yang telah dibuat. Oleh karena itu kondisi kelembagaan LMDH harus diperbaiki untuk mendukung strategi pengelolaan hutan kolaboratif. Peningkatan karakteristik individu anggota seperti semangat belajar inovatif, rasa kompeten, semangat kerja sama dan motivasi kerja juga harus ditingkatkan untuk mendukung good forestry governance (Atmojo dkk., 2013) Tujuan optimalisasi dan peningkatan kapasitas LMDH yaitu agar dapat meningkatkan peran LMDH dalam pengelolaan hutan melalui konsep PHBM. Dengan strategi ini diharapkan LMDH mampu menjadi mitra Perhutani dan berkolaborasi dalam pengelolaan hutan. LMDH diharapkan dapat digunakan sebagai wadah yang mempresentasikan masyarakat sekitar hutan sehingga kepentingan anggotanya dapat diakomodir. Selain itu LMDH

8 Rela Pambudi dkk.: Implementasi Dialog Otentik 53 diharapkan mampu meningkatkan kesadaran bagi anggota mengenai fungsi hutan dan pentingnya kelestarian hutan. Dengan peningkatan kapasitas LMDH juga diharapkan mampu membantu Perhutani dalam perlindungan dan keamanan hutan. Upaya optimalisasi dan peningkatan kapasitas LMDH dilakukan dengan cara (1) peningkatan kualitas pengurus LMDH yang fasilitatif, mampu mengakomodir kepentingan anggotanya, mendistribusikan manfaat PHBM secara adil dan merata kepada anggotanya serta mampu menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan, (2) penataan keanggotaan LMDH sehingga mudah dikoordinir dan (3) penguatan kelembagaan melalui penyempurnaan aturan-aturan internal LMDH dan hak kewajiban anggota dalam program PHBM. Hasil yang diharapkan yaitu peningkatan kemampuan lembaga dalam pengelolaan lembaga serta mendorong lembaga untuk memiliki kekuatan dalam menghadapi dan berinterkasi dengan pihak luar. Upaya pengelolaan hutan kolaboratif di BKPH Ngarengan sebagai salah satu aplikasi konsep kehutanan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kelestarian hutan dan perbaikan lingkungan. Seperti disebutkan oleh Maryudi, dkk (2012) bahwa salah satu tujuan kehutanan masyarakat yaitu untuk perbaikan kondisi hutan. Melalui kerjasama dalam pengamanan hutan diharapkan tingkat pencurian kayu menurun sehingga kelestarian hutan tercapai. Dengan pengaturan jarak tanam yang telah disepakati diharapkan kerusakan hutan akibat penanaman ketela tidak terjadi lagi. Optimalisasi dan peningkatan kapasitas LMDH diharapkan dapat meningkatkan kesadaran anggota untuk melestarikan lingkungan. KESIMPULAN Bentuk kepentingan masyarakat sekitar hutan di BKPH Ngarengan terhadap sumberdaya hutan yaitu kebutuhan lahan garapan untuk pertanian ketela, sumber pakan ternak, kayu bakar dan kepentingan untuk mendapatkan dana bagi hasil dari tebangan kayu (sharing). Sedangkan bentuk kepentingan Perhutani terhadap sumberdaya hutan yaitu terciptanya pengelolaan hutan yang lestari dan memberikan keuntungan bagi perusahaan sesuai tugas dan fungsi pokoknya. Masyarakat memiliki ketergantungan dengan Perhutani berupa ketergantungan terhadap sumberdaya lahan yang dimiliki Perhutani, sedangkan Perhutani tergantung dengan masyarakat karena tenaga kerja yang dimiliki masyarakat, harapan bantuan keamanan hutan dari masyarakat dan ketergantungan karena pengelolaan hutan dibatasi kepentingan masyarakat. Konflik di BKPH Ngarengan berpotensi diselesaikan dengan model pengaruh politik dalam skema pengelolaan hutan kolaboratif. Perhutani, LMDH, pemerintah desa dan tokoh masyarakat melakukan dialog otentik untuk membangun kesepahaman, tawar-menawar dan membuat kesepakatan program bersama dalam rangka pengelolaan hutan kolaboratif. Tawaran program bersama dalam penelitian ini yaitu pengaturan jarak tanam dan pengamanan hutan bersama. Program bersama ini didukung dengan strategi evaluasi aturan larangan penanaman ketela dan optimalisasi serta peningkatan kapasitas LMDH. Upaya penyelesaian konflik di BKPH Ngarengan membutuhkan keseriusan dan kemauan Perhutani. Kepentingan masyarakat berupa kebutuhan lahan garapan untuk pertanian ketela sebaiknya diakomodir. Pendampingan terhadap LMDH juga perlu dilakukan sebagai upaya optimalisasi dan peningkatan kapasitasnya. Masalah gangguan terhadap hutan tidak bisa terlepas dari masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, Perhutani sebaiknya melibatkan pihak lain seperti pemerintah maupun swasta lain untuk menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi beban tekanan masyarakat terhadap hutan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada beasiswa dan pengelola beasiswa ISB (In Search of Balance). Penelitian ini didanai oleh program ISB, kerjasama Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Agder Norwegia. DAFTAR PUSTAKA Ansell, C dan Gash, A, Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18: Armawi, A., Kajian Filosofis Terhadap Pemikiran Human-Ekologi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(1): Atmojo, T., Awang, S.A., Purwanto, E.A., Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Good Forestry Governance di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(2): Awang, S.A., Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Bigraf, Yogyakarta.

9 54 J. Manusia & Lingkungan Vol. 24, No. 1 Conley, A. dan Moote, M.A., Evaluating Collaborative Natural Resource Management. Journal of Society and Natural Resources, 16: Djajanti, D Managing Forest with Community (PHBM) in Central Java: Promoting Equity in Access to NTFPs. Dalam Mahanty, S. Fox, J., Nurse, M. Stephen, P. dan McLees, L. Hanging In the Balance: Equity in Community-Based Natural Resource Management in Asia. RECOFTC, Bangkok and East-West Center, Honolulu. p Djamhuri, T.L., Community Participation in A Social Forestry Program in Central Java, Indonesia: The Effect of Incentive Structure and Social Capital. Journal of Agroforest, 74:83-96 FAO, Forestry for Local Community Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), FAO Forestry Paper, No.7, Rome. Innes, J.E. dan Booher, D.E., Collaborative Policymaking: Governance Through Dialogue. Dalam Hajer, Maarten A., dan Henderik Wagenaar. Deliberative Policy Analysis. Understanding Governance in The Network Society. Cambridge University Press, Cambridge p Gauld, R., 2000, Maintaining Centralized Control in Community-Based Forestry: Policyconstruction in The Philippines. Journal Development and Change, 31: Maryudi, A., 2012, The Development of Community Forestry in Indonesia. RECOFTC-The Center for People and Forests, Bangkok. Maryudi, A dan Krott, M., Poverty Alleviation Effort through a Community Forestry in Java, Indonesia. Journal of Suistanable Development, 5(2): Maryudi, A., Devkota, R.R., Schusser, C., Yufanyi, C., Aurenhammer, H., Rotchanaphatharawit, R., Krott, M., 2012., Back to Basic: Considerations in Evaluating the Outcomes of Community Forestry. Journal Forest Policy and Economics, 14(1):1 5. Simon, H Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta. Webb, E.L., 2007, Forest Policy as a Changing Context in Asia. Dalam Webb, E.L. dan Shivakoti, G.P. Decentralization, Forests and Rural Communities: Policy Outcomes in South and Southeast Asia. SAGE Publication. New Delhi p Weber, E., 2000, A New Vanguard for The Environment: Grass-Roots Ecosystem Management as A New Environmental Movement. Journal Society Nat. Resources, 13(3): Yuwono, T., dan Wiyono T.P., 2008, Cooperative Forest Management: Potret Pengelolaan Hutan Kabupaten Ngawi di Era Otonomi Daerah. Datamedia. Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5% BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5% penduduk Indonesia tinggal di pulau ini (Badan Pusat Statistik, 2014). Pulau yang memiliki luasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu negara mempunyai konstitusi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau

BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya,

Lebih terperinci

DAMPAK EKONOMI IMPLEMENTASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) PADA PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

DAMPAK EKONOMI IMPLEMENTASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) PADA PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR DAMPAK EKONOMI IMPLEMENTASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) PADA PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR Theresia Avila *) & Bambang Suyadi **) Abstract: This research was conducted to determine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia Australia dan samudra Pasifik Hindia dikaruniai sumber daya alam berupa hutan alam tropis yang memiliki

Lebih terperinci

Keywords: co-management, community empowerment, sharing of wood production

Keywords: co-management, community empowerment, sharing of wood production PENGELOLAAN DANA SHARING PRODUKSI KAYU UNTUK MENINGKATKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi tentang Penerapan Co-management pada Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Perum Perhutani Kesatuan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan

ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan Nina Herlina, Syamsul Millah, Oding Syafrudin Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR Oleh: TRI JATMININGSIH L2D005407 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Implementasi Program PHBM di Perum Perhutani KPH Cepu Salah satu bentuk kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Perhutani untuk menangani masalah pencurian kayu dan kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu program pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY Oleh: Totok Dwinur Haryanto 1 Abstract : Cooperative forest management is a social forestry strategy to improve community prosperity.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan hutan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari umat manusia. Hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur vital dalam suatu organisasi atau lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau

Lebih terperinci

Kajian pengembangan masyarakat ini berupaya mengetahui peran PHBM, mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas PHBM,

Kajian pengembangan masyarakat ini berupaya mengetahui peran PHBM, mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas PHBM, RINGKASAN PAMBUDIARTO, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan(LMDH) : Suatu Kajian Penguatan Kapasitas LMDH dan Efektivitas PHBM di Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah. Sebagian besar dari masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR Oleh : INDAH SUSILOWATI L2D 305 134 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH

PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH Tim Peneliti Balitbang Prov. Jateng Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur Oleh : u AR PA POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN SAMPUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI... HALAMAN SAMPUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRACT... ABSTRAK... BAB I PENDAHULUAN....

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penetapan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan upaya pemerintah dan perum perhutani untuk menyelamatkan sumber daya hutan dan linkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kondisi hutan yang semakin kritis mendorong pemerintah membuat sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan pengelolaan hutan. Komitmen tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas kawasan hutan di Pulau Jawa berdasarkan catatan BKPH Wilayah IX Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai 129.600,71 km 2. Hutan tersebut dikelilingi ±6.807 desa dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan penduduk di Indonesia khususnya di Pulau Jawa terus meningkat dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 9941 jiwa/km 2 (BPS, 2010) selalu dihadapkan

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan seperti yang diamanatkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 2 dan 3 harus berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan,

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun terakhir pengelolaan hutan di Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi politik yang masih

Lebih terperinci

POLICY PAPER No 04/2014

POLICY PAPER No 04/2014 POLICY PAPER No 04/2014 Kaburnya Kemitraan PHBM dan Harapan Kejelasan ke Depan oleh Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan PHBM Oleh : Totok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan di

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

KONSTRIBUSI PENDAPATAN DARI PENYADAPAN GETAH PINUS TERHADAP PENDAPATAN TOTALNYA

KONSTRIBUSI PENDAPATAN DARI PENYADAPAN GETAH PINUS TERHADAP PENDAPATAN TOTALNYA KONSTRIBUSI PENDAPATAN DARI PENYADAPAN GETAH PINUS TERHADAP PENDAPATAN TOTALNYA ( Studi Kasus Di RPH Guyangan BKPH Ponorogo Barat KPH Lawu Ds Perum Perhutani Unit II Jawa Timur ) Djoko Setyo Martono 1

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu memberikan corak yang beragam dalam pendekatan dan pengelolaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. itu memberikan corak yang beragam dalam pendekatan dan pengelolaan atas sumber daya 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1. Keragaman Pengelolaan Hutan di Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beragam suku dan budaya, serta potensi sumber daya alam yang melimpah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan dan binatang yang hidup di dalamnya terancam punah. Selain itu, masih banyak manusia yang menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia dan keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia dan keberhasilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan Indonesia periode Orde baru menunjukkan hasil yang signifikan dalam beberapa bidang, mulai dari pengentasan kemiskinan, pembangunan sumberdaya

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN DIREKTORAT BINA USAHA KEHUTANAN TANAMAN Alamat : Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt.v, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270. Telepon : (021)

Lebih terperinci

Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Muna

Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Muna Biocelebes, Desember 2009, hlm. 84-92 ISSN: 1978-6417 Vol. 3 No. 2 Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Muna A. Mujetahid M. Laboratorium Pemanenan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang bermanfaat bagi kelangsungan

Lebih terperinci

PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI PARTISIPASI KELOMPOK TANI MITRA REHABILITASI DI DESA CURAHNONGKO RESORT ANDONGREJO DALAM PROGRAM REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI SKRIPSI Oleh: Samsul Arifin NIM 091510601049 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

Perhutanan Sosial Dapat Menjadi Sarana Efektif Bagi Pengentasan Kemiskinan

Perhutanan Sosial Dapat Menjadi Sarana Efektif Bagi Pengentasan Kemiskinan Dapat disiarkan segera Perhutanan Sosial Dapat Menjadi Sarana Efektif Bagi Pengentasan Kemiskinan Pemerintahan baru wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat di 33.000 desa di dalam dan sekitar hutan

Lebih terperinci

Dengan PHBM melalui LMDH, Mari Lestarikan Hutan Kita agar Masyarakat Adil, Makmur dan Sejahtera

Dengan PHBM melalui LMDH, Mari Lestarikan Hutan Kita agar Masyarakat Adil, Makmur dan Sejahtera Dengan PHBM melalui LMDH, Mari Lestarikan Hutan Kita agar Masyarakat Adil, Makmur dan Sejahtera LMDH Langgeng Jati, Desa Tanggel, Kabupaten Blora Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan suatu lembaga

Lebih terperinci

PENDAPATAN ASLI DAERAH SEKTOR KEHUTANAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MUNA

PENDAPATAN ASLI DAERAH SEKTOR KEHUTANAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MUNA Jurnal Perennial, 2012 Vol. 8 No. 1: 13-18 ISSN: 1412-7784 Tersedia Online: http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennial PENDAPATAN ASLI DAERAH SEKTOR KEHUTANAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MUNA

Lebih terperinci

Openana Alas Iki, Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi

Openana Alas Iki, Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi Openana Alas Iki, Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi LMDH Karya Lestari, Desa Glandang, Kabupaten Pemalang Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bahwa

Lebih terperinci

Oleh: Bambang Supriyono

Oleh: Bambang Supriyono Disajikan dalam Administrative Science Discussion Forum (ASDF) oleh IKA FIA Universitas Brawijaya Jakarta, 19 Mei 2017 KEBIJAKAN KEWILAYAHAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN (Perspektif Administrasi Publik)

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat).

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat). 123 Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat). A. PETA SOSIAL DESA 1. Bagaimana sejarah terbentuknya Desa Glandang, Program Pemerintahan Desa

Lebih terperinci

BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pokok bahasan Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian dalam kasus konflik pengelolaan hutan rakyat di Blitar, Jawa Timur. Judul Penelitian Konflik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penggunaan hutan dan beragamnya alih fungsi hutan di Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT MELALUI LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH) PAMBUDIARTO

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT MELALUI LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH) PAMBUDIARTO PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT MELALUI LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH) (Suatu Kajian Penguatan Kapasitas LMDH dan Peningkatan Efektivitas PHBM di Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten

Lebih terperinci

6 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor SWOT pengembangan proyek KPS Kampung Reyog adalah sebagai berikut : a. Faktor strength

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI DAS KONTO MALANG: PEMBELAJARAN KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PROGRAM

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI DAS KONTO MALANG: PEMBELAJARAN KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI DAS KONTO MALANG: PEMBELAJARAN KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PROGRAM Noviana Khususiyah World Agroforestry Centre (ICRAF) E-mail: n.khususiyah@cgiar.org ABSTRACT

Lebih terperinci

PROFIL LMDH TLOGO MULYO

PROFIL LMDH TLOGO MULYO 32 PROFIL LMDH TLOGO MULYO Sejarah Berdiri LMDH Tlogo Mulyo merupakan lembaga masyarakat desa hutan yang berada di Desa Tlogohendro Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan. LMDH Tlogomulyo termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati, yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan INDONESIA VISI 2050 Latar belakang Anggota Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) dan Indonesia Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia) mengorganisir Indonesia Visi 2050 proyek

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 436/KPTS/DIR/2011 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama

Lebih terperinci

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 2.1.1 Visi Untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta menjawab tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS)

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS) KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS) Menimbang : a. Surat Dewan Pengawas No. 14/042.4/Can/Dwas/2006

Lebih terperinci

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 2.1.1 Visi Untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta menjawab tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia

I. PENDAHULUAN. terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan proses alam yang mempengaruhi perubahan terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia yang mengubah komposisi

Lebih terperinci

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan hutan tropis pegunungan yang terletak pada gunung berapi yang masih aktif berada di wilayah Yogyakarta dan Jawa

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan BAB IV PENUTUP Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran dipaparkan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya. 4.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kesimpulan dari hasil penelitian berikut dengan beberapa rekomendasi yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kesimpulan dari hasil penelitian berikut dengan beberapa rekomendasi yang BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil penelitian ini mengenai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Lindung Desa Manadalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya yang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya page 1 / 5 EDITORIAL BOARD empty page 2 / 5 Table of Contents No Title Page 1 Kinerja Unit Bidang Angkutan Dalam Trayek Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkatan Jalan (LLAJ) Provinsi Jawa Timur pada

Lebih terperinci

Mirah Muthmainnah Mujahid, Darmawan Salman and M. Abduh Ibnu Hajar ABSTRACT

Mirah Muthmainnah Mujahid, Darmawan Salman and M. Abduh Ibnu Hajar ABSTRACT Kolaborasi Multipihak pada Program Pengembangan Kawasan Perikanan (Minapolitan) di Kabupaten Luwu Timur (Multiparty Collaboration in the Fishery Region Development Programme (Minapolitan) in East Luwu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 75 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Data Bank Dunia menunjukkan, bahwa 49 persen penduduk Indonesia (108.78 juta orang) adalah keluarga miskin atau potensial menjadi miskin

Lebih terperinci

Definisi menurut FAO: Forest tenure detemines who can use what resources, for how long and under what conditions. Forest tenure is abroad concept

Definisi menurut FAO: Forest tenure detemines who can use what resources, for how long and under what conditions. Forest tenure is abroad concept Keynote Address Disampaikan pada: Forest Tenure, Governance & Enterprise Experiences and Opportunities for Asia in a Changing Context Lombok, 11-15 July 2011 Definisi menurut FAO: Forest tenure detemines

Lebih terperinci

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan ANALISIS SOSIAL BUDAYA REDD+ 2011 Penyusunan Kriteria Indikator Pemilihan Lokasi dan Strategi Keberhasilan Implementasi REDD dari Perspektif Struktur Sosial Budaya Tim Peneliti PUSPIJAK Pusat Penelitian

Lebih terperinci

Brief no. 03. Policy Analysis Unit. Latar Belakang. Desember 2010

Brief no. 03. Policy Analysis Unit. Latar Belakang. Desember 2010 Desember 2010 Brief no. 03 Policy Analysis Unit Sekolah Lapangan Pengelolaan Sumberdaya Alam (SL-PSDA): upaya peningkatan kapasitas LMDH dalam pembangunan hutan melalui PHBM (di KPH Malang) Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci