INDUKSI KERAGAMAN REGENERAN JERUK SIAM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS HASIL KULTUR PROTOPLAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUKSI KERAGAMAN REGENERAN JERUK SIAM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS HASIL KULTUR PROTOPLAS"

Transkripsi

1 INDUKSI KERAGAMAN REGENERAN JERUK SIAM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS HASIL KULTUR PROTOPLAS (Induced Variation of Tangerine CV. Siam Regenerants Through Gamma Irradiation on Callus From Protoplast Culture) Aida Wulansari 1), Agus Purwito 2), Ali Husni 3) 1) Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI. 2) Dep. Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 3) Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. ABSTRAK Jeruk Siam memiliki rasa manis dan mengandung banyak air. Namun masih memiliki banyak biji (15-20 biji per buah). Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan keragaman genetik jeruk Siam melalui iradiasi sinar Gamma pada kalus hasil kultur protoplas. Kalus diradiasi pada dosis 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 gray. Dosis radiosensitivitas diperoleh pada 53,25 gray. Pengamatan 4 minggu setelah iradiasi Gamma menunjukkan adanya respon yang beragam pada morfologi kalus dan pertambahan berat kalus. Pada dosis rendah (10-50 gray) pertumbuhan kalus tidak terhambat, namun pada dosis tinggi ( gray) pertumbuhan kalus terhambat. Setelah 4 minggu pada media MW yang mengandung 0,5 mg/l ABA, kalus 50 gray menghasilkan lebih banyak embrio somatik dibandingkan dosis yang lain. Setelah 4 minggu pada media MW yang mengandung 0,5 mg/l GA 3, 96,8% embrio somatik pada dosis 60 gray mampu berkecambah, pada dosis 50 gray 75,9%. Regenerasi kalus menghasilkan 72 regeneran. Dendogram yang dihasilkan dari data karakterisasi morfologi menunjukkan rentang nilai koefisien kemiripan dari 10 regeneran yang terpilih adalah 0,46-0,86 atau keragaman sebesar 14-54%. Penyambungan/grafting antara regeneran sebagai batang atas dan JC sebagai batang bawah menunjukkan persentase pertumbuhan sebesar 75-80%. Kata kunci: Jeruk Siam, kultur protoplas, embrio somatik, iradiasi sinar Gamma, grafting. ABSTRACT Tangerine cv. Siam has sweet and juicy flesh. However, it has many seeds (15-20 seeds per fruit), so it can not compete with citrus from other countries. The objective of this research was to increase variation of Tangerine cv. Siam through Gamma irradiation treatment on callus from protoplast culture. Calli irradiated at doses of 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 gray. The result of radiosensitivity dose was 53,25 gray. Observation on the growth of callus 4 weeks after irradiation showed at low doses (10-50 gray) callus growth was not inhibited, but at high doses ( gray) callus growth was inhibited. Gamma irradiation also affects the formation of somatic embryos. After 4 weeks on MW medium containing 0.5 mg/l ABA, 50 gray callus produced more somatic embryos than other doses. After 4 weeks on MW medium containing 0.5 mg/l GA 3, 96,8%somatic embryos of 60 gray can germinate and that of 50 gray was 75,9%. Dendogram based on morphological observation showed coeficient of similarity between 10 regenerants was 0,46-0,86 or 14-54% morphological variability. Grafting between regenerant shoots as scion and JC as rootstock has enhaced optimal growth of regenerant. The growth percentage of regenerants was 75-80%. Keywords: Tangerine cv.siam, protoplast, somatic embryos, Gamma irradiation, grafting. 1

2 PENDAHULUAN Tanaman hortikultura memberikan kontribusi yang cukup besar dalam kebutuhan pangan, peningkatan ekspor, peningkatan pendapatan petani dan pemenuhan gizi keluarga. Indonesia memiliki 323 komoditas hortikultura yang terdiri dari buah buahan, sayuran, biofarmaka dan tanaman hias. Jeruk termasuk dalam 10 komoditas utama hortikultura yang telah ditetapkan Departemen Pertanian sejak tahun Tanaman jeruk sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan di negara negara tropis Asia lainnya. Produksi jeruk Indonesia dalam 10 tahun terakhir semakin meningkat sekitar 400 ribu ton per tahun (BPS, 2012). Di Indonesia pasar jeruk Siam lebih mendominasi dibandingkan jeruk yang lainnya. Jeruk Siam memiliki rasa yang cukup manis namun belum sesuai dengan kategori yang diinginkan pasar dunia untuk dikonsumsi dalam keadaan segar. Kriteria jeruk yang digemari konsumen adalah buahnya memiliki biji sedikit atau tanpa biji (seedless), mudah dikupas dan memiliki warna yang menarik atau pigmented (Spiegel-Roy & Goldschmidt, 1996). Jeruk Siam masih mempunyai biji yang relatif banyak (15-20 biji per buah) dan warna kulit yang belum begitu menarik, sehingga kalah bersaing dengan jeruk produk negara lain (Husni et al. 2008). Peningkatan kualitas jeruk yang sesuai dengan keinginan pasar dapat dilakukan dengan pemuliaan. Bahan dasar pemuliaan yang terpenting adalah keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas pada karakter yang dikehendaki akan menghasilkan program pemuliaan yang lebih efisien. Keragaman genetik dapat diperluas dengan berbagai cara, yaitu introduksi, eksplorasi, hibridisasi/persilangan, mutasi dan transformasi genetik. Keragaman genetik dapat pula terjadi karena teknik kultur jaringan yang disebut variasi somaklonal. Kawata dan Oono (1998) menyatakan bahwa keragaman genetik lebih sering terjadi pada kultur protoplas dibandingkan teknik kultur in vitro yang lain. Penggunaan mutagen fisik selama periode kultur jaringan, dapat meningkatkan keragaman genetik (Predieri, 2001). Keragaman genetik yang dihasilkan dapat diseleksi untuk 2

3 beberapa tujuan, seperti ketahanan terhadap penyakit, cekaman abiotik, perbaikan warna kulit buah, seedless dan lain-lain. Peluang keberhasilan peningkatan keragaman genetik jeruk Siam melalui variasi somaklonal pada kalus hasil kultur protoplas sangat tinggi, karena sistem regenerasi jeruk Siam melalui embriogenesis somatik telah berhasil dilakukan oleh Husni et al. (2010). Penelitian ini bertujuan untuk memperluas keragaman genetik jeruk Siam menggunakan kalus hasil kultur protoplas dan perlakuan mutagen sinar gamma serta mengevaluasi keragaman tunas regeneran yang dihasilkan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 September Perlakuan iradiasi sinar Gamma dilakukan di PATIR BATAN Pasar Jumat, Jakarta. Penelitian in vitro dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Dep. Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus embriogenik hasil kultur protoplas jeruk Siam Pontianak. Kalus yang berasal dari kultur protoplas tersebut telah berumur antara 4 5 tahun sejak inisiasi dan dilakukan subkultur setiap bulan untuk menjaga viabilitasnya. Media yang digunakan merupakan modifikasi MS (Murashige & Skoog), yaitu media MW (Husni et al. 2010). Zat pengatur tumbuh yang digunakan ABA dan GA3. Penelitian ini terdiri atas 4 tahap, yaitu: 1) iradiasi dengan sinar Gamma; 2) regenerasi kalus hasil iradiasi melalui jalur embriogenesis somatik; 3) karakterisasi berdasarkan pertumbuhan dan morfologi tunas regeneran; dan 4) penyambungan tunas regeneran dengan batang bawah secara in vitro dan ex vitro. Tahap 1. Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma Kalus dengan berat +0,5 gram disubkultur ke dalam cawan Petri dan diiradiasi pada Gamma Chamber Cobalt-60 dengan perlakuan dosis: 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 gray (Laju dosis: 0,648 kgy/jam). Kalus hasil iradiasi sinar Gamma kemudian langsung disubkultur ke media MW tanpa zat 3

4 pengatur tumbuh untuk proliferasi kalus. Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Setiap dosis iradiasi terdiri dari 10 ulangan, tiap ulangan terdiri dari 5 kalus, sehingga terdapat 50 satuan percobaan atau 50 kalus tiap dosis. Pengamatan dilakukan terhadap morfologi kalus dan pertambahan berat kalus. Perbedaan setiap perlakuan dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata 5%, apabila hasilnya berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%. Dosis radiosensitivitas dapat dihitung dengan pendekatan Lethal Dose 50 (LD 50 ) yaitu dosis iradiasi yang menyebabkan kematian 50% bahan tanaman yang diradiasi atau Growth Reduction 50 (GR 50 ), yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004). Dosis radiosensitivitas kalus Jeruk Siam hasil kultur protoplas dihitung dengan pendekatan GR 50 yang diperoleh dari analisis data pertumbuhan kalus dengan menggunakan software CurveExpert 1.4. Tahap 2. Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma Setelah 4 minggu, kalus diregenerasikan melalui jalur embriogenesis somatik yang terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendewasaan embrio somatik serta tahap perkecambahan embrio somatik. Media yang digunakan pada tahap pendewasaan embrio somatik adalah media MW dengan penambahan 0,5 mg/l ABA (Husni et al. 2010) sedangkan pada tahap perkecambahan digunakan media MW dengan penambahan 0,5 mg/l GA 3 (Husni et al. 2010). Peubah yang diamati pada tahap pendewasaan adalah persentase kalus membentuk embrio somatik dan jumlah embrio somatik yang terbentuk, sedangkan pada tahap perkecambahan adalah persentase embrio somatik yang berkecambah dan jumlah kecambah yang dihasilkan. Tahap 3. Karakterisasi Berdasarkan Pertumbuhan dan Morfologi Tunas Regeneran Tunas atau kecambah in vitro yang dihasilkan kemudian disubkultur sebanyak 4 kali ke media tanpa zat pengatur tumbuh. Selanjutnya dilakukan evaluasi atau karakterisasi morfologi secara in vitro dengan mengamati karakter bentuk, warna dan tepi daun, jumlah daun, ukuran stomata, tinggi tunas, jumlah cabang, serta jumlah akar. 4

5 Data karakter morfologi tersebut diubah menjadi data biner dengan skoring data. Data biner kemudian dianalisis menggunakan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Means) dengan fungsi SIMQUAL menjadi dendogram melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) versi 2.02 (Rohlf 1998). Tahap 4. Penyambungan Tunas Regeneran dengan Batang Bawah Secara In Vitro dan Secara Ex Vitro Tujuan dari tahap ini adalah mengetahui kemampuan regeneran untuk tumbuh setelah dilakukan penyambungan dengan batang bawah secara in vitro (micrografting) dan secara ex vitro (sambung pucuk). Penyambungan secara in vitro dilakukan antara tunas regeneran in vitro dengan batang bawah JC (Japansche Citroen) yang berasal dari perkecambahan biji secara in vitro dan berumur +3 bulan. Penyambungan secara ex vitro dilakukan antara tunas regeneran in vitro dengan batang bawah JC yang berasal dari perkecambahan biji di polibag dan berumur +9 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tunas batang atas, jumlah daun yang terbentuk dan persentase kemampuan tumbuh setelah penyambungan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1. Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma Keragaman respon pertumbuhan kalus pada berbagai taraf dosis dapat diamati pada minggu ke 4 setelah iradiasi sinar Gamma. Secara umum, warna kalus sebelum iradiasi adalah putih kekuningan. Pengamatan 4 minggu setelah iradiasi menunjukkan adanya perubahan warna kalus menjadi putih kehijauan pada beberapa dosis, yaitu dosis 20, 50 dan 90 gray, sedangkan pada dosis 70 gray, warna kalus berubah menjadi kecoklatan. Kalus pada dosis 0, 10, 30, 40, 60, 80 dan 100 gray tidak nampak adanya perubahan warna (Tabel 1). Tabel 1. Persentase perubahan warna kalus 4 minggu setelah iradiasi sinar Gamma Warna kalus Dosis iradiasi sinar Gamma (gray) (%) Putih kekuningan Putih kehijauan Kecoklatan

6 Pertambahan berat kalus (Gram) Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2012 Kalus umur 4 minggu setelah iradiasi juga menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap pertambahan beratnya (Gambar 1). Kalus tanpa iradiasi (kontrol) menunjukkan pertambahan berat tertinggi. Semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin sedikit pertambahan berat kalusnya. Pertambahan berat kalus menunjukkan adanya proliferasi sel-sel kalus setelah iradiasi sinar Gamma. Selsel kalus pada dosis 10 sampai 50 gray, masih berproliferasi meskipun tidak sebanyak kalus kontrol. Perlakuan iradiasi pada dosis tinggi ( gray) menunjukkan terjadinya penghambatan pertumbuhan sel-sel kalus meskipun tidak sampai mengakibatkan kematian sel ,59 a 1,27 bc 1,42 ab ,07 c 0,98 c 1,05 c 0,50 d 0,44 d 0,51 d 0,49 d 0,30 d Dosis iradiasi sinar Gamma (Gray) Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Gambar 1. Pertambahan berat kalus 4 minggu setelah iradiasi sinar Gamma. Perubahan warna kalus dan perbedaan berat kalus setelah iradiasi Gamma merupakan respon yang terkait dengan terjadinya proses ionisasi yang mengakibatkan rusaknya ikatan atom pada molekul sehingga molekul melepaskan elektron, berubah muatannya dan menjadi ion. Ion atau radikal bebas ini akan merusak jaringan secara fisik kemudian mengubah atau mempengaruhi reaksi kimia pada sel sehingga berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel (van Harten, 1998). Radiosensitivitas sel atau jaringan eksplan terhadap iradiasi sinar Gamma dapat ditentukan dengan pendekatan Growth Reduction 50 (GR 50 ) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004). Analisis terhadap data pertumbuhan kalus dengan menggunakan software CurveExpert 1.4 menghasilkan beberapa model regresi. Pemilihan model regresi terbaik didasarkan pada kecilnya ragam (S) dan besarnya 6

7 Persentase Pertumbuhan Kalus (%) Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2012 koefisien determinasi (r). Gambar 2 menampilkan model regresi terbaik yaitu Gaussian Model dengan S = 8,92 dan r = 0,96. Berdasarkan curve-fit analysis, dosis 53,25 gray dapat digunakan sebagai dosis acuan yang mengindikasikan kalus masih dapat recovery setelah diradiasi. Pada kisaran dosis tersebut (50-60 gray) diharapkan dapat diperoleh banyak varian atau mutan S = r = Dosis Iradiasi Gamma (Gray) Gambar 2. Kurva Gaussian Model dari persentase pertumbuhan kalus setelah perlakuan iradiasi sinar Gamma. Tahap 2. Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma Hasil yang diharapkan dari perlakuan induksi mutasi adalah diperolehnya mutan yang solid atau stabil. Apabila kalus embriogenik diiradiasi maka kemungkinan untuk menghasilkan mutan solid sangat besar, karena kultur kalus atau embrio somatik berasal dari satu sel (Maluszynski et al. 1995). Kelemahannya ialah bagian tersebut memiliki daya regenerasi yang rendah (van Harten, 1998). Oleh karena itu, pada penelitian ini juga diamati kemampuan kalus dalam membentuk embrio somatik serta kemampuan perkecambahan embrio somatik. Pengamatan yang dilakukan 4 minggu setelah kalus berada pada media MW yang mengandung 0,5 mg/l ABA menunjukkan bahwa persentase tertinggi kalus yang membentuk embrio adalah pada dosis 50 gray (80%) dan diikuti oleh dosis 60 gray (46%), sedangkan persentase kalus kontrol yang mampu menghasilkan embrio somatik adalah 26% (Gambar 3). Tingginya persentase pembentukan embrio somatik pada dosis tersebut telah diindikasikan dengan perubahan warna kalus menjadi putih kehijauan pada 4 minggu setelah iradiasi. Kalus yang 7

8 berwarna putih kekuningan pada dosis 10, 20, 30 dan 90 gray juga mampu membentuk embrio, walaupun tidak sebanyak dosis 50 dan 60 gray. Kalus pada dosis yang lainnya (40, 70 dan 80 gray) selama 4 minggu di media MW yang mengandung 0,5 mg/l ABA masih belum mampu membentuk embrio somatik. Gambar 3. Persentase pembentukan embrio somatik. Tahap berikutnya adalah tahap perkecambahan embrio somatik. Pengamatan 4 minggu setelah embrio somatik disubkultur ke media MW dengan penambahan 0,5 mg/l GA 3 menunjukkan bahwa 96,8% embrio somatik dari dosis 60 gray berkecambah lebih banyak dibandingkan dosis 50 gray (75,9%). Embrio somatik pada kontrol (0 gray) mampu berkecambah 100% (Gambar 4). Embrio somatik yang dihasilkan dari kalus dosis 10, 20, 30 dan 90 gray belum mampu berkecambah sampai dengan 4 minggu pengamatan. Pembentukan dan perkecambahan embrio somatik dari kalus yang diradiasi disajikan pada Gambar 5. Gambar 4. Persentase perkecambahan embrio somatik. Fenomena yang diperoleh tersebut dapat menggambarkan beragamnya respon pertumbuhan kalus dan kemampuan kalus beregenerasi menjadi embrio dan kemampuan embrio untuk berkecambah menjadi tunas. Menurut Nwachukwu et al. (2009) keragaman yang terjadi pada generasi MV 1 akibat iradiasi sinar Gamma dapat disebabkan oleh akumulasi pengaruh kerusakan fisiologis, mutasi gen dan mutasi kromosom. Namun, kerusakan fisiologis memberikan kontribusi 8

9 yang lebih besar dibandingkan mutasi gen maupun kromosom. Perlakuan iradiasi sinar Gamma terhadap kalus telah mengakibatkan terjadinya perubahan pada sel dan mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan sel-sel kalus untuk beregenerasi menjadi tunas. Gambar 5. Pembentukan dan perkembangan embrio somatik. Keseluruhan hasil dari tahap kedua ini disajikan pada Tabel 2. Total embrio somatik yang dihasilkan dari penanaman selama 4 minggu pada media MW yang ditambah 0,5 mg/l ABA adalah 151, yang terdiri dari 16 embrio somatik dari kalus protoplas tanpa iradiasi dan 135 embrio somatik berasal dari kalus protoplas dengan perlakuan iradiasi. Total embrio somatik yang mampu berkecambah setelah 4 minggu ditanam dalam media MW dengan 0,5 mg/l GA 3 adalah 109. Jumlah tunas regeneran yang dihasilkan pada tahap kedua ini adalah 72 regeneran. Tabel 2. Pengaruh iradiasi sinar Gamma terhadap pembentukan embrio somatik, kecambah dan tunas regeneran Dosis (gray) Jumlah embrio Jumlah & persentase Jumlah & persentase tunas somatik embrio berkecambah regeneran Total ,8% 66,1% Tahap 3. Karakterisasi Berdasarkan Pertumbuhan dan Morfologi Tunas Regeneran Pengamatan terhadap tunas regeneran yang dihasilkan dari perkecambahan embrio somatik hasil iradiasi kalus menunjukkan adanya keragaman karakter morfologi. Baihaki (1999) menyatakan bahwa adanya variasi dari suatu populasi 9

10 dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi. Pengamatan dan pengukuran terhadap karakter morfologi disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh pada enam karakter kuantitatif yang diamati secara in vitro, maka perlakuan iradiasi dosis 50 gray memperlihatkan penampilan yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Pertumbuhan tunas pada dosis 50 gray menunjukkan nilai yang lebih baik pula dibandingkan tunas tanpa iradiasi. Namun, peningkatan dosis diatas 50 gray menunjukkan nilai yang cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan yang terjadi akibat iradiasi sinar Gamma ternyata dapat bersifat positif dan juga negatif, tergantung dari level dosis yang diaplikasikan. Tabel 3. Kisaran, nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi dari karakter yang diamati Karakter Dosis (gray) Kisaran Rataan Ragam Standar deviasi 0 0,7 2,8 1,83 0,40 0,64 Tinggi tunas (cm) 50 1,1 3 2,05 0,23 0, ,3 3,8 2,00 0,81 0, ,94 1,93 1,39 Jumlah cabang ,04 0,92 0, ,67 0,99 0, ,75 3,40 1,85 Jumlah daun ,12 2,51 1, ,20 1,27 1, ,08 20,34 19,31 0,22 0,47 Panjang stomata 50 14,63 27,53 20,61 9,82 3,13 (µm) 60 17,27 28,21 20,06 8,39 2,90 Lebar stomata (µm) Jumlah akar 0 16,21 18,59 17,04 0,68 0, ,47 21,92 16,28 5,24 2, ,07 19,64 15,76 3,10 1, ,38 0,52 0, ,23 0,34 0, ,13 0,12 0,35 Karakter tinggi tunas, panjang serta lebar stomata pada tunas hasil iradiasi kalus menunjukkan adanya peningkatan ragam dibandingkan tunas asal kalus tanpa iradiasi (kontrol). Kisaran tinggi tunas 60 gray (0,3-3,8 cm) lebih luas dibandingkan tunas kontrol (0,7-2,8 cm) dan tunas 50 gray (1,1-3 cm). Jumlah cabang, jumlah daun dan jumlah akar pada tunas hasil iradiasi kalus lebih sedikit dibanding tunas asal kalus tanpa iradiasi. Pertumbuhan daun dan akar pada tunas hasil iradiasi kalus tidak secepat dan sebanyak tunas asal kalus tanpa iradiasi. 10

11 Salah satu akibat pemberian iradiasi adalah berkurangnya jumlah auksin bebas dalam tanaman, yang dapat menyebabkan kerusakan seluler pada jaringan meristem, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat (Fauza et al. 2005). Karakter morfologi yang bersifat kualitatif seperti warna dan bentuk daun juga beragam. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau. Bentuk daun bervariasi seperti elips, lanset atau berbentuk abnormal (Gambar 6). a b c d e f g h i j Keterangan: a. P2 (protoplas), b. P8 (protoplas), c (50 Gy), d (50 Gy), e (50 Gy), f (50 Gy), g (60 Gy), h (60 Gy), i (60 Gy), j (60 Gy) Gambar 6. Kenampakan morfologi regeneran in vitro jeruk Siam. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologi dan pertumbuhannya, maka dari 72 regeneran terpilih 10 regeneran yang beragam secara morfologi (Gambar 6). Analisis gerombol dengan metode UPGMA dihasilkan dendogram dengan keragaman morfologi sebesar 0,14-0,54 (Gambar 7). Apabila diamati penyebaran dari 10 regeneran, maka tunas yang berasal dari kalus tanpa iradiasi (kontrol) terbagi dalam 2 kelompok yang berbeda. Artinya bahwa tunas kontrol sendiri sudah memiliki variasi dalam karakter warna dan bentuk daun. Kedua tunas kontrol tersebut memiliki keragaman morfologi sebesar 0,54. Demikian pula tunas hasil iradiasi kalus pada dosis 50 dan 60 gray juga menyebar pada kedua kelompok. Kelompok I terbagi menjadi 2 sub-kelompok A dan B pada koefisien keragaman 0,43.Sub-kelompok A dengan koefisisen keragaman berkisar 0,29-0,43, terdiri dari tunas kontrol dan tunas hasil iradiasi kalus, sedangkan pada sub-kelompok B dengan koefisien keragaman berkisar 0,14-0,43 hanya terdiri dari tunas hasil iradiasi kalus. 11

12 Bila dibandingkan dengan kelompok I, maka koefisien keragaman morfologi pada kelompok II lebih sempit (0,14-0,29). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan iradiasi bersifat individual, artinya bahwa perlakuan dosis iradiasi yang sama terhadap tanaman dapat memberikan respon yang berbeda. I II A B Coefficient of similarity P P Gambar 7. Dendogram berdasarkan karakter morfologi hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA. Tahap 4. Penyambungan Tunas Regeneran dengan Batang Bawah Secara In Vitro dan Secara Ex Vitro Tunas regeneran yang digunakan sebagai batang atas menunjukkan adanya pertumbuhan setelah penyambungan secara in vitro (Gambar 8) maupun secara ex vitro (Gambar 9). Dua bulan setelah penyambungan secara in vitro, batang atas mulai tumbuh daun sebanyak 3-6 lembar dengan tinggi tunas 2-3 cm. Pengamatan satu bulan setelah penyambungan secara ex vitro juga menunjukkan pertumbuhan daun sebanyak 2-3 lembar dengan tinggi tunas 2,5-3,5 cm. Persentase tunas regeneran yang mampu tumbuh setelah penyambungan secara in vitro maupun secara ex vitro sebesar 75-80%. 1 2 a b c d Keterangan: a) 1). Batang atas, 2). Batang bawah b) Dua minggu setelah penyambungan c) Empat minggu setelah penyambungan d) Delapan minggu setelah penyambungan Gambar 8. Penyambungan secara in vitro. 12

13 a b c d Keterangan: a) Batang atas; b) Batang bawah c) Awal penyambungan d) Empat minggu setelah penyambungan Gambar 9. Penyambungan secara ex vitro. KESIMPULAN Perlakuan iradiasi sinar Gamma terhadap kalus jeruk Siam hasil kultur protoplas menghasilkan respon pertumbuhan kalus yang beragam. Semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin terhambat pertumbuhan kalusnya. Dosis radiosensitivitas (GR 50 ) diperoleh sebesar 53,25 gray. Kisaran dosis tersebut (50-60 gray) dapat dijadikan dosis referensi perlakuan iradiasi sinar Gamma untuk menginduksi mutasi pada jeruk Siam. Kemampuan regenerasi kalus membentuk embrio somatik sangat beragam. Persentase tertinggi kalus membentuk embrio somatik diperoleh pada dosis 50 gray (80%), persentase perkecambahan tertinggi pada perlakuan iradiasi ditunjukkan oleh dosis 60 gray (96,8%). Jumlah total regeneran yang dihasilkan adalah 72. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologi dan pertumbuhannya terpilih 10 regeneran yang memiliki keragaman morfologi sebesar 0,14-0,54. Teknik penyambungan antara regeneran sebagai batang atas, dengan JC sebagai batang bawah secara in vitro maupun ex vitro menunjukkan persentase pertumbuhan tunas regeneran sebesar 75-80%. DAFTAR PUSTAKA Amano E Practical suggestions for mutation breeding. Di dalam: Medina FIS, Amano E, Tano S, editor. Mutation Breeding Manual. Japan: FNCA.hlm: [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi Buah buahan di Indonesia. [6 Mei 2012]. 13

14 Baihaki A Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Fauza H, Karmana MH, Rostini N, Mariska I Pertumbuhan dan variabilitas fenotipik manggis hasil iradiasi sinar Gamma. Zuriat. 16(2): Husni A, Kosmiatin M, Mariska I, Martasari C Studi isolasi protoplas pada jeruk Siam. Di dalam: Winarno M, Sabari, Subandiyah S, Setyobudi L, Supriyanto A, editor. Seminar Nasional Jeruk. Prosiding Seminar Jeruk; Yogyakarta, Juni Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura hlm Husni A, Purwito A, Mariska I, Sudarsono Regenerasi jeruk Siam melalui embriogenesis somatik. Jurnal AgroBiogen. 6(2): Kawata M, Oono K Protoclonal variation in crop improvement. Di dalam: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS, editor. Somaclonal Variation and Induce Mutations in Crop Improvement. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. hlm Nwachukwu EC, Mbanaso ENA, Nwosu KI The development of new genotype of white yam by mutation induction using yam minitubers. Di dalam: Shu QY, editor. Induced Plant Mutations in the Genomics Era. Rome Italy: IAEA-FAO. hlm Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjörnsson B Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85: Predieri S Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell, Tisuue and Organ Culture. 64: Rohlf FJ NTSYS-PC: Numerical Taxonomic and Multivariate Analysis system. Version User Guide Exeter Software. New York: Exeter Publishing Co.Ltd. Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE Biology of Citrus. New York: Cambridge University Press. van Harten AM Mutation Breeding, Theory and Practical Applications. Cambridge USA: Cambridge University Press. 14

15 VARIETAS IKAN MAS TUMBUH CEPAT DAN TAHAN INFEKSI VIRUS KOIHERPES: PRODUKSI KETURUNAN KEDUA (Fast Growth and Koiherpes Virus-Resistant Common Carp Strain: Production of Second Generation) Alimuddin 1), Sri Nuryati 1), Nurly Faridah 2), Ayi Santika 2) 1) Dep. Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 2) Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan ikan mas transgenik generasi kedua (F2) yang tumbuh cepat dan tahan infeksi KHV. Ikan transgenik F2 diproduksi dengan cara mengawinkan antara ikan mas betina non-transgenik (B) yang mempunyai marka molekuler ketahanan terhadap KHV dan ikan mas jantan (Jg) transgenik generasi pertama (F1) yang mengekspresikan gen hormon pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari enam persilangan, peningkatan bobot tubuh, sintasan di kolam, dan biomassa tertinggi diperoleh pada persilangan B1xJg2, yaitu berturut-turut sekitar 31%, 70%, dan 123% dibandingkan dengan kontrol non-transgenik. Analisis PCR dan uji tantang dengan virus KHV menunjukkan keterkaitan yang kuat antara keberadaan marka molekuler dengan sintasan ikan. Selanjutnya, ikan transgenik F2 juga diproduksi dengan cara menyilangkan antar ikan transgenik F1 yang mempunyai marka molekuler (BgxJg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata bobot populasi (RBP) ikan dari sembilan persilangan BgxJg adalah sekitar 47% lebih tinggi daripada RBP ikan non-transgenik, sedangkan sintasannya relatif sama kecuali persilangan B2xJ1 dengan sintasan sangat rendah. Analisis PCR menunjukkan bahwa ikan yang berukuran minimal 4 kali lebih tinggi daripada RBP semua transgenik, sekitar 80% ikan dengan bobot sekitar 2 kali lebih tinggi daripada RBP adalah transgenik, sedangkan yang berukuran jauh lebih kecil dari RBP semua bukan transgenik. Selanjutnya, persentase keturunan BgxJg transgenik dan membawa marka adalah sekitar 42%, dan ikan ini akan diidentifikasi lebih lanjut untuk memperoleh ikan transgenik homosigot. Sebagai kesimpulan bahwa ikan transgenik F2 tumbuh cepat dan tahan KHV telah berhasil diproduksi. Kata kunci: Tumbuh cepat, tahan penyakit, virus koiherpes, transgenik, ikan mas. ABSTRACT This research was performed to produce common carp transgenic second generation (F2) that fast growth and resistant to KHV. Transgenic F2 fish was produced by crossing between female non-transgenic common carp (B) having a molecular marker for resistant to KHV infection and male transgenic F1 expressing growth hormone gene (Jg). The results showed that of the six crosses, the highest increased body weight, pond survival, and biomass was obtained in B1xJg2, i.e. 31%, 70%, and 123% compared with control non-transgenic fish, respectively. The PCR analysis and KHV challenge test showed strong linkage between the present of molecular marker and survival of fish. Furthermore, F2 transgenic fish were also produced by crossing between F1 transgenic fish that have molecular markers (BgxJg). The results showed that average body weight of population (ABWP) from nine crosses BgxJg was about 47% higher than the ABWP of nontransgenic progenies, while their survival was similar except for B2xJ1 progenies that have lower survival. The result of PCR analysis showed that all the fish which the average body weight (ABW) of at least 4 times higher than the AWBP was carrying the transgene, approximately 80% of the fish with ABW of about 2 times higher than the 15

16 ABWP was carrying the transgene, while all smaller fish than the ABWP did not carry the transgene. In addition, percentage of BgxJg progenies as transgenic fish and have the molecular marker was about 42%, and those fish will be indentified further to obtain a homozygous transgenic fish which is very useful in mass production of transgenic fish. As conclusion that the fast-growing transgenic F2 and KHV-resistant common carp has successfully been obtained. Keywords: Fast growth, disease resistance, koiherpes virus, transgenic, common carp. PENDAHULUAN Varietas ikan unggul pada karakter tertentu umumnya diproduksi menggunakan metode seleksi (selective breeding). Akan tetapi, penggunaan metode seleksi untuk mendapatkan varietas dengan 2 karakter unggul yang berbeda, misal pertumbuhan dan daya tahan terhadap infeksi penyakit dalam waktu yang bersamaan adalah relatif kompleks. Selain itu, produksi ikan mas unggul menggunakan metode seleksi membutuhkan waktu relatif lama untuk mendapatkan peningkatan kualitas yang signifikan, karena setiap generasi membutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun. Peningkatan kualitas genetik menggunakan metode seleksi adalah sekitar 10% per generasi, sehingga dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk memperoleh peningkatan kualitas 100%. Alternatif metode cepat untuk meningkatkan pertumbuhan ikan adalah menggunakan metode transgenesis. Aplikasi transgenesis telah dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan ikan secara spektakuler (lebih dari 100%) dalam waktu relatif singkat; 3 generasi (Devlin et al. 1994; Nam et al. 2001; Kobayashi et al. 2007). Gen yang disisipkan (transgen) adalah penyandi hormon pertumbuhan. Dalam rangka perakitan varietas ikan mas tumbuh cepat, kami telah menghasilkan ikan mas transgenik founder (F0) dan keturunan pertama (F1) yang mengekspresikan gen penyandi hormon pertumbuhan ikan nila (Faridah et al. 2011). Ikan transgenik F1 masih bersifat heterosigot dengan peningkatan laju pertumbuhan bervariasi antar individu. Selanjutnya, hasil perkawinan antara ikan transgenik F1 dan ikan non-transgenik umumnya menghasilkan ikan transgenik F2 sebanyak 50% dengan pertumbuhan relatif sama antar individu, dan 50% sisanya adalah non-transgenik. 16

17 Dalam rangka produksi ikan mas transgenik secara massal, maka induk ikan mas transgenik homosigot perlu diproduksi terlebih dahulu. Ikan transgenik homosigot umumnya dihasilkan melalui perkawinan antar ikan transgenik F2. Untuk menghemat waktu, perkawinan antar ikan transgenik F1 juga dapat dilakukan untuk menghasilkan ikan transgenik homosigot. Selanjutnya, ikan transgenik homosigot dapat diidentifikasi melalui uji progeni, dan menggunakan metode real-time PCR (Alimuddin et al. 2007). Aplikasi marka molekular dalam program seleksi (marker-assisted selection) diduga dapat mempercepat proses produksi varietas ikan mas tahan penyakit. Dengan menggunakan metode PCR dan primer spesifik (marka) Cyca- DAB1*05, ikan mas yang menghasilkan benih yang lebih tahan terhadap infeksi virus koiherpes (KHV) telah berhasil diidentifikasi (Alimuddin et al. 2011a). Secara teoritis, ikan mas hasil persilangan antar induk yang mempunyai marka molekular tersebut sebagian besar mempunyai marka (heterosigot atau homosigot), dan sisanya tidak mempunyai marka. Selanjutnya, persilangan antara ikan mas yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05 dan ikan mas transgenik homosigot diharapkan akan menghasilkan ikan mas tumbuh cepat dan tahan infeksi KHV. Selanjutnya, budidaya ikan mas tumbuh cepat dan tahan infeksi KHV diharapkan dapat mendukung keberlanjutan usaha budidaya ikan mas di Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan perkawinan antara ikan mas transgenik F1 dan ikan mas non-transgenik yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05, dan perkawinan antar ikan transgenik F1 yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05 untuk menghasilkan ikan mas transgenik F2 yang mempunyai marka molekuler tersebut. METODE PENELITIAN Identifikasi Ikan Mas Transgenik dan Mempunyai Marka Cyca-DAB1*05 Individu ikan mas transgenik dan yang mempunyai marka DNA Cyca- DAB1*05 diidentifikasi menggunakan metode PCR dengan DNA genom sebagai cetakan. DNA genom diekstraksi dari sirip ekor ikan mas menggunakan kit DNA isolation (Qiagen) dengan cara seperti dalam manual. Reaksi amplifikasi PCR 17

18 mengandung 10x bufer Ex Taq, dntps 200 µm, Ex Taq polymerase 0,125 U, DNA genom 1 µl, dan primer forward dan reverse masing-masing 1 pmol. Amplifikasi PCR dilakukan dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94 o C selama 30 detik, annealing pada suhu 62 o C selama 30 detik, dan ekstensi pada suhu 72 o C selama 30 detik. Primer yang digunakan dalam identifikasi ikan mas transgenik adalah primer forward 5 -ACGTTACCCGTCCGAGTTGA-3 dan reverse 5 -TGAGTCGACCAATG- CAACACATTTATTTCACAGAT-3 (Kobayashi et al. 2007). Identifikasi ikan mas yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05 adalah menggunakan primer 5 -AATGGATACTACTGG-3, dan 5 -TCGCTGACTGTCTGTT-3 (Alimuddin et al. 2011a). Kontrol internal proses PCR menggunakan gen β-aktin dengan primer: 5 -GTGCCCATCTACGAGGGTTA-3 dan 5 -TTTGATGTCACGCACGATTT- 3. Program amplifikasi PCR untuk β-aktin, yaitu: 35 siklus dengan suhu denaturasi 94 C selama 20 detik, annealing 68 C selama 15 detik, dan ekstensi 72 C selama 15 detik. Dua mikroliter produk PCR diseparasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7%. Pita DNA divisualisasi dengan etidium bromida menggunakan sinar ultraviolet. Pemeliharaan Induk dan Induksi Ovulasi Gamet Induk ikan mas transgenik dipelihara di bak beton dalam ruangan in door, sedangkan induk ikan mas non-transgenik yang mempunyai marka Cyca- DAB1*05 dipelihara dalam hapa yang dipasang di kolam beton (ukuran 22x17x3 m). Sampel telur diambil dari induk ikan mas betina menggunakan selang kanulasi untuk memilih ikan yang siap diinduksi ovulasi menggunakan hormon. Ikan mas jantan matang gonad diketahui dengan cara mengurut perut ke arah urogenital; cairan semen berwarna putih keluar saat perut ikan diurut. Induksi ovulasi dilakukan dengan menggunakan ovaprim dengan dosis 0,2 ml/kg bobot tubuh induk ikan mas jantan, dan 0,5 ml/kg bobot tubuh induk mas betina. Induksi dilakukan guna memastikan ikan ovulasi pada waktu yang diinginkan. 18

19 Produksi Ikan Mas Transgenik Keturunan Kedua Pada penelitian ini dibuat dua jenis persilangan untuk menghasilkan ikan mas transgenik keturunan kedua (F2). Persilangan pertama dilakukan dengan mengawinkan ikan mas jantan transgenik keturunan pertama (F1) dengan ikan mas betina non-transgenik yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05. Sebagai kontrol dibuat juga perkawinan antar ikan mas non-transgenik. Setelah diperoleh induk ikan mas betina transgenik F1 yang matang gonad, selanjutnya dibuat persilangan kedua dengan ikan mas jantan transgenik yang mempunyai marka molekuler tersebut. Pada persilangan kedua tersebut terdapat dua ekor dari lima induk ikan mas betina transgenik F1 yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05. Telur dan sperma dikeluarkan dengan cara mengurut (stripping) perut induk ikan ke arah urogenital. Pembuahan telur dilakukan secara buatan dengan mencampur sperma dan telur dalam cawan, kemudian telur disebarkan di kakaban yang diletakkan dalam hapa hijau (ukuran 2x2x1 m). Jumlah telur dibuat relatif sama pada setiap persilangan. Setelah telur menetas, kakaban dikeluarkan dari hapa tersebut. Pemeliharaan, Pertumbuhan dan Sintasan Ikan Mas Transgenik F2 Larva ikan mas diberi pakan berupa naupli Artemia dengan frekuensi 3 kali sehari, hingga dapat memakan pakan buatan. Selanjutnya, benih ikan mas diberi pakan komersial sesuai bukan mulutnya. Setelah berumur sekitar 1 bulan, benih ikan mas dari setiap persilangan dihitung, bobot diukur, kemudian ditebar ke hapa baru yang berukuran sama dengan yang digunakan sebelumnya. Pada umur sekitar 1 bulan, kepadatan benih ikan mas dibuat sama, yaitu 243 ekor/hapa pada ikan hasil persilangan pertama, dan 320 ekor/hapa pada persilangan kedua. Kepadatan ikan tersebut didasarkan pada jumlah ikan yang paling sedikit dari suatu persilangan. Setiap persilangan mempunyai 3 hapa sebagai ulangan. Pada umur 4 bulan, ikan dipelihara di hapa berukuran 3x2x1 m. Ikan diberi pakan komersial 3 kali sehari, secara satiasi (sampai ikan kenyang). Pengukuran bobot ikan dilakukan setiap bulan. Pada bulan pertama pertama bobot ikan diukur per 30 ekor, sedangkan pada sampling bobot berikutnya dilakukan per 19

20 individu ikan. Jumlah ikan yang hidup dihitung pada setiap sampling bobot. Data dianalisis secara deskriptif. Uji Tantang Ikan Mas Transgenik F2 dengan Virus KHV Benih ikan mas transgenik F2 yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05, dan non-transgenik yang tidak mempunyai marka molekuler serta bebas virus KHV diuji tantang dengan virus KHV menggunakan metode kohabitasi di laboratorium secara terkontrol. Identifikasi ikan mas bebas virus dan pelaksanaan uji tantang dilakukan mengikuti metode Nuryati et al. (2010). Uji tantang dilakukan dengan menambahkan 3 ekor ikan mas yang terinfeksi KHV ke setiap akuarium yang telah berisi 30 ekor ikan. Ikan dipelihara selama 30 hari pada suhu air o C, dan diberi pakan komersial 3 kali sehari secara satiasi. Air diganti sebanyak 50% volume akuarium setiap 2 hari, untuk menjaga kualitas air tetap baik. Ikan yang mati dihitung setiap hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Persilangan Antara Ikan Mas Jantan Transgenik F1 dan Ikan Mas Betina Non-Transgenik Enam persilangan dibuat antara ikan jantan transgenik (J) dan ikan mas nontransgenik (B), dan dua persilangan antar ikan mas non-transgenik sebagai kontrol (Gambar 1). Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, bobot rerata ikan mas hasil persilangan ikan mas betina non-transgenik B1 dengan ikan mas jantan transgenik (B1J1, B1J2, B1J3) relatif lebih tinggi daripada kontrol B1Jk dan B2Jk. Demikian juga dengan sintasan (di kolam) dan biomassa ikan B1J1, B1J2, dan B1J3 relatif lebih tinggi daripada kedua kontrol tersebut. Peningkatan bobot, sintasan, dan biomassa tertinggi diperoleh pada B1J2, yaitu berturut-turut sekitar 31%, 70%, dan 123% dibandingkan dengan kontrol B1Jk. Sementara itu, bobot rerata ikan mas hasil persilangan ikan mas betina non-transgenik B2 dengan ikan mas jantan transgenik (B2J1, B2J2, B2J3) relatif sama dengan kontrol B1Jk dan B2Jk, tetapi sintasan dan biomassanya relatif lebih tinggi daripada kedua kontrol tersebut. Peningkatan sintasan dan biomassa tertinggi diperoleh pada ikan B2J3, yaitu berturut-turut sekitar 29% dan 34% dibandingkan dengan kontrol B2Jk. 20

21 Peningkatan bobot ikan F2 menunjukkan peran ekspresi transgen GH, sementara peningkatan sintasan diduga terkait kuat dengan keberadaan marka Cyca-DAB1*05. Dari hasil analisis PCR terhadap Cyca-DAB1*05 diketahui bahwa dari 30 ekor ikan yang diambil secara acak, terdapat sekitar 83% mempunyai marka Cyca-DAB1*05 (Gambar 2A). Persentase ikan yang membawa marka tersebut relatif sama dengan penelitian sebelumnya (Alimuddin et al. 2011a). Selanjutnya, hasil uji tantang dengan virus KHV di laboratorium juga menunjukkan bahwa ikan transgenik yang mempunyai marka (75,00±11,78%) memiliki sintasan lebih tinggi daripada ikan non-transgenik yang tidak mempunyai marka molekuler tersebut (51,67±7,07%) (Gambar 2B) B1J1 B1J2 B1J3 B2J1 B2J2 B2J3 B1Jk B2Jk Gambar 1. Bobot (g, bar putih), sintasan (%, bar abu-abu), dan biomassa (x10 g, bar hitam) ikan mas hasil persilangan antara ikan mas jantan transgenik keturunan pertama (J) dan ikan mas betina keturunan pertama yang mempunyai marka molekuler Cyca-DAB1*05 (B). No. 1-3: nomor induk ikan mas yang digunakan. Jk: ikan mas jantan non-transgenik yang mempunyai marka molekuler Cyca-DAB1*05. Garis vertikal pada bar menunjukkan simpangan baku dari 3 ulangan. Kepadatan tebar adalah 243 ekor ikan berumur sekitar 1 bulan. Ikan dipelihara selama 3 bulan pada kondisi yang sama di dalam hapa berukuran 2x2x1 m, dan selama 1 bulan berikutnya dalam hapa 3x2x1 m. Secara teoritis terdapat sekitar 50% dari keturunan persilangan antara ikan transgenik dengan non-transgenik adalah ikan transgenik. Oleh karena itu, peningkatan biomassa diduga akan lebih tinggi bila ikan yang dipelihara semua transgenik. Selanjutnya, peningkatan biomassa ikan pada B1J2 (123%) dicapai 21

22 sekitar 12 generasi bila menggunakan metode seleksi dan peningkatan pertumbuhan sekitar 10% per generasi. Dengan demikian, aplikasi metode transgenesis dapat menghemat waktu untuk memperoleh tingkat perbaikan kualitas genetik yang sama dibandingkan dengan seleksi. Selanjutnya, perbedaan peningkatan bobot ikan F2, seperti pada B1J2 dan B2J2 menunjukkan perbedaan genotipe dan perlunya memilih induk betina yang digunakan dalam persilangan. Gambar 2. Identifikasi individu ikan mas transgenik keturunan kedua (F2) hasil perkawinan antara ikan mas jantan transgenik keturunan pertama dengan ikan mas betina non-transgenik yang mempunyai marka molekuler Cyca-DAB1*05 menggunakan metode PCR (A). Sintasan ikan mas transgenik F2 hasil perkawinan antara ikan mas jantan transgenik keturunan pertama dengan ikan mas betina non-transgenik yang mempunyai marka molekuler Cyca-DAB1*05 (bar hitam), dan ikan mas yang tidak mempunyai marka molekuler tersebut (bar putih) setelah uji tantang dengan virus koi herpesvirus (B). Tanda kepala panah pada Gambar 2A menunjukkan ukuran fragmen marker DNA 300 bp. Sintasan (di kolam) ikan hasil persilangan dengan ikan jantan transgenik lebih tinggi daripada kontrol non-transgenik. Secara visual tidak terlihat tandatanda infeksi penyakit, sehingga perbedaan sintasan tersebut diduga terkait dengan perbedaan daya tahan ikan terhadap fluktuasi kondisi air kolam pemeliharaan. Over-ekspresi GH pada ikan transgenik diduga meningkatkan daya tahan ikan terhadap fluktuasi kondisi air kolam. Hal yang serupa telah dilaporan pada ikan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan (rgh) dengan sintasan lebih tinggi daripada yang tidak diberi rgh (Acosta et al. 2009; Alimuddin et al. 2011b; Handoyo et al. 2012). Selain itu, pemberian rgh juga dapat meningkatkan daya tahan ikan terhadap penyakit (Sakai et al. 1997; Acosta et al. 2009). 22

23 Persilangan Antar Ikan Mas Transgenik F1 Sekitar sebulan setelah dilakukan persilangan antara ikan mas jantan transgenik dengan ikan mas betina non-transgenik, diperoleh 5 ekor ikan mas betina transgenik yang matang gonad, sehingga dilakukan persilangan antar ikan mas transgenik untuk memproduksi ikan mas transgenik keturunan kedua. Dengan menggunakan dua ekor jantan yang sama pada penelitian pertama, pemijahan dengan 5 ekor betina menghasilkan 10 persilangan, tetapi ikan hasil persilangan B2J1 tersisa 12 ekor sehingga tidak dimasukkan dalam Tabel 1. Bobot ikan Ikan dipelihara menggunakan metode yang sama dengan penelitian pertama, kecuali kepadatannya (320 ekor per hapa) lebih tinggi daripada penelitian pertama (243 ekor per hapa). Seperti ditampilkan pada Tabel 1, bobot rerata semua populasi adalah 5,10±1,06 g. Pada umur yang sama, bobot rerata ini sekitar 47% lebih tinggi daripada bobot rerata semua populasi ikan persilangan pertama (3,47±0,77 g). Bahkan beberapa ekor ikan dari persilangan tertentu memiliki bobot kali lebih tinggi daripada bobot rerata populasi. Sementara itu, rerata sintasan populasi ikan hasil persilangan kedua (68,66±27,52%) relatif sama dengan persilangan pertama antara ikan transgenik dan non-transgenik (65,00±3,00%). Dengan demikian bobot rerata yang lebih tinggi pada persilangan kedua tersebut diduga karena persentase ikan transgenik dalam populasi lebih tinggi daripada persilangan pertama. Secara teoritis rasio antara ikan transgenik dengan ikan nontransgenik dalam populasi F1 x F1 adalah 3 : 1. Variasi bobot ikan keturunan persilangan kedua cukup tinggi, karena ada beberapa ekor yang memiliki bobot sekitar kali lebih tinggi (Gambar 3) daripada bobot rerata populasi tersebut (4,69-6,82 g). Hal tersebut terdapat pada ikan yang memiliki sintasan kurang dari 80% (Tabel 1, lajur yang diarsir). Tiga persilangan, yakni B2 x J1, B3 x J1, dan B1 x J1 memiliki sintasan terendah, masing-masing adalah 3,75%, 47,81%, dan 55,31%. Kisaran bobot ikan pada keturunan B2 x J1 adalah 2,70-263,40 g (bobot rerata 49,63 g). Pada kedua persilangan terakhir dengan sintasan rendah tersebut, kisaran bobot ikan yang memiliki bobot tubuh minimal 2x lebih besar dari bobot rerata populasi adalah 9,90-198,70 g. 23

24 Tabel 1. Sintasan, bobot rerata populasi, jumlah ikan dengan bobot tubuh minimal 2x lebih besar dari bobot rerata populasi, serta bobot rerata individu dan kisaran bobot ikan minimal 2x lebih besar dari bobot rerata populasi Persilangan Bobot rerata populasi (g) Jumlah ikan (sintasan, %) Jumlah ikan ber-ukuran >2x rerata bobot populasi Bobot ikan dengan >2x rerata bobot populasi (g) Kisaran bobot ikan >2x rerata bobot populasi (g) B1 x J1 6,46 ±18, (55,31) 10 58,51 ± 58,10 18,10-198,70 B1 x J2 5,18 ± 3, (80,31) 8 16,86 ± 8,60 10,50-35,20 B2 x J2 4,30 ± 2, (89,38) 14 12,76 ± 3,32 8,60-19,30 B3 x J1 4,69 ±16, (47,81) 5 51,73 ± 71,54 9,90-194,60 B3 x J2 5,27 ± 8, (74,69) 7 36,22 ± 41,01 14,00-128,23 B4 x J1 6,82 ± 6, (71,25) 10 28,61 ± 21,13 14,30-86,00 B4 x J2 6,25 ± 8, (75,00) 13 35,05 ± 15,71 15,80-63,60 B5 x J1 3,75 ± 1, (93,13) 12 10,60 ± 3,02 7,70-18,10 B5 x J2 5,74 ± 2, (95,94) 6 16,73 ± 2,41 15,00-20,40 Keterangan: Persilangan Bm x Jn artinya ikan betina transgenik no. m dikawinkan dengan ikan jantan transgenik no. n. Kedua ikan transgenik tersebut mempunyai marka molekuler Cyca-DAB1*05 daya tahan terhadap infeksi KHV. Nilai bobot ditampilkan dalam rerata ± simpangan baku, dari 3 ulangan. Ikan dipelihara selama 3 bulan dalam hapa (ukuran 2x2x1 m) dengan kepadatan 320 ekor/hapa. Hapa dipasang di kolam beton berukuran 22x17x3 m. Gambar 3. Tiga ekor contoh ikan mas transgenik keturunan kedua (panah garis utuh) yang memiliki bobot sekitar kali lebih tinggi daripada rerata bobot populasi (panah garis putus-putus). Ikan dipelihara pada kondisi yang sama selama sekitar 3 bulan di hapa (ukuran 2x2x1 m) yang dipasang di kolam beton (ukuran 22x17x3 m). Seperti pada persilangan pertama, yang menjadi perhatian utama pada persilangan kedua ini adalah populasi ikan yang memiliki bobot minimal 2x lebih tinggi daripada bobot rerata populasi. Jumlah total ikan yang memiliki bobot tubuh minimal 2x lebih besar daripada bobot rerata populasi dari masing-masing persilangan adalah 85 ekor (4% dari total ikan) (Tabel 1). Analisis PCR telah 24

25 dilakukan untuk memastikan apakah ikan yang berukuran besar (beberapa kali lipat dari rerata bobot populasi) membawa transgen, sementara yang kecil sekali (di bawah rerata bobot populasi) tidak membawa transgen. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4A, semua ikan dengan bobot minimal 4 kali lebih tinggi daripada bobot rerata populasi (kolom 6-10) membawa transgen, sekitar 80% ikan dengan bobot sekitar 2 kali lebih tinggi daripada bobot rerata populasi (kolom 11-15) membawa transgen, sekitar 20% ikan dengan bobot sedikit lebih kecil dari rerata bobot populasi adalah membawa transgen, sedangkan yang berukuran kecil sekali semua tidak membawa transgen (kolom 16-20). Hal ini memperkuat keyakinan bahwa peningkatan bobot yang tinggi tersebut terkait dengan over-ekspresi gen GH. M N P A B Gambar 4. Deteksi transgen hormon pertumbuhan (A) pada ikan mas generasi kedua menggunakan metode PCR dengan primer spesifik, dan beta-aktin sebagai kontrol loading DNA (B). M: marker DNA, kolom no. 1-5: produk PCR dengan DNA dari ikan berukuran kecil, no. 6-10: DNA dari ikan berukuran besar, no : DNA dari ikan berukuran sedang, no : DNA dari ikan berukuran kecil sekali. N: produk PCR tanpa cetakan/templat sebagai kontrol negatif, P: produk PCR dengan cetakan plasmid sebagai kontrol positif. Hasil analisis PCR untuk mengidentifikasi status keturunan ikan Bg x Jg dari 2 persilangan (B1J1 dan B3J1) menunjukkan bahwa sekitar 42,5% populasi adalah ikan transgenik yang mempunyai marka molekuler, sekitar 16% adalah ikan transgenik tanpa marka, sekitar 26% ikan non-transgenik mempunyai marka, dan sisanya adalah non-transgenik dan tidak mempunyai marka. Sementara itu, pada keturunan persilangan B2J1 yang memiliki kelangsungan hidup sangat rendah (4%), 75% (8 ekor) ikan B2J1 adalah transgenik dan memiliki marka molekuler, 17% (2 ekor) berupa transgenik tanpa marka, dan sisanya adalah non- 25

26 transgenik dan tidak mempunyai marka. Analisis PCR untuk menentukan status keturunan ikan persilangan B5J1, B4J1, B1J2, B2J2, B3J2, B4J2, B5J2 masih sedang dilakukan. Ikan F2 transgenik dan memiliki marka Cyca-DAB1*05 akan diidentifikasi lebih lanjut untuk memperoleh individu ikan transgenik homosigot. Secara teoritis, persilangan antar ikan transgenik F1 akan menghasilkan ikan transgenik homosigot sekitar 25% populasi. Ikan transgenik homosigot berguna untuk memproduksi ikan transgenik secara massal dengan cara memijahkannya dengan ikan non-transgenik. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya, identifikasi individu ikan transgenik homosigot akan difokuskan pada 85 ekor tersebut (Tabel 1). Individu ikan transgenik homosigot dapat diidentifikasi menggunakan metode real-time PCR (Alimuddin et al. 2007) dan kemudian dapat dikonfirmasi menggunakan uji progeni. Real-time PCR membutuhkan primer spesifik dan tidak menghasilkan dimer. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4A, terdapat dimer (pita DNA di bawah tanda kepala panah) yang cukup tebal. Oleh karena itu, primer baru perlu didesain untuk mendeteksi secara tepat ikan mas transgenik homosigot. Selanjutnya, hasil uji pertumbuhan dan analisis efisiensi pakan pada keturunan ikan transgenik homosigot ini akan menggambarkan potensi nyata peningkatan produktifitas dan efisiensi biaya produksi budidaya ikan mas transgenik. Daya tahan ikan terhadap infeksi penyakit dapat dilakukan melalui uji tantang. Dengan pertimbangan bahwa ikan transgenik F2 Bg x Jg yang dihasilkan akan digunakan untuk identifikasi individu ikan transgenik homosigot pada penelitian selanjutnya, maka pada penelitian ini belum dilakukan uji tantang dengan virus KHV. Uji tantang akan dilakukan pada keturunan hasil persilangan antara ikan transgenik homosigot yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05 dan ikan non-transgenik yang juga mempunyai marka tersebut. Gonad ikan salmon (Devlin et al. 1994) dan ikan mud loach transgenik (Nam et al. 2001) berkembang normal, tetapi ikan nila transgenik (Kobayashi et al. 2007) yang memiliki pertumbuhan sekitar 7 kali lebih tinggi daripada kontrol non-transgenik memiliki gonad relatif kecil; jumlah telur dan sperma relatif sedikit. Seperti halnya ikan transgenik salmon dan mud loach yang tumbuh 26

27 spektakuler, ikan mas transgenik (hasil penelitian ini) yang tumbuh lebih dari dua kali lipat diharapkan memiliki gonad yang normal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan hal ini. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ikan transgenik keturunan kedua yang memiliki pertumbuhan minimal 2 kali lebih cepat dan lebih tahan terhadap infeksi KHV daripada ikan non-transgenik telah berhasil diproduksi. Jumlah ikan keturunan kedua yang memiliki pertumbuhan dua kali atau lebih daripada rerata bobot populasi yang diperoleh dari persilangan antar ikan transgenik keturunan pertama adalah 85 ekor (sekitar 4% populasi). Secara teoritis, terdapat sekitar 25% populasi ikan transgenik tersebut adalah bersifat homosigot. Ikan transgenik homosigot tersebut sangat berguna dalam produksi massal ikan transgenik. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan identifikasi ikan transgenik homosigot. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai melalui Proyek Nomor: 58/I3.24.4/SPK- PUS/IPB/2012. Terima kasih disampaikan kepada Arief Eko Prasetiyo SPi., Dwi Hani Yanti SPi., Anna Octavera SPi. MSi., dan Lina Mulyani yang membantu dalam teknis pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Acosta J, Morales R, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Martínez E, Valdés J, Borroto C, Besada J, Sánchez A, Herrera F Tilapia somatotropin polypeptides: potent enhancers of fish growth and innate immunity. Biotecnología Aplicada, 26: Alimuddin, Yoshizaki G, Carman O Metode cepat untuk identifikasi sigositas pada ikan transgenik. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6: Alimuddin, Mubinun, Santika A, Carman O, Faizal I, Sumantadinata K a. Identification of the majalaya common carp strain resistance to KHV 27

28 infection using Cyca-DAB1*05 allele as a marker. Indonesian Aquaculture Journal, 6: Alimuddin, Budiardi T, Arfah H. 2011b. Teknologi inovasi: meningkatkan pertumbuhan dan produksi benih ikan gurame melalui aplikasi rekombinan hormon pertumbuhan. Laporan Akhir Penelitian Unggulan IPB, DM-IPB No.: 255.7/13.11/PG/2011. Devlin RH, Yesaki TY, Biagi CA, Donaldson EM Extraordinary growth in salmon. Nature, 371: Faridah N, Alimuddin, Hardiantho D, Prasetiyo AE, Yanti DH, Faizal I, Sumantadinata K Pertumbuhan ikan mas transgenik keturunan pertama. Seminar pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, Inna Grand Beach Hotel, Bali Juli Hardiantho D, Prasetiyo AE, Alimuddin, Yanti DH Aplikasi rekombinan hormon pertumbuhan dalam pakan dengan kadar protein rendah pada pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus). Makalah dipresentasikan dalam Simposium Bioteknologi Akuakultur IV tahun 2012 di ICC IPB Bogor, 18 Oktober Kobayashi SI, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T, Yoshizaki G Transgenic Nile tilapia (Oreochromis niloticus) overexpressing growth hormone show reduced ammonia excretion. Aquaculture, 270: Nam YK, Noh JK, Cho YS, Cho HJ, Cho KN, Kim CG, Kim DS Dramatically accelerated growth and extraordinary gigantism of transgenic mud loach (Misgurnus mizolepis). Transgenic Res., 10: Nuryati S, Alimuddin, Sukenda, Soejoedono RD, Santika A, Pasaribu FH, Sumantadinata K Construction of a DNA vaccine using glycoprotein- 25 and its expression towards increasing survival rate of KHV-infected common carp (Cyprinus carpio). Jurnal Natur Indonesia, 13(1): Sakai M, Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H, Immunostimulating effect of growth hormone: in vivo administration of growth hormone in raibow trout enhances resistance to Vibrio anguilarum infection. Veterinary Immunology and Immunopathology, 57:

29 PENGEMBANGAN PENGELOLAAN AIR SAWAH SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DENGAN SISTEM MONITORING LAPANG DI INDONESIA (Developing Water Management of System of Rice Intensification Paddy Field by Field Monitoring System in Indonesia) Budi I. Setiawan 1), Chusnul Arif 1), Satyanto K. Saptomo 1), Ardiansyah 2), Masaru Mizoguchi 3), Ryoichi Doi 3), Tetsu Ito 3), Tsugihiro Watanabe 4) 1) Dep. Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 2) Dep. Teknik Pertanian, Universitas Soedirman. 3) Department of Global Agricultural Sciences, the University of Tokyo, JAPAN. 4) Institute of Humanity and Nature, Kyoto, JAPAN. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk membangun sistem pemantauan lapangan (FMS) dalam mendukung pengelolaan sumber daya air terpadu dari System of Rice Intensification (SRI) sawah di Indonesia. FMS dikembangkan untuk pengukuran meteorologi dan parameter tanah. FMS bekerja sebagai sistem pemantauan jarak jauh mempergunakan FieldRouter yang dilengkapi dengan kamera dan terhubung ke data logger sistem pengukuran meteorologi dan tanah. Perubahan kelembaban dan suhu tanah serta parameter meteorologi diukur dan dimonitor pada interval 30 menit. Kemudian, data dan gambar tanaman setiap hari dikirim ke server dengan menggunakan sistem global untuk komunikasi mobile (GSM). Semua data yang dilakukan secara online dapat diakses di sebagai foto, data numerik dan grafis. Dengan mempergunakan data tersebut, metode baru telah dikembangkan untuk memperkirakan komponen neraca air, seperti irigasi dan evapotranspirasi tanaman untuk mengevaluasi produktifitas air. Selain itu data tersebut juga digunakan untuk melihat respon tanaman terhadap air yang tersedia di lahan diwakili oleh koefisien tanaman (Kc). Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMS efektif, efisien dan dapat diandalkan dalam memantau sawah SRI di Indonesia. Kondisi lapangan yang sebenarnya dapat dipantau dengan baik secara visual, data numerik dan grafis, sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih mudah dipantau. Selain itu koefisien tanaman dan komponen neraca air dapat ditentukan dengan metode yang disajikan dengan menggunakan data pemantauan. Semua data pemantauan ini dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut dalam rangka mendukung pengelolaan sumber air terpadu di bidang padi SRI. Kata kunci: System of rice intensification, lingkungan, irigasi, quasi-realtime monitoring, sumber daya air. ABSTRACT The study was performed for establishing a field monitoring system (FMS) to support integrated water resource management of System of Rice Intensification (SRI) paddy field in Indonesia. FMS was developed in providing meteorological and soil parameters data. FMS works as a remote monitoring system using FieldRouter that is equipped with an in situ camera and connected to meteorological and soil data loggers. Changes in soil moisture and soil temperature and meteorological parameters were measured and monitored at intervals of 30 minutes. Then, the data and plant image were daily transmitted to a remote server by means of the Global System for Mobile communication (GSM). All data were made accessible online at as images in addition 29

30 to numeric and graphic data. By monitoring data, we proposed the novel method to estimate water balance variables, such as irrigation water and crop evapotranspiration to evaluate water productivity. Also, we used the data to evaluate plant response to available water in the field represented by crop coefficient (Kc). The results showed that FMS was effective, efficient and reliable in monitoring SRI paddy fields in Indonesia. The actual field conditions were monitored well in term of image, numeric and graphic data acquisition. With these data, plant growth can be more easily monitored. Also, crop coefficient and water balance variables can be determined by the proposed method using the monitoring data. Furthermore, all monitoring and estimated data can be used for further analysis to support integrated water resource management program in SRI paddy fields. Keywords: System of rice intensification, environmental, irrigation, quasi-real time monitoring, water resource. PENDAHULUAN Tantangan untuk meningkatkan produktifitas padi di Indonesia telah meningkat karena adanya peningkatan populasi dan berkurangnya daerah subur. Selain itu, perubahan iklim telah mempengaruhi irigasi padi selama musim hujan dan kering (De Silva et al. 2007). Pengelolaan tanaman dengan metode System of Rice Intentsification (SRI) diusulkan sebagai metode budidaya alternatif, dengan input yang lebih efisien dengan menyediakan kondisi pertumbuhan yang sesuai di zona akar. Konsep dasarnya adalah penanaman bibit muda tunggal dan jarak yang lebih lebar antara bibit transplantasi, penerapan irigasi berselang, pupuk organik dan aerasi tanah aktif (Uphoff et al. 2011; Stoop et al. 2002). Sejak diperkenalkan pada musim kemarau tahun 1999 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Indonesia, pengelolaan tanaman SRI telah tersebar luas di beberapa daerah melalui beberapa program di Indonesia. Dengan mengadopsi AWDI, penggunaan air dapat dikurangi sampai dengan 40% (Sato et al. 2011; Sato and Uphoff 2007). Namun, ada beberapa keterbatasan dalam mensosialisasikan pengelolaan tanaman SRI di Indonesia, seperti rezim irigasi dan pengendalian air (Gani et al. 2002). Ketidakpastian mengenai dampak perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan untuk pasokan air telah menjadi tantangan untuk pengelolaan air pertanian. Peningkatan suhu dalam perubahan iklim akan meningkatkan evapotranspirasi, seperti yang ditunjukkan oleh Saptomo et al. (2009) dengan simulasi numerik. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan situasi ini adalah 30

31 dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air yang akan mengarah pada penghindaran kehilangan air irigasi, misalnya dengan mengurangi penggunaan genangan di sawah. Metode ini dapat menyediakan kelembaban tanah, evapotranspirasi dan suhu yang berbeda (Saptomo et al. 2011) yang mungkin mempengaruhi produksi. Penelitian lebih lanjut berfokus pada air dan produktifitas lahan dengan mencari irigasi yang optimal. Irigasi dapat lebih dioptimalkan melalui pengembangan sumber daya air terpadu pengelolaan (IWRM) program. Untuk mendukung penelitian ini, diperlukan data yang lengkap pada lingkungan sawah seperti tanah dan data meteorologi dengan pengukuran yang kontinyu. Data kelembaban tanah sangat penting untuk mengidentifikasi ketersediaan air di lapangan. Sementara itu, informasi data meteorologi seperti curah hujan, suhu udara, kelembaban relatif, radiasi matahari dan kecepatan angin yang diperlukan untuk mempertimbangkan efek lingkungan alam dalam menentukan air irigasi. Data curah hujan dapat digunakan untuk menentukan awal musim hujan dan kering seperti di Indonesia (Irsyad 2011), sementara data meteorologi lainnya adalah faktor utama untuk menentukan evapotranspirasi (Allen et al. 1998). Oleh karena itu, sistem pemantauan lapang atau Field Monitoring System (FMS) diperlukan untuk memberikan informasi mengenai data tersebut. Studi pengembangan FMS untuk sawah SRI dimulai sejak tahun 2008 dengan menggunakan Field Server (Setiawan et al. 2010; Gardjito et al ). Kemudian, pada tahun 2010 dilanjutkan dengan peralatan baru, Field Router, untuk memantau SRI sawah di Sukabumi, Jawa Barat (Arif et al. 2011). Sistem ini efektif, efisien dan dapat diandalkan dalam memantau SRI sawah di Indonesia (Mizoguchi et al. 2011). Oleh karena itu, dalam penelitian ini FMS diperluas penggunaannya di Bali dan Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Lembaga Penelitian RIHN, Jepang mulai tahun 2011 berfokus pada program IWRM. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi FMS diperpanjang menggunakan FieldRouter untuk sawah SRI di Bali dan Sulawesi Selatan serta membangun FMS untuk dalam mendukung program IWRM di sawah SRI. 31

32 METODE PENELITIAN SRI Field Monitoring System Sistem pemantauan jarak jauh hybrid FMS dengan FieldRouter, dilengkapi dengan kamera dan terhubung ke data logger meteorologi dan tanah. Davis Vantage Pro2 Weather Station digunakan untuk mengukur dan merekam data radiasi matahari, suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, arah angin dan curah hujan. Konsol peralatan ini terhubung ke Field Router dengan secara nirkabel. Pada lapisan tanah, sensor kelembaban tanah (5TE: kelembaban tanah, temperatur, konduktivitas listrik), yang dikembangkan oleh Decagon Devices, Inc, USA, dipasang pada kedalaman 10-cm dari atas tanah di masing-masing plot dan dihubungkan ke data logger Em50 menggunakan kabel (Gambar 1). Setiap sensor diatur untuk mengukur tanah dan meteorologi parameter setiap 30 menit. Kemudian, data disimpan dalam setiap data logger. Field Router diatur untuk secara otomatis bekerja pada jam sampai untuk mengumpulkan data dari kedua data logger, dan mengirim data serta gambar tanaman ke server data melalui koneksi GSM. Pengguna dapat dengan mudah memperoleh data dengan mengakses website monitoring SRI. Gambar.1. FMS remote monitoring in SRI paddy field. Lokasi Sawah SRI FMS dipasang di 8 lokasi yang terdiri 1 lokasi di Bogor, 1 lokasi di Sukabumi, 3 lokasi di Bali dan 3 lokasi di Sulawesi Selatan. Pada setiap lokasi parameter meteorologi, tanah dan data citra dimonitor oleh stasiun cuaca, soil data 32

33 logger, dan kamera kemudian data ditransfer oleh FMS. Kondisi detail setiap lokasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. FMS sawah SRI di Indonesia No Location Stations Weather station Soil data logger Image Remote monitoring 1 Sukabumi NOSC Operational Operational Operational Operational 2 Bogor IPB Operational NOT Operational Operational INSTALLED 3 Bali Lokapaksa Operational Operational Operational Operational 4 Titab Operational Operational Operational Operational 5 Umejero Operational Operational Operational Operational 6 South Manjapai Operational Operational DOWN DOWN 7 Sulawesi Bisua Operational Operational Operational Operational 8 Malino Operational Operational Operational Operational Analisis Data Dalam operasi FMS untuk sawah SRI di Indonesia, sistem dihadapkan pada kendala data yang hilang, seperti kelembaban tanah, karena masalah tak terduga. Oleh karena itu model jaringan saraf tiruan (ANN) dikembangkan untuk memperkirakan kelembaban tanah berdasarkan data meteorologi (Arif et al. 2012a).Selain itu untuk mengevaluasi pengelolaan air SRI, variabel keseimbangan air, seperti air irigasi dan evapotranspirasi tanaman sangat penting untuk diperkirakan untuk menentukan produktifitas air, dimana data tersebut tidak tersedia di lapangan. Oleh karena itu, metode estimasi menggunakan Solver Excel dikembangkan untuk memperkirakan variable yang tak terukur tersebut. (Arif et al. 2012b). Produktifitas Air dan Koefisien Tanaman Setelah semua variabel dapat diperkirakan dengan menggunakan metode yang diusulkan, data-data tersebut digunakan untuk menghitung produktifitas air (WP) untuk mencari hubungan air dan produksi beras (Molden et al. 2003). Di sawah, WP dihitung menggunakan persamaan berikut (Van der Hoek et al. 2001): WP Y ETc. (1) di mana, Y adalah hasil (ton / ha) dan ETc adalah total evapotranspirasi tanaman (mm) yang berasal dari analisis neraca air. 33

34 Kemudian, untuk mengevaluasi respons tanaman terhadap air yang tersedia di lapangan, koefisien tanaman (Kc) ditentukan berdasarkan dua percobaan yaitu perlakuan SRI dan konvensional. Kc dapat ditentukan sebagai koefisien tanaman tunggal atau koefisien tanaman ganda. Di sini koefisien tanaman tunggal (Kc) untuk menguji pengaruh dari transpirasi tanaman dan evaporasi tanah secara bersamaan. Kc nilai dihitung dari persamaan berikut: Kc ETc ETo (2) dimana ETo adalah referensi evapotranspirasi yang dihitung berdasarkan model Penman-Monteith (Allen et al. 1998). Nilai Kc dihitung untuk setiap hari dan setiap nilai difilter menggunakan persamaan Kalman filter (Welch dan Uskup, 2006; Kalman, 1960) untuk m tren. Rata-rata nilai Kc kemudian dihitung pada setiap tahap pertumbuhan, yaitu awal, pengembangan tanaman, tahap musim reproduksi dan akhir (Vu et al. 2005;.Tyagi et al. 2000; Allen et al. 1998; Mohan dan Arumugam, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN Website Sistem Informasi SRI Semua informasi tentang pemantauan lapangan SRI dari penelitian ini dapat dengan mudah diakses melalui yang disebut sebagai website An Environmental Monitoring System on the Advancement of the System of Rice Intensification (EMSA-SRI). Kita dapat memilih data numerik dan grafis pada tanah dan parameter meteorologi serta data gambar tanaman dari menu situs EMSA-SRI. Selain itu, website ini dilengkapi dengan menu lain yang terkait dengan penelitian seperti Tentang EMSA-SRI, Berita, Peneliti, Event dan Artikel. Tentang EMSA-SRI menggambarkan konsep pemantauan dan instrumen yang akan digunakan. Menu Peneliti berisi daftar tim peneliti, sedangkan Berita dan menu Acara menginformasikan berita yang terkait dengan SRI dan konferensi internasional yang dihadiri. Menu Artikel berisi artikel yang ditulis oleh para peneliti. 34

35 Gambar 2. SRI field monitoring website. Image calendar Gambar 3. Kalender data gambar tanaman selama periode tanam. 35

36 Planting date Early stage Vegetative stage Crop development Reproductive stage Late stage Gambar 4. Pertumbuhan tanaman hasil monitoring visual FMS. Pemantauan Pertumbuhan Tanaman Foto tanaman setiap hari dikirim melalui jaringan GSM ke server dan disajikan sebagai gambar tunggal seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Untuk melihat gambaran dari tanaman selama periode tanam tersedia fasilitas kalender gambar (Gambar 3). Dalam kalender ini juga dapat diidentifikasi permasalahan yang terjadi di lapang maupun pada peralatan, sebagai contoh pada bulan Oktober 2010, ada gambar yang gagal dikirim ke server karena masalah jaringan GSM. Namun, gambar yang mewakili setiap tahap tumbuh dapat direkam dan dikirim dengan baik ke server. Pada tahap awal, tanaman hampir tidak terlihat dan foto didominasi oleh tanah akibat penanaman bibit tunggal yang sangat muda, pada pengelolaan tanaman SRI. Sebaliknya, pada tahap reproduksi dan akhir, tanaman tumbuh dengan baik dan menutupi seluruh bidang. Hal ini menunjukkan bahwa tanam bibit tunggal per lubang dengan bibit sangat muda, kemungkinan besar meningkatkan produksi bahan kering dibandingkan dengan tiga tanaman per lubang seperti diutarakan San-oh et al. (2004). Dinamika Parameter Meteorologi Gambar 5 menunjukkan perubahan jam dalam suhu udara dan kelembaban relatif selama Oktober Kecenderungan data suhu udara terlihat kontras dengan kelembaban relatif. Suhu udara maksimum diamati pada siang hari sekitar pukul ketika kelembaban relatif yang sangat rendah. Suhu udara maksimum hampir 30 o C, ketika kelembabannya adalah sekitar 60% pada 36

37 tingkat terendah pada tanggal 16 Oktober PM. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi matahari di mana tingkat maksimum dicapai saat radiasi matahari juga pada tingkat maksimum sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan perubahan per jam di radiasi matahari dan evapotranspirasi referensi selama Oktober Radiasi matahari memiliki korelasi positif terhadap evapotranspirasi referensi. Radiasi matahari maksimum dicapai pada waktu sekitar serta evapotranspirasi acuan. Ini berarti selama waktu itu, kebutuhan air untuk tanaman mencapai tingkat maksimum. Gambar 5. Dinamika temperatur dan kelembaban udara. Gambar 6. Dinamika radiasi dan evapotranspirasi referensi. 37

38 Dinamika Parameter Tanah Terukur Pengelolaan air SRI dilakukan tanpa genangan dan berbeda dengan budidaya padi konvensional. Kelembaban tanah dipertahankan diantara kondisi jenuh dan kapasitas lapang (Gambar 7), sehingga kondisi aerobik dapat tersedia dimana tanaman dapat menyerap oksigen secara optimal. Dengan praktek ini, air irigasi dapat dihemat sampai dengan 40% (Chapagain dan Yamaji, 2010). Terjadi perubahan kecenderungan (tren) temperatur tanah selama periode budidaya. Pada permulaan sampai tahap pertengahan, tren yang terjadi lebih besar dari pada tahap berikutnya seperti halnya kesenjangan yang antara maksimum, rata-rata, dan nilai-nilai minimum (Gambar 8). Kecenderungan ini dipengaruhi oleh tanaman penutup ketika lahan tertutup tanaman pada tahap terakhir, dan tren fluktuasi suhu tanah secara bertahap melemah. Gambar 7. Dinamika kelembaban tanah dan hujan. Gambar 8. Dinamika temperatur tanah. 38

39 Crop coefficient Crop coefficient Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2012 Koefisien Tanaman Koefisien harian tanaman (Kc) nilai di sawah berfluktuasi di sepanjang sebagian besar periode budidaya (Gambar 9). Metode Filter Kalman digunakan untuk merapikan data dan menyambungkan garis yang smooth dan terus menerus selama periode tanam untuk kedua perawatan. Pada tahap awal, nilai Kc untuk sawah SRI lebih rendah daripada sawah konvensional karena sawah SRI leb ih kering. Nilai Kc untuk kedua perawatan mencapai nilai minimum ketika permukaan air yang diamati turun selama beberapa hari sebagai respon terhadap kondisi kering. Di sini, diperkirakan nilai minimum Kc adalah masing-masing adalah 0,64 dan 0,86 untuk sawah SRI dan konvensional. 1.6 A II treatment Kc Kcfiltered B CF treatment Days after transplanting Initial Crop development Reproductive Late season Days after transplanting Gambar 9. Koefisien tanaman: A. SRI, B. Konvensional. Selama tahap perkembangan tanaman, nilai Kc meningkat secara bertahap, dan kemudian menurun drastis. Penurunan Kc terjadi ketika level air mencapai ambang irigasi minimum untuk kedua perawatan. Pada tahap ini, Kc minimal nilai adalah 0,90 dan 1,02 untuk sawah SRI dan perawatan konvensional. Namun, bila tingkat air meningkat lagi menjadi ke ambang irigasi maksimum, Kc juga meningkat secara bertahap sampai akhir tahap ini. 39

40 Nilai Kc tetap pada tingkat tinggi selama tahap reproduksi ketika level air mencapai tingkat maksimal setelah curah hujan sering selama beberapa hari. Pada tahap terakhir, namun, ketika curah hujan menurun, air berkurang dan tanaman mengalami penuaan penuh, nilai Kc menurun untuk kedua perlakuan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana respon tanaman terhadap ketersediaan air (Arif et al. 2012c). KESIMPULAN Sistem Monitoring Lapang (FMS) yang dikembangkan cukup efektif, efisien dan dapat diandalkan dalam memantau SRI sawah di Indonesia. Kondisi lapang yang sebenarnya dipantau dengan baik dalam bentuk citra, akuisisi data numerik dan grafis. Dengan demikian, pertumbuhan tanaman dapat lebih mudah dipantau. Selain itu koefisien tanaman dan variabel neraca air dapat ditentukan dengan metode yang diusulkan menggunakan data pemantauan. Semua data pemantauan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut untuk mendukung program IWRM di lahan sawah SRI. DAFTAR PUSTAKA Allen RG, Pareira LS, Raes D, Smith M Crop Evapotranspiration Guidelines for computing crop water requirements. FAO - Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Arif C, Mizoguchi M, Setiawan BI, Doi R. 2012a. Estimation of soil moisture in paddy field using Artificial Neural Networks. International Journal of Advanced Research in Artificial Intelligence 1 (1): Arif C, Setiawan BI, Mizoguchi M, Doi R. 2012b. Estimation of Water Balance Components in Paddy Fields under Non-Flooded Irrigation Regimes by using Excel Solver. Journal of Agronomy 11 (2): doi: /ja Arif C, Setiawan BI, Mizoguchi M, Doi R, Saptomo SK, Ardiansyah., Ito T Field Network System to Monitor Paddy Fields in the System of Rice Intensification in Indonesia. Paper presented at the CIGR 2011 conference on Sustainable Bioproduction, Tokyo, September. Arif C, Setiawan BI, Sofiyuddin HA, Martief LM, Mizoguchi M, Doi R. 2012c. Estimating Crop Coefficient in Intermittent Irrigation Paddy Fields Using 40

41 Excel Solver. Rice Science 19 (2): doi: /s (12)60033-x. Chapagain T, Yamaji E The effects of irrigation method, age of seedling and spacing on crop performance, productivity and water-wise rice production in Japan. Paddy Water Environ 8 (1): doi: /s De Silva CS, Weatherhead EK, Knox JW, Rodriguez-Diaz JA Predicting the impacts of climate change - A case study of paddy irrigation water requirements in Sri Lanka. Agr Water Manage 93 (1-2): doi: /j.agwat Gani A, Kadir TS, Jatiharti A, Wardhana IP, Las I The System of Rice Intensification in Indonesia. In: Uphoff N, Fernandes E, Yuan LP, Peng JM, Rafaralahy S, Rabenandrasana J (eds) Assessments of the System of Rice Intensification (SRI), Sanya, China, 1-4 April Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development, Ithaca, NY, pp Gardjito, Rudiyanto, Agustina H, Setiawan BI, Mizoguchi M, Ito T, Priess J Environmental Monitoring with Field Server via Internet. In: LIPI and STORMA Workshop, Jakarta, February Irsyad F Analysis of Cidanau River Discharge using SWAT Application. Bogor Agricultural University, Bogor. Kalman RE A new approach to linear filtering and prediction problems. Transactions of the ASME Journal of Basic Engineering 82 (Series D): Mizoguchi M, Ito T, Arif C, Mitsuishi S, Akazawa M Quasi real-time field network system for monitoring remote agricultural fields. In: SICE Annual Conference 2011, Waseda University, Tokyo, Japan, September pp Mohan S, Arumugam N Irrigation crop coefficient for lowland rice. Irrigation and Drainage Systems 8: doi: /bf Molden D, Murray-Rust H, Sakthivadivel R, I M A water productivity framework for understanding and action. In: Kijne J, Barker R, Molden D (eds) Water productivity in agriculture: limits and opportunities for improvement. CABI publishing and International Water Management Institute. San-oh Y, Mano Y, Ookawa T, Hirasawa T Comparison of dry matter production and associated characteristics between direct-sown and transplanted rice plants in a submerged paddy field and relationships to planting patterns. Field Crop Res 87: Saptomo, S.K., B.I.Setiawan, Kozue Yuge, Ken Mori.Simulating soil water flow and energy balance of paddy soil International Conference on 41

42 Promising Practices for the Development of Sustainable Paddy Fields. Bogor: October 7-9, Saptomo, S.K., B. I. Setiawan, C. Arief Evapotranspiration and Heat Flux over Wet and Dry System of Rice Intensification (SRI) Paddy Field Environment: Simulation Using Surface Energy Balance Model. PAWEES 2011 International Conference on Capacity Building for Participatory Irrigation and Environmental Management, Taipei, October Sato S, Uphoff N A review of on-farm evaluation of system of rice intensification (SRI) methods in eastern Indonesia. 2 (054):12. Sato S, Yamaji E, Kuroda T Strategies and engineering adaptions to disseminate SRI methods in large-scale irrigation systems in Eastern Indonesia. Paddy Water Environ 9 (1): doi: /s Setiawan BI, Mizoguchi M, Arif C, Ito T Environmental Monitoring System on the Advancement of the System of Rice Intensification in Asian Countries. In: AFITA 2010 International Conference: the Quality Information for Competitive Agricultural based Production System and Commerce, Bogor, Indonesia, 3-7 October Stoop W, Uphoff N, Kassam A A review of agricultural research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagascar: opportunities for improving farming systems for resource-poor farmers. Agr Syst 71: doi: /s x(01) Tyagi NK, Sharma DK, Luthra SK Determination of evapotranspiration and crop coefficients of rice and sunflower with lysimeter. Agr Water Manage 45 (1): doi: /s (99) Uphoff N, Kassam A, Harwood R SRI as a methodology for raising crop and water productivity: productive adaptations in rice agronomy and irrigation water management. Paddy Water Environ 9:3-11. doi: /s Van der Hoek W, Sakthivadivel R, Renshaw M, Silver JB, Birley MH, Konradsen F Alternate wet/dry irrigation in rice cultivation: a pratical way to save water and control malaria and Japanese encephalitis? Research Report 47. International Water Management Institute, Colombo, Sri Lanka. Vu SH, Watanabe H, Takagi K Application of FAO-56 for evaluating evapotranspiration in simulation of pollutant runoff from paddy rice field in Japan. Agr Water Manage 76 (3): doi: /j.agwat Welch G, Bishop G An introduction to the Kalman Filter. 42

43 PENGARUH KONDISI LANSKAP TERHADAP INTERAKSI TROPIK ANTARA TANAMAN, HAMA DAN PARASITOID (Effect of Agricultural Landscape on Shaping Trophic Interaction among Crop Plant, Pest and Parasitoid) Damayanti Buchori, Akhmad Rizali, Ali Nurmansyah, Sudarsono, M. Yasin Farid, M. Nurhuda Nugraha, Adha Sari Dep. Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB ABSTRAK Kondisi lanskap pertanian berpengaruh terhadap keberadaan musuh alami yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan populasi hama. Lanskap yang sederhana cenderung lebih rentan terhadap serangan hama dibandingkan dengan lanskap yang kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kondisi lanskap terhadap interaksi antara tanaman, hama dan parasitoid. Melalui penelitian ini, akan diperoleh informasi mengenai model hubungan parasitoid dan hama (inang)yang berguna dalam membangun model pengelolaan habitat pertanian.penelitian dilakukan pada 16 lanskap pertanian yang tersebar di Kabupaten Bogor dengan kompleksitas lanskap yang berbeda (kompleks vs sederhana) dan mencakup berbagai kondisi lingkungan meliputi perbedaan jarak dengan hutan, keberadaan permukiman, ketinggian tempat dan sistem budidaya pertanian. Di setiap lanskap dilakukan pengambilan contoh serangga dengan menggunakan metode transek yaitu mengambil serangga hama yang ada pada pertanaman sayuran untuk mengetahui keanekaragaman parasitoid yang ada pada lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lanskap pertanian mempengaruhi pola interaksi antara hama dengan parasitoid. Berdasarkan analisis hubungan (network analysis) menunjukkan bahwa kompleksitas dan perbedaan kondisi lingkungan dari lanskap pertanian memiliki connectance, generality, vulnerability dan linkage density yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa manajemen lanskap pertanian sangat penting untuk mendukung keberadaan musuh alami khususnya parasitoid pada habitat pertanian. Kata kunci: Lanskap pertanian, parasitoid, analisis network, Q-GIS. ABSTRACT The conditions of agricultural landscape influence the presence of natural enemies which play important role on controlling pest population. Agricultural area in simple landscape is vulnerable in pest outbreak then complex landscape. The objective of this research is to study the effect of landscape condition on trophic interaction among crop plant, pest and parasitoid. The outcome of this research is a pivotal knowledge about associationpattern between pest and parasitoid as basic information to construct the model of agricultural habitat management. Ecological observations were conducted in 16 agricultural landscapes around Bogor Regency with different landscape complexity (complex vssimple) andcomprise several environmental conditions i.e. different distance to the forest, the presence of settlement, altitude and agricultural management system. On each landscape, immature insects include of eggs, larvae and pupae were sampled using hand collecting methods in several transects (depend on patch size) which was focused on vegetable crops. Our result showed that the condition of agricultural landscape have an effect on shaping interaction between pest and parasitoid. Based on network analysis, the landscape complexities as well as environmental condition of agr icultural landscape have different connectance, generality, vulnerabilityand linkage density. Our conclusion 43

44 suggests that agricultural landscape management is crucial effort to conserve natural enemies especially parasitoid in agricultural habitat. Keywords: Agricultural landscape, parasitoid, network analysis, Q-GIS. PENDAHULUAN Penerapan intensifikasi pertanian memiliki dampak negatif terhadap musuh alami seperti parasitoid dan predator. Sistem budidaya pertanian monokultur sebagai contoh, menyebabkan penurunan keanekaragaman musuh alami sebagai akibat ketidaktersediaan habitat yang mendukung untuk pakan dan ketidaktersediaan inang alternatif bagi musuh alami sehingga serangga hama menjadi dominan (Altieri, 1999). Aplikasi pestisida juga mempengaruhi keberadaan musuh alami(wanger et al. 2010) padahal keberadaan parasitoid dan predator sangat berguna dalam menekan populasi hama. Hal tersebut menjadi faktor penyebab intensifikasi pertanian tidak dapat diterapkan secara bersamaan dengan pengendalian hayati karena dalam mengembalikan peran musuh a lami diperlukan habitat yang mendukung dan menghindari penggunaan pestisida. Dalam upaya mengoptimalkan pengendalian hayati khususnya pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid, berbagai penelitian telah dilaksanakan oleh Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB), meliputi penelitian pada tingkat individu, populasi maupun komunitas. Pada tingkat individu, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan aksi dan reaksi antara parasitoid dan inangnya meliputi kemampuan parasitoid dalam memarasit inangnya (Buchori et al. 1997; Sapdi et al. 2002) dan faktor yang menghambat keberhasilan parasitisasi seperti enkapsulasi (Sahari 1999; Dono et al. 2006; Buchori et al. 2009). Pada tingkat populasi, telah dilakukan penelitian mengenai tanggap fungsional dan tanggap numerik dari parasitoid terhadap inangnya (Nelly et al. 2005) dan kemampuan parasitoid untuk menekan populasi inangnya (Usyati et al. 2003). Pada tingkat komunitas, juga telah dilakukan penelitian meliputi keanekaragaman jenis pada daerah geografis berbeda (Meilin et al. 2000; Yuliarti et al. 2002; Hamid et al. 2003) maupun pada kondisi lanskap yang berbeda (Hamid et al. 2003; Yaherwandi et al. 2007). 44

45 Berdasarkan hasil penelitian yang ada, dirasakan bahwa penelitian pada tingkat komunitas sangat penting karena dapat memberikan gambaran riil mengenai kefektifan parasitoid di lapangan dan sekaligus mengetahui faktor yang mempengaruhinya (Buchori et al. 2008). Diversifikasi habitat melalui sistem polikultur dan pertanian yang ramah lingkungan dapat memfasilitasi keberadaan musuh alami pada suatu lahan pertanian sehingga populasi hama bisa terkendali secara alami (Altieri, 1999). Penyediaan atau pengelolaan habitat alami di sekitar lahan pertanian seperti hutan, juga dapat menjaga keanekaragaman serangga termasuk di dalamnya musuh alami dan serangga berguna lain (Rizali et al. 2002). Walaupun demikian, tidak mudah untuk memfasilitasi keberadaan hutan primer dan melakukan sistem polikultur pada suatu lahan pertanian. Hal ini karena lanskap pertanian umumnya tidak kompleks dan sangat dipengaruhi oleh lanskap dalam skala regional yang umumnya didominasi oleh perumahan. Sehingga perlu adanya penelitian untuk bisa mengetahui struktur lanskap seperti apa yang bisa memfasilitasi keberadaan dan keefektifan parasitoid. Selain itu penelitian ini merupakan penelitian yang masih jarang dilakukan, dimana akan menggabungkan penelitian dari autecology hingga community ecology yaitu dalam hal ini bagaimana membawa hasil-hasil penelitian autecology di laboratorium untuk di aplikasikan di lapangan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada 16 lanskap pertanian yang tersebar di Kabupaten Bogor dengan kompleksitas lanskap yang berbeda (kompleks vs sederhana) dan mencakup berbagai kondisi lingkungan meliputi perbedaan jarak dengan hutan primer, ketinggian tempat, keberadaan permukiman dan sistem budidaya pertanian (Gambar 1, Tabel 1). Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Juni hingga Oktober Pemetaan Lanskap Pemetaan dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi lanskap dan untuk keperluan penentuan plot penelitian. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak QGIS (Quantum GIS Development 45

46 Team 2011) yang merupakan perangkat lunak GIS open source. Sebagai peta dasar digunakan peta yang berasal dari GoogleMaps ( yang kemudian dilakukan ground check dengan menggunakan GPS (global positioning system). Gambar 1. Lokasi pelaksanaan penelitian pada 16 lanskap yang tersebar di Kabupaten Bogor. Pengambilan Contoh Serangga Di setiap lanskap dilakukan pengambilan contoh serangga dengan menggunakan metode transek yaitu mengambil serangga inang (hama) yang ada pada pertanaman sayuran untuk mengetahui keanekaragaman parasitoid yang ada pada lahan pertanian. Sepanjang transek 50 meter, hama yang ditemukan baik berupa telur, larva dan pupa dikoleksi dan dicatat titik dimana hama tersebut ditemukan. Hama yang terkoleksi selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dipelihara dan diamati apakah ada parasitoid yang muncul. Baik hama maupun parasitoid hasil koleksi, dilakukan identifikasi hingga tingkat spesies untuk mempermudah dalam mempelajari interaksi parasitoid dengan inangnya. Diantara kunci identifikasi yang digunakan adalah (i) An Introduction to the Study of Insects(Borror et al. 1996) dan (ii) Hymenoptera of the World(Goutlet & Huber, 1993). 46

47 47

48 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak R statistic (R Development Core Team, 2012). Analisis terkait interaksi tropik antara tanaman, hama dan parasitoid dilakukan dengan penggunakan package bipartite di dalam perangkat lunak R statistic. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Lanskap dengan Interaksi Tropik Antara Hama dan Parasitoid Berdasarkan hasil observasi pada 16 lanskap pertanian di Bogor ditemukan 9 jenis tanaman pertanian, 11 spesies hama dan 50 spesies parasitoid. Interaksi tiga tingkatan tropik (tritrophic interaction) antara tanaman, hama dan parasitoid yang diperoleh menunjukkan kompleksitas hubungan antara hama dengan musuh alaminya (Gambar 2). Beberapa hama tertentu ditemukan pada menyerang pada tanaman pertanian yang berbeda. Sedangkan beberapa spesies parasitoid ditemukan memarasit pada inang (hama) yang sama. Gambar 2. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari keseluruhan lanskap pertanian yang ada di Bogor. 48

49 Pengaruh Jarak Hutan Terhadap Interaksi Antara Hama dan Parasitoid Jarak lahan pertanian dengan hutan primer mempengaruhi hubungan antara hama dengan parasitoid yang ada di dalamnya. Pada lahan pertanian yang dekat dengan hutan primer, spesies parasitoid yang memarasit hama lebih spesifik (Gambar 3 dan 4). Pengaruh Ketinggian Terhadap Interaksi Hama dan Parasitoid Ketinggian lahan pertanian berhubungan erat dengan jenis tanaman pertanian dan sekaligus hama dan parasitoid yang ada di dalamnya. Di lahan pertanian dataran rendah cenderung ditemukan beragam jenis parasitoid memarasit inang yang sama (Gambar 5) dibandingkan dengan daerah pertanian yang lebih tinggi (Gambar 6, 7, dan 8). Berdasarkan analisis hubungan (network analysis) menunjukkan bahwa pada ketinggian lahan pertanian berbeda memiliki connectance, generality, vulnerability, dan linkage density yang berbeda. Semakin tinggi suatu area cenderung memiliki connectance, generality, vulnerability, dan linkage density yang lebih rendah (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketinggian habitat ikut mempengaruhi kompleksitas hubungan parasitoid dengan hama yang ada di dalamnya. Gambar 3. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian yang berjarak kurang dari 7 km dengan hutan primer. 49

50 Gambar 4. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian yang berjarak lebih dari 7 km dengan hutan primer. Gambar 5. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian dengan ketinggian kurang dari 300 m dpl. 50

51 Gambar 6. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian dengan ketinggian antara m dpl. Gambar 7. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian dengan ketinggian antara m dpl. 51

52 Gambar 8. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian dengan ketinggian diatas 900 m dpl. Tabel 2. Pengaruh ketinggian, jarak dengan hutan primer dan keberadaan perumahan pada interaksi hama dan parasitoid Parameter Ketinggian (m dpl) Jarak dengan hutan primer (km) Dominasi < >900 <7 >7 Pertanian Perumahan Connectance Generality Vulnerability Linkage density Pengaruh Keberadaan Perumahan Terhadap Interaksi Hama dan Parasitoid Keberadaan perumahan tidak menunjukkan perbedaan yang jelas dalam kaitan interaksi tanaman, hama dan parasitoid (Gambar 9 dan 10). Walaupun demikian, berdasarkan analisis hubungan (network analysis) menunjukkan bahwa pada habitat pertanian yang tidak terdapat perumahan memiliki connectance, generality, vulnerability, dan linkage density yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan pertanian yang terdapat perumahan di dalamnya (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa modifikasi habitat mempengaruhi kompleksitas hubungan parasitoid dengan hama yang sekaligus berimplikasi pada kemampuan 52

53 parsitoid dalam mengendalikan populasi hama pada lanskap tersebut (Tylianakis et al. 2007). Gambar 9. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian yang terdapat perumahan di dalamnya. Gambar 10. Interaksi tritrofik antara tanaman (bawah), hama (tengah) dan parasitoid (atas) dari lanskap pertanian yang sedikit atau tidak ada perumahan di dalamnya. 53

54 Walaupun di dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan serangga herbivor pada habitat lain diluar lahan pertanian, keberadaan tanaman non pertanian juga disinyalir ikut mempengaruhi hubungan tropik antara parasitoid dengan hama. Hasil penelitian Alhmedi et al.(2011) menunjukkan bahwa interaksi tropik antara parasitoid dengan hama berbeda antara tanaman pertanian dengan tanaman non pertanian. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi lebih mendalam terkait hubungan parasitoid dengan hama pada skala lanskap diperlukan penelitian lebih lanjut khususnya untuk mengetahui pengaruh kondisi habitat sekitar lahan pertanian. KESIMPULAN Lanskap pertanian mempengaruhi pola interaksi antara hama dengan parasitoid. Berdasarkan analisis hubungan (network analysis) menunjukkan bahwa lanskap pertanian berbeda memiliki connectance, generality, vulnerability, dan linkage density yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan lanskap pertanian sangat penting untuk mendukung keberadaan musuh alami khususnya parasitoid. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini diibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai Surat Perjanjian Penugasan dalam rangka Pelaksanaan Program Penelitian Hibah Kompetensi T.A. 2012, Nomor: 148/SP2H/PL/Dit.Litabmas/III/2012, tanggal 7 Maret DAFTAR PUSTAKA Alhmedi A, Haubruge E, D Hoedt S, Francis F Quantitative food webs of herbivore and related beneficial community in non-crop and crop habitats. Biological Control. 58: Altieri MA The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agriculture, Ecosystems & Environment. 74:

55 Borror D, Triplehorn CH, Johnson NF An Introduction to the Study of Insects, 6th edn. Ohio, USA: Saunders College Publishing. Buchori D, Pudjianto, Sari A Pengaruh perbedaan inang pada bionomi Telenomus spodopterae Dood. (Hymenoptera: Scelionidae): dampak terhadap biologi dan kebugaran. Bulletin Hama dan Penyakit Tumbuhan, IPB. 9:8-18. Buchori D, Sahari B, Nurindah Conservation of agroecosystem through utilization of parasitoid diversity: lesson for promoting sustainable agriculture and ecosystem health. HAYATI Journal of Biosciences. 15: Buchori D, Sahari B, Sriratna E Encapsulation and hemocyte numbers in Crocidolomia pavonana and Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera) attacked by parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera). HAYATI Journal of Biosciences. 16: Dono D, Prijono D, Manuwoto S, Buchori D, Dadang, Hasim Penghambatan enkapsulasi pradewasa parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) oleh larva Crocidolomia pavonanna (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) menggunakan rokaglamida. Bionatura. 8: Goutlet H, Huber JT Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families. Ottawa, Canada: Centre for Land and Biological Resources Research. Hamid H, Buchori D, Triwidodo H Keanekaragaman parasitoid dan parasitisasinya pada pertanaman padi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. HAYATI Journal of Biosciences. 10: Meilin A, Hidayat P, Buchori D, Kartosuwondo U Parasitoid telur pada Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:Yponomeutidae). Bulletin Hama dan Penyakit Tumbuhan, IPB. 12: Nelly N et al Tanggap fungsional parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) pada suhu yang berbeda. HAYATI Journal of Biosciences. 12: Quantum GIS Development Team Quantum GIS Geographic Information System. Open Source Geospatial Foundation Project. R Development Core Team R: A language and environment for statistical computing. Vienna, Austria: R Foundation for Statistical Computing. Rizali A, Buchori D, Triwidodo H Insect diversity at the forest margin-rice field interface: indicator for a healthy ecosystem. HAYATI Journal of Biosciences. 9:

56 Sahari B Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Implikasinya pada Inang Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) dan Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sapdi, Prijono D, Buchori D Kebugaran parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) yang berkembang pada inang Helicoverpa armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae) dengan perlakuan ekstrak ranting Aglaia odorata Lour. Agrista, Faperta, Unsyiah. 6: Tylianakis JM, Tscharntke T, Lewis OT Habitat modification alters the structure of tropical host parasitoid food webs. Nature. 445: Usyati N, Buchori D, Hidayat P Pelepasan Trichogrammatoidea armigera Nagaraja (Hymenoptea: Trichogrammatidea) dengan teknik spot release dan penyebarannya di lapangan. Forum Pascasarjana, IPB. 26: Wanger TC, Rauf A, Schwarze S Pesticides and tropical biodiversity. Frontiers in Ecology and the Environment. 8: Yaherwandi et al Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid pada struktur lanskap pertanian berbeda di daerah aliran sungani (DAS) Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Hama & Penyakit Tumbuhan Tropika. 7: Yuliarti N, Hidayat P, Buchori D Molecular identification of egg parasitoid, Telenomus spp (Hymenoptera:Scelionidae) from several locations in Java using RAPD PCR. Biotropia. 19:

57 PERAKITAN TEKNIK PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN PADI RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS BAKTERI AGEN HAYATI DAN METABOLIT SEKUNDERNYA (Engineering of Environment Friendly of Plant Diseases Control using Bacteria as Biological Control Agent and It s Secondary Metabolites) Giyanto 1), Rustam 2) 1) Dep. Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. 2) Balai Penerapan dan Pengkajian Teknologi, Riau. ABSTRAK Penyakit tanaman padi merupakan salah satu kendala dalam upaya mencapai dan mempertahankan swasembada beras. Pengendalian hayati merupakan salah satu teknik pengendalian penyakit padi yang banyak dikembangkan karena ramah lingkungan dan bersifat berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan menemukan agens hayati dari golongan bakteri yang dapat dikembangkan sebagai biopestisida terhadap 3 penyakit penting tanaman padi yaitu penyakit hawar daun, hawar pelepah dan busuk leher yang disebabkan oleh patogen Xanthomonas oryzae pv oryzae, Rhizoctonia solani, dan Pyricularia oryzae.. Sebanyak 30 isolat bakteri berpotensi sebagai agens hayati (tidak menunjukkan reaksi hipersensitif pada tanaman indikator (tembakau). Pengujian uji potensi antagonisme in vitro dan uji fitotoksisitas dan pemicu pertumbuhan terhadap benih padi in vivo didapatkan 3 isolat bakteri yaitu ATS6 (Aktinomiset), TTS47 (bakteri non fluorescens) dan P12 (Pseudomonas kel fluorescens) yang efektif mengendalikan X. oryzae pv oryzae, R. solani dan P. oryzae. Karakterisasi lebih lanjut terhadap ketiga isolat menunjukkan aktivitas kitinase (ATS6, TTS47), produksi siderofore (ATS4, TTS47, dan P12), phospatase ((ATS6, TTS47, dan P12), and indole acetic acid (TTS47 and P12). Identifikasi berdasarkan sekuensing gen 16S rrna menunjukkan isolat ATS6 memiliki kemiripan 99% terhadap Streptomyces sp dan TTS47 memiliki tingkat kemiripan 98% terhadap Ralstonia picketsii. Kata kunci: Xanthomonas oryzae pv oryzae, Rhizoctonia solani, Pyricularia oryzae, agen hayati. ABSTRACT Rice plant diseases is the most important problem under humid and high fertilizer input condition. Biological control of rice diseases is one of the control measure that has advantages i.e. environmental friendly. The objective of this research is to find biological control agents from bacteria groups to control 3 important rice diseases: bacterial leaf blight, sheat blight, and neck rot caused by Xanthomonas oryzae pv oryzae, Rhizoctonia solani, and Pyricularia oryzae, respectively. We found 30 isolates bacteria which indicated non-plant pathogenic bacteria (shown negative result of hypersensitive reaction test on indicator plant) were potential as biological control agents. Further test on antagonistic, phytotoxicity, and planth growth effect both in vitro nd in vivo test were found 3 isolates of bacteria with high potency to control of X. oryzae pv oryzae, R. solani, and P. oryzae. Those of 3 isolates are ATS6 (actinomycetes), TTS47 (non-fluorescens bacteria) and P12 (fluorescens pseudomonas). Characterization of these isolates indicated that its produced chitinase (ATS6, TTS47), siderofore (ATS6, TTS47, and P12), phospatase (ATS6, TTS47, and P12), and indole acetic acid (TTS47 and P12). Identification by sequencing of 16S rrna nucleotides indicated that ATS6 had high 57

58 similarity to Streptomyces sp (99%), and TTS47 to Ralstonia picketsii (98%), while P12 not been analyzed yet. Keywords: Xanthomonas oryzae pv oryzae, Rhizoctonia solani, Pyricularia oryzae, biological control agents. PENDAHULUAN Padi merupakan komoditas strategis nasional. Komoditas ini menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Untuk itu upaya peningkatan produksi makin dituntut untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun tantangan peningkatan produksi di masa yang akan datang juga makin meningkat terkait perubahan iklim, kelangkaan pupuk, dan ancaman serangan hama atau penyakit tanaman. Penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv oryzae, busuk leher yang disebabkan oleh Pyricularia oryaze, penyakit hawar pelepah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani, merupakan beberapa penyakit utama pada tanaman padi. Patogen tersebut sulit dikendalikan karena bersifat soilborne (bertahan dalam tanah), seed-borne (terbawa benih), bertahan pada sisa-sisa tanaman dan memiliki kisaran inang yang luas. Hingga saat ini belum tersedia varietas tanaman padi yang benar-benar tahan terhadap penyakit. Pada varietas rentan, serangan penyakit blast dapat menyebabkan fuso, serangan penyakit hawar pelepah dapat mengurangi hasil hingga 40% (Groth, 2008). Sampai saat ini belum ada cara yang efektif dalam mengendalikan penyakit tanaman padi yang disebabkan oleh fungi maupun bakteri. Penggunaan varietas tahan atau fungisida/bakterisida sebagai cara pengendalian yang banyak digunakan ternyata memiliki banyak kelemahan. Penggunaan varietas tahan akan memicu patogen membentuk strain baru hingga dapat beradaptasi dan mematahkan ketahanan tanaman tersebut. Begitu juga dengan penggunaan fungisida/bakterisida yang cenderung diaplikasikan secara terus menerus selain keefektifannya makin berkurang juga kurang bersifat berkelanjutan (sustainable) dan berdampak kurang baik pada lingkungan (Mew et al. 2004). Untuk itu perlu 58

59 dicari teknik pengelolaan penyakit yang efektif, kompatibel dengan teknologi budidaya tanaman, dan bersifat sustainable. Salah satu cara pengendalian penyakit yang lebih bijaksana saat ini adalah penggunaan bakteri agens hayati. Aplikasi bakteri agens hayati dapat melindungi tanaman dari serangan penyakit dan meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme. Nagarajkumar et al. (2005) melaporkan bahwa Pseudomonas fluorescens pfmdu2 yang diaplikasikan pada tanaman padi dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh R. solani melalui senyawa asam oksalat yang dihasilkannya. Grosch et al. (2005) menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens B1, P. fluorescens B2, dan Serratia plymuthica B4 dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh fungi dan dapat mengurangi keparahan penyakit pada tanaman selada hingga 52% dan pada tanaman kentang hingga 37%. Someya et al. (2003) menggunakan bakteri antagonis Serratia marcescens strain B2 dan dapat menekan gejala penyakit fungi. Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan biofungisida berbahan aktif bakteri agens hayati unggul atau produk metabolit sekundernya untuk mengendalikan penyakit utama tanaman padi yang disebabkan oleh fungi atau bakteri. Dengan tersedianya produk ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menekan kehilangan hasil padi yang disebabkan oleh penyakit sehingga upaya penyediaan pangan dalam negeri melalui sistem pertanian ramah lingkungan dapat terwujud. METODE PENELITIAN Seleksi Bakteri Agens Hayati Terhadap Fungi Penyebab Penyakit Utama Tanaman Padi Secara In Vitro Sebanyak 30 isolat bakteri agens hayati yang akan digunakan merupakan kultur stok yang dimiliki laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Dapartemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Isolat bakteri tersebut terdiri dari kelompok Pseudomonas, Bacillus, dan Actinomycetes. Bakteri kelompok Pseudomonas dibiakkan pada medium King`s B Agar (Protease peptone 20 g, K 2 HPO g, MgSO 4.7H 2 O 1.5 g, Glycerol 15 ml, Agar 15 g dan aquabidest 59

60 1 liter) dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 24 jam. Kemurnian isolat bakteri Pseudomonas kelompok fluorescens ditandai dengan koloni dengan pigmen hijau kekuningan selanjutkan akan digunakan pada uji selanjutnya. Sementara itu bakteri kelompok Bacillus dibiakkan pada media Trypticasein Soy Agar (TSA) (Pancreatic digest of casein 17.0 g, Agar 15.0 g, NaCl 5.0 g, Papaic digest of soybean meal 3.0 g, K 2 HPO g, Glucose 2.5 g, dan aquabidest 1 liter ph 7.3). Pembentukan endospora dapat diamati dengan prosedur pewarnaan spora menggunakan Malachite Green dengan prosedur yang telah didiskripsikan oleh Cappuccino and Sherman (1996). Bakteri kelompok Actinomycetes dibiakan dalam media YM selektif (4 g/l glukosa, 10 g/l malt extract, 4 g/l yeast extract, 20 mg/l tr Vimethoprim, 50 mg/l griseofulvin, 50 mg/l nystatin). Seleksi. Seluruh isolat diseleksi berdasarkan hasil uji potensi antagonisnya terhadap patogen uji. Pengujian dilakukan menggunakan supernatan biakan tiap isolat. Biakan tiap isolat dipersiapkan sebagai berikut: isolat isolat kelompok Pseudomonas berfluoresens, Bacillus, atau Aktinomiset dibiakan dalam erlenmeyer 100 ml yang masing-masing berisi 10 ml media LB (10 g casein, 5 g yeast exstract, 5 g NaCI, dan 11 akuades), media TSB, atau media M2 (4 g glukosa, 4 g yeast ekstrak, dan 10 g malt ekstrak, dan 1000 ml akuades). Inkubasi dilakukan diatas rotary shaker (150 rpm) pada suhu ruang selama 4 hari. Kemudian biakan disentrifugasi dengan kecepatan rpm, suhu 4 o C, selama 10 menit. Supernatannya diambil, disterilisasi menggunakan saringan millifore dan diuji potensi antagonis terhadap patogen uji dengan media padat pada cendawan dengan teknik peracunan media (konsentrasi 10% ) pada cendawan dan paper disck diffusion assay pada bakteri. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter pengamatan adalah persen penghambatan pertumbuhan koloni cendawan dengan membandingkan diameter cendawan pada kontrol dan diameter cendawan pada perlakuan. Sedangkan penghambatan pertumbuhan koloni bakteri patogen dilakukan dengan mengukur lebar zona bening. Pengujian Isolat Bakteri Terhadap Fitotoksisitas dan Pertumbuhan Tanaman Padi Penyiapan perlakuan (isolat bakteri). Tiga isolat masing masing kelompok bakteri yang menunjukkan potensi tinggi terhadap penghambatan 60

61 perkembangan patogen pengujian in vitro sebelumnya selanjutnya diuji efek fitotoksik terhadap benih dan kemampuan memicu pertumbuhan tanaman secara kualitatif. Biakan tiap isolat bakteri yang digunakan sebagai perlakuan disiapkan dengan cara membiakan isolat tersebut dalam tabung yang berisi 500 ml media Luria Broth (10 g/l triptone, 5 g/l NaCl, dan 5 g/l yeast extract) kemudian diinkubasi di atas shaker (150 rpm, 48 jam, suhu ruang). Perlakuan isolat bakteri antagonis diberikan dengan cara merendam benih pada suspensi bakteri selama semalam. Benih selanjutnya ditanam pada media arang sekam steril yang telah disiapkan sebelumnya dan benih ditumbuhkan di rumah plastik. Persen perkecambahan benih dihitung satu minggu setelah perlakuan dan panjang akar serta tajuk diukur 3 minggu setelah perlakuan dengan membongkar benih pada media arang sekam. Karakterisasi Isolat Bakteri Terpilih Isolat bakteri yang menunjukkan potensi terbaik pada pengujian tahap sebelumnya dikarakterisasi beberapa sifat morfologi dan fisiologisnya (Schaad et al. 2001) yang berkaitan dengan sifat unggul agens hayati diantaranya, aktifitas kitinolitik, aktifitas proteolitik, aktifitas selulotik, pelarut fosfat, produksi IAA, dan produksi siderofor. Aktivitas kitinolitik. Aktivitas kitinolitik tiap isolat diuji menggunakan media agar yang mengandung kitin. Isolat dibiakan terlebih dahulu di dalam media LB yang mengandung 1% kitin dengan lama inkubasi 12 jam dalam inkubator bergoyang (150 rpm). Tahapan tersebut ditujukan agar isolat yang akan diuji telah terpicu aktivitas kitinolitiknya. Kemudian suspensi biakan isolat yang tumbuh dipindahkan sebanyak 10 μl secara spot-spot ke dalam cawan petri yang telah berisi media agar bergaram minimal (0,5 g MgSO 4.7H 2 O, 0,7 g K 2 HPO 4, 0,3 g KH 2 PO 4, 0,01 g FeSO 4.7H 2 O, 0,001 g ZnSO 4, 0,001 g MnCl 2, 1% koloidal kitin, dan 1000 ml akuades). Biakan diinkubasi selama 2-3 hari dalam suhu ruang. Aktivitas kitinolitik diindikasikan dengan adanya zona bening di sekitar koloni tiap isolat. Aktifitas pelarut fosfat. Kemampuan bakteri untuk melarutkan fosfat diuji dengan menggunakan media Pikovskaya's agar (Thakuria et al. 2004), dengan tri- 61

62 calcium phosphate sebagai sumber fosfat. Media dituang ke dalam cawan petri kemudian diabiarkan membeku. Suspensi isolat bakteri (OD 600 = 0,164) sebanyak 10 μl diteteskan pada media. Media yang mengandung bakteri diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Adanya zona bening disekitar bakteri mengindikasikan adanya kemampuan isolat bakteri melarutkan fosfat. Produksi siderofor secara kualitatif. Produksi siderofor dilakukan menggunakan media Chrome Azurol Sulfonat (CAS) agar (Husen, 2003) dengan modifikasi larutan garam. Pembuatan media ini dilakukan dengan membuat terlebih dahulu empat larutan. Tiap 1 L medium CAS agar diperlukan empat larutan dengan masing-masing komposisi sebagi berikut: Larutan 1 yang merupakan larutan indicator Fe-CAS memiliki komposisi 10 ml FeCl 3.6H 2 O 1 mm (dilarutkan dalam 10 mm HCl), 50 ml larutan CAS (1,21 mg/ml) dan 40 ml larutan hexadecyl-trimetylammonium bromide (HDTMA) (1,82 mg/ml). Larutan 2 atau larutan penyangga dibuat dengan melarutkan 30,24 g PIPES (piperazine- N,N-bis[2-ethanesulfonic acid]) ke dalam 750 ml larutan garam (3 g KH 2 PO 4, 5 g NaCl, 10 g NH 4 Cl, 20 mm MgSO4, 1 mm CaCl 2 ). Aquades ditambahakan hingga volume larutan mencapai 800 ml, ph larutan kemudian dukur dan ditera dengan KOH 50% hingga mencapai ph 6,8. Kemudian sebanyak 20 g agar-agar bakto ditambahkan ke dalam larutan sebelum disterilisasi. Larutan 3 memiliki komposisi 2 g glukosa, 2 g manitol dan elemen mikro yang terdiri dari 493 mg MgSO 4.7H 2 O, 11 mg MnSO 4.H 2 O, 1.4 mg H 3 BO 3, 0.04 mg CuSO 4.5H 2 O, 1.2 mg ZnSO 4.7H 2 O, dan 1 mg NaMoO 4.2H 2 O. seluruh komponen larutan 3 dilarutkan dalam 70 ml aquades. Larutan 4 berupa 30 ml 10% (b/v) cassamino acid yang disterilisasi dengan menggunakan membrane filter berukuran 0,45 µm. Medium CAS dibuat dengan mencampurkan larutan 2 dan 4 pada suhu sekitar 50 C setelah sterilisasi, kemudian ditambahkan kembali larutan 3 dan 1 secara perlahan-lahan untuk kemudian dilakukan homogenisasi dengan menggunakan batang magnet. Medium CAS memiliki warna hijau tua. Uji produksi siderofor dilakukan denga terebih dahulu meremajakan isolate bakteri kitinolitik pada media King s B. Tiap isolat tersebut kemudian digoreskan pada medium CAS. Isolat yang mampu menghasilkan siderofor ditandai dengan munculnya warna oranye disekitar isolat. 62

63 Identifikasi Isolat Bakteri Terpilih Identifikasi molekuler dengan sekuensing gen 16S rrna dilakukan untuk meyakinkan bahwa isolat bakteri yang akan dikembangkan dapat diketahui nama spesies secara pasti sehingga dapat dirujuk secara meyakinkan bahwa isolat tersebut bukan bakteri patogenik baik terhadap tanaman, hewan maupun manusia. Proses sekuensing meliputi: pembiakan isolat bakteri, purifikasi DNA, amplifikasi gen 16S rrna dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), purifikasi fragmen/amplicon gen 16S rrna serta proses sekuensing. Data hasil sekuensing selanjutnya digunakan untuk penelusuran sekuen homolog pada GenBank dengan program BLAST. Purifikasi DNA. Untuk purifikasi DNA kromosom dilakukan dengan menggunakan DNA Kit purification. Prosedur yang dilakukan disesuaikan dengan protokol dari produk atau kit yang digunakan. Secara umum prosedur isolasi DNA mencakup lisis sel, pelarutan senyawa organik, presipitasi asam nukleat serta pemurniannya. Amplifikasi gen 16S rrna. Gen 16S rrna diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer universal: forward 27F 5 -AGAGTTTGATCCTGGCTCAG dan reverse 142R 5 -GGTTACCTTGTTACGACTT. Volume total campuran berbagai komponen reaksi PCR sebanyak 25 µl yang mengandung 200 mg DNA templete, 20 pmol masing-masing jenis primer, 1.5 unit Taq Polymerase, 10 mm Tris-HCl (ph 9.0 pda suhu kamar), 50 mm KCl, 1.5 mm MgCl 2, 20 µm tiap-tiap dntp dan stabiliser termasuk BSA. Setiap siklus PCR mencakup denaturasi (pemisahan DNA utas ganda menjadi DNA utas tunggal pada suhu 95 o C selama 1 menit, annealing (pelekatan primer) pada suhu 55 o C selama 1 menit dan elongasi (pemajangan primer) pada suhu 72 o C selama 2 menit. Banyaknya siklus PCR adalah 35. Hasil purifikasi DNA, DNA fragmen hasil PCR serta pemurniannya divisualisasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2% yang telah ditambahkan dengan ethidium bromide dan bufer TBE (Trisma-base, Boric Acid, EDTA) atau TAE (Trisma-Base, Acetic Acid, EDTA) yang dicampur dengan blue juice (50% glycero, 0.1 M EDTA, Xylene Cyanol dan 0.15% bromophenol blue). Sekuensing 63

64 hasil PCR dikirimkan ke suatu perusahaan penyedia layanan sekuensing karena belum bisa dilakukan di Laboratorium Peneliti Utama maupun mitra peneliti. Hasil sekuensing digunakan untuk mencari padanan sekuen yang homolog pada GenBank dengan pogram BLAST. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Bakteri Agens Hayati dan Uji Potensi Antagonisme In Vitro Penapisan dilakukan terhadap 30 isolat bakteri koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang sebelumnya telah diketahui tidak menunjukkan reaksi hipersensitif (HR) pada tanaman indikator (tembakau). Hal ini penting dilakukan agar pengembangan lebih lanjut isolat bakteri tersebut sebagai agen hayati bisa dlakukan secara tepat. Uji HR penting dilakukan mengingat sulit membedakan antara bakteri patogen tumbuhan dan bakteri agen hayati berdasarkan ciri-ciri morfologi saja. Isolat tersebut selanjutnya digunakan untuk uji potensi antaonisme terhadap 3 patogen penting padi yaitu X. oryzae pv oryzae, P. oryzae, dan R. solani masing masig sebagai penyebab penyakit hawar daun bakteri, penyakit busuk leher dan hawar pelepah pada padi. Hasil uji potensi dari masing masing kelompok bakteri agens hayati dan patogen sasarannya dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat terjadinya keragaman potensi antagonis dari setiap isolat bakteri agen hayati. Pada kelompok aktinomiset zona bening tertinggi ditunjukkan oleh isolat ATS6 dan ATS8 masing masing 8 mm diikuti oleh ATS4 7 mm. Semakin lebar zona bening yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi potensi antagonisme terhadap X. oryzae pv oryzae. Sementara itu isolat P. oryzae pertumbuhannya dapat dihambat oleh isolat bakteri kelompok fluorescends isolat P12, P23 dan P24 masing masing sebesar 86, 67 dan 45%. Bakteri agen hayati isolat TTS47, BR2 dan B21 mampu menghambat 95, 81 dan 50% pertumbuhan R. solani dibandingkan dengan kontrol. Isolat isolat tersebut berpeluang untuk dikembangkan sebagai agens hayati. 64

65 Tabel 1. Uji potensi antagonisme isolat bakteri kelompok aktinomiset, Pseudomonas kelompok fluorescens dan bakteri non fluorescens terhadap X. oryzae pv oryzae, P. oryzae, dan R. solani No Aktinomiset vs X. oryzae pv oryzae Pseudomonas kel fluorescens vs P. oryzae Bakteri non fluorescens vs R. solani Isolat Lebar Zona Pnghambatan Pnghambatan Isolat Isolat Bening (mm) Pertumbuhan (%) Pertumbuhan (%) 1 APS4 7 P01 5 EKK APS7 6 P11 33 EKK APS9 1 P12 86 EAL APS12 0 P13 41 BR ATS4 7 P14 23 TTS ATS5 2 P15 12 SS ATS6 8 P16 27 B ATS8 8 P22 41 B AB1 3 P23 67 B AB2 2 P24 45 B46 7 Pengujian Isolat Bakteri Terhadap Fitotoksisitas dan Pertumbuhan Tanaman Padi Pengujian lebih lanjut dilakukan terhadap 3 isolat bakteri dengan potensi antagonisme tinggi terhadap patogen sasaran. Sebagai bagian dari tahapan penapisan, bakteri agen hayati dilihat efek fitotoksisitas dan pemicu pertumbuhan pada tanaman padi. Kelompok aktinomiset yang diuji mencakup isolat ATS4, ATS6 dan ATS8 menunjukkan bahwa isolat ATS4 menekan perkecambahan benih serta kualitas akar yang kurang bagus. Isolat ATS6 dan ATS8 tidak bersifat fitotoksik (perkecambahan benih dan kualitas akar tidak berbeda dengan kontrol) seperti terlihat pada Tabel 2. Sementara itu kelompok bakteri non fluorescens didapatkan isolat TTS47 memiliki sifat memicu pertumbuhan tanaman seperti ditunjukkan oleh kualitas akar yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol, sedangkan isolat BR2 menunjukkan performance yang sama dengan kontrol dan isolat B21 menunjukkan data perkecambahan benih yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Pada isolat bakteri agens hayati kelompok fluorescens dari tiga isolat yang diuji hanya isolat P12 yang menunjukkan tingkat perkecambahan benih dan kualitas akar yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan 2 isolat lain yaitu P23 dan P24 tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan kontrol. 65

66 Tabel 2. Pengujian efek fitotoksisitas dan pemicu pertumbuhan isolat bekteri agen hayati pada bibit padi No Isolat bakteri Perkecambahan Benih (%) Kualitas Akar 1 Kontrol ATS ATS ATS TTS BR B P P P Karakterisasi Isolat Bakteri Terpilih Karakterisasi lebih lanjut terhadap ketiga isolat yang tidak menunjukkan efek fitotoksik pada bibit padi seperti tercantum pada Tabel 3. Data pada tabel tersebut menunjukkan keragaman sifat fisiologi bakteri agens hayati. ATS6 dan ATS8 sebagai bakteri agen hayati kelompok aktinomiset mampu menghasilkan kitinase dan fosfatase. Sementara itu isolat P12 dan P24 sebagai bakteri kelompok fluorescens hampir memiliki semua sifat fisiologis yang baik sebagai bakteri agens hayati seperti menghasilkan kitinase, melarutkan fosfat, menghasilkan siderofor dan memproduksi IAA. P12 memiliki keunggulan dalam ekspresi sifat kitinolitik dan melarutkan fosfat. Isolat bakteri TTS47 memiliki karakteristik menghasilkan sidefofor, IAA dan melarutkan fosfat. Sementara itu bakteri isolat BR2 memproduksi kitinase dan IAA tapi tidak menghasilkan siderofor dan enzim pelarut fosfat. Tabel 3. Karakterisasi sifat sifat fisiologi isolat bekteri agen hayati Karakter ATS6 ATS8 P12 P24 TTS47 BR2 Fitotoksis Gram Produksi khitinase Produksi siderofor Pelarut Fosfat Produksi IAA

67 Identifikasi Isolat Bakteri Terpilih Masing masing kelompok bakteri dipilih satu isolat yang paling potensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agens hayati. Ketiga isolat tersebut adalag ATS6 (aktinomiset), TTS47 (bakteri non flurescens) dan P12 (bakteri kelompok fluorescens). Identifikasi dilakukan dengan teknik molekuler dengan analisis sekuen gen 16S rrna dan dilanjutkan alignment database sekuen DNA gen 16S rrna bakteri pada GenBank dengan BLAST. Sekuensing dilakukan oleh pihak ketiga, sebuah perusahaan yang melayani jasa sekuensing (Genetika Science). Dari hasil sekuensing tersebut 2 isolat bakteri ATS6 identik terhadap Streptomyces sp dan TTS47 terhadap Ralstonia picketsii dengan tingkat kemiripan masing masing sebesar 99% dan 98% (Tabel 4). Sementara itu isolat P12 belum berhasil disekuensing karena adanya beberapa kendala dalam purufikasi DNA kromosom dan amplifikasi gen 16S rrna dengan PCR biasa. Tabel 4. Identifikasi isolat bakteri agen hayati berdasarkan data kemiripan sekuen 16S rrna pada GenBank Kode isolat Asesi padanan Kemiripan (%) Spesies ATS6 HE Streptomyces sp. TT47 NC Ralstonia pickettii P12 ND ND ND Pemilihan isolat untuk agens hayati untuk pengendalian X.oryzae pv oryzae sengaja diarahkan pada kelompok aktinomiset karena bakteri dari golongan tersebut banyak menghasilkan antibiotika. Bakteriosin yang dihasilkan oleh aktinomiset telah diteliti mampu menghambat Ralstonia solanacearum dan X. oryzae pv. oryzae (Akhdiya & Susilowati, 2008). Beberapa aktinomiset juga telah diteliti menghasilkan senyawa antibakteri terhadap Erwinia amylovora, Agrobacterium tumefaciens, dan Pseudomonas viridiflava (Oskay et al. 2004). Sementara itu penapisan bakteri agen hayati untuk mengendalikan Pyricularoa oryzae ditemukan Pseudomonas kelompok fluorescens menjadi kandidat yang paling baik. Pseudomonas kelompok fluorescens telah banyak dilaporkan sebagai agens antagonis yang mampu menekan perkembangan berbagai macam patogen tumbuhan. Pseudomonas fluorescens strain 5 (Pf-5) merupakan bakteri Pseudomonas fluorescens pertama yang dilaporkan mampu 67

68 menekan penyakit layu pada kapas yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani (Howell and Stipanovic, 1979) dan Pythium ultimum (Howell and Stipanovic, 1980). Hasil uji in vitro Pseudomonas fluorescens menunjukkan adanya senyawa antibiosis yang mampu menekan perkembangan bakteri penyebab layu pada tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Giyanto et al. 1998). Kemampuan Pseudomonas fluorescens menekan perkembangan berbagai macam patogen bisa dipahami karena bakteri ini mensintesis berbagai senyawa antibiotik seperti phenazine carboxylic acid (PCA), pyrrolnitrin, oomycin A, 2,4- diacetylphloroglucinol (Phl), dan pyoluteorin (Plt) (Schnider et al. 1995). Dilaporkan pula pada strain strain tertentu mampu memproduksi hydrogen cyanide (HCN), phospholipase C, dan exoprotease (Heeb et al. 2002). Pada penelitian ini ditemukan Ralstonia picketsii, isolat yang sangat potensial menekan Rhizoctonia solani. Hasil penelusuran pustaka sejauh ini belum ada referensi yang menyatakan R. picketsii digunakan sebagai agens hayati. Ryan et al. (2007) menyebutkan bahwa R. pickettii telah banyak dimanfaatkan sebagai bioremediasi, pendegradasi sejumlah senyawa toksik (Elango et al. 2006), dan belum pernah dilaporkan terdeteksi sebagai patogen pada tanaman dan hewan. Hasil penelitian ini memberikan informasi baru potensi R. picketsii selain sebagai bioremediator juga bisa dikembangkan lebih jauh sebagai agen hayati untuk pengendalian penyakit tumbuhan. KESIMPULAN Penelitian ini didapatkan 3 isolat bakteri masing-masing dari kelompok aktinomiset (ATS6), Pseudomonas kelompok fluorescens (P12), dan bakteri kelompok non fluorescens (TTS47) yang berpotensi menekan X. oryzae pv.oryzae, P. oryzae, dan R. solani yang bersifat tidak fitotoksik serta menginduksi pertumbuhan tanaman padi. Isolat-isolat tersebut berdasarkan karakterisasi fisiologi mampu menghasilkan kitinase (ATS6 dan P12), fosfatase (ATS6, P12 dan TTS47), siderofor (P12 dan TTS47), dan indole acetic acid (P12 dan TTS47). Identifikasi molekuler berdasarkan sekuensing parsial DNA pengkode gen 16S rrna menunjukkan 2 isolat bakteri yaitu ATS6 identik 68

69 terhadap Streptomyces sp dan TTS47 terhadap Ralstonia picketsii dengan tingkat kemiripan masing masing sebesar 99% dan 98%. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Penelitian Strategis Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 046/SP2H/PL/Dit.Litabmas/III/2012 tanggal 7 Maret DAFTAR PUSTAKA Akhdiya A, Susilowati DN Aktivitas penghambatan bakteriosin dari aktinomiset terhadap bakteri patogen tanaman pangan dan patogen tular makanan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(1): Elango VK, Liggenstoffer AS, Fathepure BZ Biodegradation of vinyl chlroride and cis-dichloroethene by a Ralstonia sp. strain TRW-1. Appl Microbiol Biotechnol 72: Giyanto, A. A. Nawangsih dan K. H. Mutaqin Analisis keragaman molekuler Pseudomonas kelompok fluorescens dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan studi potensi antagonistic terhadap Ralstonia solanacearum pada tomat. Laporan Penelitian Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar. Dirjen Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Grosch R, Faltin F, Lottmann J, Kofoet A, Berg G Effectiveness of 3 antagonistic bacterial isolates to control Rhizoctonia solani Kühn on lettuce and potato. Canadian Journal of Microbiology 51: Groth DE Effects of cultivar resistance and single fungicide application on rice sheath blight, yield, and quality. Crop Protection 27: Heeb, S., C Blumer, and D. Haas Regulatory RNA as mediator in GacA/RsmA-dependent global control of exoproduct formation in Pseudomonas fluorescens CHAO. J. Bacteriol. 184: Howell, C. R. and R. D. Stipanovic Control of Rhizoctonia solani in cotton seedling with Pseudomonas fluorescens with an antibiotic produced by the bacterium. Phytopatology 69: Howell, C. R. and R. D. Stipanovic Supression Phytium ultimum induced damping-off of cotton seedlings by Pseudomonas fluorescens and its antibiotic pyoluteorin. Phytopatology 70:

70 Husen E Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in vitro. Indo J Agri Sci. 4: Manjula K, Kishore GK, Podile AR Whole cells of Bacillus subtilis AF 1 proved more effective than cell-free and chitinase-based formulation in biological control of citrus fruit rot and groundnut rust. Can. J. Microbiol 50: Mew TW. Cottyn B, Pamplona R, Barrios H, Xiangmin L, Zhiyi C, Fan L, Nilpanit N, Arunyanart P, Kim PV, Du PV Applying rice seedassociated antagonistic bacteria to manage rice sheath blight in developing countries. Plant Dis. 88: Nagarajkumar M, Jayaraj J, Muthuhrishnan S, Bhaskaran R, Velazhahan R Detoxification of oxalic acid by Pseudomonas fluorescens strain pfmdu2: implications for the biological control of rice sheath blight caused Rhizoctonia solani. Microbiol. Res. 160: Oskay M, Tamer AU, Azeri C Antibacterial activity of some actinomycetes isolated from farming soils of Turkey. Afr J Biotechnol 3(9): Ryan MP, Pembroke JT, Adley CC Ralstonia pickettii in enviromental biotechnology: potential and applications. J Appl Microbiol 103: Schaad NW, Jones JB, Chun W Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. 3 rd ed. APS Press. Minnesota. Singh PP, Shin YC, Park CS, Chung YR Biological control of fusarium wilt of cucumber by chitinolytic bacteria. Phtopathology 89: Schnider, U., C. Keel, C. Blumer, J. Troxler, G. Defago, and D. Haas Amplification of housekeeping sigma factor in Pseudomonas fluorescens CHAO enhances antibiotic production and improves biocontrol abilities. J.Bacteriol. 177: Someya N, Nakajima M, Watanabe, Hibi T, Akutsu K Influence of bacteria isolated from rice plants and rhizospheres on antibiotic production by the antagonistic bacterium Serratia marcescens strain B2. J Gen Plant Pathol 69: Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. Current Science 86: Vidyasekaran, P. and Muthamilan, M Development of formulation of Pseudomonas fluorescens for control of chickpea wilt. Plant. Dis. 79:

71 INDUKSI MUTASI KALUS EMBRIOGENIK JER UK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L.) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA (Induced Mutations of Embryogenic Callus Mandarin cv. Garut (Citrus reticulata L.) with Gamma Rays Irradiation) Karyanti 1), Agus Purwito 2), Ali Husni 3) 1) Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT. 2) Dep. Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 3) Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. ABSTRAK Keprok Garut merupakan komoditas unggulan nasional. Karakter unggul keprok Garut belum sesuai selera konsumen khususnya pada warna buah dan jumlah biji. Teknik pemuliaan mutasi dengan iradiasi sinar gamma dapat di manfaatkan untuk meningkatkan kualitas jeruk keprok Garut tanpa biji. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman melalui iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik jeruk keprok Garut. Kalus asal nuselus di iradiasi dengan sinar Gamma pada dosis 0, 20, 40, 60, 80 dan 100 gray. Kalus diregenerasi melalui tahapan embriogenesis somatik dan diamati pertumbuhannya. Peningkatn dosis iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik keprok Garut menghambat proliferasi kalus dan diperoleh dosis optimal berdasarkan LD 50 berada disekitar 57,87 gray. Kalus hasil perlakuan iradiasi mempunyai kemampuan regenerasi yang beragam dengan persentase efisiensi tertinggi tahap pendewasaan pada dosis 20 dan 100 gray dan tahap perkecambahan pada dosis 20 dan 40 gray. Pertumbuhan sejumlah kecambah menghasilkan 28 tunas mutan putatif dengan keragaman 0-59%. Penyambungan secara in vitro-ex vitro tunas mutan putatip sebagai batang atas dengan Japansche Citroen sebagai batang bawah setelah 4 minggu dapat bersinergis dengan persentase hidup 75-80%. Kata kunci: Pemuliaan mutasi, embriogenesis somatik, proliferasi, pendewasaan, penyambungan. ABSTRACT Mandarin cv. Garut is one of local citrus which has some several superiority such as easy to peel, fresh and sweet flavour, yellowish green skin and containt seeds per fruit, but can it not compete with citrus from other countries. Quality improvement have been the subject of citrus breeding programme. The objective of this research is to increase genetic variability of Mandarin cv. Garut through Gamma rays irradiation on embryogenic callus. Callus was irradiated at doses of 0, 20, 40, 60, 80 and 100 gray and regenerated through somatic embryogenesis. The result of radiosensitivity dose for GR 50 analyzed by Curve Expert 1.4 software was 58,36 gray. Observation on the growth of callus showed variation on morphology and weight of callus. At doses 0-40 gray callus growth was not inhibited, but at doses gray callus growth was inhibited. Gamma irradiation also affected the formations of somatic embryos. After six weeks on maturation medium produced the highest percentage of efficiency at dose of 20 and 100 gray and on germination medium at dose of 20 and 40 gray. After four times subcultures in medium without plant regulator, it was produced 28 putative mutan shoots with morphological variability 0-59%. After four week grafting (in vitro and ex vitro) between putative mutan shoots as scion and Japansche Citroen as rootstock it was obtainted the growth percentage 63-75%. Keywords: Mutation breeding, somatic embryogenesis, proliferation, maturation, grafting. 71

72 PENDAHULUAN Jeruk keprok Garut adalah salah satu jenis jeruk unggulan nasional. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 760 tahun 1999 menetapkan jeruk keprok Garut sebagai varietas unggul. Keprok Garut mempunyai rasa asam manis, kulitnya mudah dikupas, warna kulit hijau kekuningan dan mempunyai biji sekitar biji/buah (Balitbangtan, 1999). Menurut Spiegel-Roy dan Goldschmidt (1996), kriteria buah jeruk yang digemari oleh konsumen dan pasar global adalah buah jeruk yang mempunyai biji sedikit atau tanpa biji (seedless), mudah dikupas dan memiliki warna yang menarik. Beberapa kriteria tersebut belum dimiliki oleh keprok Garut sehingga kalah bersaing di pasar global. Untuk meningkatkan kualitas mutu buah jeruk keprok Garut yang telah memiliki karakter buah unggul dapat memanfaatkan teknik pemuliaan mutasi. Menurut Suryowinoto (1990), untuk menambahkan karakter baru dari tanaman yang telah memiliki karakter unggul dapat memanfaatkan teknologi induksi mutasi. Aplikasi pemuliaan mutasi dapat dilakukan secara in vitro dan ex vitro. Aplikasi pemuliaan mutasi secara in vitro dengan bahan tanaman berupa kalus embriogenik mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat terhindar dari adanya kimera, dapat dilakukan pada populasi yang besar dan dapat dikerjakan dalam ruang yang terbatas (Witjaksono & Litz, 2002). Mutasi dapat terjadi secara spontan dan buatan. Mutasi spontan merupakan mutasi yang terjadi secara alami sedangkan mutasi buatan merupakan mutasi yang terjadi karena terinduksi oleh mutagen. Mutagen yang dapat menginduksi keragaman diantaranya adalah mutagen fisik dan kimia. Mutagen fisik yang umum digunakan yaitu sinar Gamma sedangkan mutagen kimia dapat menggunakan EMS (Ethyl Methane Sulphonate) (van Harten, 1998). Induksi mutasi secara fisik dan kimia dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom dan mutasi gen. Aplikasi induksi mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar Gamma telah banyak dilakukan baik pada tanaman pangan ataupun buah. Mutan Mor merupakan mutan hasil induksi mutasi pada jeruk mandarin murcott dengan sinar 72

73 Gamma pada dosis 35 gray, dihasilkan klon baru dengan rata-rata jumlah biji sekitar 5-7 biji/buah, dari rata-rata jumlah biji awal sekitar biji/buah pada tanaman aslinya dan produktifitasnya tetap sama dengan tanaman aslinya (Vardi et al. 1993). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan Growth Reduction (GR 50 ), meningkatkan keragaman genetik tanaman jeruk keprok Garut, memperoleh dosis mutagen yang efektif untuk induksi keragaman secara in vitro dan menghasilkan tanaman mutan putatif. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Oktober 2011-September 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Sedangkan untuk perlakuan iradiasi sinar Gamma dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kalus embriogenik jeruk keprok Garut yang berumur 18 bulan. Media dasar MW kombinasi MS (Murashige & Skoog) dan vitamin MW (Morel & Wetmore), zat pengatur tumbuh ( BAP, ABA, GA 3 ), Casein Hydrolisat, gula, agar pemadat, dan alkohol 70%, daun regeneran putative hasil in vitro, jeruk batang bawah Japansche Citroen (JC). Alat yang digunakan diantaranya peralatan iradiasi 60 Co, laminar air flow, mikroskop dan kamera digital. Analisis Data Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi sinar Gamma (0, 20, 40, 60, 80, 100 gray). Setiap perlakuan diulang masing-masing lima ulangan. Setiap ulangan terdiri dari satu botol kultur yang ditanami lima clumps kalus. Setiap clumps kalus mempunyai berat basah sekitar 0,1 gram (20 proembrio). Data regenerasi kalus embriogenik dianalisis menggunakan sidik ragam dengan uji F menggunakan program SAS 73

74 Release 6.12 (Mattjik & Sumertajaya, 2006). Data hasil identifikasi morfologi diubah menjadi data biner dan dianalisis menggunakan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Means) dengan fungsi SIMQUAL menjadi dendogram melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) versi 2.02 (Rohlf, 1998). Tahapan Penelitian Percobaan yang dilakukan terdiri dari empat tahap yaitu 1) perbanyakan kalus embriogenik dan induksi iradiasi sinar Gamma, 2) regenerasi kalus hasil iradiasi melalui tahapan embriogenesis somatik, 3) identifikasi secara morfologi dan 4) penyambungan tunas regeneran putatif dengan batang bawah secara in vitro dan ex vitro. Tahap 1. Perbanyakan kalus dan induksi iradiasi sinar Gamma Kalus embriogenik jeruk keprok Garut ditanam dan diperbanyak dalam media proliferasi yaitu media dasar MW ditambahkan 3 mg/l BAP (Merigo 2011). Kalus hasil perbanyakan diberikan perlakuan iradiasi sinar Gamma dalam Gamma Chamber 60 Co (laju dosis saat perlakuan 0,648 K gray /jam) dengan dosis perlakuan 0, 20, 40, 60, 80, 100 gray. Kalus selanjutnya ditanam dalam media MW tanpa zat pengatur tumbuh dan diinkubasi dalam ruang kultur pada suhu C dengan intensitas cahaya lux selama 6 minggu. Peubah yang diamati yaitu perubahan warna kalus, penambahan berat kalus dan persentase proliferasi kalus. Data proliferasi kalus dianalisis dengan software Curve Expert 1.4 dan diperoleh rekomendasi GR 50. Tahap 2. Regenerasi kalus hasil iradiasi sinar Gamma Kalus hasil iradiasi sinar Gamma selanjutnya diregenerasi dalam media pendewasaan dan perkecambahan. Kalus ditanam pada media pendewasaan yaitu media dasar MW ditambahkan ABA 2,5 mg/l dan Casein Hydrolisat 300 mg/l (Merigo, 2011) dan diikubasi selama 6 minggu. Embrio pada media pendewasaan akan berubah dari fase globular menjadi fase jantung, fase torpedo dan fase kotiledon (embrio dewasa). Selanjutnya embrio somatik ditanam dalam media perkecambahan (media dasar MW ditambahkan GA 3 2,5 mg/l) (Merigo, 2011) dan diikubasi selama 6 minggu. Peubah yang diamati yaitu jumlah embrio 74

75 somatik, efisiensi pembentukan embrio somatik, jumlah embrio berkecambah dan jumlah tunas regeneran. Tahap 3. Identifikasi pertumbuhan dan morfologi tunas regeneran Pada tahap ini tunas regeneran disubkultur sebanyak empat kali dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas regeneran hasil kultur in vitro diidentifikasi secara morfologi pada karakter jumlah daun, warna daun, bentuk daun, tinggi tunas, jumlah cabang, kondisi batang, ketegakan tunas, jumlah akar, panjang dan lebar stomata. Tahap 4. Penyambungan in vitro dan ex vitro Teknik penyambungan baik secara in vitro maupun ex vitro dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan tunas regeneran. Tunas regeneran digunakan sebagai batang atas dan batang bawah digunakan JC. Pada penyambungan secara in vitro batang bawah yang digunakan adalah kecambah steril umur 1 bulan. Sedangkan secara ex vitro batang bawah yang digunakan yaitu bibit JC umur 9 bulan dan kecambah umur 3 bulan. Pengamatan dilakukan pada 4 minggu setelah tanam dan diamati persentase pertumbuhan sambungan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Kalus Perubahan warna kalus merupakan indikasi adanya pengaruh iradiasi sinar Gamma. Pengamatan warna kalus pada umur 6 minggu setelah iradiasi menghasilkan perubahan warna kalus pada dosis 40, 60, 80 dan 100 gray. Pada dosis 0 (tanpa iradiasi) dan 20 gray warna kalus tetap putih kekuningan, sedangkan pada dosis 40 dan 60 gray warnanya berubah menjadi putih kecoklatan. Peningkatan dosis sampai 80 dan 100 gray merubah semua warna kalus menjadi coklat (Tabel 1). Tabel 1. Persentase perubahan warna kalus 6 minggu setelah iradiasi sinar Gamma Warna Kalus Dosis Iradiasi Sinar Gamma (gray) Putih Kekuningan 100% 100% 55% 35% 0 0 Putih Kecoklatan % 65% 0 0 Coklat % 100% 75

76 Rata-rata pertambahan berat kalus (gram) Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2012 Iradiasi sinar Gamma berpengaruh nyata pada peningkatan berat kalus. Berat kalus pada umur 6 minggu setelah iradiasi tidak berbeda nyata pada dosis 0, 20 dan 40 gray tetapi terlihat berbeda nyata pada dosis 60, 80 dan 100 gray (Gambar 1). Peningkatan dosis iradiasi cenderung menghambat pertumbuhan selsel kalus akibat rusaknya ikatan atom pada molekul. Molekul melepaskan elektron dan berubah muatan menjadi ion atau radikal bebas yang dapat menghambat perkembangan sel (van Harten, 1998) ,08 a 1,1 a ,87 a ,42 b 0,29 b 0,16 b Dosis Iradiasi Sinar Gamma (gray) Gambar 1. Rata-rata pertambahan berat kalus jeruk keprok Garut umur 6 minggu setelah iradiasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5. Tingkat sensitivitas suatu jaringan terhadap iradiasi dapat diketahui melalui radiosensitivitas. Pengaruh radiosensitivitas pada setiap tanaman berbeda-beda. Radiosensitivitas dapat diperoleh dengan pendekatan Lethal dose 50 (LD 50 ) yaitu dosis iradiasi yang menyebabkan kematian 50% bahan tanaman hasil iradiasi atau melalui pendekatan Growth Reduction (GR 50 ) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano, 2004). GR 50 pada perlakuan ini diperoleh melalui data proliferasi kalus yang dianalisis menggunakan software Curve Expert 1.4. Berdasarkan hasil analisis diperoleh GR 50 kalus embriogenik keprok Garut dengan perlakuan iradiasi sinar Gamma 76

77 Proliferasi Kalus (%) Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2012 seperti pada Gambar 2 berada di sekitar dosis 58,36 gray. Dosis disekitar gray diharapkan dapat menghasilkan keragaman yang tinggi. S = r = % , Dosis Iradiasi Sinar Gamma (Gray) Gambar 2. Kurva pengaruh iradiasi terhadap persentase proliferasi kalus. Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma Sebanyak 100 proembrio yang ditanam dalam media pendewasaan menghasilkan rata-rata jumlah embrio somatik yang bervariasi. Rata-rata jumlah embrio somatik yang dihasilkan tanpa iradiasi tidak berbeda nyata pada dosis 80 gray tetapi berbeda nyata pada dosis 20, 40, 60 dan 100 gray. Sedangkan pada dosis 20, 40, 60 dan 100 gray saling berbeda nyata (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata jumlah dan efisiensi pembentukan embrio somatik umur 6 minggu setelah tanam Dosis iradiasi sinar Gamma (gray) Rata-rata jumlah proembrio Awal Rata-rata jumlah Embrio Somatik Efisiensi pembentukan embrio somatik (%) ,0 c 18, ,0 a 42, ,8 d 12, ,6 e 8, ,6 c 19, ,0 b 32,0 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Berdasarkan tingkat efisiensi pembentukan embrio somatik pada setiap dosis perlakuan, diperoleh pola efisiensi yang tidak teratur dimana hasil tertinggi 77

78 diperoleh pada dosis 40 dan 100 gray dan efisiensi terendah pada dosis 60 gray (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh ionisasi sinar Gamma dapat memicu pembentukan embrio somatik yang beragam. Sebanyak 665 embrio somatik yang terbentuk selanjutnya ditumbuhkan dalam media perkecambahan dan dihasilkan 91 embrio berkecambah. Embrio somatik akan berkembang menjadi kecambah dengan munculnya daun, batang dan akar. Perkecambahan embrio yang sempurna ditandai dengan pembentukan akar dan munculnya tunas (Gmietter & Moore, 1986). Jumlah embrio somatik yang tumbuh dan berkecambah pada setiap dosis beragam. Pada dosis 20 dan 40 gray menghasilkan embrio berkecambah lebih banyak, sedangkan pada dosis 60 dan 100 gray menghasilkan embrio berkecambah lebih sedikit (Tabel 3). Untuk menghasilkan tunas regeneran dengan morfologi yang normal dilakukan subkultur berulang dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh sebanyak empat kali setiap 4 minggu. Tabel 3. Jumlah embrio somatik, kecambah dan tunas regeneran hasil iradiasi sinar Gamma Dosis iradiasi sinar Gamma (gray) Jumlah embrio somatik Jumlah embrio berkecambah Jumlah tunas regeneran Total (14,14%) 28 (30,77%) Sejumlah kecambah yang ditanam dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh menunjukkan respon pertumbuhan yang beragam. Keragaman yang muncul seperti bentuk daun, tunas roset, ada atau tidaknya akar, banyaknya jumlah cabang dan tunas vitrous (Gambar 3). Sebanyak 91 kecambah yang telah ditanam berulang dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh menghasilkan 28 tunas regeneran (Tabel 3). Perlakuan tanpa iradiasi menunjukkan adanya pengaruh variasi somaklonal terlihat dari 12 embrio berkecambah yang dihasilkan ternyata hanya 4 yang dapat berkembang menjadi tunas regeneran. 78

79 Gambar 3. Keragaman beberapa regeneran hasil iradiasi sinar Gamma. Keragaman Morfologi Tunas Regeneran Tunas-tunas regeneran menunjukkan adanya perbedaan morfologi seperti pada Gambar 4. Perbedaan yang dihasilkan setiap tunas regeneran menunjukkan adanya keragaman dan diharapkan menghasilkan perubahan genetik. Menurut Miglani (2006), jika dua atau lebih genotipe ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang sama (in vitro) sehingga menghasilkan pertumbuhan yang berbeda, maka kedua regeneran tersebut mempunyai genotipe yang berbeda. A B C D E F Gambar 4. Morfologi tunas regeneran hasil subkultur berulang dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh: A.M0/3 (tanpa iradiasi), B.M20/3 (20 gray), C.M40/3 (40 gray), D. M60/1(60 gray), E. M80/3 (80 gray), F. M100/1(100 gray). Identifikasi morfologi diamati dari 28 tunas regeneran melalui karakterkarakter kuantitatif populasi hasil iradiasi. Menurut Baihaki (1999), populasi yang bervariasi dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi. Pengamatan rata-rata karakter tinggi tunas, jumlah akar, panjang dan lebar stomata pada semua populasi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Sedangkan pada karakter jumlah daun dan cabang terlihat perbedaan yang nyata. Tunas regeneran M60 menghasilkan rata-rata jumlah daun dan cabang lebih banyak dibandingkan tunas regeneran yang lain. 79

80 Tabel 4. Data kisaran, rataan, ragam dan standar deviasi karakter morfologi tunas regeneran Karakter Populasi Regeneran M0 M20 M40 M60 M80 M100 Kisaran 2,7-4,5 2,6-3,7 2,6-4,8 2-2,2 2,2-6,3 2,2-2,2 Tinggi Rataan 3,35 3,11 3,5 2,1 3,52 2,2 Tunas (cm) Ragam 0,63 0,14 0,7 0,02 2,73 0 Standar deviasi 0,79 0,38 0,84 0,14 1,65 0 Kisaran Jumlah Rataan 1,5 1,63 1,43 1,5 1,2 0,5 Akar Ragam 0,33 0,55 0,62 0,5 0,7 0,5 Standar deviasi 0,58 0,74 0,79 0,71 0,84 0,71 Jumlah Daun Jumlah Cabang Panjang Stomata (µm) Lebar Stomata (µm) Kisaran Rataan 8,75 13, ,5 7,4 6,5 Ragam 7,58 36,27 63,67 24,5 5,3 4,5 Standar deviasi 2,75 6,02 7,98 4,95 2,3 2,12 Kisaran Rataan 4 4,38 4,86 10,5 5,6 4,5 Ragam 3,33 32,27 40,48 4,5 10,3 12,5 Standar deviasi 1,83 5,68 6,36 2,12 3,21 3,54 Kisaran Rataan Ragam 1 23,13 54,95 24,5 9,5 0 Standar deviasi 1 4,81 7,41 4,95 3,08 0 Kisaran Rataan 20 20, ,5 Ragam 0 4,79 31,29 12,5 64,2 4,5 Standar deviasi 0,58 2,19 5,59 3,54 8,01 2,12 Hasil nilai ragam populasi tunas regeneran pada karakter tinggi tunas, jumlah akar dan lebar stomata M40 dan M80 memiliki ragam lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada karakter jumlah daun, jumlah cabang dan panjang stomata M20 dan M40 memiliki ragam lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya seperti ditunjukan pada Tabel 4. Nilai ragam dan standar deviasi terbesar pada semua karakter yang diamati muncul pada regeneran M40 (Tabel 4). Keragaman data morfologi in vitro yang dihasilkan dianalisis melalui program NTSYS versi Pengelompokan didasarkan pada sepuluh karakter yang diamati dari 28 tunas regeneran stabil dan menghasilkan keragaman 0-59% (Gambar 5). 80

81 II I Koefisien Kemiripan Gambar 5. Dendogram berdasarkan karakter morfologi ragam berdasarkan hasil analisis gerombol metode UPGMA. Penyebaran karakter tunas regeneran yang dihasilkan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok I dan kelompok II. Kelompok I hanya memiliki satu regeneran putatif (M80/3), sedangkan pada kelompok II terpecah menjadi kelompok A dan kelompok B dengan keragaman morfologi 0-58%. Kelompok B hanya memiliki satu regeneran putatif (M40/4), sedangkan kelompok A terpecah menjadi kelompok A.1 dan A.2 dengan keragaman morfologi 0-50%. Kelompok A.1 terdiri dari 16 regeneran putatif hasil iradiasi dan 4 regeneran tanpa iradiasi dengan karagaman morfologi 31-39%. Keragaman regeneran tanpa iradiasi menyebar pada kisaran 12-16%. Kelompok A2 menghasilkan 4 regeneran putatif dengan keragaman morfologi sebesar 12-31%. Analisis pengelompokan ini memiliki nilai korelasi matriks Rohlf sebesar 0,85 (r = 0,85). Hal ini berarti bahwa pengelompokan pada dendogram yang diperoleh sudah sesuai dalam menggambarkan pengelompokan berbagai keragaman fenotip. Penyambungan (grafting) A B A.1 A.2 M0/1 M0/2 M0/3 M40/2 M40/6 M0/4 M20/7 M80/2 M20/1 M20/4 M20/5 M20/5 M40/7 M20/2 M40/5 M20/8 M80/1 M40/1 M40/3 M80/5 M100/2 M20/3 M60/1 M60/2 M80/4 M100/1 M40/4 M80/3 Pada umumnya tanaman jeruk diperbanyak dengan cara sambung yaitu metode menyambungkan dua potong jaringan tanaman yang hidup sehingga ke dua jaringan tersebut bersatu, tumbuh dan berkembang menjadi tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mencari teknik penyambungan yang optimal khususnya pada batang atas hasil iradiasi sinar Gamma. Penyambungan dilakukan 81

82 secara in vitro dan ex vitro. Hasil penyambungan secara in vitro mencapai 75% dan penyambungan ex vitro sebesar 63-75% setelah empat minggu penyambungan (Tabel 5). Tabel 5. Data persentase pertumbuhan hasil penyambungan secara in vitro dan ex vitro Umur Batang Bawah (JC) Jumlah Penyambungan Persentase Pertumbuhan (%) Rata-rata jumlah daun In Vitro (kecambah steril umur 1 bulan) 8 75,00 1,88 Ex Vitro (bibit umur 9 bulan) 8 62,50 3,00 Ex Vitro (kecambah umur 3 bulan) 5 75,00 2,50 KESIMPULAN Peningkatan dosis iradiasi sinar Gamma pada kalus embriogenik keprok Garut menghambat pertumbuhan kalus. Growth Reduction (GR 50 ) berada di sekitar 58,36 gray. Kalus hasil perlakuan iradiasi mempunyai kapasitas kemampuan regenerasi yang beragam dengan efisiensi pembentukan embrio somatik tertinggi pada dosis 20 dan 100 gray sedangkan jumlah kecambah dan tunas regeneran pada dosis 20 dan 40 gray. Pertumbuhan kecambah setelah disubkultur empat kali dalam media tanpa zat pengatur tumbuh menghasilkan 28 tunas regeneran. Karakter-karakter morfologi yang diamati pada tunas regeneran menghasilkan nilai ragam lebih tinggi terutama pada dosis 40 gray dengan keragaman berdasarkan analisis gerombol 0-59%. Metode penyambungan secara in vitro-ex vitro antara tunas regeneran sebagai batang atas dan Japansche Citroen sebagai batang bawah dapat menghasilkan tanaman sambung dengan persentase sebesar 63-75%. DAFTAR PUSTAKA Amano E Practical suggestions for mutation breeding. Di dalam: Medina FIS, Amano E, Tano S,editor. Mutation Breeding Manual. Japan: FNCA. hlm [Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 760/kpts/TP.240/6/99 tentang 82

83 Pelepasan Jeruk Keprok Garut sebagai varietas unggul.jakarta: Balitbangtan Deptan. Baihaki A Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departeman Pertanian dengan Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran. Gmiter F, Moree GA Plant Regeration from Undeveloped Ovules and Embryogenic Calliof Citrus: Embryo Production, Germination, and Plant Survival. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 6: Mattjik AA, Sumertajaya IM Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. hlm Merigo AJ Studi regenerasi tanaman jeruk keprok Batu 55 (Citrus Reticulata) melalui jalur embrio somatik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miglani GS Mendelian genetics. Di dalam:dashek Wvand Horrison M,editor.Plant Cell Sci. Publisher USA. Rohlf FJ NTSYS-PC Numerical Taxonomic and Multivariate Analysis System Version 2.02 User Guide Exeter Software. New york: Exeter Publishing Co.Ltd. Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE Biology of Citrus. New York: Cambridge University Press. Suryowinoto M Tenaga Atom Pemanfaatannya dalam Biologi dan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Van Harten AV Mutation Breeding Theory and Practical Application. Csmbridge USA: Cambridge University Press. Vardi A, Spiegel RP, Elchanaw AP, penemu: US Patent PPB Mandarin Tree Named Mor. 378 hlm. Witjaksono, Litz RE Somatic embriogenesis of avocado and its application for plant improvement. Di dalam: Procceding Internatioal Symposium Tropical dan Subtropical Fruits: Australia, 26 November 1 Desember Cairns,Australia: Acta Holticulturae. Hlm

84 OPTIMALISASI TECHNOLOGY SERVICES PADA WIRAUSAHA BENIH DAN BIBIT PEPAYA PUSAT KAJIAN HORTIKULTURA TROPIKA (PKHT) LPPM INSTITUT PERTANIAN BOGOR (Optimization Technology Services on Papaya Seed and Seedling Business Center of Tropical Horticulture Studies, LPPM IPB) Ketty Suketi, M. Rahmad Suhartanto, Anna Fariyanti Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB ABSTRAK Buah tropika Indonesia diharapkan dapat menjadi buah tropis dunia yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani dan devisa negara. Kegiatan optimalisasi technology services dalam pengembangan wirausaha benih dan bibit pepaya yaitu mencakup: (1) diseminasi produk (2) komersialisasi benih dan bibit pepaya (Callina, Sukma dan Carisya) dan (3) teknologi budidaya pepaya berbasis SOP (Standar Operasional Produksi). Pelaksanaan optimalisasi tersebut merupakan rangkaian beberapa komponen kegiatan, yaitu: (1) pengelolaan kebun koleksi plasma nutfah, (2) pengelolaan kebun pohon induk/calon varietas dan (3) pengelolaan kebun benih sebar. Keluaran dari kegiatan ini adalah SDG (sumber daya genetik) sebagai sumber bahan varietas unggul buah koleksi PKHT LPPM IPB tetap dikelola dengan baik dan ditingkatkan keunggulannya, diseminasi dan komersialisasi produk hasil inovasi, dan teknologi hasil penelitian PKHT LPPM IPB, sehingga dapat dimanfaatkan oleh petani dan masyarakat Indonesia. Kata kunci: Benih, diseminasi, komersialisasi, pengelolaan kebun, technology services. ABSTRACT Indonesian tropical fruit is expected to become a main commodity in horticulture business that contribute to increase farmers and government income. To achieve the purpose, capacity building for the farmers required among others trough the optimization technology services. In papaya seeds and seedlings business, this optimization technology services comprises of: (1) dissemination products from innovation (2) commercialization of seeds and seedlings (Callina, Sukma and Carisya variety) and (3) cultivation technology based on Standard Operating Production. The optimization initiated by serial activities on the orchard are: (1) orchard management of germplasm collection, (2) the parent trees and candidate varieties orchard management, and (3) seed management. The output of this PKHT LPPM IPB activities are establishing well managed germplasm collection as a source of high quality varieties, dissemination and commercialization of products from innovation, and technology research implementation. Keywords: Commercialization, dissemination, orchard management, seed, technology services. PENDAHULUAN Pusat Kajian Hortikultura Tropika LPPM IPB sebagai salah satu unit yang memiliki tugas dalam kerangka penelitian dan pengabdian kepada masyarakat 84

85 telah menghasilkan produk dan jasa pelayanan berbasis teknologi inovasi hasil penelitian berdasarkan permintaan pasar khususnya pada komoditi pepaya. Karakter varietas unggul pepaya yang diinginkan oleh pasar yaitu: karakter pohon yang rendah (dwarf), masa pembungaan cepat, produktifitas tinggi, bentuk buah seragam, dan tahan terhadap hama penyakit. Kriteria buah pepaya yang diinginkan oleh konsumen untuk konsumsi segar antara lain memiliki rasa yang manis, bentuk buah oval, bobot buah berkisar kg, daging buah renyah dengan warna jingga merah, rongga buah kecil, dan daya simpan lama (Sujiprihati dan Suketi, 2010). Pusat Kajian Hortikultura Tropika LPPM IPB telah menghasilkan beberapa varietas unggul sesuai dengan kriteria keinginan pasar. Varietas tersebut adalah pepaya varietas Carisya, Callina dan Sukma (PKBT, 2010) yang telah dilepas dan didiseminasikan. Pemberian perlindungan varietas tanaman juga dilaksanakan untuk mendorong dan memberi peluang kepada dunia usaha untuk meningkatkan perannya dalam berbagai aspek pembangunan pertanian. Berdasarkan data terkini PKHT (komunikasi pribadi dengan Divisi Pemasaran dan Kerjasama PKHT, 2012), benih pepaya yang telah disebarluaskan hampir ke seluruh Indonesia, mencapai sekitar 800 Ha. Luasan ini masih relatif kecil, namun dampak penggunaan varietas unggul akan nampak dengan meningkatnya produksi, kualitas produk dan kesejahteraan petani produsennya. Kegiatan diseminasi didukung dengan beberapa capaian yang telah diperoleh berupa varietas unggul, teknologi produksi, teknologi pengendalian hama terpadu, panen dan pascapanen hingga teknik pemasaran yang tepat (Supply Chain Management). Beberapa capaian PKHT LPPM IPB pada lingkup komoditi pepaya adalah berupa: (1) Pengembangan varietas unggul yang terdiri dari kebun koleksi plasma nutfah (SDG) pepaya yang berada di kebun Tajur dan Pasirkuda, calon varietas unggul (pepaya Hibrida, IPB 9 betina dan pepaya Ponti), varietas yang sudah dilepas (Sukma, Carisya, Callina) dan varietas yang sudah didaftarkan (Arum Bogor, Prima Bogor, Wulung Bogor); (2) Teknologi produksi dan pasca panen 85

86 yang terdiri dari teknologi pembibitan, budidaya dan pengendalian hama penyakit terpadu (PHT). Pengembangan sistem produksi yang berkualitas dan efisien dari varietas buah yang dihasillkan PKHT, disusun dalam bentuk Standar Operasional Produksi (SOP) yang selanjutnya diaplikasikan dalam suatu Supply Chain Management (SCM) dengan melibatkan petani, pekebun swasta, distributor, pengecer dan eksportir (Poerwanto, 2004). Kegiatan diseminasi dan komersialisasi yang terarah perlu dilakukan agar hasil penelitian berupa varietas dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PKHT sebagai unit yang bertugas melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat berpeluang untuk melakukan kegiatan diseminasi tersebut salah satunya dengan pengembangan wirausaha benih dan bibit. Wirausaha benih dan bibit dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Diseminasi produk hasil inovasi berupa: (a) benih varietas unggul dan (b) teknologi berbasis SOP (Standar Operasional Produksi). 2. Komersialisasi benih dan bibit seperti: (a) pepaya Arum Bogor dan Carisya untuk ukuran buah/ tipe kecil, (b) pepaya Callina untuk ukuran buah/tipe sedang, (c) pepaya Sukma untuk ukuran buah/tipe besar. Tujuan kegiatan ini adalah untuk melakukan diseminasi dan komersialisasi produk hasil inovasi yaitu benih dan bibit pepaya (varietas: Arum Bogor, Carisya, Callina dan Sukma) serta penerapan teknologi budidaya buah berbasis SOP (standar operasional produksi) untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas buah. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah SDG (sumber daya genetik) sebagai sumber bahan varietas unggul buah koleksi PKHT LPPM IPB tetap dikelola dengan baik dan ditingkatkan keunggulannya, terdiseminasinya produk dan teknologi hasil penelitian PKHT LPPM IPB, sehingga dapat dimanfaatkan oleh petani dan masyarakat Indonesia. Varietas unggul dan teknologi yang tepat diharapkan tercapainya kualitas, kuantitas, dan kontinuitas buah yang mampu memenuhi skala ekonomi pasar, baik domestik maupun mancanegara. Buah tropika Indonesia diharapkan dapat menjadi buah yang 86

87 menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan sebagai ikon buah tropis dunia, sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani pada khususnya dan devisa negara pada umumnya. METODE PENELITIAN Optimalisasi technology services dalam pengembangan wirausaha benih dan bibit yaitu mencakup kegiatan (1) diseminasi produk dan (2) komersialisasi benih dan bibit pepaya (Callina, Sukma dan Carisya) dan (3) teknologi (SOP). Pelaksanaan optimalisasi tersebut merupakan rangkaian beberapa komponen kegiatan, yaitu: (1) pengelolaan kebun koleksi plasma nutfah, (2) pengelolaan kebun pohon induk/calon varietas dan (3) pengelolaan kebun benih sebar. Kegiatan yang dilaksanakan selama tahun anggaran 2012 mencakup beberapa kegiatan utama, yaitu: Pengelolaan Kebun Percobaan PKHT - IPB dalam Rangka Pemeliharaan Koleksi Plasma Nutfah, Kebun Pohon Induk dan Kebun Produksi Benih Sebar Pepaya Sumber Daya Genetik (SDG) pepaya yang dimiliki PKHT sampai dengan tahun 2011 lebih dari 50 genotipe, baik yang berasal dari eksplorasi, introduksi dan hibridisasi. Lahan kebun percobaan untuk komoditi pepaya dimanfaatkan untuk kebun plasma nutfah, pohon induk dan produksi benih. Plasma nutfah yang ada dipelihara dengan baik dan dilakukan reinventarisasi terhadap koleksi. Pengelolaan kebun ini sudah mulai dilakukan pada bulan pertama percobaan. Untuk pengelolaan kebun ini baik untuk pemeliharaan koleksi, pemeliharaan kebun pohon induk dan kebun produksi dipersiapkan bahan berupa sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan yaitu berupa penyiangan, pemupukan, penyiraman dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Untuk tanaman yang sudah tua dilakukan peremajaan tanaman. Selain pemeliharaan koleksi, kebun pohon induk dan kebun produksi benih juga dilakukan kegiatan pengembangan varietas yaitu berupa persilangan dan perakitan. Pada Tabel 1 dapat dilihat jumlah dan lokasi tanam papaya di Kebun Percobaan IPB. 87

88 Tabel 1. Jumlah dan lokasi tanam pada tanaman pepaya Blok Koleksi plasma nutfah Komoditi Pepaya Bontang, Medan, Lamongan, Paris dan Balikpapan Jumlah (pohon) Lokasi 60 Kebun Tajur I Blok II Pohon induk Pepaya Carisya, Callina 90 Kebun Tajur I Blok I Pepaya Sukma 20 Kebun Pasir Kuda Blok A Pepaya Ponti 73 Kebun Pasir Kuda Blok E Produksi benih Pepaya Carisya 140 Kebun Tajur I Blok I Pepaya Callina 359 Kebun Tajur II Pepaya Sukma 315 Kebun Pasir Kuda Blok B Penelitian Pepaya hibrida dan tetuanya 200 Kebun Tajur I Blok II Diseminasi Produk Benih dan SOP Diseminasi produk yang dilakukan di PKHT berupa diseminasi benih dan teknologi yang dihasilkan. Pada tahun 2007 PKHT telah menyusun Standar Operasional Produksi (SOP) komoditi pepaya. SOP ini dapat digunakan sebagai panduan budidaya, mulai dari tanam hingga pascapanen. Kegiatan diseminasi dilakukan dengan penyebarluasan informasi melalui internet, atau web PKHT, pelatihan, pembinaan terhadap mitra baik petani maupun pelaksana agribisnis lainnya. Untuk kegiatan diseminasi ini dilakukan persiapan berupa pendataan mitra yang memperoleh benih pepaya dari PKHT. Dengan adanya data ini diharapkan ada komunikasi antara PKHT dengan mitra. PKHT melakukan monitoring dan pembinaan berdasarkan informasi dari mitra tentang permasalahan yang dihadapinya. Persiapan lain yang dilakukan adalah melakukan up date data website PKHT dan penyusunan leaflet pepaya Callina dan Sukma. Untuk diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pelatihan kepada petani mitra dilakukan penyiapan bahan berupa penyusunan SOP singkat/sheet procedure untuk tata cara pembibitan, pemupukan, ektsraksi benih, pengendalian hama dan penyakit serta pemanenan. Selain itu juga dilakukan penyusunan modul untuk pelatihan dan pencetakan ulang buku SOP pepaya yang telah disusun dan diperbaharui. 88

89 Komersialisasi Benih dan Bibit Komersialisasi bertujuan untuk menerapkan dan mengembangkan produk riset dan merupakan kegiatan yang terintegrasi dengan program diseminasi. Kegiatan komersialisasi meliputi penyediaan jasa konsultasi dan transfer teknologi untuk benih sebar pepaya terdiri dari pepaya Callina, Carisya dan Sukma. Persiapan yang dilakukan untuk kegiatan komersialisasi adalah penyiapan benih (produksi benih, prosesing benih dan pengemasan benih). Setelah produksi benih dilakukan di kebun produksi maka dilakukan prosesing benih. Untuk prosesing benih disiapkan bahan berupa mesin blower, kemasan benih dan sticker. Sejalan dengan kegiatan diseminasi untuk komersialisasi juga dilakukan promosi melalui internet dan leaflet. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan yang telah dilakukan pada tahun 2012 adalah pembentukan kebun koleksi plasma nutfah, pembentukan kebun pohon induk, pembentukan kebun produksi benih, pembuatan leaflet pepaya, up dating website, pembuatan SOP singkat, pembuatan modul pelatihan, dan pembuatan data base diseminasi dan komersialisasi. Secara rinci kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: Pembentukan Kebun Koleksi Plasma Nutfah Pepaya Kebun koleksi plasma nutfah pepaya dibangun dan dikembangkan di kebun percobaan PKHT LPPM IPB Tajur. Kebun koleksi plasma nutfah ini merupakan pengembangan dari kebun plasma nutfah yang dibangun sejak tahun Sampai dengan tahun 2012 ini koleksi genotipe pepaya yang dimiliki sudah mencapai lebih dari 50 genotipe, terdiri dari galur murni, hibrida, dan open pollinated. Tiga genotipe yaitu Callina, Carisya dan Sukma sudah dilepas sebagai varietas unggul sedangkan Carlia dan Ponti dipersiapkan sebagai calon varietas yang akan dilepas dalam waktu dekat. Koleksi genotipe pepaya yang ada di kebun percobaan PKHT LPPM IPB disajikan dalam Tabel 2. Pembentukan Kebun Pohon Induk Pepaya Pembentukan kebun pohon induk dilakukan sebagai salah satu upaya untuk penyediaan benih pepaya secara kontinyu. Saat ini sudah dibangun kebun pohon 89

90 induk beberapa varietas pepaya yang sudah dilepas oleh PKHT LPPM IPB, terutama varietas yang banyak diminati oleh petani. Kebun pohon induk pepaya yang sudah dibangun adalah kebun induk pepaya di kebun percobaan PKHT LPPM IPB Tajur dan Pasirkuda. Di kebun percobaan Tajur ditanam varietas Callina dan varietas Carisya. Sedangkan di kebun percobaan Pasirkuda ditanam varietas Sukma dan calon varietas Ponti. Tabel 2. Koleksi pepaya di Kebun Percobaan PKHT Tajur dan Pasirkuda No. Nama Genotipe Daerah Asal Eksplorasi /Introduksi 1 Morezzatti Desa Cijeruk, Bogor, Jawa Barat 2 Bozza Desa Ciawi, Bogor, Jawa Barat 3 Sukaraja Desa Sukaraja, Bogor, Jawa Barat 4 Bangkok Bogor Jawa Barat 5 Gandul (Jantan) Desa Ciawi, Bogor, Jawa Barat 6 Subang Desa Cariu, Subang, Jawa Barat 7 Turen Kecamatan Turen, Malang 8 Dampit Kecamatan Dampit, Malang 9 Parung Kuda Desa Parung Kuda, Sukabumi, Jabar 10 Magelang Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 11 Parjaya Parjaya Desa Parung Jaya, Tangerang, Banten 12 Pepaya Mojosongo (IPB 6B) Kecamatan Mojosongo, Boyolali 13 Pepaya Ungu Watulimo, Trenggalek 14 Pepaya Jinggo Mojosongo, Boyolali 15 Pontianak Pontianak, Kalimantan Barat 16 Pepaya Madu Pontianak, Kalimantan Barat 17 Pepaya Dieng (C. coundurmencis) Kecamatan Kejajar, Wonosobo 18 Pepaya Turen Dampit Kecamatan Turen, Malang 19 Pepaya Turen-Talang Kecamatan Turen, Malang 20 Pepaya Ungu Kecamatan Watulimo, Trenggalek 21 Pepaya Balitbu (Berbagai genotipe) Balitbu Solok 22 Eksotika 2 Introduksi dari Malaysia 23 Sunrise Solo (daging buah kuning) Introduksi 24 Red King Introduksi 25 Yellow King Introduksi 26 TW Introduksi Taiwan 27 SW Red Introduksi 28 SW Yellow Introduksi 29 KD-Thailand Introduksi dari Thailand 30 EM-Thai Introduksi dari Thailand 31 Pepaya Semangka Paris Desa Cimahpar Bogor 90

91 Tabel 2. Koleksi pepaya di Kebun Percobaan PKHT Tajur dan Pasirkuda (lanjutan) No. Nama Genotipe Daerah Asal Eksplorasi /Introduksi 32 Pepaya P Okim Desa Bantar Jaya Bogor 33 Pepaya Ungu Tajur Bogor 34 Pepaya Aceh Aceh 35 Pepaya Gorontalo Gorontalo 36 Pepaya Riau Riau 37 Pepaya Motu Sulawesi Selatan 38 Pepaya Kotu Sulawesi Selatan 39 Pepaya Mexico Blitar 40 Pepaya Lampung Lampung Selatan 41 Pepaya Lubuk Alung Padang 42 Pepaya Manado Manado nomor persilangan (berbagai kombinasi) Tajur Bogor Pengembangan Kebun Produksi Benih Pepaya Callina, Carisya dan Sukma Varietas pepaya Callina, Carisya dan Sukma merupakan tiga varietas pepaya yang sampai saat ini banyak diminati dan ditanam oleh petani pepaya. Permintaan varietas pepaya tersebut bukan hanya dari petani pepaya dari Pulau Jawa saja tapi juga petani dari luar Jawa. Gambar 1. Peremajaan dan pemupukan susulan kebun induk pepaya Sukma di kebun PKHT LPPM IPB Pasirkuda. Guna mengantisipasi permintaan benih pepaya yang terus meningkat perlu dilakukan pengembangan kebun produksi benih tiga varietas pepaya. Saat ini 91

92 sedang dilakukan peremajaan kebun pohon induk pepaya yang diarahkan untuk kebun produksi benih. Penanaman baru di kebun Tajur dilakukan untuk menambah pohon induk pepaya Callina secara bertahap sebanyak 100 pohon setiap tahap penanaman dan Carisya sebanyak 80 pohon. Sedangkan peremajaan pohon induk pepaya Sukma sebanyak 120 pohon dilakukan di kebun Pasirkuda. Gambar 2. Peremajaan kebun induk pepaya Callina di kebun PKHT LPPM IPB Tajur. Pembuatan Leaflet Leaflet dibuat sebagai sarana pendukung diseminasi varietas pepaya yang dikembangkan PKHT LPPM IPB. Leaflet ini sangat berguna pada saat pameran dan juga digunakan sebagai atribut pendukung saat diseminasi benih pepaya ke petani. Up dating Website Selain leaflet, website dikembangkan sebagai sarana informasi perkembangan dan kegiatan PKHT LPPM IPB. Berbagai informasi perkembangan komoditas pepaya dapat diunduh dalam website ini dan secara berkala selalu di up date. 92

93 Gambar 3. Tampilan website Pusat Kajian Hortikultura Tropika LPPM IPB. Panduan Singkat Standar Operasional Produksi (SOP) Pepaya Panduan SOP singkat pepaya disusun dari buku SOP pepaya dengan meringkas hal-hal penting dan mendasar dari kegiatan produksi pepaya di lapang. SOP pepaya singkat ini diberikan kepada setiap petani/pengguna benih pepaya PKHT LPPM IPB. 93

94 Gambar 4. Booklet SOP singkat budidaya pepaya. Data base Diseminasi dan Komersialisasi Kegiatan diseminasi dan komersialisasi dilakukan melalui penyebaran benih pepaya yang sudah dilepas ke seluruh petani pengguna se-indonesia. Diseminasi dan komersialisasi benih pepaya periode Januari-Agustus 2012 mencapai 5205 pack benih yang terdiri dari 58 pack benih pepaya Arum, 517 pack benih pepaya Carisya, 354 pack benih pepaya Sukma dan 4276 pack benih pepaya Callina (Tabel 3). Berdasarkan catatan diseminasi benih papaya periode Januari-Agustus 2012 dapat diprediksi total luas penanaman pepaya dari PKHT LPPM IPB kurang lebih 868 ha yang terdiri dari 10 ha pepaya Arum, 59 ha pepaya Sukma, 86 ha pepaya Carisya dan 713 ha pepaya Callina. Sebagian besar penanaman keempat varietas tersebut terdapat di Pulau Jawa. Pembuatan Modul Pelatihan Modul pelatihan disusun sebagai bahan pegangan dan panduan bagi peserta saat melaksanakan pelatihan budidaya pepaya. Isi modul pelatihan lebih komprehensif dibandingkan panduan singkat SOP pepaya dan terbagi dalam tiga bahasan yaitu: pembibitan, budidaya dan pascapanen. 94

95 Tabel 3. Diseminasi benih pepaya PKHT LPPM IPB periode Januari-Agustus 2012 Varietas Jumlah Benih (pack) Populasi Tanaman (pohon) Prediksi Luas Penanaman (ha) Arum Callina Carisya Sukma Total Gambar 5. Kemasan benih pepaya dan produk pepaya Callina di swalayan Total Buah Segar. Gambar 6. Buku modul pelatihan, pembibitan, budidaya dan panen-pascapanen pepaya. KESIMPULAN Optimalisasi technology services dalam pengembangan wirausaha benih dan bibit pepaya yaitu mencakup kegiatan: (1) diseminasi produk (2) komersialisasi benih dan bibit pepaya (Callina, Sukma dan Carisya) dan 95

96 (3) teknologi budidaya pepaya berbasis SOP (Standar Operasional Produksi). Pelaksanaan optimalisasi tersebut merupakan rangkaian beberapa komponen kegiatan, yaitu: (1) pengelolaan kebun koleksi plasma nutfah, (2) pengelolaan kebun pohon induk/calon varietas dan (3) pengelolaan kebun benih sebar. Keluaran dari kegiatan ini adalah SDG (sumber daya genetik) sebagai sumber bahan varietas unggul buah koleksi PKHT LPPM IPB tetap dikelola dengan baik dan ditingkatkan keunggulannya, diseminasi dan komersialisasi produk hasil inovasi, dan teknologi hasil penelitian PKHT LPPM IPB, sehingga dapat dimanfaatkan oleh petani dan masyarakat Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (PPM) Multi Tahun, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 176/SP2H/KPM/Dit.Litabmas/III/2012, Tanggal: 6 Maret DAFTAR PUSTAKA Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Bogor. Poerwanto, R Pengembangan Sistem Mutu Buah-buahan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Deptan. Pusat Kajian Buah Tropika [PKBT] Riset Unggulan Strategis Nasional Pengembangan Buah Unggulan Indonesia: Pepaya. Pusat Kajian Buahbuahan Tropika, Bogor. Pusat Kajian Buah Tropika [PKBT] Acuan: Standar Operasional Produksi Pepaya. Pusat Kajian Buah Tropika, IPB. Bogor. Riset Unggulan Strategis Nasional [RUSNAS] Riset Unggulan Strategis Nasional: Dalam Realitas Kurun Waktu RISTEK. Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Sujiprihati S, Suketi K Budi Daya Pepaya Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. 96

97 PENGEMBANGAN PRODUK RANSUM KOMPLIT BERBASIS HIJAUAN INDIGOFERA (INDIFEEDPB) SEBAGAI PAKAN BERKUALITAS UNTUK KAMBING PERAH (Product Development of Indigfera based Complete Feed as Qualified Feed for Dairy Goat) Luki Abdullah 1), Dewi Apri Astuti 1), Nahrowi 2), Suharlina 3) 1) Dep. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB. 2) Dep. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB. 3) Konsentrasi Studi Peternakan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian, Kutai Timur. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formula ransum komplit berbasis Indigofera yang terbaik untuk kambing perah. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap yang terdiri dari 5 macam ransum komplit yang mengandung Indigofera dengan berbagai taraf, yaitu R1=80% tepung daun Indigofera + 0% bungkil kedelai, R2=60%+0% bungkil kedelai, R3=40%+0% bungkil kedelai, R4=20% tepung daun Indigofera +5% bungkil kedelai dan R5=0% tepung daun Indigofera +28% bungkil kedelai. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Peubah yang diamati meliputi kandungan nutrisi, nilai kecernaan, emisi metan, kelarutan mineral, populasi mikroba rumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein kasar pada ransum R1 dan R5 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R2, R3 dan R4 (P<0.05). Kadar serat kasar pada ransum R3 dan R4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R2 dan R5 (P<0.05). Peningkatan porsi Indigofera pada ransum sangat nyata meningkatkan kandungan Ca dan Mg ransum. Ransum yang mengandung indigofera 40% hingga 80% memiliki nilai kecernaan yang sama dengan ransum komersial yang mengandung 28% bungkil kedelai. Kandungan metan terbesar diperoleh pada simulator rumen yang diberi hanya 20% Indigofera. ransum R1, R2 dan R4 menunjukkan hasil asam asetat dan asam butirat yang tinggi dan paling baik untuk ransum kambing perah. Ransum uji (secara in vitro) yang memiliki kualitas sesuai dengan kebutuhan dan status fisiologi kambing perah yaitu R3 dan R4, yang masing-masing mengandung Indigofera 40% dan 20%. Kata kunci: Indigofera zollingeriana, in vitro, kambing perah, kualitas nutrisi. ABSTRACT This study aimed to produce a best complete ration formula-based indigofera for dairy goats. This study used a completely randomized design consisting of 5 rations containing different level of indigofera, namely R1 = 80% indigofera leaf meal + 0% soybean cake, R2 = 60% indigofera leaf meal +0% soybean cakes, R3 = 40% indigofera leaf meal +0% soybean cake, R4 = 20% indigofera leaf meal +5% soybean cake and R5 = 0% indigofera leaf meal +28% soybean cake. Each treatment was repeated 3 times. Observed variables included nutrition, digestibility values, methane emissions, mineral solubility, rumen microbial populations. The results showed that the content of crude protein in the ration R1 and R5 was significantly higher than those of R2, R3 and R4 (P <0.05). Levels of crude fiber in the ration R3 and R4 was significantly higher than those of R2 and R5 ration (P <0.05). Increasing portion of the ration indigofera increasead Ca and Mg content of the ration. Indigofera ration containing 40% to 80% had the same digestibility values with commercial ration containing 28% soybean cake. the greatest methane content was obtained in the rumen simulator given only 20% indigofera. R1, R2 and R4 showed the highest acetic acid and butyric acid. The tested ration (in vitro) that met quality and physiological need of dairy goat were R3 and R4, which contained indigofera 40% and 20%. Keywords: Indigofera zollingeriana, in vitro, dairy goat, nutritional quality. 97

98 PENDAHULUAN Upaya peningkatan produktifitas kambing perah sering terhambat oleh rendahnya mutu pakan yang diberikan oleh peternak, sehingga produksi susu masih kurang dari 1,5 liter/ekor/hari. Penggunaan hijauan pakan untuk ternak kambing memerlukan strategi tersendiri agar produktifitasnya terus meningkat (Ibrahim, 2003). Penggunaan rumput dan sebagian hijauan tropis sebagai sumber pakan utama ternak kambing tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi untuk produktifitas tinggi (Fujisaka et al. 2000), mengingat kandungan protein rumput tropis relatif rendah berkisar antara 4-9%, sedangkan kebutuhan protein ransum kambing perah mencapai 18%. Peternak memberikan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternaknya. Namun harga konsentrat yang berkualitas tinggi semakin mahal akibat persaingan penggunaan bahan baku pakan sehingga banyak bahan baku berkualitas tinggi seperti dedak gandum dan bungkil kedelai harus diimpor. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap negara lain dan mengurangi devisa negara. Alternatif yang ditempuh untuk mengurangi penggunaan konsentrat ransum kambing perah sudah dilakukan sejak tahun 2008 dengan mengembangkan pakan hijauan yang berasal dari tanaman Indigofera zollingeriana. Ujicoba palatabilitas dan penggunaan hijauan segar Indigofera zollingeriana pada kambing Kacang menunjukkan peningkatan efisiensi pakan dan bobot badan hingga 45% (Tarigan, 2009). Penelitian pada aspek budidaya tanaman dari tahun 2008 menunjukkan bahwa tanaman Indigofera memiliki pertumbuhan yang cepat dan produksi hijauan yang tinggi (51 ton hijauan kering/ha/tahun) (Abdullah, 2010) dan kandungan asam amino yang lengkap (Kumalasari dan Abdullah, 2011). Penelitian ini mengungkap bahwa interval defoliasi yang dapat menghasilkan hijauan berkualitas dan produksi bahan kering tertinggi adalah 60 hari. Indigofera sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya serta potensi produksi biomasa hijauan Indigofera cukup tinggi mencapai 51 ton hijauan kering/tahun/ha (Abdullah dan Suharlina, 2010). Kandungan protein cukup tinggi setara dengan alfalfa berkisar 28-31% dan mineral (Ca, P, Mg, Zn) yang optimal bagi ternak. Indigofera yang digunakan juga tidak memiliki zat antinutrisi bagi ternak kambing. Tanaman Indigofera 98

99 termasuk tanaman yang responsive terhadap perlakuan nutrisi. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa pemberian pupuk cair daun organik yang dibuat sendiri dapat memperbaiki pertumbuhan (Budie, 2010; Suharlina, 2010) dan memperbaiki komposisi nutrisi dan kecernaan hijauan Indigofera (Abdullah, 2011) serta fermantabilitasnya dalam rumen kambing (Jovintry, 2011). Pengolahan hijauan Indigofera dilakukan pada tahun 2010 yang menghasilkan produk pelet daun Indigofera murni (100%) bernama Indigofeed (Abdullah, 2010), yang telah diuji daya simpan, daya kemudahan penanganan dan pabrikasinya (Izzah, 2011). Hasil pemberian Indigofeed menunjukkan terjadi peningkatan produksi susu hingga 26% dan terjadi peningkatan efisiensi pakan 15-23% dan efisiensi nutrisi 5-9% (Apdini, 2011). Penggunaan Indigofeed dalam penelitian tersebut sebagai pakan utama yang diberikan 100% menggantikan konsentrat, tetapi tidak dalam bentuk ransum komplit, sehingga relatif menyulitkan peternak dalam penyajiannya. Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian sebelumnya yang menghasilkan ransum komplit untuk kambing perah. Tujuan penelitian antara lain menghasilkan ransum komplit terbaik yang diindikasikan dengan kandungan dan nilai nutrisi secara in vitro pada rumen kambing perah. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Fakultas Peternakan IPB dan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol IPB dari bulan Januari-Oktober Penyiapan Bahan Hijauan Indigofera Sumber Bahan IndifeedPB Hijauan Indigofera yang digunakan sebagai bahan baku utama produk ransum komplit IndifeedPB berasal dari Hijauan Indigofera (daun dan ranting). Hijauan tersebut dikeringkan udara dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o C selama 3 jam. Untuk mendapatkan kualitas terbaik pengeringan dihentikan setelah dihasilkan hijauan yang sudah kering (mudah remuk ketika diremas) namun masih hijau agak sedikit kecoklatan. 99

100 Penyusunan Formula Ransum Komplit Berbasis Indigofera Formula ransum komplit yang berbasis Indigofera dibuat dengan kombinasi beberapa bahan konsentrat dengan tingkat penggunaan yang berbeda yaitu 80%, 60%, 40%, 20% dalam ransum dan 0% Indigofera sebagai ransum kontrol (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi bahan pakan IndifeedPB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Bahan pakan R1(80-0) R2 (60-0) R3 (40-0) R4 (20-5) R5 (0-28) Dedak Bungkil Kedelai Jagung Indigofera Rumput gajah CaCO NaCl 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Premix 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Proses pembuatan ransum komplit diawali dengan persiapan tepung daun Indigofera digiling dengan ukuran partikel < 1mm. Selanjutnya tepung daun dicampur dengan bahan lain sampai homogeny. Campuran bahan yang telah siap selanjutnya proses dalam bentuk pelet dengan diameter Die sebesar 4mm. Pengujian Secara Kimia Kandungan Nutrisi Komposisi bahan kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), dan Serat Kasar (SK) masing-masing ransum komplit diukur dengan metode proksimat (AOAC 1990), sedangkan kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) dianalisis menggunakan metode Van Soest (1991). Pengujian Kecernaan In Vitro dan Kelarutan Mineral Cairan rumen yang dipakai berasal dari 3 bangsa kambing perah yang sedang laktasi yaitu kambing Saanen, Etawah dan Peranakan Etawah (PE). Pengambilan cairan rumen dilakukan menggunakan stomach tube. Cairan yang masuk ke dalam selang ditampung dan disimpan di dalam termos yang sebelumnya diisi air panas dan telah dikosongkan dengan temperatur 39ºC. Cairan rumen yang diambil pada masing-masing bangsa kambing sebanyak 300 ml. 100

101 Kecernaan In vitro Pengamatan terhadap kajian in vitro dengan Rumen Simulation Technique (Rusitec) (Kajikawa et al. 2002) dilakukan di Laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Peubah yang diamati meliputi pengukuran produksi gas total, produksi gas parsial dan methan, populasi protozoa dan bakteri pencerna serat serta konsentrasi amonia dan VFA. Kandungan Mineral dan Kelarutan Mineral Kelarutan mineral dihitung berdasarkan jumlah mineral dalam bahan pakan dikurangi dengan mineral yang tersisa pada bahan pakan yang telah diinkubasi secara in vitro. Pengukuran kadar mineral tersebut dilakukan dengan cara pengabuan basah (wet ashing) (Reitz et al. 1960). Analisis mineral Ca, Mg, Zn, dan Fe dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometric (AAS). Pengukuran kadar fosfor (P) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer (UV Visible) dengan panjang gelombang 660 nm. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji Least Significance Difference (LSD). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Ransum yang diuji dalam penelitian ini adalah R1 yang mengandung 80% Indigofera dan tanpa bungkil kedelai, R2 mengandung 60% Indigofera tanpa bungkil kedelai, R3 mengandung Indigofera 40% tanpa bungkil kedelai, R4 mengandung 20% Indigofera dan 5% bungkil kedelai dan R5 tanpa Indigofera dengan kandungan bungkil kedelai 28% sebagai ransum komersial sebagai kontrol positif seperti disajikan pada Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum yang diuji disajikan pada Tabel 2. Kadar protein kasar pada ransum R1 dan R5 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R2, R3 dan R4 (P<0.05). Sumbangan indigofera sebanyak 80% dalam ransum setara dengan sumbangan bungkil kedelai 28% dalam ransum yang 101

102 menghasilkan total protein ransum berkisar antara %. Angka ini masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein pada indigofera sendiri yang memiliki kadar 29.16%. Kadar serat kasar pada ransum R3 dan R4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R2 dan R5 (P<0.05), sedangkan ransum R1 tidak berbeda dengan keempat ransum lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan kambing perah, ransum R3 dan R4 sangat disarankan karena kandungan protein, lemak dan serat kasarnya mencukupi, walaupun kandungan abu pada R3 terlalu tinggi. Ransum R1 untuk kambing perah cukup baik kalau ketersediaan protein yang tinggi diikuti dengan tersedianya karbohidrat terlarut yang cukup untuk mendukung terbentuknya protein mikroba, sedangkan ransum R2 dan R5 untuk status laktasi masih kekurangan sumber serat kasar. Tabel 2. Kandungan nutrisi IndifeedPB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Ration Dry matter Ash Crude fat Crude protein Crude fiber R1 (80-0) 94.84± ± ± ±2.21 b 16.20±2.31 ab R2 (60-0) 95.74± ± ± ±1.94 c 14.16±3.34 b R3 (40-0) 94.83± ± ± ±2.65 c 17.49±1.18 a R4 (20-5) 95.74± ± ± ±2.49 c 19.83±1.33 a R5 (0-28) 94.93± ± ± ±0.99 b 9.92±1.74 b Indigofera 100% 88.11± ± ± ±2.37 a 14.02±2.48 b Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). Penambahan Indigofera sebagai bahan pakan pada ransum komplit yang diuji tidak menyebabkan perbedaan kandungan bahan kering secara keseluruhan, kadar abu dan kadar lemak ransum. Tetapi penambahan Indigofera secara bertahap dari 20% menjadi hingga 80% meningkatkan (p<0.05) kandungan protein ransum sebanyak 4-5%. Penggunaan 5% bungkil kedelai namum hanya menggunakan Indigofera memiliki kandungan protein lebih rendah dari pada ransum komplit yang mengandung 80% Indigofera yang setara dengan ransum komersial yang mengandung bungkil kedelai 28%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Indigofera pada ransum uji dapat meningkatkan kandungan protein kasar yang setara dengan penggunaan bungkil kedelai hingga 28% pada penelitian ini. Tingginya kontribusi protein dari Indigofera dapat dipahami karena 102

103 kandungan protein kasar Indigofera sendiri pada penelitian ini sebesar 29.16% (Tabel 2). Hal membuktikan bahwa Indigofera merupakan bahan hijauan pakan lokal yang efektif dapat meningkatkan kandungan protein. Contoh perhitungan pemenuhan protein bagi ternak kambing perah yang sedang laktasi berdasarkan NRC (1981) kebutuhan protein untuk hidup pokok (maintenance) adalah 4.15 g/kg BB (0.75) dan kebutuhan untuk produksi susu 77 g/kg susu. Berdasarkan kebutuhan standar protein tersebut kambing perah dengan bobot badan 50 kg dan produksi susu 1.8 kg/hari memerlukan protein sebanyak 217 g/hari, yang berasal dari perhitungan kebutuhan protein untuk hidup/maintenance sebesar 78 g/hari/ekor dan kebutuhan memproduksi susu sebesar 139 g/hari/ekor. Jika ransum yang digunakan adalah ransum R1, R2 dan R5 maka akan terjadi inefisiensi penggunaan protein karena kandungan protein ransum dan kecernaan bahan keringnya terlalu tinggi dibandingkan kebutuhannya. Akibatnya konsumsi protein untuk kambing yang diberi ransum R1, R2 dan R5 menjadi kelebihan masing-masing sebanyak 110 g, 58 g dan 144 g/hari/ekor, karena suplai protein dari masing-masing ransum sebanyak 326 g, 274 g dan 361 g, padahal yang diperlukan hanya 217 g/hari/ekor. Namun jika ransum yang dipilih adalah R4 kambing akan mengalami kekurangan protein sebanyak 32.1 g/hari/ekor. Ransum yang mengandung Indigofera 40% (R3) ini juga bisa digunakan juga untuk kambing yang sedang bunting karena selain kebutuhan pokok hidup juga kebutuhan untuk membesarkan anak dalam uterusnya. Pada kambing yang sedang tidak laktasi seperti anak kambing, kambing dara dan kambing kering kebutuhan protein digunakan untuk hidup pokok saja yaitu sebesar 78 g/hari/ekor. Oleh karena itu ransum yang sesuai untuk kebutuhan ini adalah ransum yang mengandung Indigofera 20% yaitu R4. Contoh perhitungan ini akan berlaku seterusnya sejalan dengan bobot badan dan produksi susu. Berdasarkan ilustrasi di atas yang mengikuti perhitungan dan standar kebutuhan protein nampaknya R1, R2 dan R5 tidak dipilih sebagai produk definitif karena dari segi penyediaan protein sudah cukup berlebih dan menyebabkan inefisiensi pakan. Sedangkan R4 akan dipilih untuk kambing yang tidak laktasi. 103

104 Pertimbangan lain selain dari protein adalah kandungan serat kasar diperlukan untuk membantu fermentasi dalam rumen kambing. Namun sejauh ini kandungan serat kasar yang tersedia dalam ransum masi merupakan batas normal untuk dikonsumsi. Fraksi serat atau dinding sel yang terkandung dalam hijauan adalah perhatian utama dalam nutrisi ruminansia karena serat merupakan menu wajib dalam makanan ternak, dan fraksi serat menentukan baik konsumsi pakan dan penampilan ternak. Fraksi serat yang penting diamati dalam penelitian ini adalah NDF dan ADF yang disajikan pada Gambar 1. NDF merupakan fraksi serat yang mudah dicerna di dalam rumen oleh bakteri dan ADF adalah fraksi serat yang relative lebih sulit dicerna. dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NDF tidak dipengaruhi oleh jenis ransum, meskipun terdapat variasi kandungan NDF antar ransum. Kandunga ADF ransum berbeda nyata (p<0.05; Lsd 5%=8.92). Kandungan ADF pada R1 dan R4 lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan kandungan ADF pada R2, R3 dan R5. Tingginya kandungan ADF pada R1 dan R4 kemungkinan disebabkan karena tingginya kandungan hijauan pada kedua ransum tersebut masing-masing 80% Indigofera dan 20% indigofera ditambah 45% rumput gajah. Peningkatan kandungan rumput gajah dari R2 sampai R4 sangat jelas disebabkan oleh keberadaan porsi rumput gajah yang semakin banyak. Gambar 1. Kandungan NDF dan ADF ransum. Penggunaan rumput gajah pada R3 sebanyak 23% juga menyebabkan kandungan ADF menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan R2 dan R5. Meskipun R2 menggunakan Indigofera lebih banyak dari pada R3 namun pengaruh 104

105 Indigofera lebih menentukan pada keberadaan NDF dibanding ADF, namun sebaliknya keberadaan rumput gajah berpengaruh terjadi pada peningkatan ADF dibandingkan pada NDF. Kompensasi nilai ADF oleh NDF akibat pemberian Indigofera menunjukkan bahwa Indigofera merupakan hijauan berkualitas nutrisi tinggi dibandingkan rumput gajah. Kandungan Mineral dan Kelarutannya Mineral merupakan nutrisi anorganik yang sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi susu kambing. Kontribusi Indigofera pada ransum sangat penting dalam mensuplai kandungan mineral dalam ransum. Peningkatan porsi Indigofera pada ransum sangat nyata meningkatkan kandungan Ca dan Mg ransum, tetapi Indigofera tidak dapat menyamai ransum komersial yang mengandung bungkil kedelai 28% dalam menyediakan P (Tabel 3). Namun pemberian Indigofera tidak dapat memperbaiki kandungan mineral Fe dan Zn. Tabel 3. Kandungan mineral IndifeedPB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Ransum Ca (%) P (%) Mg (%) Fe (ppm) Zn (ppm) R1 (80-0) 3.99 a 0.27 b 2.79 a c b R2 (60-0) 2.29 b 0.25 bc 2.48 a c b R3 (40-0) 2.59 b 0.21 bc 1.83 b b b R4 (20-5) 0.88 c 0.19 c 2.29 a a b R5 (0-28) 0.59 c 0.37 a 1.96 ab b a Indigofera 100% 1.78 b 0.34 a 0.51 c LSD 5% Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). Tabel 4. Proporsi mineral terlarut IndifeedPB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Ransum Ca (%) P(%) Mg (%) Fe (%) Zn (%) R1 (80-0) c a b c R2 (60-0) c a b b R3 (40-0) d b ab c R4 (20-5) b b a b R5 (0-28) a b a a LSD 5% Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). 105

106 Jika dilihat porsi mineral yang larut dalam cairan rumen, memperlihatkan bahwa semua ransum memiliki nilai kelarutan Ca yang sangat tinggi (Tabel 4). Kelarutan P pada R1-R3 masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai kelarutan P pada R4 dan R5 yang mengandung bungkil kedelai. Namun sebaliknya Mg lebih banyak yang larut pada ransum yang lebih banyak mengandung Indigofera. Hal ini menunjukkan bahwa Indigofera merupakan hijauan yang menymbang Mg cukup signifikan pada ransum. Hal ini terbukti dari banyaknya kandungan Mg ransum yang mengandung Indigofera dan tingginya kelarutan Mg pada ransum yang sama. Untuk mengambarkan tingkat kegunaan secara biologis hijauan Indigofera yang dikeringkan pada suhu pengeringan berbeda, pada penelitian ini telah dilakukan analisis kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO). Ransum yang dibuat memiliki perbedaan nyata (p<0.05) dalam nilai kecernaan baik bahan kering maupun bahan organik. Pemberian Indigofera yang semakin meningkat jumlahnya dalam ransum dapat meningkatkan nilai kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Ransum yang mengandung ind igofera 40% hingga 80% memiliki nilai kecernaan yang sama dengan ransum komersial yang mengandung 28% bungkil kedelai (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa Indigofera memiliki bahan organik yang mudah dicerna sama seperti halnya dengan bungkil kedelai. R4 menunjukkan nilai kecernaan rendah karena selain porsi Indigoferanya rendah juga porsi rumput gajahnya sangat tinggi yaitu 45%. Rumput gajah memiliki nilai kecernaan yang rendah yaitu antara 45-60%. Tabel 5. Nilai kecernaan dan produksi metan yang dihasilkan akibat pemberian ransum IndifeedPB Ransum KCBK KCBO Methan (% v/v) R1 (80-0) 75,97±2.14 a 72.72±3.24 a 12.76±1.14 c R2 (60-0) 76.84±1.20 a 75.12±2.83 a 13.42±1.29 bc R3 (40-0) 73.76±3.41 ab 72.55±3.21 a 15.21±0.72 b R4 (20-5) 60.18±2.98 b 58.37±3.18 b 18.20±0.91 a R5 (0-28) 77.53±2.67 a 75,62±4.14 a 11.25±1.76 c Indigofera 100% 77.87±2.48 a 75.11±2.99 a 10.20±0.98c LSD 5% Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). 106

107 Penelitian ini juga mengamati produksi gas metan secara in vitro. Produksi gas metan ransum uji berkisar antara 11-18% v/v. Hasil pengujian gas metan pada simulasi rumen menunjukkan adanya penurunan produksi gas metan dengan semakin banyaknya porsi Indigofera pada ransum. Kandungan metan terbesar diperoleh pada simulator rumen yang diberi hanya 20% Indigofera namun mengandung rumput gajah 45%. Pengujian ransum juga dilakukan dengan melihat kemungkinan dampaknya terhadap populasi mikroba rumen. Hasil pengujian populasi protozoa menunjukkan bahwa penggunaan rumput gajah yang semakin meningkat dapat meningkatkan (P<0.05) populasi protozoa dalam cairan rumen. Namun laju peningkatan populasi protozoa dapat dihambat dengan penambahan Indigofera dalam ransum. Populasi protozoa tertinggi diperoleh pada cairan rumen yang diberi ransum yang mengandung Indigofera 20% dan rumput gajah 45%. Meskipun ransum tersebut mendapatkan penambahan 5% bungkil kedelai namun tidak dapat menghambat pertumbuhan protozoa. Protozoa merupakan mikroba rumen yang dapat mengurangi efektifitas kerja rumen karena merupakan predator bagi bakteri rumen yang sangat diperlukan. Kehadiran protozoa dalam cairan rumen yang diuji juga menyebabkan tingginya produksi gas metan pada cairan rumen seperti ditunjukan oleh adanya koreasi antara populasi protozoa dengan produksi gas metan (Gambar 2). Gambar 2. Populasi protozoa dan korelasinya dengan produksi gas metan pada rumen yang diberi ransum IndifeedPB. 107

108 Melihat adanya korelasi yang positif antara populasi protozoa dengan gas metan mengindikasikan bahwa kemungkinan protozoa berperan sangat penting dalam peningkatan jumlah gas metan dalam rumen. Tetapi dengan adanya Indigofera dalam ransum dapat menurunkan jumlah populasi protozoa dalam cairan rumen. Populasi bakteri yang diamati adalah bakteri secara total, sehingga ada kemungkinan bakteri yang menghasilkan asam asetat, propionate atau butirat. Penggunaan Indigofera hingga 80% memiliki dampak yang sama terhadap populasi bakteri dengan ransum yang mengandung bungkil kedelai 28%. Namun ada kecenderungan populasi bakteri pada R2, R3 dan R4 lebih tinggi dibandingkan dengan ransum lainnya (Gambar 3). Jika dilihat dampaknya terhadap kandungan VFA pada cairan rumen, menunjukkan adanya gejala yang menekan kandungan asam propionate dan asam butirat dengan semakin meningkatnya populasi bakteri. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi negative antara populasi bakteri dengan kandungan propionate dengan persamaan matematika y = x R² = dan butiraty = x R² = 0.249, namun tidak terdapat korelasi dengan asam asetat pada cairan rumen. y = x R² = Gambar 3. Populasi bakteri pada cairan rumen yang diberi ransum IndifeedPB. Prekursor lemak susu adalah asam asetat dan asam butirat, oleh sebab itu ratio asetat/propionat yang tinggi menunjukkan ransum yang cocok untuk kambing perah. Tabel 5 menunjukkan hasil fermentasi in vitro ransum yang 108

109 mengandung indigofera bertingkat. Secara keseluruhan ransum yang mengandung indigofera menghasilkan fermentasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang tanpa indigofera atau bahan tunggal indigofera sendiri. Dari kelima ransum yang dibuat, ransum R1, R2 dan R4 menunjukkan hasil asam asetat dan asam butirat yang tinggi dan paling baik untuk ransum kambing perah. Secara angka ransum R1 nyata menghasilkan asam asetat tertinggi dan R5 nyata menghasilkan asam butirat tertinggi (P<0.05), sedangkan hijauan Indigofera sebagai bahan tunggal menghasilkan pola fermentassi yang kurang mendukung sintesa susu yang baik. Namun dari ke 3 ransum yang baik untuk kambing perah, ransum R4 memiliki persentase rasio asetat/propionat yang paling baik, yang nantinya akan menunjang kualitas susu dengan kadar lemak yang tinggi. Tabel 6. Kandungan VFA IndifeedPB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Ransum VFA (mmol) Asetat Propionat Butirat Valerat R1 (80-0) a b 8.70 ab 1.43 b R2 (60-0) 58.8 b b 8.82 ab 1.04 b R3 (40-0) d b 6.38 b 0.79 b R4 (20-5) b b 7.74 b 1.09 b R5 (0-28) c a 9.22 a 1.60 b Indigofera 100% bc b 9.45 a 6.05 a Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). Tabel 6 menunjukkan persentase kecernaan bahan kering dan bahan organik dan produksi methan dari keseluruhan ransum yang diuji. Nilai KCBK dan KCBO tertinggi didapat pada ransum R1, R2, R3 dan R5 (P<0.05), sedangkan terendah terjadi pada ransum R4. Persen KCBK dan KCBO untuk bahan tunggal Indigofera cukup tinggi yaitu di atas 75%. Tingginya KCBO pada ransum yang mengandung Indigofera tinggi disebabkan kontribusi protein, lemak dan karbohidrat terlarut yang tinggi pula. Produksi methan terendah terdapat pada ransum R1, R2 dan R5 dan nyata lebih rendah dibandingkan R3 (P<0.05), sedangkan produksi methan tertinggi adalah pada ransum R4. Produksi methan sangat terkait dengan pola fermentasi rumen, makin tinggi kandungan serat maka produksi methan akan meningkat dan hal ini terjadi pada ransum R4. 109

110 Tabel 7. Proporsi VFA Indifeed-PB yang diuji secara in vitro pada rumen kambing perah Ransum VFA Proportion (%) Asetat Propionat Butirat Valerat R1 (80-0) 68.58± ± ± ±2.04 R2 (60-0) 68.53± ± ± ±2.04 R3 (40-0) 66.67± ± ± ±2.04 R4 (20-5) 70.44± ± ± ±2.04 R5 (0-28) 62.54± ± ± ±2.04 Indigofera 100% 61.06± ± ± ±2.04 Keterangan: Huruf notasi berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata 5% (LSD). Baba et al. (2002) melaporkan bahwa hasil evaluasi terhadap 10 jenis legum tropika secara in vitro menghasilkan perbedaan persen KCBK, KCBO dan pola produksi gas yang terkait dengan kandungan antinutrisi. Makin rendah kandungan antinutrisi maka kecernaan meningkat dan produksi gas rendah. Astuti et al. (2011) melaporkan adanya perbedaan nilai KCBK secara in vitro dari jenis legume tropika (sebagai bahan tunggal) yang biasa diberikan pada ternak ruminansia kecil yaitu Glirisidea (71.53%), Leucaena (55.55%), Caliandra (48.21%), dan Moringa (89.01%), nilai tersebut menurun apabila legume tersebut dicampurkan kedalam ransum sebanyak 30%. Total VFA yang optimal untuk mendukung proses fermentasi di rumen antar mm. Astuti et al. (2011) melaporkan profil VFA hasil fermentasi secara in vitro dari legume tropika yang menunjukkan nilai tertinggi dihasilkan oleh legume Moringa dengan perbandingan asam asetat 101 mm, propionat 27 mm dan butirat 5.87mM, sedangkan yang terendah dihasilkan oleh Caliandra yaitu asetat 76mM, propionat 15 mm dan butirat 4.8 mm. Seperti halnya pada nilai KCBK, nilai total VFA juga menurun apabila legume tersebut dicampur dalam bentuk ransum. Tingginya kandungan asetat pada cairan rumen yang diberi ransum ini antara lain disebabkan oleh kandungan serat kasar ransum. Indikasi yang dapat dilihat antara lain adanya korelasi antara kandungan serat kasar dengan kandungan asetat yang diamati pada cairan rumen yang ditunjukan oleh persamaan matematika berikut y = 0.289x R² =

111 KESIMPULAN Ransum uji (secara in vitro) yang memiliki kualitas sesuai dengan kebutuhan dan status fisiologi kambing perah yaitu R3 dan R4, yang masingmasing mengandung Indigofera 40% dan 20%. Ransum dengan 40% Indigofera direkomendasikan untuk ternak kambing laktasi atau bunting, sedangkan ransum dengan kandungan Indigofera digunakan untuk ternak kambing dara, masa kering tidak bunting dan cempe (anak kambing). Secara nutritisi ransum yang direkomendasi memiliki nilai nutrisi yang optimal untuk ternak kambing. Penelitian perlu dilanjutkan pada tahap berikut untuk lebih memastikan bahwa produk definitif yang dihasilkan sesuai dengan kondisi farm di masyarakat. Terkait hal ini tahun kedua perlu dilakukan untuk memproduksi ransum masal tetapi terbatas dan penjajagan komersialisasi akan dilakukan melalui program riset tahun kedua. Umpan balik dari konsumen yaitu peternak akan dijadikan sebagai bahan rekomendasi perbaikan pada tahun berjalan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah L, Suharlina Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med.Pet. 33(1): Abdullah L Pengembangan Pelet Indigofera zollingeriana sebagai Sumber Pakan Hijauan Berkualitas. Laporan Hibah Insentif Kementrian Riset dan Teknologi. Republik Indonesia. Abdullah L Herbage production and quality of shrub Indigofera tretead by different concentration of foliar fertilizer. J Anim Sci And Tech. Vol 33(3): Abdullah, L., Suharlina, A. Tarigan, and D. Budhie Use of Indigofera zollingeriana as forage protein source in dairy goat ration. Proceeding of the 1 st Asia Dairy Goat Confetrence, Kuala Lumpur, Malysia, 9-12 April ISBN , Hal Apdini TAP Pemanfaatan Pellet Indigofera zollingeriana pada Kambing Perah Peranakan Etawah dan Saanen (Studi Kasus Peternakan Bangun Karso Farm). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. 111

112 Astuti,D.A, A.S. Baba dan I.W.T. Wibawan Rumen Fermentation, Blood Metabolites And Performance of Sheep Fed Tropical Browse Plants. J. Med Pet. 13: Baba, A.S, Castro, F.B and Ørskov, E.R Partitioning of energy and degradability of browse plants in vitro and the implications of blocking the effects of tannin by the addition of polyethylene glycol. Anim. Feed Sci. & Tech. 95: Budie DS Aplikasi Pupuk Organik Cair sebagai Pemacu Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pakan Legum Indigofera zollingeriana Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Fujisaka S, Rika IK, Ibrahim TM, Le Van An Forage tree adoption and use in Asia. In WW Stur, PM Horne, JB Hacker and PC Kerridge Eds. Working With Farmers: The key to adoption of forage technologies. ACIAR Proceedings No. 95: Ibrahim MT Strategi penelitian hijauan mendukung pengembangan ternak kambing di Indonesia. Wartazoa, 13: 1. Izzah U Kualitas Fisik Pelet Daun Legum Indigofera zollingeriana dengan Menggunakan Ukuran Pellet Die yang Berbeda dan Lama Penyimpanan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Jovintry I Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Daun Tanaman Indigofera zollingeriana Yang Mendapat Perlakuan Pupuk Cair untuk Daun. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Kajikawa H, Hai J, Terada F, Suga T Operation and characteristic of newly improved and marketable artificial rumen (Rusitec). Departmen of animal physiologi and nutrition. Sanshin Industrial Co. Ltd. National Research Council Nutrient Requirements of Goat: Angora, Dairy, and Meat Goats in Temperate and Tropical Countries. National Academi Press. Washington DC. Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP A Simple Wet Ashing for Biological Materials. Animal Science Department. Purdue University West Lafyee. Suharlina Peningkatan Produktifitas Indigofera sp. Sebagai Pakan Berkualitas Tinggi Melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Tarigan, A Productivity and utilization of Indigofera sp. as goat s feed obtained from different interval and intensity of cutting. Thesis. Bogor Agricultural University, Indonesia. Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA Methods of dietary fibre, neutral detergent fibre, and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J dairy science. 74:

113 STRATEGI PRODUKSI PANGAN ORGANIK YANG BERNILAI TAMBAH TINGGI BERBASIS PETANI (Strategy of High Value Food Organics Production Based on Farmers) Musa Hubeis, Hardiana Widyastuti, Nur Hadi Wijaya Dep. Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. ABSTRAK Permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang utama pada komoditas pangan organik adalah kuantitas dan mutu pangan organik, khususnya sayuran. Untuk itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakteristik produk sayuran organik, mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang terkait dengan produksi produk sayuran organik bernilai tambah tinggi berbasis petani, menyusun strategi produksi produk sayuran organik bernilai tambah tinggi (tersertifikasi) berbasis petani. Metode penelitian yang digunakan adalah pengambilan contoh secara sengaja dan alat analisis matriks Internal Factor Evaluation (IFE), External Factor Evaluation (EFE) dan Internal Exter-nal (IE) sebagai dasar analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) yang ditindaklanjuti dalam bentuk matriks Quantitative Strategic Planning (QSPM) untuk mendapatkan alternatif strategi utama dalam pengembangan produksi pangan organik yang bernilai tambah tinggi di ketiga wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu Megamendung-Bogor, Pengalengan-Bandung dan Garut. Sayuran organik tersertifikasi hanya ditemui di wilayah Garut dan dari analisis strategi dengan pendekatan SWOT yang dituntaskan dengan matriks QSP ditemui 3 tema strategi pengembangan sayuran organik di wilayah tersebut, yaitu tema utama pasar, produksi sayuran organik dan teknologi informasi. Kata kunci: Ketahanan pangan, pangan/sayuran organik, sertifikasi, strategi. ABSTRACT Food security is a system consisting of subsystems availability, distribution, and consumption. Functioning food supply subsystem ensuring the supply of food to meet the needs of the entire population, both in terms of quantity, quality, diversity and safety. Problems encountered in efforts to achieve food security are major organic food commodity is the quantity and quality of organic food itself. Organic food in this case is a vegetable. purpose of this research is describe the characteristics of organic vegetable, identify internal and external factors, strategy of organic vegetable production. The method used in this study is SWOT, QSP for West Java region with sample Megamendung-Bogor, Pengalengan-Bandung and Garut. The results of this study are only organic vegetables from areas that have been certified Garut, and alternative strategies for the three regions are markets and organic vegetable production and information technologies that can help the development of organic vegetables. Keywords: Food security, organic food/vegetables, certification, strategy. PENDAHULUAN Sektor pangan merupakan sektor yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Ketahanan pangan merupakan 113

114 suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Salah satu kegiatan penyediaan pangan adalah adanya bahan pangan organik. Permintaan produk organik secara internasional terus meningkat, seperti yang ditunjukkan dari data badan sertifikasi produk organik Biocert pada tahun 2010, yaitu makanan, maupun minuman mencapai 38,6 milyar US dollar pada tahun 2006, atau meningkat dua (2) kali lipat dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 18 milyar US dollar, dimana Eropa dan Amerika Serikat menjadi pasar utama produk organik, serta pasar Asia diperkirakan mencapai 780 juta US dollar di tahun Pasar produk organik Asia berada di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Pada akhir tahun 2010, pasar organik dunia mencapai 70,2 milyar US dollar ( Di Indonesia, khususnya di daerah Bogor Jawa Barat, menurut penelitian yang dilakukan oleh Alamsyah (2010), permintaan produk organik, terutama sayuran terus meningkat, yang ditunjukkan dari data penjualan sayuran organik di Giant Taman Yasmin, dimana dari bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010 terjadi peningkatan penjualan dari Rp menjadi Rp Sentra utama penghasil sayuran di Indonesia pada tahun 2010, setelah Jawa Timur adalah Provinsi Jawa Barat yang merupakan sentra kedua penghasil sayuran di Indonesia dengan produksi ton. Pada tahun 2010, nilai ekspor sayuran segar Jawa Barat dolar AS dan tahun 2011, nilai ekspor sayuran segar Jawa Barat mencapai dolar AS, atau meningkat 60,4% dibandingkan tahun Tujuan penelitian ini adalah pertama, mendeskripsikan karakteristik produk sayuran organik sesuai keinginan pasar. Kedua mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang terkait dengan produksi produk sayuran organik bernilai tambah berbasis petani. Ketiga, menyusun strategi produksi produk sayuran organik yang bernilai tambah tinggi berbasis petani. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Riset Strategik Nasional berjudul Strategi Produksi Pangan Organik yang Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Petani dibiayai oleh DP2M, Direktorat 114

115 Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun anggaran Kerangka penelitian tersebut dimuat pada Gambar 1. Kelompok Tani Pangan Organik Faktor Internal Faktor Eksternal IE Matriks SWOT QSPM Prioritas Strategi Terbaik Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di sentra penghasil sayuran unggulan di Jawa Barat, yaitu Kecamatan Megamendung, Bogor; Kecamatan Pangalengan, Bandung; Kecamatan Limbangan dan Selaawi, Garut. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dan data dikumpulkan dari bulan Maret sampai dengan Oktober Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian melibatkan beberapa narasumber, seperti dimuat pada Tabel 1. Khusus untuk penentuan strategi prioritas melibatkan Kasi Teknologi Subdit Budidaya Tanaman Sayuran, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari narasumber pada Tabel 1 digunakan untuk menganalisis Matriks IFE, EFE, IE dan Analisis SWOT, serta Matriks QSP. 115

116 Tabel 1. Narasumber untuk wawancara No Lokasi Penelitian Responden 1 Megamendung 1. Manager Operasional CV Sirna Galih Abadi Jaya 2. Ketua Kelompok Tani Tunas Tani Ketua Kelompok Tani Godong Organik 2 Pangalengan 1. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2. Ketua Kelompok Tani Katata 3. Ketua Kelompok Tani Sari Tani 4. Asisten Manager Adi Farm 5. Farm Manager Hikmah Farm 1. Ibu Kepala Desa Pangalengan 3 Garut 1. Ketua Kelompok Tani Cibolerang Agro 2. Kepala UPDT Kec. Limbangan 3. Kabid Pelaku Usaha BP4K 4. Dinas Pangan dan Hortikultura Garut 5. Dosen AGH-IPB 6. Lembaga Sertifikasi Organik/Asosiasi Pertanian Organik HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Megamendung Megamendung adalah Kecamatan yang terletak di wilayah Bogor Selatan, dengan pertumbuhan penduduk per tahun sangat tinggi, karena selain daerah tujuan pariwisata, juga lokasinya sangat strategik, sehingga daya tarik tersendiri bagi pendatang dan di sisi lain penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian jumlahnya semakin sedikit. Saat ini, Poktan yang ada di Kecamatan Megamendung berjumlah 32 Poktan di bidang pertanian, di mana satu Poktan terdiri dari petani, dimana 8-12 Poktan dapat disebut Gabungan Poktan (Gapoktan). Kecamatan Megamendung salah satu sentra pertanian sayuran unggulan di Jawa Barat memiliki luas lahan Ha, dengan produksi 5.106,7 ton, dimana sayuran yang diproduksi adalah aman untuk dikonsumsi dan memenuhi standar kesehatan (Prima III: peringkat penilaian yang diberikan terhadap pe-laksanaan usaha tani, dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi). Pertanian Prima III yang diterapkan oleh para petani merupakan langkah awal dan secara gadual menuju pertanian organik, dengan penggunaan pestisida/insektisida sebagai suatu kebutuhan untuk mempertahankan kuantitas produksi dengan penggunaan dosis dalam batas normal. Namun demikian, ada beberapa Poktan, maupun perusahaan perorangan yang telah membudidayakan sayuran organik dengan mutu Prima I 116

117 (peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani, dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik dan cara produksinya ramah terhadap lingkungan). Tabel 2. Analisis matriks SWOT Poktan di Megamendung Faktor-Faktor Kekuatan (S) Kelemahan (W) Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang (O) 1. Dukungan dan pembinaan PPL 2. Kuota permintaan belum semua terpenuhi 3. Peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan 4. Rintisan pasar sayuran higienis 5. Tingkat harga bersaing 6. Pembinaan teknologi produksi pestisida nabati 7. Kebijakan pemerintah mengenai program Go organik Loyalitas konsumen organik tinggi 1. Penjadwalan musim tanam dan panen 2. Dinamika kelompok tani 3. Produk diminati konsumen (ramah lingkungan) 4. Ketersediaan bahan baku pupuk 5. Lokasi geografis menunjang 6. Sudah menerapkan Just in Time (JIT) dan penjadwal-an pengiriman Strategi S O 1. Inovasi kelembagaan dan restrukturisasi jaringan ran-tai pasok (S2, O1, O2, O7) 2. Peningkatan efektivitas rantai pasok untuk pasar terstruktur melalui Sub Ter-minal Agribisnis (STA) (S1, O4, O8) 1. Kemampuan manajerial petani rendah 2. Sulitnya akses sertifikasi organik 3. Harga tergantung pengumpul, atau mitra 4. Biaya perawatan tanaman tinggi 5. Keterbatasan modal dan sulit mengakses kredit 6. Mutu produk petani rendah (retur 50%) 7. Arus keuangan/pembayaran tertunda 8. Fasilitas penelitian/demplot petani kurang memadai 9. Pasokan dan teknologi produksi benih bermutu masih rendah 10.Kapasitas dan kontinuitas produk belum stabil Strategi W O 1.Melakukan perencanaan bersama anggota kelompok dan pasar/mitra pengumpul (W1, W8, O1, O6) 2.Memperbaiki dan meningkatkan efektifitas budidaya dengan mengurangi limbah (W4, W6, O1) 3.Membangun kemampuan dan keahlian petani/pemasok melalui pelatihan dan penggunaan metode perbaikan ber-kesinambungan yang tepat (W9, W10, O1, O6) Ancaman (T) 1. Perubahan iklim/cuaca 2. Alih fungsi lahan 3. Serangan hama penyakit tanaman 4. Monopoli oleh pengusaha besar Strategi S T 1.Penguatan fungsi mata rantai kelembagaan Poktan melalui pembentukan Koperasi sayur organik (S2, S3, S6, T4) 2.Perencanaan pola tanam yang lebih baik untuk menghadapi iklim dan cuaca tidak menentu. (S1, S5, T1) Strategi W T 1.Menyusun SOP produksi benih dan budidaya sayuran organik, serta menerapkan SL- PHT untuk meningkatkan mutu (W6, W9, T3) 2.Memperluas akses pasar produk sayur organik. (W3, W7, T4) 117

118 Analisis Matriks IFE Dari analisis faktor internal teridentifikasi kekuatan dan kelemahan Poktan, dalam menghasilkan sayuran organik, yaitu penjadwalan musim tanam dan panen (Tabel 2). Dari hasil perhitungan yang meliputi bobot (0-100%), rating (1-4) dan nilai tertimbang (bobot x rating) terlihat dominan (skor 3,6-3,9, atau mendekati baik) kekuatan Poktan dalam mengelola tanaman pangan organik, dibandingkan dengan kelemahannya (skor 1,2-1,5) yang terkait dengan fasilitas dan manajerial. Analisis Matriks EFE Dari analisis faktor eksternal teridentifikasi peluang dan ancaman Poktan (Tabel 2). Dengan cara perhitungan seperti pada analisis matriks IFE terlihat dominan (skor 3,1-3,5, atau cukup dan mendekati baik) peluang Poktan dalam mengelola dan menghasilkan tanaman pangan organik, dibandingkan dengan ancamannya (skor 1,2-2), karena adanya kuota permintaan dari pangan oganik yang belum dipenuhi oleh Poktan di Megamendung. Analisis Matriks IE Posisi Poktan di Megamendung dalam Kuadran V (hold and maintain: 2,0-2,99), atau koordinat (sedang, sedang) memiliki kemampuan internal dan eksternal, sehingga dilakukan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk, karena selama ini pemasarannya masih terbatas pada pesanan yang diminta pihak pengumpul sayuran organik dan Poktan dapat melakukan sertifikasi sayuran organik untuk memberikan nilai tambah terhadap produk tersebut. Analisis Matriks SWOT Analisis SWOT merupakan kristalisasi analisis matriks IFE, EFE dan IE menunjukkan identifikasi sistematis atas kondisi internal dan lingkungan eksternal yang dihadapi Poktan, seperti dimuat pada Tabel 3 secara kualititatif deskriptif. Analisis QSPM Hasil analisis QSPM sebagai kelanjutan dari analisis SWOT kualitatif, maupun terkuantifikasi menunjukkan peningkatan efektivitas rantai pasok untuk pasar terstruktur melalui Sub Terminal Agribisnis, atau STA (5,448). Alternatif strategi yang dihasilkan adalah: 118

119 1. Peningkatan efektivitas rantai pasok untuk pasar terstruktur melalui Sub Terminal Agribisnis (5,448) 2. Perencanaan pola tanam lebih baik untuk menghadapi iklim dan cuaca tidak menentu (5,429) 3. Memperbaiki dan meningkatkan efektifitas budidaya dengan mengurangi limbah (5,369) 4. Memperluas akses pasar produk sayur organik (5,368) 5. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) produksi benih dan budidaya sayuran organik, serta menerapkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) untuk meningkatkan mutu (5,318) 6. Melakukan perencanaan bersama anggota kelompok dan pasar/mitra pengumpul (5,315) 7. Penguatan fungsi mata rantai kelembagaan Poktan melalui pembentukan Koperasi sayur organik (5,271) 8. Membangun kemampuan dan keahlian petani/pemasok melalui pelatihan dan penggunaan metode perbaikan berkesinambungan yang tepat (5,246) 9. Inovasi kelembagaan dan restrukturisasi jaringan rantai pasok (5,226) Untuk memudahkan pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi yang dipilih, maka hal tersebut disederhanakan atas tema Teknologi dan Informasi (alternatif 9), Produksi (alternatif 2, 3, 5, 6 dan 8) dan Pasar (alternatif 1, 4 dan 7). Dengan tiga tema tersebut, masalah yang paling mendasar pada Poktan adalah penguasaan pasar (5,448). Kecamatan Pengalengan Pengalengan adalah kecamatan yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Bandung, dengan jarak dari Kota Bandung 40 km. Saat ini Poktan di Kecamatan Pengalengan berjumlah 155 poktan, dimana 8-12 Poktan dapat disebut Gabungan Poktan (Gapoktan). Kecamatan ini salah satu sentra pertanian sayuran unggulan di Jawa Barat memiliki lahan Ha, dengan produksi ton sebagai sayuran aman dikonsumsi dan memenuhi standar kesehatan (Prima III), yaitu Kentang, Kubis, Sawi, Tomat dan Buncis. 119

120 Tabel 3. Analisis matriks SWOT Poktan di Pengalengan Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang (O) 1. Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat 2. Perubahan pola kon-sumsi dan gaya hidup masyarakat yang cen-derung back to nature 3. Loyalitas konsumen organik tinggi 4. Asosiasi pertanian orga-nik 5. Sistem kontrak (kuota permintaan) 6. Harga jual lebih tinggi 7. Kemajuan TI dan pengolahan Ancaman (T) 1. Serangan hama dan pe-nyakit perusak tanaman 2. Iklim dan cuaca tidak menentu memengaruhi hasil produksi 3. Konsinyasi harga dari para agen/tengkulak 4. Tarif ekspor sayuran tinggi. Kekuatan (S) 1.Sayuran yang dipro-duksi beraneka ragam 2.Kondisi geogafis mendukung 3.Hubungan baik yang terjalin antara ketua dengan anggota Pok-tan 4.Perencanaan tanam sudah baik 5.Pertanian ramah ling-kungan (Prima III) 6.Sayuran yang dihasil-kan aman dikonsumsi Strategi S O 1. Meningkatkan mutu, kuantitas dan konti-nuitas produksi. (S1, O2, S6, ) 2. Menggunakan TI dan pengolahan untuk meningkatkan produkti-vitas, serta meng-hadapi perubahan ling-kungan (O7, S4) Strategi S T 1.Perencanaan pola ta-nam lebih baik untuk menghadapi iklim dan cuaca tidak menentu (T1,T2,S1,S2,S4) 2.Membangun dan memperkuat daerah pemasaran yang sudah ada (T3,T4,S6) Kelemahan (W) 1. Biaya produksi produk organik terlalu tinggi 2. Kebutuhan pupuk dan pestisida alami sangat tinggi 3. Harga sayuran organik hampir sama dengan harga sayuran semi organik 4. Kemampuan SDM masih ren-dah 5. Lemahnya akses Poktan terhadap pasar sayuran organik 6. Sertifikasi produk belum ada 7. Keterbatasan modal 8. Kurangnya promosi sayuran organik 9. Teknologi produksi masih sederhana 10. Belum memiliki kemasan dan label organik. Strategi W O 1. Meningkatkan kemampuan SDM (petani) dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) dan pengolahan (O4, O7, W4, W5) 2. Melakukan kerjasama dalam bantuan modal, mendapatkan sertifikasi, kontrak pemasaran dan mempertahankan loyalitas konsumen (O4,W7, W6,W3) Strategi W T 1.Melakukan riset pasar untuk memantau perkembangan pemasaran produk, harga dan tingkat persaingan (T3,T4,W3, W8,W10) 2.Memperluas akses pasar produk organik (T3,T4,W3,W8,W10) Analisis Matriks IFE Dari analisis faktor internal teridentifikasi kekuatan dan kelemahan Poktan, dalam menghasilkan sayuran organik, yaitu sayuran yang dihasilkan aman dikonsumsi (Tabel 3). Dengan cara perhitungan seperti pada analisis matriks IFE di Kecamatan Megamendung terlihat dominan (skor 3,6-3,9, atau mendekati baik) kekuatan Poktan dalam mengelola tanaman pangan organik, dibandingkan dengan kelemahannya (skor 1,2-1,4) yang terkait dengan biaya dan harga. 120

121 Analisis Matriks EFE Dari analisis faktor eksternal teridentifikasi peluang dan ancaman Poktan, (Tabel 3). Dengan cara perhitungan seperti pada analisis matriks IFE terlihat terlihat dominan (skor 3,3-3,5, atau cukup dan mendekati baik) peluang Poktan dalam mengelola dan menghasilkan tanaman pangan organik, dibandingkan dengan ancamannya (skor 1,2-2,0), karena adanya iklim dan cuaca yang tidak menentu memengaruhi hasil produksi. Matriks IE Posisi Poktan di Pengalengan berada pada Kuadran V (hold and maintain: 2,0-2,99), atau koordinat (sedang, sedang) sehingga dilakukan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk, karena pemasaran masih terbatas pada pesanan yang diminta pihak pengumpul sayuran organik dan Poktan dapat melakukan sertifikasi sayuran organik untuk mendapatkan nilai tambahnya (Tabel 3). Analisis Matriks SWOT Analisis SWOT merupakan kristalisasi dari analisis matriks IFE, EFE dan IE menunjukkan identifikasi sistematis atas kondisi internal dan lingkungan eksternal yang dihadapi Poktan, seperti dimuat pada Tabel 3 secara kualititatif deskriptif. Analisis QSPM Hasil analisis QSPM sebagai kelanjutan dari analisis SWOT kualitatif, maupun terkuantifikasi menunjukkan peningkatan efektivitas rantai pasok untuk pasar terstruktur melalui perluasan akses pasar produk sayuran organik (5,157). Alternatif strategi yang dihasilkan adalah: 1. Memperluas akses pasar produk sayuran organik (5,157). 2. Melakukan kerjasama dalam bantuan modal, mendapatkan sertifikasi, kontrak pemasaran dan mempertahankan loyalitas konsumen (5,128) 3. Perencanaan pola tanam yang lebih baik untuk menghadapi iklim dan cuaca tidak menentu (4,884) 4. Meningkatkan mutu, kuantitas dan kontinuitas produksi (4,846) 5. Meningkatkan kemampuan SDM (petani) dan pemanfaatan TI dan pengolahan (4,787) 121

122 Untuk memudahkan pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi yang dipilih, maka hal tersebut disederhanakan atas tema Teknologi dan Informasi (alternatif 5), Produksi (alternatif 3 dan 4) dan Pasar (alternatif 1 dan 2). Dengan tiga (3) tema tersebut terlihat masalah yang paling mendasar pada Poktan adalah penguasaan pasar (skor 5,157). Kabupaten Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Tenggara, memiliki luas wilayah administratif Ha (3.065,19 km²). Poktan Cibo Agro memiliki anggota sembilan (9) orang, namun yang aktif berproduksi hingga sekarang empat (4) orang petani yang tersebar di Kecamatan Selawi dan Limbangan. Poktan Cibolerang Agro telah mendapatkan sertifikasi dari lembaga INOFICE (Indonesian Organic Farming Certification) pada tahun 2011 untuk menjamin mutu sayuran organik secara nasional. Komoditas unggulan yang diusahakan oleh Poktan CiboAgro adalah sayuran dengan waktu tanam singkat (25-30 hari), yaitu Kangkung, Pakcoy, Sosin dan Bayam. Dalam satu (1) tahun petani bisa melakukan 6-10 kali produksi sayuran organik, dengan rataan produksi kg untuk masing-masing komoditas. Analisis Matriks IFE Dari analisis faktor internal dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan Poktan, dalam menghasilkan sayuran organik adalah keanekaragaman produk (Tabel 4). Dengan cara perhitungan seperti pada analisis matriks IFE di Kecamatan Megamendung terlihat dominannya (skor 3,5-4,0, atau mendekati baik-baik) kekuatan Poktan dalam mengelola tanaman pangan organik, dibandingkan dengan kelemahannya (skor 1,3-1,5) yang terkait dengan keterbatasan SDM dan teknologi pangan. 122

123 Tabel 4. Analisis matriks SWOT Poktan di Cibo Agro, Garut Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan (Strengths S) 1. Keberagaman produk sayuran organik 2. Memiliki kemasan dan la-bel senidri 3. Lahan bersertifikasi dan su-dah memiliki ICS 4. Harga terjangkau Kelemahan (Weakness W) 1. Kurangnya kegiatan promosi 2. Komitmen anggota kelompok tani masih rendah 3. Pengetahuan SDM masih rendah 4. Belum adanya sistem kontrak dengan pemasok 5. Keterbatasan modal 6. Teknologi produksi masih sederhana 7. Belum adanya arsip pembukuan keuangan yang baik Peluang (O) 1. Perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat 2. Program pelatihan dan pembinaan dari Dinas Pertanian 3. Terbentuknya asosiasi pertanian organik 4. Pasar sayuran organik dalam negeri masih terbuka lebar 5. Loyalitas pelanggan Strategi S O 1. Meningkatkan mutu produk dan penggunaan label ke-masan serta membuat pro-gram loyalitas pelanggan seperti layanan antar, membership dan diskon khusus (S1, S2, O5) 2. Membuat dan memperluas jaringan distribusi untuk memasuki pasar baru guna mendapatkan konsumen dengan memanfaatkan harga yang kompetitif (S4, O1, O4) 3. Meningkatkan kompetensi ICS dengan memanfaatkan secara optimal pelatihan-pelatihan dan asosiasi per-tanian organik yang ada (S3, O2, O3) Strategi W O 1.Meningkatkan dan melakukan promosi secara kontinu (berkelanjutan) untuk mendapatkan pasar dan loyalitas pelanggan, serta menarik minat masyarakat terhadap produk organik (W1, O1, O4, O5) 2.Memanfaatkan Program Pe-latihan dan Pembinaan yang diselenggarakan Dinas Pertanian untuk melakukan pelatihan manajemen keuangan dan strategi negosiasi bisnis, serta pengadministrasiannya dan melakukan kerjasama secara intensif dalam peningkatan penge-tahuan SDM (petani), pinjaman modal dan pemanfaatan tekno-logi produksi (W3, W4, W5, W6, W7, O2, O3) Ancaman (T) 1. Serangan hama dan penyakit tanaman 2.Tingkat persaingan dengan usaha sejenis 3.Iklim dan cuaca tidak menentu Strategi S T 1. Melakukan dan merencana-kan pola tanam yang baik sesuai SOP yang ada untuk menghadapi serangan hama dan iklim dan cuaca tidak menentu (S3, T1, T3) 2. Melakukan inovasi terha-dap pengembangan produk yang bernilai tambah tinggi untuk menghadapi per-saingan (S1, S2, T3) Strategi W T 1. Meningkatkan pengetahuan SDM dalam penggunaan teknologi guna menghadapi serangan hama dan iklim dan cuaca tidak menentu (W3, W6, T1, T3) 2. Membangun sistem distribusi produk secara bersama, mem-bangun jaringan kerjasama untuk menciptakan tata kelola usaha, pemodalan dan teknologi yang handal (W2, W4, W5, W7, T2) Analisis Matriks EFE Dari analisis faktor eksternal dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi peluang dan ancaman Poktan (Tabel 4). Dengan cara perhitungan seperti pada analisis matriks IFE terlihat dominan (skor 3,75 atau mendekati baik) peluang Poktan adanya pasar yang terbuka, dibandingkan dengan ancamannya (skor 1,3-2,0), karena adanya iklim dan serangan hama. 123

124 Analisis Matriks IE Posisi Poktan di Garut berada pada Kuadran V (hold and maintain: 2,0-2,99), atau koordinat (sedang, sedang) sehingga dilakukan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk, karena pemasaran masih terbatas pada pesanan yang diminta pihak pengumpul sayuran organik dan Poktan dapat melakukan sertifikasi sayuran organik untuk memberikan nilai tambah terhadap produk tersebut. Analisis Matriks SWOT Analisis SWOT merupakan kristalisasi dari analisis matriks IFE, EFE dan IE menunjukkan identifikasi sistematis atas kondisi internal dan lingkungan eksternal yang dihadapi Poktan, seperti dimuat pada Tabel 4 secara kualititatif deskriptif. Analisis QSPM Hasil analisis QSPM sebagai kelanjutan dari analisis SWOT kualitatif, maupun terkuantifikasi menunjukkan peningkatan efektivitas rantai pasok untuk pasar terstruktur melalui perluasan akses pasar produk sayuran organik (5,884). Alternatif strategi yang dihasilkan adalah: 1. Melakukan inovasi terhadap pengembangan produk bernilai tambah tinggi untuk menghadapi persaingan (5,884). 2. Membangun sistem distribusi produk secara bersama, serta membangun jaringan kerjasama untuk menciptakan tata kelola usaha, pemodalan dan teknologi handal (5,737). 3. Meningkatkan mutu produk dan penggunaan label kemasan, serta membuat program loyalitas pelanggan seperti layanan antar, membership dan diskon khusus (5,499). 4. Melakukan dan merencanakan pola tanam sesuai SOP untuk menghadapi serangan hama dan iklim dan cuaca tidak menentu (5,419). 5. Meningkatkan dan melakukan promosi secara kontinu (berlanjut) untuk mendapatkan pasar dan loyalitas pelanggan, serta menarik minat masyarakat terhadap produk organik (5,349). 6. Membuat dan memperluas jaringan distribusi untuk memasuki pasar baru untuk mendapatkan konsumen dengan harga kompetitif (5,285) 124

125 7. Meningkatkan pengetahuan SDM dalam penggunaan teknologi untuk menghadapi serangan hama dan iklim dan cuaca tidak menentu (5,209) 8. Meningkatkan kompetensi ICS secara optimal melalui pelatihan-pelatihan dan asosiasi pertanian organik yang ada (5,175). 9. Memanfaatkan program pelatihan dan pembinaan yang diselenggarakan Dinas Pertanian untuk melakukan pelatihan manajemen keuangan dan strategi negosiasi bisnis, serta pengadministrasiannya dan melakukan kerjasama secara intensif dalam peningkatan pengetahuan SDM petani, pinjaman modal dan pemanfaatan teknologi produksi (5,075). Untuk memudahkan pengambilan keputusan, alternatif strategi yang dipilih, maka hal tersebut disederhanakan atas tema Teknologi dan Informasi (alternative 2, 7 dan 9), Produksi (alternatif 1, 3, 4 dan 8) dan Pasar (alternatif 5 dan 6). Dengan tiga tema tersebut terlihat masalah yang paling mendasar bagi Poktan adalah penguasaan pasar (skor 5,884). KESIMPULAN 1. Karakteristik sayuran pada ketiga daerah di Jawa barat sangat berbeda, yaitu Megamendung dan Pengalengan memiliki produk sayuran organik dengan kriteria Prima III. Sedangkan Garut, produk sayurannya sudah menggunakan label dan kemasan tersendiri (tersertifikasi). 2. Faktor internal dan eksternal yang paling utama untuk ketiga daerah yang diteliti adalah: a. Megamendung: penjadwalan musim tanam dan panen (kekuatan), fasilitas dan manajerial (kelemahan), kuota permintaan belum semua terpenuhi (peluang) dan alih fungsi lahan (ancaman) b. Pengalengan: sayuran yang dihasilkan aman dikonsumsi (kekuatan), biaya dan harga (kelemahan), harga jual sayuran organik lebih tinggi (peluang), serta iklim dan cuaca yang tidak menentu memengaruhi hasil produksi (ancaman). 125

126 c. Garut: keanekaragaman produk (kekuatan), SDM dan teknologi pangan (kelemahan), pasar terbuka (peluang), serta iklim dan serangan hama (ancaman). 3. Alternatif strategi pengembangan sayuran organik di tiga daerah sentra produksi sayuran di Jawa Barat ini dilakukan menurut pasar, produksi dan informasi teknologi. UCAPAN TERIMA KASIH Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak-pihak yang telah bersedia mendukung proses pengumpulan data, maupun yang mendukung kelancaran administratif (LPPM IPB dan DP2M DIKTI), sehingga penelitian ini berjalan dengan baik sesuai waktu yang ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA ATAP Kementrian Pertanian RI, Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta. Alamsyah, I Analisis Perilaku Konsumen dalam Keputusan Pembelian Sayuran Organik di Giant Yasmin Bogor, Skripsi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. BSN Standar Nasional Indonesia. Kementerian Pertanian RI, Jakarta. [MAPORINA] Masyarakat Pertanian Organik Indonesia Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Jakarta (ID): Maporina. Palupi, W Strategi Pemasaran Pangan Organik Pada Kelompok Tani Mega Surya Organik, Megamendung, Bogor. Thesis pada Program Studi Industri Kecil, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wijayanti, R Strategi Pengembangan Usaha Sayuran Organik (Studi Kasus: Kelompok Tani Putera Alam Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor). Skripsi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 126

127 STUDI KETAHANAN PANGAN DAN COPING MECHANISM RUMAH TANGGA DI DAERAH KUMUH (Study of Food Security and Coping Mechanism of Households in Slum Areas) Nety Hernawati 1), Dadang Sukandar 2), Ali Khomsan 2) 1) Dep. Ilmu keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. 2) Dep. Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. ABSTRAK Perubahan sosial, ekonomi dan budaya di satu sisi banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada saat bersamaan, perubahan-perubahan tersebut belum sepenuhnya membawa dampak menguntungkan bagi kehidupan rumah tangga, terlebih bagi mereka yang hidup serba kekurangan seperti rumah tangga yang bertempat tinggal di daerah kumuh (slum area). Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, 2) menganalisis pengetahuan gizi rumah tangga, 3) menganalisis kebiasaan makan rumah tangga, 4) menganalisis ketahanan pangan rumah tangga, 5) menganalisis status kesehatan dan status gizi balita, dan 6) menganalisis coping mechanism untuk mendukung kecukupan pangan rumah tangga. Penelitian dilakukan dengan metode survai dengan desain retrospektif dan cross sectional yang berlokasi di daerah kumuh di sekitar bantaran sungai wilayah Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan. Sampel berjumlah 100 rumah tangga. Penelitian berlangsung selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai dengan Desember Secara umum rumah tangga di lokasi penelitian dikategorikan mengalami defisit energi dan protein tingkat berat karena tingkat kecukupan yang dicapai oleh sebagian besar responden <70%. Hanya sekitar 10% dan 26% rumah tangga tidak mengalami defisit energi dan protein. Ada pun coping mechanism untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah meminjam uang dari saudara atau keluarga atau menggadaikan aset rumah tangga dan membiarkan istri atau anak bekerja untuk menambah penghasilan rumah tangga. Kata kunci: Ketahanan pangan, daerah kumuh, coping mechanism. ABSTRACT Social, economy, and cultural changes cause improvement of human welfare. However, some households may still have problem economically, especially for them who live in slum area. The objectives of the study were: 1) to analyze socio-economic characteristics of households in slum area, 2) to analyze nutritional knowledge. 3) to analyze food habits, 4) to analyze food security, 5) to analyze health and nutritional status of children under five years olds, and 6) to analyze coping mechanism to meet food adequacy. The design was retrospective and cross sectional. The study was conducted in Manggarai, Jakarta Selatan. Sampel was 100 household and the study was started in March till December Most households were categorized as having severe energy and protein deficit (% RDA < 70%). Only about 10% and 26% households had adequacy energy and protein intake. The coping mechanism practiced by household were borrowing money from families, morgaging household assets, and letting wives or children earn money. Keywords: Food security, slum area, coping mechanism. 127

128 PENDAHULUAN Wilayah kawasan kumuh merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya. Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi. Kawasan kumuh sering dihubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai negara miskin, kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis. Pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lahan di daerah perkotaan menyebabkan semakin berkembangnya rumah petak kecil yang diperjualbelikan dan disewakan kepada para pendatang. Rumah-rumah petak kecil tersebut kemudian berkembang menjadi kawasan padat dan kumuh yang disebut dengan kawasan kumuh (slum area) (Gusmaini, 2010). Ciri yang menonjol dari permukiman kumuh adalah kerapatan bangunannya yang tinggi, diindikasikan oleh jarak antar bangunan yang relatif dekat (bersebelahan dan berhadapan). Dampak dari kerapatan bangunan yang tinggi, adalah kondisi ventilasi yang menjadi buruk akibat kurangnya sirkulasi udara; drainase-nya menjadi sempit dan dangkal karena lahan terbatas, akibatnya pada saat musim hujan permukiman tersebut sangat potensi mengalami kebanjiran; tata letak tidak teratur dan jalan sempit menyebabkan surkulasi pergerakan tidak terarah, begitu pula dengan sanitasi lingkungan (sampah dan air limbah) menjadi tidak baik (Suparlan, 1984). Peningkatan kawasan kumuh berkembang seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, khususnya di dunia ketiga. Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan tergolong kumuh atau tidak adalah di antaranya dengan melihat: tingkat kepadatan kawasan, kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan 128

129 tersebut. Menurut UN Habitat atau UN Human Settlements Programme, secara keseluruhan, dunia sekarang memiliki tambahan 55 juta warga daerah kumuh dibandingkan tahun Setengah dari penambahan itu karena pertumbuhan penduduk di perumahan kumuh, seperempat oleh urbanisasi dan seperempat oleh orang yang tinggal di pinggiran kota yang rumahnya tergerus oleh urbanisasi. Penghasilan yang rendah pada rumah tangga di permukiman kumuh menyebabkan akses terhadap pangan menurun dan mau tidak mau berakibat pada perubahan pola konsumsi. Perubahan pola konsumsi adalah cara mechanism yang sering diadopsi oleh kelompok miskin untuk mengatasi kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya. Namun apabila perubahan tersebut mendorong kepada ketidakcukupan pangan yang dikonsumsi untuk hidup secara sehat dan produktif akan berdampak pada munculnya kerawanan pangan yang memberikan konsekuensi lebih lanjut pada penurunan status gizi dan kesehatan rumah tangga terutama bagi kelompok usia rawan (Purlika, 2004). Menurut Tabor et al. (2000), rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai kemampuan daya beli yang akan digunakan untuk menjamin ketahanan pangan rumah tangganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman, maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu. Suatu bentuk mechanism untuk mengatasi pangan akan berbeda-beda antara rumah tangga yang satu dengan yang lain tergantung dari faktor demografi, sosial ekonomi, dan masalah yang dihadapi rumah tangga. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya dewasa ini di satu sisi telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada saat bersamaan, perubahan-perubahan tersebut belum sepenuhnya membawa dampak menguntungkan bagi kehidupan rumah tangga, terlebih bagi mereka yang hidup serba kekurangan seperti rumah tangga yang bertempat tinggal di slum area. Misalnya kebutuhan pendidikan anak-anak mereka, kebutuhan yang terkait dengan coping mechanism untuk mendukung kecukupan rumah tangga mereka dan kebutuhan lainnya seperti keamanan pangan (food safety) dan status gizi (nutritional status) termasuk kebutuhan yang berhubungan dengan kesehatan. Oleh karenanya, perlu dilakukan 129

130 kajian untuk menganalisis ketahanan pangan dan coping mechanism rumah tangga di daerah kumuh. Tujuan penelitian adalah menganalisis karakteristik sosial ekonomi, pengetahuan gizi, kebiasaan makan, ketahanan pangan, status kesehatan dan status gizi balita, morbiditas rumah tangga, dan menganalisis coping mechanism untuk mendukung kecukupan pangan rumah tangga. METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survai dengan desain retrospektif dan cross sectional yang berlokasi di daerah kumuh sekitar bantaran sungai wilayah Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan. Penelitian berlangsung selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai dengan Desember Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari: (1) keadaan sosial, ekonomi, dan demografi rumah tangga, (2) pengetahuan gizi (3) konsumsi pangan anggota rumah tangga; (4) status gizi anggota rumah tangga; (5) keadaan sanitasi dan higiene, (6) stategi coping mechanism dalam memenuhi kecukupan pangan rumah tangga. Sampling Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan rumah tangga yang berada di daerah kumuh. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan alokasi proporsional besar sampel diperoleh dengan menggunakan formula Cochran (1982), dan dari hasil perhitungan diperoleh jumlah contoh di lokasi penelitian adalah 100 rumah tangga. n 1 n n 0 0 N 1 130

131 Analisis dan Pengolahan Data Data dientri ke dalam struktur file dengan menggunakan Microsoft Excel dan terhadap data yang sudah dientri dilakukan editing dan generating peubah, penggabungan sheet, sorting dan merging file sesuai keperluan sehingga data siap dianalisis. Analisis data yang dilakukan meliputi estimasi elementary statistic (n, mean, standar deviasi) dan disajikan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosio Ekonomi Rumah Tangga Umur suami dan istri tergolong paruh baya. Rata-rata umur suami 40.7 tahun dan umur istri 37.5 tahun. Keragaman umur istri sedikit lebih tinggi daripada umur suami yaitu simpangan baku umur suami sebesar 13.3 tahun dan simpangan baku umur istri sebesar 13.6 tahun. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di daerah kumuh Manggarai tergolong tinggi (Tabel 1) yaitu di atas Rp /kap/bln atau lebih dari US$2/kapita/hari (2 kali lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan DKI Jakarta). Namun demikian sebagian besar pengeluaran (53%) dialokasikan untuk pangan yaitu sebesar sekitar Rp /kap/bln yang mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga belum kuat. Tabel 1. Statistik pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bln) Statistik Rataan ± Sd Pendapatan (Rp/kap/bulan) ± Total Pengeluaran (Rp/kap/bulan) ± Alokasi pengeluaran (Rp/kap/bulan) - Pangan ± Non pangan ± Rasio pengeluaran (%) - Pangan 53.3 ± Non pangan 46.7 ± 14.9 Pengeluaran pangan tertinggi adalah untuk lauk pauk (13.5%) diikuti pengeluaran untuk jajanan (9.7%), untuk beras (7.1%) dan terakhir untuk minyak goreng (1.7%). Pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk transport, rekreasi, 131

132 sumbangan dan hutang (19.3%) diikuti pengeluaran untuk bahan bakar (9.1%), pendidikan (6.1%), rokok (5.8%) dan yang terakhir sandang (2.2%). Hal yang menarik adalah pengeluaran untuk rokok lebih tinggi daripada pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan dan sandang. Suami yang bekerja sebagai pedagang berjumlah sekitar 21%, sebagai buruh sekitar 17% dan sektor jasa sekitar 24%. Pekerjaan lainnya adalah sebagai karyawan, dan PNS/ABRI. Masih ada suami yang tidak bekerja, tapi relatif kecil yaitu hanya sekitar 4%. Sebagian besar istri adalah ibu rumah tangga (59.8%), dan ada pula yang bekerja sebagai pedagang (18.9%) atau bekerja sebagai karyawan (1%). Sebagian besar rumah tangga mengontrak rumah atau tinggal dengan orang tuanya. Walaupun tinggal di daerah kumuh namun cukup banyak rumah tangga yang memiliki rumah (37%), rumahnya tergolong kecil yaitu hanya berukuran rata-rata sekitar 28 m 2. Dari sisi ukuran rumah, ukuran rumah tersebut tidak memadai untuk ditempati oleh jumlah anggota yang pada umumnya 4 orang atau lebih, karena menurut standar kesehatan tiap orang memerlukan setidaknya 8 m 2. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi menjadi prasyarat penting untuk perbaikan gizi anak-anak. Ibu adalah orang yang sangat berperan dalam penyediaan makan sehari-hari bagi seluruh anggota rumah tangga. Oleh sebab itu, menganalisis pengetahuan gizi ibu dapat bermanfaat untuk mengetahui pemahaman dasar tentang hal-hal yang terkait gizi yang dapat dijadikan acuan apabila intervensi penyuluhan gizi akan dilakukan. Tabel 2. Sebaran skor pengetahuan gizi ibu Skor pengetahuan gizi n % Baik (>80) Cukup (60-80) Kurang (>60) Rataan skor ± Sd 72.2 ± 19.5 Tabel 2 di atas ini menunjukkan bahwa rataan skor pengetahuan gizi ibu adalah 72.2 yang menunjukkan bahwa ibu-ibu di lokasi penelitian umumnya 132

133 mempunyai pengetahuan gizi dengan kategori cukup (skor 60-80). Lebih dari separo ibu-ibu (53.0%) yang menjadi responden penelitian ini memiliki pengetahuan gizi dengan kategori baik (skor >80). Akses pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui beragam media seperti majalah, radio, televisi dan media lainnya. Di Kota Jakarta, dengan pelayananan kesehatan yang semakin baik, diduga akses untuk mendapatkan informasi kesehatan/gizi juga semakin leluasa. Apabila pencapaian tes pengetahuan gizi dirinci lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa aspek yang telah dipahami dengan baik (dijawab benar) oleh responden (ibu) adalah: (1) rabun mata disebabkan oleh kekurangan vitamin A (dijawab dengan benar oleh 87.0% ibu), (2) konsumsi sayuran dan buah penting agar buang air besar lancar (91.0%), (3) tahu banyak yang mengandung formalin (85.0%), dan (4) merokok berbahaya untuk kesehatan paru (86.0%). Kebiasaan Makan Rumah Tangga Kebiasaan makan dapat dicerminkan oleh frekuensi konsumsi pangan yang dilakukan anggota rumah tangga. Semakin sering suatu jenis pangan dikonsumsi, maka hal ini menunjukkan tingginya kebiasaan konsumsi pangan tersebut. Terkadang suatu jenis makanan memang sering dikonsumsi karena merupakan pangan pokok atau makanan tersebut memang disukai oleh anggota rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dikonsumsi 17.8 kali/minggu. Ini berarti umumnya rumah tangga mengonsumsi beras (nasi) 2-3 kali sehari. Sebagai pangan pokok beras mempunyai citra superior dibandingkan pangan pokok lain seperti umbi-umbian. Konsumsi pangan hewani seperti daging ayam, daging sapi, dan ikan masih rendah, yaitu antara 0-2 kali dalam seminggu. Akan tetapi konsumsi telur dan susu sudah cukup baik. Telur dikonsumsi 5-6 kali seminggu. Harga telur relatif lebih terjangkau dan mudah diperoleh serta dapat diolah atau dicampur dengan makanan lain. Konsumsi susu yang cukup tinggi yaitu sekitar 12 kali seminggu dipengaruhi oleh konsumsi susu balita di dalam rumah tangga. Secara umum, konsumsi susu penduduk Indonesia masih sangat rendah, dan paling rendah dibanding negara lain di Asia, yaitu sekitar 30 ml atau 2 sdm perorang perhari (Heriawan, 2012). 133

134 Pangan nabati yang populer dikonsumsi adalah tahu dan tempe dengan frekuensi antara 4-5 kali perminggu. Tahu dan tempe yang diproduksi dengan baik dan aman merupakan sumber protein yang baik, murah, dan bercitarasa enak. Konsumsi sayur dan buah di kawasan slum area di Jakarta ini masih terhitung rendah. Sayur dan buah hanya dikonsumsi 1-2 kali seminggu, padahal pedoman gizi seimbang menganjurkan untuk mengkonsumsi sayur dan buah hingga 5 porsi per hari. Konsumsi sayur dan buah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, kebutuhan serat, serta zat-zat fitokimia lain yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi semua orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Tabel 3 menunjukkan rata-rata kecukupan energi dan zat gizi per kapita per hari yang telah diolah berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Angka kecukupan gizi yang dihitung pada penelitian ini meliputi energi, protein, kalsium, besi, vitamin A dan vitamin C. Tubuh membutuhkan asupan energi setiap hari. Setidaknya satu per tiga dari asupan energi tubuh digunakan untuk melakukan aktivitas fisik, sementara dua per tiga sisanya digunakan untuk memelihara fungsi tubuh, homeostasis, dan sistem metabolisme (Bender 2008 dalam Patriasih et al. 2011). Tabel 3. Angka kecukupan energi dan konsumsi gizi per kapita per hari Zat gizi AKG* Konsumsi % AKG Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) *AKG = Angka Kecukupan Zat Gizi Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang per kapita per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi responden perhari adalah 1589 kkal, protein 40.7 g, kalsium 316 mg, besi 11.7 mg dan vitamin C 27.3 mg. Rata-rata konsumsi 134

135 untuk setiap zat gizi seperti yang tercantum dalam Tabel 3 tersebut nilainya lebih rendah dibanding angka kecukupannya. Tingkat kecukupan gizi (% AKG) adalah sejumlah zat gizi yang dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu populasi dibandingkan dengan AKG dalam satuan persen. Tingkat kecukupan energi yang dicapai responden adalah 75.3%, protein 89.2%, kalsium 56.8%, besi 76%, vitamin A 154.9% dan vitamin C 48.1%. Tingkat kecukupan energi dan protein digunakan untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi energi berkaitan dengan kemampuan manusia untuk hidup aktif dan konsumsi protein dibutuhkan tubuh untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak dan untuk menjamin pertumbuhan tubuh secara normal. Berdasarkan acuan dari Departemen Kesehatan tahun 2006 (BKP, 2008), tingkat kecukupan energi dan protein <70% dikategorikan sebagai defisit energi dan protein tingkat berat, tingkat kecukupan antara 70%-<80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan antara 80%-90% sebagai defisit ringan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara umum rumah tangga di lokasi penelitian dikategorikan mengalami defisit energi dan protein tingkat berat karena tingkat kecukupan yang dicapai oleh sebagian besar responden <70%. Hanya sekitar 10% dan 26% rumah tangga tidak mengalami defisit energi dan protein. Tingkat konsumsi (Sedioetama, 1996), lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktifitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit 135

136 infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah & Martianto, 1992). Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga. Berdasarkan data angka kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan protein yang diperoleh responden, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berada dalam kondisi tidak tahan pangan yang dicerminkan dengan kondisi defisit energi dan protein dalam kategori berat. Kekurangan konsumsi zat gizi seperti energi dan protein dari standar minimum umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktifitas kerja yang jika dibiarkan dalam jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Status Kesehatan dan Gizi Rumah Tangga Kesehatan merupakan hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan menjadi hak warga atas pemerintah di mana pun warga tersebut berada serta bagaimanapun status sosial ekonominya. Sehat didefinisikan sebagai kondisi normal dimana seseorang bisa melakukan aktivitas hidupnya dengan lancar dan tanpa gangguan, sedangkan status kesehatan adalah keadaan kesehatan seseorang pada waktu tertentu. Dalam dua minggu terakhir hanya 11.6% yang sehat, sedangkan 88.4% sisanya sakit. Persentase sakit terbanyak dialami oleh anak yaitu 54.2% dan ibu 16.8%. Sakit yang diderita umumnya batuk dan flu (62.5%) serta demam panas dingin sekitar 15%. Jenis penyakit lainnya yang diderita antara lain sakit kepala, cacar, gatal-gatal dan lain-lain. Penyakit kronis anggota rumah tangga yang cukup menonjol adalah penyakit kulit, asam urat dan hipertensi. Dari total anggota rumah tangga yang sakit, jumlah yang menderita sakit kulit sebanyak 27%, yang menderita asam urat sekitar 25% dan yang menderita hipertensi sekitar 21%. Hal yang menghawatirkan adalah dari jumlah yang sakit diketahui sebanyak 10.6% menderita TBC. Hal ini sangat berbahaya karena penyakit ini menular. Dengan 136

137 rumah yang sempit, penyakit ini mudah menular ke anggota rumah tangga lainnya kemudian ke lingkungan sekitarnya. Status gizi dalam penelitian ini didasarkan pada parameter antropometri berupa pengukuran berat badan dan tinggi badan. Status gizi dianalisis menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan Tabel 4 sebagian besar balita menurut status gizi BB/U, TB/U dan BB/TB termasuk dalam kategori normal berturut-turut adalah 84.2%, 59.6%, dan 77.2%. Dari hasil pengukuran TB/U diketahui masih terjadi masalah gizi kurang yang cukup tinggi (40.4% anak pendek) dibandingkan hasil pengukuran menggunakan indeks BB/U (15.8% anak kurang berat) dan BB/TB (10.5% anak kurus). Berdasarkan pengukuran BB/TB terdapat 12.3% balita mengalami gizi lebih (overweight). Tabel 4. Sebaran balita menurut status gizi Kategori BB/U TB/U BB/TB n % n % n % Kurang (Z score < -2) Normal (-2 < Z score <+2) Lebih (Z score > +2) Rataan ± Sd -1.2 ± ± ± 1.6 Coping Mechanism Coping mechanism dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi situasi/keadaan yang tidak menguntungkan. Dalam situasi/keadaan seperti ini seseorang dapat berupaya dengan mengandalkan kemampuan intelektual, kemampuan fisik/biologi maupun material. Strategi ini juga biasanya dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mendapatkan pangan untuk menjamin kelangsungan hidup diri orang tersebut dan anggota rumah tangganya (Sen, 1982). Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh 51% responden adalah merasa tidak dapat mencukupi kebutuhan/pengeluaran keluarga, selanjutnya sebanyak 41% responden merasa tidak puas dengan penghasilan keluarga. Responden (ibu) ada 137

138 yang merasa kurang puas dengan pekerjaan suami, terbebani dengan hutang atau cicilan pinjaman, dan merasa berat dengan biaya pendidikan anak. Tingginya biaya hidup di Jakarta serta semakin banyaknya kebutuhan keluarga mengharuskan keluarga berupaya keras untuk melakukan berbagai macam coping mechanism untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan biaya yang ada (Tabel 5). Sebanyak 48% keluarga responden merasa istri atau suami perlu mencari pekerjaan sampingan atau istri ikut bekerja (39%) untuk menambah penghasilan keluarga. Sebanyak 41% keluarga responden meminta atau meminjam uang dari saudara atau keluarga sebagai coping untuk menutupi kebutuhan keluarga. Coping mechanism lain yang sering dilakukan oleh 38% keluarga responden adalah terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan material (perabotan rumah). Tabel 5. Sebaran responden berdasarkan koping strategi untuk memenuhi kebutuhan keluarga Koping strategi n % Meminta atau meminjam uang dari orang tua atau saudara/kerabat Terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga (dari non saudara/kerabat) Terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan material (perabotan rumah) Isteri atau suami perlu mencari pekerjaan sampingan Menjual/menggadaikan*) perhiasan emas Menjual/menggadaikan*) perabotan non elektronik Menjual/menggadaikan*) perabotan elektronik Isteri ikut bekerja Anak usia sekolah ikut bekerja *)Dimodifikasi dari sumber: Firdaus dan Sunarti (2009). KESIMPULAN Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di daerah kumuh Manggarai tergolong tinggi. Namun demikian, sebagian besar pengeluaran dialokasikan untuk pangan yang mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga belum kuat. Suami yang bekerja sebagai pedagang, buruh, dan sektor jasa 138

139 belum dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga mengontrak rumah atau tinggal dengan orang tuanya, dengan ukuran rumah rata-rata sekitar 28 m 2. Lebih dari separuh ibu-ibu yang menjadi responden penelitian ini memiliki pengetahuan gizi dengan kategori baik (skor >80). Pengetahuan gizi menjadi prasyarat penting untuk perbaikan gizi anak-anak. Di Kota Jakarta, dengan pelayananan kesehatan yang semakin baik, diduga akses untuk mendapatkan informasi kesehatan/gizi juga semakin baik. Konsumsi pangan hewani seperi daging ayam, daging sapi, dan ikan masih rendah, akan tetapi konsumsi telur dan susu sudah cukup baik. Harga telur relatif lebih terjangkau dan ketersediannya di pasar/warung cukup tinggi. Frekuensi konsumsi susu cukup tinggi karena masih banyaknya anak balita di dalam rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga berada dalam kondisi tidak tahan pangan yang dicerminkan dengan kondisi defisit energi dan protein dalam kategori berat. Kekurangan konsumsi zat gizi seperti energi dan protein akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktifitas kerja. Dalam dua minggu terakhir terdapat 88.4% rumah tangga yang anggota keluarganya sakit (terutama anak-anak dan ibu). Penyakit yang diderita umumnya batuk dan flu. Penyakit kronis anggota rumah tangga yang cukup menonjol adalah penyakit asam urat dan hipertensi. Kejadian penyakit TBC juga agak tinggi karena lingkungan yang buruk. Masalah gizi yang cukup menonjol pada anak balita adalah stunting (pendek), di samping masalah gizi lainnya seperti kurang berat dan kurus. Tentang coping mechanism untuk memenuhi kebutuhan pangan, banyak rumah tangga yang meminjam uang dari saudara atau keluarga atau menggadaikan aset rumah tangga. Istri atau anak yang bekerja juga menjadi suatu coping untuk menambah penghasilan rumah tangga. 139

140 UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada DIKTI Kemendikbud dan LPPM IPB yang telah memfasilitasi penelitian ini, serta kepada Dekan FEMA IPB yang telah memberikan dukungan atas dilaksanakannya studi tentang slum area ini. DAFTAR PUSTAKA BKP [Badan Ketahanan Pangan] Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Jakarta. Cochran WG Sampling Technique. John Wiley and Son. New York. Gusmaini Identifikasi Karakteristik Permukiman Kumuh (Studi Kasus Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur). [Skripsi] Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah & D. Martianto Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Heriawan R Wamentan: Konsumsi Susu Indonesia Terendah se-asia. ROL RepublikaOnline [Diakses: 13 November 2012]. Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, & Sukandar S Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kesehatan dan Status Gizi Anak Jalanan. Laporan Penelitian. Neys-Van Hoogstraten Foundation (NHF) dan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Patriasih R, Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, & Sukandar S Socio- Economic and Cultural Aspects of Cirendeu People in West Java who Consumed Cassava as Staple Foods: Effect on Household Nutritional Status and Health. Departement of Home Economic Education Faculty of Technology and Vocational Education, Indonesia Education University and Neys-Van Hoogstraten Foundation. Purlika A Studi Food Coping Mechanism pada Rumah Tangga Miskin di Daerah Perkotaan. [Skripsi] Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sediaoetama AD Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Nutrition: for Students and Professionals (I). Dian Rakyat. Jakarta. 140

141 Sen A Poverty and Famine an Essay on Entitlement and Deprivation. University Press. Oxford. Suparlan P Kemiskinan di Perkotaan, Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan. Tabor S, Soekirman, & Martianto D Keterkaitan antara Krisis Ekonomi, Kemiskinan, Ketahanan Pangan, dan Keadaan Gizi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan Dan gizi VII (hal ). Jakarta: LIPI. 141

142 KEBIJAKAN SWASEMBADA SUSU DI INDONESIA DENGAN PENDEKATAN MODEL SISTEM DINAMIK (Milk Self-Sufficiency Policy in Indonesia: Dynamic System Model Approach) Ratna Winandi Asmarantaka, Juniar Atmakusuma, Siti Jahroh, Harmini Dep. Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. ABSTRAK Pada saat ini impor susu Indonesia sekitar 70% dari kebutuhan nasional. Untuk meningkatkan swasembada susu, pemerintah menargetkan pengurangan impor susu menjadi 50% pada tahun Penelitian ini ingin mengkaji kemungkinan untuk mencapai target tersebut dengan pendekatan model sistem dinamik. Data awal diambil dari data tahun 2011 yang kemudian diolah dan dibangun sistem dinamiknya untuk memprediksi hingga tahun Apabila tidak ada kebijakan atau existing condition pada tahun 2011 berlanjut kondisinya (business as usual), maka dimasa mendatang ( ) total kebutuhan dan produksi susu nasional akan cenderung semakin tinggi. Namun peningkatan kebutuhan lebih tinggi dari produksi, sehingga tahun 2020 target pemerintah masih belum tercapai. Skenario 1 merupakan intervensi kebijakan pemerintah dalam mencapai targetnya, namun demikian simulasi menunjukkan dengan Skenario 1 target baru tercapai tahun Untuk mencapai target tepat waktu maka dibangun Skenario 2 yang setelah disimulasikan target tercapai tahun Kata kunci: Produksi dan konsumsi susu nasional, impor, dan kebijakan. ABSTRACT At the present, the imported milk amounts to around 70% of the national demand. In order to increase milk self-sufficiency, the government is planning to reduce improted milk to 50%. This study aims to assess the possibility of achieving that government's target through the dynamic system model. The initial condition in 2011 was used as the initial data to be processed and constructed as the dynamic system model in order to forecast the condition up to If there was no policy intervention or the existing condition in 2011 continued (business as usual), the prediction in the period of 2011 to 2025 for total national milk demand and production will tend to be higher. However, the increased demand is still higher than production, so in 2020 the government s target still cannot be achieved. Scenario 1 is the policy intervention implemented by the government in order to achieve the target. However, through the policy simulation Scenario 1 will reach the target in On the other hand, in order to achieve the target on time, Scenario 2 was constructed and through the simulation it can reach the target in Keywords: National milk production and consumption, import, and policy. PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan berdasarkan Human Development Indeks (HDI) posisi kualitas sumberdaya manusia Indonesia cenderung menurun (peringkat ke 112 dari 147 negara). Hal tersebut ditentukan salah satunya oleh kualitas pangan yang 142

143 dikonsumsi masyarakat seperti susu, yang merupakan produk primer ternak sumber protein yang berkualitas sangat baik. Pada tahun 2011 konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia sekitar 11,09 liter per kapita per tahun (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, 2012 di dalam Republika, 29 Mei 2012). Namun tingkat konsumsi ini masih dibawah tingkat konsumsi susu per kapita per tahun di Bangladesh 31 liter, India 40 liter dan kambodia 12,97 liter. Dari sisi produksi susu dalam negeri masih belum dapat memenuhi kebutuhan domestik, sehingga masih harus impor dalam jumlah besar dan cenderung terus meningkat. Produksi susu nasional baru bisa memenuhi sekitar 30% dari kebutuhan total Indonesia, sisanya sekitar 70% masih harus diimport (Ditjenak, 2010). Dalam perdagangan internasional produk susu, posisi Indonesia saat ini berada pada posisi sebagai net-consumer (konsumen). Selama ini Industri Pengolahan Susu (IPS) masih sangat tergantung dengan bahan baku dari impor yang mencapai sekitar 70% (Daryanto, 2012). Potensi sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memungkinkan pengembangan agribisnis sapi perah yang dapat mendorong peningkatan produksi susu nasional. Selain itu, hal ini menjadi penting mengingat harapan pemerintah khususnya Kementerian Pertanian untuk mewujudkan swasembada susu nasional tahun 2020 melalui program pembangunan industri persusuan nasional. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi kondisi aktual agribisnis sapi perah, (2) Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mencapai swasembada susu Indonesia, dan (3) Membangun model sistem dinamis ketersediaan susu nasional. METODE PENELITIAN Model sistem dinamis ketersediaan susu nasional yang dikembangkan dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan hubungan antara elemenelemen di dalam sistem ketersediaan susu di Indonesia di masa mendatang. Proses 143

144 pemodelan dilakukan dengan cara memecah sistem secara keseluruhan menjadi dua sub sistem yakni sub sistem kebutuhan susu dan sub sistem penyediaan susu. Analisis kebutuhan susu diidentifikasi melalui kebutuhan susu untuk konsumsi masyarakat dan untuk industri pengolahan. Untuk itu data yang digunakan adalah data agregat nasional dan perkembangannya yang meliputi: (1) konsumsi susu per kapita, (2) jumlah penduduk, (3) pertumbuhan penduduk, (4) kebutuhan susu untuk industri pengolahan dan (5) kebutuhan susu nasional. Analisis penyediaan susu diidentifikasi melalui jumlah produksi susu yang berasal dari peternakan sapi perah maupun dari import. Untuk itu data yang digunakan adalah data agregat nasional dan perkembangannya yang meliputi: (1) populasi sapi perah menurut umur, (2) tingkat kematian sapi perah menurut umur, (3) produktifitas anak sapi perah dan susu segar menurut umur sapi laktasi, (4) tingkat pemotongan sapi perah produktif dan (5) jumlah dan laju import susu. Data tersebut merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber diantaranya dari Direktorat Jendral Peternakan Kementerian Pertanian, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Dewan Persusuan Nasional, BPS, instansiinstansi terkait dan berbagai referensi yang relevan dan mendukung. Indentifikasi sub sistem kebutuhan dan penyediaan susu di Indonesia dan kebijakan untuk mencapai swasembada susu nasional dilakukan melalui berbagai metode yaitu melalui studi pustaka dan wawancara selektif terhadap stakeholder pada agribisnis persusuan Indonesia. Model sistem dinamis yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini, pada awalnya dikembangkan oleh Forrester (1968). Model sistem dinamis merupakan suatu abstraksi dan simplifikasi dari suatu sistem yang kompleks, namun diupayakan mampu merepresentasikan sistem tersebut dengan baik. Ketepatan dalam pemilihan variabel yang dominan dan mengenali hubungan antar variabel di dalam sistem akan menentukan keberhasilan tujuan membangun model. Simulasi kebijakan swasembada susu di Indonesia pada model sistem dinamik ketersediaan susu nasional dilakukan setelah model sistem d inamik 144

145 ketersediaan susu nasional diperoleh dengan validitas yang mencukupi. Tahapan pemodelan sistem ketersediaan susu nasional meliputi: 1) Indentifikasi Agribisnis Persusuan Nasional Kebutuhan masing-masing pelaku (stakeholders) dalam sistem ketersediaan susu nasional berbeda-beda. Peternak sapi perah menginginkan pakan dan obatobatan tersedia dengan harga yang stabil dan terjangkau, harga susu segar yang stabil dan cukup tinggi sehingga memberikan insentif bagi peternak untuk mengembangkan usahatanya. Koperasi susu berkepentingan membantu anggotanya (peternak sapi perah) dalam pengadaan pakan dan pemasaran hasilnya, teknologi penyimpanan susu yang baik sehingga kualitas susu dapat dijaga dalam kondisi baik yang pada akhirnya akan memberikan harga jual susu segar yang baik dan stabil. Industri pengolahan susu membutuhkan bahan baku (susu segar) dalam jumlah yang cukup dan kontinyu dengan harga beli yang relatif murah serta dapat meningkatkan pendapatan. Masyarakat berkepentingan dengan harga susu yang terjangkau dengan kualitas produk yang baik. Lembaga Keuangan, dengan kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan dan resiko pengembalian pinjaman yang kecil. Pemerintah berkepentingan dengan peningkatan produksi susu nasional sehingga import susu dapat ditekan yang pada akhirnya pengurangan devisa untuk itu dapat ditekan, peningkatan pendapatan daerah, meningkatkan stabilitas harga pakan, obat-obatan dan susu. Pada dasarnya semua pelaku menginginkan pendapatan yang meningkat, yang akan memberikan insentif untuk pengembangan peternakan sapi perah yang pada akhirnya memberikan arah positif untuk pencapaian swasembada susu nasional. Di samping kebutuhan yang bersifat sinergis tersebut tampak pula kebutuhan para pelaku yang sifatnya kontradiktif yaitu harga, dimana peternak dan koperasi menginginkan harga jual produknya tinggi sementara industri pengolahan menginginkan harga beli susu segar rendah, sedangkan pemerintah menginginkan kestabilan harga. Kebutuhan penentuan harga yang bertentangan antar pelaku usaha kemungkinan akan menimbulkan konflik dan pada akhirnya akan menghambat sistem dalam upaya penyediaan susu nasional. Harga kesepakatan yang bersifat win win solution umumnya menjadi alternatif yang dipilih. Pada konteks persusuan diharapkan peternak susu mendapatkan harga 145

146 yang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan Industri Pengolahan Susu (IPS) namun kedua pihak masih mendapatkan keuntungan, dimana petani mendapatkan insentif yang lebih baik untuk mengembangkan peternakan sapi perahnya sementara IPS masih mendapatkan keuntungan yang baik dari usaha pengolahan susu segar menjadi produk turunannya. Dengan mempertimbangkan ketersediaan dana, tenaga dan waktu penelitian maka pada penelitian ini dibatasi hanya akan memformulasikan sistem model dinamik yang digunakan untuk memprediksi ketersediaan susu nasional di masa mendatang. Pemecahan permasalahan harga diantara pelaku usaha melalui win win solution diasumsikan berjalan dengan baik sehingga harga yang terjadi tidak menghambat pengembangan peternakan sapi perah dalam rangka mencapai swasembada susu nasional. Kebijakan pemerintah dalam bidang persusuan akan menentukan arah perkembangan agribinis persusuan nasional di masa mendatang. Kondisi internal dan eksternal usahatani sapi perah yang kondusif untuk pengembangan agribisnis ini pada akhirnya akan menentukan arah peningkatan produksi susu yang menjadi tujuan pemerintah untuk swasembada susu pada tahun ) Identifikasi Sistem Ketersediaan Susu Nasional Pemahaman mekanisme yang terjadi di dalam sistem merupakan tahap yang sangat penting. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan mengkonstruksi struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem ketersediaan susu nasional ke dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram). Struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem ketersediaan susu nasional terdiri dari dua subsistem, yaitu subsistem kebutuhan susu nasional (masyarakat Indonesia) dan subsistem penyediaan susu nasional. Masing-masing subsistem dibangun oleh faktor-faktor yang khas dan berinteraksi secara dinamis menurut waktu dan kondisi. Kemampuan pemahaman atas sistem yang ditelaah akan menentukan model dinamis yang akan dihasilkan. Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan hubungan antar variabel yang terlibat di dalam sistem. Antar variabel dihubungkan dengan tanda panah, dimana variabel yang berada pada asal tanda 146

147 panah adalah variabel yang mempengaruhi (independent) dan variabel yang berada di akhir tanda panah adalah variabel yang dipengaruhi (dependent). Pada akhir tanda panah ditambahkan tanda positif (+) atau negatif (-) sesuai dengan arah hubungan kedua variabel tersebut. Tanda positip menunjukkan hubungan positip dan tanda negatif menunjukkan hubungan negatif. Pada Gambar 1 adalah ilustrasi causal-loop diagram pergerakan populasi penduduk. Laju Kelahiran R + - Populasi Laju Kematian B Fraksi Laju Kelahiran Rata-rata Harapan Hidup Sumber: Sterman (2000) Gambar 1. Diagram lingkar sebab akibat untuk memprediksi populasi. Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa makin tinggi rata-rata harapan hidup akan menyebabkan laju kematian semakin rendah, laju kematian semakin rendah maka akan menyebabkan populasi semakin tinggi. Di tengah-tengah loop tersebut ada huruf B (Balancing) di dalam lingkaran tanda panah berlawanan arah jarum jam, yang menunjukkan penurunan jumlah populasi. Peningkatan fraksi laju kelahiran akan mengakibatkan laju kelahiran semakin tinggi semakin, semakin tinngi laju kelahiran maka populasi juga semakin tinggi, semakin tinggi populasi maka laju kelahiran juga akan tinggi. Di dalam lingkaran ada huruf R (Reinforcing) dengan tanda panah searah jarum jam yang menunjukkan peningkatan populasi dari waktu ke waktu. 3) Pemodelan Sistem Ketersediaan Susu Nasional Pemodelan sistem bertujuan untuk menyederhanakan sistem sehingga dapat merepresentasikan kondisi aktual sistem dengan baik. Model dinamis ketersediaan 147

148 susu nasional disusun berlandaskan atas diagram causal loop dengan menggunakan asumsi dasar model dinamis. Model dinyatakan dalam bentuk grafis (diagram alir) dan persamaan matematis. Diagram alir akan menunjukkan hubungan antar variabel di dalam sistem. Untuk mengkonstruksi model ketersediaan susu nasional pada penelitian in digunakan program komputer VenSim (Ventana System, 2007). Program VenSim dipilih karena pertimbangan telah mencukupi kebutuhan model yang akan dibangun. Simbol-simbol yang digunakan dalam diagram alir dengan program VenSim diilustrasikan pada Gambar 2. Sumber: Sterman, 2000 Gambar 2. Bahasa grafis sistem model dinamik. Simbol-simbol dalam program VenSimModel dinamis dalam bahasa grafis diilustrasikan melalui Gambar 2. yang dinyatakan dalam lima symbol, yaitu: (1) Stock (gambar kotak) menyatakan akumulasi dari suatu aliran di dalam sistem (contoh populasi penduduk); (2) Rate menyatakan tingkat penambahan (inflow) (contoh jumlah kelahiran) atau pengurangan (outflow)(contohnya jumlah kematian) dari Stock setiap periode yang menunjukkan aktivitas dari sistem; (3) Converters menyatakan input yang bisa dinyatakan dalam angka atau formula atau grafik (besarannya ditentukan oleh pembangun model); (4) Connectors (gambar tanda panah) menunjukkan aliran informasi (hubungan) di dalam sistem (sumber panah menunjukkan variabel yang mempengaruhi dan diujung tanda panah adalah variabel yang dipengaruhi); (5) Cloud menyatakan batasan sistem. 148

149 Stock adalah akumulasi dari suatu sistem aliran. Aliran bersih ke dalam Stock adalah tingkat perubahan pada Stock. Secara matematis besarnya Stock pada waktu ke t dinyatakan kedalam persamaan integral berikut ini..(1) dimana Inflow(s) adalah besarnya Inflow (penambahan Stock) dan Outflow(s) adalah pengurangan Stock selama periode s diantara waktu awal (t 0 ) hingga saat ini (t) (Sterman, 2000). Horison waktu sistem model dinamik pada penelitian ini ditentukan lima belas tahun. Berdasarkan atas diagram alir model dinamis sistem ketersediaan susu nasional, kemudian diformulasikan hubungan atau persamaan kuantitatif antar variabel di dalam sistem. Penentuan nilai parameter di dalam persamaan matematis tersebut dibangun berdasarkan asumsi-asumsi yang ditentukan berdasarkan kajian teoritik dengan berlandaskan pada data sekunder yang sebagian besar bersumber dari Direktoral Jendral Peternakan-Kementerian Pertanian. Asumsi yang ditetapkan akan menentukan hasil proyeksi yang dihasilkan model, atau dengan kata lain asumsi yang berbeda akan memberikan hasil proyeksi ketersediaan susu nasional yang berbeda pula. 4) Verifikasi dan Validasi Sistem Model Ketersediaan Susu Nasional Model memiliki validitas tinggi ketika model tersebut dapat merepresentasikan kondisi aktual dengan baik. Validitas model dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) menggunakan indikator MAPE (Mean Absolut Percentage Error) yang diformulasikan sebagai: dimana Y t adalah nilai aktual ketersediaan susu nasional pada periode t, Є t adalah perbedaan antara nilai aktual dengan hasil prediksi model atau kesalahan ramalan. Semakin kecil nilai MAPE, semakin tinggi validitas model yang diuji karena secara umum nilai aktual variabel yang dievaluasi (Y) semakin dekat dengan nilai Y yang diprediksi oleh model dinamis; (2) menggunakan expert judgement, dimana model yang diperoleh selanjutnya dipresentasikan kepada ahli 149

150 peternakan/persusuan Indonesia untuk mendapatkan penilaian. Penilaian meliputi logika sistem, parameter di dalam sistem persamaan matematis dan output model. 5) Simulasi Kebijakan Swasembada Susu Nasional Setelah model sistem ketersediaan susu nasional diperoleh dengan validitas yang memadai, maka selanjutnya dapat dilakukan simulasi kebijakan swasembada susu pada model tersebut. Simulasi dilakukan dengan menggunakan berbagai skenario kebijakan swasembada susu, sehingga akan dapat diperoleh gambaran dampak kebijakan swasembada susu terhadap tingkah laku sistem yang dalam hal ini adalah pencapaian swasembada susu nasional di masa mendatang. Teknik simulasi bersifat luwes terhadap perubahan-perubahan, sehingga sesuai dengan keperluan sistem yang sebenarnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Agribisnis Sapi Perah Indonesia Pembangunan peternakan dilaksanakan melalui konsep agribisnis, dengan konsep industri peternakan sapi perah rakyat (innayat), yang dilakukan sejak pengadaan dan penyaluran sarana produksi (sub system hulu), budidaya (sub system on farm), pengolahan sampai pemasaran (sub system hilir) melalui pendekatan penanganan seluruh sub system agribisnis secara utuh. Lembaga yang terlibat pada sub system hulu agribisnis sapi perah antara lain adalah Balai Pembibitan Sapi Perah, penyedia sapi perah/bibit, industri pakan dan industri obat-obatan. Usaha agribisnis hulu yang perlu dikembangkan adalah penyediaan calon-calon induk dan pejantan unggul, untuk keperluan IB maupun pejantan untuk kawin alam. Pada sub system on farm, lebih dari 95% susu yang diproduksi dari sapi perah dengan jenis sapi perah Fries Hollands atau FH, yang dikembangkan sejak pemerintahan Belanda. Menyebar di daerah yang memiliki ketinggian meter di atas permukaan laut dengan suhu udara o C. Penyebaran sapi perah terbanyak di Pulau Jawa, sedang di luar Jawa populasi sapi perah terbanyak di Sumatera Utara. Budidaya sapi perah dimulai dari perkembangan sapi perah betina (dara) yang akan memproduksi susu setelah dikawinkan, dapat 150

151 secara alamiah dengan sapi jantan atau dengan inseminasi buatan (IB). Agar berhasil, fenomena reproduksi harus diperhatikan. Pada tahun 2010, Indonesia mengimpor produk susu sebanyak 302,158 ton dengan nilai 925 milyar US$, volume ini meningkat 12% dibanding tahun Eropa (EU), New Zealand (NZ) dan Amerika (USA) merupakan negara asal impor Indonesia terbesar, dengan pangsa pasar (market share) masing-masing sebesar 32, 23 dan 21%. Sedangkan pangsa pasar dari Australia sebesar 13% pada tahun 2010, volume ini menurun dibanding tahun 2002 yang mencapai 30%. Sejak lima tahun terakhir ekspor produk susu berfluktuasi dari ton tahun 2007 sampai ton dalam tahun Pada tahun 2010, Indonesia ekspor ton produk susu dengan nilai 89 milyar US$. Sekitar dua pertiga ekspor termasuk golongan susu lainnya, terutama susu kental manis. Sekitar 82% (7636 ton) produk susu diekspor ke Singapura dan Hongkong menggunakan susu segar produk Greenfield, Indonesia yang disuplai dari Australia. Tarif impor terhadap produk susu sebesar 5%, sedang untuk produk pengolahan seperti yoghurt dan beberapa susu konsentrat dan krim dikenakan tarif impor sebesar 10%. Sistem Ketersediaan Susu Nasional Sistem ketersediaan susu nasional dibangun atas dua sub-sistem, yakni subsistem produksi susu nasional dan sub-sistem kebutuhan konsumsi susu nasional. Jumlah kebutuhan susu nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi susu nasional ditutup melalui import. Hasil konstruksi hubungan kausal sistem ketersediaan susu nasional tersebut kemudian digambarkan ke dalam bentuk diagram causal loop yang hasilnya tersaji pada Gambar 3. Pada sub-sistem kebutuhan konsumsi susu nasional, total kebutuhan konsumsi susu nasional ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia. Semakin besar jumlah penduduk dan konsumsi susu per kapita maka total kebutuhan susu nasional akan semakin meningkat. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk (tingkat kematian dan tingkat kelahiran penduduk Indonesia). Semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk maka di masa mendatang jumlah penduduk 151

152 Indonesia akan semakin besar. Peningkatan konsumsi susu per kapita dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan pemerintah dalam peningkatan pendapatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan sosialisasi program yang bertujuan meningkatkan konsumsi susu segar nasional, misalkan melalui program susu untuk anak sekolah. Pada sub-sistem produksi susu nasional, produksi susu dipengaruhi oleh populasi sapi perah, khususnya jumlah sapi betina umur 2-7 tahun dan produktifitasnya. Semakin besar jumlah sapi betina umur 2-7 tahun dan produktifitas susunya maka semakin besar total produksi susu nasional. Disamping itu sistem penanganan yang kurang baik pada susu hasil pemerahan, yang menyebabkan susu tercecer dan atau rusak, juga akan memperlemah kemampuan penyediaan susu nasional. Sementara penambahan populasi sapi ditentukan oleh populasi sapi perah betina dewasa, calf crop dan tingkat mortalitas. Semakin tinggi jumlah sapi betina dewasa, calf crop dan semakin rendah mortalitas maka penambahan populasi sapi laktasi akan semakin besar. Pada umumnya pedet betina yang dihasilkan tidak dijual atau dipertahankan sebagai replacement stock, agar terjadi kesinambungan siklus produksi. Disamping itu program pemerintah untuk menambah sapi laktasi (indukan sapi perah) sebanyak ekor pada tahun 2012 akan menambah populasi betina produktif. Pada penelitian ini, permasalahan harga penjualan susu oleh petani tidak dimasukkan di dalam model, sebagai variabel penyebab produksi susu nasional. Harga jual susu oleh petani berkaitan erat dengan struktur pasar, kelembagaan, permintaan dan penawaran. Harga yang menguntungkan bagi petani sehingga petani bergairah untuk mengembangkan usahanya, merupakan system pemasarn yang efesien dan kebijakan program pemerintah. Ketersediaan susu nasional merupakan perbedaan antara total produksi susu nasional dan total kebutuhan konsumsi susu nasional, dimana kekurangannya akan dipenuhi dari import. Swasembada susu dicanangkan dicapai pada tahun 2020, dimana target swasembada terjadi ketika total produksi susu nasional dapat memenuhi minimal 50% dari total kebutuhan susu nasional atau dengan kata lain 152

153 total import susu maksimal hanya 50% dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012b). Hubungan kausal di antara variabel di dalam sistem ketersediaan susu nasional yang diuraikan secara naratif tersebut, akan tampak lebih jelas apabila dinyatakan dalam bentuk visual (diagram causal-loop). B Calf Betina - + Fraksi Penjualan Betina B Tingkat Mortalitas + + B Calf Crop + Tingkat Kematian Tingkat Kelahiran + B R Sapi Betina Dewasa - - Calf Jantan Calf Populasi Penduduk Indonesia + + R Sapi Betina Afkir Sapi Laktasi Sapi Jantan Dewasa + + Total Produksi Susu Nasional Total Kebutuhan Susu Nasional Pasar Daging Sapi Produktivitas Sapi Laktasi + + Ketersediaan Susu Nasional Konsumsi Susu per Kapita Import Susu Gambar 3. Diagram Causal Loop sistem ketersediaan susu nasional Program Penambahan Sapi Laktasi - + Kerusakan Susu dan atau Tercecer Hubungan kausal dalam bentuk diagram causal loop dinyatakan ke dalam lima simbol, yakni: (1) tanda panah menunjukkan arah hubungan kausal, asal tanda panah adalah variabel penyebab, sementara variabel pada ujung tanda panah adalah variabel respon atau variabel effect; (2) tanda positif (di ujung tanda panah) menunjukkan jika variabel penyebab meningkat maka variabel effect akan cenderung meningkat, (3) tanda negatif menunjukkan arah hubungan sebaliknya dari tanda positif, (4) notasi R (Reinforcing) menunjukkan adanya pertumbuhan 153

154 dan (5) notasi B (balancing) menunjukkan adanya penurunan dalam jangka panjang di dalam loop tersebut. Pemodelan Sistem Ketersediaan Susu Nasional Model dinamis sistem ketersediaan susu nasional dibangun berdasarkan data existing condition tahun 2011 sebagai tahun awal simulasi, dengan pertimbangan data tersebut adalah data terakhir hasil pendataan sapi perah (PSPK tahun 2011). Simulasi dilakukan untuk 15 tahun mendatang atau tahun 2011 hingga tahun Swasembada susu dicapai ketika total produksi susu nasional mencapai minimal 50% dari total kebutuhan susu nasional atau jumlah impor susu maksimal hanya 50% dari total kebutuhan susu nasional. Validasi Sistem Model Ketersediaan Susu Nasional Validitas model ketersediaan susu nasional pada penelitian ini dilakukan menggunakan expert judgement, dimana model yang diperoleh selanjutnya dipresentasikan kepada ahli peternakan/persusuan Indonesia untuk mendapatkan penilaian. Penilaian meliputi logika sistem, parameter di dalam sistem persamaan matematis dan output model. Validitas melalui expert judgement diupayakan mencukupi, karena nara sumber yang dipilih adalah orang yang ahli di bidang sapi perah Indonesia karena kepakarannya dan karena pengalaman praktisnya sebagai peternak sapi perah. Simulasi Kebijakan Swasembada Susu Nasional Simulasi kebijakan dikategorikan atas tiga skenario, yakni: (1) Skenario Existing Condition, yakni simulasi pada model dinamis sistem ketersediaan susu, dimana existing condition agribisnis sapi perah pada tahun 2011 berlanjut kondisinya seperti apa adanya (business as ussual). (2) Skenario Kebijakan-1, yakni simulasi dimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi susu nasional dalam upaya mencapai swasembada susu pada tahun 2020 (minimal 50% kebutuhan susu nasional dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri), (3) Skenario Kebijakan-2, yakni simulasi ketika program yang dicanangkan pada scenario kebijakan-1 untuk swasembada susu tidak dapat dicapai. 154

155 Skenario Existing Condition Simulasi model dinamis ketersediaan susu nasional pada skenario ini dimasudkan untuk memprediksi kondisi pencapaian program swasembada susu, apabila existing condition agribisnis sapi perah pada tahun 2011 berlanjut kondisinya seperti apa adanya (business as ussual). Hasil simulasi model dinamis ditentukan oleh parameter model. Pada existing condition agribisnis sapi perah pada tahun 2011, parameter model dinamis ketersediaan susu nasional ditentukan sebagai berikut: (1) rata-rata konsumsi susu masyarakat Indonesia; (2) rata pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun; (3) Tanpa ada program penambahan populasi melalui impor sapi betina produktif (hanya berlandaskan populasi sapi perah tahun 2011 ); (4) calfing rate sebesar 70%; (5) survival rate sebesar 85%; (6) pengurangan sapi betina produktif sebesar 0%; (7) rata-rata produktifitas susu sebesar 10,82 liter per ekor per hari laktasi dengan masa laktasi 247 hari per ekor per tahun atau produktifitas susu diasumsikan sebesar 2.672,54 liter susu per ekor per tahun; (8) jumlah susu yang rusak dan atau tercecer karena penanganan yang kurang baik setelah proses pemerahan sebesar 1%. 8 B Liter 2.5 B Liter 100 Persen -1.5 B Liter 5 B Liter 1.65 B Liter 50 Persen B Liter 2 B Liter 800 M Liter 0 Persen -5 B Liter Tahun Total Kebutuhan Susu Nasional Total Produksi Susu Nasional Total Produksi Susu Nasional/Total Kebutuhan Susu Nasional Ketersediaan Susu Nasional Liter Liter Persen Liter Gambar 4. Prediksi ketersediaan susu nasional tahun berdasarkan skenario Existing Condition. 155

156 Tabel 1. Prediksi ketersediaan susu nasional tahun berdasarkan skenario Existing Condition Tahun Total Kebutuhan Susu Nasional (Liter) Total Produksi Susu Nasional (Liter) Persentase Produksi thd Kebutuhan Susu Nasional (%) Ketersediaan Susu Nasional (%) B M B B M B B M B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B Keterangan: M = Juta; B = Milyar, Tanda Titik = Desimal, Tanda Koma = Ribuan Prediksi ketersediaan susu nasional tahun tersaji pada Tabel 1. Dari Gambar 4 dan Tabel 1. tampak bahwa apabila existing condition agribisnis sapi perah pada tahun 2011 berlanjut kondisinya (business as ussual) maka di masa mendatang (tahun ) total kebutuhan susu nasional, total produksi susu nasional akan cenderung semakin tinggi, namun peningkatan total kebutuhan susu nasional lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan total produksi susu nasional, sehingga persentase total produksi susu nasional terhadap total konsumsi susu nasional akan cenderung mengecil hingga 24,99% pada tahun 2020, namun setelah tahun 2020 cenderung meningkat secara bertahap. Sementara itu ketersediaan susu nasional menunjukkan nilai negative yang artinya total kebutuhan susu nasional lebih tinggi dibandingkan total produksi susu nasional. Nilai defisit susu sapi nasional umumnya ditutup melalui impor susu yang umumnya dilaksanakan oleh industri pengolahan susu. 156

157 Skenario Kebijakan-1 Dari Tabel 2 tampak bahwa apabila existing condition agribisnis sapi perah pada tahun 2011 berlanjut kondisinya, maka pada tahun Indonesia diperkirakan akan defisit susu dengan nilai yang semakin besar dan capaian program swasembada susu yang semakin buruk (yang ditunjukkan oleh nilai persentase total produksi susu terhadap total kebutuhan susu yang semakin kecil). Tabel 2. Prediksi ketersediaan susu nasional tahun berdasarkan skenario kebijakan-1 Tahun Total Kebutuhan Susu Nasional (Liter) Total Produksi Susu Nasional (Liter) Persentase Produksi thd Kebutuhan Susu Nasional (%) Ketersediaan Susu Nasional (Liter) B M B B M B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B Keterangan: M = Juta; B = Milyar, Tanda Titik = Desimal, Tanda Koma = Ribuan Skenario kebijakan-1 ini dimaksudkan untuk mengakomodasi kebijakan pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada susu yang telah dicanangkan pemerintah ke dalam model dinamis. Skenario kebijakan-1 disusun melalui perbaikan pada beberapa parameter model dinamis sistem ketersediaan susu nasional yang tercantum dalam skenario existing condition. Perubahan parameter model dinamis pada skenario kebijakan-1 ini ditentukan berdasarkan atas sasaran strategis yang ingin dicapai melalui kebijakan budidaya ternak sapi perah (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012). Apabila langkah-langkah operasional terlaksana dengan baik maka 157

158 pada tingkat peternak secara langsung akan mendapat insentif yang cukup untuk mengembangkan usaha peternakannya. Secara umum akan mempengaruhi peningkatan populasi sapi perah yang akhirnya meningkatkan produksi susu nasional. Skenario kebijakan-1 dapat ditentukan sebagai berikut: 1. Target program penambahan populasi sapi perah betina dewasa pada tahun 2012 sebanyak ekor 2. Peningkatan Calfing Rate. Pada model awal (skenario existing conditon) calfing rate sebesar 70%. Bila program pemerintah berhasil maka diharapkan calfing rate dapat meningkat secara bertahap hingga mencapai 75% pada tahun 2016 dan seterusnya. Peningkatan calfing rate sebesar 5% dalam lima tahun pada level nasional masih memiliki potensi untuk dicapai (Budi Satoto, 2012, Personal Comm.) 3. Peningkatan Produktifitas Susu. Pada model awal (skenario existing condition) rata-rata produktifitas susu sebesar 10,82 liter per ekor betina produktif per hari laktasi dan dalam 1 tahun rata-rata ada 247 hari laktasi sehingga dalam satu tahun menghasilkan 2672,54 liter per ekor betina dewasa. 4. Program Peningkatan Survival Rate, Pada model awal (skenario existing condition) rata-rata survival rate sebesar 85%. Peningkatan survival rate melalui breeding vilage dan melalui berbagai macam inovasi teknologi, sehingga survival rate diharapkan semakin besar secara bertahap, sehingga pada tahun 2020 mecapai 90%. Peningkatan survival rate sebesar 5% dalam lima tahun pada level nasional masih memiliki potensi untuk dicapai (Budi Satoto, 2012, Personal Comm.) Skenario Kebijakan-2 Berdasarkan simulasi model dinamis ketersediaan susu nasional dengan parameter program kebijakan yang saat ini telah dicanangkan pemerintah (seperti yang tercantum di dalam kebijakan-1) ternyata swasembada susu tidak dapat dicapai tepat waktu, dimana pada tahun 2020 baru 44,02% dari total kebutuhan susu nasional dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri atau dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan susu masyarakat Indonesia masih harus mengimpor susu sebesar 55,98%. Untuk itu maka diperlukan alternatif kebijakan pemerintah 158

159 dimana target programnya harus lebih tinggi dan lebih cepat pencapaiannya dibandingkan dengan target program pada kebijakan-1, dimana program yang dimaksud diskenariokan sebagai kebijakan2. Pada kebijakan-2 ini dilakukan beberapa peningkatan target program dan percepatan pelaksanaan program (Tabel 3). Adapun program yang masih realistis untuk ditingkatkan targetnya dan dipercepat pelaksanaannya adalah: 1. Program Penambahan Sapi Perah Betina Dewasa Melalui Impor 2. Program Peningkatan Calfing Rate 3. Program Peningkatan Survival Rate Tabel 3. Prediksi ketersediaan susu nasional tahun berdasarkan skenario kebijakan-2 Tahun Total Kebutuhan Susu Nasional (Liter) Total Produksi Susu Nasional (Liter) Persentase Produksi thd Kebutuhan Susu Nasional (%) Ketersediaan Susu Nasional (Liter) B M B B M B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B M Keterangan: M = Juta; B = Milyar, Tanda Titik = Desimal, Tanda Koma = Ribuan KESIMPULAN 1. Agribisnis sapi perah terbagi atas sub system hulu, on farm dan hilir 2. Sasaran strategis dicapai melalui kebijakan budidaya ternak sapi perah 3. Apabila existing condition agribisnis sapi perah tahun 2011 berlanjut (business as ussual) maka program swasembada susu tidak dapat dicapai pada tahun 159

160 2020 (persentase total produksi susu nasional terhadap total konsumsi susu nasional 24,99%). 4. Apabila program pada skenario kebijakan-1 dilaksanakan tepat waktu, swasembada susu nasional dicapai tahun 2021 dengan persentase total produksi susu nasional terhadap total konsumsi susu nasional sebesar 50,84%. 5. Target kebijakan swasembada susu dicapai tepat waktu, tahun 2020 minimal 50% kebutuhan susu nasional dipenuhi dari produksi dalam negeri, jika pelaksanaan program skenario kebijakan-2 tepat waktu. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal peternakan, Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Action Plan Budidaya Peternakan Sapi Perah Rakyat Menuju Swasembada Susu Tahun Disampaikan pada Workshop Pengembangan Sapi Perah Indonesia, Hotel Rich Yogyakarta, Juni Ensminger,M.E; J.E. Oldfield; W.W. Heinemann Feeds and Nutrion. Second Edition. California: The Ensminger Publishing Company. Forrester, Jay W Principles of Systems, 2 nd Communications. Ed. Waltham: Pegasus Forrester, Jay W Designing the Future, at Universidad de Sevilla, Sevilla Spain. December 15, Harmini; Ratna W. Asmarantaka & Juniar Atmakusuma Model Dinamis Sistem Ketersediaan Daging Nasional di dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.12, No.1, Juni ISSN (Terakreditasi SK DIKTI No.51/DIKTI/KEP/2010). Balai Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 160

161 PRODUKSI BIBIT KELAPA KOPYOR TRUE TO TYPE DENGAN PERSILANGAN TERKONTROL DAN PENINGKATAN PRODUKSI BUAH KOPYOR DENGAN POLINATOR LEBAH MADU (Production of True to Type Kopyor Seedling by Control Pollination and Increasing Production of Kopyor Fruit with Honey Bee as Pollinator) Sudarsono 1), Hengky Novarianto 2), Sudradjat 1), Meldy L.A. Hosang 2), Diny Dinarti 1), Megayani Sri Rahayu 1), Ismail Maskromo 2) 1) Dep. Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 2) Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka), Manado. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi buah kopyor melalui perbaikan teknik budidaya, memanfaatkan lebah madu sebagai polinator, dan mendapatkan metode produksi benih true to type kelapa hibrida kopyor melalui persilangan terkontrol. Perbaikan teknologi budidaya kelapa kopyor dilakukan dengan pengaturan drainase lokasi pertanaman, pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pengendalian hama kelapa. Integrasi budidaya lebah madu lokal (Aphis serana) diintroduksikan di lokasi pertanaman kelapa kopyor sebagai polinator. Persilangan terkontrol untuk menghasilkan benih true to type kelapa hibrida kopyor dilakukan pada tiga varietas kelapa Genjah Kopyor (heterosigot kopyor) asal Pati, Jawa Tengah, dengan serbuk sari kelapa kopyor hasil kultur embryo (homosigot kopyor). Pengamatan data dasar (baseline) untuk penelitian perbaikan teknik budidaya dan integrasi lebah madu meliputi rata-rata jumlah buah total dan rata-rata jumlah buah kopyor per tandan saat dimulai penelitian, selanjutnya diamati setelah 6 bulan dan 12 bulan kemudian. Untuk penelitian persilangan terkontrol diamati jumlah bunga betina dan jumlah buah jadi umur 1 sampai 3 bulan, jumlah buah normal dan buah kopyor saat panen umur bulan kemudian. Hasil produksi buah total kelapa Genjah kopyor saat ini mengalami penurunan akibat fenomena nglakani dan kondisi pertanaman yang terlalu dekat antar tanaman kelapa kopyor. Rata-rata buah pertandan sebanyak 1 7 butir dengan jumlah buah kopyor 1 3 butir. Melalui perbaikan teknik budidaya dan integrasi lebah madu sebagai polinator dapat meningkatkan jumlah buah total dan jumlah buah kopyor. Kemudian melalui persilangan terkontrol dihasilkan peningkatan jumlah buah kopyor per tandan dan dihasilkan buah normal yang dapat digunakan sebagai benih true to type yang pasti menghasilkan bibit kopyor heterosigot yang akan menghasilkan buah kopyor jika ditanam di lapangan. Kata kunci: Penyerbukan terkontrol, produksi buah kopyor, bibit kopyor true to type, polinator yang efektif, lebah madu. ABSTRACT The objectives of this research are: (1) to increase Kopyor fruit production through improved cultivation techniques and integration of honeybees as pollinators, and (2) to produce true-to-type seeds to obtain 100% heterozygotes hybrid Kopyor coconut through controlled crosses. Improve cultivation techniques are conducted by improving drainage, adjusting plant spacing, fertilization and pest control. Improve polination is conducted by integrating honey bees as pollinators in coconut plantation. Controlled crosses to produce true to type hybrid coconut seeds was done using three Pati Dwarf Kopyor coconut (heterosigot kopyor coconut) using pollen of harvested from tissue culture derived kopyor palms (homosigot kopyor coconut). Results of first year experiment were baseline data for total and kopyor fruit production of selected palm used in the improved cultivation 161

162 studies and the honey bee as effective pollinators. The observed data include average of total fruits and the average of kopyor fruits per bunch at the start of the study, at 6 months and 12 months later. For controlled pollination studies, the number of female flowers and the number of fruit at 1 to 3 months, the number of harvested normal fruit and kopyor fruts after pollination were recorded. Results of observation indicated majority of kopyor palms existed in Pati were experiencing 'nglakani' and the fruit production was generally decreased. Average fruit per bunch ranged from 1 7 fruits while the number of kopyor fruits ranged from 1 3. Improved cultivation techniques applied were to solve some of that problem. Integration of honey bees as pollinators is expected to increase total number of normal and kopyor fruits. Controlled pollination is expected to increase the percentage of kopyor fruit production. Moreover, results of controlled pollination should produce true-to-type kopyor coconut seedlings. Keywords: Controlled pollination, kopyor fruit production, kopyor true to type seedlings, effective pollinator, honey bee. PENDAHULUAN Kelapa berbuah kopyor merupakan salah satu jenis kelapa unik, karena karakteristik daging buahnya yang lunak dan berbeda dengan kelapa normal pada umumnya. Jenis kelapa yang memiliki endosperm seperti ini, diduga merupakan hasil mutasi alamiah tipe liar Kelapa Dalam normal seperti pada kelapa Makapuno di Philipina yang dilaporkan Samonthe et al. (1989). Populasinya di alam sangat sedikit, hanya ditemui di beberapa daerah sentra kelapa saja. Harga buah kelapa kopyor di pasaran bisa mencapai 10 kali lipat dibanding buah kelapa biasa. Kelapa kopyor berbeda fenotipenya dengan kelapa "makapuno", yang berasal dari Filipina. Abnormalitas endosperma pada kelapa "makapuno" menyebabkan jaringannya menjadi lunak seperti jeli dan jika terlalu tua sebagian dari endospermanya akan terlarut dalam air kelapa, sehingga air kelapanya menjadi kental seperti olie. Hasil penelitian diketahui bahwa abnormalitas endosperma kelapa Makapuno terjadi karena defisiensi aktivitas enzim α-d-galaktosidase dalam perkembangan endospermanya (Mujer et al dan Samonthe et al. 1989). Karakteristik mutan pada kelapa Makapuno tersebut dilaporkan dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke progeninya (Santos, 1999). Karakteristik umum abnormalitas endosperma pada kelapa kopyor adalah tekstur endosperma tidak padat namun lembut sampai remah seperti tekstur gabus, terlepas dari tempurungnya, membentuk serpihan-serpihan yang memenuhi seluruh lubang tempurung (Maskromo et al. 2007). Seperti halnya pada 162

163 makapuno, abnormalitas fenotipe endosperm kelapa kopyor diduga juga akibat dari defisiensi enzim penting tertentu selama dalam proses perkembangan endospermanya. Walaupun demikian identitas enzim yang menyebabkan abnormalitas endosperma kelapa kopyor, sampai saat ini masih belum diketahui. Karakteristik mutan pada kelapa kopyor juga dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke progeninya (Sukendah, 2009). Keberadaan dan potensi kelapa kopyor perlu terus dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut, agar sumberdaya genetik asli Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Produksi buah kelapa kopyor dari beberapa sentra tanaman kelapa masih terbatas. Pasokan sebanyak butir buah dari Pati, Jawa Tengah dan butir per minggunya dari Kalianda, Lampung Selatan, belum mampu memenuhi permintaan pasar di Jakarta yang terus meningkat. Di balik potensi kelapa eksotik ini, terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pengembangannya di Indonesia, yaitu masih rendahnya hasil buah kelapa kopyor di tingkat petani, yang mungkin disebabkan oleh bahan tanaman berupa bibit yang digunakan, pola pengelolaan atau budidaya tanaman di lapangan, serta adanya ancaman hama penting kelapa yang mengancam produksi kelapa kopyor tersebut. Pengembangan kelapa kopyor di tingkat petani umumnya menggunakan benih atau bibit alami dari tanaman kelapa kopyor heterozigot dengan tingkat kepastian berbuah kopyor yang relatif rendah. Benih untuk bibit alami diambil dari buah normal tanaman berbuah kopyor heterozigot tersebut. Secara genetik dari tanaman tersebut akan menghasilkan buah dengan peluang tiga macam genotipe, yaitu buah kelapa kopyor homozigot (kk) yang tidak dapat tumbuh secara normal, buah kelapa normal heterozigot (Kk) dan buah kelapa normal homozigot (KK). Permasalahannya adalah, teknologi untuk membedakan bibit kelapa Kopyor heterosigot (Kk) dengan Kelapa normal homosigot (KK), yang keduanya merupakan buah kelapa dengan endosperma normal, masih belum tersedia. Adanya ketidakpastian apakah bibit yang dijual akan menghasilkan buah kelapa Kopyor (bibit Kk) atau hanya menghasilkan buah kelapa Normal 163

164 (bibit KK) tersebut yang menyebabkan harga jual bibit kopyor seperti itu menjadi rendah. Bibit kelapa kopyor heterosigot true-to-type, yang dalam hal ini pasti sebagai bibit heterosigot Kk dan berpotensi menghasilkan buah kelapa Kopyor dengan persentase 20-50% per tandan, dapat dihasilkan melalui skim persilangan terkontrol antara induk betina heterosigot Kk dengan induk jantan homosigot kk (bibit kelapa kopyor hasil kultur in vitro). Skim persilangan antara dua induk kelapa kopyor tersebut akan menghasilkan 50% buah kelapa Kopyor (dengan sigotik embrio kk dan endosperma kkk ) dan 50% buah kelapa normal heterosigot (dengan sigotik embrio Kk dan endosperma Kkk atau KKk ). Masalah lainnya yang ditemukan di lapangan adalah produksi buah kelapa kopyor yang masih relatif rendah dibandingkan potensinya. Pola pengelolaan tanaman dan lahan yang belum optimal menyebabkan produksi buah pertandan rendah, yang secara otomatis berdampak pada rendahnya jumlah buah kopyor yang dihasilkan per tandan buah. Selain itu adanya fenomena Nglakani yaitu terjadinya masa tidak menghasilkan buah pada periode tertentu, menyebabkan menurunnya produksi buah kelapa kopyor di lapangan. Rendahnya produksi buah tanaman kelapa kopyor juga dapat disebabkan oleh rendahnya peluang terjadinya penyerbukan secara alami yang dibantu o leh angin dan serangga penyerbuk. Hasil pengamatan pada beberapa tanaman kelapa kopyor yang dekat dengan sarang lebah di lokasi pertanaman, menunjukkan adanya jumlah buah per tandan yang relatif banyak. Melalui serangkaian penelitian ini diharapkan dapat diperoleh metode persilangan terkontrol yang dapat meningkatkan produktifitas buah kopyor dan mendapatkan benih kelapa kopyor true to type, pola manajemen budidaya kelapa kopyor dan budidaya lebah madu lokal yang akan meningkatkan produksi buah total dan buah kelapa kopyor. 164

165 METODE PENELITIAN Persilangan Terkontrol untuk Meningkatkan Produksi Kopyor dan Produksi Bibit True to Type Berdasarkan pola segregasi satu lokus untuk sifat buah kopyor, dapat diprediksi bahwa penerapan teknologi persilangan terkontrol akan dapat meningkatkan produksi buah kelapa kopyor dan produksi benih kelapa kopyor heterosigot Kk true-to-type per tandan yang dipanen petani. Dengan menerapkan persilangan terkontrol, diharapkan akan meningkatkan hasil buah normal (Kk) yang akan dijadikan sebagai bibit (menjadi 50%) dan meningkatkan hasil buah kopyor yang dipanen per tandan (menjadi 50%). Dalam skenario persilangan terkontrol menggunakan serbuk sari bergenotipe kk, tidak akan dihasilkan buah normal dengan genotipe KK dan yang didapatkan adalah buah normal bergenotipe true-to-type Kk yang akan menghasilkan bibit kopyor heterosigot true-to-type Kk. Setelah dibakukan, persilangan terkontrol juga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pembentukan buah melalui keberhasilan penyerbukan yang lebih baik. Skenario persilangan terkontrol dilakukan menggunakan satu pohon tetua jantan kelapa kopyor hasil kultur embrio, yang disilangkan dengan masing-masing 3 pohon tetua betina varietas kelapa Genjah Kuning kopyor dan varietas kelapa Genjah Hijau kopyor. Untuk masing-masing pohon betina, persilangan dilakukan pada 3 tandan bunga secara berurutan. Sebagai pembanding diamati 3 tandan masing-masing 5 pohon untuk setiap varietas yang dibiarkan menyerbuk sendiri (open pollinated). Pada masing-masing tandan bunga dari pohon tetua betina terpilih, dilakukan emaskulasi dengan membuang bunga jantan dan pada tandan bunga dipasangi kerodong, untuk menghindari terjadinya penyerbukan dari tanaman kelapa lain di sekitar pohon tetua betina. Bunga jantan yang diperoleh dari tetua jantan, diolah untuk mendapatkan serbuk sari yang akan digunakan untuk penyerbukan terkontrol. Penyerbukan buatan dilakukan setelah bunga betina reseptif, yang ditandai dengan adanya nektar pada putik. Metode penyerbukan tang digunakan adalah dengan penyemprotan serbuk sari yang telah dicampur dengan serbuk talkum dengan perbandingan 1 :

166 Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah jadi mulai umur 2 minggu sampai 3 bulan setelah persilangan. Pengamatan selanjutnya dilakukan setiap 3 bulan sekali sampai buah dipanen. Jumlah buah kopyor diamati pada umur 10 bulan, sedangkan buah normal pada umur 11 bulan. Persentase buah jadi dihitung dengan membandingkan jumlah buah jadi yang terbentuk dengan total jumlah bunga betina saat diemaskulasi (awal persilangan). Terbentuknya buah kopyor diamati pada saat buah kelapa berumur 10 bulan. Persentase buah kopyor dihitung dari jumlah buah kopyor dengan total buah per tandannya. Buah kopyor hasil persilangan akan diambil embryonya untuk dukulturkan di laboratorium. Buah normal hasil persilangan merupakan benih true to type yang akan ditanam oleh petani sebagi tanaman kelapa kopyor yang pasti berbuah kopyor. Penyempurnaan Teknologi dan Manajemen Budidaya Kelapa Kopyor Untuk mengintroduksikan teknologi dan manajemen budidaya agar dapat diterapkan oleh KUB di Kalianda, Lampung Selatan dan KT di Pati tahapan pertama kegiatan yang dilakukan adalah sosialisasi prosedur operasional baku (POB atau SOP) teknologi dan managemen budidaya kelapa yang akan diadopsi untuk kelapa kopyor. Selanjutnya, demplot penerapan pemupukan berkala, pemeliharaan kebun dan tanaman diset-up di kebun milik anggota KUB dan KT yang terlibat. Penelitian penyempurnaan teknologi dilakukan sejalan dengan kegiatan demplot yang dilakukan. Tahapan terakhir yang diharapkan adalah anggota KUB/KT yang terlibat akan mengadopsi teknologi dan manajemen budidaya yang disarankan untuk diterapkan di kebunnya masing-masing. Penelitian penyempurnaan teknologi pemupukan kelapa kopyor dilakukan untuk mengetahui dampak positif yang diakibatkan oleh perlakuan pemupukan karena pada umumnya tanaman kelapa kopyor milik petani tidak dipupuk. Perlakukan pemupukan dilakukan dengan atau tanpa pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan atau tanpa pemberian pupuk majemuk (N:P:K) terhadap peningkatan produktifitas kelapa kopyor di tingkat kelompok tani. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap, dengan empat perlakuan pemupukan (dengan atau tanpa pupuk organik yang dikombinasi dengan atau tanpa pupuk majemuk) dan dibuat dalam tiga ulangan. Dosis pupuk organik yang 166

167 diberikan sebanyak 40 kg/pohon sedangkan pupuk NPK yang diberikan didasarkan pada rekomendasi pemupukan secara umum pada tanaman kelapa yang dihasilkan oleh IPB dan Balit Palma Manado. Aplikasi pemupukan diberikan dua kali setahun pada awal (Oktober, 2012) dan akhir musim hujan (April, 2013). Pengamatan dilakukan setelah enam bulan perlakuan untuk melihat perbaikan pertumbuhan vegetatif tanaman, kemudian setelah satu dan dua tahun setelah pemupukan untuk melihat dampak positif perlakuan pemupukan pada pembungaan dan produksi buah kelapa kopyor. Data hasil pengamatan dievaluasi untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dosis pemupukan pada tanaman kelapa kopyor. Teknologi Budidaya Lebah Madu Berbasis Kelapa Kopyor Sebagai Polinator Penerapan teknologi budidaya lebah madu berbasis kelapa kopyor sebagai polinator dilakukan dengan: (a) Budidaya lebah madu di lokasi pertanaman kelapa kopyor dan (b) Pemanfaatan lebah madu sebagai polinator dalam penyerbukan kelapa Kopyor. Dengan menerapkan budidaya lebah madu sebagai polinator diharapkan akan meningkatkan persentase keberhasilan pembentukan buah per tandan melalui proses penyerbukan yang efektif. Dampak dari hal ini adalah meningkatnya hasil buah total, hasil buah normal yang dapat dijadikan sebagai bibit, dan hasil buah kopyor per tahun yang akan dipanen oleh petani. Kegiatan penelitian untuk penyempurnaan teknologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui peranan lebah madu pada proses persilangan alami tanaman kelapa berbuah kopyor. Tanaman kelapa kopyor yang digunakan adalah tanaman kelapa kopyor heterozigot tipe Genjah di Pati, Jawa tengah dan kelapa kopyor tipe Dalam di Kalianda, Lampung Selatan. Di masing-masing lokasi penelitian, pada pertanaman kelapa kopyor seluas maksimum 0.5 ha diletakkan satu kotak sarang lebah madu (Apis melifera). Tanaman kelapa kopyor yang digunakan sebagai sampel pengamatan adalah sebanyak 10 pohon yang tersebar di berbagai posisi relatif terhadap posisi kotak sarang lebahnya. Sebagai kontrol, 10 tanaman kelapa kopyor yang sama diamati produktifitasnya sebelum ditempatkan kotak sarang lebah di lokasi. 167

168 Pengamatan dilakukan terhadap jumlah bunga betina saat tandan bunga pecah. Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap buah jadi umur 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan jumlah buah saat panen. Jumlah tandan bunga yang diamati sebanyak 12 tandan secara berurutan. Pengamatan jumlah buah kopyor dilakukan pada buah umur 10 bulan pada kelapa kopyor tipe Genjah dan 11 bulan pada kelapa kopyor tipe Dalam. Buah kopyor matang lebih dahulu, sehingga dipanen lebih awal dibanding buah kelapa normal pada satu tandan yang sama. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini direncanakan dilakukan selama tiga tahun kegiatan. Pada tahun pertama (2012) telah dilakukan kegiatan persiapan penelitian, penentuan lokasi, pemilihan pohon sampel, pemberian perlakuan dan pengamatan awal (base line) yang menjadi dasar untuk pengamatan selanjutnya. Hasil kegiatan tahun pertama untuk masing-masing sub kegiatan dapat disampaikan sebagai berikut: Persilangan Terkontrol Untuk Meningkatkan Produksi Buah Kopyor dan Benih True to Type Persilangan terkontrol telah dilakukan pada dua varietas kelapa Genjah Kopyor menggunakan serbuk sari kelapa Dalam kopyor homozigot. Hasil pengamatan sementara disajikan pada Tabel 1. Hasil pengamatan terhadap jumlah bunga betina dari masing-masing tanaman tetua betina kelapa Genjah Kopyor Hijau dan Genjah kopyor Kuning heterozigot yang digunakan dalam persilangan, diperoleh rata-rata antara 9-23 butir bunga betina, bervariasi antar genotipe dan antar tanaman. Setiap genotipe memiliki potensi menghasilkan bunga betina yang berbeda. Hasil pengamatan fenologi bunga Kelapa Genjah Hijau Kopyor yang tumbuh di Pati, lebih banyak jumlah bunga betinanya dibanding dua varietas lainnya yaitu Kelapa Genjah Coklat Kopyor dan Kelapa Genjah Kuning Kopyor (Maskromo et al. 2011). Jumlah bunga betina tersebut masih pada kisaran yang normal kelapa Genjah. Kemampuan menghasilkan bunga betina pada setiap pohon kelapa merupakan potensi genetik masing-masing individu tanaman. Jumlah bunga betina yang banyak setiap tandan merupakan potensi terbentuknya buah setelah 168

169 terjadi proses penyerbukan dan pembuahan. Selain itu aspek lingkungan seperti ketersediaan air saat pembentukan tandan bunga kelapa, juga sangat mempengaruhi jumlah bunga betina yang terbentuk. Menurut Perera et al. (2010), inisiasi bunga kelapa dimulai sekitar bulan sebelum tandan bunga dewasa atau tandan bunga pecah. Dengan demikian pengaruh curah hujan pada periode tersebut akan mempengaruhi jumlah bunga betina yang terbentuk pada tanaman kelapa. Tabel 1. Jumlah bunga betina dan jumlah dan persentase buah jadi hasil persilangan terkontrol kelapa Genjah Kopyor Kuning dan Genjah Kopyor Hijau dengan serbuk sari kelapa dalam kopyor hasil kultur embryo (Homozigot) Kombinasi Persilangan Tandan Ke- Jumlah B. Betina (Buah) Buah jadi 2 Minggu (Buah) (%) Buah Jadi 1 Bulan GKK-1 x DKH GKK-2 x DKH GKK-3 x DKH GKH-1 x DKH GKH-2 x DKH GKH-3 x DKH Keterangan: GKK = Genjah Kuning Kopyor; GKH = Genjah Hijau Kopyor; DKH = Dalam kopyor Homozigot (%) Hasil persilangan antara kelapa Genjah Kopyor Hijau dan Kuning asal Pati, Jawa Tengah dengan Kelapa Dalam Kopyor Homozigot hasil kultur embrio menghasilkan jumlah buah jadi dengan persentase yang cukup tinggi pada umur dua minggu setelah persilangan terkontrol dilakukan. Jadi dalam hal ini hanya sedikit jumlah bunga betina yang gugur atau sebagian besar berhasil mengalami 169

170 penyerbukan. Menurut Daryanto dan Satifah (1987) bunga betina yang berhasil mengalami penyerbukan akan tetap melekat pada tangkai bunga dalam keadaan segar, selanjutnya akan terjadi proses pembuahan apabila tidak ada hambatan genetis seperti sterilitas dan inkompatibilitas. Pada pengamatan umur satu bulan setelah penyerbukan, terjadi penurunan rata-rata jumlah dan persentase buah jadi yang sangat besar yaitu sekitar % dari total rata-rata jumlah bunga betina yang dilakukan penyerbukan terkontrol Keguguran bakal buah dapat disebabkan oleh gagalnya pembentukan embryo yang terjadi, karena adanya hambatan genetis berupa gametopitic incompatibility yaitu perkembangan tabung sari menuju kantong embryo sehingga embryo tidak normal. Pengamatan lanjutan akan dilakukan pada buah hasil persilangan umur 2 bulan, 3 bulan dan saat panen umur 11 bulan. Demplot dan Penyempurnaan Teknologi dan Manajemen Budidaya Kelapa Kopyor Dalam tahun pertama pelaksanaan kegiatan Hi-link kelapa kopyor (tahun 2012), pembuatan demonstrasi plot (Demplot) teknologi dan managemen budidaya kelapa kopyor telah dilakukan di Kabupaten Pati (3 lokasi) dan Kabupaten Lampung Selatan (2 lokasi). Tiga lokasi Demplot yang berada di Kabupaten Pati dan dua lokasi di Kabupaten Lampung Selatan sekaligus digunakan sebagai lokasi penelitian penyempurnaan teknologi dan managemen budidaya kelapa kopyor. Informasi lokasi demplot peningkatan produktifitas disajikan dalam Tabel 2. Pada salah satu lokasi penelitian (Desa Sambiroto, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati), demplot penggunaan saluran drainase dan penebangan tegakan kelapa normal yang ada di antara tegakan kelapa kopyor heterosigot sebagai pendekatan pengelolaan kebun telah dilakukan untuk meningkatkan produksi buah total dan produksi buah kopyor pada pertanaman kelapa kopyor heterosigot. Dalam kegiatan pembuatan Demplot Teknologi dan Manajemen Budidaya Kelapa Kopyor, kegiatan Hi-Link kelapa kopyor 2012 hanya menyediakan POB teknologi dan manajemen budidaya kelapa kopyor serta menyediakan sarana pupuk organik (kompos) dan pupuk majemuk (NPK), sedangkan pihak petani menyediakan lahan dan pertanaman kelapa kopyor serta tenaga kerja dan 170

171 prasarana lainnya yang terkait dengan pembuatan demplot. Pihak Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pati dan Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Selatan membantu secara teknis melalui tenaga lapangan yang membawahi lokasi tempat kegiatan demplot. Tabel 2. Lokasi demonstrasi plot (demplot) dan penelitian penyempurnaan teknologi untuk peningkatan produktifitas kelapa kopyor Lokasi Pemilik Kegiatan Target kegiatan Kabupaten Pati, Jawa Tengah Lokasi 1 H. Masykuri (anggota kelompok tani/ KT) 1. Demplot pemupukan 2. Penelitian pengembangan teknologi budidaya Lokasi 2 Lokasi 3 H. Maghfuri, SAI. (ketua KT Sarono Makmur) Ibu Otik (anggota KT Sarono Makmur) 1. Demplot pemupukan 2. Penelitian pengembangan teknologi budidaya 1. Demplot pemupukan 2. Penelitian pengembangan teknologi budidaya Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Lokasi 1 Desa Agom Jaya, Kec. Kalianda 1. Demplot pemupukan 2. Penelitian pengembangan teknologi budidaya Lokasi 2 Desa Palem Bapang,, Kec. Kalianda 1. Demplot pemupukan 2. Penelitian pengembangan teknologi budidaya 1. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pemupukan 2. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi polinator lebah madu 3. Demplot pengelolaan tanaman dan kebun 1. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pemupukan 2. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi polinator lebah madu 1. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pemupukan 2. Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi polinator lebah madu Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pe-mupukan Demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pe-mupukan Selain implementasi pemberian pupuk sesuai perlakuan yang diujikan, dalam tahun pertama penelitian (tahun 2012) juga telah dilakukan pengumpulan data awal produksi buah kelapa tahun berjalan dan penghitungan potensi produksi sebelum perlakuan teknologi dan manajemen budidaya dilakukan. 171

172 Tabel 3. Ringkasan kondisi pertanaman kelapa kopyor heterosigot yang digunakan untuk demplot dan penelitian penyempurnaan teknologi pemupukan menggunakan pupuk kandang dan pupuk majemuk (NPK). Data dasar diperoleh dari 12 tandan buah yang telah terbentuk sebelum dilakukan pemupukan di kebun kelapa kopyor Lokasi 1, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Perlakuan Rataan Jumlah Tandan Rataan jumlah Kosong Isi Bunga Betina Buah Jadi PK+TNPK PK+NPK TPK+TNPK TPK+NPK Total Keterangan: TPK+TNPK= tanpa pupuk kandang dan tanpa NPK, TPK+NPK= tanpa pupuk kandang dan dengan NPK, PK+TNPK= dengan pupuk kandang dan tanpa NPK, PK+NPK= dengan pupuk kandang dan dengan NPK Dampak positif setelah penerapan teknologi dan manajemen budidaya yang dilakukan pada tahun 2012 terhadap produksi buah kelapa total dan produksi buah kopyor baru akan dapat diukur pada tahun 2013 (tahun kedua). Pengumpulan data dampak penerapan teknologi dan manajemen budidaya kelapa kopyor akan dimonitor selama satu tahun setelah perlakuan. Teknologi Budidaya Lebah Madu Berbasis Kelapa Kopyor Sebagai Polinator Dalam tahun pertama pelaksanaan kegiatan (tahun 2012), telah dilakukan sosialisasi tentang pemanfaatan lebah madu sebagai polinator yang efektif untuk pertanaman kelapa kopyor melalui diskusi langsung dengan anggota KUB/KT yang terlibat, baik di lokasi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pati. Kegiatan sosialisasi kepada anggota KUB/KT target telah dilakukan dalam dua kali kegiatan, yaitu: (1) Pada saat pemilihan lokasi demplot dan penentuan kebun pertanaman kelapa kopyor yang digunakan, dan (2) Pada saat penyampaian prosedur operasional baku (POB) tentang pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa. Pada tahun pertama ini juga telah dilakukan pembuatan demplot pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa di Kabupaten Pati (5 lokasi) dan Kabupaten 172

173 Lampung Selatan (1 lokasi). Lima lokasi Demplot yang berada di Kabupaten Pati dan satu lokasi di Kabupaten Lampung Selatan sekaligus digunakan sebagai lokasi penelitian penyempurnaan teknologi pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa. Dalam kegiatan pembuatan Demplot Teknologi pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa, kegiatan Hi-Link kelapa kopyor 2012 hanya menyediakan koloni lebah yang dapat digunakan sebagai polinator. POB teknologi dan manajemen budidaya lebah diakses dari petani lebah atau Perhutani setempat. Pihak petani menyediakan lahan dan pertanaman kelapa kopyor serta tenaga kerja dan prasarana lainnya yang terkait dengan pembuatan demplot. Pihak Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pati dan Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Selatan membantu secara teknis melalui tenaga lapangan yang membawahi lokasi tempat kegiatan demplot. Pada tahun pertama pelaksanaan juga telah dilakukan pengumpulan data awal produksi buah tahun berjalan dan penghitungan potensi produksi sebelum diintroduksikan pemanfaatan lebah madu sebagai polinator. Dampak pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa yang mulai dilakukan pada tahun 2012 baru akan dapat diukur pada tahun 2013 (tahun kedua). Pengumpulan data dampak pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa akan dimonitor selama satu tahun setelah perlakuan. Efektivitas pemanfaatan lebah madu sebagai polinator akan diukur dengan menghitung bunga yang berhasil menjadi buah jadi mulai umur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan serta menghitung jumlah buah total dan jumlah buah kopyor pada saat buah dipanen. Data jumlah bunga betina saat tandan pecah sampai umur buah jadi 3 bulan dan jumlah buah saat panen dihitung rataannya untuk mempelajari pola keberhasilan penyerbukan dan pembuahan tanaman setelah perlakuan dengan keberhasilan penyerbukan sebelum perlakuan. Selain itu juga dianalisis jumlah 173

174 buah kopyor yang dihasilkan sebelum perlakuan penempatan sarang lebah madu diberikan dan sesudahnya. Data tersebut baru akan terkumpul pada tahun Tabel 4. Ringkasan kondisi pertanaman kelapa kopyor heterosigot yang digunakan untuk demplot dan penelitian penyerpurnaan teknologi pemanfaatan lebah madu sebagai polinator pertanaman kelapa kopyor untuk peningkatan produksi buah kelapa. Data dasar diperoleh dari 12 tandan buah yang telah terbentuk sebelum dilakukan introduksi koloni lebah madu di kebun kelapa kopyor Lokasi 3 (kebun milik H. Masykuri), Kabupaten Pati, Jawa Tengah Perlakuan Rataan Jumlah Tandan Rataan jumlah Kosong Isi Bunga Betina Buah. Jadi Ring Ring Ring Total Keterangan: Ring 1-posisi pohon kelapa kopyor terdekat (kurang dari 5-10 m); Ring 2-posisi pohon kelapa kopyor di lingkaran kedua (antara m); dan Ring 3-posisi pohon kelapa kopyor di lingkaran ketiga (lebih jauh dari 20 m) dari koloni lebah madu. KESIMPULAN 1. Jumlah bunga betina bervariasi antar genotipe kelapa Genjah Kopyor berbeda. 2. Jumlah buah jadi umur 2 minggu cukup tinggi dan menurun pada umur 1 bulan setelah persilangan terkontrol. 3. Perlakuan pemupukan diharapkan dapat mengatasi masalah fenomena Nglakani dan meningkatkan produksi buah total dan kopyor per tandan. 4. Perbaikan teknik budidaya diharapkan dapat meningkatkan produksi buah kopyor. 5. Integrasi budidaya lebah madu diharapkan dapat meningkatkan jumlah buah jadi yang terbentuk secara alami, sehingga dapat meningkatkan persentase buah kopyor per tandan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Ditjen Dikti, Depdiknas yang telah menyediakan dana penelitian melalui Kegiatan Hi-Link-tahun

175 DAFTAR PUSTAKA Daryanto. S. Satifah Biologi Bunga dan Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia. Jakarta. Mujer MV, Ramirez DA and Mendoza EMT Coconut α-d-galactosidase isoenzim: Isolation purification and characterization. Phytochemistry. 23 (6) Maskromo I dan H. Novarianto Potensi genetik kelapa kopyor Genjah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 29 No. 1. Maskromo, I. H. Novarianto dan Sudarsono Fenologi pembungaan tiga varietas kelapa Genjah kopyor Pati. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI Lembang, November Halaman Perera, P.I.P., V. Hocher, L.K. Weerakoon, D.M.D. Yakandawala,S.C. Fernando, J.-L. Verdeil Early inflorescence and floral Development in Cocos nucifera L.(Arecaceae: Arecoideae). South African Journal of Botany Samonte LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND and Ramirez DA Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochemistry. 28 (9) Santos GA Potensial use of clonal propagation in coconut improvement program. In Oropeza C, Verdiel JL, Ashburner GR, Cardena R, Samantha JM. Editors. Current advances in coconut biotechnology. Curret Plant Science and biotechnology in Agriculture Kluwer Academic Publisher London. Hlm Sukendah Teknologi pembiakan kultur in vitro dan analisis molekuler pada tanaman kelapa kopyor (Disertasi) Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 175

176 PENGEMBANGAN DODOL TALAS PRODUKSI DESA LINGKAR KAMPUS IPB SEBAGAI PRODUK DAN OLEH-OLEH KHAS BOGOR (Development of Taro Dodol of Lingkar Kampus Villages as Bogor Souvenir and Typical Product) Sutrisno Koswara, Nuri Andarwulan Pusat Pengembangan ILTEK Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (Seafast Center) Lembaga penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dan Dep. Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB ABSTRAK Kegiatan penelitian strategis aplikatif ini telah mempetakan profil atau karakteristik UKM dodol Lingkar Kampus dan Penjajagan kerjasama dengan UKM yang memproduksi dodol di 14 desa Lingkar Kampus IPB dengan skala komersial minimum. Yang terpilih adalah UKM Jaya rasa desa Cikarawang, Bogor. Pengurusan dan pendampingan Sertifikat Ijin Edar Produksi (PIRT) dodol bagi UKM Jaya Rasa telah dilakukan dan menghasilkan Sertifikat PIRT untuk produk dodol dengan Nomor P-IRT No atas nama Bapak Anjay Bustomi. Dari kegiatan ini telah pula berhasil dikembangkan produk olahan dodol talas, dodol tape talas dan produk turunannya berupa coklat isi dodol talas (chocodolas). Produk-produk tersebut telah dilengkapi dengan kemasan yang representative untuk dijual sebagai produk khas dan oleh-oleh Bogor, antara lain dengan dilengkapi gambar/foto tempat parawisata di Bogor. Produk Chocodolas telah pula dilakukan pendaftaran merek dagang dan pendaftaran paten untuk dodol tape talas. Justifikasi dan uji coba produksi dodol talas produksi di Lokasi UKM Dodol telah dilakukan dengan produksi sekitar 10 kg per minggu. Pemasaran dodol talas, dodol tape talas dan chocodolas telah dilakukan dengan cara menitipkan di outlet-outlet toko, kantin dan sekolah sekitar 40 outlet. Untuk menunjang penjualan dan image produk telah pula dikembang toko online untuk penjualan produk. Kata kunci: Dodol talas, dodol tape talas, chocodolas, sertifikat PIRT. ABSTRACT Mapping profiles of SMEs dodol in IPB Lingkar Kampus and assessments cooperation with SMEs that produce dodol in 14 villages with minimum commercial scale has been conducted. The selected SME was Jaya Rasa in Cikarawang, Bogor. Supporting and mentoring of PIRT Certificate of Jaya Rasa SME have been conducted and gained certificate of Home Production (PIRT) for dodol with No. No. P-IRT in the name of SME owner Mr. Anjay Bustomi. This activity has also successfully developed products processed of taro dodol, fermented taro dodol and its derivatives in the form of chocodolas (Chocolate with dodol talas). These products have been equipped with a representative packaging to be sold as typical products and souvenir of Bogor, including pictures of specific and well known place or location in Bogor. Trademark registration for chocodolas and simple patent registration for fermented taro dodol has been conducted. Justification and trial production of taro dodol on SME location has been done with a production of about 10 kg per week. Marketing of taro dodol, fermented taro dodol and chocodolas has been done by deposit in outlets of stores and school canteens in about 40 outlets. To support the sales and image of the product has also developed an online store for selling the products. Keywords: Taro dodol, fermented taro dodol, chocodolas, PIRT certificate. 176

177 PENDAHULUAN Talas (Colocasia esculenta) merupakan umbi-umbian lokal Indonesia yang masih belum digunakan dengan maksimal untuk diolah sebagai produk. Umbi talas memiliki keunggulan yang meliputi rendah lemak, bebas gluten, serta mudah dicerna. Kemudahannya untuk dicerna ini dikarenakan pati yang dimiliki oleh talas memiliki ukuran yang kecil. Selain itu, kandungan patinya juga cukup tinggi, yaitu gram / 100 gram berat talas kering. Salah satu produk olahan talas yang telah dikembangkan di Bogor, khususnya desa-desa lingkar kampus IPB adalah dodol talas. Salah satu UKM yang telah lama menggeluti usaha pembuatan dodol talas adalah UKM Sawargi di Desa Situgede, Bogor. Talas yang digunakan adalah talas bogor jenis bentul yang produksinya sangat melimpah di Bogor, sehingga dari sudut nama dan ketersediaan bahan baku potensial untuk diangkat sebagai makanan khas Bogor. UKM Sawargi tersebut memiliki permasalahan dengan daya awet dari produknya yang tidak cukup lama, yaitu hanya sekitar 1 minggu (7-10) saja, sehingga menghambat usaha pemasaran atau komersialisasinya. Kerusakan utamanya adalah tumbuhnya kapang bila telah mencapai waktu 1 minggu tersebut. Selain itu, bahan baku talas yang digunakan juga masih menggunakan talas bentul segar, sehingga produksi dodol talas masih belum terstandarisasi. Dari hasil penelitian skala laboratorium yang telah dilakukan (Irsyad dan Koswara, 2011) umur simpan tersebut telah dapat ditingkatkan menjadi 32 hari. Peningkatan umur simpan ini masih perlu dijustifikasi pada skala UKM dalam bentuk produksi komersial rutin. Disamping itu permasalahan yang masih perlu diatasi adalah standarisasi proses, perbaikan disain kemasan yang memadai untuk tampil sebagai produk khas dan oleh-oleh Bogor, pembuatan izin edar dan pemasaran. Penelitian ini dirancang untuk memecahkan masalah-masalah tersebut sehingga dapat dihasilkan dodol talas produksi desa Situgede dan desa-desa lain di lingkar kampus Bogor sebagai produk khas daerah yang dapat dijadikan oleholeh khas Bogor. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan industri rumah tangga pangan dodol di Desa Cikarawang dan Situ Gede. Produk yang 177

178 dimiliki IRT ini masih belum memiliki nomor P-IRT, ruang produksi yang belum sesuai dengan CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik), label dan kemasan yang masih belum sesuai dengan tata cara pelabelan. Secara keseluruhan kegiatan ini merupakan pencapaian untuk menerapkan standardisasi formula, aspek legal, penyesuaian dengan CPPB agar menjadi produk industri rumah tangga yang lebih berkualitas dan memiliki jangkauan pasar yang luas. METODE PENELITIAN Bahan penelitian yang digunakan meliputi bahan-bahan untuk pembuatan dodol talas, antara lain Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain talas bentul, gula, gula merah, santan, garam, mentega, tepung ketan putih. Bahan lain adalah kemasan yang akan didisain dan dicetak dalam bentuk kemasan komersial (karton dan plastik). Sedangkan peralatan yang digunakan adalah peralatan unit produksi dodol talas di UKM. Kegiatan ini terutama dilaksanakan di tempat UKM Sawargi dan UKM Jaya Rasa, Cikarawang dan produsen dodol lainnya yang akan diseleksi dari 14 desa lingkar kampus. Disamping itu digunakan pula pilot plant dan laboratorium Seafast Center sebagai tempat pelatihan penyebarluasan pakat teknologi dodol talas standard dan pengujian produk. Kegiatan riset ini dilaksanakan dengan membaginya menjadi beberapa sub atau tahap kegiatan sebagai berikut: a. Pemetaan profil atau karakteristik UKM dodol Lingkar Kampus dan Penjajagan kerjasama dengan UKM yang memproduksi dodol di 14 desa Lingkar Kampus IPB dengan skala komersial minimum. b. Pengurusan dan pendampingan Sertifikat Ijin Edar Produksi (PIRT) dodol bagi UKM yang memenuhi kritaria produksi komersial dan bisa diajak kerjasama. c. Pengembangan produk olahan dodol talas, dodol tape talas dan produk turunannya yang potensial d. Disain kemasan produk dan pengembangan produk dodol talas yang layak dijadikan produk khas dan oleh-oleh Bogor. e. Pendaftaran merek dagang produk olahan dodol talas dan nama industrinya. 178

179 f. Pendaftaran paten Produk Olahan Dodol Talas (dodol tape Talas). g. Justifikasi dan uji coba produksi di dodol talas di Laboratorium dan pilot plant h. Disain produksi dodol talas (bahan baku, formula dan cara pengolahan) dan Uji coba produksi di Lokasi UKM Dodol. i. Pengemasan dan Pemasaran dodol talas dan hasil olahan atau produk turunan dodol talas di wilayah Bogor. j. Pengembangan toko online yang menjual dodol talas dan produk turunannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Mempelajari Karakteristik Industri Rumah Tangga Pangan Dodol di Desa Cikarawang, dan Situ Gede, Bogor Dari kegiatan ini telah dilakukan survai dan pemetaan UKM yang memproduksi dodol atau bisa memproduksi dodol talas di 14 desa Lingkar Kampus IPB. Hasilnya ditemukan 1 UKM yang memproduksi dodol talas yaitu Kelompok Usaha SAWARGI di Desa Situgede, Kota Bogor dan 1 UKM yang dapat memproduksi Dodol Talas yaitu UKM Dodol Jaya Rasa di Desa Cikarawang Kabupaten Bogor. Dari pertimbangan kapasitas produksi dan rutinitas produksi dipilih UKM Jaya Rasa desa Cikarawang Bogor sebagai UKM produsen dodol talas, dodol tape talas dan hasil olahannya (produk turunan dodol talas) yang akan dikembangkan menjadi produk dan oleh-oleh khas Bogor. UKM Sawargi tidak memproduksi dodol talas secara rutin (hanya berdasarklan pesanan) dengan kapasitas kecil (5 kg per hari) sedangkan UKM Jaya Rasa telah memproduksi dodol secara rutin setiap hari dengan produksi minimal 60 bungkus per hari berat 0.5 kg atau 30 kg per hari. Dalam satu bulan UKM Jaya Rasa dapat memproduksi dodol sebanyak 340 kg. Sertifikasi Produk Dodol dalam Skala Industri Rumah Tangga Pangan (BPOM 2003) Kegiatan ini telah berhasil memfasilitasi ijin edar produk dodol untuk UKM Jaya Rasa Cikarawang Bogor. Ijin edar serupa Sertifikat Produksi Industri Rumah Tangga untuk UKM Jaya Rasa Desa Cikarawang Bogor yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan kabupaten bogor telah diperoleh. Sertifikat PIRT tersebut telah diserahkan oleh Rektor IPB, Prof. Dr. Herry Suhardiyanto, MSc pada acara Jumat 179

180 Keliling 2012 di Desa Cikarawang Bogor tanggal 4 Mei Produk yang mendapatkan SPP-IRT adalah Dodol dengan Nomor P-IRT No atas nama Bapak Anjay Bustomi. Bapak Anjay telah didampingi oleh tim peneliti SEAFAST Center untuk mendapatkan SPP-IRT tersebut. Dengan dikeluarkannya SPP-IRT tersebut diharapkan pelaku UKM mampu memperluas pemasaran produk tersebut karena telah mendapatkan jaminan keamanan pangan dari pemerintah (dinas kesehatan). Gambar 1. Penyerahan sertifikat PIRT dari Dinas Kesehatan Kab. Bogor untuk UKM Dodol Jaya Rasa Cikarawang oleh Rektor IPB Prof. Herry Suhardiyanto pada acara Jumat Keliling 4 Mei Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan sertifikat izin edar produk tersebut meliputi: pengajuan Permohonan SPP-IRT, Penyuluhan Keamanan Pangan, Pendampingan dan Pelaksanaan Proses Sertifikasi. Perbaikan Proses Produksi dan Pengembangan Produk UKM Jaya Rasa di desa Cikarawang dipilih untuk mengembangkan produk dodol talas karena memiliki fasilitas produksi yang memadai serta dapat memproduksi dodol secara rutin setiap hari sebanyak 30 kg. Fasilitas utama dalam UKM ini adalah tungku pengaduk lengkap dengan ketelnya sebanyak 3 buah, terlihat pada Gambar

181 Gambar 2. Tungku pemasak dodol dan proses pemasakan dodol talas di UKM Dodol Jaya Rasa Desa Cikarawang, Bogor. Perbaikan proses yang dilakukan pada UKM Jaya Rasa dalam memproduksi dodol talas adalah penggunaan nampan untuk menempatkan dodol setelah dimasak, yang sebelumnya tidak dilakukan. Nampan tersebut kemudian ditutup plastik sehingga menjadi lebih higienis. Proses sebelum dan sesudah penggunaan nampan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3.Perbaikan proses dengan penggunaan nampan tertutup sehingga lebih higienis. Sedangkan dalam pengembangan produk telah berhasil dikembangkan produk dodol talas dan turunannya sebagai berikut: a. Pengembangan Formula Dodol Tape Talas Produk dodol talas yang dihasilkan dari desa Situgede dan kemudian dikembangkan di Cikarawang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Dodol talas produksi Desa Situgede (kiri) dan Desa Cikarawang (kanan). 181

182 Untuk meningkatkan umur simpan, telah berhasil pula dikembangkan dodol tape talas. Proses pembuatannya sama dengan dodol talas, hanya talas lebih dahulu difermentasi menjadi tape talas, kemudian baru diolah menjadi dodol. Produk ini memiliki cita rasa khas (asam manis) dan mempunyai daya simpan yang lebih lama, atau sekitar 2 bulan pada suhu ruang. Proses fermentasi juga dapat mengurangi kandungan asam oksalat yang menyebabkan rasa gatal pada talas. Tape talas dibuat dengan prosedur sama seperti pembuatan tape singkong pada umumnya. Tahap-tahap pembuatannya meliputi pengupasan, pengirisan, pengukusan, penambahan ragi, dan fermentasi. Produk dodol tape talas dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Produk Dodol Tape Talas hasil pengembangan. Produk dodol tape talas merupakan produk yang mirip dengan Suwar-suwir yaitu produk sejenis dodol yang terbuat dari tape singkong dan gula. Suwar-suwir merupakan produk dan ikon khas kota Jember. Diharapkan dodol tape talas juga akan menjadi jenis produk khas Bogor. Pembuatan dodol tape talas dilakukan dengan memasak santan dan gula secara bersamaan sampai kental setelah itu ditambahkan tape talas sampai terbentuk tekstur yang diinginkan dan mengeluarkan minyak. Karakteristik yang membuat dodol tape talas ini awet adalah nilai ph-nya yang rendah yaitu 4.01 dan Aw b. Pengembangan Kemasan dan Produk Turunan Dodol Talas Dodol talas yang dihasilkan dikemas dalam kemasan yang dapat menunjukkan ciri khas Bogor. Konsep kemasan yang dikembangkan meniru kemasan dodol yang telah ada di pasar tetapi dilengkapi dengan ikon khas Bogor. 182

183 Konsep yang dikembangkan adalah menyertakan tempat-tempat atau obyek wisata khas Bogor ke dalam kemasan, seperti Kebun Raya Bogor, Gunung Salak, Istana Bogor dan Tugu Kujang yang diseduaikan dengan rasa atau varian dodol talas yang diproduksi. Konsep kemasan dengan edisi parawisata dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Konsep Kemasan Dodol Talas dan dodol Tape Talas edisi Parawisata (Gunung Salak dan Tugu Kujang). Dalam penggunaannya, dodol talas dikemas dalam kemasan karton 200 gram yang tersedia dalam 3 varian yaitu original, rasa duren dan wijen. Kemasan didisain dengan seri pariwisata Bogor yang menampilkan obyek-obyek parawisata atau obyek-obyek khas di Bogor. Untuk keperluan uji produksi dan pemasaran telah dilakukan pencetakan kemasan baik untuk kemasan utama maupun kemasan ekonomis, serta kemasan untuk produk turunan dodol talas. Jumlah kemasan masing-masing adalah sebagai berikut: a. Kemasan dodol talas edisi parawisata (1.000 pcs) b. Kemasan dodol talas 500 g (LPPM-IPB, pcs), merupakan kemasan sticker untuk dodol talas ¼ kg yang merupakan bantuan LPPM IPB dimana UKM Jaya Rasa telah tergabung dalam Kelompok Usaha bersama Lingkar Kampus yang dikelola LPPM IPB. c. Kemasan Chocodolas (3.000 pcs) Beberapa tahun ini telah berkembang produk coklat yang diisi dengan dodol Garut yang dipasaran dikenal dengan berbagai nama seperti Chocodot, Chocdot 183

184 dan lain-lain. Produk inovatif tersebut ternyata mempunyai pasaran sendiri dan berkembang dengan pesat sehingga banyak melahirkan UKM di daerah Garut dan sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk dodol talas dan tape dodol talas telah dikembangkan pula produk turunan dodol talas berupa dodol talas yang dilapisi coklat yang diberi nama Chocodolas (Chocolate with Dodol Talas). Chocodolas tersedia dalam dua varian yaitu (a) bentuk bar (Gambar 7 (a)) dan (b) bentuk fraline (Gambar 7 (b)). a b Gambar 7. Produk Coklat dengan dodol talas (Chocodolas) bentuk bar (a) dan fraline (b). Proses pembuatan chocodolas sangat sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. Prospek pasarnya sangat baik dengan potensi keuntungan sampai 50% dari modal. Melihat potensi ini maka telah dibuat chocodolas bar dengan harga jual Rp5.000 per batang dan chocodolas fralin dengan harga jual Rp1.000 per buah. Dari uji pemasaran ternyata produk ini jauh lebih cepat laku dibandingkan dengan dodol talas dan dodol tape talas. Hal ini kemungkinan karena adanya bahan coklat yang lebih dikenal masyarakat dan produk ini per kemasan lebih murah dibanding dengan dodol talas (Rp per kemasan). Kapasitas produksi chocodolas bar yang tekah dapat dikembangkan adalah 100 bar atau batang per hari. Dengan demikian diharapkan produksi chocodolas dapat meningkatkan permintaan pasar dan jumlah produksi dodol talas. Pendaftaran Merek dan Paten Dari aspek HAKI, telah dilakukan Pendaftaran Merek dan Paten Sederhana di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena prospek pasarnya sangat baik maka merek telah yang 184

185 didaftarkan adalah produk turunan dodol talas yaitu Chocodolas (Chocolate with Dodol Talas) dengan nomor permohonan atau pendaftaran merek D Etiket merek dagang yang didaftarkan dapat dilihat pada Gambar 8. Sedangkan untuk pendaftaran paten sudah dilakukan pendaftaran paten sederhana untuk dodol tape talas. Gambar 8. Etiket merek Chocodolas (Chocolate with Dodol Talas) yang telah diregistrasi di Departemen Hukum dan HAM. Uji Coba Produksi dan Pemasaran Setelah melalui penyesuaian hasil penelitian sebelumnya dan melakukan uji coba produksi skala pilot plant dan skala UKM di tempat pembuatan dodol di UKM Jaya Rasa maka telah berhasil ditetapkan satu formula dodol talas untuk diproduksi secara komersial. Formula tersebut terdiri atas penggunaan talas kukus, tepung ketan, gula pasir, gula merah, margarine, garam dan vanili untuk membuat dodol talas original. Sedangkan untuk rasa durian ditambahkan perisa durian dan untuk dodol talas tabor wijen ditambahkan wijen sangray. Pada tahap awal dengan formula yang telah disepakati tersebut, kemudian diproduksi dodol talas sebanyak 10 kg per hari untuk dikemas dan diproduksi menjadi produk turunan dodol talas yaitu Chocodolas. Dodol talas dan Chocodolas yang diproduksi dikemas dalam kemasan yang memadai (printer berwarna, baik karton maupun art paper) dan dijual dengan cara titip jual di kantin-kantin yang ada di lingkungan kampus IPB maupun bazaar yang di adakan oleh UKM lingkar kampus di bawah koordinasi LPPM IPB. Sampai saat ini sudah 5 kantin yang menjual produk dodol talas chocodolas. 185

186 Hasil uji coba pemasaran dan penerimaan konsumen menunjukkan bahwa produk yang paling prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai produk dan oleh-oleh khas Bogor adalah Chocodolas (Chocolate with Dodol Talas) dengan rata-rata penjualan bungkus per hari per outlet baik bentuk bar maupun fraline. Untuk memperluas pasar dan mewujudkan dodol talas sebagai produk khas Bogor maka dodol talas tersebut perlu dikembangkan dalam bentuk produk turunan atau dipadu dengan coklat yang dinamakan Chocodolas. Usaha tersebut dilakukan dengan melakukan pencetakan kemasan Chocodolas bar sebanyak 3000 eksemplar dan pembelian kemasan fralin sebanyak buah. Selanjutnya telah dilakukan atau ditetapkan bentuk penjualan Chocodolas bar dan fraline masing-masing dalam wadah yang representative untuk penjualan. Pemasaran dilakukan dengan cara menaruh produk di toko-toko, terutama took kue dan kantin (kampus dan sekolah). Target pasar yang telah dijajagi adalah sekolah-sekolah di wilayah Bogor, toko oleh-oleh dan toko makanan ringan (snack) dengan sebanyak 40 outlet penjualan. Pembuatan Toko Online Toko online diperlukan untuk mengembangan image produk, disamping diharapkan adanya pembelian secara online dari seluruh wilayah Indonesia. Toko online yang telah dikembangkan diberinama Dalam website took online tersebut akan dijual berbagai jenis produk dodol talas dan turunannya, terutama chocodolas (coklat dodol talas). Meskipun pemasarannya lambat produksi dan pemasaran dodol dalam kemasan dan target pasar sama dengan dodol picpic tetap dilakukan. Usaha untuk mengatasi kendala ini atau untuk mempercepat pemasaran dilakukan dengan membuat kemasan yang lebih sederhana dan harga lebih murah serta mengembangkan produk turunan dodol talas berupa dodol tape talas dan Coklat dengan dodol talas (Chocodolas) yang ternyata sangat diminati pasar. KESIMPULAN Dari kegiatan penelitian strategis aplikatif ini telah dilakukan pemetaan profil atau karakteristik UKM dodol Lingkar Kampus dan Penjajagan kerjasama 186

187 dengan UKM yang memproduksi dodol di 14 desa Lingkar Kampus IPB dengan skala komersial minimum. Yang terpilih adalah UKM Jaya Rasa Desa Cikarawang, Bogor. Pengurusan dan pendampingan Sertifikat Ijin Edar Produksi (PIRT) dodol bagi UKM Jaya Rasa telah dilakukan dan menghasilkan Sertifikat PIRT untuk produk dodol dengan Nomor P-IRT No atas nama Bapak Anjay Bustomi. Dari kegiatan ini telah pula berhasil dikembangkan produk olahan dodol talas, dodol tape talas dan produk turunannya berupa coklat isi dodol talas (chocodolas). Produk-produk tersebut telah dilengkapi dengan kemasan yang representative untuk dijual sebagai produk khas dan oleh-oleh Bogor, antara lain dengan dilengkapi gambar/foto tempat parawisata di Bogor (Tugu Kujang, Gunung Salak, Kebun Raya dan Istana Bogor). Produk Chocodolas telah pula dilakukan pendaftaran merek dagang di Departemen Hukum dan HAM RI. Justifikasi dan uji coba produksi dodol talas di Laboratorium dan pilot plant, serta disain produksi dodol talas (bahan baku, formula dan cara pengolahan) dan uji coba produksi di Lokasi UKM Dodol telah dilakukan dengan produksi sekitar 10 kg per minggu. Pemasaran dodol talas, dodol tape talas dan chocodolas telah dilakukan dengan cara menitipkan di outlet-outlet toko, kantin dan sekolah sekitar 40 outlet. Untuk menunjang penjualan dan image produk telah pula dikembang toko online untuk penjualan produk. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dir. Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, RI dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB atas dana diberikan bagi terlaksananya penelitan ini. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Bogor [21 Januari 2011]. Irsyad Pengaruh Penggunaan Tepung Talas dalam Pembuatam Dodol Talas terhadap Umur Simpan Produk. Skripsi (dibawah bimbingan Koswara, S). Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas teknologi Pertanian, IPB. 187

188 Koswara, S dan Andarwulan, N Peningkatan Mutu dan keamanan Pangan UKM Pangan di 14 Desa Lingkar Kampus. Laporan Akhir Penelitian. LPPM IPB. Bogor. LPPM IPB Survei Awal Kegiatan Bhakti Sosial IPB Desa-desa Lingkar Kampus. 188

189 KOLABORASI BARRIER JAGUNG DAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN Bean common mosaic virus DAN SERANGGA VEKTORNYA Aphis craccivora Koch DI LAPANG (Collaboration of Maize Barrier and Chitosan to Control Bean common mosaic virus and Its Vector Aphis craccivora Koch on Yard long bean in the Field) Tri Asmira Damayanti, Sugeng Santoso Dep. Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. ABSTRAK Bean common mosaic virus (BCMV) adalah virus yang merugikan pada kacang panjang saat ini. Penelitian bertujuan menguji keefektifan tanaman barrier jagung dan kitosan dalam menekan BCMV dan vektornya di lapang. Ada 4 perlakuan yang diuji yaitu kontrol (A), Perlakuan barrier jagung dan kitosan (B), Perlakuan barrier jagung (C) dan Perlakuan kitosan (D). Jagung ditanam 4 minggu sebelum kacang panjang dan kitosan diaplikasikan dengan perlakuan benih sebelum tanam dan penyemprotan daun 1 hari sebelum dan 2 minggu. Sekali sesudah penularan virus. Penularan virus dilakukan dengan melepas viruliferous kutudaun bersayap ke pertanaman. Perlakuan B, C dan D menunjukkan mampu menekan insidensi dan keparahan penyakit sampai 4 minggu setelah inokulasi virus (4 MSI) jika dibandingkan kontrol. Namun, pada 6-8 MSI semua perlakuan tidak mampu menekan virus. Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap populasi kutudaun. Deteksi serologi dan asam nukleat menunjukkan bahwa selain BCMV, terdeteksi virus-virus lain yang menginfeksi alami di lapang bersama BCMV yaitu CMV, Geminivirus, dan Palerovirus, sedangkan Luteovirus menginfeksi terpisah. Infeksi ganda beberapa virus melalui kutudaun dan kutu kebul dengan sifat penularan yang berbeda menyebabkan gejala yang sangat parah, sehingga perlakuan tidak mampu menekan infeksi virus lainnya. Penelitian ini menemukan Palerovirus baru yang terdeteksi menginfeksi kacang panjang. Kata kunci: BCMV, Barrier crop, kitosan, kacang panjang. ABSTRACT Bean common mosaic virus (BCMV) is a devastating virus on yard long bean at present. The aim of the research is to test the effectiveness of maize as barrier crop and chitosan to suppress BCMV and its vector in the field. The 4 treatments which consist as (A) control, (B) maize as barrier and chitosan, (C) barrier only and (D) chitosan only. Maize cultivated 4 weeks prior yard long bean. Chitosan applied as seed treatment and leaf spraying at one day before viral transmission and every 2 weeks after. BCMV transmitted via releasing viruliferous aphids in the field. Up to 4 weeks post inoculation (WPI), treatment B, C and D able to reduce the disease incidence and severity in compared with control. However, at 6-8 WPI all treatments unable to suppress the virus(es). All treatments did not have any effect on aphid population. Serological and molecular detection showed that CMV, Geminivirus, and Palerovirus detected together with BCMV, while Luteovirus was not. Multiple infection of several viruses facilitated by aphid and whitefly which have different transmission modes causing severe symptoms with the result that the control treatments unable to suppress the infection. The present of Palerovirus on yard long bean is the first evidence. Keywords: BCMV, barrier crop, chitosan, yard long bean. 189

190 PENDAHULUAN Kacang panjang (Vigna sinensis var. sesquipedalis) adalah salah satu tanaman sayuran yang dikenal luas sebagai salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia. Sekitar tahun 2008, terjadi outbreak penyakit mosaik kuning di pertanaman kacang panjang di Jawa. Insidensi penyakit ini di lapang mencapai % (Damayanti et al. 2009; Damayanti et al. 2010). Penyakit ini sudah menyebar luas di lapang, sehingga banyak petani di Bogor sementara ini menghentikan menanam kacang panjang. Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi sifat bioekologi dan molekuler virus mosaik kuning yang ditemukan di Bogor ini disebabkan oleh Bean common mosaic virus strain black eye dan Cucumber mosaic virus yang menginfeksi secara ganda atau tunggal (Damayanti et al. 2009). Infeksi ganda keduanya pada kacang baru pertama kali ditemukan terjadi di Indonesia, namun sebelumnya penyakit yang sama telah dilaporkan terjadi di Georgia (Gillasspie et al. 1998) dan menghancurkan plasma nutfah kacang panjang di Taiwan (Chang et al. 2002). Infeksi tunggal virus tersebut juga menimbulkan gejala kuning, namun intensitas gejala lebih parah jika terjadi infeksi ganda keduanya. Penularan dan penyebaran kedua virus difasilitasi oleh adanya serangga vektor kutudaun di lapang dan terbawa benih. Sehingga pengendalian virus sulit dilakukan sampai saat ini. Oleh karena itu berbagai komponen upaya pengendalian perlu dikaji sebagai upaya mitigasi penyakit di lapang. Kitosan merupakan polisakarida yang diperoleh dari kulit terluar dari krustacea seperti kepiting dan udang (Sandford & Hutchings, 1987; Sandford, 1989). Kitosan mempunyai muatan positif dengan banyak polimer yang secara fisiologis dan biologis unik dan digunakan dalam berbagai bidang industri seperti tata rias (lotion dan krim wajah), makanan (pengawet, antioksidan, antimikroba), bioteknologi, farmakologi dan obat-obatan serta pertanian (fungisida, elisitor) (Ren et al. 2001). Kitosan memiliki kemampuan memicu berbagai jenis respon ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen, seperti akumulasi fitoaleksin, pathogenesis related protein (PR), proteinase inhibitor, sintesa lignin dan 190

191 pembentukan kalus (Hadrami et al. 2010). Sedangkan pemanfaatab tanaman barrier dilaporkan mampu melindungi tanaman dari infeksi virus tular kutudaun secara non-persisten seperti CMV, PVY dan ChiVMV pada cabai serta virus-virus lainnya (Cerruti & Fereres, 2006). Pengujian di rumah kaca secara independen menunjukkan bahwa jagung sebagai barrier dan kitosan yang disemprotkan pada daun dan atau perlakuan benih efektif menekan insidensi dan keparahan penyakit mosaik (BCMV) (Suryadi et al. 2008; Haryanto, 2010). Aplikasi kitosan pada daun mempengaruhi kemampuan kutudaun (Aphis craccivora) didalam menularkan BCMV di rumah kaca. Kitosan menunjukkan bersifat antifeedant dan menghambat perkembangan populasi kutudaun (Megasari, 2012; data belum dipublikasikan). Namun, keefektifan di lapang belum diketahui, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan penggunaan tanaman barrier jagung dan kitosan dalam menekan infeksi BCMV di lapang. METODE PENELITIAN Lahan dan Tanaman Lahan dipilih yang biasa ditanami kacang panjang di Situgede, Darmaga Bogor berukuran 1000 m 2 yang dibagi dalam beberapa petak untuk petak perlakuan dan petak kontrol. Masing-masing perlakuan terdiri dari 7 petak ulangan. Tanaman jagung ditanam 4 minggu lebih awal dari tanaman kacang panjang. Jagung ditanam mengitari petak tanaman perlakuan yang diatur secara acak. Sumber Inokulum Sumber inokulum virus diperoleh dari lapang dan diisolasi pada tanaman Chenopodium amaranticolor sampai mendapatkan BCMV saja. Konfirmasi BCMV strain black eye (BlC) dilakukan melalui sequencing. Inokulum BCMV BlC diperbanyak pada tanaman kacang panjang kultivar Parade. 191

192 Perbanyakan Serangga Vektor Aphis craccivora Koch diambil dari lapang dan dibebasviruskan pada tanaman talas selama semalam. Kemudian, keturunan kutudaun yang lahir dipindahkan ke tanaman kacang panjang sehat dan dipelihara didalam kurungan kasa sampai siap dipergunakan. Perlakuan Berdasarkan hasil pengujian di rumah kaca, barrier crop/tanaman penghalang terbaik menekan infeksi BCMV adalah jagung. Tanaman jagung ditanam terlebih dahulu 4 minggu sebelum penanaman kacang panjang. Perlakuan terdiri dari 4, yaitu perlakuan: A = kontrol tanpa perlakuan B = Perlakuan barrier crop dan kitosan C = Perlakuan barrier crop tanpa kitosan D = Perlakuan kitosan, tanpa barrier crop Tiap perlakuan terdiri dari 7 petak ulangan, dan tiap petak terdiri dari sekitar 100 tanaman. Sebelum ditanam, benih kacang panjang direndam dalam suspensi kitosan 1% selama 3 jam. Kemudian, benih ditanam pada lahan perlakuan. Untuk kontrol, benih hanya direndam dengan air. Penyemprotan kitosan dilakukan sehari sebelum inokulasi virus pada seluruh tanaman perlakuan dan diulang dengan interval 2 minggu sampai tanaman berumur 8 minggu. Kutudaun dewasa dipindahkan ke tanaman terinfeksi BCMV untuk makan akuisisi dan dibiarkan berkembangbiak sampai muncul populasi kutudaun bersayap (sekitar 2 minggu). Inokulasi virus dilakukan semi-alami dengan menempatkan beberapa pot tanaman sakit dimana pada tanaman tersebut kutudaun dibiarkan hidup pada tanaman sakit sebelumnya sampai menghasilkan populasi kutudaun bersayap. Sehingga, infeksi virus terjadi secara alami melalui kutudaun bersayap yang mengandung virus. 192

193 Parameter Pengamatan Parameter yang diamati adalah insidensi dan keparahan penyakit tiap 2 minggu setelah perlakuan, akumulasi virus/titer virus, populasi kutudaun setiap 2 minggu pada tanaman kontrol dan perlakuan. Kejadian Penyakit. Kejadian penyakit yang dihitung dengan menggunakan rumus: dimana: KP = Kejadian Penyakit n = Jumlah tanaman yang menunjukkan gejala daun kecil N = Jumlah tanaman yang diamati Keparahan Penyakit. Keparahan penyakit ditentukan dengan menggunakan skala yang digunakan oleh Kurnianingsih (2010) sebagai berikut: 0 = Tanaman tidak menunjukkan gejala 1 = Gejala mosaik ringan disertai pemucatan tulang daun 2 = Gejala mosaik sedang 3 = Gejala mosaik berat 4 = Gejala mosaik berat dengan malformasi daun yang parah, kerdil, atau mati. Persentase keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus; dimana: ni vi N V = Σ tanaman dengan skor i = skor i = Σ tanaman uji = skor keparahan tertinggi Deteksi Serologi dengan ELISA. Deteksi BCMV dan virus lain yang menginfeksi alami dilakukan pada sampel yang diambil pada 4 MSI. Deteksi serologi menggunakan antiserum untuk mengetahui infeksi virus alami yang terjadi setelah perlakuan. Adapun antiserum yang digunakan adalah BCMV (Agdia) dan CMV (DSMZ). Deteksi serologi menggunakan manual sesuai dengan manual/ketentuan yang dibuat oleh produsen antiserum. 193

194 Deteksi Asam Nukleat Dengan PCR Ekstraksi Asam nukleat. Deteksi virus-virus lainnya yang diduga menginfeksi secara alami dilakukan dengan deteksi asam nukleat karena tidak tersedianya antiserum komersial. RNA total diekstraksi menggunakan Xprept Plant total RNA mini kit (JMC, Korea), sedangkan total DNA diekstraksi secara manual menggunakan metode ekstraksi Dellaporta (Dellaporta et al. 1983). Konstruksi cdna. cdna dibuat menggunakan enzim reverse transkriptase (Revertaid, Thermo Fermentas) sesuai dengan protokol yang disediakan produsen enzim. Amplifikasi DNA. DNA diamplifikasi dengan PCR menggunakan beberapa pasang primer yaitu primer universal Geminivirus (Rojas et al. 1993), Palerovirus (Correa et al. 2005), Luteovirus (Zhi-qiang et al. 2000), CMV subgrup IB (Aramburu et al. 2007), BCMV-BlC (Damayanti, belum dipublikasikan) dan Cowpea aphid-borne mosaic virus (CaBMV). Visualisasi DNA. DNA hasil amplifikasi PCR diseparasi dengan mengelektroforesis DNA pada 1% gel agarose Tris-Borate EDTA (TBE) yang mengandung ethidium bromide (0.5 ug/ml) selama 30 menit pada 100 Volt. Sebagai penanda ukuran DNA digunakan 1 kbp plus DNA ladder (Invitrogen). Visualisasi DNA dilakukan dibawah UV iluminator dan didokumentasi dengan kamera digital. Analisis Data Percobaan dirancang dengan rancangan acak kelompok, terdiri dari 4 perlakuan dan tiap perlakuan terdiri dari 7 petak ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (A), perlakuan barrier crop & kitosan (B), barrier crop tanpa kitosan (C) dan kitosan tanpa barrier crop (D). Semua data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA, dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala. Gejala infeksi BCMV melalui kutudaun bersayap berupa mosaik ringan. Namun gejala lanjut menunjukkan perubahan dan variasi menjadi mosaik 194

195 kuning parah, kuning, daun menggulung ke arah dalam, tulang daun menguning (vein yellowing) dan polong yang dihasilkan menunjukkan gejala mosaik dan kelainan bentuk (malformasi) (Gambar 1). Variasi gejala yang tinggi ini diduga karena terjadinya infeksi ganda beberapa virus yang terjadi secara alami. a b c d e f Gambar 1. Variasi gejala yang ditemukan di lapang berupa (a) mosaik kuning, (b) cupping, (c) menggulung ke bawah, (d) vein-yellowing,(e) kuning dan (f) mosaik pada polong. Insidensi Penyakit. Berdasarkan pengamatan, pada 2-8 MSI menunjukkan bahwa insidensi semakin meningkat dan mencapai maksimum pada 8 MSI. Pada 2 MSI, insidensi masih rendah dan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pada 4 MSI, insidensi tanaman perlakuan B, C, dan D lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa perlakuan (A), terutama perlakuan D. Namun, pada 6 dan 8 MSI, insidensi penyakit sangat tinggi hampir mencapai 100% (Tabel 1). Keparahan Penyakit. Pada 2 MSI, keparahan penyakit relatif rendah, namun semakin meningkat pada 4 MSI. Pada 4 MSI, semua perlakuan menunjukkan keparahan penyakit yang nyata lebih rendah jika dibandingkan kontrol. Pada 6 dan 8 MSI, keparahan penyakit sama dengan insidensi (Tab el 1, data tidak ditampilkan); dimana gejala sudah sangat parah dan gejala khas infeksi BCMV sulit ditemukan. Penghambatan penyakit karena perlakuan hanya terlihat sampai 4 MSI; dimana semua tanaman perlakuan menunjukkan keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan kontrol dengan penghambatan berkisar 195

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP REGENERASI KALUS JERUK SIAM HASIL KULTUR PROTOPLAS

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP REGENERASI KALUS JERUK SIAM HASIL KULTUR PROTOPLAS PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP REGENERASI KALUS JERUK SIAM HASIL KULTUR PROTOPLAS Aida Wulansari 1,*, Agus Purwito 2, Ali Husni 3 dan Enny Sudarmonowati 1 1 Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Buku 1 Bidang Pangan Bidang Biologi dan Kesehatan LPPM - IPB

PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Buku 1 Bidang Pangan Bidang Biologi dan Kesehatan LPPM - IPB ISBN 978-602-8853-15-6 978-602-8853-17-0 PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Buku 1 Bidang Pangan Bidang Biologi dan Kesehatan LPPM - IPB PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL

Lebih terperinci

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi 53 PEMBAHASAN UMUM Peningkatan kualitas buah jeruk lokal seperti jeruk siam Pontianak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing buah lokal menghadapi melimpahnya buah impor akibat tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

Radiosensitivitas dan Seleksi Mutan Putatif Jeruk Keprok Garut (Citrus reticulata L.) berdasarkan Penanda Morfologi

Radiosensitivitas dan Seleksi Mutan Putatif Jeruk Keprok Garut (Citrus reticulata L.) berdasarkan Penanda Morfologi Radiosensitivitas dan Seleksi Mutan Putatif Jeruk Keprok Garut (Citrus reticulata L.) berdasarkan Penanda Morfologi Radiosensitivity and Selection Putative Mutans Mandarin cv. Garut Based on Morphological

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA 21 UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA (YIELD EVALUATION OF PEANUT MUTAN CULTIVARS GENERATED FROM IRADIATION GAMMA RAYS) A. Farid Hemon 1 dan Sumarjan 1) 1) Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai manfaat ganda, baik sebagai makanan segar, bahan industri makanan seperti pizza, rempah,

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

banyak berperan dalam induksi kalus sedangkan BAP termasuk kelompok sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel sehingga kalus yang terbentuk dapat

banyak berperan dalam induksi kalus sedangkan BAP termasuk kelompok sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel sehingga kalus yang terbentuk dapat PEMBAHASAN UMUM Jeruk keprok Garut merupakan varietas lokal yang telah menjadi komoditas unggulan nasional. Jeruk keprok garut memiliki keunggulan seperti rasa buahnya yang manis menyegarkan dan ukuran

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS EMBRIOGENIK HASIL KULTUR PROTOPLAS JERUK SIAM AIDA WULANSARI

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS EMBRIOGENIK HASIL KULTUR PROTOPLAS JERUK SIAM AIDA WULANSARI INDUKSI KERAGAMAN GENETIK MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS EMBRIOGENIK HASIL KULTUR PROTOPLAS JERUK SIAM AIDA WULANSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA Latar Belakang IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL PADA STEK PUCUK ANYELIR (Dianthus caryophyllus) DAN UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan Perbaikan sifat

Lebih terperinci

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc.

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PENDAHULUAN Metode kultur jaringan juga disebut dengan

Lebih terperinci

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun 2013-2014] Puslit Bioteknologi LIPI Tahun Anggaran 2013-2014 Sumber Dana DIPA MEATPRO Bidang kegiatan Peternakan Judul kegiatan penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

ABSTRACT ATRA ROMEIDA. Induced Mutation by Gamma-ray Irradiation for the Development of Superior Orchid Clones Spathoglottis plicata

ABSTRACT ATRA ROMEIDA. Induced Mutation by Gamma-ray Irradiation for the Development of Superior Orchid Clones Spathoglottis plicata v ABSTRACT ATRA ROMEIDA. Induced Mutation by Gamma-ray Irradiation for the Development of Superior Orchid Clones Spathoglottis plicata Blume. Accession Bengkulu. Supervised by Surjono Hadi Sutjahjo, Agus

Lebih terperinci

Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro

Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro J. Hort. Indonesia 4(1):34-43. April 2013. Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro The Variation Induction and Characterization

Lebih terperinci

Analisis Data Y= a+bx HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Data Y= a+bx HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Analisis Data Rancangan lingkungan yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan faktor tunggal yaitu dosis iradiasi sinar gamma. Terdapat 6 taraf dosis iradiasi sinar

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR MARLINA ACHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i FAKTA INTEGRITAS... ii LEMBAR PERSYARATAN GELAR... iii LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR... iv LEMBAR PERSETUJUAN... v PEDOMAN PENGGUNAAN... vi ABSTRAK... vii KATA PENGANTAR...

Lebih terperinci

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly.

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. Under the supervision of Surjono H. Sutjahjo as a Promotor,

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1) Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta Reny Fauziah Oetami 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118 Perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

Kemampuan regenerasi kalus embriogenik asal nuselus jeruk siam serta variasi fenotipe tunas regeneran

Kemampuan regenerasi kalus embriogenik asal nuselus jeruk siam serta variasi fenotipe tunas regeneran PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 1, Maret 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 97-104 DOI: 10.13057/psnmbi/m010116 Kemampuan regenerasi kalus embriogenik asal nuselus jeruk siam serta variasi fenotipe

Lebih terperinci

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA. T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA. T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso Abstrak Dalam rangka memenuhi kebutuhan induk betina sebagai pasangan dari induk jantan YY, maka diperlukan suatu teknologi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Imam Mahadi, Sri Wulandari dan Delfi Trisnawati Program

Lebih terperinci

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Media Akuakultur Vol. 10 No. 2 Tahun 2015: 65-70 SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Didik Ariyanto Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Jl. Raya 2 Pantura Sukamandi, Patokbeusi, Subang 41263, Jawa

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L. )

PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L. ) PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L. ) Karyanti 1,*, Agus Purwito 2 dan Ali Husni 3 1 Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT 2 Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Kondisi laboratorium tempat dilakukan percobaan memiliki suhu berkisar antara 18-22 0 C dan kelembaban mencapai 90%. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

V. EXPRESSION OF GROWTH HORMONE GENE OF TILAPIA (tigh) IN CATFISH (Clarias sp.) TRANSGENIC FIRST GENERATION ABSTRACT

V. EXPRESSION OF GROWTH HORMONE GENE OF TILAPIA (tigh) IN CATFISH (Clarias sp.) TRANSGENIC FIRST GENERATION ABSTRACT 37 V. EXPRESSION OF GROWTH HORMONE GENE OF TILAPIA (tigh) IN CATFISH (Clarias sp.) TRANSGENIC FIRST GENERATION ABSTRACT The research intends to analyse expression of growth hormone gene of tilapia (tigh)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah

PENDAHULUAN. telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine soya/ Glycine max L.) berasal dari Asia Tenggara dan telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah ditanam di negara tersebut dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama 121 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama Tiga tanaman yang digunakan dari klon MK 152 menunjukkan morfologi organ bunga abnormal dengan adanya struktur seperti

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU TAHAN PENYAKIT KHV DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN 0 PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN (Leaflet) TERHADAP INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO Oleh Diana Apriliana FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SELEKSI MASSA KEDELAI (Glycine max L. Merrill) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 4

SELEKSI MASSA KEDELAI (Glycine max L. Merrill) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 4 SELEKSI MASSA KEDELAI (Glycine max L. Merrill) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 4 SKRIPSI OLEH : SYAMSIR S. E. D. SAMOSIR 060307011 / PEMULIAAN TANAMAN Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil analisis SDS-PAGE protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan gurami (roggh), ikan mas (rccgh) dan ikan kerapu kertang (relgh).

Lampiran 1 Hasil analisis SDS-PAGE protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan gurami (roggh), ikan mas (rccgh) dan ikan kerapu kertang (relgh). Lampiran 1 Hasil analisis SDS-PAGE protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan gurami (roggh), ikan mas (rccgh) dan ikan kerapu kertang (relgh). Keterangan : M = Marker 1 = protein rekombinan hormon pertumbuhan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 3. Keragaan Karakter Agronomi dari Populasi M3 Hasil Seleksi

BAHAN DAN METODE. 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 3. Keragaan Karakter Agronomi dari Populasi M3 Hasil Seleksi BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian secara keseluruhan terbagi dalam tiga percobaan sebagai berikut: 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 2. Studi Keragaan Karakter Agronomis

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Delfi Trisnawati 1, Dr. Imam Mahadi M.Sc 2, Dra. Sri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI

PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI Media Akuakultur Vol. 0 No. Tahun 05: -6 PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI Didik Ariyanto Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Jl. Raya Pantura Sukamandi, Patokbeusi,

Lebih terperinci

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO UNTUK IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH CV. LOKAL BIMA YANG TOLERAN PADA MEDIA POLIETILENA GLIKOL INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY

Lebih terperinci

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KAPAS. (Gossypium hirsutum.l)

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KAPAS. (Gossypium hirsutum.l) PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KAPAS (Gossypium hirsutum.l) Lilik Harsanti Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional Jl. Cinere Pasar Jumat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik BAHAN DAN METODE Histodifferensiasi Embrio Somatik Bahan Tanaman Kalus embriogenik yang mengandung embrio somatik fase globular hasil induksi/proliferasi dipisahkan per gumpal (clump) dan diletakkan diatas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB 1 TIPE KULTUR JARINGAN TANAMAN

BAB 1 TIPE KULTUR JARINGAN TANAMAN BAB 1 TIPE KULTUR JARINGAN TANAMAN Kompetensi Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan pengertian kultur jaringan, mampu menguraikan tujuan dan manfaat kultur jaringan, mampu menjelaskan prospek kultur jaringan,

Lebih terperinci

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA MANGGIS IN VITRO. Abstrak

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA MANGGIS IN VITRO. Abstrak IV. INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA MANGGIS IN VITRO Abstrak Peningkatan keragaman genetik tanaman manggis dapat dilakukan dengan induksi mutasi pada kultur in vitro. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Lokasi Penelitian. B. Perancangan Penelitian. C. Teknik Penentuan Sampel. D. Jenis dan Sumber Data

III. METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Lokasi Penelitian. B. Perancangan Penelitian. C. Teknik Penentuan Sampel. D. Jenis dan Sumber Data 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 s/d Januari 2016. Lokasi penelitian berada di Desa Giriharjo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Panjang Baku Gambar 1. menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyortiran pada bulan pertama terjadi peningkatan rata-rata panjang baku untuk seluruh kasus dan juga kumulatif.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perhitungan Kepadatan Artemia dan Kutu Air serta Jumlah Koloni Bakteri Sebanyak 1,2 x 10 8 sel bakteri hasil kultur yang membawa konstruksi gen keratin-gfp ditambahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

RESPON PERUBAHAN MORFOLOGI DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP BEBERAPA DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA SKRIPSI

RESPON PERUBAHAN MORFOLOGI DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP BEBERAPA DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA SKRIPSI 1 RESPON PERUBAHAN MORFOLOGI DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN TANAMAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP BEBERAPA DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH : MUTIA DINULIA PUTRI / 120301185 AGROEKOTEKNOLOGI-PET

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Kondisi Umum Penelitian Eksplan buku yang membawa satu mata tunas aksilar yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tunas adventif yang berumur 8 MST. Tunas adventif disubkultur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi karena tingginya kandungan gula pada bagian batangnya.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan yang teramati selama aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30 o C dengan suhu minimum hingga 20 o C dan suhu maksimum mencapai 37 o C. Aklimatisasi

Lebih terperinci

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN MK. BIOTEKNOLOGI (SEM VI) Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2015 16 maret : metode biotek tnmn 23 maret : transgenesis 30 maret

Lebih terperinci

PROGRAM INSENTIF RISET DASAR

PROGRAM INSENTIF RISET DASAR PERAKITAN KULTIVAR UNGGUL JAGUNG TOLERAN KEMASAMAN: SELEKSI IN VITRO MUTAN IRADIASI SINAR GAMMA DAN VARIAN SOMAKLON Surjono Hadi Sutjahjo, Dewi Sukma, Rustikawati PROGRAM INSENTIF RISET DASAR Bidang Fokus

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang dikenal sebagai sumber utama penghasil minyak nabati sesudah kelapa. Minyak sawit kaya akan pro-vitamin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI (Lilium, L) HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM

7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI (Lilium, L) HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM 59 7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI (Lilium, L) HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM Abstrak Keragaman genetik tanaman hasil mutasi dapat dibedakan menggunakan penanda isozim. Tujuan penelitian ini ialah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Promoter -Aktin Ikan Mas Promoter -Aktin dari ikan mas diisolasi dengan menggunakan metode PCR dengan primer yang dibuat berdasarkan data yang ada di Bank Gen. Panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI GENETIK MELALUI PENGGANDAAN KROMOSOM KEDELAI(Glycine max L. Merr) VARIETAS WILIS DAN TANGGAMUS DENGAN KOLKISIN SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI GENETIK MELALUI PENGGANDAAN KROMOSOM KEDELAI(Glycine max L. Merr) VARIETAS WILIS DAN TANGGAMUS DENGAN KOLKISIN SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI GENETIK MELALUI PENGGANDAAN KROMOSOM KEDELAI(Glycine max L. Merr) VARIETAS WILIS DAN TANGGAMUS DENGAN KOLKISIN SECARA IN VITRO Mastika Wardhani * dan Ni Made Armini Wiendi Department of

Lebih terperinci

VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL. Abstrak

VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL. Abstrak VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL Abstrak Pada berbagai spesies termasuk kakao, gen AP1 (APETALA1) diketahui sebagai gen penanda pembungaan yang mengendalikan terbentuknya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan PEMANFAATAN KOMBINASI PEMBERIAN MUTAGEN DAN KULTUR IN VITRO UNTUK PERAKITAN VARIETAS UNGGUL BARU Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love Tanaman Anthurium Wave of Love termasuk ke dalam famili Araceae, berbatang sukulen dan termasuk tanaman perennial. Ciri utama famili

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H0709085 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari Bulan November 2011

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO Fitri Damayanti 1, Ika Roostika 2 dan Samsurianto 3 1 Jurusan Biologi F. TMIPA Universitas

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika. Berkala Ilmiah Biologi.

Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika. Berkala Ilmiah Biologi. Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika Berkala Ilmiah Biologi http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/biosaintifika EFEKTIVITAS ZPT 2,4 D PADA MEDIUM MS DAN LAMA PENCAHAYAAN UNTUK MENGINDUKSI KALUS DARI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Saat ini, manggis merupakan salah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 95 persen penduduk Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani padi banyak menyediakan lapangan

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun 93 PEMBAHASAN UMUM Perbaikan sifat genetik dari tanaman dapat melalui pemuliaan, baik konvensional maupun modern (Soedjono 2003). Bahan tanaman yang digunakan didapatkan dengan cara meningkatkan keragaman

Lebih terperinci