BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 54 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kabupaten Mamasa Analisis Kelayakan Pembentukan Kab. Mamasa Berdasarkan Syarat Teknis PP. No. 78 Tahun 2007 Pembentukan daerah otonom baru merujuk ke Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dimana pasal 5 menyatakan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrasi untuk Kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD provinsi dan gubernur serta rekomendasi menteri dalam negeri. Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten serta 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. Adapun syarat tentang pembentukan daerah otonom baru diatur dalam PP No. 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah dikaji berdasarkan 11 faktor dan 35 indikator. Terbentuknya Kabupaten Mamasa sangat dipengaruhi oleh timpangnya pembangunan serta kurangnya perhatian pembangunan dari pemerintah provinsi dan kabupaten induknya, menyebabkan tingkat perekonomian masyarakat sangat rendah yang berakibat semakin tingginya tingkat kemiskinan yang terjadi di wilayah Kab. Mamasa selain faktor luas wilayah dan histroris yang sangat mendukung untuk dibentuknya Kab. Mamasa. Untuk mengetahui kelayakan pembentukan Kab. mamasa skoring berdasarkan syarat teknis berdasarkan PP. 78 tahun Nilai indikator teknis pembentukan Kab. Mamasa terlihat pada (Tabel 4).

2 55 Tabel 4 Nilai Indikator Teknis Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar Tahun 2007 FAKTOR (BOBOT) DAN INDIKATOR POLMAN MAMASA KEPENDUDUKAN - Jumlah penduduk - Kepadatan Penduduk KEMAMPUAN EKONOMI - PDRB non migas perkapita - Pertumbuhan ekonomi - Kontribusi PDRB non migas Kab. Terhadap PDRB Non Migas Prov. POTENSI DAERAH - Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per penduduk - Rasio pasar per penduduk - Rasio fasilitas kesehatan per penduduk - Rasio tenaga medis per penduduk - Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga - Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor - Rasio pegawai negeri sipil terhadap per penduduk KEMAMPUAN KEUANGAN - Jumlah PDS - Jumlah PDS Terhadap Jumlah Penduduk - Rasio PDS terhadap PDRB non migas SOSIAL BUDAYA - Rasio sarana peribadatan per penduduk - Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk LUAS DAERAH , ,41 30,96 5,627 0,757 2,165 5,222 65,213% 4, , ,054 0,041 19,806 19, , ,49 11,66 4,500 1,044 8,197 10,849 13,516% 0, , ,418 0,053 46,691 47,656 - Luas wilayah keseluruhan 2.022, ,88 PERTAHANAN - Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan D D KEAMANAN - Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk 11,661 22,743 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA - Indeks Pembangunan Manusia 64,77 69,16 RENTANG KENDALI - Rata-rata jarak kab/kota atau kecamatan ke pusat (prov/kab/kota) Sumber data: BPS Kab. Mamasa dan BPS Kab. Polewali Mandar

3 56 Tabel 5 Hasil Skoring Kelayakan Pemekaran Kab. Mamasa Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 FAKTOR (BOBOT) DAN INDIKATOR BOBOT SKOR NILAI KEPENDUDUKAN - Jumlah penduduk - Kepadatan Penduduk KEMAMPUAN EKONOMI - PDRB non migas perkapita - Pertumbuhan ekonomi - Kontribusi PDRB Non Migas kabupaten terhadap PDRB Non Migas Provinsi POTENSI DAERAH - Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per penduduk - Rasio pasar per penduduk - Rasio fasilitas kesehatan per penduduk - Rasio tenaga medis per penduduk - Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga - Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor - Rasio pegawai negeri sipil terhadap per penduduk KEMAMPUAN KEUANGAN - Jumlah PDS - Jumlah PDS Terhadap Jumlah Penduduk - Rasio PDS terhadap PDRB non migas SOSIAL BUDAYA - Rasio sarana peribadatan per penduduk - Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk LUAS DAERAH - Luas wilayah keseluruhan PERTAHANAN - Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan KEAMANAN - Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA - Indeks Pembangunan Manusia RENTANG KENDALI - Rata-rata jarak kab/kota atau kecamatan ke pusat (prov/kab/kota) TOTAL Sumber data: Kab. Mamasa dan Polewali Mandar Dalam Angka (Olahan)

4 57 Kelayakan pembentukan Kab. Mamasa berdasarkan syarat teknis PP No. 78 tahun 2007 dari 22 indikator yang dinilai 9 indikator kelayakan Kab. Mamasa lebih baik selebihnya dibawah Kab. Polewali Mandar. Hasil skoring kelayakan pembentukan Kab. Mamasa yang diperoleh skor sebesar 293 (Tabel 5). Terbatasnya data untuk menganalisis kelayakan pemekaran di suatu wilayah berakibat terhadap kecilnya hasil skoring yang diperoleh sehingga pada tahap pengkategorian dilakukan revisi terhadap nilai kelulusan sehingga nilai kelulusan yang sebenarnya dapat diperoleh. Nilai kelulusan turunan dari hasil PP No. 78 tahun 2007 (Tabel 6). Tabel 6 Nilai Kelulusan Kabupaten Mamasa Kategori Nilai total seluruh indikator Keterangan Sangat Mampu 328 s/d 390 Rekomendasi Mampu 265 s/d 327 Rekomendasi Kurang Mampu 203 s/d 264 Tolak Tidak Mampu 140 s/d 202 Tolak Sangat Tidak Mampu 78 s/d 139 Tolak Sumber: hasil revisi dari PP No. 78 tahun 2007 (diolah) Dapat diketahui (Tabel 6) bahwa hasil kelulusan dari pembentukan Kabupaten Mamasa dengan menggunakan 10 faktor dan 22 indikator diperoleh hasil bahwa Kabupaten Mamasa masuk kategori mampu dan dapat direkomendasikan untuk membentuk Kabupaten. Usulan pembentukan Kab. Mamasa berdasarkan data hasil skoring (Tabel 5) sebesar 40 berarti dari faktor kependudukan belum memenuhi syarat yakni dibawah 80 sedangkan faktor kemampuan ekonomi sebesar 55 belum memenuhi syarat kemampuan ekonomi karena skor dimana dibawah 60, dalam syarat teknis PP. No. 78 tahun 2007 suatu daerah layak untuk dibentuk jika nilai skor masuk kategori mampu dan dari faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, kemampuan keuangan dan potensi daerah memenuhi persyaratan jika salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi maka daerah tersebut tidak layak dibentuk atau ditolak sehingga berdasarkan hasil skoring pembentukan daerah otonom baru dapat disimpulkan bahwa usulah pembentukan Kab. Mamasa masuk kategori belum layak untuk di bentuk atau ditolak.

5 58 Dari hasil skoring pembentukan Kab. Mamasa ada empat Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembentukan daerah yakni faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, kemampuan keuangan dan potensi daerah karena jika salah satu faktor ini tidak memenuhi syarat maka suatu daerah tidak layak untuk dibentuk atau ditolak, terbatasnya data yang ada hanya 3 faktor dalam pembentukan Kab. Mamasa dijabarkan sebagai berikut: 1. Faktor Kependudukan Faktor kependudukan dinilai dari jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, jumlah penduduk Kab. Mamasa masih jauh dibawah jumlah penduduk Kab. Polewali Mandar, pada tahun 2007 jumlah penduduk di Kab. Mamasa sebesar jiwa sedangkan di Kab. Polewali Mandar sebesar jiwa, jika dibandingkan diperoleh perbandingan sebesar 1:3 dimana jumlah penduduk di Kab. Polewali Mandar jauh lebih besar. Dari perbandingan jumlah penduduk diperoleh bawah jumlah penduduk Kab. Mamasa hanya 34 persen dari jumlah penduduk Kab. Polewali Mandar. Dilihat dari kepadatan penduduk, pada tahun 2007, luas wilayah di Kab. Mamasa yakni 2.759,23 Km 2 diperoleh kepadatan penduduk sebesar 45,09 sedangkan di Kab. Polewali Mandar luas wilayah sebesar 2.022,30 Km 2 dengan kepadatan penduduk sebesar , dari perbandingan diperoleh Kepadatan penduduk di Kab. Mamasa hanya 25 persen dari jumlah kepadatan penduduk Kab. Polewali Mandar. 2. Faktor Kemampuan Ekonomi Dari faktor ekonomi dilihat dari PDRB Non Migas perkapita, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB Non Migas kabupaten terhadap PDRB Non Migas provinsi. PDRB Non Migas perkapita pada tahun 2007, di Kab. Polewali Mandar sebesar rupiah dibawah dari PDRB Non Migas perkapita Kab. Mamasa yakni sebesar rupiah dari perbandingan diperoleh bahwa PDRB Non migas Kab. Mamasa sebesar 123 persen dari jumlah PDRB Non Migas perkapita Kab. Polewali Mandar.

6 59 Pertumbuhan ekonomi di Kab. Polewali Mandar sebesar 6,41 persen pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan di Kab. Mamasa yakni sebesar 4,49 persen, dari perbandingan laju pertumbuhan ekonomi diperoleh bahwa pertumbuhan ekonomi di Kab. Mamasa sebesar 70 persen dari pertumbuhan ekonomi di Kab. Polewali Mandar. PDRB non migas Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007 sebesar miliar rupiah, kontribusi PDRB non migas kabupaten terhadap PDRB non migas provinsi diperoleh untuk Kab. Polewali Mandar PDRB non migasnya sebesar sebesar miliar rupiah dimana kontribusi terhadap PDRB provinsi sebesar 32 persen sedangkan untuk Kab. Mamasa PDRB non migasnya sebesar 480 miliar rupiah dimana kontribusi terhadap PDRB provinsi sebesar 13 persen. Jika dibandingkan kontribusi PDRB non migas kabupaten terhadap PDRB Non Migas provinsi diperoleh bahwa Kab. Mamasa sebesar 42 persen dari kontribusi PDRB non migas Kab. Polewali Mandar terhadap PDRB non migas provinsi. 3. Faktor Kemampuan Keuangan Faktor kemampuan keuangan dilihat dari jumlah pendapatan daerah sendiri (PDS), pendapatan daerah sendiri adalah seluruh penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan dari bagi hasil provinsi (untuk pembentukankabupaten/kota). Jumlah pendapatan daerah sendiri untuk Kab. Polewali Mandar pada tahun 2007 sebesar 47 miliar rupiah sedangkan Kab. Mamasa sebesar 26 miliar rupiah, Pendapatan Daerah Sendiri Kab. Mamasa 55 persen dari Pendapatan Daerah Sendiri Kab. Polewali Mandar. Jumlah pendapatan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk yakni jumlah pendapatan daerah sendiri dibagi jumlah penduduk di Kab. Polewali Mandar sebesar sedangkan untuk Kab. Mamasa sebesar , dari perbandingan jumlah pendapatan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk Kab. Mamasa lebih baik yakni 162 persen dari Kab. Polewali Mandar. Rasio pendapatan daerah sendiri terhadap non migas yakni jumlah pendapatan daerah sendiri dibagi jumlah PDRB Non Migas, untuk Kab. Polewali Mandar sebesar 0,041 sedangkan Kab. Mamasa sebesar 0,053 menunjukkan

7 60 bahwa untuk Kab. Polewali Mandar rasio pendapatan daerah sendiri terhadap PDRB non migas lebih baik dibandingkan Kab. Polewali Mandar dimana rasio pendapatan daerah sendiri terhadap PDRB Non Migas Kab. Mamasa 129 persen dari Kab. Polewali Mandar. Hal terpenting mengapa diperlukan kelayakan pembentukan di Kab. Mamasa walaupun telah terbentuk disebabkan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintah daerah yang melahirkan PP. No 78 tahun 2007 mengamanatkan perlunya kesiapan suatu daerah yang akan dibentuk karena dari perkembangan beberapa daerah otonom baru menunjukkan banyak daerah otonom baru belum mampu berkembang, hal ini disebabkan oleh kesiapan diawal pembentukannya dimana banyak syarat atau ketentuan yang belum dipenuhi karena jalur pembentukan suatu wilayah melalui jalur legislatif. Kekuatan undang-undang lebih besar dibandingkan peraturan pemerintah, dengan demikian pada aturan pemekaran di Indonesia diperlukan penguatan yakni PP. No. 78 tahun 2007 dapat di undang-undangkan karena kebanyakan pembentukan daerah otonom baru melalui jalur legislatif kurang memperhatikan ketentuan dalam PP. No. 78 tahun 2007, sehingga dengan di undangundangkannya PP. No. 78 tahun 2007 menyebabkan aturan pembentukan daerah otonom baru lebih selektif Kelayakan Pemekaran Kab. Mamasa Berdasarkan Persepsi Stakeholder di Kab. Mamasa Kelayakan pemekaran dari persepsi stakholder di Kab. Mamasa untuk menilai kelayakan pemekaran dari tujuh indikator yaitu kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan sumberdaya alam. Kelayakan pemekaran menurut persepsi (Tabel 7) ditinjau dari aspek Potensi daerah, Sosial budaya, luas daerah dan sumberdaya alam menurut persepsi dari Eksekutif, Legislatif dan Masyarakat. Bobot dari hasil persepsi digambarkan melalui persentase dari jawaban tiap responden.

8 61 Tabel 7. Persentase Kelayakan pemekaran kab. Mamasa berdasarkan persepsi masyarakat, legislatif dan eksekutif Aspek-aspek kelayakan pemekaran Legislatif Eksekutif Masyarakat TL L TL L TL L Kemampuan Ekonomi Potensi Daerah Sosial Budaya Sosial Politik Jumlah Penduduk Luas Daerah Sumberdaya Alam Sumber data: Primer tahun 2010 Ket: Untuk aspek-aspek kelayakan pemekaran TL = tidak layak, L = layak Dari beberapa aspek kelayakan pemekaran yang dikaji diperoleh persepsi legislatif menganggap bahwa secara kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan sumberdaya alam Kabupaten Mamasa layak untuk dibentuk menjadi kabupaten dengan persentase untuk layak sebesar 100 persen. Persepsi dari Eksekutif menganggap bahwa secara kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, sosial budaya, luas daerah, sumberdaya alam persentase kategori layak sebesar 100 persen jadi menurut pertimbangan dari aspek diatas Kabupaten Mamasa layak untuk dibentuk menjadi kabupaten tetapi pada aspek sosial politik tidak seluruhnya eksekutif menganggap layak dimana persentase tidak layak secara sosial politik sebesar 33 persen. Menurut persepsi masyarakat ditinjau dari aspek potensi daerah, sosial budaya, luas daerah dan sumberdaya alam Kab. Mamasa layak dimekarkan. Ditinjau dari aspek potensi daerah Kab. Mamasa memiliki potensi pertanian utamanya perkebunan kopi, kakao serta kopra yang bisa dikembangkan serta memiliki potensi wisata yang sangat beragam, kemudian memiliki luas wilayah yang cukup mendukung dimana luas wilayah sebesar yakni 2.759,23 Km 2 Ditinjau dari aspek kemampuan ekonomi, sosial politik serta jumlah penduduk berdasarkan persepsi masyarakat dinilai belum layak untuk dibentuk ini dikarenakan kegiatan ekonomi sebelum dimekarkan belum berjalan optimal

9 62 karena terutama terhambat oleh faktor infrastruktur yang kurang mendukung seperti ketersediaan alat transportasi dan akses jalan yang belum memadai sehingga mobilisasi barang dari luar Kab. Mamasa ke wilayah tersebut tidak lancar yang mendorong inflasi yang sangat tinggi di Kab. Mamasa dan dari jumlah penduduk dinilai belum layak dimana daerah terpadat penduduk hanya berada di Kec. Mamasa sedangkan kecamatan lainnya penduduk masih relatif sedikit. 5.2 Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Ekonomi Pertumbuhan Struktur Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi menunjukkan gerak berbagai sektor pembangunan dan juga adalah sumber penciptaan lapangan kerja. Adanya peningkatan nilai tambah di perekonomian mengisyarakatkan peningkatan aktifitas ekonomi, baik yang sifatnya internal di daerah yang bersangkutan, maupun dalam kaitannya dengan interaksi antar daerah. Tabel 8. Perbandingan PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekononomi Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar Tahun PDRB (dlm Miliar Rupiah) Rasio Pertumbuhan (persen) Selisih Pertumbuhan Mamasa Polman Mamasa Polman (persen) , , , , , :2,27-124, :2,28 3,17 3,61-0, :2,27 4,33 4,08 0, :2,30 3,83 5,14-1, :2,32 5,43 6,45-1, :2,37 4,49 6,41-1, :2,36 7,88 7,65 0,23 Sumber data: BPS Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar Pertumbuhan dan perkembangan struktur ekonomi di dekati dengan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada saat sebelum dan setelah pemekaran. Nilai PDRB merupakan cerminan jumlah produk barang dan jasa

10 63 yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi oleh berbagai unit produksi dalam jangka waktu tertentu (1 tahun). Data yang dianalisis PDRB Non Migas dengan harga konstan karena dianggap perhitungan pertumbuhan ekonomi dengan harga konstan bersifat fixed rate lebih memudahkan dalam penilaian terhadap perkembangannya. Dari data diperoleh bahwa PDRB Kabupaten Polewali Mandar (Tabel 8) pada periode tahun berfluktuatif tetapi terjadi peningkatan yakni pada tahun 1996 sebesar 351 miliar rupiah menjadi 394 miliar rupiah di tahun 2000, dimana jumlah PDRB terendah pada tahun 1998 sebesar 359 miliar rupiah, sedangkan laju pertumbuhan berfluktuatif dan mengalami penurunan yakni di tahun 1996 sebesar 7,87 persen menurun menjadi 3,77 persen pada tahun 2000 dimana laju pertumbuhan terendah pada tahun 1998 yakni sebesar -5,24 persen. terjadinya krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia pada tahun 1998 juga berdampak buruk terhadap kinerja ekonomi di Kabupaten Polewali Mandar. Setelah terbentuknya Kabupaten Mamasa, PDRB Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa mengalami peningkatan. Di Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 2001 PDRB sebesar 394 miliar rupiah meningkat menjadi miliar rupiah pada tahun 2008 sedangkan di Kabupaten Mamasa pada tahun 2002 PDRB sebesar 390 miliar rupiah menjadi 518 miliar rupiah pada tahun 2008, terjadi peningkatan yang cukup besar disebabkan oleh pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat ke daerah yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi di kedua wilayah tersebut. Dari rasio PDRB (Tabel 8) bahwa PDRB Kabupaten Polewali Mandar jauh lebih besar dibandingkan Kabupaten Mamasa yakni 1:2,27 di tahun 2003 dan pada tahun 2008 sebesar 1:2,36. Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Polewali Mandar setelah terbentuknya Kabupaten Mamasa mengalami peningkatan yakni pada tahun 2001 sebesar 3,77 persen menjadi 7,65 persen di tahun 2008 dimana laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 124,13 persen. Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten Mamasa dimana laju pertumbuhan ekonomi berfluktuasi

11 64 tetapi mengalami peningkatan yakni pada tahun 2003 sebesar 3,17 persen menjadi 7,88 persen di tahun Peningkatan yang cukup besar pada tahun 2001 ke tahun 2002 ditandai dari laju pertumbuhan ekonomi di Kab. Polewali Mandar yang meningkat sebesar 124,13 persen hal ini disebabkan oleh investasi yang cukup besar dari beberapa sektor pada saat itu. Beberapa sektor yang mengalami peningkatan yakni sektor pertanian yang pada tahun 2001 sebesar 184 miliar rupiah meningkat menjadi 470 miliar rupiah dimana hampir seluruh subsektor pertanian meningkat tetapi peningkatan tertingi terjadi pada subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan peternakan. Sektor yang lain yang meningkat pada tahun 2002 yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran dimana pada tahun 2001 sebesar 71 miliar rupiah meningkat menjadi 198 miliar rupiah selain itu sektor jasa juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi dimana pada tahun 2001 sebesar 43 miliar rupiah menjadi 122 miliar rupiah pada tahun Dari data PDRB sebelum dan setelah terbentuknya Kabupaten Mamasa yang dianalisis diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Polewali Mandar lebih stabil peningkatannya dibandingkan Kab. Mamasa yang laju pertumbuhan ekonominya sangat fluktuatif peningkatannya sehingga dari perbandingan laju pertumbuhan PDRB non migas diperoleh laju pertumbuhan di Kab. Polewali Mandar lebih besar dibandingkan dengan Kab. Mamasa PDRB Perkapita PDRB Perkapita merupakan cerminan kondisi perekonomian suatu wilayah yang riil dibandingkan angka PDRB saja Hal ini karena telah memperhitungkan jumlah penduduk di wilayah bersangkutan. PDRB perkapita sering dipakai untuk menjelaskan tingkat kemakmuran penduduk di suatu wilayah, meskipun ada beberapa kelemahan dasar seperti (1) tidak menjelaskan pemerataan, (2) tidak menunjukkan nilai tinggi pendapatan penduduk. PDRB perkapita Kabupaten Mamasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 9), tentunya hal ini merupakan indikasi positif semakin meningkatnya kesejahteraan penduduk meskipun dari data ini tidak dapat disimpulkan apa

12 65 kesejahteraan masyarakat di Kab. Mamasa yang terus meningkat tersebar merata atau dinikmati oleh segolongan masyarakat. Tabel 9 PDRB perkapita Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar tahun berdasarkan harga konstan. Tahun PDRB/Kapita (Rupiah) Rasio Pertumbuhan (persen) Selisih Pertumbuhan Mamasa Polman Mamasa Polman , , , , , ,27:1-201, ,31:1 1,42-1,86-3, ,28:1 1,35 4,06 2, ,24:1 3,92 6,85 2, ,23:1 4,33 5,18 0, ,23:1 5,31 5,18 0, ,22:1 6,19 7,42 1,23 Sumber: BPS Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mandar PDRB perkapita Kabupaten Mamasa (Tabel 9) periode tahun mengalami peningkatan, di tahun 2002 sebesar Rp menjadi Rp di tahun Di Kabupaten Polewali Mandar PDRB perkapita juga mengalami peningkatan, dari periode tahun yakni pada tahun 2002 sebesar Rp menjadi Rp di tahun Dari data tersebut menunjukkan bahwa PDRB perkapita di Kab. Mamasa lebih besar dibandingkan di Kab. Polewali Mandar. Dari perbandingan laju pertumbuhan PDRB perkapita periode tahun , di Kabupaten Polewali Mandar meningkat dari tahun 2003 sebesar -1,86 persen menjadi 7,42 persen pada tahun 2008 sedangkan untuk Kab. Mamasa laju pertumbuhan PDRB perkapita juga mengalami peningkatan yakni dari tahun 2003 sebesar 1,42 persen menjadi 6,19 persen di tahun Dari hasil perbandingan laju pertumbuhan PDRB perkapita di dua wilayah tersebut diperoleh bahwa di Kab. Polewali Mandar peningkatan PDRB perkapitanya lebih baik peningkatannya dibandingkan di Kab. Mamasa.

13 Jumlah Penduduk Miskin PDRB perkapita dianggap kurang tepat dijadikan indikator utama dalam menilai keberhasilan pembangunan maka sebagai data pembanding berikut diberikan data kemiskinan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemiskinan di Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar. Indikator kemiskinan adalah salah satu indikator kesejahteraan rakyat yang dijadikan tolak ukur utama dalam menilai keberhasilan pembangunan. Dari data jumlah penduduk miskin di Kab. Polewali Mandar (data masih tergabung antara Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa) periode tahun mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Kabupaten Polewali Mandar di tahun 2002 sebanyak jiwa atau 31,38 persen dari total jumlah penduduk menjadi jiwa atau 30,78 persen di tahun Penurunan jumlah penduduk miskin terjadi di tahun 2003 sebesar jiwa atau 11,62 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Kab. Polewali Mandar Kab. Mamasa Sumber: BPS Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa Gambar 4 Jumlah Penduduk Miskin tahun Pada periode tahun jumlah (Gambar 4) penduduk miskin di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin di Kab. Polewali Mandar pada tahun 2005 sebanyak jiwa atau 30,71 persen dari total jumlah penduduk mengalami penurunan menjadi jiwa atau 21,80 persen dari total penduduk sedangkan di Kab. Mamasa jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 sebanyak jiwa atau 30,43 persen dari total penduduk menjadi jiwa atau 18,06 persen dari total jumlah

14 67 peduduk di tahun Dari perbandingan jumlah penduduk miskin diperoleh bahwa di Kab. Mamasa lebih kecil jumlah penduduk miskin dibandingkan di Kab. Polewali Mandar. Untuk melihat perkembangan jumlah penduduk miskin dapat dilihat dari laju pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Laju pertumbuhan jumlah penduduk miskin periode tahun (Gambar 5), di Kab. Polewali mandar mengalami penurunan di tahun 2004 sebesar 94,5 persen menjadi 2,3 persen pada tahun Pada periode tahun laju pertumbuhan penduduk miskin di Kab. Polewali Mandar mengalami penurunan yakni di tahun 2006 sebesar -12,6 persen menjadi -11,5 persen pada tahun 2008 sedangkan di Kab. Mamasa pada tahun 2006 laju pertumbuhan penduduk miskin sebesar -15,6 persen di tahun 2006 menurun menjadi -27,4 persen pada tahun Dari perbandingan laju pertumbuhan diketahui bahwa perkembangan penurunan jumlah penduduk miskin di Kab. Mamasa lebih baik dibandingkan di Kab. Polewali Mandar. 120 Laju pertumbuhan (persen) Kab. Polewali Mandar Kab. Mamasa -80 Sumber data: BPS Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa Gambar 5 Laju Pertumbuhan Jumlah Penduduk Miskin Dari data di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah penduduk miskin baik itu di Kabupaten Mamasa maupun di Kabupaten Polewali Mandar. Hal ini mengindikasikan terbentuknya Kabupaten Mamasa berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Mamasa hal ini disebabkan semakin banyaknya akses-akses ekonomi dan terbukanya lapangan kerja di daerah tersebut.

15 Kontribusi Sektor PDRB Kontribusi masing-masing sektor dalam PDRB dianalisis untuk melihat secara umum dampak pemekaran wilayah terhadap struktur perekonomian daerah. Pada tahun 1998 di Kab. Polewali Mandar (Gambar 6) sektor pertanian menjadi sektor yang paling besar memberi kontribusi terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar yakni sebesar 49 persen, sektor diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan sebesar 18 persen, sektor jasa yang sebesar 11 persen serta sektor industri sebesar 8 persen, ini menandakan bahwa kegiatan perekonomian di Kabupaten Polewali Mandar sangat di dominasi oleh kegiatan sektor pertanian walaupun sektor perdagangan, restoran dan hotel serta sektor jasa dan industri juga sudah mulai berkembang tetapi perannya didalam pembentukan PDRB Kab. Polewali Mandar masih kecil. 5% 5% 18% 3% 1% 11% 8% 0% 49% Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan/Kotruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Sumber data: BPS Kabupaten Kabupaten Polewali Mandar Gambar 6 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar tahun 1998 Kontribusi setiap sektor dalam pembentukan PDRB dianalisis bertujuan untuk mengetahui tren kontribusi setiap sektor pada perekonomian di suatu wilayah sehingga dapat mengindikasi adanya pola perubahan struktur perekonomian wilayah di daerah tersebut.

16 69 3% 3% 0% 3% 3% 12% 0% 14% 62% Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan/Kotruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Sumber data: BPS Kabupaten Mamasa Gambar 7 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Mamasa tahun 2002 Di tahun 2002 di awal pembangunan setelah terbentuknya Kabupaten Mamasa, kontribusi tiap sektor (Gambar 7) dalam pembentukan PDRB tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelum terbentuknya Kab. Mamasa dimana kontribusi sektor pertanian masih sangat besar dengan 62 persen diikuti sektor industri sebesar 14 persen serta sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 12 persen jika dibandingkan dengan Kab. Polewali Mandar (Gambar 8) tidak jauh berbeda, dimana peranan sektor pertanian cukup besar dengan kontribusi sebesar 53 persen diikuti dari sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan 22 persen serta sektor jasa sebanyak 14 persen. 4% 2% 14% 53% 22% 1% 1% 0% 3% Sumber data: BPS Kabupaten Mamasa Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan/Kotruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Gambar 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar tahun 2002 Di tahun 2008 setelah lima tahun terbentuknya Kab. Mamasa kontribusi setiap sektor tidak jauh berbeda di tahun 2002 (Gambar 9), di Kab. Mamasa

17 70 sektor pertanian mempunyai kontribusi terbesar terhadap PDRB sebesar 60 persen mengalami penurunan sebesar 2 persen. Sektor lainnya yang berkontribusi besar lainnya yakni perdagangan sebesar 11 persen mengalami penurunan sebesar 1 persen jika dibandingkan tahun 2002 disebabkan oleh akses ekonomi kurang baik di Kab. Mamasa sektor lainnya yang juga berkontribusi tinggi yakni sektor jasa sebesar 15 persen meningkat 1 persen dibandingkan tahun 2002 disebabkan beralihnya petani yang bekerja di sektor pertanian beralih ke sektor jasa seperti tukang ojeg karena dianggap lebih cepat memperoleh keuntungan. 2% 4% 15% 5% 0% 3%. 11% 0% 60% Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan/Kotruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Sumber data: BPS Kabupaten Mamasa Gambar 9 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Mamasa tahun 2008 Jika dibandingkan dengan Kab. Polewali Mandar tidak jauh berbeda sektor Pertanian (Gambar 10) tetap lebih besar kontribusinya dengan 48 persen mengalami penurunan 5 persen diikuti sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 24 persen yang meningkat sebesar 2 persen dan sektor jasa sebesar 14 persen, selain itu sektor bangunan juga mengalami peningkatan di tahun 2002 sebesar 3 persen kontribusinya terhadap PDRB meningkat menjadi 5 persen di tahun 2008 walaupun peranan tiap sektor tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan Kab. Mamasa tetapi di Kab. Polewali Mandar dapat dilihat bahwa peranan sektor Perdagangan, restoran dan hotel semakin meningkat.

18 71 5% 14% 3% 48% 24% 2% 1% 3% 0% Sumber data: BPS Kabupaten Polewali Mandar Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan/Kotruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Gambar 10 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar Tahun Perkembangan Struktur Ekonomi Wilayah Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) PDRB mencerminkan tingkat perkembangan sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Mamasa sebelum dan sesudah pemekaran. Perkembangan sektor-sektor pembentukan PDRB di Kab. Polewali Mamasa periode telah berkembang tetapi mengalami penurunan ini dilihat dari Tabel 10 dimana nilai IDE diatas 1. Pada periode terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa Perkembangan sektor-sektor pembentuk PDRB Kab. Polewali Mandar telah berkembang dan mengalami peningkatan ini diperoleh dari nilai IDE di tahun 2002 sebesar 1,34 menjadi 1,45 pada tahun 2008, hal ini menunjukkan bahwa sektor dalam PDRB mengalami perkembangan yang lebih baik. Tabel 10 Nilai IDE Kab. Polewali Mamasa tahun Kabupaten Polewali Mamasa 1,62 1,61 1,55 1,55 1,58 1,34 Sumber: BPS Polewali Mandar (setelah diolah) Nilai IDE PDRB Kab. Mamasa periode mengalami peningkatan yakni pada tahun 2002 sebesar 1,27 meningkat menjadi 1,32 pada tahun 2008 karena nilai IDE diatas 1 menunjukkan bahwa sektor-sektor pembentuk PDRB di Kab. Mamasa cukup berkembang, hal ini menunjukkan

19 72 bahwa perkembangan sektor dalam PDRB di Kab. Mamasa mengalami perkembangan. Tabel 11 Nilai IDE Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun Kabupaten Polewali Mandar 1,34 1,35 1,35 1,36 1,40 1,41 1,45 Mamasa 1,27 1,27 1,29 1,30 1,32 1,29 1,32 Sumber: BPS Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa (setelah diolah) Jika dibandingkan nilai IDE di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa diperoleh bahwa nilai IDE kedua wilayah tersebut meningkat tetapi di Kab. Polewali Mandar lebih stabil peningkatannya dibandingkan Kab. Mamasa yang nilai IDE flukutuatif peningkatannya. Perbandingan laju pertumbuhan IDE terlihat pada Gambar 11, diperoleh bahwa laju pertumbuhan di Kab. Polewali Mandar pada tahun berfluktuasi dan mengalami penurunan yakni pada tahun 1997 sebesar -0,9 persen menjadi -15,6 persen pada tahun Pada periode tahun laju pertumbuhan IDE Kab. Polewali Mandar meningkat dari 0,2 persen di tahun 2003 menjadi 2,8 persen di tahun 2008, jika dibandingkan Kab. Mamasa pada periode tersebut, laju pertumbuhannya berfluktuasi tetapi yakni pada tahun 2003 sebesar 0,2 persen menjadi 2,7 persen pada tahun 2008, dari perbandingan ini diketahui bahwa laju pertumbuhan IDE di Kab. Polewali Mandar lebih baik dibandingkan dengan Kab. Mamasa. 5 0 Laju IDE (persen) Kab. Polewali Mandar Kab. Mamasa -20 Sumber data: BPS Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa (diolah) Gambar 11 Laju Pertumbuhan IDE Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa

20 Indeks Pembangunan Manusia Cara yang paling umum yang digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan manusia adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meliputi lamanya hidup (longevity), pengetahuan/tingkat pendidikan (knowledge) dan standar hidup (decent living). Nilai IPM pada periode tahun diperoleh bahwa di Kab. Polewali Mandar tahun 2004 sebesar 62,06 meningkat menjadi 65,91 pada tahun 2008 sedangkan di Kab. Mamasa tahun 2004 sebesar 66,21 meningkat menjadi 69,79 pada tahun 2008 (Tabel 12), jika dibandingkan nilai IPM diketahui bahwa tingkat pembangunan manusia di Kab. Mamasa lebih baik dibandingkan dengan Kab. Polewali Mandar, hal menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan manusia di Kab. Mamasa lebih baik dibandingkan dengan Kab. Polewali Mandar. Tabel 12 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Kabupaten Indeks Pembangunan Manusia (tahun) Polewali Mandar 62,06 63,28 63,87 64,77 65,91 Mamasa 66,21 67,48 68,72 69,16 69,79 Sumber: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Jika dilihat dari laju pertumbuhan IPM diketahui bahwa di Kab. Polewali Mandar pada periode tahun berfluktuasi dimana pada tahun 2005 sebesar 1,97 persen menjadi 1,76 persen pada tahun 2008 sedangkan di Kab. Mamasa tidak jauh berbeda dimana laju pertumbuhan IPM berfluktuasi yakni pada tahun 2005 sebesar 1,92 persen menjadi 0,91 persen tahun 2008 (Gambar 12), jika dibandingkan laju pertumbuhannya diperoleh bahwa laju pertumbuhan IPM di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa relatif sama.

21 74 2,50 Nilai IPM (persen) 2,00 1,50 1,00 0,50 Kab. Polewali Mandar Kab. Mamasa 0, Sumber Data: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Gambar 12 Laju Pertumbuhan IPM Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa Adapun indikator-indikator di dalam Indeks Pembangunan Manusia dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup merupakan cerminan dari ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, sanitasi lingkungan, pengetahuan ibu tentang kesehatan, gaya hidup masyarakat, pemenuhan gizi ibu dan bayi, dan lain-lain, oleh karena itu angka harapan hidup dapat mewakili indikator lama hidup. Angka harapan hidup untuk Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa dapat terlihat pada Tabel 13. Kabupaten Mamasa memiliki angka harapan hidup pada tahun 2004 sebesar 66,21 meningkat menjadi 69,79 pada tahun 2008, dari hasil perbandingan dapat diketahui bahwa angka harapan hidup masyarakat hidup masyarakat Kabupaten Mamasa lebih baik dari pada masyarakat Kabupaten Polewali Mandar. Tabel 13 Angka Harapan Hidup Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Kabupaten Angka Harapan Hidup (tahun) Polewali Mandar 63,40 63,50 63,90 64,18 64,44 Mamasa 70,50 70,50 70,70 70,78 70,94 Sumber: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa

22 75 b. Angka Melek Huruf Angka melek huruf adalah proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf latin maupun huruf lainnya. Angka melek huruf Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat pada Tabel 14. Angka melek huruf Kabupaten Mamasa pada tahun 2004 sebesar 80,60 dan mengalami peningkatan sebesar 84,62 pada tahun 2008, jika dibandingkan dengan angka melek huruf di Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 2004 sebesar 80,80 meningkat menjadi 84,62. Terlihat pada tahun 2004 angka melek huruf di Kabupaten Polewali Mandar lebih tinggi tetapi dalam perkembangan pada tahun 2008 angka melek huruf Kabupaten Mamasa lebih tinggi dari Kabupaten Polewali Mandar. Tabel 14 Angka Melek Huruf Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Kabupaten Angka Melek Huruf (tahun) Polewali Mandar 80,80 81,30 82,06 82,59 83,50 Mamasa 80,60 81,10 83,10 84,10 84,62 Sumber: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa c. Rata-rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Nilai rata-rata lama sekolah di Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat pada Tabel 15, terlihat bahwa ratarata lama sekolah di Kabupaten Mamasa pada tahun 2004 sebesar 5,40 lebih tinggi dibandingkan Kabupaen Polewali Mandar sebesar 5,70 tetapi pada tahun 2008 rata-rata lama sekolah di Kabupaten Mamasa lebih rendah dengan rata-rata lama sekolah sebesar 6,38 sedangkan Kabupaten Polewali Mandar sebesar 6,81. Tabel 15 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Kabupaten Rata-rata Lama Sekolah (tahun) Polewali Mandar 5,40 5,60 5,80 6,31 6,81 Mamasa 5,70 5,80 6,38 6,38 6,38 Sumber: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa

23 76 d. Pengeluaran Perkapita Riil Pengeluaran perkapita riil merupakan gambaran pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Terlihat pada Tabel 16 menunjukkan tingkat pengeluaran perkapita riil Kabupaten Mamasa pada tahun 2004 sebesar rupiah lebih rendah jika dibandingkan Kabupaten Polewali Mandar sebesar rupiah tetapi pada tahun 2008 tingkat pengeluaran perkapita riil Kabupaten Mamasa sebesar rupiah lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Polewali Mandar sebesar rupiah ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat di Kabupaten Mamasa pada tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Polewali Mandar. Tabel 16. Pengeluaran Perkapita Riil Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa (ribu rupiah) Kabupaten Pengeluaran Perkapita Riil Polewali Mandar 604,00 615,40 618,50 619,30 624,77 Mamasa 603,90 618,00 621,19 623,60 629,19 Sumber: BPS Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa Analisis Regresi Peubah Dummy: Model Pengaruh Pemekaran Wilayah Terhadap PDRB Non Migas Dari hasil analisis regresi peubah dummy untuk pengaruh PAD, Belanja Langsung dan Jumlah Penduduk, interaksi PAD dengan dummy wilayah, interaksi belanja langsung dengan dummy wilayah serta interaksi Jumlah penduduk dengan dummy wilayah terhadap peningkatan PDRB Non Migas dengan dummy wilayah yakni daerah induk yakni Kab. Polewali Mandar (0) dan daerah otonom baru yakni Kab. Mamasa (1), dari persamaan regresi dengan peubah dummy diperoleh model Ln PDRB = 34, ,106 LnPAD + 0,104 LnBL + 0,128 LnJP 0,005 LnPAD*Dummy 0,005 LnBL*Dummy 0,012 LnJP*Dummy 0,138 Dummy. 1. Uji kesesuaian Model Sebelum data tersebut diregresikan terlebih dahulu antara tiap peubah dikorelasikan untuk menghidari terjadinya korelasi yang sangat tinggi antar satu peubah, setelah antar peubah di kolerasikan ternyata diperoleh peubah yang punya korelasi yang tinggi yakni PAD dengan Jumlah Penduduk dan korelasi yang

24 77 tinggi antara Dummy wilayah dengan PAD serta Dummy wilayah dengan jumlah penduduk, hal ini mengindikasi terjadinya moltikolinearitas. Dari hasil estimasi menunjukkan R-square (R 2 ) atau koefisien determinasi sebesar 0,98 persen artinya bahwa 98 persen keragaman tingkat PDRB Non Migas dapat dijelaskan oleh variabel bebas (PAD, Belanja Langsung dan Jumlah Penduduk, interaksi antara PAD dengan Dummy, interaksi Belanja Langsung dengan Dummy, interaksi Jumlah Penduduk dengan Dummy dan Dummy wilayahnya sendiri) sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Untuk uji signifikansi tiap variabel dengan taraf nyata persen. Pada taraf nyata persen tidak ada satupun koefisien regresi yang signifikan dimana nilai p lebih besar dari persen serta total VIF lebih besar dari 10, hal ini mengindikasi bahwa terdapat multikolinearitas dalam model persamaan regresi. 2. Evaluasi Model Untuk menghilangkan multilkolinearitas pada model tersebut maka digunakan analisis principal component. Dari analisis principal component yang dilakukan diperoleh eigenvalue, yang merupakan nilai varian komponen utama. Dari output eigenvalue untuk komponen utama pertama (PC1) adalah 6,0511, eigenvalue dari komponen utama mewakili 80 persen dari seluruh variabilitas, ini berarti apabila tujuh variabel (PAD, Belanja Langsung, Jumlah Penduduk, interaksi PAD dengan Dummy, interaksi Belanja Langsung dengan Dummy, interaksi Jumlah Penduduk dengan Dummy dan Dummy wilayahnya sendiri) direduksi menjadi satu variabel, maka variabel baru dapat menjelaskan 86 persen dari total variabilitas keempat variabel. Hasil regresi antara PDRB terhadap satu variabel yang merupakan hasil reduksi tujuh peubah bebas diperoleh hasil uji signifikansi dengan uji-t dengan taraf nyata persen menunjukkan nilai statistik probabilitas t statistik yakni nilai p = 0,000 lebih kecil dari persen, hal ini menunjukkan bahwa semua peubah bebas (PAD, Belanja Langsung, Jumlah Penduduk, Interaksi PAD terhadap Dummy, Interaksi Belanja Langsung terhadap Dummy, Interaksi Jumlah Penduduk dengan Dummy dan Dummy ) berpengaruh nyata terhadap PDRB, hal ini mengindikasi bahwa tidak ada lagi multikolinearitas dalam model persamaan

25 78 regresi. Dari output persamaan regresi diperoleh DW 0,78 artinya karena nilai DW mendekati 2 maka dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi. Analisis signifikansi koefisien parsial baku regresi komponen utama disajikan pada Tabel 17 yang memperlihatkan bahwa Ln PAD, Ln Belanja Langsung, Ln Jumlah Penduduk, serta Dummy pemekaran nyata secara statistik pada taraf nyata. Tabel. 17. Analisis signifikansi koefisien regresi parsial Simpangan Baku Koefisien thitung Keterangan Ln PAD 0, , ,94548 signifikan Ln BL 0, , ,11740 signifikan Ln JP 0, , ,28296 signifikan Ln PAD*Dummy 0, , ,82773 tidak signifikan Ln BL*Dummy 0, , ,77399 tidak signifikan Ln JP*Dummy 0, , ,77354 tidak signifikan Dummy 0, , ,76950 signifikan Data: diolah (2011) Interpretasi Berdasarkan hasil persamaan regresi dengan peubah dummy, variabelvariabel yang signifikan pada taraf nyata alpha 0,05 yaitu PAD, Belanja Langsung, Jumlah penduduk dan Dummy daerah pemekaran, hal ini mengindikasi bahwa peningkatan PAD, belanja langsung, dan jumlah penduduk dapat meningkatkan PDRB Non Migas. PAD memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dimana nilai dari t hitung sebesar 17,945 lebih besar daripada nilai t tabel yakni sebesar 2,776. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan PAD sebesar satu rupiah mampu meningkatkan PDRB Non Migas sebesar 0,106 rupiah dimana faktor lain dianggap tetap atau ceteris paribus. Peningkatan pembangunan di suatu di daerah dapat dilihat dari sejauh mana kemampuan pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang di wilayah tersebut, karena semakin meningkatnya pendapatan asli daerah menambah sumber pembiayaan pembangunan yang mana peruntukkan dapat digunakan untuk perbaikan

26 79 infrastruktur mampu mendorong berjalannya kegiatan ekonomi di wilayah tersebut sehingga peningkatan nilai PDRB juga meningkat. Belanja langsung memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dimana nilai dari t hitung sebesar 24,117 lebih besar daripada nilai t tabel yakni sebesar 2,776, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan belanja langsung sebesar satu rupiah mampu meningkatkan PDRB non migas sebesar 0,104 rupiah dimana faktor lain dianggap tetap atau ceteris paribus. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap unsur lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan segaian lain untuk kegiatan pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, maka PDRB Non Migas juga meningkat. Jumlah Penduduk memiliki pengaruh yang signifikansi pada taraf nyata 5 persen dimana nilai dari t hitung sebesar 19,283 lebih besar daripada nilai t tabel yakni sebesar 2,776. Hal ini mengindikasi bahwa peningkatan jumlah penduduk sebesar 1 orang mampu meningkatkan PDRB Non Migas sebesar 0,128 rupiah, dimana faktor lain dianggap tetap atau ceteris paribus, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Adam Smith yakni dengan didukung bukti empiris bahwa pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Penambahan penduduk tinggi yang diiringi dengan perubahan teknologi akan mendorong tabungan dan juga penggunaan skala ekonomi di dalam produksi. Penambahan penduduk merupakan satu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur penting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan jumlah penduduk sebagai pelaku

27 80 kegiatan ekonomi mampu meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu wilayah sehingga PDRB Non Migas mengalami peningkatan. Dari interaksi dummy pemekaran terhadap PAD, Belanja Langsung dan Jumlah Penduduk diperoleh tidak satupun yang signifikan ini menunjukkan bahwa pengaruh PAD, Belanja Langsung dan Jumlah Penduduk yang diinteraksikan dengan dummy daerah pemekaran tidak berpengaruh terhadap PDRB Non Migas. Variabel dummy daerah pemekaran Kab. Mamasa (daerah otonom baru) dan Kab. Polewali Mandar (daerah induk) berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen, dimana t hitung sebesar -20,770 lebih besar daripada nilai t tabel yakni sebesar 2,776 karena koefisien Dummy negatif sebesar -0,138 artinya pengaruh pememkaran wilayah terhadap pembangunan ekonomi (PDRB Non Migas) di Kab. Polewali Mandar lebih besar dibandingkan dengan Kab. Mamasa Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Persepsi Stakeholder di Kab. Mamasa Untuk mengetahui dampak pemekaran wilayah terhadap pembangunan ekonomi digunakan data primer untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan yang ada di Kab. Mamasa tentang perubahan pembangunan ekonomi sebelum dan setelah terbentuknya Kab. Mamasa. Persepsi stakeholder diperoleh dari legislatif, eksekutif dan masyarakat dimana hal mendasar yang ingin diketahui perubahannya yakni dari aspek pendapatan daerah, pendapatan asli daerah, peluang usaha informal, pertumbuhan ekonomi dan jasa, adanya lapangan kerja baru, pendapatan masyarakat serta program pengentasan kemiskinan. Dari persepsi masyarakat, legislatif dan ekskutif diperoleh bahwa kondisi pembangunan ekonomi sebelum dan setelah terbentuknya Kab. Mamasa mengalami perubahan lebih baik, ini dilihat dari perbedaan kondisi sebelum dan setelah yang positif pada semua aspek yang dikaji (Tabel 18). Pendapatan daerah menurut persepsi masyarakat, eksekutif dan legislatif meningkat, dimana perubahan sebelum dan setelah berdasarkan persepsi masyarakat lebih rendah dibandingkan persepsi eksekutif dan legislatif ini menunjukkan bahwa perubahan pendapatan daerah sebelum dan setelah pemekaran belum mengalami peningkatan yang cukup baik. Jika diihat dari

28 81 pendapatan asli daerah berdasarkan persepsi masyarakat, eksekutif dan legislatif mengalami peningkatan tetapi persepsi masyarakat sama besarnya dengan persepsi legislatif dan lebih besar dibandingkan persepsi eksekutif ini menunjukkan perubahan pendapatan daerah sebelum dan setelah terbentuknya Kab. Mamasa mengalami peningkatan yang cukup baik. Terjadinya peningkatan pendapatan daerah sangat dipengaruhi oleh adanya dana alokasi dari pusat dimana sebelum terbentuknya Kab. Mamasa alokasi dana tersebut sangat kecil. Pendapatan asli daerah juga mengalami peningkatan walaupun masih relatif kecil, hal ini disebabkan karena kegiatan ekonomi yang mulai berjalan dengan baik disebabkan perbaikan infrastruktur jalan, peningkatan jasa transportasi, pembangunan pasar selain itu disebabkan kemampuan pemda di dalam mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak dan retribusi daerah. Terbentuknya Kab. Mamasa mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya walaupun peningkatan dari pertumbuhan ekonomi masih relatif rendah ini dilihat dari persepsi masyarakat tentang perubahan pertumbuhan ekonomi sebelum dan setelah terbentuknya Kab. Mamasa yang lebih rendah dibandingkan persepsi eksekutif dan legislatif. Tabel 18 Persepsi stakeholder Mengenai perubahan sebelum dan sesudah Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Ekonomi No Pembangunan Ekonomi Masyarakat Legislatif Eksekutif 1 Pendapatan Daerah 1,5 1,7 2,3 2 Pendapatan Asli Daerah 1,3 1,3 1,0 3 Peluang Usaha Informal 0,9 1,7 1,7 4 Pertumbuhan Ekonomi dan Jasa 1,7 2,0 2,0 5 Adanya Lapangan Kerja Baru 0,8 2,0 1,7 6 Pendapatan Masyarakat 1,2 1,7 1,3 7 Program Pengentasan Kemiskinan 1,1 1,7 1,3 Sumber data: Data Primer Lapangan kerja baru dan peluang usaha formal seiring terbentuknya Kab. Mamasa mengalami peningkatan hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya peluang kerja seperti menjadi PNS dimana penerimaan PNS cukup tinggi di awal terbentuknya Kab. Mamasa selain itu dari sektor informal juga mengalami peningkatan ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojeg, jasa bengkel dan lain-lain sehingga mata pencarian

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PENILAIAN SYARAT TEKNIS I. FAKTOR DAN INDIKATOR DALAM RANGKA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 81 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proses Kebijakan dan Indikator Pemekaran Kabupaten Raja Ampat Dalam pelaksanan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini memilih lokasi di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pertimbangan dipilihnya daerah ini sebagai studi kasus karena Kota Tangerang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pembangunan ekononomi merupakan serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan Smith (2006) pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU www. luwukpos.blogspot.co.id I. PENDAHULUAN Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2001. Pada hakekatnya

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini memaparkan sejarah dan kondisi daerah pemekaran yang terjadi di Indonesia khususnya Kota Sungai Penuh. Menguraikan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014 BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Periode RPJMD Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2013 beserta semua capaian kinerjanya

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode 2010-2015, secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi, dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013 BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA No.01/10/31/75/Th. V, 1 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013 Ekonomi Jakarta Utara Tahun 2013 tumbuh 5,80 persen. Pada tahun 2013, besaran Produk

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 TABEL-TABEL POKOK Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 Tabel 1. Tabel-Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lamandau Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mamasa sebagai wilayah pemekaran dari Kabupaten Polewali Mandar (Gambar 2). Waktu Pelaksanaan Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Reformasi yang telah terjadi membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DALAM WILAYAH KABUPATEN KOTABARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

3. Kondisi Ekonomi Makro Daerah

3. Kondisi Ekonomi Makro Daerah Data capaian IPM Kabupaten Temanggung tahun 2013 belum dapat dihitung karena akan dihitung secara nasional dan akan diketahui pada Semester II tahun 2014. Sedangkan data lain pembentuk IPM diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup pada tahap subsisten dan mata pencarian utama adalah dari mata. pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan berburu.

I. PENDAHULUAN. hidup pada tahap subsisten dan mata pencarian utama adalah dari mata. pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan berburu. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan fenomena penting yang dialami dunia semenjak dua abad belakangan ini. Dalam periode tersebut dunia telah mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah hasil dari perubahan dalam bidang teknis dan tata kelembagaan dengan mana output tersebut diproduksi dan didistribusikan (Adrimas,1993).

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 No. 01/06/1221/Th. IV, 30 Juli 2012 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2011 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang harus dicapai dalam pembangunan. Adapun salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan adalah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dam masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk kerja sama antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk Perspektif Kabupaten Berau selama 5 tahun ke depan didasarkan pada kondisi objektif saat ini dan masa lalu yang diprediksi menurut asumsi cetiris paribus. Prediksi dilakukan terhadap indikator-indikator

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015 RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015 Oleh: BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KABUPATEN MALANG Malang, 30 Mei 2014 Pendahuluan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan dari. program-program di segala bidang secara menyeluruh terarah dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan dari. program-program di segala bidang secara menyeluruh terarah dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan dari program-program di segala bidang secara menyeluruh terarah dan berlangsung secara terus-menerus dalam rangka

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci