RANCANGAN PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU (Chelonia mydas)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU (Chelonia mydas)"

Transkripsi

1 RANCANGAN PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU (Chelonia mydas) (KASUS KEPULAUAN DERAWAN) ERNA TRI WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : RANCANGAN PERLINDUNGAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan) merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, 15 Agustus 2007 Erna Tri Wibowo Nrp : P

3 ABSTRACT ERNA TRI WIBOWO. Green Turtle (Chelonia mydas) Habitat s Protection Design. (Case Derawan Archipelago). Coached by DANIEL R. MONINTJA, H.S. ALIKODRA, UNGGUL A and S. BUDIHARSONO. Indonesia s ocean and coast area are important ranging zone and migration route for green turtle (Chelonia mydas) population. Endangered species status and protected by the Government do not prevented capture the turtle and eggs harvesting in Indonesia region. The green turtle exploitation has increased more than 90 percent it population for five decades. The altitudes of exploitation level has accelerated the green turtle extinction speed around the world. The government must immediately change the policy to save green turtle for extinction. This research conducted to analyze the green turtle protection policy which implementation executed by the government trough Technical Unit of the General Directorate for Forest Protection and Nature Conservation. The analysis s result is employed as a protection effect and the green turtle management performance in order to formulate the alternative in the future. The research shows that the prevailing protection policy is not effective because green turtle exploitation occurs in major part of Indonesia region. The research identified this ineffectiveness due to use limited scale of conservation effort by Technical Unit, lack of budget allocation, insufficient facilities, and limited capacity of human resources, as well as. The proposed protection policy alternative exercise a different concept of turtle conservation on opposed to the prevailing effort by goverment. Protection should be aimed ward to turtle habitat (conservation in-situ) by means of Marine Protected Area (MPA). Green turtle management within MPA will restore the population and diminish the human exploitation threat. If several green turtles habitats in all Indonesia region converted to MPA, the green turtles protection will be effective in the form the MPA network. The formulation of protection policy alternative in Derawan Case constructs The Archipelago Derawan MPA. Such formulation resulted in the development of Derawan Marine Protected Area design along with its management direction. Keywords : green turtle, the protection policy, marine protected area, design and direction of marine protected area.

4 ABSTRAK ERNA TRI WIBOWO. Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan). Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, H.S. ALIKODRA, UNGGUL A dan S. BUDIHARSONO. Wilayah perairan laut dan pesisir Indonesia merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting bagi populasi penyu hijau. Status endangered species dan dilindungi Pemerintah tidak menghalangi penangkapan induk dan pemanenan telur di wilayah Indonesia. Eksploitasi penyu hijau ini telah menurunkan populasi > 90 % selama lima dekade. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia. Perubahan kebijakan pemerintah harus segera dilakukan untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan. Penelitian dilakukan untuk menganalisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis lingkup Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Hasil analisis digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang. Hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan perlindungan tidak efektif karena eksploitasi penyu hijau terjadi di sebagian besar di wilayah Indonesia. Kegiatan pengawetan hanya dilakukan oleh sebagian kecil Unit Pelaksana Teknis. Kelemahan manajerial karena kekurangan alokasi dana, sarana-prasarana yang minim dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola penyu hijau. Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda dengan perlindungan yang selama ini dilaksanakan Pemerintah. Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut. Pengelolaan penyu hijau di dalam Kawasan Konservasi Laut akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan Kawasan Konservasi Laut maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring Kawasan Konservasi Laut. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan pada kasus Kepulauan Derawan. Rumusan yang dihasilkan terdiri dari Rancangan Pengembangan Kawasan Konservasi laut Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Kata Kunci : penyu hijau, kebijakan perlindungan, kawasan konservasi laut, rancangan dan arahan pengelolaan.

5 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

6 RANCANGAN PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU (Chelonia mydas) (KASUS KEPULAUAN DERAWAN) ERNA TRI WIBOWO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. 2. Dr. Ir. Tine Gunawan, M.Sc.

8 Judul Disertasi : Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan) Nama Mahasiswa : Erna Tri Wibowo NRP : P Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Daniel R. Monintja Ketua Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S. Anggota Dr. Unggul Aktani Anggota Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 15 Agustus 2007 Tanggal Lulus : 31 Agustus 2007

9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia rahmat dan lindungan-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian tentang Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan) dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga Penelitian ini merupakan kelanjutan tema penyu hijau dalam Tesis (S2) yang berjudul : Studi Pemanfaatan Penyu Hijau (Chelonia mydas) dalam Kaitan dengan Upaya Pelestarian di Kabupaten Badung, Propinsi Bali tahun Pemilihan topik berkaitan dengan isu kepunahan penyu hijau yang memerlukan penanganan segera dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait. Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Daniel R. Monintja selaku Ketua Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS., Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Dr. Unggul Aktani, masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan; dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada : Ibunda Hj. Istiti dan Hj. Istiyarti atas dukungan dan doa restu yang diberikan selama ini. Suami Ir. Tri Wibowo dan anak-anak: Ria, Madi, Faris, Dita dan cucunda Naznin yang telah memberi dukungan moril serta telah sabar menunggu penyelesaian studi S3. Adinda Partomo yang telah membantu selama penelitian. Saran dan masukan masih diperlukan untuk meningkatkan kualitas penulis dalam bidang keilmuan yang selama ini ditekuni. Semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi upaya konservasi di Indonesia. Bogor, 15 Agustus 2007 Erna Tri Wibowo

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Mei 1956 di Surabaya sebagai anak pertama dari Bapak Tatok Soekadi (Alm) dan Ibu Istiti Ismonosiwi. Pada tahun 1981 menikah dengan Ir. Tri Wibowo dan dikarunia tiga orang anak. Pendidikan S1 di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang diselesaikan pada tahun 1982; Pendidikan S2 yang ditempuh pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang diselesaikan pada tahun 1991; Pendidikan S3 ditempuh di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor sejak tahun akademik 2000/2001. Konservasi merupakan bidang yang diminati penulis sejak pendidikan S1 hingga S3. Penelitian untuk skripsi S1 berjudul: Studi tentang peran vegetasi terhadap populasi satwa burung air dan kalong di Cagar Alam Rambut Kepulauan Seribu. Penelitian untuk tesis S2 berjudul : Studi Pemanfaatan Penyu Hijau dalam kaitan dengan upaya pelestarian di Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Penelitian untuk disertasi S3 berjudul : Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan). Penulis pernah aktif di beberapa LSM dan terakhir pada LSM Sukabumi Berkah Abadi yang berupaya mendirikan Pusat Penelitian dan Pengkajian Penyu Laut di Kabupaten Sukabumi.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... x 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian ManfaatPenelitian Novelty (Kebaruan) TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diskripsi Penyu Hijau Klasifikasi Karakteristik Siklus hidup Perilaku penyu Perilaku harian Perilaku kawin Perilaku migrasi Habitat Status penyu hijau Kondisi Populasi Penyu Hijau Eksploitasi Penyu Hijau di Indonesia Ancaman Kepunahan Penyu Hijau Penanganan Ancaman Kepunahan Spesies Konservasi Penyu i

12 2.6.1 Sejarah konservasi penyu dunia Program konservasi penyu di tingkat internasional Kajian Peraturan Perundangan Berkaitan dengan 37 Konservasi Penyu Alternatif Pengelolaan Penyu Hijau Konsep konservasi in-situ Konsep daerah perlindungan laut (marine protected area) Suaka Laut (Marine Reserve) Cagar Biosfir (Biosphere Reserves) Daerah perlindungan yang ada di Kepulauan Derawan Konsep ecoregion Perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Pengelolaan secara Kolaboratif METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Metode Analisis Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau Alternatif perlindungan penyu hijau 60 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Pengelola Penyu Hijau di Indonesia Kepulauan Derawan Kondisi umum Iklim Oseanografi Keanekaragaman hayati dan ekosistem Keanekaragaman hayati Ekosistem Perikanan Sosial ekonomi ii

13 Desa Derawan Desa Payung-Payung Desa Balikukup Pengusahaan telur penyu hijau HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau Pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau Karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau Memperbandingkan setiap UPT dalam mengelola penyu hijau Penilaian Kondisi Populasi Penyu Hijau Balai Taman Nasional Meru Betiri Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur Balai Taman Nasional Alas Purwo ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU 6.1 Pendekatan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan Tujuan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Keterkaitan dengan perencanaan regional/ propinsi/ kabupaten Keberadaan habitat penyu hijau dalam penentuan batas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Pendapat pakar sebagai bahan pembanding dalam penentuan prioritas konservasi di Kepulauan Derawan Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Status kawasan iii

14 6.4.2 Rencana kegiatan pengelolaan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berbasis masyarakat KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Saran Ditujukan pemerintah Ditujukan pada para peneliti DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN iv

15 DAFTAR TABEL Tabel Teks Halaman 1 Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas Rancangan Marine Protected Areas Karakteristik ketiga tipe pengelolaan Matriks penentuan peringkat tindakan konservasi Pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan Terumbu karang di Kepulauan Derawan Luas padang lamun di Kepulauan Derawan Penutupan dan jenis tumbuhan pada ekosistem lamun di Kepulauan Derawan Sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan Produktivitas setiap jenis ikan di Kabupaten Berau tahun Komposisi penduduk Desa Derawan berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin Mata pencaharian penduduk Desa Derawan di bidang jasa dan perdagangan Sejarah pengusahaan telur penyu di Kepulauan Derawan Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar Strategi konservasi Desa Derawan, Payung-Payung, Balikukup di Kepulauan Derawan v

16 DAFTAR GAMBAR Gambar Teks Halaman 1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian Kedua sub-spesies penyu hijau (Chelonia mydas) 11 3 Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) Karakteristik anatomi penyu hijau Siklus hidup penyu laut Posisi tubuh penyu hijau ketika bertelur Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di dunia Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu Penangkapan induk penyu secara berlebihan Akibat dari pemanenan telur penyu Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut Diagram konservasi penyu hijau Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Derawan Posisi Kepulauan Derawan pada Peta Keragaman Biota Karang dan Ecoregion Sulu-Sulawesi Proses perencanaan konservasi dengan empat komponen Hirarki derajat pengaturan pengelolaan co-management Skema perubahan pengelolaan berbasis pemerintah menuju pengelolaan berbasis masyarakat Skema proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan vi

17 24 Proses perencanaan konservasi dengan kerangka 5-S Diagram alir analisis ancaman dan peluang (analysis of threats and opportunities) Wilayah studi (BTN dan BKSDA) Ditjen PHKA Wilayah studi di 50 UPT yang memiliki wilayah pesisir Peta wilayah studi Kepulauan Derawan Pulau Maratua dan Pulau Sambit yang pernah menjadi sengketa anatar Indonesia dengan Malaysia Peta Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) Profil dari karang tepi, karang penghalang dan karang cincin Ekosistem lamun (seagrasses) Formasi vegetasi di ekosistem mangrove Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan Peta sebaran daerah peneluran penyu di Kepulauan Derawan Pengusahaan pemanenan telur penyu oleh CV. Derawan Penyu Lestari Pedagang telur penyu di Jalan Gajah Mada Samarinda Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan Struktur organisasi UPT tipe A, B, C Karakteristik pengelolaan penyu hijau Karakteristik ancaman pengelolaan penyu hijau Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference karakteristik pengelolaan dan ancaman Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference zona dan karakteristik pengelolaan Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi vii

18 49 Visualisasi koordinat 4 dimensi dari lembaga UPT setelah dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan ancaman Peta sebaran nesting site penyu hijau di Indonesia Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kepulauan Derawan Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo Penyu hijau sebagai species target bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan Peta bathimetry Kepulauan Derawan Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau Peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan hasil penilaian pakar Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan dari hasil diskusi secara partisipatif viii

19 70 Tumpang tindih Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Derawan Peta kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan ix

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Teks Halaman 1 Analisis CATREG - Regression for Categorical Data Analisis Hierarchical Clustering Analisis Multidimensional Scaling (MDS) Analisis Time Series Perencanaan Konservasi Setempat (Site Conservation Planning) The Analytical Approach Qoestionnaires untuk Pengelola Penyu x

21 Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> km2) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut. Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan, kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara periodik ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan melewati batas negara. Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu bermigrasi melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di perairan tropis dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona Atlantic Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga 67% selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda halnya dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast Asia, penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10 tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically endangered species. Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana Putra (1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau.

22 2 Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi (Montimer, 1995). Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan penyu hijau yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demikian halnya dengan tata niaga penyu dengan biaya transaksi yang tinggi masih berlangsung sebagai black market di daerah Tanjung Benoa Bali. Pemerintah Indonesia melalui instansi-instansi terkait, seperti: Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan perlindungan jenis-jenis yang terancam punah, seperti: Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati melalui Undang- Undang No. 5 tahun 1994, Ratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978; Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 8 tahun Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah melindungi penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain di wilayah Indonesia. Sejak tahun 1999 eksploitasi penyu hijau termasuk kegiatan ilegal. Status endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES serta penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Keikutsertaan Indonesia di berbagai konvensi internasional (CITES tahun 1978, Ramsar tahun 1991 dan Keanekaragaman Hayati tahun 1994), pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan sebagai management outhority flora dan fauna. Pengelolaan penyu hijau didasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 sebagai kegiatan konservasi spesies Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan.

23 3 Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi penyu hijau. Untuk penyelamatan penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan penyu hijau di masa datang. Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal PHKA baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Balai Taman Nasional (BTN). Hasil analisis kebijakan diperlukan untuk pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam rangka perumusan alternatif perlindungan penyu hijau. Alternatif perlindungan penyu hijau diarahkan pada perlindungan habitat. Perumusan alternatif perlindungan penyu hijau dipilih Kepulauan Derawan karena memiliki nesting area penyu hijau tertinggi di Indonesia, sebagai daerah pengembaraan penting dalam jalur/ lintasan migrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia; dan terjadi penurunan populasi penyu hijau hebat hingga > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Wilayah Kepulauan Derawan akan dirancang Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan KKL maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring KKL. 1.2 Perumusan Masalah Secara garis besar permasalahan disajikan pada Gambar 1 tentang diagram kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan yang menjadi pokok pembahasan ada tiga, yakni: regulasi, penyu hijau dan permasalahan kebijakan.

24 4

25 5 (1) Penyu hijau (a) Habitat Penyu hijau memiliki kebiasaan bermigrasi dan mampu menempuh perjalanan jauh hingga ribuan kilometer. Habitat spesies migran ini dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni: habitat feeding, breeding dan migratory (Donovan, 1995). Habitat penyu hijau sulit diketahui karena sebagian besar siklus hidup penyu berada di laut lepas, namun habitat feeding dan habitat breeding dapat dipetakan. Keduanya mudah dikenali karena terletak berdekatan, yakni: perairan laut dangkal dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih dengan solum tebal dan tekstur kecil. (b) Populasi Di alam populasi penyu hijau mengalami pemangsaan predator, serangan penyakit, kerusakan habitat, kematian akibat penggunaan alat tangkap nelayan dan pencemaran laut, penangkapan induk, pemanenan telur. Eksploitasi terhadap populasi penyu berupa penangkapan induk dan pemanenan telur menempati proporsi tertinggi. Ancaman manusia memberi tekanan di sepanjang hidup penyu baik masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Penurunan populasi penyu hijau tertinggi berada di wilayah Indonesia yakni mencapai > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia. (2) Regulasi (a) Tingkat internasional Secara internasional penyu hijau telah digolongkan sebagai endangered species dalam Red Data Book (IUCN, 2003) yang didefinisikan sebagai suatu taxon yang beresiko punah dalam waktu dekat (Jones et al. 2000). Dalam CITES dikategorikan dalam Appendix I berarti spesies yang dilarang diperdagangkan secara internasional. Namun demikian regulasi internasional lainnya yakni: Convention on Biodiversity (CBD) dan UNCLOS mendukung dilakukan perlindungan habitat. Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan bahwa negara wajib melindungi ekosistem yang langka dan mudah rusak yang

26 6 merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan alaminya. (b) Tingkat nasional Pemerintah Indonesia telah melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun Sejak tahun 1999 semua bentuk eksploitasi penyu hijau menjadi kegiatan ilegal. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, pemerintah berkewajiban melaksanakan konservasi spesies penyu hijau. (c) Tingkat kabupaten Pada tingkat kabupaten, penyu hijau dijadikan obyek pajak. Kebijakan privatisasi pemanenan telur penyu memberi masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa kabupaten. Pengusahaan telur penyu menimbulkan konflik kepentingan antar lembaga pemerintah. (d) Tingkat lokal Di tingkat lokal populasi penyu hijau berada pada situasi open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968). Sebagai contoh penangkapan induk penyu di laut lepas maupun di pantai dengan leluasa dilakukan masyarakat lokal/ nelayan, demikian halnya dengan pengunduhan telur penyu yang dianggap sebagai benda temuan di pantai. (3) Permasalahan kebijakan (a) Kebijakan perlindungan yang tidak efektif Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun Penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain dilindungi di wilayah Indonesia. Status

27 7 endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES secara internasional dan penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Setelah delapan tahun pemerintah mengimplementasikan perlindungan penyu hijau. Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Karenanya dilakukan analisis kebijakan terhadap pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah. Ancaman kepunahan semakin nyata jika pemerintah tidak segera merubah kebijakan perlindungan penyu hijau. (b) Ancaman Kepunahan Ancaman kepunahan penyu hijau sebagai akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain: a) Aspek ekologi Hilangnya kemampuan reproduksi populasi Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies penyu hijau. Kerusakan habitat Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding penyu hijau yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah

28 8 menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi penyu hijau yang berakibat ancaman kepunahan. b) Aspek sosial Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi penyu hijau di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan penyu hijau. Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat. c) Aspek ekonomi Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi penyu hijau yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi. d) Aspek budaya Persepsi masyarakat tentang penyu hijau menyebabkan rendahnya dukungan terhadap upaya konservasi penyu hijau. Umumnya eksploitasi penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat.

29 9 1.3 Tujuan Penelitian 1) Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA. 2) Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan; Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik yang diarahkan pada penilaian tentang efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau, dan kondisi populasi penyu. Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang. Alternatif perlindungan penyu hijau yang menggunakan konsep berbeda dimana perlindungan diarahkan pada habitat penyu. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. 1.5 Manfaat Penelitian 1) Sebagai pertimbangan pemerintah dalam mengupayakan konservasi penyu hijau di masa datang dan memberi informasi kepada pihak-pihak yang terkait. 2) Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penyu hijau. 1.6 Novelty (Kebaruan) 1) Konsep perlindungan habitat Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan dilakukan perlindungan habitat. Perlindungan yang diarahkan pada habitat feeding dan breeding akan

30 10 memulihkan populasi penyu hijau dan mengurangi ancaman kepunahan. Perlindungan habitat bagi spesies langka dan terancam kepunahan dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut. Jika habitat-habitat penting penyu hijau di Indonesia dialokasikan sebagai KKL maka pengelolaan penyu hijau akan berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara meluas dan efektif. 2) Proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) secara partisipatif Perencanaan KKL Kepulauan Derawan menggunakan Site Conservation Planning (The Nature Conservancy, 2003). Metode ini pernah digunakan di TN Lore Lindu dan TN Tesso Nilo yang keduanya berada di daratan. Didasari oleh kerangka 5-S (systems, stresses, sources, strategies, success) dilaksanakan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna sumberdaya alam. Proses diskusi yang terarah dengan prosedur sederhana dan alat peraga memudahkan pengumpulan data/ informasi. Melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan merupakan pendekatan bottom-up dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai obyek atau diabaikan harapan dan keinginannya. Proses perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini mempermudah implementasi strategi konservasi karena dukungan/ sambutan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi konservasi yang dimengerti dan diterima masyarakat (legitimate).

31 Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diskripsi Penyu Hijau Klasifikasi Penyu hijau adalah satu dari ke tujuh jenis penyu laut yang sebagian besar hidupnya berada di laut. Penyu hijau dapat dijumpai di perairan laut tropis dan sub tropis (Marquez, 1990; Bowen et al. 1992) antara 20 0 Lintang Utara hingga 20 0 Lintang Selatan (Marquez, 1990). Namun secara individual penyu hijau dijumpai di perairan temperate (Cogger et al. 1993). Crite (2000) mengklasifikasikan penyu hijau, sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Ordo Familia Genus Species Sub-species : Animalia : Chordata (Vertebrates) : Reptilia (Reptiles) : Testudinata (Turtle and Tortoises) : Chelonida (True Sea Turtles) : Chelonia : Chelonia mydas : Chelonia mydas mydas Chelonia mydas agassizii Penyu hijau terdiri dari dua sub-spesies yakni : Chelonia mydas mydas yang berwarna hijau dan Chelonia mydas agassizii yang berwarna hitam (Eastern Pacific green turtle) (Gambar 2). Gambar 2. Kedua sub-spesies penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : Crite, 2000)

32 12 SeaWorld/ Busch Gardens Animals ( menerangkan bahwa sebaran penyu hijau (Chelonia mydas mydas) di Lautan Atlantik, Teluk Mexico, sepanjang pantai Argentina, Laut Mediteran dan Indo- Pasifik; dan sebaran penyu hitam (Chelonia mydas agassizii) di pantai Barat Amerika Utara dan Selatan dan mulai pertengahan Baja California hingga Peru. Gambar 3. Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : SeaWorld/ Busch Gardens Animals) Karakteristik Morfologi penyu hijau dijelaskan dalam Nowell (2003), bahwa: penyu hijau dewasa berwarna antara hijau pudar hingga coklat kemerah-merahan hingga hitam pada cangkang bagian atas (carapace), cangkang bagian sisi bawah (plastron) berwarna kuning keputihan, memiliki anggota badan yang menyerupai pedal untuk berenang, bagian kepala berukuran kecil bila dibandingkan dengan bagian badan secara keseluruhan, ekor penyu jantan lebih panjang bila dibandingkan dengan penyu betina, panjang karapas sekitar 1 meter dengan berat rata-rata 180 hingga 205 kg (maksimal 286 kg).

33 13 Gambar 4. Karakteristik anatomi penyu hijau (Sumber : Pitchard dan Montimer, 1999) Pitchard dan Montimer (1999) menerangkan bahwa penyu hijau memiliki ciri khusus, antara lain: (1) cangkang yang halus berbentuk oval; warna coklat kehijauan pada bagian atas karapas (carapace) dengan panjang 120 cm dan kuning keputihan pada bagian bawah cangkang (plastron); empat pasang scute di bagian samping dan lima scute di bagian tengah; dua prefrontal scales; dan kuku kecil yang tajam pada dua anggota badan bagian depan; (2) kepala berada di bagian depan yang panjangnya 15 cm, ada sepasang ruas prefrontal, empat pasang ruas postorbital dan kuku pada setiap anggota badan (flipper) bagian depan. Pada anakan memiliki : karapas dengan ciri khusus dimana panjang 49 mm hingga 46 mm yakni lapisan cembung menyerupai tulang muda dengan tiga warna yang kontras; bagian bawah (plastron) berwarna putih; dan bagian kepala berwarna hitam atau mendekati hitam dengan empat pasang ruas postorbital dan empat pasang costal scutes Siklus hidup Sejak ditetaskan anak penyu (juvenile) mulai mengembara di laut lepas hingga sepanjang umurnya ± 50 tahun. Setelah dewasa, selalu berada di perairan

34 14 laut (benthic feeding zone) hingga bertemu pasangannya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang dan bertelur. Dalam interval waktu ± 2 minggu penyu betina akan bertelur kembali di pantai yang sama. Selanjutnya penyu akan kembali ke perairan laut hingga musim kawin tiba. Para ahli menyebut periode pertumbuhan penyu hingga dewasa pada masa pengembaraan ini sebagai waktu yang hilang (Carr, 1967 dan Frick, 1976 disarikan dalam Carr, 1980). Perilaku penyu ini divisualisasilan oleh Colin J. Limphus pada Gambar 5 berikut ini. Gambar 5. Siklus hidup penyu laut (Sumber : Colin J. Limphus, Press. Com.) Pertumbuhan anakan penyu menuju usia dewasa memiliki survival rate yang rendah. Menurut Ehrenfeld (1974) hanya 1 hingga 3 persen anakan penyu yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Selama siklus hidupnya penyu di laut memerlukan ketahanan hidup yang tinggi terhadap pemangsaan predator, keterbatasan makanan, serangan hama penyakit serta polusi air laut, perubahan lingkungan serta dieksploitasi manusia. Kehidupan penyu hijau memiliki ciri yang sama dengan jenis penyu laut lainnya, yakni: pertumbuhan yang lambat untuk sampai usia kedewasaan dan mampu mencapai umur yang panjang (Chaloupka dan Musick, 1997; Hirth, 1997). Waktu yang diperlukan untuk satu generasi dapat diukur dari usia kedewasaan ditambah setengah kali umur produktif (Pianka, 1974).

35 15 Umur dewasa penyu hijau berkisar antara 27 sampai dengan 40 tahun (Seminoff., 2004b). Masa reproduksi diduga berkisar antara 17 hingga 23 tahun (Fitzsimmons et al. 1995). Umur dewasa penyu hijau lebih pendek jika dibudidayakan, yakni 11 sampai dengan 15 tahun dengan berat badan 90 hingga 200 kg (Wood, 1990). Tabel 1. Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau Studi Lokasi Umur penyu dewasa (thn) Sumber informasi A. Hawaiian Archipelago 30 Zug et al B. Australia (ngbr) 30 Limphus dan Walter, 1980 C. Australia (sgbr) 40 Limphus dan Chaloupka, 1997 D. Florida 30 Mendonca, 1981 E. Florida 27 Frazer dan Ehrhart, 1985 F. U.S. Virgin Islands 33 Frazer dan Ladner, 1986 G. Ascension Island 35 Frazer dan Ladner, 1986 H. Costa Rica 26 Frazer dan Ladner, 1986 I. Suriname 36 Frazer dan Ladner, 1986 Sumber : Seminoff (2004b) Perilaku penyu Perilaku harian Umumnya penyu berada di habitat bentik (benthic habitats) yakni perairan laut dengan kedalaman di atas 30 cm. Anakan penyu adalah karnivora (carnivorous) (Cogger, 2000), ketika dewasa penyu hijau adalah herbivora (herbivorous) dengan jenis tumbuhan rumput laut dan alga (Forbes, 1996; Brand-Gardner et al. 1999; Whiting, 2000; Cogger, 2000). Penyu dewasa juga memakan berbagai jenis tumbuhan di daerah mangrove (Forbes, 1996; Limphus, C.J. dan D.L. Limphus, 2000), seperti telur ikan (Forbes, 1996), ubur-ubur (Limphus et al. 1994) dan karang lunak (Whiting, 2000). Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) menerangkan perilaku makan penyu hijau dan beristirahat memiliki waktu tertentu. Selama musim bertelur penyu laut berada di pantai peneluran dan dangkalan berbatu perairan laut. Selain itu penyu akan bermigrasi hingga ratusan atau ribuan mil. Penyu hijau beristirahat tidur pada permukaan air laut yang dasarnya dengan bebatuan pada perairan dekat pantai.

36 Perilaku kawin Dalam Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) masa kawin mulai meminang hingga kawin dengan periode yang pendek. Jika sampai pada saat bertelur hanya induk betina yang bergerak menuju pantai pada malam hari. Induk penyu membuat sarang dan bertelur, kemudian meninggalkan telur serta kembali ke laut. Perilaku kawin penyu juga diterangkan dalam SeaWorld/ Busch Gardens Animals di dalam ( bahwa: Induk penyu bertelur lima kali setiap musim kawin dengan periode lima tahun. Namun secara individual penyu hijau bertelur sebelas kali setiap musim kawin yang menghasilkan telur sebanyak butir dimana setiap sarang rata-rata 110 butir. Telur penyu berbentuk menyerupai bola pingpong, berwarna keputihan, berdiameter rata-rata 45 mm dengan berat 50 gram. Pada waktu malam hari penyu hijau mendarat di pantai berpasir halus dengan solum yang tebal untuk bertelur. Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) bahwa induk jantan penyu hijau memiliki naluri homing instict yakni kembali ke pantai dimana dia ditetaskan. Masa inkubasi selama 60 hari dengan pemanasan pasir di sekitar sarang yang menumbuhkan embrio. Jika suhu penetasan lebih tinggi akan cenderung menghasilkan jenis kelamin jantan, sebaliknya suhu yang rendah akan menghasilkan jenis kelamin betina. Menurut Pritchard dan Montimer (1999) penyu hijau memiliki ciri khusus ketika bertelur yakni sebagian tubuhnya berada di bawah permukaan pasir pantai (Gambar 6). Gambar 6. Posisi tubuh penyu hijau ketika bertelur (Pritchard dan Montimer, 1999)

37 Perilaku migrasi Penyu hijau bermigrasi jauh untuk tujuan reproduksi dengan mencari makanan dan menemukan pantai peneluran. Seperti halnya penyu laut lainnya, penyu hijau bermigrasi sepanjang hidupnya menuju beberapa lokasi dan habitat pada wilayah yang sangat luas (Hirth., 1997). Ketika anakan penyu hijau hasil penetasan meninggalkan pantai peneluran akan memulai tahap kehidupan selanjutnya di laut (Carr, 1987). Anakan penyu mengapung mengikuti gerakan arus laut dan menyebar ke arah laut lepas (Carr dan Meylan, 1980; Witham, 1991). Setelah beberapa tahun berada pada perairan laut, anakan penyu yang telah agak besar akan berada pada perairan laut yang kaya makanan pada daerah dengan tumbuhan lamun atau alga (Musick dan Limphus, 1997). Tahap berikutnya adalah ketika penyu telah mencapai usia dewasa akan bermigrasi untuk tujuan kawin menuju tempat yang menyediakan makanan dan berada di dekat pantai peneluran selama periode (Hirth, 1997). Perjalanan migrasi penyu ini mampu mencapai jarak ribuan kilometer (Mortimer dan Portier, 1989). Selama masa tidak kawin penyu dewasa akan berada di perairan tempat mencari makan (Seminoff et al. 2003). Di laut terbuka dengan arus yang kuat, penyu dengan tenang hanya mendongakkan kepala beberapa inci di atas permukaan air. Penyu memiliki kemampuan navigasi yang luar biasa untuk menemukan pantai peneluran walaupun dengan jarak tempuh yang panjang. Dalam Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) bahwa perilaku migrasi dan kemampuan navigasi penyu hijau yang merupakan misteri terbesar dari dunia binatang (The Animal Kingdom). Ada teori yang menyatakan kemampuan navigasi penyu hijau ada berkaitan dengan magnet bumi. Sebagai contoh di sebelah Selatan Great Barrier Reef tercatat migrasi penyu dari tempat bertelur mampu mencapai km tetapi rata-rata menempuh 400 km (Limphus et al. 1992). Namun menurut Dizon dan Balazs (1982); Mortimer dan Carr (1984); Liew dan Chan (1992), induk penyu biasanya berada di perairan laut yang berjarak 10 km dari pantai peneluran.

38 Habitat Dalam Wetlands International Indonesia Programme (1996) menerangkan bahwa di perairan laut penyu dapat dijumpai di ekosistem terumbu karang dan lamun. Pada Gambar 7 dapat dilihat rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun dimana penyu merupakan salah satu komponen ekosistem. Gambar 7. Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun (Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996) Kelleher, G. (1999), mengistilahkan habitat kelompok mamalia laut, penyu laut, burung laut dan beberapa spesies endemik sebagai the critical habitat. Donovan (1995) menyebutkan bahwa habitat migratory species terdiri dari tiga yakni: habitat migratory, habitat feeding dan habitat breeding. Keberadaan penyu pada tempat mencari makan (habitat feeding) serta tempat kawin dan

39 19 bertelur (habitat breeding) yang dengan mudah dapat dikenali dan dipetakan. Pada umumnya keduanya terletak berdekatan, yakni: perairan laut dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih, bertekstur kecil dengan solum tebal. Habitat penyu hijau di Indonesia dapat dijumpai di daerah pantai peneluran (nesting area) dan yang mencari makan (feeding ground) seperti yang dilaporkan oleh WWF-Indonesia (2005) pada Gambar 8. Gambar 8. Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia (Sumber : WWF-Indonesia, 2005) Status penyu hijau Dalam Wikipedia (2006), status konservasi suatu spesies merupakan indikator tentang kelangsungan hidup suatu spesies pada saat ini hingga di masa datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang peningkatan maupun penurunan pertumbuhan populasi di sepanjang waktu, tingkat keberhasilan kawin maupun tentang berbagai ancaman. IUCN (2003a), pembentukan IUCN Red List of Threatened Species pada tahun 1963 telah menginventarisasi status konservasi seluruh tumbuhan dan binatang di bumi ini. IUCN Red List merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan spesies dan sub spesies.

40 20 Penyu hijau (Chelonia mydas) beserta keenam jenis penyu laut lainnya dikategorikan sebagai endangered species dalam IUCN Red List. Endangered species adalah spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Menurut Seminoff (2004a) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia, populasi penyu hijau mengalami penurunan 48% hingga 67% selama tiga generasi. Eksploitasi secara berlebihan dan dampak dari aktivitas manusia telah mendorong populasi penyu hijau ke arah kepunahan. Hasil pendugaan Seminoff ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species menurut kriteria A2bd. Pada awal tahun 1970-an penyu hijau masih berstatus Threatened Animals. Setelah proses pengusulan selama tujuh tahun akhirnya pada tahun 1979 The U.S. Endangered Species Act memasukkan penyu hijau sebagai endangered species. Berkaitan dengan perlindungan penyu hijau telah ditandatangani beberapa kesepakatan (convention) internasional, antara lain: The African Convention for the conservation of nature and natural resources yang ditandatangani pada bulan September Convention On International Trade of Endangered Wild Fauna and Flora Species (CITES) yang ditandatangani 140 negara pada 28 Maret Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals yang ditandatangani di Bonn pada 23 Juni Convention on the Conservation of European Wildlife and Natural Habitats yang ditandatangani di Bern pada 19 September EEC Directive on the Conservation of Natural Habitats and Wild Flora and Fauna yang ditandatangani pada 21 Mei 1992 oleh negara France, Greece, Italy dan Spain. Penyu hijau tergolong pada kelompok spesies dalam Annex IV yakni sekelompok spesies yang memerlukan perlindungan secara ketat dengan mencadangkan wilayah yang dilindungi. Convention for The Protection of The Mediterranean Sea Against Pollution yang ditandatangani di Barcelona pada tahun 1976 dan Protocol Concerning Mediterranean Specially Protected Areas yang ditandatangani di Geneva pada tahun 1982.

41 Kondisi Populasi Penyu Hijau Dari data Seminoff (2004a) diketahui bahwa migrasi penyu hijau melintasi 80 negara pada wilayah perairan tropis dan sub tropis. Sebaran penyu hijau dilaporkan berada di 32 lokasi di seluruh dunia (Gambar 9). Gambar 9. Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di seluruh dunia (Sumber : Seminoff, 2004a) Dalam Seminoff (2004a), eksploitasi penyu hijau terjadi di sepanjang jalur migrasi penyu kecuali di wilayah Samudera Atlantik. Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa eksploitasi penyu paling intensif terjadi di 24 lokasi peneluran penyu di Samudera Hindia dan Asia Tenggara dengan penurunan populasi ratarata 80%. Sebaliknya peningkatan populasi lebih dari 100% terdapat di wilayah perairan Costa Rica (Tortuguero), Mexico (Yucatan Peninsula) dan United States (Florida). Wilayah pertumbuhan dengan peningkatan rata-rata 30% dijumpai di Pulau Arsension, Kepulauan Bijagos dan Suriname yang berada di Samudera Atlantik.

42 22 Gambar 10. Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau (Sumber : Seminoff, 2004a) 2.3 Eksploitasi Penyu Hijau di Indonesia Bagi Indonesia, penyu hijau memiliki peran strategis secara politis, selain berkaitan dengan kepentingan masyarakat global, protes internasional dengan ancaman boikot seringkali diterima Indonesia. Setelah boikot pariwisata, belakangan ini Indonesia terkena sanksi embargo ekspor udang laut ke pasar Amerika. Menyusul kemudian protes dari PADI (Professional Association for Diving Instructors) Eropa dengan membuat petisi yang ditandatangani lebih dari 200 ribu penyelam Eropa. Para penyelam mengancam tidak akan lagi berkunjung ke Bali jika perdagangan penyu masih tetap berlangsung (KSBK, 2001). Setelah tujuh tahun pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, Pemerintah Indonesia belum mampu menghentikan eksploitasi terhadap spesies penyu hijau. Eksploitasi yang masih berlangsung hingga kini berupa penangkapan induk penyu di perairan laut dan pemanenan telur penyu di pantai peneluran menempati posisi tertinggi di dunia (Sarjana Putra, 1996; Troeng (1997). Menurut Tri Wibowo, E (1991), pada tahun 90-an eksploitasi induk penyu hijau terjadi hampir merata di seluruh perairan laut Indonesia. Untuk memasok kebutuhan daging penyu masyarakat P. Bali, kegiatan menangkap penyu terjadi di berbagai lokasi yang hampir merata di perairan laut Indonesia. Visualisasi data

43 23 lalu lintas kapal bermuatan penyu di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali pada tahun 1990 sampai dengan tahun 1991 disajikan pada Gambar 11. Gambar 11. Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia (Sumber : Tri Wibowo. E, 1991) Manusia merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu, baik di wilayah pesisir maupun di perairan laut lepas. ProFauna (2005) melaporkan bahwa eksploitasi penyu di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian-bagian tubuhnya dijumpai di P. Jawa. Selama bulan Januari - April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan di enam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), Pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), Pantai Pangandaran (Jawa Barat), Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat), dan Pantai Samas (Yogyakarta). Pemanenan telur penyu dengan tujuan bisnis terjadi di Kecamatan Tambelan (Riau), Kecamatan Paloh (Kalimantan Barat), Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur) dan Pangumbahan (Jawa Barat). Sebagai ilustrasi di Propinsi Kalimantan Timur, pengusaha telur penyu memberikan masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) PEMDA Kabupaten Berau (Gambar 12). Perolehan PAD selama tahun 1999 hingga 2000 mencapai hampir Rp. 1 milyar atau sekitar 38 persen dari PAD yang besarnya Rp 2,8 milyar (Hamdan, 2001).

44 24 Gambar 12. Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu (Sumber : Data Kabupaten Berau, 2002) Dalam lima dekade terakhir terjadi penurunan hebat populasi penyu di kepulauan Derawan, diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang bisa ditemukan 50 tahun lalu. Penyebab yang paling dominan adalah pengambilan telur penyu secara sistematis (WWF-Wallacea, 2000). 2.4 Ancaman Kepunahan Penyu Hijau Sebagai ahli ekologi, Wilson berpendapat bahwa secara keseluruhan isu tentang lingkungan yang mutakhir adalah kepunahan spesies (Wilson,1980). Harding G.W. (1998) menyatakan bahwa kehidupan suatu spesies tidak berubah selama jutaan tahun. Beberapa spesies yang mengalami proses adaptasi dengan adanya perubahan kecil yang terjadi pada ekosistem. Namun jika perubahan cukup besar dalam waktu pendek maka spesies tidak mampu beradaptasi akan gagal dalam proses reproduksi dan mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies binatang dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah. Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah didokumentasikan dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru ke dalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu hijau sama seperti yang dialami spesies anggota keluarga penyu laut lainnya. Populasi penyu hijau mengalami penyusutan akibat

45 25 eksploitasi manusia. Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Ackerman (1997) ancaman dari manusia yang paling merugikan adalah pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun di laut, penangkapan penyu tidak sengaja (by catch), kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan long-lining, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di daerah peneluran juga berpengaruh negatif terhadap perilaku bertelur induk penyu (Witherington, 1992) dan perjalanan anakan penyu yang baru ditetaskan lebih tertarik pada sumber cahaya daripada bergerak menuju ke laut (Witherington dan Bjorndal, 1990). Wabah penyakit tumor Fibropapilloma juga menyerang penyu hijau sebagai akibat dari kerusakan habitat (George, 1997). Pencemaran air laut dan pengaruh eksplorasi minyak dan gas di bawah laut telah menyebabkan ancaman yang serius terhadap populasi penyu laut pada umumnya (George, 1997). Montimer menyoroti ancaman kepunahan penyu sebagai akibat dari eksploitasi yang dilakukan manusia secara berlebihan. Menurut Montimer (1995), penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade berakibat kepunahan populasi penyu. Pada Gambar 13 menunjukkan suatu hipotesis jika manusia mengkonsumsi daging penyu dari semua induk yang akan bertelur di pantai. Situasi ini terdapat di daerah peneluran Pulau Seychelles sebelum tahun Gambar 13. Penangkapan induk penyu secara berlebihan (Montimer, 1995)

46 26 Gambar 14. Akibat dari pemanenan telur penyu (Montimer, 1995) Gambar 14 menunjukkan kerusakan populasi penyu hijau jika pemanenan telur dilakukan secara berlebihan pada beberapa wilayah di Asia Tenggara. Menurut Montimer (1995) pada model ini induk penyu diasumsikan memiliki usia produktif 20 hingg 50 tahun, dan rata-rata aktivitas produksi penyu selama 20 tahun (Carr, 1987). Proses kehancuran populasi secara bottom up (Gambar 13) dan secara top down disajikan pada Gambar 14. Perbedaan keduanya adalah sudut pandang melihat kehancuran suatu populasi jika terjadi eksploitasi berlebihan. Penangkapan induk dan pemanenan telur secara berlebihan akan menyebabkan tidak ada lagi anakan yang ditetaskan. Selanjutnya tidak akan ada lagi anakan yang menjadi induk pada generasi di depan (Montimer, 1995). 2.5 Penanganan Ancaman Kepunahan Spesies Penyu hijau yang berstatus endangered species dan beresiko punah dalam waktu dekat IUCN Red Book. Isu kepunahan spesies merupakan the global common (yakni : hilangnya satu dari keanekaragaman hayati di bumi) menjadi tanggung jawab semua bangsa di bumi ini (Berkes et al. 2001). Namun demikian

47 27 untuk mengawasi penangkapan dan perdagangan penyu hijau di seluruh dunia telah dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab negara-negara penanda tangan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Efektivitas kesepakatan internasional ini tergantung pada efisiensi pengawasan dan kebijakan yang berkaitan dengan penangkapan, pengumpulan, perburuan dan perdagangan penyu, baik secara individu maupun kolektif. Populasi penyu hijau yang berada di perairan laut dapat disebut sebagai common-pool resource. Menurut Ostrom (1999) common-pool resource dapat dipandang sebagai pusat/ inti sumberdaya yang mengalirkan unit-unit sumberdaya sepanjang waktu. Common-pool resources terdiri dari sistem sumberdaya dan aliran unit sumberdaya dari sistem sumberdaya (Blomquist dan Ostrom, 1985). Vincent dan Ostrom (1977) dalam McCay (1996) menyebutkan bahwa penggunaan istilah common pool digunakan untuk sumberdaya yang mengalami permasalahan sulitnya menentukan batas sumberdaya termasuk di dalamnya ada pengaruh aktivitas seseorang yang dapat mengurangi kepentingan orang lain. Dalam aktivitas ekonomi, common-pool resource memiliki ciri khusus, yakni: Kesulitan untuk membatasi penggunaan dengan membangun batas secara fisik atau penerapan hukum karena memerlukan biaya yang tinggi, Manfaat yang diperoleh seseorang akan mengurangi manfaat yang diperoleh orang lain (Ostrom et al, 1994). Common-pool resources dapat dimiliki oleh negara, propinsi/ kabupaten, masyarakat setempat, secara individu atau gabungan diantaranya (Feeny et al. 1990). Untuk memahami isu-isu common diperlukan pengetahuan tentang corak sumberdaya dan cara yang dipilih manusia mendapatkan sumberdaya (McCay B.J, 1996). Umumnya permasalahan common-pool resources berkisar pada permasalahan common property resources yakni: kemampatan, pengunaan secara berlebihan, kecenderungan rusak jika pengguna tidak mempertimbangkan keterbatasannya. Sebagai satwa buruan yang bernilai ekonomi tinggi, jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Pada situasi the commons dilemma demikian ini akan sulit mengharapkan insentif dari pengguna untuk melakukan konservasi (Berkes et al. 2001).

48 28 Demikian halnya di laut lepas penyu hijau berada digolongkan sebagai sumberdaya open access. Hal ini dibenarkan dalam Troeng dan Drews (2004) bahwa kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai sumberdaya open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968). Eksploitasi manusia secara berlebihan di berbagai lokasi di bumi ini menyebabkan terjadinya the tragedy of the commons (Morriss, 1994). Dalam rekomendasinya Hardin mengemukakan penanganan the tragedy of the commons yang bersifat mendua, yakni : no technological solution dan a political solution dengan penetapan hak kepemilikan atas sumberdaya. Rekomendasi pengalokasian sumberdaya sebagai private property untuk solusi the tragedy of the commons tidak secara tegas dikemukan oleh Hardin (Simth R.J, 1981). Pembatasan memperoleh sumberdaya dengan pembentukan kepemilikan secara individu (private property) merupakan usulan dari Gordon (McCay, 1996). Menurut Berkes et al. (2001) the tragedy of the commons di pesisir dan laut merupakan permasalahan perikanan yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat secara individu dan kolektif. Solusi dari the tragedy of the commons dengan mengelola manusia (management people) dimana masyarakat dapat mempertahankan sumberdaya yang secara ekologis agar tidak hancur dalam jangka waktu yang panjang. Lebih lanjut Berkes menjelaskan bahwa the tragedy of the commons dapat ditangani dengan penyelesaian dua permasalahan, yakni: the exclution problem dengan mengontrol pengguna untuk memperoleh sumberdaya dan the substrability problem dengan menyusun dan menerapkan aturan/ peraturan agar menurunkan dampak aktivitas pengguna sumberdaya terhadap pengguna lainnya. Usulan Berkes et al. (2001) the exclution problem dapat diselesaikan dengan mengalokasikan hak kepemilikan sumberdaya pada kepemilikan negara (state property); kepemilikan secara individu (private property); kepemilikan secara komunal (communal property) atau kombinasi diantara ketiganya. Jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan pada wilayah pesisir dan laut maka dapat diperiksa pada Gambar 15 berikut.

49 29 Gambar 15. Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut (Sumber : Berkes et al, 2001) Setelah pengalokasian hak kepemilikan sumberdaya maka dibentuk aturan penggunaan sumberdaya yang akan memberi karakteristik pengelolaan yang berbeda-beda, antara lain : Aturan ditetapkan oleh pemerintah jika hak kepemilikan sumberdaya oleh negara (state property); Aturan mengikuti makanisme pasar jika hak kepemilikan sumberdaya secara individual (private property); Aturan ditetapkan oleh masyarakat setempat jika hak kepemilikan sumberdaya oleh masyarakat (communal property) serta kombinasi dari ketiganya (Berkes et al. 2001). (1) Pengalokasian kepemilikan negara (state property) Untuk mengontrol sumberdaya di lautan akan mendapat kesulitan dalam penetapan batas sumberdaya. Seperti yang diusulkan Hardin, sumber daya dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981). Pembentukan Marine

50 30 Protected Area merupakan perlindungan spesies-spesies langka dan terancam kepunahan sebagai contoh pengalokasian sumberdaya pesisir dan laut pada kepemilikan negara (state property). Kepemilikan oleh pemerintah dinyatakan paling efektif dalam pengawasan terhadap sumberdaya sementara tipe kepemilikan lain (secara individu, secara komunal dengan hanya satu kelompok masyarakat) tidak mampu mengatasi the exclution problem (Berkes et al, 2001). Pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah yang umumnya bersifat sentralistik dengan kebijakan yang bersifat top down. Dalam konteks perlindungan sumberdaya alam, pemerintah akan membatasi masuknya masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan penerapan Peraturan Pemerintah. Umumnya pemerintah di negara berkembang memiliki dana terbatas dan kekurangan tenaga pengawas, kondisi ini menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam tidak efektif. Sumberdaya alam yang secara de facto berada dibawah regim common property tetap dikuasai oleh masyarakat lokal bahkan akan mengarah pada situasi open-access walaupun secara de jure berada pada kepemilikan pemerintah. Namun demikian jika masyarakat lokal dilibatkan dalam pengawasan sumberdaya yang dilindungi maka pengelolaan oleh pemerintah akan lebih efektif (Ostrom, 1999). (2) Pengalokasian kepemilikan individu (private property) Umumnya kepemilikan satwa liar berada di bawah otoritas pemerintah, tidak demikian halnya di negara-negara Afrika Bagian Selatan. Keberhasilan ekonomi Zimbagwe selama dua dekade dengan membangun private property pada pengelolaan satwa liar. Kepemilikan satwa liar dengan membangun budidaya secara komersial, padang pengembalaan di lahan-lahan penduduk semakin meluas di negara sekitarnya seperti: Afika Selatan, Namibia dan Bostwana (Child, 1995). Demikian halnya dengan budidaya penyu yang dikembangkan Cayman Turtle Farm, Ltd. di Caribbean pada tahun 1968 digolongkan sebagai pengalokasian sumberdaya private property. Budidaya penyu (turtle farm)

51 31 dimaksudkan untuk memenuhi permintaan pasar dan mengurangi penangkapan penyu dari laut dan memberikan insentif bagi pihak pemilik/ pengelola (Smith, 1981). Dalam Ross (1999) budidaya penyu dalam bentuk ranching atau captive breeding tidak memberi manfaat bagi upaya konservasi bahkan menurunkan populasi penyu di alam. Selain memerlukan pengetahuan/ teknologi tinggi dan biaya yang sangat mahal, budidaya penyu tidak memberi jaminan secara ekonomi. Beberapa pakar ekologi seperti Archie Carr, David Ehrenfeld dan Myers justru menentang budidaya penyu secara komersil, selain mencari keuntungan dari alam juga telah memicu perdagangan penyu (Smith,1981). (3) Pengalokasian kepemilikan masyarakat (communal property) Proyek konservasi penyu di Cuc Phuong di Vietnam merupakan model penyelamatan penyu di kawasan Asia Tenggara untuk masa depan. Proyek dikembangkan dari aktivitas pendidikan konservasi yang berbasis masyarakat, dimana 35 sekolah, 15 kelompok masyarakat, kelompok peneliti bidang sosialekonomi-biologi. Proyek Cuc Phuong berhasil menangani ancaman perdagangan penyu secara ilegal akibat permintaan pasar di China sejak dekade 90-an 2.6 Konservasi Penyu Sejarah konservasi penyu dunia Wikipedia (2006), konservasi berawal dari gerakan sosial dan politik melindungi sumber daya alam termasuk jenis tumbuhan dan binatang agar hidup seperti di habitatnya. Gerakan konservasi ini bergerak di bidang perikanan dan satwa liar, air dan pengelolaan hutan secara lestari. Seiring dengan perjalanan waktu gerakan ini berkembang kearah pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan pelestarian suaka alam yang termasuk di dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Akhirnya gerakan konservasi mendunia dan meluas pada gerakan penyelamatan lingkungan. Pada tahun 1980 beberapa lembaga dunia seperti UNEP, IUCN, WWF, FAO dan UNESCO telah menyusun suatu strategi yang khusus bagi upaya konservasi di seluruh dunia yang dikenal sebagai The World Conservation

52 32 Strategy. Ada tiga prioritas dalam The World Conservation Strategy, yakni : Memelihara kemampuan bumi menyangga kehidupan; Pelestarian keanekaragaman genetik; Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem. Ketiga prioritas konservasi ini dibahas kembali dalam pertemuan Earth Summits yang dihadiri 170 negara di Rio de Janeiro pada tahun Sebagian besar peserta (150 negara) menyepakati Sustainable Development dinamakan Agenda 21 berisi beberapa petunjuk dan rencana aksi, sebagai berikut : Memelihara kemampuan bumi menyangga kehidupan yang dilaksanakan pada tiga wilayah, yakni : Beberapa sistem pertanian (Agricultural systems); berbagai hutan (Forests); dan Beberapa sistem pesisir dan rawa (Coastal and freshwater systems). Pelestarian keanekaragaman genetik yang dilaksanakan dengan perlindungan terhadap spesies yang terancam kepunahan. Bumi yang memiliki 5 hingga 10 juta spesies dan setiap hari bumi telah kehilangan satu spesies. Berbagai tindakan penyelamatan spesies yang terancam kepunahan merupakan upaya penyelamatan milik kita semua. Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem, setiap negara melaksanakan habitat dan satwa liar yang dimiliki dengan: Membentuk Taman Nasional, Game Reserves dan Suaka alam; Satwa Liar dan perburuan; Pengelolaan Ekosistem; Pada bulan Juni 1994 sebagian anggota dari The Marine Turtle Specialist Group (MTSC) dari The Specialist Survival Commission (SSC)-IUCN di Puerto Vallarta, Mexico mencanangkan The Global Strategy the Conservation of Marine Turtles yang terdiri dari: Research and Monitoring; Integrated Management for Sustainable Marine Turtle Populations; Building Capacity for Conservationn, Research, and Management; Public Awareness, Information, and Education; Community Participantion in Conservation; Regional and International Cooperation; Evaluation of Status of Marine Turtles; Funding for Marine Turtle Conservation; Operation of Marine Turtle Specialist Group.

53 Program konservasi penyu di tingkat internasional Menurut WWF-International, Species Programme (2004), bahwa konservasi penyu laut saat ini telah dilaksanakan pada 44 negara. Latar belakang permasalahan penyu setiap negara memberi ragam pelaksanaan konservasi yang berbeda-beda (Gambar 16). Gambar 16. Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut (Sumber : WWF, 2004) WWF (2004) menyatakan permasalahan yang dihadapi dalam upaya konservasi penyu di seluruh dunia, antara lain: Karakteristik siklus hidup penyu menjadi rawan karena kerusakan habitat dan akibat eksploitasi berlebihan; Sifat migrasi yang luar biasa jauhnya yang terkadang melintasi beberapa samudra menyebabkan perhatian yang nyata dari berbagai negara; Keterbatasan sumberdaya dan kemampuan kemauan politik untuk mengelola populasi penyu; Keterbatasan data tentang sejarah kehidupan penyu dan ancaman ketika melaksanakan pengelolaan dan mendiskusikan konservasi penyu; Kekurangan informasi yang dimengerti masyarakat dan pengambil keputusan tentang sifat biologis penyu laut, status konservasi dan pengelolaan yang diperlukan;

54 34 Kekurangan penghargaan akan nilai penyu saat sekarang dan di masa datang sebagai komunitas pesisir dan ekosistem; Kurangnya koordinasi pemangku kepentingan baik nasional, regional dan lokal; Kurangnya peraturan dan penegakan hukum; Peningkatan penduduk di wilayah pesisir, kemiskinan dan konflik pemanfaatan sumberdaya; Perubahan iklim global. Tujuan konservasi penyu laut dalam WWF-International, Species Programme (2004) dikelompokkan menjadi empat, antara lain: (1) Mengurangi eksploitasi berlebihan untuk pemanfaatan daging dan bagianbagian tubuh lainnya, telur serta pemanfaatan non-konsumsi. Upaya konservasi penyu laut telah dilaksanakan, antara lain: Di Pulau Kei (Indonesia) melalui peningkatan kepedulian dan pendidikan agar masyarakat lokal berpartisipasi dalam konservasi dan pengaturan penangkapan penyu secara lestari dan peraturan pemerintah. Di Pulau Ono (Fiji) dan dan The Great Astrolabe (Kadavu) dengan merubah kebiasaan masyarakat (tradisional dan non tradisional) melakukan perburuan penyu dengan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area) berbasis masyarakat. Di Pulau Bali (Indonesia) dengan melakukan kampanye secara intensif dan menyebarluaskan pesan konservasi agar masyarakat sadar atau tidak mengkonsumsi daging penyu sebagai keperluan sehari-hari maupun kepentingan adat/ keagamaan. Di Kepulauan Derawan (Indonesia) dengan menghentikan pemanenan telur penyu yang dilakukan masyarakat dengan pengaturan pemanenan telur penyu untuk disisihkan sebagai restoking. Penyisihan telur 10% pada tahun , meningkat menjadi 20% pada tahun Pemerintah Daerah pada tahun 2002 melarang eksploitasi telur penyu di P. Sangalaki. Upaya konservasi lainnya adalah pengembangan wilayah

55 35 Kepulauan Derawan sebagai Daerah Perlindungan Laut (Marine Turtle Santuary Areas). Di Fort Dauphin (Madagaskar) melalui pengembangan alternatif pemanfaatan penyu laut dan peningkatan kelembagaan masyarakat. Taman Laut Pulau Mafia (Tanzania) bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan, penghentian penggunaan alat tangkap yang merusak serta melaksanakan konservasi penyu laut. Ada wilayah Pulau Mafia yang dijadikan zona no-fishing untuk mengantisipasi terjadinya penangkapan penyu tidak disengaja (by-catch) Di Sine Saloom (Senegal) melalui penghentian konsumsi daging dan telur penyu oleh masyarakat lokal dan meningkatkan kepedulian masyarakat. Di Lima Bagian Selatan dan Pisco Paracas (Peru) dengan penghentian konsumsi daging penyu secara ilegal. Konservasi dilaksanakan dengan penegakan hukum di daratan dan di laut. Di Jamaica dan Bahama (Karibia) dengan melakukan dialog dengan pemerintah untuk mencari alternatif pemanenan penyu laut dengan penelitian pangan dan nilai budaya penyu laut. Upaya konservasi lainnya adalah penetapan peraturan perlindungan penyu laut di Bahama, Cuba, Republik Dominika, Haiti, Jamaica, Mexico, Puerto Rico, Turki dan pulau Caicos, Kepulauan British Virgin dan pulau Virgin. Pengembangan Turtugerro sebagai Lembaga Konservasi di wilayah Karibia telah menunjukkan adanya manfaat ekonomi dari kelangsungan hidup penyu laut dibandingkan jika dilakukan pembantaian penyu laut. (2) Mengurangi penangkapan tidak sengaja (by catch) dengan bekerja sama dengan nelayan, para pakar dan pemerintah. Upaya konservasi berkaitan dengan penyu laut dilaksanakan di Australia bagian Utara, The Great Barrier Reef, Orissa (India), Mozambique (Afrika bagian Timur), Namibia dan Angola serta Afrika bagian Selatan, Suriname, Guyana, Uruguay, Argentina, Mexico, Ecuador, Italia.

56 36 (3) Pembentukan dan memperkuat wilayah perlindungan (Protected Area) pada daerah peneluran dan habitat penting penyu laut. Upaya pembentukan wilayah perlindungan telah dilaksanakan di pulau-pulau penyu kawasan Asia Tenggara seperti di Malaysia, Indonesia dan Filipina yang dikenal dengan Program Konservasi Tri-National Sea Turtles. Wilayah lainnya pembentukan wilayah perlindungan berada di Viet Nam, The Geat Barrier Reef (Australia), Orissa (India), Pulau Solomon, Samoa, Cape Verde, Senegal, Colombia, Turki, Yunani. (4) Melibatkan masyarakat lokal dalam memantau, melindungi dan mengelola penyu laut dan sarangnya telah dilaksanakan di Australia bagian Utara dan Barat, Malaysia, pulau Cook, Vanuatu, Klunga (Kenya) Afrika bagian Timur, Brasil, Panama, Spanyol, Turki. Adapun kerja sama antar negara dilaksanakan di Guyana, Guiana Perancis dan Suriname. Di Indonesia tepatnya di Bali, penyu hijau telah dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar diperkirakan ekor per tahun. Gubernur Propinsi Bali telah menetapkan quota ekor per tahun untuk upacara Agama Hindu walaupun dalam waktu dekat penyu hijau mengalami kepunahan (Reuters, 1994) disarikan dalam (Nilsson, 2005). Program konservasi penyu internasional yang dikembangkan di Indonesia, antara lain : (i) Program perlindungan habitat penyu laut lintas negara Penandatanganan MoU IOSEA (Indian Ocean and South East Asia Marine Turtle Memorandum of Understanding) merupakan bukti dari kemauan negara-negara di dunia untuk melindungi penyu laut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani MoU bersama 22 negara lain pada 23 Juni Setiap negara berkomitmen untuk melindungi, melestarikan, mengembalikan dan memulihkan penyu dan habitatnya atas dasar bukti ilmiah yang terbaik, dan dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sosial-ekonomi dan karakteristik budaya negara penandatangan.

57 37 (ii) Perlindungan migratory species Usulan program Indonesia's Marine Mammal Management Area dari The Nature Conservancy pada pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, LIPI, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pariwisata, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, WWF, IWF, Proyek Pesisir, NRM dan CRMP. Pembentukan Kawasan Pengelolaan Habitat Mamalia Laut yang direncanakan di perairan Sawu, Bali, Selat Solor-Alor, Selat Sape, Selat Lombok dan Laut Maluku. (iii)pengelolaan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME). Sulu Sulawesi Marine Ecoregion meliputi wilayah pesisir dan laut yang terletak di antara Sabah Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Pilipina yang mendapat peringkat keempat dalam prioritas global dan peringkat pertama di Asia-Pasifik (DeVantier et al. 2004). Kepulauan Derawan merupakan salah satu lokasi penting di ekoregion Sulu-Sulawesi. MoU tentang pengelolaan SSME. Penandatangan MoU setingkat menteri dari negara Malaysia, Pilipina dan Indonesia pada tanggal 13 Februari Kajian Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Konservasi Penyu Konservasi penyu hijau didasarkan: (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yang mengatur pengawetan di dalam dan di luar suaka alam dan pemanfaatan spesies; (2) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 mengatur pengawetan yang meliputi pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya; (3) Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 mengatur pemanfaatan spesies. Pada Gambar 17 disajikan diagram konservasi penyu hijau.

58 38 Gambar 17. Diagram konservasi penyu hijau Peraturan perundangan yang berkaitan dengan konservasi penyu hijau di Indonesia, antara lain : i) Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 21 (2): Setiap orang dilarang untuk : menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; a.) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; b.) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; c.) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d.) mengambil, merusak, memusnahkan,

59 39 memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 40 (2) : Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). ii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pasal 4 (1): Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a) tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b) tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi; (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini; (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority); Bab VI: Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Pasal 25 ayat (1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke wilayah Republik Indonesia atau dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin menteri. Ayat (2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus : a. Dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang; b. Dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur Menteri. iii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Bab XII: Sanksi. Pasal 50: Ayat (3) Barangsiapa mengambil tumbuhan liar atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau dengan tidak

60 40 memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 40 juta dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 2.8 Alternatif Perlindungan Penyu Hijau Konsep konservasi in-situ Perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah belum menampakkan hasil. Sejak ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi pada tahun 1999 populasi penyu hijau telah mengalami tekanan yang luar biasa dari manusia berupa penangkapan induk di perairan laut, pemanenan telur di pantai peneluran dan pengrusakan habitat. Perlindungan habitat mendapat dukungan internasional melalui The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan Convention on Biological Diversity (CBD). Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan bahwa negara wajib melindungi ekosistem yang langka dan mudah rusak yang merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan alaminya. Konservasi in-situ merupakan perlindungan habitat suatu spesies untuk mengurangi hilangnya habitat alami dan penyebab kepunahan spesies dalam IUCN (2003) disarikan dalam Eken et al. (2004). Menurut Balmford et al (1996) bahwa konservasi in-situ merupakan suatu pertimbangan yang paling efektif dan biaya yang efisien dalam menghentikan kecepatan penurunan suatu populasi.

61 Konsep daerah perlindungan laut (marine protected area) Suaka Laut (Marine Reserve) Perlindungan sumberdaya laut di bidang perikanan berawal dari konsep Suaka Laut (Marine Reserve). Sebagai salah satu model pengelolaan perikanan, Suaka Laut digunakan untuk menanggulangi eksploitasi ikan secara berlebihan. Di berbagai wilayah tropis dan sub tropis telah dibangun Suaka Laut dan kini telah menempati 0,04% permukaan bumi. Suaka Laut yang dinamakan pula sebagai daerah larang ambil (no-take zone) karena ada larangan terhadap semua aktivitas perikanan. Keberadaan Suaka Laut telah menampakkan hasil dalam meningkatkan keragaman spesies, kelimpahan ikan dalam jumlah dan ukuran (Jones, 2006). Menurut Arthur W.K and Susan J.P (2003), bahwa Suaka Laut dilaporkan sebagai tempat penghasil bibit ikan secara alami yang selanjutnya menyebar ke daerah sekitarnya. Seiring perjalanan waktu pengelolaan perikanan tidak hanya menghadapi eksploitasi secara berlebihan. Permasalahan sumberdaya laut semakin komplek, seperti: hilangnya keanekaragaman hayati, pengrusakan habitat, peningkatan ancaman terhadap sumberdaya laut karena kemiskinan, pencemaran air laut, perubahan iklim global dan kebutuhan wisata laut. Untuk melindungi sumberdaya laut tidak lagi cukup hanya dengan mengisolasi suatu daerah sebagai no-take zone. Perubahan konsep no-take zone ke arah Marine Protected Areas mengikuti kriteria dan definisi yang dikeluarkan oleh IUCN Protected Areas Category System. Sebagai lembaga internasional, IUCN (The International Union for The Conservation of Nature) mengklasifikasikan berdasarkan tingkat perlindungan dan ragam usulan penunjukan Protected Areas dalam 10 kategori, yakni: Cagar Alam/ Cagar Ilmiah; Taman Nasional; Monumen Alam/ Landmark Alam; Suaka Margasatwa; Bentangan Alam dan Bentangan Laut yang dilindungi; Cagar Sumberdaya; Cagar Budaya/Kawasan Biosis Alam; Kawasan Pengelolaan Manfaat Ganda/ Kawasan Sumberdaya Dikelola; Cagar Biosfir; dan Taman Warisan Dunia (IUCN, 2003b).

62 42 Selama tahun 1970 hingga 1994 tercatat telah dikembangkan unit Marine Protected Areas. Namun dalam pernyataan WWF menyebutkan bahwa lebih dari 30% Marine Protected Areas tidak dikelola secara efektif atau disebut sebagai paper park (Jones, 2006). Dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa Marine Protected Areas yang telah ada memerlukan re-design karena tidak efektif pengelolaannya Cagar Biosfir (Biosphere Reserves) Belakangan tujuan pembentukan Marine Protected Areas mengalami pergeseran ke arah melindungi keanekaragaman hayati. Karenanya pembentukan Marine Protected Areas cenderung besar dan luas terdiri dari berbagai habitat yang saling berhubungan (Agardy, 1999). Penentuan prioritas konservasi yang diusulkan oleh Darwall dan Vié (2003), yakni : Daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati (yang diukur dari keragaman spesies); Daerah dengan spesies endemik; Daerah dengan spesies yang terancam kepunahan; Komunitas alami atau habitat yang terancam; Tempat terjadinya proses ekologi/evolusi. Berbagai metode yang telah dikembangkan untuk merancang Marine Protected Areas. Agardy (1999) menyebutkan bahwa untuk merancang Marine Protected Areas didasarkan dua pendekatan, yakni : pengawetan daerah yang masih asli (wilderness) baik di wilayah pesisir dan laut dan penyelesaian konflik antar pengguna sumberdaya baik saat ini maupun di masa datang. Pendapat lain yang memiliki kemiripan adalah penyataan Balmford (2002) bahwa ada dua hal utama yang menjadi pertimbangan penentuan lokasi Marine Protected Areas, antara lain: pertimbangan ekologis (ecological consideration) dan manusia (human consideration). Pada Marine Protected Areas yang berukuran besar menggunakan konsep Ecosystem-Based Management dimana batas wilayah secara geografis dan unit pengelolaan ditentukan oleh lingkup pergerakan organisme dan hubungan antar proses secara fisikal. Para perencana mengerjakan perlindungan ekosistem secara terpadu dimana pertimbangan ekologis akan

63 43 menentukan batas daerah yang dilindungi dan unit pengelolaan yang diperlukan (Hatcher et al disarikan dalam Dayton et al. 1995). Menurut Lauck et al. (1998) jika perlindungan ditujukan pada hanya satu spesies atau satu tipe habitat spesies maka rancangan dan model pengelolaan yang dihasilkan sederhana; jika yang dilindungi suatu habitat/ sumberdaya yang luas jangkauannya maka rancangan dan model pengelolaan akan lebih kompleks; jika yang dilindungi adalah suatu ekosistem dengan proses-proses yang ada di dalamnya maka rancangan dan model pengelolaan yang dihasilkan adalah Marine Protected Areas besar dengan berbagai tipe ekosistem dan habitat-habitat yang saling berhubungan. Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas rancangan Marine Protected Areas disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas Rancangan Marine Protected Areas. Tujuan Perkiraan Marine Protected Areas Ukuran Kompleksitas 1. Melindungi an endangered species Kecil - Sedang Sederhana 2. Melindungi a migratory species Besar atau jaringan Sederhana-rumit 3. Melindungi habitat dengan ancaman tunggal Sedang Sederhana 4. Melindungi habitat dengan berbagai ancaman Sedang - Besar Rumit 5. Menanggulangi overfishing Kecil Sederhana 6. Meningkatkan stok Kecil - Sedang Sederhana 7. Melindungi areal bersejarah dan memiliki nilai budaya Kecil Sederhana 8. Sebagai model CZM atau pemberdayaan Beberapa yang Kecil - Sedang masyarakat lokal rumit 9. Mempromosikan marine ecotourism Kecil Sederhana 10. Sebagai tempat penelitian ilmiah Kecil Sederhana 11. Konservasi keanekaragaman hayati Besar atau jaringan Sederhana-rumit Sumber : Agardy, Umumnya keanekaragaman hayati di dalam Marine Protected Areas mendapat tekanan dari masyarakat yang ada di wilayah pesisir. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di wilayah pesisir semakin meningkat pula tekanan terhadap Marine Protected Areas, seperti: eksploitasi secara berlebihan atau penggunaan alat tangkap dinamit dan potasium, penambangan batu karang penebangan kayu, pembukaan lahan tambak, polusi dan sedimentasi dari daratan serta aktivitas wisata.

64 44 Kegagalan pengelolaan Marine Protected Areas karena tidak adanya sumbangan Marine Protected Areas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pihak pengelola sulit menghalangi masyarakat memasuki kawasan dan meniadakan pengaruh dari aktivitas masyarakat di daratan. Kelleher G. (1999) menyebutkan salah satu prinsip keberhasilan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) karena dukungan masyarakat lokal yang ditentukan oleh adanya sumbangan Marine Protected Areas terhadap kesejahteraan masyarakat melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati. Menurut Jones (2006) tidak banyak literatur yang menggunakan pendekatan aspek sosial-ekonomi dalam penentuan lokasi DPL, seperti: pertimbangan tentang perilaku kolektif yang menimbulkan tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan permintaan pasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hayati dan sebagainya. Namun demikian masih ada suatu pendekatan yang dapat mempertemukan kebutuhan masyarakat dengan pemeliharaan sumberdaya hayati, yaitu: Konsep Marine and Coastal Protected Area (MCPA). Suatu rancangan DPL dengan memadukan wilayah pesisir dan laut melalui mekanisme pengelolaan dan tindakan antisipatif terhadap aktivitas manusia yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan pesisir dan laut. Konsep ini telah tertuang pada Resolution of the IUCN General Assembly tahun Setahun kemudian konsep Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) telah disahkan dalam The Conference of the Parties (COP). Dalam Kelleher, G. (1999) diperkenalkan konsep Cagar Biosfer yang dapat memadukan antara kepentingan konservasi dengan pemanfaatan secara berkelanjutan. Suatu wilayah di pesisir dan laut dengan berbagai tipe ekosistem dapat diusulkan agar terjadi keseimbangan antara masyarakat dan alam. Cagar Biosfer memiliki ciri adanya fungsi: (i) Konservasi (perlindungan terhadap bentang alam, berbagai ekosistem, spesies); (ii) Pembangunan (membantu pembangunan ekonomi dengan tidak mengabaikan aspek ekologi dan budaya); dan (iii) Sebagai sarana penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan konservasi.

65 45 Umumnya rancangan Cagar Biosfer memiliki ciri jaringan dengan tiga zona yang saling berhubungan, yakni: (1) Zona inti yang diperuntukan bagi perlindungan jangka panjang untuk mencapai tujuan konservasi dan aktivitas manusia diupayakan seminimal mungkin. (2) Zona penyangga yang meliputi wilayah yang berada di seputar atau di dekat zona inti dimana kegiatan yang dapat dilaksanakan diatur dan disesuaikan dengan kepentingan zona inti. Daerah ini dapat dilakukan penelitian untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan; pemulihan ekosistem, pendidikan dan pelatihan, kegiatan wisata yang dilakukan secara hati-hati. (3) Zona Peralihan yang terletak lebih luar dimana masyarakat lokal, lembaga konservasi alam, peneliti, kelompok budaya, perusahaan swasta dan para pemangku kepentingan sepakat bekerja sama untuk mengelola dan mengembangkan daerah ini secara lestari dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat yang tergantung di dalamnya Daerah perlindungan yang ada di Kepulauan Derawan Saat ini Kepulauan Derawan telah memiliki empat Daerah Perlindungan, yakni : Suaka Margasatwa (SM) Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Semama (keduanya dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts-II/Um/8/1982); Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban (ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004); dan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau seluas 1,2 juta hektar (ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Berau No. 31 tahun 2005) (Gambar 18). Pembentukan Daerah Perlindungan ini bersifat mandat dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Kabupaten.

66 46 Gambar 18. Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Derawan Selama dua dekade, konsep pembentukan Daerah Perlindungan Laut menggunakan konsep daratan (terestrial) seperti yang ada di Kepulauan Derawan. Konsep daratan tidak sesuai lagi jika digunakan dalam menentukan lokasi Daerah Perlindungan Laut. Ketiga Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Derawan yakni : Suaka Margasatwa Pulau Sangalaki, Taman Wisata Alam Pulau Semama dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban perlu dilakukan re-design. Secara faktual kondisi Protected Areas di laut berbeda dengan yang ada Marine Protected Areas di daratan. Umumnya batas kawasan di laut yang tidak jelas dan tidak dapat membatasi proses-proses ekologis di laut dan dampak dari aktivitas yang ada di daratan. Menurut Caddy dan Sharp (1986) batas kawasan tidak mampu menghalangi degradasi sumberdaya akibat aliran polutan, sedimen dari daratan; batas kawasan tidak dapat memutuskan hubungan antar spesies dan hubungan antar habitat penting; dan untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat sulit dihalangi agar tidak memasuki Marine Protected Areas maka konsep wilderness tidak bisa diterapkan di lautan (Agardy, 1999).

67 Konsep ecoregion Pada Kongres Taman Nasional sedunia kelima dilaporkan hasil dari The Global Gap Analysis bahwa 50% yang spesies langka/ terancam kepunahan ternyata tidak berada di dalam daerah perlindungan, karena lingkup perlindungannya terlalu kecil (rata-rata luas DPL < 1000 Ha) dengan tingkat perlindungan yang rendah dan ancaman yang tinggi (Rodrigues et al. 2004). Sejak dipresentasikan hasil dari The Gap Analysis banyak peneliti yang mulai merubah metode perencanaan konservasi seperti dimana daerah yang direncanakan dan penentuan prioritas konservasi pada suatu kawasan region atau ecoregion. Myers et al. (2000) mendefinisikan Ecoregion sebagai kawasan dengan ukuran cukup luas mulai dari puluhan hingga ratusan ribu kilometer persegi. Selanjutnya Dinerstein et al. (1995) mendefinisikan Ecoregion sebagai daerah daratan dan perairan yang cukup luas secara geografis merupakan gabungan dari komunitas alam. Komunitas alam terdiri dari sekumpulan besar flora-fauna (keanekaragaman hayati) yang dinamis dan kondisi lingkungan yang secara bersama-sama dijadikan satuan konservasi pada skala global. Gambar 19. Posisi Kepulauan Derawan pada peta keragaman biota karang dan Ecoregion Sulu-Sulawesi. (Sumber : Veron, 2000)

68 48 Kepulauan Derawan merupakan sub ecoregion Sulu-Sulawesi yang mengikuti pengelompokan Global 200 Ecoregions (Olson dan Dinerstein, 1998). Pada Gambar 19 menjelaskan posisi Kepulauan Derawan yang terletak di Ecoregion Sulu-Sulawesi yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Dalam rangka pengembangan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang meliputi wilayah pesisir dan laut yang terletak di antara Sabah Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Filipina yang mendapat peringkat konservasi keempat di tingkat global dan peringkat pertama di tingkat Asia- Pasifik (DeVantier et al. 2004). Kepulauan Derawan telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 seluas 1,2 juta hektar. Pembentukan KKL Kabupaten Berau ini bersifat mandat dan tumpang tindih dengan ketiga Daerah Perlindungan yang ditetapkan sebelumnya. 2.9 Perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kepulauan Derawan Perencanaan konservasi keanekaragaman hayati di suatu kawasan dapat menggunakan metode yang diusulkan dalam The Nature Conservancy (2001). Mekanisme perencanaan diawali dengan tahap Setting Priorities dan berakhir dengan tahap Measuring Success. Gambar 20. Proses perencanaan konservasi dengan empat komponen (The Nature Conservancy, 2001)

69 49 Proses perencanaan mengikuti arah diagram aliran ada empat komponen (Setting Priorities, Developing Strategies, Taking Action, Measuring Success) dimana secara keseluruhan mengarah pada konservasi keanekaragam hayati. Beberapa metode yang digunakan dalam proses perencanaan Kawasan Konservasi Kepulauan Derawan, antara lain: Metode Kerangka 5-S (Five-S Framework for Site Conservation) yang diusulkan dalam The Nature Conservancy (2000). Metode The Analytical Approach yang diusulkan dalam The World Wild Fund (2000). i) Metode Kerangka 5 - S (Five-S Framework) Penggunaan proses perencanaan Kerangka 5-S diawali dengan mengidentifikasi Target Konservasi dan berbagai tekanan dan sumber tekanan. Melalui penelusuran tekanan dan sumber tekanan akan dihasilkan informasi tentang berbagai ancaman terhadap Target Konservasi. Dari informasi ancaman akan dilanjutkan dengan penyusunan strategi dan beberapa cara mengukur keberhasilan konservasi. Perencanaan konservasi setempat yang diusulkan TNC ini memerlukan mekanisme konsultasi dan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal. Metode ini pernah dilaksanakan oleh Tim TNC di beberapa Taman Nasional di Indonesia. Menurut TNC (2006), melalui diskusi secara partisipatif masyarakat akan menginformasikan tentang sumberdaya alam dan permasalahannya. Keterlibatan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi-strategi dapat dimengerti dan diterima masyarakat. Proses perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini akan memudahkan pihak pengelola mengimplementasikan strategi pengelolaan. Salah satu keunggulan metode ini merupakan perencanaan bottom-up bersifat luwes atau memiliki fleksibilitas. Data dan informasi yang terekam dengan jelas karena berasal dari pelaku/ pengguna sumberdaya alam.

70 50 ii) Metode Analytical Approach Analytical Approach merupakan suatu pendekatan yang digunakan sebelum melaksanakan pengelolaan konservasi ecoregion. Metode yang diusulkan dalam WWF (2000) ini mampu mengidentifikasi dan menerangkan berbagai faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati. Faktor-faktor yang telah teridentifikasi digunakan untuk merencanakan strategi konservasi ecoregion. Strategi konservasi yang dihasilkan akan lebih spesifik karena didasarkan pada faktor-faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati. Inti dari Analytical Approach adalah pendugaan sosial ekonomi yang terdiri dari empat tahap, antara lain: Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis); Analisis Ancaman dan Peluang (Analysis of Threats and Opportunities); Penentuan Kemungkinan Intervensi; dan Monitoring dan Evaluasi. Setiap tahap memberi arahan penentuan akhir dari rancangan, implementasi dan peningkatan tindakan konservasi pada suatu ecoregion Pengelolaan secara Kolaboratif IUCN World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 tahun 1996 menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya (IUCN, 1997) yang disarikan dalam PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF Wallacea, TNC (2002). Konsep pengelolaan secara kolaborasi dapat diusulkan sebagai alternatif pengelolaan penyu hijau di dalam Kawasan Konservasi Laut. Selain mampu menampung banyak kepentingan, pengelolaan secara kolaboratif terdapat pembagian tanggung-jawab dan kewenangan antara pemerintah, masyarakat maupun pengguna sumberdaya lain. Namun demikian untuk membangun pengelolaan secara kolaborasi diperlukan waktu yang panjang karena ada interaksi yang intensif antara pemerintah dengan para pihak lain mulai dari kegiatan konsultasi dalam penjajagan awal, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi hingga evaluasi pengelolaan. Konsep co-management menghasilkan

71 51 suatu tatanan hubungan kerjasama (cooperative), komunikasi (communication) sampai dengan hubungan kemitraan (partnership) dalam pengelolaan sumber daya alam (Tajudin, 2000). Dalam pengelolaan secara kolaborasi ada reposisi peran pemerintah dimana pemerintah merubah perannya dari memegang hirarki tertinggi dalam pengambilan keputusan setiap kegiatan pengelolaan menjadi peran sebagai fasilitator, koordinator dan pendukung setiap kegiatan pengelolaan. Reposisi peran pemerintah tersebut memerlukan perubahan kelembagaan dalam birokrasi pemerintah. Dalam Tajudin (2000) menyebutkan keunggulan pengelolaan secara kolaboratif adalah sebagai resolusi konflik dengan menjunjung tinggi dialogis. Untuk perumusan masalah hingga penyusunan skenario pengelolaan dilakukan secara dialogik antara pemangku kepentingan (stakeholder) dengan metode RRA (Rapid Rural Appraisal) yang melibatkan periset dari pelbagai disiplin ilmu. Konsep co-management merupakan peralihan bentuk dari pengelolaan berbasis pemerintah (Government Centralized Management) dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management). Pengelolaan berbasis pemerintah dengan hirarki tertinggi ada di tangan pemerintah, masyarakat hanya sebagai penerima informasi, pengelolaan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan pengelolaan berbasis masyarakat, dimana hirarki tertinggi adalah kontrol ketat dari masyarakat dan koordinasi wilayah serta pengelolaan dilakukan oleh masyarakat. Pada Gambar 21 dan Gambar 22 dapat diketahui bahwa wilayah pengelolaan kolaboratif berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah kontrol penuh pemerintah dengan pengelolaan di bawah kendali penuh masyarakat. Pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan karakteristik antara pengelolaan berbasis masyarakat, pengelolaan ko-manajemen dan pengelolaan berbasis negara.

72 52 Gambar 21. Hirarki derajat pengaturan pengelolaan co-management (Sumber : PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF Wallacea, TNC, 2000) Gambar 22. Skema perubahan pengelolaan berbasis pemerintah menuju pengelolaan berbasis masyarakat (Sumber : PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF Wallacea, TNC, 2000)

73 53 Tabel 3. Karakteristik ketiga tipe pengelolaan Karakteristik Berbasis Masyarakat Ko-Manajemen Berbasis Negara Penerapan Spasial Pihak Otoritas Utama Pihak Bertanggung jawab Tingkat Partisipasi Durasi Kegiatan Keluwesan Pengelolaan Investasi Finansial dan Sumberdaya Manusia Kelangsungan Usaha Oreintasi Prosedural Orientasi Aspek Legal Lokasi spesifik (kecil) Struktur Pengambilan Keputusan Lokal dan penduduk lokal Komunal; badan pengambilan keputusan lokal Tinggi pada tataran lokal Proses awal cepat; proses pengambilan keputusan lambat Daya penyesuaian tinggi; sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal Mengunakan sumber daya manusia lokal; pengeluaran finansial moderat sampai rendah; anggaran fleksibel Jangka pendek, bila tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan Berfokus pada dampak jangka pendek; didisain hanya untuk lokasi lokal spesifik; sanksi moral Kontrol sumber daya secara de facto; hak properti komunal atau properti swasta Jaringan multi-lokasi (moderat sampai luas) Terbagi; pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan nonpemerintah lokal Multi-pihak pada tataran lokal dan nasional Tinggi pada berbagai tingkatan Proses awal moderat; pengambilan keputusan antar kelompok kepentingan lambat Daya penyesuaian moderat; cepat tanggap terhadap perubahan alam dengan kecukupan waktu Membangun sumberdaya manusia berbagai tingkatan; anggaran fleksibel; pengeluaran biaya moderat sampai tinggi Terus menerus, jika terbangun koalisi yang setara Beroreintasi dampak dalam jangka panjang; beroreintasi proses dalam jangka pendek; didisain untuk multilokasi Kontrol sumber daya secara de jure; hak properti komunal, swasta atau publik Nasional (luas) Pemerintah Pusat Didominasi Pemerintah Pusat Rendah; potensi eksklusivitas kelompok kepentingan Proses awal gradual durasinya; cepat mengambil keputusan pada awal proses Lambat untuk perubahan dan seringkali tidak luwes; birokratik; potensi tidak terkoneksinya antara kebijakan, realitas dan praktik Dipusatkan pada sumber daya manusia dan biaya pengeluaran moderat; anggaran kaku sudah ditetapkan Terus menerus, jika struktur politik terpelihara Oreintasi proses pada jangka panjang; didisain untuk lokasi yang luas; sanksi Kontrol sumber daya secara de jure; hak properti publik atau negara

74 54 Karakteristik Berbasis Masyarakat Ko-Manajemen Berbasis Negara Orientasi Resolusi Konflik Tujuan Akhir Sumber Informasi Pengelolaan Salah satu pihak ada yang dikalahkan; akomodatif, kompetisi; kekuatan publik; sanksi hukum lokal Revitalisasi atau mempertahankan status quo penguasaan sumber daya lokal; demokratisasi politik pengelolaan sumber daya alam tingkat lokal. Pengetahuan Lokal Semua pihak dimenangkan; kolaboratif; negosiatif Menciptakan perdamaian, dan demokratisasi politik bidang pengelolaan sumber daya alam berbagai tingkatan Pengetahuan lokal dan scientific barat Sumber: PHKA-Dephut, NRM/ EPIQ, WWF Wallacea, TNC (2002) Diselesaikan secara hukum; Salah satu pihak ada yang dikalahkan; kompetisi, akomodatif; kekuatan politik Mempertahankan status quo politik penguasaan sumber daya alam; perubahan ekonomi nasional Didominasi scientific barat

75 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi spesies yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Secara struktural kegiatan konservasi spesies berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional (BTN). Penelitian dilakukan terhadap 50 UPT yang memiliki wilayah kerja di pesisir dan laut dengan asumsi memiliki lokasi peneluran penyu. Data primer dikumpulkan melalui : (1) Pengamatan lapangan terhadap UPT- UPT yang berada di P. Jawa hingga P. Timor pada tahun 2004 hingga 2005; (2) pengiriman questionaires dan diisi oleh pengelola UPT. Data sekunder dikumpulkan dari kantor Ditjen PHKA Jakarta dan beberapa LSM tingkat nasional dan LSM lokal. Alternatif perlindungan penyu hijau di Indonesia pada Kasus Kep. Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Data primer dikumpulkan melalui diskusi secara partisipatif pada pulau-pulau yang berpenghuni di tiga desa (Desa Derawan, Desa Payung-Payung dan Desa Balikukup) pada tanggal 27 Januari s/d 30 Pebruari Data sekunder dikumpulkan dari kantor BKSDA Kalimantan Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau dan beberapa LSM bertaraf nasional dan lokal. 3.2 Metode Analisis Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif meliputi uraian kualitatif dan analisis kuantitatif berbentuk grafik dan tabel frekuensi, sedangkan analisis statistik yang digunakan, antara lain: 1) Metode Categorical Regression Metode Categorical Regression (software package SPSS) digunakan untuk menguji pengaruh input pengelolaan UPT/ predictors (7 variabel) terhadap

76 56 UPT pengelola penyu hijau/ response (ke 50 UPT). Dengan menggunakan prosedur Optimal Scaling dapat memberi gambaran tentang hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor. Hubungan tersebut dikuantitatifkan sehingga nilai response dapat diprediksi dengan mengkombinasikan predictors. - Variabel Dependen (Response) Nama Variabel Kriteria UPT (UPT) UPT ( n =1,2,...50 ) - Variabel Independen (Predictors) Nama Variabel Kriteria (1) Tipe UPT (TiU) (1) Tipe C (2) Tipe B (3) Tipe A (2) Dana yang dialokasikan pada (1) < 1,4 Milyar Rupiah th 2004 (Dana) (2) 2 s/d 2,9 Milyar Rupiah (3) 3 s/d 3,9 Milyar Rupiah (4) > 4 Milyar Rupiah (3) Jumlah SDM pada th 2004 (SDM) (1) < 99 orang (2) 100 s/d 149 orang (3) 150 s/d 200 orang (4) > 200 orang (4) Luas Kawasan Konservasi (1) < 199 ribu Ha yang dimiliki UPT (KK) (2) 200 s/d 299 Ha (3) 300 s/d 399 Ha (4) > 400 Ha (5) Luas Wilayah Kerja yang (1) < 4.9 juta Ha merupakan tanggung jawab (2) 5 s/d 9.9 juta Ha UPT (Wilker) (3) 10 s/d 14,9 juta Ha (4) > 15 juta Ha (6) Panjang Garis Pantai Nesting site penyu yang ada di suatu UPT (PGPan) 1) < 24,9 km 2) 25 s/d 49,9 km 3) 50 s/d 74,9 km 4) > 75 km (1) < 2,9 lokasi (7) Jumlah Nesting Site yang ada di suatu UPT (JNest) (2) 3 s/d 5,9 lokasi (3) 8 s/d 8,9 lokasi (4) > 9 lokasi 2) Metode Hierarchical Clustering Untuk mengetahui karakteristik pengelolaan penyu hijau dan karaktristik ancaman digunakan Metode Hierarchical Clustering (software package SPSS). Obyek penelitian (ke-50 UPT) dikelompokkan berdasarkan

77 57 kesamaannya (similarity). Untuk penentuan karakteristik pengelolaan digunakan data tiga variabel categorical sebagai berikut: Nama Variabel 1. Nesting dan kelola (NsKl) 2. Jenis kegiatan pengelolaan (Giat) 3. Tipe pengelolaan (TiKe) Kriteria (1) Tidak ada nesting dan tidak ada pengelolaan (2) Ada nesting dan tidak ada pengelolaan (3) Ada nesting dan ada pengelolaan (1) 0 jenis kegiatan (2) 1 jenis kegiatan (3) 2 jenis kegiatan (4) 3 jenis kegiatan (5) 4 jenis kegiatan (6) 5 jenis kegiatan (7) 6 jenis kegiatan (1) penyu tidak dikelola (2) penyu dikelola pemerintah (3) penyu dikelola pemerintah dan LSM/ Swasta (4) penyu dikelola LSM dan Masyarakat (5) penyu dikelola Masyarakat Untuk penentuan karakteristik ancaman digunakan empat variabel binary sebagai berikut: Nama Variabel Kriteria 1. Penangkapan induk (Induk) (1) Ada ; (2) Tidak 2. Eksploitasi telur (Telur) (1) Ada ; (2) Tidak 3. Konsumsi daging penyu (Daging) (1) Ada ; (2) Tidak 4. Perdagangan opsetan (Ops) (1) Ada ; (2) Tidak 3) Metode Time Series Untuk mengetahui kondisi populasi penyu hijau digunakan analisis Time Series prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS). Data yang digunakan adalah deret berkala dari jumlah penyu (ekor), jumlah telur (butir) dan prosentase penetasan telur (%) mulai tahun 1980 hingga tahun Nama Variabel Kriteria 1. Jumlah penyu bertelur (Penyu) Penyu (t=1980, ) 2. Jumlah telur penyu (Telur) Telur (t=1980, ) 3. Prosentase penetasan telur (Prosent) Prosent (t=1980, )

78 58 Pengolahan data dari ketiga variabel diperlakukan sama dengan tahapan sebagai berikut: Tahap 1 : Membuat grafik untuk ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosentase, dimana sumbu Y: Variabel nilai (Penyu, Telur dan Prosent) pada dan sumbu X: variabel Waktu Tahap 2 : Penilaian kurva (The Curve Estimation) untuk ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosent). Tahap 3 : Menguraikan deret berkala ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosent) menjadi komponen musiman, kombinasi kecenderungan dengan siklus komponen dan eror dari komponen. Sebagai pembanding digunakan data dari UPT BKSDA Kaltim dan UPT BTN Alas Purwo. 4) Analisis Multidimensional Scaling Untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan penyu hijau di setiap UPT dilakukan dengan cara memperbandingkan UPT satu dengan lainnya menggunakan Metode Multidimensional Scaling (software package SPSS). Metode Multidimensional Scaling adalah: serangkaian tehnik visualisasi data proximity pada low dimensional space. Dalam Young (1999) Proximity adalah ukuran jarak terdekat (nearness) setiap obyek yang diperbandingkan. Data proximity dapat dibedakan sebagai pengukuran dissimilarity dan similarity setiap obyek. Dalam Kardi (2005) dijelaskan perbedaan antara Similarity dan Dissimilarity. Similarity adalah suatu kuantitas yang mencerminkan kekuatan hubungan antara dua obyek atau antara dua corak (variabel) yang diperbandingkan. Kuantitas tersebut memiliki nilai antara -1 s/d +1 atau 0 s/d 1 setelah dinormalkan. Similarity (S ij ) antara corak (i) dan corak (j) dapat diketahui dari ukuran kuantitas yang tergantung dari skala pengukuran (tipe data) yang dimiliki. Dissimilarity adalah ukuran ketidak-samaan antara dua obyek berdasarkan beberapa corak (variabel) yang diperbandingkan. Dissimilarity dapat diketahui dari ukuran jarak (distance) antar obyek tanpa mempertimbangkan corak (variabel). Selain itu Dissimilarity antar obyek juga

79 59 dapat diketahui dengan mempertimbangkan variabel akan menghasilkan koordinat antar obyek. Hubungan antara Similarity dan Dissimilarity dapat digunakan persamaan: Sij = 1 - δij... (1) dimana : Sij : Similarity δij : Dissimilarity Nilai Similarity antara 0 s/d 1. Jika Similarity = 1 (dimana obyek-obyek similar) maka Dissimilarity = 0. Sebaliknya jika Similarity = 0 (dimana obyek-obyek very different) maka Dissimilarity = 1. Similarity memiliki kisaran nilai -1 s/d +1 dan Dissimilarity dengan kisaran nilai 0 s/d 1. Dalam penelitian ini akan memperbandingkan setiap obyek (UPT) dengan menggunakan 2 macam Dissimilarity, antara lain: i) Dissimilarity obyek dengan masukan data berupa matriks Distance antara tempat kedudukan obyek/ UPT. Menurut Young (1985) penggunaan data jarak antar obyek tergolong metode konvensional yang dinamakan : Metric Multidimensional Dimensional Scaling (MDS). Penghitungan distance (d ij ) antar obyek (i) dan (j) digunakan persamaan : 2 d ij = Σ ( x )... (2) ia x ja dimana, x ia adalah koordinat dari obyek (i) pada dimensi (a). Jika diketahui obyek (n) dengan dimensi (r), koordinat x ia disajikan dalam matriks X. Selanjutnya matriks X digunakan untuk menghitung Euclidean distance dengan persamaan : r [ ] 1/ 2 d ij = ( x x )( x x ) i... (3) j i j ii) Dissimilarity obyek dengan masukan data berupa matriks antar obyek/ UPT dengan beberapa variabel input pengelolaan UPT. Menurut Barrett (2005), untuk mendapatkan matriks tersebut dilakukan dengan penghitungan Euclidean distance yang meliputi penghitungan Raw Euclidean distance dan menormalkan Euclidean distance.

80 60 Penghitungan Raw Euclidean distance Setiap variabel memiliki nilai maximum dan minimum, maka (md) dihitung dengan persamaan : md i = (nilai max variabel i nilai min i) 2... (4) Selanjutnya menghitung the scaled variable Euclidean distance dengan persamaan: v i = 1 ( p p ) 1i 2 i d 1 =... (5) md dimana : p 1i... 2i d 1 md i i 2 : obyek ke 1 dan ke 2 pada variabel ke i : the scaled variable Euclidean distance : determine the maximum setiap variabel Tahap berikutnya dilakukan penghitungan the scaled dengan persamaan: v ( p p ) 1i 2 i 2 i = 1 md i d 2 =... (6) v dimana v : jumlah variabel Menormalkan Euclidean Distance Pada software package SPSS version 13 telah tersedia cara untuk menormalkan Euclidean distance melalui transformasi secara sederhana dengan standardization z-score. Setelah diperoleh matriks distance antara UPT dan Dissimilarity UPT dilakukan analisis MDS-Proxscal pada SPSS. Sebagai hasilnya adalah koordinat setiap obyek (UPT). Koordinat obyek yang dihasilkan digunakan untuk memperbandingkan setiap obyek yang divisualisasikan dengan prosedur 3D-plot pada software package XLSTAT Alternatif perlindungan penyu hijau Alternatif perlindungan yang diarahkan pada habitat penyu hijau dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Derawan. Pembentukan KKL Kepulauan Derawan memerlukan rancangan kawasan dan arahan pengelolaan KKL.

81 61 (i) Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Tujuan pembentukan KKL Kep. Derawan untuk menyelamatkan populasi penyu hijau dari kepunahan. Rancangan KKL mempertimbangkan keberadaan habitat feeding dan breeding, yakni: ekosistem lamun, terumbu karang dan pantai peneluran. Dengan menggunakan GIS (Geographic Information Systems) dilakukan teknik overlay beberapa informasi tentang habitat feeding dan habitat breeding. (ii) Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Untuk mendapatkan arahan pengelolaan KKL diperlukan proses perencanaan yang mengikuti diagram alir pada Gambar 23. PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU PEMBENTUKAN KAWASAN KONSERVASI LAUT Proses Perencanaan PERENCANAAN KONSERVASI SETEMPAT DISKUSI PARTISIPATIF (KERANGKA 5-S) IDENTIFIKASI TARGET KONSERVASI IDENTIFIKASI TEKANAN & SUMBER TEKANAN PENYUSUNAN STRATEGI PERENCANAAN ECOREGION TEKANAN & SUMBER TEKANAN The Analytical Approach STRATEGI KONSERVASI SDA DESA DERAWAN DESA PAYUNG-PAYUNG DESA BALIKUKUP PENYUSUNAN STRATEGI ECOREGION ARAHAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN DERAWAN Gambar 23. Skema proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan

82 62 i) Perencanaan konservasi setempat (Site Conservation Planning) Pada wilayah studi dilakukan diskusi secara partisipatif dengan menggunakan metode Perencanaan Konservasi Setempat yang diusulkan oleh The Nature Conservancy (TNC, 2002). Metode perencanaan konservasi ini mengikuti kerangka 5-S menghasilkan Rencana Pengelolaan KKL Berbasis Masyarakat. Proses perencanaan yang dilengkapi dengan alat-alat peraga ini memudahkan pengumpulan data dan informasi selama konsultasi dan diskusi secara partisipatif. Diagram kerangka 5-S (Systems, Stresses, Sources, Strategies, Success) ini disajikan pada Gambar 24 berikut ini. Gambar 24. Proses perencanaan konservasi dengan kerangka 5-S Keterangan : SYSTEMS adalah target konservasi berupa keanekaragaman hayati dan ekosistem yang terdapat di suatu lokasi perencanaan. STRESSES adalah berbagai perubahan (kerusakan dan perbaikan) yang terjadi pada SYSTEMS. SOURCES adalah berbagai penyebab dari perubahan yang terjadi pada System atau penyebab terjadinya STRESSES. STRATEGIES adalah berbagai tindakan konservasi yang mengupayakan pemulihan/ pengelolaan STRESSES dan pengurangan sumber tekanan (SOURCES) SUCSESS adalah matriks pendugaan untuk mengukur keberhasilan tindakan konservasi dan pengawasan dalam implementasi STRATEGIES. Perencanaan kerangka 5-S terdiri dari beberapa tahap, antara lain: Identifikasi system (sumberdaya alam yang penting); Trend pemanfaatan

83 63 SDA; Penentuan tekanan dan sumber tekanan terhadap SDA; Menentukan para pihak (stakeholder) yang terlibat; Menentukan strategi konservasi. Penggunaan metode ini untuk mengidentifikasi prioritas konservasi di suatu wilayah. Dengan memfokuskan pada prioritas konservasi akan dirancang strategi konservasi yang efisien dan efektif untuk setiap desa (lokasi diskusi). Perencanaan konservasi ini merupakan perencanaan jangka pendek dan berskala mikro, bersifat parsial belum dikaitkan dengan penyebab kerusakan keanekaragaman hayati oleh pengaruh faktor sosial, ekonomi, politik dari aktivitas berskala makro. ii) The Analytical Approach The Analytical Approach adalah metode praktis yang dikembangkan oleh WWF untuk menganalisis dan memahami berbagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati (WWF, 2000). Metode ini pernah digunakan pada perencanaan The Calakmul Biosphere Reserve di Mexico. The Analytical Approach merupakan metode perencanaan yang luwes untuk suatu studi kasus. Analisis yang menggunakan root causes ini dapat mengidentifikasi dan menjelaskan faktor utama penyebab hilangnya/ rusaknya keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya hubungan faktor-faktor yang kompleks. Dalam perencanaan kawasan konservasi diperlukan faktor-faktor penyebab hilangnya/ rusaknya keanekaragaman hayati yang dijadikan prioritas konservasi. Penggunaan The Analytical Approach meliputi beberapa tahap: (1) Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis) Analisis Stakeholder yang digunakan mengikuti versi Brown et.al. (2001) adalah sistem pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan dengan wilayah studi. Tahapan dalam melaksanakan analisis stakeholder participatory, yakni : Identifikasi stakeholder digunakan metode Continuum dari tingkat mikro hingga ke tingkat makro sehingga diperoleh pengelompokan stakeholder secara vertikal.

84 64 Menentukan kategori stakeholder dalam kelompok prioritas. Pengelompokan stakeholder tergantung pada tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan, yakni : primary stakeholder; secondary stakeholder; external stakeholder. Menentukan mekanisme participatif dari beberapa kelompok stakeholder. (2) Analisis ancaman dan peluang Analisis ancaman dan peluang (Analysis of Threats and Opportunities) untuk konservasi keanekaragaman hayati adalah proses pendugaan aspek sosial-ekonomi penyebab hilangnya keanekaragaman hayati/ kerusakan lingkungan. Hasil analisis ancaman dan peluang didapatkan prioritas konservasi pada skala regional. Bahan dasar analisis ini menggunakan stresses dan pressures terhadap keanekaragaman hayati gabungan dari beberapa lokasi yang diperoleh dari Perencanaan Konservasi Setempat. Pada Gambar 25 dapat dilihat skema dari Analisis Ancaman dan Peluang. Gambar 25. Diagram alir analisis ancaman dan peluang (Analysis of threats and opportunities)

85 65 Untuk memahami PRESSURES terdapat dua latar belakang penilaian, yakni: penilaian dari aspek sosial ekonomi dan penilaian akar permasalahan. Latar belakang dari aspek sosial ekonomi terdapat dua penilaian, yakni: DEMOGRAPHY (pola pergerakan penduduk dan kecenderungannya); dan Resources use (pola penggunaan sumberdaya dan kecenderungannya). Adapun akar permasalahan dipisahkan dalam PROXIMATE (alasan awal dari timbulnya PRESSURES) dan ULTIMATE (alasan terakhir dari timbulnya PRESSURES). Selanjutnya PRESSURES dipadukan dengan kondisi ekologis akan menghasilkan ancaman (THREATS). Jika ancaman (THREATS) dipadukan dengan prioritas penanganan keanekaragaman hayati akan didapatkan peringkat (ranking) tindakan konservasi yang disajikan dalam matrik berikut ini (Tabel 4). Tabel 4. Matriks penentuan peringkat tindakan konservasi Setelah peringkat tindakan konservasi diketahui maka dapat disusun strategi konservasi dengan mengupayakan mengurangi/ meniadakan ancaman atau merubah ancaman menjadi suatu peluang untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati.

86 Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Pengelola Penyu Hijau di Indonesia Pengelolaaan penyu hijau merupakan kegiatan konservasi spesies yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Secara struktural pengelolaan penyu hijau berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Balai Taman Nasional (BTN). Perbedaan keduanya adalah: UPT-BTN melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan Taman Nasional dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku (Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002) UPT-BKSDA melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata dan Taman Buru serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 6187/Kpts-II/2002). Gambar 26. Wilayah studi (BTN dan BKSDA) Ditjen PHKA

87 67 Sejak tahun 2002 Direktur Jenderal PHKA memiliki 66 UPT yang terdiri dari 34 UPT-BTN dan 32 UPT-BKSDA. Sebagian (11 UPT) berada di wilayah terrestrial dan sisanya 55 UPT berada di wilayah pesisir dan laut yang diduga ada kegiatan pengelolaan penyu hijau. Penelitian ini dilakukan terhadap 50 UPT karena empat di antaranya baru ditetapkan dan satu UPT BKSDA Aceh yang tidak beroperasi karena bencana zunami. Wilayah penelitian dibatasi pada 50 UPT baik pada BTN maupun BKSDA. Gambar 27. Wilayah studi di 50 UPT yang memiliki wilayah pesisir 4.2 Kepulauan Derawan Kondisi umum Kepulauan Derawan merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah Barat Pulau Kalimantan (Gambar 28). Secara administratif, Kepulauan Derawan berada pada tiga wilayah administrasi kecamatan yakni : Kecamatan Pulau Derawan, Kecamatan Maratua dan Kecamatan Biduk-Biduk. Kepulauan Derawan memiliki 31 pulau-pulau kecil, tiga pulau di antaranya (Pulau Sangalaki, Pulau Semama dan Pulau Kakaban) adalah kawasan konservasi dan tiga pulau yang dihuni penduduk yakni Pulau Derawan (satu desa), Pulau Maratua (empat desa) dan Pulau Balikukup (satu desa).

88 Gambar 28. Peta wilayah studi Kepulauan Derawan 68

89 69 Tabel 5. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan No. Nama Pulau Luas (Ha) Keterangan 1 Semut 6,9-2 Andongabu 5,3-3 Bakungan 8,7-4 Bantaian 230,6-5 Besing 560,1-6 Bonggong 123,2-7 Bulingisan 4,5-8 Derawan 44,6 Berpenghuni 9 Maratua 2375,7 Berpenghuni 10 Nunukan 4,8-11 Panjang 565,4-12 Rabu-rabu 26,7-13 Sangalaki 15,9 Suaka Margasatwa 14 Sangalan 3,5-15 Sapinang 241,3-16 Semama 91,1 Taman Wisata Alam 17 Sidau 31,2-18 Tiaung 372,5-19 Pabahanan 2,0-20 Kakaban 774,2 Kawasan Konservasi Laut Daerah 21 Sodang Besar 6145,8-22 Telasau 1080,0-23 Tempurung 1291,2-24 Bilang-Bilang 25,2-25 Manimbora 2,0-26 Balembangan 22,0-27 Sambit 18,0-28 Mataha 25,8-29 Kaniungan Besar 73,3-30 Kaniungan Kecil 10,2-31 Balikukup 18,2 Berpenghuni Sumber : TNC (2004) Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam Pulau Semama keduanya dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts/II/Um/8/1982, sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004.

90 70 Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh DISHIDROS TNI AL, terdapat dua pulau yang dijadikan sengketa antara Negara Indonesia dengan Malaysia, yakni : P. Maratua dan P. Sambit yang berada di batas terluar NKRI (Jaelani, 2006). Pada Gambar 29 dapat dilihat letak kedua pulau tersebut. Gambar 29. Pulau Matarua dan Pulau Sambit yang pernah menjadi sengketa antara Indonesia dengan Malaysia Kepulauan Derawan merupakan bagian dari ekoregion Sulu-Sulawesi. SSME meliputi wilayah pesisir dan laut yang terletak di antara Sabah Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Filipina yang mendapat peringkat konservasi keempat di tingkat global dan peringkat pertama di tingkat Asia-Pasifik (DeVantier et al. 2004). Dalam rangka pengembangan program SSME, Pemerintah Daerah Kabupaten Berau telah mengeluarkan Peraturan Bupati No. 31 tahun 2005 tentang Pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau seluas 1,2 juta hektar Iklim The Nature Conservancy (2004) melaporkan kondisi iklim Kepulauan Derawan sebagai berikut : i) Secara umum Kepulauan Derawan dipengaruhi musim Barat dan musim Timur. Kecepatan angin yang paling rendah di Kepulauan Derawan

91 71 terjadi pada bulan Oktober dan November yang mencapai 4,3 knot dengan arah rata-rata 330. Kecepatan angin maksimum terjadi pada bulan Juli dan Agustus dengan arah 270. Suhu udara berkisar antara 22,3 C sampai 32 C. ii) Berdasarkan klasifikasi Koppen, Kepulauan Derawan termasuk tipe iklim alpha dan menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk golongan iklim A, di mana hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kering. Curah hujan harian di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,6 sampai 21,8 mm dengan jumlah hari hujan antara 4 sampai 28 hari. iii) Suhu permukaan air laut bervariasi tergantung pada lokasi pengamatan, antara lain : Wilayah yang berhadapan dengan Sungai Berau antara 29,5 C sampai 30,5 C. Wilayah yang berhadapan dengan laut lepas antara 29,5 C sampai 30 C. Di perairan untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau antara 27,5 C sampai 29 C. Wilayah yang berhadapan dengan laut lepas antara 21 C sampai 28 C. iv) Salinitas bervariasi tergantung pada lokasi pengamatan, antara lain : Pada wilayah yang berhadapan dengan Sungai Berau antara 32,5 sampai 33 ppt. Pada wilayah yang berdekatan dengan laut lepas 33,5 ppt. Pada wilayah yang berhadapan dengan sungai Berau dengan kedalaman 100 meter 33,5 ppt. Pada wilayah yang berhadapan dengan laut lepas antara antara 34 sampai 34,5 ppt.

92 Oseanografi Dalam TNC (2004) dapat diketahui kondisi oseanografi Kepulauan Derawan, dimana Kepulauan Derawan dipengaruhi pergerakan Arus Musiman dan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia yang melewati Selat Makasar. i) Pergerakan Arus Musiman pada musim Timur (Agustus-September) dipengaruhi South East Monsoon dan musim Barat (Januari-Maret) dipengaruhi North West Monsoon. ii) Arlindo yang membawa massa air dari Pasifik melalui Sangihe Ridge (1350 m) pada posisi 4 LU, 126,60 BT ke Selat Makasar melewati Laut Sulawesi sebelah Timur Kepulauan Derawan dan terhambat oleh Dewakang Sill di sekitar kepulauan di Sulawesi Selatan dengan kedalaman 680 m. Perjalanan massa air yang melalui Laut Sulawesi dan Selat Makasar diperkirakan sebesar 9.3 Sv (Sdev = 2,5 Sv), yang hampir sama dengan massa air yang melewati rute lain di wilayah Timur perairan Indonesia. Massa air di dasar Laut Sulawesi pada kedalaman m mempunyai temperatur 3,34 C, salinitas 34,59 psu dengan kandungan oksigen 0,15 ml/l. Gambar 30. Peta Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) (Sumber : TNC, 2004)

93 73 Diduga ARLINDO yang membawa penyu ke Kepulauan Derawan setelah mengarungi Samudera Pasifik. Hal ini dapat dilihat pada P. Sangalaki yang merupakan pulau terdepan dalam menghadapi arus ARLINDO terdapat paling banyak didarati penyu untuk bertelur Keanekaragaman hayati dan ekosistem Keanekaragaman hayati Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia. Perairan laut Indonesia memiliki jenis-jenis tumbuhan sebanyak 833 jenis, moluska 2500 jenis, krustacea 214 jenis, echinodermata 759 jenis, ikan 2000 jenis, penyu 6 jenis, mamalia 25 jenis dan biota karang 450 jenis dengan 79 genus (Ditjen PHKA, 2003). Kepulauan Derawan merupakan pulau-pulau kecil dan perairan laut memiliki tipe ekosistem mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan lamun (sea grass beds). Kawasan yang bertaburan pulau-pulau kecil ini yang dikelilingi terumbu karang mempunyai banyak spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Kepulauan Derawan berada pada segitiga terumbu karang dunia yang memiliki keanekaragaman tertinggi. Anonim (2003) kawasan ekoregion laut Sulu-Sulawesi mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dengan jenis ikan, 500 jenis terumbu karang, 400 spesies alga laut, 22 jenis mamalia laut (paus dan lumba-lumba), dan 16 spesies padang lamun. Survei ikan karang pada bulan Oktober 2003 di Kepulauan Derawan dengan melakukan penyelaman di 42 stasiun selama 72 jam Scuba, menghasilkan 832 spesies dalam 272 genera dan 71 famili. Sebagai tambahan terdapat 40 spesies, 16 genera dan 6 famili dari survei 1994 di Sangalaki- Kakaban, sehingga total spesies 872 (Allen, 2003). Dari hasil penelitian Puslitbang Oseanologi LIPI-Ambon dalam WWF- Wallacea (2001), kawasan ini dipenuhi hamparan lamun (9 jenis), 26 jenis mangrove, 347 jenis karang, 222 jenis moluska maupun berbagai biota laut langka seperti dugong (Dugong dugon), ikan bele-bele/ napoleon (Cheilinus

94 74 undulatus), kerang kima (Tridacna sp), dan kepiting kenari (Birgus latro). Selain itu juga ditemukan jenis pari manta, lumba-lumba, hiu serta jenis uburubur endemik di Danau Kakaban. Adapun spesies yang dilindungi adalah penyu hijau, penyu sisik, paus, lumba-lumba, kima, ketam kelapa, duyung serta beberapa spesies lainnya Ekosistem Di Kepulauan Derawan terdapat tiga ekosistem penting, yaitu: terumbu karang, padang lamun dan mangrove. (i) Terumbu karang Ekosistem terumbu karang meliputi dataran terumbu, lereng terumbu, laguna serta gosong-gosong yang terdapat di daerah terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal (< 50 meter) dengan air yang jernih dan suhu di atas 18 C. Menurut Tomascik dan Mah (1994) di Kepulauan Derawan terdapat tiga tipe terumbu karang, yakni: - Karang tepi berada di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang yang berbatasan dengan kawasan estuari dan delta sepanjang garis pantai Kabupaten Berau. - Karang penghalang terdapat di Pulau Derawan, Panjang, Sangalaki, dan Semama. - Karang cincin/ atol ada di P. Maratua (690 km 2 ) dan Gosong Muaras (288 km 2 ) dan P. Kakaban (19 km 2 ). Atol di P. Kakaban membentuk danau dengan laguna tertutup. Danau yang berair payau dan tidak seasin air laut karena percampuran air hujan. Walaupun terpisah dengan laut permukaan air danau dipengaruhi pasang surut air laut. Untuk membedakan ketiga tipe terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 31 berikut ini.

95 75 Gambar 31. Profil dari karang tepi, karang penghalang dan karang cincin (Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996) Untuk keperluan restocking kawasan laut dengan karang tepi dapat digunakan untuk budidaya jenis ikan karang, ikan pelagis kecil, ubur-ubur dan udang. Kawasan laut dengan karang penghalang ini dapat digunakan untuk budidaya seperti : misalnya ikan putih, kerapu, baronang, bawal dan teripang serta untuk pembibitan buatan. Kawasan laut dan pulau karang beratol dapat dimanfaatkan untuk budidaya: (a) ikan pelagis besar seperti: tuna dan cakalang; (b) ikan demersal besar seperti: ikan merah, ikan bale-bale, dan kerapu. Dari hasil penelitian TNC (2004) dilaporkan bahwa jumlah biota karang yang ditemukan di Kepulauan Derawan antara 460 sampai 470 spesies. Hal ini menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Adapun lokasi terumbu karang yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan keindahan pemandangan bawah laut adalah : Karang Muaras, Karang Malalungun dan Karang Besar (Tabel 6). Permasalahan di ekosistem terumbu karang adalah eksploitasi ikan terumbu karang secara berlebihan (over fishing) seperti: pangkapan ikan nilai ekonomis tinggi (kerapu, napoleon dan lobster); penangkapan ikan hias; pemungutan kima, kerang dan tripang; pengambilan karang untuk industri aquarium. Penambangan karang untuk bahan bangunan, bongkar-pasang alat tangkap bubu juga merupakan kegiatan merusak terumbu karang. Penggunaan alat tangkap bom dan potasium telah menghancurkan terumbu karang. Kecuali itu kegiatan wisata bahari yang semakin banyak diminati wisatawan juga memberikan kontribusi terhadap kerusakan terumbu karang. Penyelam yang ceroboh seringkali menimbulkan kerusakan terumbu karang. Kapal penyelam

96 76 yang membongkar-pasang jangkar kapal sembarangan dan wisatawan berjalan-jalan di atas karang saat air surut. Tabel 6. Terumbu karang di Kepulauan Derawan No. Nama Pulau Luas Terumbu Karang (Ha) 1. Rabu-rabu 0 2. Panjang 128,42 3. Derawan 10,86 4. Semama 7,40 5. Sangalaki 35,61 6. Kakaban 0 7. Maratua 2.200,02 8. Balembangan 0 9. Sambit 8.698, Kr. Masimbung 348, Kr. Buliulin Malangun 121, Bilang-Bilang Mataha Manimbora 17, Balikukup 1.181,21 Jumlah ,42 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Berau (ii) Lamun Padang lamun merupakan ekosistem yang ada di perairan laut yang landai, berlumpur/ berpasir pada batas pasang-surut terendah. Umumnya menempati perairan laut yang tenang dan terlindung dan berada didekat ekosistem mangrove. Jenis-jenis tumbuhan yang ada di dalam komunitas lamun merupakan jenis tumbuhan berbunga sejati yang selalu terendam dalam air serta mampu beradaptasi dengan kondisi perairan dengan salinitas tinggi. Secara ekologis ekosistem lamun berfungsi sebagai: sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi organisme, menstabilkan dasar yang lunak, tempat berlindung organisme dari predator, tempat pembesaran beberapa spesies ikan, peredam arus, pelindung dari sinar panas matahari bagi penghuninya.

97 77 Gambar 32. Ekosistem lamun (seagrasses) Luas dan proporsi penutupan padang lamun disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8 berikut ini. Tabel 7. Luas padang lamun di Kepulauan Derawan No. Nama Pulau Luas Padang Lamun/ Makro alga (ha) 1. Rabu-rabu 2.220,22 2. Panjang ,22 3. Derawan 948,11 4. Semama 426,35 5. Sangalaki 152,80 6. Kakaban 0 7. Maratua ,62 8. Balembangan 0 9. Sambit , Kr. Masimbung 2.509, Kr. Buliulin 1.991, Kr. Dekat P. Derawan 3.186, Bilang-Bilang 154, Mataha 204, Manimbora 114, Balikukup ,79 Jumlah ,84 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau, Parameter fisik yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah kecerahan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, kisaran temperatur optimum C, salinitas optimum 35 psu, substrat campuran lumpur dan fine mud, serta kecepatan arus optimal sekitar 0,5 m/detik. Ekosistem lamun secara ekologi dan ekonomi sangat penting, namun keberadaanya terancam oleh gangguan dan kegiatan manusia. Sampai saat ini

98 78 upaya restorasi dan konservasi lamun belum dilakukan, padahal keanekaragaman hayati wilayah pesisir sangat tergantung pada stabilitas ekosistem lamun. Ikan yang terdapat di ekosistem lamun di Kepulauan Derawan terdapat 85 jenis dari 34 famili. Tabel 8. Penutupan dan jenis tumbuhan pada ekosistem lamun di Kepulauan Derawan No. NAMA PULAU PENUTUPAN JENIS LAMUN 1. Panjang 5 % - 40 % 1. Enhalus acoroidea, 2. Thalasia hemprichii, 3. Halodule uninervis (*), 4. Halophila ovalis, 5. Cyamodocea rotundata, 6. Syringodium isoetifolium, 7. Halodule pinifolia, 2. Derawan < 5 % - 50 % 1. Thalasia hemprichii, 2. Halodule uninervis, 3. Halophila ovalis, 4. Cyamodocea rotundata, 5. Syringodium isoetifolium, 6. Halodule pinifolia, 3. Semama Merata (10%) 1. Enhalus acoroidea, 2. Thalasia hemprichii, 3. Halodule uninervis, 4. Halophila ovalis, 5. Cyamodocea rotundata (*), 6. Syringodium isoetifolium, 7. Halodule pinifolia, 4. Sangalaki 10 % - 20 % 1. Enhalus acoroidea, 2. Thalasia hemprichii, 3. Halodule uninervis, 4. Halophila ovalis, 5. Cyamodocea rotundata, 6. Halodule pinifolia (*). 5. Kakaban Merata ( 5 % ) 1. Halophila ovalis 2. Halodule uninervis 6. Maratua 5 % - 80 % 1. Halodule univervis, 2. Halodule pinifolia, 3. Cyamodocea rotundata, 4. Syringodium isoetifolium, 5. Enhalus acoroides, 6. Thalassia hemrichii, 7. Halophila ovata 8. Halophila ovalis Keterangan: (*) = Jenis yang dominan Sumber : TNC (2004)

99 79 Ekosistem lamun memiliki peran penting bagi hewan herbivora/ biota invertebrata perairan. Tumbuhan lamun melakukan fotosintesis akan menghasilkan nutrisi bagi duyung (Dugong dugon) dan penyu. Selain itu melalui proses dekomposisi komunitas lamun akan menghasilkan detritus yang akan dikonsumsi oleh hewan invertebrata dari kelompok Molusca; Echinodermata; bulu babi; bintang laut; udang dan kepiting. Menurut TNC (2004) survei awal pada bulan Juli 2003 yang dilakukan oleh Wawan Kiswara (P2O LIPI) dan tim TNC, menemukan delapan spesies lamun yang ada di Kepulauan Derawan yaitu : Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis. Ancaman terhadap ekosistem lamun umumnya di negara-negara Asia Tenggara, tidak terkecuali perairan Kalimantan Timur yang disebabkan oleh pembukaan hutan besar-besaran, kebakaran hutan, budidaya laut, sedimentasi, baling-baling perahu, dan peningkatan hunian di pesisir yang menyebabkan peningkatan kandungan nutrien di perairan pesisir. (iii) Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu komunitas biotis dan abiotis yang berada di daratan wilayah pantai. Secara alami komunitas mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut, selalu tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove mewakili komunitas pantai dengan anekaragam jenis biota yang sangat tinggi. Selain merupakan habitat tumbuhan dan tempat tinggal satwa, mangrove juga menjadi tempat transit berbagai jenis burung dan biota perairan laut. Kehadiran satwa migrasi pada ekosistem mangrove karena alasan sebagai tempat bertelur (nesting-site); membesarkan anak (nursery) serta mendapat energi dari makanan selama perjalanan panjang. Keragaman jenis pohon mangrove yang dapat dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pidada (Sonneratia spp.), Tancang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.) dan lain-lain. Vegetasi mangrove membentuk formasi yang teratur mulai dari daratan ke arah laut

100 80 sebagai berikut : Formasi Sonneratia/ Avicenia; Formasi Rhizophora; Rhizophora/ Bruguiera; Bruguiera dan Nipah/ Pandan (Gambar 33). Gambar 33. Formasi vegetasi di ekosistem mangrove (Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996) Dari data kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau diperoleh sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan seperti disajikan pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan No. Nama Pulau Luas Vegetasi Mangrove (ha) 1. Rabu-rabu 24,01 2. Panjang 524,66 3. Derawan 33,34 4. Semama 97,03 5. Sangalaki 18,08 6. Kakaban 718,45 7. Maratua 2.460,51 8. Balembangan 174,77 9. Sambit 140, Malangun 4, Balikukup 27, Bilang-Bilang 31, Mataha 62, Manimbora 1,34 Jumlah 4.318,83 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau, tahun 2003.

101 81 Pada Gambar 34 dapat dilihat sebaran ketiga ekosistem di Kepulauan Derawan dimana ekosistem lamun mendominasi Kepulauan Derawan. Gambar 34. Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan. (Sumber : Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Berau) Perikanan Potensi perikanan Kabupaten Berau disumbang oleh kegiatan perikanan tangkap dari beberapa kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut, antara lain: Kecamatan Derawan; Gunung Tabur; Sambaliung; Talisayan dan Biduk- Biduk. Produktivitas perikanan untuk setiap jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.

102 82 Tabel 10. Produktivitas setiap jenis ikan di Kabupaten Berau tahun No Nama Daerah Nama Internasional Nama Latin Produktivitas (ton/th) 1 Alu-alu Barracudas Sphyraena geine Bawal Hitam Black pomfret Formio niger Bawal Putih Silver pomfret Pampus urgentus Belanak Mullets Vulamugie speigleri Biji Nangka Goat fishes Upeneus sulphureus Cakalang Skipjack funa Katsuwonus pelamis Cucut Sharks Chentroporus squalus mitsukurii 8 Daun Bambu Queen fishes Cynoglossus lingua Ekor Kuning Yellow fail Caesio erythrogaster Gerot-gerot Grunters Pomadasys macullatus Gulamah Croackers Pseudociera amoyensis Kakap Barramundi Pseudociera lates sp Kembung Indian mackerel Restrolliger brachysoma 14 Kepiting Mud crab Scylla serrata Kerang Darah Blood crockles Adanata granosa Kerapu Groupers Ephinephelus sp Kurisi Treadfins breams Nemipterus 860 nematophorus 18 Kuro/ senangin Threadfins Eletheronema tetradactylum 19 Kuwe Jack travellies Caranx sexpasciatus Layang Scads Decuplerus macrosoma Lidah Flat fishes Cynoglossus lingua Manyung Sea cut fishes Arius thalassinus Bambangan Red Snappers Lutyarus sanjuireus Pari Rays Tryson sp Sebelah Indian halibut Presttodes erumei Selar Trevallies Selaroides leptolepis Sunglir Rainbow runner Sardinella fimbriata Tembang Fringe scale Sardinella fimbriata 738 sardinella 29 Tengiri Indo pacific king Scromberomorus 645 mackerel guttatus 30 Teri Anchovies Stoplephonus 289 commersonei 31 Terubuk Tholishad Helsa toli Tongkol Eastern little tuna Auxis thazard Sumber. Dinas Perikanan Kabupaten Berau

103 83 Produktivitas sumberdaya perikanan tangkap di laut dilihat sejak tahun mengalami peningkatan rata-rata 5,89% per tahunnya atau rata-rata 9.501,33 ton/ tahun. Kegiatan perikanan tangkap yang ada di Kecamatan Derawan dan Biduk-Biduk, meliputi penangkapan perikanan laut dan pengambilan telur penyu telah menyumbang terbesar pendapatan Kabupaten Berau. Kedua aktivitas perikanan tersebut pada tahun 2001 menyumbang Rp ,00. Alat tangkap yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua adalah payang (pukat kantong) 74 unit, pukat cincin (Purse Sein) 14 unit, jaring insang 282 unit, jaring angkat 30 unit, pancing 139 unit, perangkap 66 unit dan alat pengumpul 13 unit. Ada 50 jenis komoditas perikanan yang dihasilkan dari perairan kecamatan P. Derawan, yaitu: 4.896,6 ton pada tahun 2002 serta upaya tangkap sebesar per trip/ tahun dengan produksi rata-rata sebesar 3.468,52 ton/ tahun. Produksi udang putih menunjukkan angka tertinggi, yakni: 370 ton pada tahun Adapun jumlah kapal penangkapan ikan yang ada di Kecamatan Derawan pada tahun 2002 sebanyak 83 unit perahu tanpa motor, 104 unit motor tempel, 270 unit kapal motor. Produktivitas sumberdaya perikanan tahun meningkat rata-rata 5,45% per tahun atau ,261 ton/ tahun. Pengambilan telur penyu mengalami penurunan sebanyak 13,36 ton/ tahun. Adapun ancaman terhadap sumberdaya perikanan adalah : penggunaan alat tangkap yang merusak seperti: bom dan racun potasium; penggunaan alat tangkap bubu oleh masyarakat lokal; invasi nelayan luar dengan alat tangkap dan armada yang relatif lebih maju dan penggunaan pukat harimau; aktivitas wisata penyelaman telah menimbulkan kerusakan terumbu karang seperti bongkar-pasang jangkar kapal wisata; penangkapan penyu oleh nelayan luar; pengambilan telur penyu oleh masyarakat lokal.

104 Sosial ekonomi Kepulauan Derawan berada di tiga kecamatan di antaranya : Kecamatan Derawan (sebagian), Kecamatan Maratua dan Kecamatan Biduk-Biduk (sebagian). Tempat kedudukan Kecamatan Derawan dan Kecamatan Biduk- Biduk berada di daratan Pulau Kalimantan. Pulau-pulau yang berpenghuni ada tiga, yakni: Pulau Derawan; Pulau Maratua dan Pulau Balikukup. Wilayah studi penelitian ini berada di tiga desa, yakni : Desa Derawan (Kec. Derawan), Desa Payung-Payung (Kec. Maratua) dan Desa Balikukup (Kec. Biduk-biduk) Desa Derawan Desa Derawan berada di Pulau Derawan memiliki luas 6 hektar. Di sebelah Utara Desa Derawan berbatasan dengan P. Panjang; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Biduk-biduk; sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Tanjung Batu (berada di daratan Kalimantan); sebelah Timur berbatasan dengan P. Maratua. Penduduk yang tergolong usia kerja sebanyak 483 orang dan yang bekerja sebanyak 256 orang sedang pengangguran sebanyak 317 orang. Komposisi penduduk Desa Derawan berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin secara rinci tersaji pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Komposisi penduduk Desa Derawan berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin No Golongan Umur Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah 1. 0 bulan 12 bulan bulan 4 tahun tahun 6 tahun tahun 12 tahun tahun 15 tahun tahun 18 tahun tahun 25 tahun tahun 35 tahun tahun 45 tahun tahun 50 tahun tahun 60 tahun tahun 75 tahun tahun keatas Jumlah Sumber : Monografi Desa Derawan Tahun 2003

105 85 Berdasarkan data monografi desa diketahui bahwa pemukiman menempati separuh pulau (2,95 ha). Sisanya dipergunakan untuk kantor desa, sekolah, toko-toko, pasar, jalan, lapangan sepak bola, tempat ibadah, kuburan dan tempat rekreasi dengan luas 3,95 ha. Mata pencaharian utama penduduk Desa Derawan sebagai nelayan. Mata pencaharian lain penduduk Desa Derawan adalah perdagangan dan jasa serta sebagai PNS di bidang pemerintahan (Tabel 12). Tabel 12. Mata pencaharian penduduk Desa Derawan di bidang jasa dan perdagangan. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang) Pemerintahan : a. Guru b. TNI/ PNS c. Mantri Kesehatan d. Pensiunan TNI/ PNS Perdagangan : Warung dan toko 5 Penginapan : a. Losmen b. Hotel Jasa : a. Tukang kayu b. Tukang batu c. Tukang jahit d. Tukang cukur Jumlah 80 Sumber : Monografi Desa Derawan tahun 2004 Separuh armada perikanan Kab. Berau ini berdomisili di Pulau Derawan. Dari monografi desa Derawan tahun 2004 diketahui bahwa perahu motor yang dimiliki sebanyak 104 buah dan kapal motor tempel sebanyak enam unit. Di Desa Derawan terdapat delapan orang pengusaha perikanan. Hasil perikanan rata-rata per tahun adalah : ikan tongkol 2 ton; ikan tengiri 500 kg; ikan kecil 100 kg; ikan besar 500 kg; cumi-cumi 10 kg dan tripang 500 kg Desa Payung-Payung Desa Payung-Payung merupakan salah satu desa dari lima desa yang berada di Pulau Maratua. Sebagai wilayah administrasi Kecamatan Maratua meliputi tiga desa (Desa Bohe Silian, Payung-Payung, dan Bohe Bukut)

106 86 berada di sisi Barat dan dua desa lainnya (Desa Teluk Alulu dan Tanjung Bahaba) berada di sisi Timur P. Maratua. Desa Payung-Payung merupakan desa pemekaran yang dibentuk tahun Batas administrasi Desa Payung-Payung adalah : sebelah Utara berbatasan dengan Desa Teluk Alulu; sebelah Selatan berbatasan dengan Pulau Kakaban; sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makasar; sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Derawan. Dari monografi Desa Payung-Payung diketahui bahwa jumlah penduduk pada bulan Desember 2002 sebanyak 612 orang dan 585 orang pada bulan Desember Selama satu tahun terjadi penurunan sebanyak 27 orang, sedang jumlah kepala keluarga tidak berubah selama satu tahun yakni 135. Desa Payung-Payung memiliki satu unit Sekolah Dasar; satu unit Sekolah Menengah Pertama; satu unit Puskesmas dan empat unit toko/ warung. Rata-rata pendidikan masyarakat Desa Payung-Payung adalah Sekolah Dasar. Kebanyakan anak-anak usia sekolah tidak bersekolah (putus sekolah) karena kurangnya dorongan orang tua, dan faktor ekonomi. Jika pelajar akan melanjutkan pendidikan sampai tingkat Sekolah Lanjutan Atas harus pergi merantau ke Tanjung Redeb atau ke P. Tarakan yang jaraknya sangat jauh. Hal ini jarang sekali dilakukan oleh keluarga nelayan di P. Maratua. Fasilitas kesehatan masyarakat yang ada Puskesmas Induk. Belum adanya tenaga dokter sehingga penanganan pasien sakit parah harus ke Tanjung Redeb atau Tarakan (perlu waktu sekitar 8-10 jam perjalanan dengan kapal penduduk). Setiap desa hanya memiliki tenaga medis mantri kesehatan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah: nelayan (90%), sebagian kecil adalah PNS dan TNI (7%), dan juragan ikan (3%). Perekonomian masyarakat Desa Payung-Payung sangat tergantung pada sumberdaya laut Desa Balikukup Desa Balikukup berada di Pulau Balikukup, yaitu 80 kilometer sebelah Barat Daya Pulau Maratua. Desa Balikukup memiliki luas ± 21,87 ha dengan bentuk oval. Pulau Balikukup secara adminstrasi berada di wilayah Kecamatan Biduk-Biduk.

107 87 Dari monografi desa dilaporkan jumlah penduduk Desa Balikukup sebanyak 875 orang dengan jumlah laki-laki 500 orang dan perempuan 375 orang. Desa Balikukup baru terbentuk pada tahun 2003 (merupakan desa pemekaran). Batas-batas Desa Balikukup adalah sebelah Utara berbatasan dengan Karang Takat Silonjongan; sebelah Selatan berbatasan dengan P. Manimbora; sebelah Barat berbatasan dengan P. Bilang-Bilang; sebelah Timur berbatasan dengan Karang Mangkalepai. Desa Balikukup memiliki Sekolah Dasar (satu unit); Sekolah Menengah Pertama (satu unit), dan Puskesmas Pembantu (satu unit), sedangkan toko/ warung sebanyak 10 unit. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah nelayan (90%), sisanya adalah PNS sebanyak 7 orang dan pedagang 5 orang Pengusahaan telur penyu hijau Pada Gambar 35 dapat diketahui sebaran lokasi peneluran penyu hijau yang berada P. Derawan, P. Sangalaki, P. Bilang-Bilang, P. Mataha, P. Balembangan, P. Balikukup dan P. Sambit. Pemanenan telur penyu oleh masyarakat Kepulauan Derawan dilakukan sejak 50 tahun yang lalu. Gambar 35. Peta sebaran daerah peneluran penyu di Kepulauan Derawan (Sumber : Mahardika. N.,2004)

108 88 Eksploitasi telur penyu semakin intensif dan berkembang untuk tujuan komersial. Perubahan eksploitasi telur penyu menjadi besar-besaran karena adanya kebijakan privatisasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dengan penunjukan perusahaan swasta. Sejarah eksploitasi telur penyu yang diprakarsai Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Sejarah pengusahaan telur penyu di Kepulauan Derawan PERIODE Sebelum 1901 Eksploitasi secara komersial POLA PENGUSAHAAN Pelarangan menangkap penyu dewasa dan pengambilan telur penyu dengan perijinan di P. Sangalaki dan P. Derawan Diberlakukan periode pemanenan dan pelarangan berselangseling setiap tahun, hanya di P. Sangalaki Eksploitasi sangat tinggi Pelelangan berdasarkan Peraturan Daerah No. 30 tahun 1953 dan Peraturan Daerah No. 15 tahun Pengusahaan selama enam bulan dan penunjukan melalui Surat Keputusan Bupati setiap enam bulan sekali. Pemberlakuan Undang-Undang tentang Pajak dan Retribusi sehingga Peraturan Daerah No. 15 tahun 1983 tidak berlaku. Adopsi sarang oleh pengusaha wisata di P. Derawan dan P. Sangalaki Pelelangan, perolehan telur disisihkan 10% untuk dibiakkan dan ditebarkan ke laut (S.K. Bupati No. 69 tahun 1999). Adopsi sarang oleh pengusaha wisata di P. Derawan dan P. Sangalaki 2001 Pelelangan, dibentuk tim monitoring dan konservasi (S.K. Bupati No. 35 tahun 2001); kewajiban untuk menyisihkan (untuk konservasi) sejumlah 20% (S.K. Bupati No. 44 tahun 2001), Adopsi sarang oleh pengusaha wisata di P. Derawan dan P. Sangalaki Pengusahaan P. Sangalaki dan P. Derawan melalui pelelangan (Instruksi Bupati No. 66 tahun 2002). 2. Penunjukan langsung pihak swasta untuk memanfaatkan telur penyu pada pulau-pulau selain P. Sangalaki dan P. Derawan. Pembentukan tim pengamanan untuk P. Sangalaki dan P. Derawan (S.K. Bupati No. 36 tahun 2002). Sumber : Data dari WWF-Wallacea (2000)

109 89 Setiap minggu telur-telur penyu diangkut dengan tiga kapal langsung dibawa ke Tanjungredeb di Kabupetan Berau, Samarinda di Tarakan untuk disalurkan kepada para distributor dan kemudian disalurkan langsung ke pedagang eceran. Omzet penjualan di tiga kota ini mencapai Rp ,- sampai dengan Rp ,- per bulan (Anonim, 2000). Gambar 36. Pengusahaan pemanenan telur penyu oleh CV. Derawan Penyu Lestari Untuk tujuan konservasi penyu Pemerintah Daerah menyisihkan telur penyu untuk restocking pada tahun 2000 sebanyak 10% dan meningkat 20% pada tahun Telur penyu 20% yang telah disisihkan tersebut diserahkan kepada pihak ketiga (WWF, Kehati dan Turtle Foundation) melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 35 tahun Sejak tanggal 1 Januari 2002, tidak ada lagi pengusahaan pemanenan telur penyu di P. Sangalaki. Pengelolaan penyu di P. Sangalaki diserahkan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (WWF, Kehati, dan Turtle Foundation) melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 36 tahun Seiring dengan penutupan P. Sangalaki dari pemanenan telur penyu (tahun 2002), Pemerintah Kabupaten Berau menyerahkan pengusahaan telur penyu pada perorangan, yakni H. Saga. Haji Saga adalah penduduk Pulau Derawan yang beroperasi pada pulau-pulau kecil tidak berpenghuni, seperti : P. Bilang-Bilang, P. Balembangan, P. Mataha dan P. Sambit. Sumbangan PAD yang diberikan H. Saga pada Pemerintah Daerah Kabupaten Berau adalah sebesar Rp ,- (tahun 2002); Rp ,- (tahun 2003); dan Rp ,- (tahun 2004) dengan ditambah satu unit long boat dengan mesin tempel.

110 90 Sebagian dari hasil pemanenan telur penyu dikirimkan ke Samarinda dengan frekuensi pengapalan sekali dalam dua minggu. Saat dilakukan pengamatan, memperlihatkan salah satu dari beberapa pedagang telur penyu di sepanjang Jalan Gajah Mada kota Samarinda (Gambar 37). Gambar 37. Pedagang telur penyu di Jalan Gajah Mada Samarinda Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Kalimantan Timur yang berkedudukan di Samarinda melalui Seksi Wilayah Konservasi Kabupaten Berau seharusnya mengelola penyu yang berada di wilayah kerjanya yakni : Pulau Sangalaki dan Pulau Semama. Namun dengan adanya kebijakan privatisasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Berau menjadikan eksploitasi telur penyu tidak terkontrol.

111 Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau dan kondisi populasi penyu hijau. 5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau Di tingkat internasional penyu hijau dilindungi oleh berbagai negara karena status endangered species dan dikelompokkan dalam Appendix I CITES. Endangered species adalah status konservasi dalam IUCN Red Data Book dimana spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Dalam CITES penyu hijau telah dikelompokkan dalam Appendix I bersama lebih dari 800 spesies yang dilarang diperdagangkan secara komersial. Jenis yang dimasukkan dalam Appendix I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Di tingkat nasional penyu hijau telah dilindungi oleh pemerintah melalui penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain. Setelah delapan tahun perlindungan penyu hijau, eksploitasi penyu di tingkat lokal tidak terkendali baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pihak yang mendapat konsesi pemanenan telur penyu melalui Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan Bupati dan Peraturan Daerah. Eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia mengindikasikan kegagalan kebijakan perlindungan penyu hijau. Penangkapan penyu dan pemanenan telur penyu merupakan permasalahan utama yang dihadapi pihak pengelola. (i) Pemanenan telur penyu Dari rekapitulasi data dapat dilaporkan bahwa pemanenan telur penyu terjadi di 24 UPT, yakni: BKSDA Sumbar; BKSDA Riau; BKSDA Sumsel; BKSDA Lampung; BKSDA Bengkulu; BKSDA Jabar I; BKSDA Jabar II; BKSDA Jateng; BKSDA DIY; BKSDA Jatim I; BKSDA Jatim II; BKSDA Bali; BKSDA NTB; BKSDA NTT I; BKSDA Kalbar; BKSDA Kaltim;

112 92 BKSDA Sulteng; BKSDA Ambon; BTN Siberut; BTN Bukit Barisan Selatan; BTN Ujung Kulon; BTN Karimunjawa; BTN Meru Betiri; BTN Teluk Cendrawasih. Pada Gambar 38 dapat diketahui lokasi UPT yang melaporkan ada pemanenan telur penyu di wilayah kerjanya. Gambar 38. Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu Di beberapa UPT terdapat lokasi peneluran penyu ada yang dikonsesikan oleh Pemerintah Daerah untuk dijadikan obyek pajak. Pada Tabel 14 dapat dilihat beberapa lokasi pemanenan telur penyu yang di konsesi oleh pihak lain. Tabel 14. Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah No. UPT LOKASI KONSESI 1. BKSDA NTB Lunyuk; Kawinda Toi; dan P. Medang 2. BKSDA Kaltim Kepulauan Derawan (P. Bilang-Bilang; P. Mataha; P. Balembangan; P. Sambit). 3. BKSDA Sumsel Desa Gersik, Kec. Selat Nasik, Kab. Belitung. 4. BKSDA Jabar I Desa Gunung Batu, Kec. Ciracap, Kab. Sukabumi 5. BKSDA Riau Pulau Tambelan, Kepulauan Riau. Legalitas yang mendasari penunjukan konsesi peneluran penyu adalah: 1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 750/Kpts-II/1999 mendasari eksploitasi telur di P. Tambelan, Kepulauan Riau; 2) Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 2 tahun 2001 diperkuat Surat Keputusan Bupati No. 973/Kep171-BPKD/2001 mendasari eksploitasi telur penyu di Kabupaten Sukabumi;

113 93 3) Keputusan Bupati No. 36 tahun 2002 mendasari eksploitasi telur di Kabupaten Berau. Legalitas yang memberi ijin pemanenan telur penyu menyebabkan konflik kepentingan dengan Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA. (ii) Penangkapan penyu Penangkapan penyu hijau dilaporkan oleh 27 UPT. Pada Gambar 39 dapat diketahui bahwa penangkapan penyu terjadi hampir merata di wilayah Indonesia. Dalam Tri Wibowo, E (1991), pengiriman penyu untuk memasok kebutuhan masyarakat P. Bali berasal dari 31 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada kemiripan antara peta penangkapan penyu dari data tahun 2005 (Gambar 39) dengan peta pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia dari data tahun 1990 (Gambar 11). Selama 15 tahun pola penangkapan penyu di wilayah Indonesia tidak pernah berubah walaupun pada tahun 1999 telah ditetapkan perlindungan penyu hijau. Gambar 39. Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu Dengan adanya UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 8 tahun 1999 melengkapi kebijakan perlindungan spesies agar pemerintah melaksanakan konservasi spesies melalui kegiatan pengawetan dan pemanfaatan spesies.

114 94 (1) Pengawetan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, bahwa: Pengawetan spesies dapat dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam (Pasal 13). Selanjutnya PP No. 7 th 1999 menjelaskan bahwa : Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya (Pasal 8). Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: identifikasi; inventarisasi; pemantauan; pembinaan habitat dan populasinya; penyelamatan jenis; pengkajian, penelitian dan pengembangan. Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: pemeliharaan; pengembangbiakan; pengkajian, penelitian dan pengembangan; rehabilitasi spesies; penyelamatan spesies. Dari rekapitulasi data dapat diketahui bahwa sebagian besar (26 UPT) lingkup Ditjen PHKA tidak melaksanakan kegiatan pengawetan. Gambar 40. UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan (2) Pemanfaatan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, Pemanfaatan spesies dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman spesies (pasal 28). Pemanfaatan spesies dilaksanakan dalam bentuk : pengkajian, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran (Pasal 36). Selanjutnya PP No. 8 tahun 1999 menjelaskan pemanfaatan meliputi kegiatan: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; dan pemeliharaan untuk kesenangan.

115 95 Pemanfaatan penyu hijau belum dilaksanakan oleh UPT lingkup Ditjen PHKA. Pengembangan atraksi wisata penyu di beberapa UPT merupakan pemanfaatan jasa lingkungan penyu. Obyek wisata penyu berada di UPT BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. Obyek wisata penyu yang dikelola oleh LSM bekerjasama dengan masyarakat lokal berada di BKSDA DIY dan BTN Taka Bonerate, sedangkan yang dikelola oleh masyarakat lokal berada di BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. 5.2 Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau Sejak krisis ekonomi dan politik tahun 1997, terjadi penurunan secara drastis anggaran pemerintah pusat yang disediakan melalui APBN untuk konservasi (PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea, TNC, 2002). Pengalokasian dana pengelolaan penyu pada empat UPT, seperti: BTN Meru Betiri Rp ,- /tahun; BTN Ujung Kulon Rp ,-/tahun; BTN Alas Purwo Rp ,-/tahun dan BKSDA Jawa Timur II Rp ,-/tahun telah menimbulkan minimnya sarana prasarana dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia. Kelemahan manajerial memberi gambaran pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah sebagai skema kelembagaan yang terpusat (centralizedinstitutional arrangement) memiliki kewenangan di seluruh Indonesia namun lemah di dalam penanganan ancaman eksploitasi dan penegakan hukum. Pengelolaan penyu hijau sebagai upaya konservasi spesies yang dilaksanakan di suatu UPT. Pelaksanaan pengelolaan penyu hijau ini tidak berdiri sendiri, tetapi dilaksanakan bersama dengan spesies lain (multi spesies) atau sebagai bagian dari pengelolaan kawasan (konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya). Untuk mendapat gambaran tentang kegiatan pengelolaan penyu hijau yang ada di 50 UPT diperlukan jawaban atas beberapa pertanyaan, seperti: Apakah input pengelolaan suatu UPT mempengaruhi pengelolaan penyu hijau?; Bagaimana karakteristik pengelolaan penyu hijau dan ancaman terhadap penyu hijau?; Bagaimana peta permasalahan dan kinerja pengelolaan penyu hijau?.

116 Pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau Setiap UPT merupakan suatu organisasi/ lembaga/ institusi yang mendapat alokasi dana dan memiliki sumberdaya manusia (SDM) dan beberapa input pengelolaan UPT yang lain diduga mempengaruhi pengelolaan penyu hijau, yakni: i) Tipe UPT Tipe UPT dapat memberi gambaran tentang sarana-prasarana yang dimiliki suatu UPT. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 dan No. 6187/ Kpts-II/2002 menyebutkan bahwa UPT terdiri dari tiga tipe, yakni: UPT tipe A, UPT tipe B, dan UPT tipe C yang dibedakan oleh susunan organisasi. Gambar 41. Struktur organisasi UPT tipe A, B, C ii) Luas kawasan konservasi Setiap UPT memiliki kawasan konservasi yang berbeda-beda bentuknya, seperti: Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Taman Wisata Alam, Taman Nasional yang berisi potensi flora dan fauna serta ekosistem yang dikelola oleh suatu UPT. iii) Luas wilayah kerja Luas wilayah kerja yang dapat dijadikan ukuran beban dan tanggung jawab pengelola UPT. Untuk UPT BTN diukur dari kawasan konservasi ditambah dengan wilayah teritori, sedangkan UPT BKSDA memiliki ukuran sama dengan luas wilayah admistratif.

117 97 iv) Jumlah nesting site penyu hijau di suatu UPT v) Panjang garis pantai nesting site penyu hijau di suatu UPT. Pengujian pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau digunakan Metode Categorical Regression (CATREG). Pada Lampiran 1 dapat dilihat pengujian hubungan antara variabel response (50 UPT) dengan sekelompok predictor (7 variabel dari input pengelolaan). Hasil pengujian dapat diketahui bahwa hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor dapat dijelaskan oleh model Regresi: Y = 0,48 X 1 + 0,425 X 2 0,304 X 3 0,253 X 4-0, 172 X 5 + 0,114 X 6 + 0,09 X 7 dimana : Y = UPT X 3 = Dana X 6 = Panjang Garis pantai X 1 = Tipe UPT X 4 = SDM X 7 = Jumlah Nesting site X 2 = Luas KK X 5 = Luas Wilayah kerja Koefisien determinasi: R 2 = 0, 521, berarti 52,1% perbedaan UPT (response) yang mampu dijelaskan oleh regresi, sisanya (47,9%) dipengaruhi oleh faktor yang tidak diketahui. Pengelolaan penyu hijau di 50 UPT tidak dipengaruhi oleh input pengelolaan suatu UPT. Jika akan meningkatkan kuantitas UPT yang mengelola penyu tidak dapat dilakukan dengan peningkatan input pengelolaan, seperti: Tipe UPT, Dana, Jumlah SDM, Luas Kawasan Konservasi, Luas Wilayah Kerja, Panjang Garis Pantai dan Jumlah Nesting Site Karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau Penentuan karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau menggunakan analisis Metode Hierarchical Clustering. Analisis cluster ini mengklasifikasikan data menjasi beberapa kelompok yang memiliki kesamaan (similarity/homogeneous). Analisis Hierarchical Clustering dapat diperiksa pada Lampiran 2. Dendrogram merupakan hasil pengelompokan UPT yang menunjukkan karakteristik pengelolaan (Gambar 42) dan karakteristik ancaman terhadap penyu hijau (Gambar 43).

118 98 Gambar 42. Karakteristik pengelolaan penyu hijau Dari Gambar 42 dapat diketahui bahwa karakteristik pengelolaan terdiri dari tiga cluster, dimana: Cluster 1 adalah 26 UPT dimana sebagian UPT memiliki nesting site penyu dan tidak mengelola penyu. Cluster 2 adalah 20 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis pemerintah. Cluster 3 adalah 4 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis masyarakat.

119 99 Gambar 43. Karakteristik ancaman pengelolaan penyu hijau Pada Gambar 43 dapat diketahui bahwa karakteristik ancaman terhadap penyu hijau ada tiga cluster, yakni: Cluster 1 adalah 24 UPT yang terdapat ancaman ringan dimana sebagian kecil UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, perdagangan opsetan dan tidak ada konsumsi daging. Cluster 2 adalah 17 UPT yang terdapat ancaman sedang dimana sebagian besar UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur dan konsumsi daging dan tidak ada perdagangan opsetan.

120 100 Cluster 3 adalah sembilan UPT yang terdapat ancaman berat dimana semua UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, konsumsi daging dan perdagangan opsetan. Ada dugaan pengelolaan penyu hijau berkaitan dengan P. Bali, dimana konsumsi daging penyu di P. Bali pernah menimbulkan protes internasional pada tahun 80-an. Karenanya peneliti melakukan pengukuran jarak antara ke-50 Tingkat Kedudukan (TK) UPT terhadap kota Denpasar. Hasil pengukuran dikelompokkan dalam tiga peringkat melalui prosedur recode pada software package SPSS version 13. Hasil pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 44. Gambar 44. Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali Memperbandingkan setiap UPT dalam mengelola penyu hijau Pengelolaan penyu hijau yang berada di 50 UPT lingkup Ditjen PHKA yang akan diperbandingkan satu sama lain dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Pada Lampiran 3 dapat diperiksa hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS). Penggunaan dua jenis data, yakni: Matriks Distance tempat kedudukan UPT dan Matriks Dissimilarity UPT akan menghasilkan tampilan yang berbeda, antara lain: i) Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau menggunakan data distance antar Tempat Kedudukan (TK) UPT. Hasil analisis Multidimensional Scaling dari matriks distance antar TK-UPT menghasilkan koordinat TK-UPT dalam 2 dimensi. Dari nilai Stress < 0,01 diketahui bahwa solusi 2 dimensi adalah terbaik karena penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 sedangkan iterasi/ dimensi 2 ke 3 tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat TK-UPT tersebut divisualisasikan

121 101 melalui prosedur 3D-plot pada software XLSTAT 2006 menghasilkan peta TK-UPT pada ruang euclidean yang menyerupai peta geometrik (Gambar 45). Gambar 45. Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi Untuk memperbandingkan setiap UPT maka koordinat TK-UPT (Gambar 45) dikombinasikan dengan karakteristik ancaman, karakteristik pengelolaan dan zona sehingga dihasilkan pemetaan pengelolaan penyu secara geometrik. 1. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman. Gambar 46. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference karakteristik pengelolaan dan ancaman

122 102 Karakteristik ancaman dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan Karakteristik pengelolaan menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4. Tabel 15. Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman Pengelolaan Pengelolaan Tidak ada berbasis berbasis pengelolaan Proporsi pemerintah masyarakat Ancaman ringan % Ancaman sedang % Ancaman berat % Proporsi 52% 40% 8% Dari Gambar 46 dan Tabel 15 dapat diketahui bahwa: Semakin berat ancaman terhadap populasi penyu, semakin banyak UPT yang tidak mengelola penyu. Peningkatan kuantitas UPT yang mengelola penyu hijau dapat menurunkan ancaman. 2. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan zona dan karakteristik ancaman Gambar 47. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference zona dan karakteristik pengelolaan

123 103 Karakteristik pengelolaan dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan zona menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4. Tabel 16. Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Zona % Zona % Zona % Proporsi 52% 40% 8% Setelah mempelajari Gambar 47 dan Tabel 16 dapat dinyatakan bahwa semakin dekat jarak UPT dengan P. Bali semakin banyak UPT yang mengelola penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dipengaruhi protes internasional yang berkaitan dengan isu pembantaian penyu yang pernah dialamatkan ke masyarakat adat Bali tahun 80-an. ii) Penampilan lembaga UPT dalam mengelola penyu hijau Untuk penilaian kinerja UPT digunakan matriks Dissimilarity antar obyek berasal dari variabel-variabel input pengelolaan. Koordinat UPT yang ada pada ruang eucledian adalah penampilan (performance) lembaga UPT yang diwarnai oleh variabel Dana, SDM, Sarana-prasarana, Luas kawasan konservasi, Luas wilayah kerja, Tipe UPT, Jumlah nesting site dan Panjang garis pantai. Dari nilai stress 0,1 s/d 0,4 diketahui bahwa solusi 2 dimensi masih cukup baik walaupun solusi terbaiknya 3 dimensi. Penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 dan iterasi/ dimensi 2 ke 3, sedangkan iterasi/ dimensi ke 3 ke atas tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat UPT dalam 2 dimensi divisualisasikan melalui prosedur 3D-plot pada software package XLSTAT 2006 akan menghasilkan tampilan (performance) institusi ke 50 UPT pada ruang euclidean pada Gambar 48.

124 104 Gambar 48. Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi Jika koordinat lembaga UPT (Gambar 48) dikombinasikan dengan dua preference, yakni: Karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman, maka akan diperoleh tampilan lembaga pengelolaan penyu hijau pada Gambar 49. Gambar 49. Visualisasi koordinat 4 dimensi dari lembaga UPT setelah dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan ancaman

125 105 Dengan mempelajari Gambar 49 dapat dilakukan penilaian kinerja UPT, sebagai berikut : Ideal point adalah asumsi posisi ideal suatu UPT yang didasarkan pada pertimbangan Karakteristik pengelolaan dan Karakteristik ancaman. UPT Taka Bonerate menempati posisi ideal dimana pengelolaan penyu dilaksanakan berbasis masyarakat dan ancaman terhadap penyu yang tergolong ringan. Posisi sebaliknya adalah: UPT BKSDA Jateng; BKSDA Jatim I; BKSDA Maluku dan BTN Siberut. Keempat UPT ini memerlukan perhatian khusus karena tidak ada pengelolaan penyu hijau walaupun terdapat ancaman yang berat. 5.3 Penilaian Kondisi Populasi Penyu Hijau Sebagai satwa migran, sebagian besar siklus hidup penyu hijau berada di laut lepas. Keberadaan penyu hijau mudah diamati di daerah peneluran dan perairan laut sekitarnya. Sebaran daerah peneluran penyu hijau mengindikasikan bahwa perairan laut Indonesia merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting. Unit Pelaksana Teknis yang melaporkan memiliki daerah peneluran penyu hijau dapat dilihat pada Gambar 50. Gambar 50. Peta sebaran nesting site penyu hijau di Indonesia

126 106 Dari hasil rekapitulasi data diketahui sebaran daerah peneluran (nesting site) penyu hijau terdapat 147 lokasi dengan panjang garis pantai sepanjang ,2 km. Jumlah nesting site tertinggi secara berurutan berada di Kepulauan Karimunjawa, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara. Penilaian terhadap kondisi populasi penyu hijau dapat diidentifikasi dari trend dari jumlah penyu yang datang bertelur, jumlah telur yang dihasilkan dan prosentasi penetasan telur. Hasil analisis Time Series pada Lampiran 4 menggunakan data dari UPT BTN Meru Betiri; BKSDA Kaltim dan BTN Alas Purwo Balai Taman Nasional Meru Betiri (1) Penyu yang datang bertelur Hasil analisis Time Series dengan prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS) memberi gambaran tentang trend; rata-rata bergerak (moving average) dan variasi musiman dari jumlah penyu dan telur penyu. Selama 24 tahun penurunan penyu hijau di BTN Meru Betiri mengikuti persamaan regresi linear y = - 17,046 x + 746,32 yang diperkirakan ± 17 ekor/ tahun. Gambar 51. Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama Rata-rata bergerak (Moving average) yang menggambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata. Penghitungan rata-rata bergerak dengan mencari nilai rata-rata beberapa tahun secara berturut-turut sehingga diperoleh nilai rata-rata bergerak secara teratur.

127 107 Gambar 52. Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri Pada Gambar 53 diketahui bahwa jumlah penyu yang berfluktuasi secara teratur menunjukkan bahwa kedatangan penyu tertinggi pada bulan Januari, kemudian menurun dan terrendah pada bulan September. Variasi musiman dapat digunakan sebagai indikator pengamanan daerah pantai peneluran, dimana saat bulan Nopember s/d Maret pengamanan pantai ditingkatkan karena jumlah penyu yang datang tergolong tinggi. Gambar 53. Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri (2) Telur penyu yang ada di Pantai Sukamade Jumlah telur yang ditinggal induk di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri mengalami penurunan. Dari Gambar 54 dapat diketahui bahwa penurunan telur penyu mengikuti trend persamaan regresi y = ,7 x yang diperkirakan ± 1336 butir/ tahun.

128 108 Gambar 54. Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun Telur penyu hijau yang ditinggal induk di pantai selanjutnya diamankan oleh pihak pengelola dengan dua jenis perlakuan yakni: menetaskan secara alami dan secara semi alami. Penetasan alami, pihak pengelola akan memberi pagar, menandai sarang dan membiarkan telur menetas. Pada penetasan semi alami dilakukan pemindahan telur ke lokasi penetasan, menandai timbunan pasir yang berisi telur dan membiarkan telur menetas secara alami. Pemilihan kedua perlakuan tersebut tergantung pada tingkat kerawanan telur dari pemangsaan predator dan pemanenan yang dilakukan masyarakat. Gambar 55. Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun

129 109 Dari Gambar 55 dapat diketahui bahwa sebagian telur tidak menetas. Prosentase penetasan telur merupakan indikator dari keberhasilan perlakuan terhadap telur penyu baik secara alami maupun semi alami. Pada Gambar 56 diketahui terdapat gangguan penetasan telur pada kurun waktu antara tahun 1997 s/d Gambar 56. Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni : Data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an dari Lindsay and Watson (1995), Data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al (1997), dan Data penyu tahun dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) Gambar 57. Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim

130 110 Penurunan jumlah penyu hijau cukup tinggi di Balai KSDA Kalimantan Timur. Dari tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) diketahui bahwa penurunan populasi penyu hijau di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan. Gambar 58. Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim Sebaran penyu hijau tidak merata di Kepulauan Derawan. Pada Gambar 59 dapat diketahui jumlah penyu tertinggi berada di P. Sangalaki. Gambar 59. Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kep. Derawan (Sumber : Hitipeuw-WWF Indonesia, 2001 dalam Adnyana, 2005)

131 Balai Taman Nasional Alas Purwo Data penyu yang ada di Balai Taman Nasional Alas Purwo tidak digunakan karena penyu hijau hanya menduduki proporsi 2%. Dari semua jenis penyu laut yang datang untuk bertelur di BTN Alas Purwo, sebagian besar adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Gambar 60. Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo

132 Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan secara konsisten. Kelemahan menejerial menyebabkan Pemerintah gagal menghalangi eksploitasi penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dapat digambarkan sebagai sistem kelembagaan sentralistik dengan kewenangan yang meluas di seluruh Indonesia namun lemah dalam penanganan ancaman dan penegakan hukum. Alternatif kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dari sistem kelembagaan desentralistik yang mampu menangani ancaman dan penegakan hukum. Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda dengan perlindungan spesies yang selama ini dilaksanakan pemerintah. Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut (KKL). Perumusan alternatif kebijakan perlindungan pada Kasus Kepulauan Derawan menghasilkan Rancangan KKL Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Pemilihan Kepulauan Derawan sebagai model perlindungan habitat didasarkan pertimbangan: Kepulauan Derawan terletak di antara Laut Sulu dan Pulau Sulawesi merupakan lokasi penting yang menjadi perhatian internasional dalam pengembangan proyek Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) oleh Negara Malaysia, Indonesia dan Filipina. Kepulauan Derawan memiliki daerah peneluran penyu hijau tertinggi di Indonesia; Kepulauan Derawan terdapat pemanenan telur penyu secara sistematis, panangkapan induk di perairan laut dan pengrusakan habitat Kepulauan Derawan terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah Kabupaten Berau dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam karena kebijakan privatisasi pengunduhan telur penyu sebagai sumber PAD.

133 Pendekatan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan Menurut Groves (2003) untuk menyelamatkan spesies yang menuju kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies yang dimaksud menjadi target (species target), sedangkan komunitas biotis dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi (conservation target). Jika pemikiran Groves diterapkan pada kasus Kepulauan Derawan, maka dengan melindungi penyu hijau (species target) diperlukan kawasan konservasi cukup luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya (Gambar 61). Penyu berperan sebagai spesies payung (the umbrella species) bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem di Kepulauan Derawan. Gambar 61. Penyu hijau sebagai species target bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan 6.2 Tujuan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan Untuk menyelamatkan spesies penyu hijau dari kepunahan diperlukan pembentukan KKL pada habitat penyu hijau. Wilayah Kepulauan Derawan yang luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem di dalamnya. dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut.

134 114 i) Pemulihan populasi penyu di alam Ancaman manusia berupa pemanenan telur dan penangkapan induk penyu terjadi pada daerah perairan dangkal dan pantai peneluran. Daerah ini merupakan habitat penting karena penyu hijau sedang berada pada fase reproduksi. Pada musim kawin, induk penyu berada di perairan laut dangkal yang kaya akan nutrisi yakni pada ekosistem lamun dan terumbu karang, selanjutnya induk penyu akan membuat sarang dan akhirnya menghasilkan anakan penyu. Perlindungan habitat dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut akan mengamankan berlangsungnya fase reproduksi karena induk penyu dapat menghasilkan individu baru sebagai stok penyu di alam. ii) Mengurangi ancaman kepunahan Kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai sumberdaya open access dimana tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi orang memanfaatkan sumberdaya. Eksploitasi penyu hijau secara berlebihan pada situasi open access menyebabkan terjadi the tragedy of the commons yang berujung pada kepunahan. Pengalokasian habitat penyu hijau sebagai KKL telah menimbulkan kepemilikan populasi penyu hijau. Pembentukan KKL telah mengubah situasi open access menjadi sumberdaya yang ada kepemilikannya secara sah. Secara teoritis telah dapat dilakukan pembatasan aksesibilitas nelayan/ masyarakat lokal agar tidak mengeksploitasi penyu dan telur yang ada di dalam KKL. 6.3 Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Keterkaitan dengan perencanaan regional/ propinsi/ kabupaten (i) Tingkat Regional Kepulauan Derawan merupakan bagian dari wilayah pengembangan program The Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) karena memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan sebagai habitat penting penyu laut. Demikian halnya dengan pengembangan jaringan perlindungan penyu Tri-National dimana wilayah Kepulauan Derawan berada di sebelah Selatan hingga The Turtle Islands ASEAN Heritage site yang berada di

135 115 Pilipina dan Sabah hingga Palawan. Pada tingkat regional Kepulauan Derawan menempati perioritas tinggi dalam upaya konservasi penyu. (ii) Tingkat Propinsi Menurut Tata Ruang Propinsi Kalimantan Timur, wilayah Kepulauan Derawan dikelompokkan sebagai: Kawasan Suaka Alam dengan Suaka Margasatwa di P. Semama dan P. Derawan dengan luas 2 hektar; Kawasan Suaka Laut yang berada di gugusan karang P. Panjang, P. Derawan, P. Semama, P. Kakaban, Karang Besar, P. Balikukup. Kebijakan pembangunan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur mengarah pada perluasan kawasan lindung ± 30% dari luas wilayah propinsi. Dalam perencanaan Propinsi Kalimantan Timur di wilayah Kepulauan Derawan ada peningkatan fungsi kawasan Suaka Margasatwa P. Semama dan P. Derawan ditambahkan fungsi sebagai daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa. Demikian halnya dengan kawasan suaka laut ada penambahan wilayah yang berada di gugusan karang Malulungan dan P. Maratua. (iii) Tingkat Kabupaten Wilayah Kepulauan Derawan dan perairan laut telah ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Laut (KPL) melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau. Gambar 62. Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan

136 Keberadaan habitat penyu hijau dalam penentuan batas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Pada Gambar 8 diketahui bahwa Kepulauan Derawan memiliki nesting area tertinggi di Indonesia yang menerangkan bahwa rata-rata 30 ekor penyu hijau mendarat di P. Sangalaki untuk bertelur setiap malamnya. Ada dugaan perjalanan migrasi penyu hijau mengikuti arus Termoklim Pasifik Utara dan terbawa di Kepulauan Derawan. Gambar 63. Peta bathimetry Kepulauan Derawan Jika Gambar 63 diperhatikan, ketiga irisan melintang dari arah laut menuju daratan Kalimantan memberi penjelasan bahwa Kepulauan Derawan merupakan wilayah pendaratan yang ideal setelah mengarungi Lautan Pasifik. Pulau Sangalaki merupakan pulau terdepan dalam menghadang arus Termoklim Pasifik Utara sehingga paling banyak penyu hijau yang mendarat untuk bertelur. Dari data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau diketahui sebaran tiga ekosistem di Kepulauan Derawan. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang menunjukkan habitat feeding penyu hijau (Gambar 64). Adapun habitat breeding diketahui dari laporan Mahardika (2004) tentang proporsi jumlah penyu (Gambar 65) dan laporan Adnyana (2005) tentang proporsi jumlah telur penyu yang terdapat di Kepulauan Derawan (Gambar 66).

137 117 Gambar 64. Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding (Sumber : Dinas Perikanan dan kelautan Kab. Berau) Gambar 65. Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau. (Mahardika, N. 2004)

138 118 Gambar 66. Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau. (Adnyana, 2005) Dengan menggunakan GIS (Geographic Information Systems) dilakukan teknik overlay beberapa informasi tentang habitat feeding dan habitat breeding untuk mengetahui batas Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kepulauan Derawan (Gambar 67). Batas Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan yang berada di P. Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P. Balembangan, P. Sambit, P. Bilang- Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora. Dengan asumsi bahwa keberadaan ekosistem terumbu karang pada perairan dangkal < 50 meter dan ekosistem lamun pada kedalaman < 10 meter, maka batas kawasan sejauh ± 100 meter dari garis pantai dari setiap pulau ke arah laut.

139 Gambar 67. Peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan 119

140 Pendapat pakar sebagai bahan pembanding dalam penentuan prioritas konservasi di Kepulauan Derawan Pada tanggal 22 Oktober 2003 telah menyelenggarakan workshop yang membahas laporan tentang Perencanaan Konservasi Setempat (Site Conservation Planning) di Kepulauan Derawan. Perencanaan Konservasi Setempat yang dibahas merupakan hasil penggunaan metode perencanaan Kerangka 5-S (Systems, Stresses, Sources, Strategies, Success) dari pendapat pakar (The Nature Conservancy, 2003). Hal yang sama dengan yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada proses diskusi dimana peneliti melakukan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna sumberdaya alam, sedang TNC melakukan diskusi dengan para pakar. Antara pendapat pakar dan masyarakat lokal menghasilkan perbedaan yang mendasar sejak identifikasi sumberdaya penting hingga penentuan perioritas konservasi (Tabel 17 dan Tabel 18). Tabel 17. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar. Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress) 1. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 2. Mangrove Kerusakan mangrove 3. Lamun Kerusakan lamun 4. Ekosistem danau air asin Perubahan ekosistem danau air asin 5. Beberapa lokasi pemijahan Kerusakan lokasi pemijahan 6. Ekosistem pantai Pae di Kerusakan mangrove P. Maratua 7. Karang Muaras Kerusakan terumbu karang 8. Ikan karang Kerusakan ikan karang 9. Penyu Penurunan populasi penyu 10. Manta (ikan pari) Penurunan populasi manta 11. Cetacean (dugong) Penurunan populasi dugong 12. Hammerhead shark (hiu kepala Penurunan populasi hiu martil) 13. Ikan Napoleon Penurunan populasi ikan napoleon 14. Coconut crab (kepiting kenari) Penurunan populasi kepiting kenari dan ancaman kepunahan

141 121 Tabel 18. Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif. Sumberdaya penting Tekanan terhadap sumberdaya (Stress) 1. Penyu Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur 2. Terumbu karang Kerusakan terumbu karang 3. Kerapu Penurunan hasil tangkapan kerapu 4. Kima Penurunan hasil tangkapan kerang kima 5. Ikan Napoleon Penurunan hasil tangkapan napoleon 6. Tripang Lolak, Kima Penurunan tangkapan tripang 7. Udang Lobster Penurunan tangkapan lobster 8. Tengiri Penurunan hasil tangkapan tengiri 9. Kepiting kenari Berkurangnya kepiting kenari 10. Kakap merah Penurunan hasil tangkapan kakap merah 11. Kelapa Penurunan produktivitas kelapa 12. Air tawar Kekurangan air tawar di musim kemarau 13. Tongkol Peningkatan tangkapan ikan tongkol Keduanya menghasilkan penentuan prioritas konservasi yang berbeda walaupun wilayah perencanaan yang sama pada Gambar 68 dan Gambar 69. Gambar 68. Peta prioritas konservasi di Kep. Derawan hasil penilaian pakar (Sumber : TNC, 2003)

142 122 Gambar 69. Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan dari hasil diskusi secara partisipatif 6.4 Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Status kawasan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan berada di perairan laut dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau. Rancangan KKL Kepulauan Derawan seluas hektar diusulkan sebagai re-design dari tumpang tindih empat Kawasan Konservasi Laut yang telah ada sebelumnya, yaitu : Suaka Margasatwa Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam Pulau Semama yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts- II/Um/8/1982; Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Kakaban yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004; dan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 seluas 1,2 juta hektar (Gambar 70).

143 123 Gambar 70. Tumpang tindih Kawasan Konservasi Laut di Kep. Derawan Rencana kegiatan pengelolaan Prinsip dasar pengelolaan KKL Kepulauan Derawan adalah konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, melalui : pemulihan sumberdaya, pengurangan ancaman dan merubah ancaman menjadi peluang. Hasil diskusi secara partisipatif (Lampiran 5) diketahui bahwa ada 12 sumberdaya yang mengalami tekanan, yakni: kelapa, penyu, kerapu, lobster, terumbu karang, tripang, ikan napoleon, kerang kima, tengiri, kepiting kenari, kakap merah, persediaan air tawar. Kedua belas sumberdaya ini mengalami: 1. Penurunan produktivitas kelapa 2. Penurunan hasil tangkapan kerapu 3. Penurunan tangkapan lobster 4. Penurunan tangkapan tripang 5. Kerusakan terumbu karang 6. Penurunan jumlah induk penyu yang bertelur 7. Penurunan hasil tangkapan ikan napoleon 8. Penurunan hasil tangkapan kerang kima

144 Penurunan hasil tangkapan tengiri 10. Penurunan populasi kepiting kenari 11. Penurunan hasil tangkapan kakap merah 12. Kekurangan air tawar di musim kemarau Dari hasil The Analytical Approach (Lampiran 6) diketahui bahwa ada sembilan ancaman terhadap sumberdaya yang ada di Kepulauan Derawan, antara lain: 1. Eksploitasi spesies-spesies langka dan dilindungi; 2. Penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang; 3. Tidak ada pengaturan eksploitasi jenis ekonomis tinggi; 4. Tidak ada pengawasan/ penegakan hukum; 5. Aktivitas ekspor ke Hongkong dan Taiwan; 6. Kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat; 7. Kegiatan bekarang dengan intensitas yang tinggi (siang-malam); 8. Invasi nelayan luar; 9. Pemukiman yang bertambah besar. Strategi konservasi yang dihasilkan dari The Analytical Approach (Lampiran 6) mengarahkan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Pada Gambar 71 dapat dilihat apabila arahan rencana kegiatan dialokasikan pada peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Secara garis besar rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan, antara lain: 1) Penataan batas kawasan Penataan batas KKL dengan mendirikan patok pada pulau-pulau yang menjadi batas kawasan, yakni : P. Rabu-Rabu, P. Panjang, P. Maratua, P. Balembangan, P. Sambit, P. Bilang-Bilang, P. Mataha, dan P. Manimbora. Dengan asumsi keberadaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun berada di perairan dangkal < 50 meter hingga 100 meter dengan kedalaman < 10 meter maka batas terluar kawasan ditentukan sejauh ± 100 meter dari garis pantai ke arah laut.

145 125

146 126 2) Pengalokasian wilayah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan ada perubahan apa pun oleh kegiatan manusia pada : Kr. Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar sebagai habitat biota langka dan dilindungi : penyu laut, ikan napoleon, dan kima. Pulau Kakaban sebagai habitat kepiting kenari. Pantai peneluran penyu di P. Derawan, P. Semama, P. Sangalaki, P. Mataha, P. Balembangan, P. Bilang-Bilang, dan P. Sambit. 3) Pengembangan penangkaran, budidaya dan rumpon di perairan laut sekitar P. Maratua. Kondisi lingkungan P. Maratua yang paling mendukung untuk dikembangkan ketiganya karena berbentuk atol (seluas 690 km 2 ) dan tidak memiliki obyek wisata yang menarik. Pulau Maratua memiliki lima desa (Bohe Silian, Payung-Payung, Bohe Bukut, Teluk Alulu dan Tanjung Bahaba) dengan ± jiwa penduduk sehingga mampu menyediakan tenaga kerja. Penangkaran spesies langka untuk jenis penyu, ikan napoleon, kepiting kenari dan kima. Budidaya ikan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu, lobster, tripang, kerang. Rumpon untuk jenis tongkol, tengiri dan kakap merah. 4) Rehabilitasi terumbu karang yang sebagian besar dengan kondisi rusak di Kr. Masimbung, Kr. Malalungan, Kr. Muaras dan Kr. Besar. Rehabilitasi menggunakan teknologi transplantasi yakni usaha pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan karang hidup pada karang mati serta membiarkan tumbuh secara alami. 5) Meningkatkan daya tarik obyek wisata bahari yang telah ada di P. Derawan, P. Semama, dan P. Sangalaki dengan menyediakan akomodasi bagi wisatawan dan peningkatan sanitasi lingkungan. 6) Mengumumkan beberapa larangan dalam pemasangan papan pengumuman dan dipublikasikan pada kesempatan diadakan pertemuan dengan masyarakat/ nelayan. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan masyarakat antara lain:

147 127 Larangan eksploitasi spesies langka dan dilindungi seperti : dugong, ikan napoleon, kima, kepiting kenari, lumba-lumba, penyu laut, hiu dan paus. Larangan penggunaan potasium, bom dan penambangan batu karang. Larangan kegiatan bekarang dan penambangan batu karang. 7) Menghentikan ekspor ke Hongkong dan Taiwan karena menimbulkan eksploitasi berlebihan jenis ekonomis tinggi seperti kerapu,napoleon, lobster, tripang dan kima. 8) Menghalangi invasi nelayan luar yang berkaitan dengan penggunaan pukat harimau, potasium dan penangkapan induk penyu. 9) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan konservasi sumberdaya alam agar dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian sehingga masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya laut secara lestari. 10) Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat agar ditempatkan di desa-desa untuk pendampingan masyarakat. 11) Mengatur lokasi pemukiman agar tidak berada di pinggir pantai, menanami lahan kosong dengan tanaman setempat dan pengawetan air dengan membangun resapan air Kelembagaan Untuk menangani permasalahan eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan dan pengrusakan (penggunaan dinamit dan potasium) seperti yang diusulkan Berkes et al. (2001) dengan mengelola masyarakat (management people). Melalui kontrol aksesibilitas masyarakat lokal/ nelayan terhadap sumberdaya laut, penyusunan dan penerapan aturan/ peraturan akan mengarahkan masyarakat agar mempertahankan sumberdaya tidak hancur dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Berkes et al. (2001) untuk mengontrol aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya diperlukan alokasi hak kepemilikan atas sumberdaya dan menentukan bentuk aturan penggunaan sumberdaya. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik pengelolaan. Ada tiga karakteristik pengelolaan yang diusulkan, yakni :

148 128 Pengelolaan oleh pemerintah, jika sumberdaya dialokasikan sebagai kepemilikan negara (state property), maka diperlukan aturan ditetapkan oleh pemerintah. Pengelolaan oleh individu jika sumberdaya dialokasikan sebagai kepemilikan individual (private property), maka aturan akan mengikuti mekanisme pasar. Pengelolaan oleh masyarakat jika sumberdaya dialokasikan sebagai kepemilikan masyarakat (communal property), maka aturan ditetapkan oleh masyarakat setempat Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah Untuk mengontrol sumberdaya yang berada di dalam Kawasan Konservasi Laut, umumnya pihak pengelola akan menghadapi kesulitan penentuan batas (delineate) wilayah pengelolaannya karena: Sumberdaya berada dalam masa cair yang senantiasa bergerak. Dampak dari aktivitas manusia berada di daratan akan dengan mudah mengalir melewati batas kawasan. Masyarakat/nelayan lokal sulit mengenali batas kawasan karena samarsamar adanya. Nelayan sulit membedakan apakah berada di dalam atau di luar kawasan. Seperti yang diusulkan Hardin untuk sumberdaya yang sulit ditetapkan batas-batasnya agar dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981). Smith mencontohkan Marine Protected Area sebagai upaya perlindungan spesies-spesies langka dan terancam kepunahan agar dialokasikan sebagai sumberdaya pesisir dan laut dalam kepemilikan negara (state property). Kepemilikan negara dan dikelola oleh pemerintah ternyata paling efektif dalam pengawasan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya dibandingkan dengan tipe kepemilikan lain, baik secara individu maupun secara komunal yang hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat (Berkes et al. 2001). Dalam penelitian ini KKL Kepulauan Derawan diusulkan dalam pengelolaan oleh pemerintah dengan aturan/ peraturan yang ditetapkan oleh

149 129 pemerintah. Namun berkaitan dengan penentuan otoritas pengelolaan KKL ada potensi konflik antar lembaga pemerintah (Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Berau) yang masing-masing memiliki landasan hukum yang sama kuat untuk menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Laut. Konflik antar lembaga Pemerintah ini harus diselesaikan agar memperjelas kewenangan lembaga pemerintah mana yang akan mengelola KKL Kep. Derawan. 1) Departemen Kehutanan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Pasal 2, 3 dan 4 UU No. 5 tahun 1990 memberi pengertian : Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban melaksanakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 8 tentang: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan Pemanfaatan secara lestari sumberdaya dan ekosistemnya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya telah menjadi kewenangan Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Lembaga ini menangani konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya baik di Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) maupun Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Kawasan Konservasi Laut yang telah dimiliki Direktorat Jenderal PHKA, antara lain: 1. TWAL Pulau Weh BKSDA NAD 2. TWAL Kepulauan Banyak BKSDA NAD 3. TWAL Pulau Pieh BKSDA SUMBAR 4. CAL Pulau Anak Krakatau BKSDA Lampung 5. TNL Kep. Seribu BTN Kep. Seribu 6. CAL Pulau Sangiang BKSDA JABAR I 7. CAL Sancang BKSDA JABAR II 8. CAL Pangandaran BKSDA JABAR II 9. TNL Kep. Karimunjawa BTN Kep. Karimunjawa 10. TWAL Pulau Moyo BKSDA NTB 11. TWAL Gili Meno, G. Air, G. Trawangan BKSDA NTB

150 TWAL Pulau Satonda BKSDA NTB 13. TWAL Teluk Kupang BKSDA NTT I 14. CAL Riung BKSDA NTT II 15. TWAL Teluk Maumere BKSDA NTT II 16. TWAL Tujuh Belas Pulau BKSDA NTT II 17. CAL Kep. Karimata BKSDA KALBAR 18. SML Pulau Semama BKSDA KALTIM 19. TWAL Pulau Sangalaki BKSDA KALTIM 20. TNL Bunaken BTN Bunaken 21. TWAL Kepulauan Kapoposang BKSDA SULSEL I 22. TNL Taka Bonerate BTN Taka Bonerate 23. TWAL Teluk Lasolo BKSDA SULTRA 24. TWAL Pulau Padamarang BKSDA SULTRA 25. CAL Kep. Aru Tenggara BKSDA Maluku 26. CAL Banda BKSDA Maluku 27. TWAL Pulau Pombo BKSDA Maluku 28. TWAL Taman Laut Banda BKSDA Maluku 29. TWAL Pulau Kassa BKSDA Maluku 30. TWAL Pulau Marsegu BKSDA Maluku 31. SML Kep. Raja Ampat BKSDA Papua II 32. SML Sabuda Tataruga BKSDA Papua II 33. TWAL Kep. Padaido BKSDA Papua II 34. TNL Teluk Cendrawasih BTN Teluk Cendrawasih Di Kepulauan Derawan Direktorat Jenderal PHKA memiliki organisasi Seksi Konservasi Sumberdaya Alam yang membawahi SML Pulau Semama dan TWAL Pulau Sangalaki. 2) Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 Dalam pasal 1 UU No. 31 tahun 2004 didefinisikan konservasi sumberdaya ikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan, meliputi: perairan Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.

151 131 Undang-undang No. 31 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa: Perairan laut Kepulauan Derawan dan ZEEI merupakan wilayah pengelolaan perikanan dalam kewenangan Pemerintah/ Departemen Kelautan dan Perikanan baik untuk penangkapan ikan maupun pembudidayaan ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri DKP dapat menetapkan suaka perikanan, jenis ikan dan kawasan perairan yang dilindungi, termasuk taman nasional laut untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata dan/ atau kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya (Pasal 7 ayat 1 dan 5). Implementasi UU No. 31 tahun 2004 akan sulit dilaksanakan karena DKP tidak memiliki kawasan dan organisasi secara vertikal di seluruh Indonesia. Dinas Perikanan dan Kelautan yang ada di daerah merupakan organisasi dari Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Sementara perairan laut yang menjadi wilayah pengelolaan DKP telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah baik di tingkat kabupaten dan provinsi (Pasal 18 ayat 2 dan 4 UU No. 32 tahun 2004). Jika Menteri DKP akan menetapkan dan mengelola suaka perikanan dan taman nasional laut akan berbenturan dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Undang-undang No. 27 tahun 2007 menyebutkan bahwa Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) ditetapkan oleh Peraturan Menteri (pasal 28). Pengelolaan Kawasan Konservasi yang berada di dalam kewenangan Kabupaten dan Propinsi diintegrasikan dengan kegiatan Pemerintah Daerah (Pasal 6). Penetapan UU No. 27 tahun 2007 diharapkan dapat mengatasi konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. 3) Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dengan Undang-Undang No. 32 tahun Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU No. 32 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa kewenangan Kabupaten Berau untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Pengelolaan sumberdaya di laut ini, melalui kegiatan: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan kekayaan laut. Wilayah laut yang dimiliki Kabupaten Berau berada di

152 132 sekitar Kepulauan Derawan. Kegiatan pengelolaan sumberdaya laut yang menjadi kewenangan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau berbeda dengan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 merupakan implementasi dari konservasi pada pasal 18 ayat 1 dan 2. Jika memperhatikan Penjelasan UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah pusat yang memiliki kewenangan menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/ berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi, bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumberdaya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pasal 18 dan penjelasan UU No. 32 th 2004 menimbulkan kerancuan kewenangan penetapan kawasan konservasi di Kepulauan Derawan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat. Kerancuan kewenangan ini menimbulkan konflik kepentingan di dalam penentuan lembaga pemerintah yang mengelola KKL Kepulauan Derawan. Permasalahan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dalam mengelola wilayah laut yang bersifat mendua. Dalam hal konservasi Pemerintah Daerah Kabupaten Berau telah membentuk KPL melalui Peraturan Bupati No. 31 tahun 2005, di sisi lain Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melaksanakan privatisasi pengunduhan telur penyu oleh Haji Saga di tiga pulau yang tidak berpenghuni (P. Bilang-Bilang, P. Balembangan, P. Mataha, dan P. Sambit). Kasus Haji Saga merupakan contoh ketidakjelasan konsep konservasi yang dianut Pemerintah Daerah Kabupaten Berau.

153 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif Pengelolaan KKL Kep. Derawan secara kolaboratif diusulkan sebagai resolusi konflik. Pengelolaan secara kolaborasi adalah bentuk peralihan atau berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah kontrol pemerintah dengan pengelolaan di bawah kendali masyarakat. Ada reposisi peran pemerintah, pemerintah merubah perannya dari memegang hirarki tertinggi dalam pengambilan keputusan menjadi peran sebagai fasilitator, koordinator dan pendukung setiap kegiatan pengelolaan. Reposisi peran pemerintah tersebut memerlukan perubahan kelembagaan dalam birokrasi pemerintah. Keunggulan pengelolaan secara kolaborasi mampu menampung banyak kepentingan dan pembagian tanggung jawab serta kewenangan baik pemerintah, masyarakat maupun pengguna sumberdaya lain. Jalinan kerjasama yang dimulai sejak bernegosiasi hingga menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab. Jika pengelolaan KKL Kepulauan Derawan dilaksanakan secara kolaboratif diperlukan jalinan kemitraan dari berbagai stakeholder di tingkat Kabupaten Berau, antara lain : 1. Kabupaten Berau dengan kepentingan : Memiliki otoritas pengelolaan wilayah laut sejauh 4 mil dari garis pantai menuju laut lepas. Membangun Kawasan Konservasi Laut untuk melindungi penyu. Memberi perijinan eksploitasi telur penyu di P. Bilang-Bilang, P. Mataha, P. Sambit, dan P. Balembangan. 2. Dinas Perikanan dan Kelautan dengan kepentingan : Mendukung pembentukan Kawasan Konservasi Laut. Mengatur kegiatan perikanan laut. 3. BAPPEDA dengan kepentingan merencanakan pembangunan daerah. 4. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan kepentingan mengurus bidang kepariwisataan dan kebudayaan. 5. BAPEDALDA dengan kepentingan mengurus pengendalian dampak lingkungan.

154 Dinas Kehutanan dengan kepentingan mengurus bidang kehutanan. 7. Kecamatan dengan kepentingan mengurus wilayah Kecamatan Derawan. 8. Balai KSDA Kalimantan Timur dengan kepentingan : Pelaksana kegiatan konservasi di Kabupaten Berau. Mengurus kegiatan pengelolaan SM Semama dan TWA Sangalaki. 9. Yayasan WWF-Indonesia dengan kepentingan mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati di ekoregion Sulu-Sulawesi. 10. The Nature Conservancy (TNC) perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan mengembangkan konservasi berbagai tipe habitat di ekoregion Sulu-Sulawesi. 11. Conservation International (CI) perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati dan keserasian kehidupan manusia. 12. Yayasan Mitra Pesisir Perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. 13. The Turtle Foundation perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan melaksanakan konservasi penyu di P. Sangalaki. 14. Yayasan Bestari dengan kepentingan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan berbasis masyarakat. 15. Yayasan KALBU perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan melaksanakan pelestarian penyu. 16. Yayasan KEHATI perwakilan wilayah Kalimantan Timur dengan kepentingan mengembangkan konservasi penyu di P. Sangalaki. 17. Pengusaha hotel dan biro perjalanan wisata Kabupaten Berau dengan kepentingan memfasilitasi pengunjung wisata bahari. 18. Eksportir ikan dengan kepentingan perdagangan ikan nilai ekonomis tinggi ke Hongkong dan Taiwan. Namun demikian pengelolaan secara kolaborasi memerlukan waktu yang panjang karena perlu interaksi yang intensif antara pemerintah dengan para

155 135 pihak lain sejak konsultasi dalam penjajagan awal, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi hingga evaluasi pengelolaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berbasis masyarakat Pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan pemerintah memiliki berbagai kelemahan yang berkaitan dengan kekurangan sarana-prasarana dan sumberdaya manusia sehingga tidak mampu menghadapi fragmentasi kawasan dan ancaman eksploitasi. Salah satu keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi ditentukan oleh dukungan masyarakat lokal. Kontribusi kawasan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat didistribusikan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati. Pengalaman di beberapa negara berkembang dengan melibatkan peran serta masyarakat dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan. Masyarakat lokal merupakan kelompok stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi dan pengaruh yang lemah dalam pengambilan keputusan. Kendala utama dalam melibatkan masyarakat lokal adalah tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah. Melalui konsultasi dan diskusi secara partisipatif pada Perencanaan Konservasi Setempat (Lampiran 5) telah dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat dan sekaligus mengarahkan kegiatan konservasi sumberdaya laut. Setiap desa yang ada di Kepulauan Derawan dapat membentuk lembaga tingkat desa dan menentukan aturan mainnya serta mengimplementasikan strategi konservasi pada Tabel 19 berikut ini.

156 136 Tabel 19. Strategi konservasi Desa Derawan, Payung-Payung, Balikukup di Kepulauan Derawan DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN Derawan Payung- Payung Pemulihan system 1) Penyu Perlindungan penyu Melarang nelayan luar menangkap induk penyu Menghentikan pemanenan telur penyu Mengembangkan budidaya penyu Mengembangkan atraksi wisata penyu bertelur di pantai 2) Kerapu, Kima, Menghentikan penangkapan Kerapu, Pengembangan budidaya Kerapu, Kima, Napoleon. Napoleon Kima, Napoleon. 3) Karang Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan bom dan potasium Pengurangan sumber tekanan Kelembagaan 1) Penangkapan ikan dengan bom dan potasium 2) Tidak ada pengawasan dan pengambilan sanksi Peningkatan peran serta masyarakat Melindungi terumbu karang Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi Pembentukan Lembaga Desa Pengelola sumberdaya alam Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang Melarang penggunaan bom dan potasium Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang Melakukan pengawasan; Memberi sanksi sosial bagi pelanggar peraturan Penyusunan pengurus lembaga Penentuan peraturan/ aturan main Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya Pemulihan system 1) Penyu Melindungi penyu Melarang nelayan luar menangkap induk penyu Menghentikan pemanenan telur penyu Mengembangkan penangkaran penyu 2) Terumbu karang Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan bom dan potasium Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang 3) Tripang, Lolak, Menghentikan pemungutan tripang, Pengembangan budidaya tripang, lolak dan kima Kima lolak dan kima 4) Kerapu, Napoleon, Lobster Menghentikan penangkapan kerapu, napoleon dan lobster Pengembangan budidaya kerapu, napoleon dan lobster

157 137 DESA STRATEGI SYSTEM/ SOURCES PROGRAM KEGIATAN Pengurangan sumber tekanan 1) Permintaan ekspor Menghentikan ekspor kerapu dan napoleon Menghentikan penangkapan Kerapu dan Napoleon di alam Pengembangan budidaya kerapu dan Napoleon 2) Penangkapan ikan dengan bom Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan bom Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang Memberi sanksi sosial bagi pelanggarnya 3) Penangkapan ikan dengan potasium Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan potasium Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang Kelembagaan Peningkatan peran serta masyarakat Pembentukan Lembaga Desa Pengelola SDA Penyusunan pengurus lembaga Penentuan peraturan/aturan main Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya Balikukup Pemulihan system 1) Terumbu karang Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan bom dan potasium Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang 2) Kerapu Menghentikan penangkapan kerapu, Pengembangan budidaya kerapu. napoleon, lobster 3) Kerang, Kima Menghentikan pemungutan kerang dan Pengembangan budidaya kerang dan kima. Pengurangan sumber tekanan Kelembagaan 1) Penangkapan ikan dengan potasium, bom kima Melindungi terumbu karang Melarang penggunaan potasium dan bom Mengawasi aktivitas nelayan di terumbu karang 2) Pukat harimau Melarang penggunaan pukat harimau Melarang kapal-kapal dari luarmenggunakan alat tangkap pukat harimau yang ada di pelabuhan 3) Bekarang Menghentikan aktivitas bekarang Mengawasi kegiatan di terumbu karang Peningkatan peran serta masyarakat Pembentukan Lembaga Desa Pengelola SDA Penyusunan pengurus lembaga Penentuan peraturan/aturan main Pengambilan sanksi sosial bagi pelanggarnya

158 Bab 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1) Penurunan populasi penyu hijau yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan yakni antara 51% hingga 95% dimana status endangered species telah bergeser ke status critically endangered species. Eksploitasi penyu hijau yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan di dunia. 2) Kebijakan perlindungan penyu hijau melalui penetapan PP No. 7 tahun 1999 tidak efektif karena eksploitasi penyu hijau tidak terkendali di tingkat lokal. Pengelolaan penyu hijau sebagai kegiatan konservasi spesies dalam UU No. 5 tahun 1990, PP No. 7 tahun 1999 dan PP No. 8 tahun 1999 tidak dilaksanakan secara konsisten. Diperlukan perubahan pengelolaan penyu hijau dari sistem kelembagaan sentralistik menjadi desentralistik agar dapat menangani ancaman dan penegakan hukum. 3) Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif kebijakan perlindungan. Alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau yang diusulkan menggunakan konsep perlindungan habitat (konservasi in-situ). Perlindungan diarahkan pada habitat penting (the critical habitat) yakni habitat feeding dan breeding untuk dialokasikan sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman kepunahan. 4) Perencanaan perlindungan habitat pada kasus Kepulauan Derawan menghasilkan rancangan dan arahan pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Jika model KKL Kepulauan Derawan diimplementasikan pada habitathabitat penting penyu hijau di Indonesia maka perlindungan penyu hijau berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara meluas dan efektif. 5) Proses perencanaan secara partisipatif merupakan pendekatan secara bottomup yang melibatkan seluruh stakeholder di tingkat lokal. Data/ informasi

159 139 diperoleh secara langsung dari para pengguna sumberdaya alam mulai dari identifikasi target konservasi, penentuan prioritas konservasi hingga penyusunan strategi konservasi yang dapat diterima masyarakat (legitimate). 6) Perencanaan KKL di Kepulauan Derawan memerlukan pemahaman skala regional tentang latar belakang sosial ekonomi penyebab perubahan keanekaragaman hayati. Strategi konservasi untuk wilayah Kepulauan Derawan ditentukan oleh prioritas konservasi yang diperoleh peringkat ancaman hasil pengkombinasian sumber tekanan yang dipadukan dengan kondisi ekologis. 7.2 Saran Ditujukan pada pemerintah 1) Eksploitasi penyu hijau yang dilakukan masyarakat Indonesia telah sangat mengkawatirkan. Apabila pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan perlindungan, eksploitasi yang dilakukan masyarakat secara tidak terkendali semakin mempercepat laju kepunahan. Pemerintah dapat menurunkan eksploitasi penyu hijau dengan cara: (1) Menghentikan perdagangan penyu ilegal (black market) di wilayah Tanjung Benoa, Bali untuk memutus rantai tata niaga penyu hasil tangkapan dari perairan laut Indonesia. (2) Pencabutan peraturan perundangan yang melegalkan pengusahaan telur penyu, antara lain: Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 750/Kpts-II/1999 mendasari eksploitasi telur penyu di P. Tambelan, Kep. Riau; Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 2 tahun 2001 diperkuat SK Bupati No. 973/Kep 171-BPKD/2001 mendasari eksploitasi telur penyu di Kab. Sukabumi; Keputusan Bupati No. 36 tahun 2002 mendasari eksploitasi telur penyu di Kepulauan Derawan utamanya di P. Bilang-Bilang, P. Balembangan, P. Mataha dan P. Sambit. (3) Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga pengelola penyu hijau terutama daerah yang mendapat ancaman sedang (17 UPT) dan yang mendapat ancaman berat (9 UPT).

160 140 (4) Meningkatkan pengamanan daerah peneluran penyu, pengawasan terhadap kapal-kapal nelayan yang mengangkut penyu hijau, penegakan hukum serta menggalakkan kampanye/ penyuluhan upaya perlindungan penyu hijau dan spesies yang terancam kepunahan pada umumnya. 3) Rancangan KKL Kepulauan Derawan seluas hektar yang dihasilkan penelitian ini sebagai re-design dari ke empat KKL yang telah ada sebelumnya, yakni: Suaka Margasatwa Pulau Sangalaki dan Taman Wisata Alam Pulau Semama yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 604/Kpts-II/Um/8/1982; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Kakaban melalui Surat Keputusan Bupati Berau No. 70 tahun 2004; dan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) Berau melalui Peraturan Bupati No. 31 tahun Ditujukan pada para peneliti Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang merupakan bagian dari penelitian ini mengandung kelemahan karena minimnya data pengelolaan spesies. Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan masih banyak penelitian yang dapat dikembangkan dengan kajian aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, antara lain: 1) Pengaruh perubahan iklim global terhadap kondisi populasi penyu. 2) Perubahan karakteristik siklus hidup penyu akibat kerusakan habitat dan eksploitasi secara berlebihan; 3) Tata niaga perdagangan ilegal penyu di seluruh Indonesia. 4) Penegakan hukum dan pengambilan sanksi serta koordinasi pemangku kepentingan baik di tingkat regional, nasional dan lokal. 5) Dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi penyu berkaitan dengan persepsi masyarakat dan ketidakpedulian pengambil keputusan terhadap status konservasi penyu. 6) Tekanan masyarakat terhadap populasi penyu akibat peningkatan kemiskinan dan konflik pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut.

161 DAFTAR PUSTAKA Ackerman RA The nest environment and the embryonic development of sea turtles. Di dalam: P. L. Lutzy and J. A. Musick, editors. The Biology of Sea Turtles. CRC Press, New York; New York Adnyana W Saving the Largest Home for the Endangered Green Turtle (Chelonia mydas) in Indonesia. WWF Indonesia. Jakarta (in press). Agardy T Global trends in marine protected areas. Trends the future challenges for US National Ocean and Coastal Policy: trends in managing the Environment, U.S. Dept. Comm., Nat. Ocean. Atmos. Assoc., Silver Spring MD, pp Anonim Adu Cepat Pelestarian dan Pemanfaatan Penyu di Derawan. [14 April 2005] , Tri National Sulu Sulawesi Marine Ecoregion Committee : Indonesia Pimpin Sekretariat Sulu-Sulawesi Ecoregion. [ 28 Nopember 2004] , United Nations List of Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK and UNEP-WCMC, Cambridge, UK. 44 pp. Allen GR Coral Reef Fishes of Berau, East Kalimantan. TNC Consultancy Report. The Nature Conservancy, East Kalimantan. Arthur WK, Susan JP Marine Protected Areas and the Early Life History of Fishes. AFSC Processed Report Alaska Fisheries Science Center. National Marine Fisheries Service. U.S Department Commerce Balmford A, Gaston KJ, Blyth S, James A, Kapos V Global variation in terrestrial conservation cost, conservation benefits, and unmet conservation needs. [5 Oktober 2005] Balmford A Selecting site for protection. pp Di dalam (K. Norris, Pain D, editors. Conserving Bird Biodiversity-General Principles and their Aplication.. Cambridge: Cambridge University Press. Barrett P Euclidean Distance - Raw, Normalised, and Double-scaled Coefficients. corner.htm [ 12 April 2004].

162 142 Berkes F, Mahon R, Patrick P, McConney R, Pollnac, Pomeroy R Managing Small-Scale Fisheries. Alternative Directions and Methods. Canada s International Development Research Centre (IDRC). Blomquist W dan Ostrom E. 1985, Institutional Capacity and the Resolution of a Commons Dilemma, 5 Policy Studies Review, Bowen BW, Meylan AB, Ross JP, Limpus CJ, Balazs GH, Avise JC Global population structure and natural history of the green turtle Chelonia mydas in terms of matriachal phylogeny in Evolution 46 (4) : Brand-Gardner SJ, Lanyon JM, Limpus CJ Diet selection by immature green turtles, Chelonia mydas, in subtropical Moreton Bay, South-East Queensland in Australian Journal of Zoology 47: Brown K, Tompkin E, Adger NN Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. Publications Office, Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich. Caddy J, Sharp G, An Ecological Framework for Marine Fishery Investigations. FAO Fisheries Technical. 382pp. Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League General Behavior Patterns of Sea Turtles. stsl@cccturtle.org. [ 15 Agustus 2004]. Carr A Some Problems of Sea Turtle Ecology. Amer. Zool. 20: Carr A New perspectives on the pelagic stage of sea turtle development. Conservation Biology 1:103 pp Carr A, Meylan AB Evidence of passive migration of green turtle hatchlings in Sargassum. Copeia 1980 : Chaloupka, M.Y, J. A. Musick Age, Growth, and Population Dynamics, pp In : P. L. Lutz and J. A. Musick (eds), The Biology of Sea Turtles. CRC Press, Boca Raton, Florida. Child G Wildlife and People: The Zimbabwean Sucses, Wisdom Foundation, Harare. 267 pp. Ciriacy-Wantrup SV Resource Conservation : Economic and Policies. 3 rd edn, University of California Press: 395 pp. Cogger HG, Cameron EE, Sadlier RA, Eggler P The Action Plan for Australian Reptiles. Biodiversity Group. Environment Australia Endangered Program, Project No. 124, Canberra.

163 143 Cogger H Reptiles and Amphibians of Australia - 6th edn. Ralph Curtis Publishing, Sanibel Island, Florida. 808 pp. Crite J Chelonia mydas (on-line), Animal Diversity Web. University of Michigan Museum of Zoology. /information/chelonia_mydas.html [24 Mei 2006]. Darwall WRT, Vié JC Identifying important freshwater biodiversity site: Abstract submitted to the Second International Symposium on the Management of Large River for Fisheries. Phnom Penh, Mekong River Commission. Dayton P, Thrush S, Agardy T, Hofman R Environmental effects of marine fishing. Marine and Freshwater Ecosystems. 5 : 1-8. DeVantier L, Alcala A, Wilkinson C, The Sulu-Sulawesi Sea: Environmental and Socioeconomic Status, Future Prognosis and Ameliorative Policy Options. Royal Swedish Academy of Sciences. [10 September 2005]. Dinerstein E, Olson DM, Graham DH, Webster AI, Pimm SA, Bookbinder MP, Ledec G A Conservation Assessment of the Terrestrial Ecoregions of Latin America and Caribbean. Washington, D.C: World Wildlife Fund and the World Bank. Ditjen PHKA Guide Book. 41 National Parks in Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Perlindungan Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dizon AE, Balazs GH Radio telemetry of Hawaiian green turtles at their breeding colony in Marine Fisheries Review 44: Donovan G The International Whaling Commission: Gives it past, does it have a future? pp Di dalam : J.J. Symoens, editor. Symposium Whale Biology Threats Conservation. Royal Academy of Overseas Sciences, Brussels, Belgium. 251 pp Ehrenfeld DW Conservasing The Edible Sea Turtle. Can Marineculture help? America Scientific Journal. 62: Eken GJ, Bennun, Boyd C Protected Areas Design and Systems Planning: Key Requirements for Successful Planning, Site Selection and Establishment of Protected Areas. In: Secretariat of the Convention on Biological Diversity. 2004: Feeny DF, Berkes BJ, McCay, Acheson JM The tragedy of the commons: Twenty-two years later. Human Ecology, 18: 1 19.

164 144 Fitzsimmons NN, Tucker AD, Limphus CJ Long-term breeding histories of male green turtles and fidelity to a breeding ground. Marine Turtle Newsletter 68: 2-4. Forbes GA The diet and feeding ecology of the green sea turtle (Chelonia mydas) in an algal-based coral reef community. Doctoral Dissertation, James Cook University, Queensland, Australia. George RH Health problems and diseases of sea turtles, pp Di dalam: P. L. Lutz and J. A. Musick, editors. The Biology of Sea Turtles. CRC Press, Boca Raton, Florida. Groves CR Drafting a Conservation Blueprint. A Practitioner s Guide to Planning for Biodiversity. The Nature Conservancy. Island Press. Washington. Covelo. London. Hamdan D Analisis Kebijakan Pengelolaan Penyu di Kabupaten Berau. Kalimantan Timur. [21 Agustus 2004]. Harding GW Human Population Growth And The Accelerating Rate Of Species Extinction, ditemukan pada 16 Sep 1998 di Trajcom@aol.com [15 Nopember 2004] Hirth HF Synopsis of the biological data on the green turtle, Chelonia mydas (Linnaeus 1758). United States Fish and Wildlife Service Biological Report pp. IUCN IUCN Red List of Threatened Species. - The IUCN Species Survival Commission. [2 Januari 2005]. Jaelani LM Pulau Pulau Terluar dan Batas NKRI. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, Surabaya. lmjaelani@geodesy.its.ac.id [20 Desember 2004] Jones PJS Collective action problem posed by no-take zone. Marine policy. 30: [ 7 Januari 2007] Kardi, Kardi Teknomo page Teknomo, Similarity Measurement. [19 September 2005] Kelleher G Guidelines for Marine Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK. 107 pp. KSBK (Konservasi Satwa Bagi Kehidupan) Penyelam Eropa Dukung KSBK. Website: ksbk@indo.net.id [14 Agustus 2004]

165 145 Lauck T, Clark CW, Mangel M, Munro GR Implementing the precautionary principle in fisheries management through marine reserves. Ecol. Appl. 8(1): Supplement: S72-S78 pp. Liew HC, Chan EH Biotelemetry of green turtles (Chelonia mydas) in Pulau Redang, Malaysia, during the internesting period in Biotelemetry 12: Limphus CJ, Limphus DJ Mangroves in the diet of Chelonia mydas in Queensland, Australia in Marine Turtle Newsletter 89: Limphus CJ, Miller JD, Parmenter CJ, Reimer D, McLachlan N, Webb R Migration of green (Chelonia mydas) and loggerhead (Caretta caretta) turtles to and from eastern Australian rookeries in Wildlife Research. 19: Limphus CJ, Couper P.J, Read MA The green turtle, Chelonia mydas, in Queensland: population structure in a warm temperate feeding area in Memoirs of the Queensland Museum 35: Lindsay C, Watson L Turtle Islands: Balinese Ritual and the Green Turtle. Takarajima Books, New York. 123 pp. Mahardika N Pemetaan habitat pakan penyu di kep derawan dengan menggunakan teknik penginderaan jauh (in press). Marquez R FAO Species Catalogue. Vol 11. Sea Turtles of the World. An annotated and illustrated catalogue of the sea turtle species known to date in FAO Fisheries Synopsis. 81 pp. McCay BJ Common and Private Concerns. Di dalam: Hanna, S.S ; Folke. C and Karl-Goran M., editors. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for Environment. Island Press. Washington, DC & Covelo, California. Morriss A Survival of the Sea Turtle. Cayman Turtle Farm Starts Over. [23 Juni 2005] Mortimer JA Teaching critical concepts for the conservation of sea turtles. Marine Turtle Newsletter. 71:1-4 Musick JA Limphus CJ Habitat utilization and migration in juvenile sea turtles, pp Di dalam : P. L. Lutz and J. A. Musick, editors, The Biology of Sea Turtles. CRC Press, Boca Raton, Florida. Myers N, Mittermeier RA, Mittermeier CG, Fonseca GAB, Kent J Biodiversity hotspots for conservation priorities. Nature. 403:

166 146 Nilsson G Endangered Species Handbook. Animal Welfare Institute.. Washington, DC. [10 Maret 2006] Nowell L Queensland Term Hobart & William Smith Colleges and Union College Partnership for Global Education. /oz/turtles/cmydas.jpg. [5 Mei 2004] Olson D.M, Dinerstein E The Global 200 : A representation approach to conserving the Earth s most biologically valuable ecoregions. Conservation Biology 12: Ostrom E Private and Common Property Rights. Di dalam Bouckaert and De Geest, editors. Encyclopedia of law and Economic p. Ostrom E, Gardner R, Walker JM Rules, Games, and Common-Pool Resources, Ann Arbor. University of Michigan Press. 329 pp. PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea, TNC Membangun Kembali Upaya Mengelola Kawasan Konservasi di Indonesia Melalui Manajemen Kolaboratif: Prinsip, Kerangka Kerja dan Panduan Implementasi. NRM/EPIQ. Jakarta. Indonesia Pianka, E. R Evolutionary Ecology. New York. Harper and Row. 356 pp. Prijosaksono A, Sembel R Negosiasi. [10 Juli 2003] Pritchard PCH, Montimer JA Taxonomy, External Morphology, and Species Identification. Di dalam: Karen. KL, AB Karen, FAA Grobois, P. Donnelly, editors. Research and Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group Publication. Washington, D.C. Profauna Laporan Investigasi Perdagangan Penyu Dan Bagian-Bagiannya Di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa. [7 April 2006] Rodrigues ASL, Suárez L, Livermore R, Boyd C, da Fonseca GAB Global Gap Analysis: Towards Building a Comprehensive Network of Protected Areas. pp Di dalam Zedan, H, editor. Biodiversity Issue for Consideration in Planning, Establishment and Management of Protected Area Sites and Networks. Secretariat of the Convention on Biological Diversity. World Trade Centre. Montreal, Quebec, Canada.

167 147 Ross JP Ranching and Captive Breeding Dea Turtles : Evaluation as a Conservation Strategy. pp Di dalam K.L. Eckert, K.A. Bjorndal, F.A. Abreu-Grobois & M. Donnelly, editors. Research and Management Techniques for Conservation of Sea Turtles. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group Publication No. 4. Sarjana Putra K Turtles Threaten Tourism in Bali. Conservation Indonesia (WWF- Indonesia newsletter), January-March 1996, Seminoff JA. 2004a. Guest Editorial: Sea Turtles, Red Listing, and the Need for Regional Assessments. Marine Turtle Newsletter. 106: 4-6. Seminoff JA. 2004b. MSTG global assessment of green turtles for the IUCN Red List. Seminoff JA, Jones TT, Resendiz A, Nichols W J, Chaloupka MY Monitoring green turtles (Chelonia mydas) at a coastal foraging area in Baja California, Mexico: multiple indices describe population status. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom. 83: Smith RJ Resolving The Tragedy Of The Commons By Creating Private Property Rights In Wildlife. Cato Journal. 1: Tajudin D Manajemen Kolaborasi. Penerbit Pustaka Latin. Bogor The Nature Conservancy Conservation by Design : A Framework fo Mission Success. Arlington, VA: The Nature Conservancy. The Nature Conservancy The Five-S Framework for Site Conservation: A Partictitioner s Handbook fpr Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. Arlington, VA: The Nature Conservancy. Available online: Mei 2003]. The Nature Conservancy Report Site Conservation Planning: An Expert State-of-Knowledge Workshop. The Nature Conservancy, East Kalimantan. 19 pp. The Nature Conservancy Profil Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kerjasama The Nature Conservancy, dan Pemerintah Kabupaten Berau. Tanjung Redeb - Kalimantan Timur, Indonesia. 71 pp. Tomascik T, Mah AJ The ecology of Halimeda Lagoon : an anchialine lagoon of a raised atoll, Kakaban Island, East Kalimantan, Indonesia. Tropical Biodiversity 2:

168 148 Tri Wibowo E Studi Tentang Pemanfaatan Penyu laut Dalam Kaitannya Dengan Upaya Pelestariannya di Dati II Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. Troeng S Pemanfaatan Penyu di Indonesia pp. Di dalam Wetlands International-Indonesia Programme, Direktorat Jenderal PHPA, Environment Australia, editors. Prosiding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Troeng S, Drews C Money Talks: Economic Aspects of Marine Turtle Use and Conservation, WWF-International, Gland, Switzerland. www. panda.org. [10 Mei 2005]. Veron JEN Coral of the world volumes 1-3. Australian Institute of Marine Science pp Wetlands International-Indonesia Programme Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Ditjen PHKA, Wetlands International, Canada Fund, British Petroleum. Bogor. Indonesia. Whiting SD The ecology of immature Green and Hawksbill Turtles foraging two reef systems in north-western Australia. 370 pp Wikipedia, The free encyclopedia http//en.wikipedia.org/wiki/conservation status [ 23 Januari 2006] Wilson EO The Science of Survival. shows/wilson/ [7 Pebruari 2006] Witham R On the ecology of young sea turtles. Marine Turtle Newsletter. 67: Witherington BE Behavioral responses of nesting sea turtles to artificial lighting. Herpetologica. 48: Witherington BE, Bjorndal KA Influences of artificial lighting on the seaward orientation of hatchling loggerhead turtles, Caretta caretta. Biological Conservation 53: Wood FE, Turtle Culture. Di dalam : C.E Nash and G. Gall, editors. World Animal Science: Production of Aquatic Animals. Elsevier Publishers Ltd, Barking, England, pp. WWF A Guide to Socioeconomic Assessments for Ecoregion Conservation, Ecoregional Conservation Strategies Unit Social Dynamics. WWF US Ecoregional Conservation Strategies Unit. 19 pp

169 149 WWF-Indonesia Indonesian Sea Turtle Conservation [24 Desember 2006] WWF-International, Species Programme Conserving Marine Turtles on a Global Scale. WWF International. Gland. Switzerland. 30 pp WWF-Wallacea Program Pelatihan Ekowisata Untuk Pelestarian Penyu dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kepulauan Derawan. Wadnyana@wallacea.wwf.or.id [13 Nopember 2003] Young FW Multidimensional Scaling. [ 17 September 2002]

170 150 Lampiran 1. Analisis CATREG - Regression for Categorical Data Metoda Categorical Regression (software package SPSS) digunakan untuk menguji pengaruh input pengelolaan UPT/ predictors (7 variabel) terhadap UPT pengelola penyu hijau/ response (ke 50 UPT). Dengan menggunakan prosedur Optimal Scaling dapat memberi gambaran tentang hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor. Hubungan tersebut dikuantitatifkan sehingga nilai response dapat diprediksi dengan mengkombinasian predictors. Tabel 1.1 Data NAMA VARIABEL LABEL KRITERIA VARIABEL DEPENDEN (RESPONSE) VARIABEL INDEPENDEN (PREDICTORS) UPT UPT UPT ( n=1,2,...50 ) TiU Tipe UPT (1) Tipe C (2) Tipe B (3) Tipe A Dana SDM KK Wilker PGPan JNest Dana yang dialokasikan pada th 2004 Jumlah SDM pada th 2004 Luas Kawasan Konservasi yang dimiliki UPT Luas Wilayah Kerja yang merupakan tanggungjawab UPT Panjang Garis Pantai Nesting site penyu yang ada di suatu UPT Jumlah Nesting Site yang ada di suatu UPT (1) < 1,4 Milyar Rupiah (2) 2 s/d 2,9 Milyar Rupiah (3) 3 s/d 3,9 Milyar Rupiah (4) > 4 Milyar Rupiah (1) < 99 orang (2) 100 s/d 149 orang (3) 150 s/d 200 orang (4) > 200 orang (1) < 199 ribu Ha (2) 200 s/d 299 Ha (3) 300 s/d 399 Ha (4) > 400 Ha (1) < 4.9 juta Ha (2) 5 s/d 9.9 juta Ha (3) 10 s/d 14,9 juta Ha (4) > 15 juta Ha (1) < 24,9 km (2) 25 s/d 49,9 km (3) 50 s/d 74,9 km (4) > 75 km (1) < 2,9 lokasi (2) 3 s/d 5,9 lokasi (3) 8 s/d 8,9 lokasi (5) > 9 lokasi

171 151 Dengan menggunakan prosedur Optimal Scaling hubungan tersebut dikuantitatifkan sehingga nilai response dapat diprediksi dengan mengkombinasikan beberapa predictor. Tabel 1.2 Case Processing Summary Valid Active Cases 50 Active Cases with Missing Values 0 Supplementary Cases 0 Total 50 Cases Used in Analysis 50 Tabel 1.3 ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression Residual Total Dependent Variable: UPT Predictors: Tipe UPT; Luas Kws Konservasi ;Luas Wil.Kerja ;Dana Pengelolaan 2004; Jumlah SDM 2004; Panjang Garis Pantai; Jumlah Nesting site. Tabel ANOVA adalah hasil pengujian terhadap model yang menerangkan hubungan antara variabel dependen dengan independen, namun tidak secara langsung menjelaskan kekuatan hubungan. Nilai p = 0.04 berarti model regresi dapat menerangkan variabel UPT. Tabel 1.4 Correlations Original Variables Tipe UPT Luas Kws Konserv asi Luas Wil.Kerja Dana Pengel olaan 2004 Jumlah SDM 2004 Panjang Garis Pantai Jumlah Nesting site Tipe UPT Luas Kws Konserv Luas Wil.Kerja Dana Peng Jumlah SDM Panjang Grs Pantai Jumlah Nesting site Dimension Eigenvalue

172 152 Tabel 1.5 Correlations Transformed Variables Tipe UPT Luas Kws Konserva si Luas Wil.Ke rja Dana Pengelola an 2004 Jumlah SDM 2004 Panjang Garis Pantai Jumlah Nesting site Tipe UPT Luas Kws Konserv Luas Wil.Kerja Dana Peng Jumlah SDM Panjang Grs Pantai Jumlah Nesting site Dimension Eigenvalue Korelasi antar predictor digunakan untuk mengidentifikasi adanya multicollinearity dalam regresi ini. Variabel-variabel yang memiliki korelasi tinggi akan menyebabkan ketidak-stabilan estimasi dari regresi. Jika korelasi antar predictor mendekati 0 maka dapat dikatakan bahwa multicollinearity antar individu tidak perlu diperhatikan. Tabel 1.6 Model Summary Multiple R R Square Adjusted R Square Dependent Variable: UPT Predictors: Tipe UPT; Luas Kws Konservasi; Luas Wil.Kerja; Dana Pengelolaan 2004; Jumlah SDM 2004; Panjang Garis Pantai ; Jumlah Nesting site Hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor dapat dijelaskan oleh model Regresi. Dengan koefisien determinasi: R 2 = 0, 521 maka perbedaan UPT (response) setelah ditransformasi hanya 52,1 % yang dijelaskan oleh regresi dengan ke 7 predictor yang telah ditransformasi secara optimal. Adapun 47,9 % sisanya di pengaruhi oleh faktor yang tidak diketahui. Dengan demikian pengelolaan penyu di 50 UPT tidak hanya dipengaruhi oleh input pengelolaan, seperti: Tipe UPT, Dana pengelolaan, Jumlah SDM, Luas Kawasan Konservasi, Luas Wilayah Kerja, Panjang Garis Pantai dan Jumlah Nesting Site Penyu tetapi masih ada pengaruh faktor lain yang tidak diketahui.

173 153 Tabel 1.7 Coefficients Standardized Coefficients df F Sig. Beta Std. Error Tipe UPT Luas Kws Konservasi Luas Wil.Kerja Dana Pengelolaan Jumlah SDM Panjang Garis Pantai Jumlah Nesting site Dependent Variable: UPT Standardized Coefficients Beta mencerminkan pentingnya setiap predictor. Pada Tabel 2.7 dapat diketahui bahwa secara berurutan variabel predictor yang penting, adalah: Tipe UPT (0,480); Luas Kws Konservasi (0,425); Dana Pengelolaan 2004 (-0,304); Jumlah SDM 2004 (-0,253); Luas Wil.Kerja (-0,172); Panjang Garis Pantai (0,114); Jumlah Nesting site (0,09). Persamaan Regresi : Y = 0,48 X 1 + 0,425 X 2 0,304 X 3 0,253 X 4-0, 172 X 5 + 0,114 X 6 + 0,09 X 7 dimana : Y = UPT X 3 = Dana X 6 = Panjang Garis pantai X 1 = Tipe UPT X 4 = SDM X 1 = Jumlah Nesting site X 2 = Luas KK Tabel 1.8 Correlations and Tolerance X 5 = Luas Wilayah kerja Correlations After Transfor mation Tolerance Before Transfo rmation Zero- Importance Order Partial Part Tipe UPT Luas Kws Konservasi Luas Wil.Kerja Dana Pengel Jumlah SDM Panjang Garis Pantai Jumlah Nesting site Dependent Variable: UPT

174 154 Dari angka korelasi zero-order diketahui bahwa korelasi antara predictors dengan response setelah ditransformasi. Korelasi tertinggi secara berurutan adalah: Luas Kws Konservasi (0.486); Jumlah SDM 2004 (-0.396); Tipe UPT (0.227); Luas Wil.Kerja (-0.194); Panjang Garis Pantai (0.172); Dana Pengel (-0.166); Jumlah Nesting site (0.02). Korelasi partial merupakan pengaruh linear dari predictors baik antar predictor maupun tehadap response. Jika korelasi partial dikuadratkan akan memberi petunjuk proporsi dari variance jika pengaruh variabel lain dianggap tidak ada. Pada Tabel 1.8 diketahui bahwa proporsi dari beberapa predictor yakni : Tipe UPT (72%); Luas Kws Konservasi (69%); Dana Pengelolaan 2004 (56%); Jumlah SDM 2004 (52%); Luas Wil.Kerja (47%); Panjang Garis Pantai (39%); Jumlah Nesting site (36%). Plot Transformation variable predictors

175 155

176 156 Lampiran 2. Analisis Hierarchical Clustering Penentuan karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau menggunakan analisis Metoda Hierarchical Clustering. Analisis cluster ini mengklasifikasikan data menjasi beberapa kelompok yang memiliki kesamaan (similarity/homogeneous). Pada Tabel 2.1 adalah data pengelolaan penyu dari qoestionnaires yang berasal dari UPT lingkup Ditjen PHKA Tabel 2.1 Kriteria data tentang pengelolaan penyu hijau dan ancaman terhadap penyu hijau PENGELOLAAN VARIABEL LABEL KRITERIA 1. NsKl Nesting & kelola (1) Tidak ada nesting & tidak ada pengelolaan (2) Ada nesting & tidak ada pengelolaan (3) Ada nesting & ada pengelolaan ANCAMAN 2. Giat Jenis kegiatan pengelolaan (1) 0 jenis kegiatan (2) 1 jenis kegiatan (3) 2 jenis kegiatan (4) 3 jenis kegiatan (5) 4 jenis kegiatan (6) 5 jenis kegiatan (7) 6 jenis kegiatan 3. TiKe Tipe pengelolaan (1) penyu tidak dikelola (2) penyu dikelola pemerintah (3) penyu dikelola pemerintah & LSM/Swasta (4) penyu dikelola LSM & Masyarakat (5) penyu dikelola Masyarakat VARIABEL LABEL KRITERIA 1. Induk Penangkapan induk (1) Ada (2) Tidak 2. Telur Eksploitasi telur (1) Ada (2) Tidak 3. Daging Konsumsi daging penyu 4. Ops Perdagangan opsetan (1) Ada (2) Tidak (1) Ada (2) Tidak Data categorical tersebut dikonversi menjadi matriks similarity yang terlebih dahulu ditransformasi secara monotonik melalui prosedur Optimal Scaling (takane@takane.psych.mcgill.ca).

177 157 Selanjutnya matriks similarity dilakukan analisis Hierarchical Clustering dengan memilih Average linkage within groups (yakni : pengkombinasian cases atau cluster setiap tahap) hingga diperoleh cluster yang homogen. Dendrogram pada Gambar 2.1 dan 2.2 merupakan hasil pengklasifikasian proses pengelolaan dan outcome pengelolaan. Gambar 2.1 Karakteristik pengelolaan penyu hijau Dari Gambar 2.1 dapat diketahui bahwa : 1. Cluster 1 adalah 26 UPT yang tidak mengelola penyu dan sebagian saja yang memiliki nesting site penyu.

178 Cluster 2 adalah 20 UPT yang pengelolaan penyu berbasis pemerintah dan semuanya memiliki nesting site penyu. 3. Cluster 3 adalah 4 UPT yang pengelolaan penyu berbasis masyarakat dan semua memiliki nesting site penyu. Gambar 2.2 Klasifikasi ancaman terhadap penyu hijau Sedangkan dari Gambar 2.2 dapat diketahui bahwa : 1. Cluster 1 adalah 24 UPT yang terdapat ancaman ringan karena sebagian kecil UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, perdagangan opsetan sedang konsumsi daging penyu tidak ada.

179 Cluster 2 adalah 17 UPT yang terdapat ancaman sedang karena sebagian besar UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur dan konsumsi daging sedang perdagangan opsetan tidak ada. 3. Cluster 3 adalah 9 UPT yang terdapat ancaman berat karena semua UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, konsumsi daging dan perdagangan opsetan. Ada dugaan pengelolaan penyu hijau berkaitan dengan P. Bali dimana konsumsi daging penyu di Pulau ini pernah menimbulkan protes internasional. Karenanya peneliti melakukan pengukuran jarak antara ke 50 TK-UPT terhadap kota Denpasar P. Bali. Hasil pengukuran dikelompokkan dalam tiga peringkat dengan prosedur recode pada software package SPSS version 13. Hasil pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali

180 160 Lampiran 3. Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) Pengelolaan penyu hijau berada di wilayah studi yakni 50 UPT Direktorat Jenderal PHKA. Setiap UPT adalah sasaran/obyek untuk diperbandingkan satu sama lain. Penggunaan Metoda Multidimensional scaling (MDS) merupakan serangkaian tehnik visualisasi data proximity pada low dimensional space. Menurut Coombs (1964), Carroll and Arabie (1980) and Young (1987 and 1999) proximity adalah ukuran jarak terdekat (nearness) setiap obyek yang diperbandingkan. Metode Multidimensional Scaling (MDS) menggunakan dua jenis data, yakni: Matriks Distance tempat kedudukan UPT dan Matriks Dissimilarity UPT. Pada Gambar 3.1. dapat dilihat perbedaan antara data matriks Distance Tempat Kedudukan UPT dan matriks Dissimilarity UPT. Gambar 3.1. Matriks Distance TK-UPT dan matriks Dissimilarity UPT Untuk memperbandingkan setiap UPT dperlukan bahan dasar : koordinat Distance Tempat Kedudukan UPT dan koordinat Dissimilarity UPT, adapun Karakteristik pengelolaan; Karakteristik Ancaman digunakan sebagai preference. Hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS) menggunakan software package SPSS version 13 prosedur Proxscal sebagai berikut: i) Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau Untuk memetakan permasalahan pengelolaan penyu digunakan data Distance antar Tempat Kedudukan UPT Jarak antar Tempat Kedudukan UPT adalah tipe data interval sebagai ukuran disimilarity antar UPT digolongkan metric MDS. Jarak antar UPT diasumsikan proporsional dengan euclidean distance. Dalam analisis jarak antar TK-UPT ini digunakan 2 dimensi untuk mempresentasikan lokasi TK-UPT seperti peta geometrik.

181 161 Tabel 3.1 Iteration History (Distance TK-UPT) Iteration Normalized Raw Stress Improvement a) b) Keterangan : a : Stress of initial configuration: Torgerson start. b : The iteration process has stopped because Improvement has become less than the convergence criterion Gambar 3.2 Scree plot Distance TK-UPT Dari Tabel 3.1 dan Gambar 3.2 memberi petunjuk bahwa penentuan dimensi yang akan dipilih. Stress adalah fungsi yang menunjukkan tingkat perbedaan antara distance yang dihasilkan dengan distance yang menjadi input analisis MDS. Pada Tabel 3.2 diketahui bahwa ke 4 nilai Stress < 0,01 berarti solusi 2 dimensi adalah terbaik karena penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi ke 1 menuju ke 2 selanjutnya iterasi/dimensi ke 2 menuju ke 3 tidak ada penambahan Normalized Raw Stress. Dengan demikian pemetaan distance antar obyek yang dihasilkan akan mendekati pemetaan distance sebenarnya. Tabel 3.2 Stress and Fit Measures (Distance TK-UPT) 1. Normalized Raw Stress Stress-I a) 3. Stress-II a) 4. S-Stress b) Dispersion Accounted For (D.A.F.) Tucker's Coefficient of Congruence PROXSCAL minimizes Normalized Raw Stress. Keterangan : a : Optimal scaling factor = b : Optimal scaling factor =.999.

182 162 Tabel 3.3 Final Coordinates Dimension UPT 1 2 Sumut Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Bengkulu DKIJ Jabar Jabar Jateng DIY Jatim Jatim Bali NTB NTT NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulsel Sulsel Sultra Sulut Sulteng Maluku Papua Papua Siberut BBS WKambas Ukulon KSeribu KarimunJ MBetiri Baluran APurwo BBarat

183 163 Dimension UPT 1 2 TPuting Kutai Bunaken WKtobi TBnerate RAopaW Komodo TCDwasih Wasur Tahap selanjutnya memvisualisasikan koordinat TK-UPT pada ruang euclidean dalam 2 dimensi dengan software XLSTAT 2006 (Gambar 3.3). Gambar 3.3 Visualisasi koordinat Tempat Kedudukan (ke 50 UPT) dalam 2 dimensi Untuk mengevalusi setiap UPT diperlukan mengkombinasikan visualisasi koordinat obyek dengan beberapa preference seperti: variabel Karakteristik pengelolaan; Karakteristik Ancaman dan Zona (Keterkaitan dengan Bali). (1) Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan Karakteristik pengelolaan Pada Gambar 3.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar UPT tidak mengelola penyu hijau (point merah), pengelolaan dilaksanakan Pemerintah (point hijau), dan sisanya (point biru) adalah pengelolaan yang dilaksanakan masyarakat.

184 164 Gambar 3.4 Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan Karakteristik Pengelolaan (2) Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan Karakteristik Ancaman Gambar 3.5. Visualisasi koordinat obyek (ke 50 UPT) dikombinasikan dengan Karakteristik Ancaman Pada Gambar 3.5 dapat diketahui bahwa UPT yang mendapat ancaman ringan (warna merah); UPT yang mendapat ancaman sedang (warna hijau); UPT yang mendapat ancaman berat (warna biru).

185 165 (3) Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan Zona (Keterkaitan dengan Bali) Gambar 3.6. Visualisasi koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan Zona (Keterkaitan dengan P.Bali) (4) Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan 2 preference (Karakteristik Pengelolaan dan Karakteristik Ancaman) Gambar 3.7 Visualisasi koordinat TK-UPT dikombinasi dengan 2 preference Karakteristik Pengelolaan dan Ancaman

186 166 Tabel 3.4 Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Ancaman ringan % Ancaman sedang % Ancaman berat % Proporsi 52% 40% 8% Dengan mempelajari Gambar 3.7 dan Tabel 3.4 dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi ancaman terhadap populasi penyu, semakin banyak UPT yang tidak mengelola penyu. (5) Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan 2 preference (zona dan Karakteristik Pengelolaan) Gambar 3.8 Visualisasi koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan 2 preference (Zona dan Karakteristik Pengelolaan )

187 167 Tabel 3.5 Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Zona % Zona % Zona % Proporsi 52% 40% 8% Setelah mempelajari Gambar 3.8 dan Tabel 3.5 dapat dinyatakan bahwa semakin dekat jarak UPT dengan P. Bali semakin banyak UPT yang mengelola penyu hijau. ii) Penilaian Kinerja UPT dalam mengelolaan penyu hijau Untuk menilai kinerja UPT digunakan input data Dissimilarity antar obyek berasal dari variabel-variabel input pengelolaan UPT kemudian dikonversi dalam matriks. Matriks tersebut merupakan bahan analisis MDS dengan prosedur Proxscal meliputi beberapa tahapan, antara lain: Tabel 3.6 Iteration History (Dissimilarity) ITERATION NORMALIZED RAW STRESS IMPROVEMENT a) b) Keterangan : a : Stress of initial configuration: Simplex start. b : The iteration process has stopped because Improvement has become less than the convergence criterion

188 168 Gambar 3.9 Scree plot (Dissimilarity UPT) Dari Tabel 3.4 dan Gambar 3.9 memberi petunjuk bahwa penentuan jumlah dimensi yang dipilih. Solusi 3 dimensi adalah terbaik karena penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/dimensi ke 1-2 dan iterasi/ dimensi ke 2-3. Penambahan Normalized Raw Stress = 0 pada iterasi/dimensi ke 3 ke atas. Tabel 3.5 Stress and Fit Measures (Dissimilarity UPT) 1. Normalized Raw Stress Stress-I a) 3. Stress-II a) 4. S-Stress b) Dispersion Accounted For (D.A.F.) Tucker's Coefficient of Congruence PROXSCAL minimizes Normalized Raw Stress. Keterangan : a : Optimal scaling factor = b : Optimal scaling factor =.873 Stress adalah fungsi yang menunjukkan tingkat perbedaan antara distance yang dihasilkan dengan distance yang menjadi input analisis MDS. Pada Tabel 3.5 diketahui bahwa ke 4 nilai Stress nilainya 0,1 s/d 0,4 berarti bahwa solusi 2 dimensi masih cukup baik. Tabel 3.6 Final Coordinates (Dissimilarity UPT) Dimension UPT Sumut Sumut Sumbar Riau

189 169 Dimension UPT Jambi Sumsel Lampung Bengkulu DKIJ Jabar Jabar Jateng DIY Jatim Jatim Bali NTB NTT NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulsel Sulsel Sultra Sulut Sulteng Maluku Papua Papua Siberut BBS WKambas Ukulon KSeribu KarimunJ MBetiri Baluran APurwo BBarat TPuting Kutai Bunaken WKtobi TBnerate RAopaW Komodo TCDwasih Wasur

190 170 Tahap selanjutnya adalah memvisualisasikan koordinat UPT pada ruang euclidean dengan tampilan 2 dimensi software XLSTAT 2006 dapat diperiksa pada Gambar 3.10 berikut ini. Gambar 3.10 Visualisasi koordinat obyek (ke 50 UPT) dalam 2 dimensi Gambar 3.10 adalah pemetaan lembaga UPT yang dibedakan berdasarkan variabel: Tipe UPT, Dana, SDM, Luas Kawasan Konservasi, Luas Wilayah Kerja, Panjang Garis Pantai, Jumlah Nesting site. Untuk menilai kinerja UPT dilakukan pengkombinasian koordinat UPT dengan 2 preference seperti : Karakteristik pengelolaan; dan Karakteristik Ancaman. Gambar 3.11 Visualisasi koordinat UPT dikombinasikan dengan 2 preference (Karakteristik Ancaman dan Karakteristik Pengelolaan)

191 171 Dengan mempelajari Gambar 3.11 dapat dilakukan penilaian kinerja UPT, sebagai berikut : Ideal point adalah asumsi posisi ideal suatu UPT yang didasarkan pada pertimbangan Karakteristik pengelolaan dan Karakteristik ancaman. UPT Takabonerate menempati posisi ideal dimana pengelolaan penyu dilaksanakan berbasis masyarakat dan ancaman terhadap penyu yang tergolong ringan. Posisi sebaliknya adalah: UPT BKSDA Jateng; BKSDA Jatim1; BKSDA Maluku dan BTN Siberut. Keempat UPT ini memerlukan perhatian khusus karena tidak ada pengelolaan penyu hijau walaupun terdapat ancaman yang berat.

192 172 Lampiran 4. Metode Time Series Untuk mengetahui kondisi populasi penyu hijau digunakan analisis Time Series prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS). Data penyu di BTN Meru Betiri yang digunakan adalah deret berkala dari Jumlah penyu (ekor), Jumlah telur (butir) dan prosentase penetasan telur (%) mulai tahun 1980 hingga th Nama Variabel Kriteria 1. Jumlah penyu bertelur (Penyu) Penyu (t=1980, ) 2. Jumlah telur penyu (Telur) Telur (t=1980, ) 3. Prosentase penetasan telur (Prosent) Prosent (t=1980, ) Pengolahan data dari ketiga variabel diperlakukan sama dengan tahapan sebagai berikut: I. Jumlah Penyu (i) Pembuatan Grafik Pembuatan grafik dan penambahan garis kecenderungan bagi ketiga variabel (Jumlah Penyu, Jumlah Telur dan Prosentase Penetasan). Ketiga variabel tersebut menempati sumbu Y dan variabel Waktu pada sumbu X.

193 (ii) Penilaian kecenderungan (The Curve Estimation) 173

194 174 (iii) Analisis Time Series prosedur Seasonal Decomposition 1. Variasi Musiman Jumlah penyu yang berfluktuasi secara teratur menunjukkan bahwa kedatangan penyu tertinggi pada bulan Januari, kemudian menurun dan terrendah pada bulan September. Variasi musiman dapat digunakan sebagai indikator pengamanan daerah pantai peneluran, dimana saat bulan Nopember s/d Maret pengamanan pantai ditingkatkan karena jumlah penyu yang datang tergolong tinggi. 2. Rata-rata Bergerak (Moving average) Rata-rata bergerak (Moving average) yang mengambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata. Penghitungan rata-rata bergerak dengan mencari nilai rata-rata beberapa tahun secara berturut-turut sehingga diperoleh nilai rata-rata bergerak secara teratur.

195 175 II. Jumlah Telur (i) Pembuatan Grafik (ii) Penilaian kecenderungan (The Curve Estimation)

196 (iii) Penilaian Prosentase penetasan 176

197 177

198 178 Lampiran 5. Perencanaan Konservasi Setempat (Site Conservation Planning) Perencanaan konservasi setempat (Site conservation planning) secara participatory seperti yang telah dikembangkan The Nature Conservancy (2003) yang didasari oleh kerangka pikir 5S (systems, stresses, sources, strategies, success). Kepulauan Derawan memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 31 pulau, dimana tiga (3) pulau diantaranya dihuni penduduk (P. Derawan, P. Maratua dan P. Balikukup). Secara administratif pemerintahan Kepulauan Derawan berada di Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur pada tiga wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Derawan, Kecamatan Maratua dan Kecamatan Biduk-Biduk. Gambar 5.1 Kepulauan Derawan dan lokasi diskusi partisipatif Diskusi secara partisipatif dilaksanakan di Desa Derawan Pulau Derawan di Kecamatan Pulau Derawan; Desa Payung-Payung Pulau Maratua di Kecamatan Maratua; dan Desa Balikukup Pulau Balikukup di Kecamatan Talisaiyan.

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau dan kondisi populasi penyu

Lebih terperinci

Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi spesies yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti kehidupan satwa terdapat di lautan. Terdapat berbagai macam mekanisme kehidupan untuk bertahan hidup di

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perbuatan manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia

Lebih terperinci

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI xi Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PENGESAHAN...i BERITA ACARA... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...v ABSTRAK...

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh RINI SULISTYOWATI

SKRIPSI. Oleh RINI SULISTYOWATI Peran WWF ( World Wide Fund For Nature ) Dalam Usaha Penyelamatan Penyu Di Bali Indonesia (The Role of WWF ( World Wide Fund For Nature ) In saving destruction of marine turtle in Bali Indonesia) SKRIPSI

Lebih terperinci

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ----------------~------------------------------------------.--------.----- Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (1993),1(1): 33-37 STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2010 telah dicanangkan oleh PBB sebagai Tahun Internasional Biodiversity (keanekaragaman hayati) dengan tema Biodirvesity is life, Biodirvesity is Our

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Tri Nurani Mahasiswa S1 Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman e-mail: tri3nurani@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyu hijau merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Arahan Dalam EU RED Terkait Sumber Biofuel Ramah Ligkungan - Penggunaan biofuel harus bersumber dari penggunaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan alam tropis yang tak ternilai harganya dan dipandang di dunia internasional. Tidak sedikit dari wilayahnya ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PANTAI PENYU PANGUMBAHAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal KEDUDUKAN CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) SEBAGAI SALAH SATU KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG LINGKUNGAN HIDUP YANG MENGATUR PERDAGANGAN SPESIES LANGKA Oleh Deby Dwika Andriana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci