Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN
|
|
- Ratna Kusuma
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi spesies yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Secara struktural kegiatan konservasi spesies berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional (BTN). Penelitian dilakukan terhadap 50 UPT yang memiliki wilayah kerja di pesisir dan laut dengan asumsi memiliki lokasi peneluran penyu. Data primer dikumpulkan melalui : (1) Pengamatan lapangan terhadap UPT- UPT yang berada di P. Jawa hingga P. Timor pada tahun 2004 hingga 2005; (2) pengiriman questionaires dan diisi oleh pengelola UPT. Data sekunder dikumpulkan dari kantor Ditjen PHKA Jakarta dan beberapa LSM tingkat nasional dan LSM lokal. Alternatif perlindungan penyu hijau di Indonesia pada Kasus Kep. Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Data primer dikumpulkan melalui diskusi secara partisipatif pada pulau-pulau yang berpenghuni di tiga desa (Desa Derawan, Desa Payung-Payung dan Desa Balikukup) pada tanggal 27 Januari s/d 30 Pebruari Data sekunder dikumpulkan dari kantor BKSDA Kalimantan Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau dan beberapa LSM bertaraf nasional dan lokal. 3.2 Metode Analisis Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif meliputi uraian kualitatif dan analisis kuantitatif berbentuk grafik dan tabel frekuensi, sedangkan analisis statistik yang digunakan, antara lain: 1) Metode Categorical Regression Metode Categorical Regression (software package SPSS) digunakan untuk menguji pengaruh input pengelolaan UPT/ predictors (7 variabel) terhadap
2 56 UPT pengelola penyu hijau/ response (ke 50 UPT). Dengan menggunakan prosedur Optimal Scaling dapat memberi gambaran tentang hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor. Hubungan tersebut dikuantitatifkan sehingga nilai response dapat diprediksi dengan mengkombinasikan predictors. - Variabel Dependen (Response) Nama Variabel Kriteria UPT (UPT) UPT ( n =1,2,...50 ) - Variabel Independen (Predictors) Nama Variabel Kriteria (1) Tipe UPT (TiU) (1) Tipe C (2) Tipe B (3) Tipe A (2) Dana yang dialokasikan pada (1) < 1,4 Milyar Rupiah th 2004 (Dana) (2) 2 s/d 2,9 Milyar Rupiah (3) 3 s/d 3,9 Milyar Rupiah (4) > 4 Milyar Rupiah (3) Jumlah SDM pada th 2004 (SDM) (1) < 99 orang (2) 100 s/d 149 orang (3) 150 s/d 200 orang (4) > 200 orang (4) Luas Kawasan Konservasi (1) < 199 ribu Ha yang dimiliki UPT (KK) (2) 200 s/d 299 Ha (3) 300 s/d 399 Ha (4) > 400 Ha (5) Luas Wilayah Kerja yang (1) < 4.9 juta Ha merupakan tanggung jawab (2) 5 s/d 9.9 juta Ha UPT (Wilker) (3) 10 s/d 14,9 juta Ha (4) > 15 juta Ha (6) Panjang Garis Pantai Nesting site penyu yang ada di suatu UPT (PGPan) 1) < 24,9 km 2) 25 s/d 49,9 km 3) 50 s/d 74,9 km 4) > 75 km (1) < 2,9 lokasi (7) Jumlah Nesting Site yang ada di suatu UPT (JNest) (2) 3 s/d 5,9 lokasi (3) 8 s/d 8,9 lokasi (4) > 9 lokasi 2) Metode Hierarchical Clustering Untuk mengetahui karakteristik pengelolaan penyu hijau dan karaktristik ancaman digunakan Metode Hierarchical Clustering (software package SPSS). Obyek penelitian (ke-50 UPT) dikelompokkan berdasarkan
3 57 kesamaannya (similarity). Untuk penentuan karakteristik pengelolaan digunakan data tiga variabel categorical sebagai berikut: Nama Variabel 1. Nesting dan kelola (NsKl) 2. Jenis kegiatan pengelolaan (Giat) 3. Tipe pengelolaan (TiKe) Kriteria (1) Tidak ada nesting dan tidak ada pengelolaan (2) Ada nesting dan tidak ada pengelolaan (3) Ada nesting dan ada pengelolaan (1) 0 jenis kegiatan (2) 1 jenis kegiatan (3) 2 jenis kegiatan (4) 3 jenis kegiatan (5) 4 jenis kegiatan (6) 5 jenis kegiatan (7) 6 jenis kegiatan (1) penyu tidak dikelola (2) penyu dikelola pemerintah (3) penyu dikelola pemerintah dan LSM/ Swasta (4) penyu dikelola LSM dan Masyarakat (5) penyu dikelola Masyarakat Untuk penentuan karakteristik ancaman digunakan empat variabel binary sebagai berikut: Nama Variabel Kriteria 1. Penangkapan induk (Induk) (1) Ada ; (2) Tidak 2. Eksploitasi telur (Telur) (1) Ada ; (2) Tidak 3. Konsumsi daging penyu (Daging) (1) Ada ; (2) Tidak 4. Perdagangan opsetan (Ops) (1) Ada ; (2) Tidak 3) Metode Time Series Untuk mengetahui kondisi populasi penyu hijau digunakan analisis Time Series prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS). Data yang digunakan adalah deret berkala dari jumlah penyu (ekor), jumlah telur (butir) dan prosentase penetasan telur (%) mulai tahun 1980 hingga tahun Nama Variabel Kriteria 1. Jumlah penyu bertelur (Penyu) Penyu (t=1980, ) 2. Jumlah telur penyu (Telur) Telur (t=1980, ) 3. Prosentase penetasan telur (Prosent) Prosent (t=1980, )
4 58 Pengolahan data dari ketiga variabel diperlakukan sama dengan tahapan sebagai berikut: Tahap 1 : Membuat grafik untuk ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosentase, dimana sumbu Y: Variabel nilai (Penyu, Telur dan Prosent) pada dan sumbu X: variabel Waktu Tahap 2 : Penilaian kurva (The Curve Estimation) untuk ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosent). Tahap 3 : Menguraikan deret berkala ketiga variabel (Penyu, Telur dan Prosent) menjadi komponen musiman, kombinasi kecenderungan dengan siklus komponen dan eror dari komponen. Sebagai pembanding digunakan data dari UPT BKSDA Kaltim dan UPT BTN Alas Purwo. 4) Analisis Multidimensional Scaling Untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan penyu hijau di setiap UPT dilakukan dengan cara memperbandingkan UPT satu dengan lainnya menggunakan Metode Multidimensional Scaling (software package SPSS). Metode Multidimensional Scaling adalah: serangkaian tehnik visualisasi data proximity pada low dimensional space. Dalam Young (1999) Proximity adalah ukuran jarak terdekat (nearness) setiap obyek yang diperbandingkan. Data proximity dapat dibedakan sebagai pengukuran dissimilarity dan similarity setiap obyek. Dalam Kardi (2005) dijelaskan perbedaan antara Similarity dan Dissimilarity. Similarity adalah suatu kuantitas yang mencerminkan kekuatan hubungan antara dua obyek atau antara dua corak (variabel) yang diperbandingkan. Kuantitas tersebut memiliki nilai antara -1 s/d +1 atau 0 s/d 1 setelah dinormalkan. Similarity (S ij ) antara corak (i) dan corak (j) dapat diketahui dari ukuran kuantitas yang tergantung dari skala pengukuran (tipe data) yang dimiliki. Dissimilarity adalah ukuran ketidak-samaan antara dua obyek berdasarkan beberapa corak (variabel) yang diperbandingkan. Dissimilarity dapat diketahui dari ukuran jarak (distance) antar obyek tanpa mempertimbangkan corak (variabel). Selain itu Dissimilarity antar obyek juga
5 59 dapat diketahui dengan mempertimbangkan variabel akan menghasilkan koordinat antar obyek. Hubungan antara Similarity dan Dissimilarity dapat digunakan persamaan: Sij = 1 - δij... (1) dimana : Sij : Similarity δij : Dissimilarity Nilai Similarity antara 0 s/d 1. Jika Similarity = 1 (dimana obyek-obyek similar) maka Dissimilarity = 0. Sebaliknya jika Similarity = 0 (dimana obyek-obyek very different) maka Dissimilarity = 1. Similarity memiliki kisaran nilai -1 s/d +1 dan Dissimilarity dengan kisaran nilai 0 s/d 1. Dalam penelitian ini akan memperbandingkan setiap obyek (UPT) dengan menggunakan 2 macam Dissimilarity, antara lain: i) Dissimilarity obyek dengan masukan data berupa matriks Distance antara tempat kedudukan obyek/ UPT. Menurut Young (1985) penggunaan data jarak antar obyek tergolong metode konvensional yang dinamakan : Metric Multidimensional Dimensional Scaling (MDS). Penghitungan distance (d ij ) antar obyek (i) dan (j) digunakan persamaan : 2 d ij = Σ ( x )... (2) ia x ja dimana, x ia adalah koordinat dari obyek (i) pada dimensi (a). Jika diketahui obyek (n) dengan dimensi (r), koordinat x ia disajikan dalam matriks X. Selanjutnya matriks X digunakan untuk menghitung Euclidean distance dengan persamaan : r [ ] 1/ 2 d ij = ( x x )( x x ) i... (3) j i j ii) Dissimilarity obyek dengan masukan data berupa matriks antar obyek/ UPT dengan beberapa variabel input pengelolaan UPT. Menurut Barrett (2005), untuk mendapatkan matriks tersebut dilakukan dengan penghitungan Euclidean distance yang meliputi penghitungan Raw Euclidean distance dan menormalkan Euclidean distance.
6 60 Penghitungan Raw Euclidean distance Setiap variabel memiliki nilai maximum dan minimum, maka (md) dihitung dengan persamaan : md i = (nilai max variabel i nilai min i) 2... (4) Selanjutnya menghitung the scaled variable Euclidean distance dengan persamaan: v i = 1 ( p p ) 1i 2 i d 1 =... (5) md dimana : p 1i... 2i d 1 md i i 2 : obyek ke 1 dan ke 2 pada variabel ke i : the scaled variable Euclidean distance : determine the maximum setiap variabel Tahap berikutnya dilakukan penghitungan the scaled dengan persamaan: v ( p p ) 1i 2 i 2 i = 1 md i d 2 =... (6) v dimana v : jumlah variabel Menormalkan Euclidean Distance Pada software package SPSS version 13 telah tersedia cara untuk menormalkan Euclidean distance melalui transformasi secara sederhana dengan standardization z-score. Setelah diperoleh matriks distance antara UPT dan Dissimilarity UPT dilakukan analisis MDS-Proxscal pada SPSS. Sebagai hasilnya adalah koordinat setiap obyek (UPT). Koordinat obyek yang dihasilkan digunakan untuk memperbandingkan setiap obyek yang divisualisasikan dengan prosedur 3D-plot pada software package XLSTAT Alternatif perlindungan penyu hijau Alternatif perlindungan yang diarahkan pada habitat penyu hijau dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Derawan. Pembentukan KKL Kepulauan Derawan memerlukan rancangan kawasan dan arahan pengelolaan KKL.
7 61 (i) Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Tujuan pembentukan KKL Kep. Derawan untuk menyelamatkan populasi penyu hijau dari kepunahan. Rancangan KKL mempertimbangkan keberadaan habitat feeding dan breeding, yakni: ekosistem lamun, terumbu karang dan pantai peneluran. Dengan menggunakan GIS (Geographic Information Systems) dilakukan teknik overlay beberapa informasi tentang habitat feeding dan habitat breeding. (ii) Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan Untuk mendapatkan arahan pengelolaan KKL diperlukan proses perencanaan yang mengikuti diagram alir pada Gambar 23. PERLINDUNGAN HABITAT PENYU HIJAU PEMBENTUKAN KAWASAN KONSERVASI LAUT Proses Perencanaan PERENCANAAN KONSERVASI SETEMPAT DISKUSI PARTISIPATIF (KERANGKA 5-S) IDENTIFIKASI TARGET KONSERVASI IDENTIFIKASI TEKANAN & SUMBER TEKANAN PENYUSUNAN STRATEGI PERENCANAAN ECOREGION TEKANAN & SUMBER TEKANAN The Analytical Approach STRATEGI KONSERVASI SDA DESA DERAWAN DESA PAYUNG-PAYUNG DESA BALIKUKUP PENYUSUNAN STRATEGI ECOREGION ARAHAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN DERAWAN Gambar 23. Skema proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan
8 62 i) Perencanaan konservasi setempat (Site Conservation Planning) Pada wilayah studi dilakukan diskusi secara partisipatif dengan menggunakan metode Perencanaan Konservasi Setempat yang diusulkan oleh The Nature Conservancy (TNC, 2002). Metode perencanaan konservasi ini mengikuti kerangka 5-S menghasilkan Rencana Pengelolaan KKL Berbasis Masyarakat. Proses perencanaan yang dilengkapi dengan alat-alat peraga ini memudahkan pengumpulan data dan informasi selama konsultasi dan diskusi secara partisipatif. Diagram kerangka 5-S (Systems, Stresses, Sources, Strategies, Success) ini disajikan pada Gambar 24 berikut ini. Gambar 24. Proses perencanaan konservasi dengan kerangka 5-S Keterangan : SYSTEMS adalah target konservasi berupa keanekaragaman hayati dan ekosistem yang terdapat di suatu lokasi perencanaan. STRESSES adalah berbagai perubahan (kerusakan dan perbaikan) yang terjadi pada SYSTEMS. SOURCES adalah berbagai penyebab dari perubahan yang terjadi pada System atau penyebab terjadinya STRESSES. STRATEGIES adalah berbagai tindakan konservasi yang mengupayakan pemulihan/ pengelolaan STRESSES dan pengurangan sumber tekanan (SOURCES) SUCSESS adalah matriks pendugaan untuk mengukur keberhasilan tindakan konservasi dan pengawasan dalam implementasi STRATEGIES. Perencanaan kerangka 5-S terdiri dari beberapa tahap, antara lain: Identifikasi system (sumberdaya alam yang penting); Trend pemanfaatan
9 63 SDA; Penentuan tekanan dan sumber tekanan terhadap SDA; Menentukan para pihak (stakeholder) yang terlibat; Menentukan strategi konservasi. Penggunaan metode ini untuk mengidentifikasi prioritas konservasi di suatu wilayah. Dengan memfokuskan pada prioritas konservasi akan dirancang strategi konservasi yang efisien dan efektif untuk setiap desa (lokasi diskusi). Perencanaan konservasi ini merupakan perencanaan jangka pendek dan berskala mikro, bersifat parsial belum dikaitkan dengan penyebab kerusakan keanekaragaman hayati oleh pengaruh faktor sosial, ekonomi, politik dari aktivitas berskala makro. ii) The Analytical Approach The Analytical Approach adalah metode praktis yang dikembangkan oleh WWF untuk menganalisis dan memahami berbagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati (WWF, 2000). Metode ini pernah digunakan pada perencanaan The Calakmul Biosphere Reserve di Mexico. The Analytical Approach merupakan metode perencanaan yang luwes untuk suatu studi kasus. Analisis yang menggunakan root causes ini dapat mengidentifikasi dan menjelaskan faktor utama penyebab hilangnya/ rusaknya keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya hubungan faktor-faktor yang kompleks. Dalam perencanaan kawasan konservasi diperlukan faktor-faktor penyebab hilangnya/ rusaknya keanekaragaman hayati yang dijadikan prioritas konservasi. Penggunaan The Analytical Approach meliputi beberapa tahap: (1) Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis) Analisis Stakeholder yang digunakan mengikuti versi Brown et.al. (2001) adalah sistem pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan dengan wilayah studi. Tahapan dalam melaksanakan analisis stakeholder participatory, yakni : Identifikasi stakeholder digunakan metode Continuum dari tingkat mikro hingga ke tingkat makro sehingga diperoleh pengelompokan stakeholder secara vertikal.
10 64 Menentukan kategori stakeholder dalam kelompok prioritas. Pengelompokan stakeholder tergantung pada tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan, yakni : primary stakeholder; secondary stakeholder; external stakeholder. Menentukan mekanisme participatif dari beberapa kelompok stakeholder. (2) Analisis ancaman dan peluang Analisis ancaman dan peluang (Analysis of Threats and Opportunities) untuk konservasi keanekaragaman hayati adalah proses pendugaan aspek sosial-ekonomi penyebab hilangnya keanekaragaman hayati/ kerusakan lingkungan. Hasil analisis ancaman dan peluang didapatkan prioritas konservasi pada skala regional. Bahan dasar analisis ini menggunakan stresses dan pressures terhadap keanekaragaman hayati gabungan dari beberapa lokasi yang diperoleh dari Perencanaan Konservasi Setempat. Pada Gambar 25 dapat dilihat skema dari Analisis Ancaman dan Peluang. Gambar 25. Diagram alir analisis ancaman dan peluang (Analysis of threats and opportunities)
11 65 Untuk memahami PRESSURES terdapat dua latar belakang penilaian, yakni: penilaian dari aspek sosial ekonomi dan penilaian akar permasalahan. Latar belakang dari aspek sosial ekonomi terdapat dua penilaian, yakni: DEMOGRAPHY (pola pergerakan penduduk dan kecenderungannya); dan Resources use (pola penggunaan sumberdaya dan kecenderungannya). Adapun akar permasalahan dipisahkan dalam PROXIMATE (alasan awal dari timbulnya PRESSURES) dan ULTIMATE (alasan terakhir dari timbulnya PRESSURES). Selanjutnya PRESSURES dipadukan dengan kondisi ekologis akan menghasilkan ancaman (THREATS). Jika ancaman (THREATS) dipadukan dengan prioritas penanganan keanekaragaman hayati akan didapatkan peringkat (ranking) tindakan konservasi yang disajikan dalam matrik berikut ini (Tabel 4). Tabel 4. Matriks penentuan peringkat tindakan konservasi Setelah peringkat tindakan konservasi diketahui maka dapat disusun strategi konservasi dengan mengupayakan mengurangi/ meniadakan ancaman atau merubah ancaman menjadi suatu peluang untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau dan kondisi populasi penyu
Lebih terperinciBab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu
Lebih terperinciJudul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia
Lebih terperinciPedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008
1 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 2 3 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan
Lebih terperinciBab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan secara konsisten.
Lebih terperincisebagai Kawasan Ekosistem Esensial)
UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan
Lebih terperinciDefinisi dan Batasan Wilayah Pesisir
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPULAUAN DERAWAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM
ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciDaftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013
Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik
Lebih terperinciDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480
Lebih terperinciPembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015
Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan ini mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi lainnya. Keunikan
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang
Lebih terperinciIr. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-
Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG TAMAN NASIONAL PERAIRAN NATUNA KABUPATEN NATUNA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciKelompok Ekowisata DA KKAYU AKKAL MARATUA
Kelompok Ekowisata DA KKAYU AKKAL MARATUA Tempat peneluran penyu hijau utama Wisata Menyelam Dunia Wilayah kelautan Berau sudah dikenal sebagai destinasi aktivitas pariwisata bahari bertaraf internasional
Lebih terperinciPENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT
PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT Oleh: Rony Megawanto Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PANTAI PENYU PANGUMBAHAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN
Lebih terperinci5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN
5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil
Lebih terperinciTINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA
TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI
Lebih terperinciIdentifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut
Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Christian Novia N. Handayani, Estradivari, Dirga Daniel, Oki Hadian, Khairil Fahmi Faisal, Dicky Sucipto, Puteri
Lebih terperinciInvestasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan
Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan
Lebih terperinciRENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010
RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2010-2014 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010 VISI - KKP Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN KAPOPOSANG DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI SULAWESI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).
Lebih terperinciPENGEMBANGAN MODEL GENERIK BERBASIS INTERVENSI TERHADAP PERILAKU MANUSIA UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG INDONESIA
PENGEMBANGAN MODEL GENERIK BERBASIS INTERVENSI TERHADAP PERILAKU MANUSIA UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG INDONESIA Arisetiarso Soemodinoto Program Kelautan The Nature Conservancy Indonesia, Jakarta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem
Lebih terperinciPEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (KA-ANDAL)
PEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (KA-ANDAL) A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Kerangka acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil
Lebih terperinciVIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciRENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk
Lebih terperinciGUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG
GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL KEPULAUAN LEASE KABUPATEN MALUKU TENGAH GUBERNUR MALUKU, Menimbang :
Lebih terperinciMETODE KAJIAN. 3.1 Kerangka Pemikiran
III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Potensi perikanan yang dimiliki Kabupaten Lampung Barat yang sangat besar ternyata belum memberikan kontribusi yang optimal bagi masyarakat dan pemerintah daerah.
Lebih terperinciKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Lebih terperinciPOTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA
Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN
Lebih terperinciIDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY
Disampaikan dalam Simposium Nasional Kawasan Konservasi Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan 9-10 Mei 2017 IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA,
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.63/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ARU BAGIAN TENGGARA DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan
Lebih terperinciLESSON LEARNED DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KELAUTAN DI EKOREGION SUNDA KECIL
LESSON LEARNED DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KELAUTAN DI EKOREGION SUNDA KECIL Putu Oktavia, Uly Faoziyah, B. Kombaitan, Djoko Santoso Abi Suroso, Andi Oetomo, Gede Suantika Email: putu.oktavia@gmail.com
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu pemanfaatan sumber daya yang sebesar-besarnya
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa
Lebih terperinciPERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II
Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga Indonesia dikenal sebagai
Lebih terperinciRENCANA STRATEGIS
TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah
Lebih terperinciMEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT
MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that
Lebih terperinciKonservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI
Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi
Lebih terperinciBAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan
BAB III METODE PERANCANGAN Untuk mengembangkan ide rancangan dalam proses perancangan, dibutuhkan sebuah metode yang memudahkan perancang. Salah satu metode yang dapat digunakan ialah metode deskriptif
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Indonesia merupakan negara yang memiliki
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PULAU KEI KECIL, PULAU-PULAU, DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN
Lebih terperinciKEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO
KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO Fajarudin PT Putri Naga Komodo Predikat yang disandang oleh TN Komodo (A Man and Bisophere Reserve dan World Heritage Site) merupakan kebanggaan tersendiri,
Lebih terperinciPUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R
KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 134/Dik-1/2010 T e n t a n g
Lebih terperinciLAMPIRAN I. UMUM. JDIH Kementerian PUPR
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 12/PRT/M/2016 TENTANG KRITERIA TIPOLOGI UNIT PELAKSANA TEKNIS PENGELOLA SUMBER DAYA AIR WILAYAH SUNGAI DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir
Lebih terperinciIII. METODOLOGI KAJIAN
39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
Lebih terperinciPUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R
KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK.41/Dik-1/2010 T e n t a n g KURIKULUM
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.
Lebih terperinci2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati di Indonesia didukung antara lain oleh posisi Kepulauan Indonesia
Lebih terperinciRencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua
Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan pada CV Salim Abadi (CV SA), yang terletak di Jalan Raya Punggur Mojopahit Kampung Tanggul Angin, Kecamatan Punggur,
Lebih terperinciKRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010
KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang
Lebih terperinciBIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),
BIODIVERSITAS (Biodiversity) Biodiversity: "variasi kehidupan di semua tingkat organisasi biologis" Biodiversity (yang digunakan oleh ahli ekologi): "totalitas gen, spesies, dan ekosistem suatu daerah".
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%
Lebih terperinciPanduan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
SUPLEMEN PEDOMAN E-KKP3K Panduan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Lebih terperinci