ANALISIS INDEKS DAN STATUS KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS INDEKS DAN STATUS KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR"

Transkripsi

1 ANALISIS INDEKS DAN STATUS KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Pengelolaan DAS dan Pesisir Penilaian keberlanjutan sistem pengelolaan DAS dan pesisir di lokasi penelitian dilakukan dengan metode multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan metode Rap-SIPDASPIR. Metode Rap-SIPDASPIR sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu merupakan pengembangan dari modifikasi metode The Rapid Appraissal of the Status of Fisheries (RAPFISH) yang telah digunakan untuk menilai status keberlanjutan pembangunan perikanan tangkap. Analisis Rap-SIPDASPIR akan menghasilkan status dan indeks keberlanjutan sistem pengelolaan daerah aliran sungai dan pesisir di DAS Citarum Jawa Barat. Berdasarkan indeks keberlanjutan (sustainabilitas) sistem pengelolaan DAS dan pesisir (Rap-SIPDASPIR) dengan menggunakan metode MDS menghasilkan tiga nilai IkB-SIPDASPIR (Indeks keberlanjutan Sistem Pengelolaan Pesisir dan DAS) DAS bagian hulu, tengah dan hilir Citarum berturut-turut skor sebesar 38.23, dan pada skala Nilai IkB- SIPDASPIR yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 54 atribut (Lampiran 4) yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, teknologi dan hukum dan kelembagaan) termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan, mengingat nilai IkB-SIPDASPIR-nya berada selang (Tabel 10). Untuk mengetahui dimensi (aspek) pembangunan apa yang masih lemah dan memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap- SIPDASPIR pada setiap dimensi, seperti disajikan dalam Gambar 38, 39 dan 40.

2 UP 40 Sumbu Y Setelah Rotasi 20 BAD GOOD -40 DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Citarum Hulu Referensi Utama Referensi Tambahan Gambar 38 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB-SIPDASPIR di DAS Citarum hulu Jawa Barat UP Sumbu Y Setelah Rotasi GOOD BAD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi:Sustainabilitas IkB-SIPPDAS- CitarumTengah Referensi Uatama Referensi Tambahan Gambar 39 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB-SIPDASPIR di DAS Citarum tengah Jawa Barat.

3 UP 40 Sumbu Y Setelah Rotasi GOOD BAD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Citarum Hilir Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 40 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB-SIPDASPIR di DAS Citarum hilir Jawa Barat UP Sumbu Y setelah Rotasi 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Ekologi Hulu Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 41 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi.

4 145 Berdasarkan Gambar 41 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi di DAS bagian hulu adalah sebesar 4.56, pada skala sustainabilitas Jika dibandingkan dengan nilai IkB-SIPDASPIR yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi ekologi untuk DAS bagian hulu berada di bawah nilai IkB- SIPDASPIR dan termasuk kedalam kategori buruk atau tidak berkelanjutan (Buruk : 0-25 nilai indeks < 25). Analisis Leverage Dimensi Ekologi DAS Hulu Attribute Pendekatan Ecoregion Kondisi Waduk Konservasi Tanah dan Air Lahan Kritis Laju Sedimentasi TBE Kondisi Hidrogeologi Kondisi Hidrologi Tingkat Kesesuaian Lahan Tingkat Kesesuaian RTRW Kualitas Air Kawasan Fungsional Konversi kawasan lindung peruntukkan lain 1.66 Abrasi/Akresi Pantai Rasio Vegetasi mangrove/tegakkan hutan Tingkat Pemanfaatan Objek Wisata Pengalian PasirPantai/sungai Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 42 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hulu. Berdasarkan Gambar 42 analisis Leverage bertujuan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS bagian hulu dan ada sembilan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS bagian hulu, yaitu: (1) tingkat kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat telah disusun sebagai upaya untuk mengintegrasikan segenap dimensi (aspek) pembangunan dengan tetap memperhatikan daya dukung sumberdaya dan lingkungan yang ada. Dengan mengacu pada fungsi tersebut, maka pada

5 146 dasarnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat yang telah menyimpang dan tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan baik menyangkut fisik, ekologi, sosial budaya, ekonomi dan politik. Satu hal yang masih menjadi keprihatinan bersama adalah permasalahan pengendalian ruang dan lingkungan, guna menjaga keseimbangan lingkungan dan laju degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan; (2) konversi kawasan lindung peruntukkan lain, DAS Citarum bagian hulu telah dikonversikan peruntukan sebagai kawasan industri, budidaya dan pemukiman dengan dibuktikan kawasan lindung dibuka untuk dijadikan bercocok tanam pada tanah kelerengan >45 % yaitu di kawasan Gunung Wayang. Hutan telah dikonversikan menjadi kebun teh, kentang dan kebun sayur oleh masyarakat. Tidak heran bila ada hujan agak deras sedikit, seluruh tanaman kentang itu akan lenyap dilongsorkan air dedaunan kentang tidak cukup untuk menahan air; (3) pendekatan ecoregion pendekatan tersebut dikenal sebagai penataan ruang wilayah ekologis, perencanan kawasan DAS Citarum hulu belum mencerminkan perencanaan tata ruang wilayah ekologis suatu DAS hendaknya menggunakan batasan wilayah perencanaan berupa keseluruhan wilayah ekologis DAS (bukan batasan administratif) yang akan mengintegrasikan aspek daratan di hulu (up-land), pesisir dan laut secara simultan (land-sea interactions), (4) Kualitas air, penelitian menunjukkan bahwa kualitas air di lokasi sampling menunjukkan mulai dari DAS Citarum bagian hulu Wangisagara, Majalaya, Nanjung, waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, Walahar, sampai ke pesisir dan laut yaitu desa mekar Muara Gembong dan desa Tanjung Pakisjaya membandingkan baku mutu berdasarkan PP No. 81/2002 dan Kepmen N0.51/2004. Nilai kekeruhan yang tinggi terdapat pada stasiun pengamatan Nanjung yaitu sebesar 52 NTU. Nilai kekeruhan yang tinggi ini salah satunya diduga karena banyaknya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut di perairan akibat dari limbah industri yang berasal dari industri-industri yang terdapat di sepanjang aliran sungai Citarum mulai dari bendung Wangisagara sampai dengan Citarum-Nanjung. Selain itu, tingginya nilai kekeruhan juga disebabkan karena limbah yang berasal dari aktifitas domestik di sepanjang aliran sungai Citarum yang membuang limbahnya langsung ke sungai Citarum. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003).

6 147 Wangisagara memiliki konsentrasi oksigen terlarut terbesar yaitu sebesar 7.5 mg/l. Tingginya konsentrasi oksigen terlarut tersebut dipengaruhi oleh letak dari Wangisagara yang memiliki ketinggian dari permukaan laut lebih tinggi dari stasiun lain, selain itu suhu perairannya juga relatif rendah, arus relatif kencang dan limbah yang masuk ke perairan sangat rendah. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen di Wangisagara cukup tinggi, menunjukkan air tersebut masih segar dan belum tercemar. Namun semakin ke hilir, kadar oksigen semakin menurun, bahkan pada stasiun pengamatan Nanjung, kadar oksigen terlarutnya hanya sebesar 0.55 mg/l. Penurunan kadar oksigen terlarut ini diduga karena air sungai Citarum setelah Majalaya telah tercemar oleh air limbah industri dan hasil buangan aktifitas manusia. Tingginya limbah yang mengandung bahan organik tersebut menyebabkan oksigen terlarut perairan menjadi berkurang karena banyak digunakan untuk proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Untuk Dayeuhkolot dan Nanjung yang memiliki kandungan BOD yang melebihi baku mutu, tidak dapat digunakan untuk kegiatan perikanan, pertanian dan peternakan; (5) lahan kritis dimana tahun 2002 dalam kawasan hutan DAS Citarum yang cukup luas berturut-turut yaitu: (a) hutan kawasan ha; (b) hutan lindung ha; (c) ladang/tegalan ha; (d) padang rumpt ha; (e) semak belukar ha dan (f) tanah kosong sebesar 700,23 ha (MP RHL Jawa Barat 2002); (6) Kondisi waduk hasil penelitian ketiga waduk yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur telah mengalami pencemaran yang sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan banyak aktivitas di waduk tersebut ditambah dengan pembuangan limbah domestik, industri, pertanian dan pertambangan; dan ikan di kawasan waduk banyak yang mati; (7) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) berdasarkan hitungan model erosi, maka erosi yang terjadi pada berbagai sub DAS di DAS Citarum berkisar dari ton per hektar per tahun (sub DAS Cisokan DAS Citarum hulu) sampai ton per hektar per tahun (sub DAS Cikaso DAS Citarum tengah), dengan rata-rata ton per hektar per tahun. Erosi tertinggi terjadi pada bagian DAS Citarum tengah disusul oleh bagian DAS Citarum hulu dan kemudian bagian hilir; (8) penggalian pasir pantai/sungai juga sangat tinggi dan (9) laju sedimentasi tinggi.

7 UP 40 Sumbu Y setelah Rotasi 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Ekologi Tengah Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 43 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi. Pada Gambar 43 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian tengah sebesar Nilai indek keberlanjutan tersebut sedikit lebih besar dari pada indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih kedalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Hal ini mengandung makna bahwa sistem kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan pesisir Jawa Barat tidak berkelanjutan, dalam status buruk dari aspek lingkungan (dimensi ekologi). Agar nilai indeks dimensi ini dimasa yang akan datang dapat ditingkatkan dengan cara pemulihan lingkungan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut.

8 149 Analisis Leverage Dimensi Ekologi DAS Tengah Attribute Pendekatan Ecoregion Kondisi Waduk Konservasi Tanah dan Air Lahan Kritis Laju Sedimentasi TBE Kondisi Hidrogeologi Kondisi Hidrologi Tingkat Kesesuaian Lahan Tingkat Kesesuaian RTRW Kualitas Air Kawasan Fungsional Persen penutupan terumbu karang Konversi kawasan lindung peruntukkan lain Abrasi/Akresi Pantai Tegakkan hutan Tingkat Pemanfaatan Objek Wisata Pengalian PasirPantai/sungai Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 44 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada Gambar 44 ada tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian tengah, yaitu: (1) tingkat kesesuain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sama halnya dengan atribut yang paling sensitif pada hasil analisis leverage dimensi ekologi pada DAS Citarum bagian hulu; (2) tingkat kesesuaian lahan juga sama yang terdapat pada atribut yang paling sensitif pada hasil analisis leverage dimensi ekologi pada DAS Citarum bagian hulu; (3) kualitas air pada kawasan fungsional dimana tingkat kualitas air telah mengalami pencemaran sama halnya yang terdapat pada analisis laverage sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana pada Gambar 50, ada 8 (delapan) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hilir. Dengan demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan

9 150 pengelolaan dengan baik agar nilai indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. 60 UP 40 Sumbu Y setelah Rotasi 20 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB_SIPPDAS-Ekologi Hilir Titik Referensi Utama Tititik Referensi Tambahan Gambar 45 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi. Gambar 45 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hilir sebesar Nilai indeks tersebut berada di atas indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian tengah dan hulu dan termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Untuk meningkatkan status ini perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.

10 151 Analisis Leverage Dimensi Ekologi DAS Hilir Pendekatan Ecoregion 1.99 Kondisi Waduk 1.72 Konservasi Tanah dan Air 1.18 Lahan Kritis 1.03 Laju Sedimentasi 0.97 TBE 1.83 Kondisi Hidrogeologi 1.10 Attribute Kondisi Hidrologi Tingkat Kesesuaian Lahan Tingkat Kesesuaian RTRW Kualitas dan Baku Mutu Kawasan Fungsional 1.00 Konversi kawasan lindung peruntukkan lain 2.10 Abrasi/Akresi Pantai 1.86 Rasio Vegetasi mangrove/tegakkan hutan 0.74 Tingkat Pemanfaatan Objek Wisata 0.03 Pengalian PasirPantai/sungai Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan Gambar 46 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hilir. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada Gambar 46, ada empat atribut yang paling sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian tengah, yaitu: (1) tingkat kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak sesuai ini disebabkan karena masing-masing pemerintah dan pemerintah daerah telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan hal tersebut telah menjadi polemik perang besar bagi yang memanfaatkan ruang di dalam kawasan DAS Citarum. Solusinya pertama pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat besama-sama pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dunia usaha, masyarakat dan LSM harus membuat gerakan-gerakan rencana tidak berdasarkan batasan wilayah administratif melainkan batasan unit DAS atau batasan ekologi sehingga di dalam membuat perencanaan strategis pembangunan bukan berdasarkan wilayah atau administrasi tetapi harus berdasarkan unit DAS, pesisir dan lautan; (2) kesesuaian lahan juga kasusnya serupa dengan analisis laverage sebelumnya; dan (3) kualitas air kasusnya serupa dengan analisis laverage sebelumnya; dan (4) pendekatan ecoregion

11 152 juga memiliki nilai yang sensitif di dalam pengelolaan DAS Citarum ini dikarenakan konsep perencanaan belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah. Agar konsep ecoregion dapat terlaksana harus diberikan dorongan dari lembaga eksekutif, legislatif, masyarakat, dunia usaha dan LMS juga harus bersama-sama membuat gerakan-gerakan untuk mensosialisasi pendekatan ecoregion terutama di kawasan DAS, pesisir dan lautan DAS Citarum Jawa Barat UP Sumbu Y setelah rotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi: Skala Sustainabiliti IkB-SIPPDAS Ekonomi Tengah Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 47 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi. Pada Gambar 47, menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pada DAS bagian tengah, hulu dan hilir mempunyai angka yang sama yaitu masing-masing sebesar Nilai indeks tersebut berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS bagian hulu, tengah dan hilir dan termasuk dalam kategori baik atau berkelanjutan. Hal ini disebabkan kontribusi sektor bidang ekonomi memberikan peringkat terbesar yaitu pada sektor industri (BPS Jawa Barat, 2004).

12 153 Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Tengah Distribusi PDRB Sektor Pertanian 0.66 Besarnya Pasar 2.75 Attribute Distribusi PDRB Menurut Lapangan Usaha Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Pertumbuhan PDB Perikanan dan PDB Nasinal Kontribusi terhadap Ibukota Negara Kontribusi Terhadap Regional Jawa-Bali Insentif 7.14 Kontribusi Terhadap Nasional Potensi dalam Konstelasi Nilai Green PDB Perubahan RMS ordinasi setelah salah satu atribut dihilangkan Gambar 48 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah. Berdasarkan nilai Leverage sebagaimana Gambar 48, ada satu atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks berkelanjutan dimensi ekonomi yaitu insentif, insentif yang dimaksud di sini adalah semua bentuk stimulus dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau lainnya) yang dapat mempengaruhi atau memotivasi populasi lokal, baik secara individu maupun kelompok, untuk mengadopsi teknik dan metode. Intensif perlu dilakukan yaitu dengan cara pembayaran atau konsensi untuk merangsang luaran (output) yang lebih besar.

13 154 Analisis Leverage Dimensi Sosial-Budaya DAS Hulu Jumlah Pengangguran 4.80 Pengetahuan Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir, Laut dan DAS 8.20 Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan 1.33 Attribute Tingkat Pendidikan Local Employment Tingkat Pertumbuhan Penduduk Konflik Pemanfaatan Kawasan 8.27 Persepsi Stakeholders terhadap pesisir, laut dan DAS Perubahan RMS Ordinasi Jika satu Atribut dihilangkan Gambar 49 Peran masing-masing atribut sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk Perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hulu. Pada Gambar 49, nilai Laverage menunjukkan bahwa ada satu atribut yang sangat sensitif yaitu tingkat pertumbuhan penduduk DAS Citarum, laju pertumbuhannya sebesar 3% per tahun, sedangkan di tingkat nasional 1,3%. Hal ini disebabkan adanya angka migrasi dan emigrasi sangat tinggi di bandingkan dengan tingkat kelahiran faktor migrasi dan emigrasi sangat meningkat ini disebabkan kawasan DAS Citarum bagian hulu, tengah dan hilir banyak terdapat kegiatan-kegiatan perindustrian dimana DAS citarum bagian hulu terdapat sebanyak 508 industri. Solusi untuk menurunkan tingkat laju penduduk dalam hal ini pemerintah pusat, pemda Provinsi, kabupaten/kota harus membuat program perencanaan transmigrasi dan memberikan batas quota pada pencari kerja dan pendatang baru untuk bekerja dan berusaha.

14 UP S u m b u Y S etelah R o tasi BAD 0 GOOD DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS Sosbud DAS Hulu Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 50 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi sosial-budaya. Pada Gambar 50, analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi sosial-budaya sebesar 1.3. Nilai indek keberlanjutan dimensi sosial-budaya DAS Citarum bagian hulu paling kecil dibandingkan dengan dimensi-dimensi Rap-SPDASPIR yang lain dari pada indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Ini disebabkan tidak baiknya sosial-budaya masyarakat yang ada di kawasan penelitian terutama nilai-nilai budaya dan istiadat setempat, para generasi muda tidak menjunjung nilai ke daerahannya seperti nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai kejujuran.

15 156 Analisis Leverage Dimensi Sosial-Budaya DAS Tengah Jumlah Pengangguran 1.30 Pengetahuan Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir, Laut dan DAS 2.29 Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan 3.82 Attribute Tingkat Pendidikan Local Employment Tingkat Pertumbuhan Penduduk 4.23 Konflik Pemanfaatan Kawasan 3.03 Persepsi Stakeholders terhadap pesisir, laut dan DAS Perubahan RMS Ordinasi Jika satu atribut dihilangkan Gambar 51 Peran masing-masing atribut sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah. Berdasarkan nilai Leverage sebagaimana Gambar 51, ada satu atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya DAS Citarum bagian tengah yaitu tingkat pendidikan rata-rata hanya berpendidikan tamatan SD. Hal ini disebabkan karena untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi sangat sulit dalam pembiayaan, juga orang tua lebih menganjurkan bekerja di pusat-pusat perindustrian yang berada di lokasi tempat mereka tinggal. Solusi agar anak-anak yang usia sekolah dalam hal ini baik pemerintah dan pemerintah daerah harus fokus memberikan program pendidikan gratis yaitu sesuai dengan Visi dan Misi Jawa Barat yaitu meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia Jawa Barat dengan kunci keberhasilan mengoptimalkan komitmen Pemda untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM Jawa Barat.

16 UP Sumbu Y Setelah Rotasi BAD GOOD DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS Sosbud DAS Hilir Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 52 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi Sosial-Budaya. Gambar 52 nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya DAS Citarum bagian hilir sebesar Nilai indek keberlanjutan dimensi sosial-budaya DAS Citarum bagian hilir sedikit lebih besar dari pada indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Hal ini mengandung makna bahwa sistem kebijakan pengelolaan pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa Barat tidak berkelanjutan dalam status buruk dari aspek sosial-budaya dimana tingkat pendidikan dan lainnya masih sangat rendah. Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang dapat ditingkatkan dengan cara membuat program penyuluhan pendidikan, agama terutama para generasi mudanya khusus dilokasi penelitian.

17 UP 40 Sum bu Y setelah rotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi: skala sustainabilitas IkB-SIPPDAS Teknologi DAS hulu Titik referensi utama Tititk referensi tambahan Gambar 53 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi teknologi. Pada Gambar 53 nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi DAS Citarum bagian hulu sebesar Nilai indek keberlanjutan dimensi teknologi sedikit lebih besar dari pada indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Untuk meningkat status nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.

18 159 Analisis Leverage dimensi teknologi DAS Hulu Teknik Konstruksi Sipil 1.24 Penyebaran tempat pendaratan ikan 2.44 Penggunaan Alat Bantu penangkapan (fish atraction device, FADS) 2.83 Attribute Teknik Konservasi Tanah secara vegetatif 7.47 Pemanfaatan Constructive Wetland 3.54 Pemanfaatan TPA 7.24 Ketersediaan dan Pemanfaatan IPAL Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 54 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah. Berdasarkan hasil analisis leverage Gambar 54, ada tiga atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pada DAS Citarum hulu, yaitu; (1) teknik konservasi tanah secara vegetatif pada kawasan DAS Citarum di lokasi penelitian hanya sedikit memperlakukan teknik konservasi tanah secara vegetatif. Karena banyak petani pemilik maupun penggarap teknik konservasi tanah vegetatif masih memerlukan biaya tinggi. Solusinya adalah para penyuluh pertanian di lapangan harus benar-benar membina petani yang belum memiliki dana untuk itu; (2) pemanfaatan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) contoh kasus yaitu dilokasi penelitian masih banyak rumah-rumah penduduk membuang sampah ke dalam sungai sehingga sungai menjadi tempat sampah umum. Solusinya adalah pemerintah harus berani mengambil langkah konkrit untuk membenahi lingkungan sungai harus bebas dari sampah yaitu dengan cara memberikan insentif dan disentif dan (3) ketersedian dan Pemanfaatan IPAL, ini disebabkan banyak industri tidak memanfaatkan IPAL semaksimal mungkin ini dikarenakan banyak masyarakat

19 160 industri tidak memanfaatkan IPAL, hasil wawancara dengan pihak pengelola mengatakan bahwa biaya operasionalnya terlalu tinggi UP Sumbu Y setelah Rotasi 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS Teknologi tengah Sumbu X: setelah rotasi Sumbu Y setelah rotasi Gambar 55 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi teknologi Pada Gambar 55, nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi DAS Citarum hulu sebesar Nilai indek keberlanjutan tersebut paling sedikit dari pada indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Untuk meningkat status nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikanperbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.

20 161 Analisis Leverage Dimensi Teknologi DAS Tengah Teknik Konstruksi Sipil 0.82 Penyebaran tempat pendaratan ikan 1.47 Penggunaan Alat Bantu penangkapan (fish atraction device, FADS) 1.25 Attribute Teknik Konservasi Tanah secara vegetatif 2.17 Pemanfaatan Constructive Wetland 1.82 Pemanfaatan TPA 2.34 Ketersediaan dan Pemanfaatan IPAL Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan Gambar 56 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah UP Sumbu Y setelah rotasi 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi: Skala sustainabilitas IkB-SIPPDAS teknologi hilir Titik referensi utama Titik referensi tambahan Gambar 57 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi teknologi

21 162 Pada Gambar 57 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi DAS Citarum bagian hilir sebesar Nilai indek keberlanjutan dimensi teknologi paling sedikit dari pada indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori buruk atau tidak berkelanjutan. Untuk meningkat status nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. Analisis Leverage dimensi teknologi DAS hilir Teknik Konstruksi Sipil Penyebaran tempat pendaratan ikan Penggunaan Alat Bantu penangkapan (fish atraction device, FADS) Attribute Teknik Konservasi Tanah secara vegetatif Pemanfaatan Constructive Wetland Pemanfaatan TPA Ketersediaan dan Pemanfaatan IPAL Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 58 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hilir. Berdasarkan Gambar 58, hasil analisis leverage di DAS Citarum hilir, ada dua atribut yag sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjuan dimensi teknologi, yaitu: (1) penggunaan alat bantu penangkapan ( fish atraction divice, FAD) yang masih belum memadai. Jika pemerintah memberikan alat bantu tersebut nelayan akan meringankan biaya untuk pengadaan alat bantu tersebut yaitu melalui kelompok kerja penangkapan yang telah diakui oleh masyarakat dan pemerintah dan (2) penyebaran tempat pendaratan ikan dimana fasilitas tersebut masih belum memadai hal ini disebabkan oleh belum adanya perhatian pemerintah untuk membangun TPI.

22 163 Solusinya pemerintah dalam hal ini harus benar-benar serius untuk memprioritaskan pembangunan sarana bangunan tersebut pada lokasi desa nelayan tertinggal dan selama ini nelayan hanya memanfaatkan lapak di jalan umum yaitu di desa mekar Kecamatan Muara Gembong. 60 UP Sumbu Y setelah Rotasi 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Hulem DAS Hulu Referensi Utama Referensi Tambahan Gambar 59 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan Gambar 59 nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan DAS Citarum bagian hulu skor Nilai indek keberlanjutan dimensi tersebut masuk ke dalam ketegori kurang atau belum berkelanjutan. Untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.

23 164 Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan DAS Hulu Penyuluhan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Staregi Action Political Political Commitment Will Action 7.46 Transparansi dalam penentuan Kebijakan 4.08 Attribute Penegakkan Hukum Lingkungan Aspek Legalitas Sarana dan Prasarana Efektifitas Kelembagaan Ketersediaan Peraturan Pengelolaan Secara Formal Zonasi peruntukan lahan /perairan One river, coastal and ocean one integrated management plan Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 60 Peran masing-masing atribut hukum-kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hilir. Pada Gambar 60 ditunjukkan bahwa analisis leverage di DAS Citarum hilir ada empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, yaitu: (1) political commitment adalah belum adanya kesungguhan dari lembaga eksekutif dan legislatif hal ini memperburuk dimensi hukum dan kelembagaan di lokasi penelitian; (2) sarana dan prasarana di lokasi penelitian terutama sarana hukum ada, namun untuk membuat acara pertemuan sangat relatif minim. Hal ini akibat aparat hukumnya sangat terbatas; (3) penegakan hukum lingkungan merupakan atribut yang sensitif di lokasi penelitian banyak kasus-kasus pembuangan limbah industri dan pembuangan limbah domestik banyak dilakukan oleh pihak masyarakat industri namun ketika masyarakat menuntut agar industri tersebut jangan beroperasi tetapi penyelenggara hukum hanya menerima laporan saja tidak ada tindakkan tegas kepada pihak industri. Penegakkan hukum sangat lemah dan tidak pernah berpihak kepada yang benar. Solusinya adalah masyarakat harus melakukan

24 165 perlawanan secara hukum bukan menyelesaikannya dengan pertikaian yang selama ini marak dilakukan begitu juga di lokasi penelitian dan (4) one intergrated river basin coastal and ocean one plan management kebijakan ini belum berjalan karena aparat baik di level pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga di desa belum sama sekali mengetahui dan pihak aparat tidak pernah mensosialisasikan kepada masyarakat. Untuk ke depan pihak pengambil kebijakan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat bersama organisasi non-pemerintah harus membuat gerakan-gerakan bersama agar perencanaan DAS, pesisir dan lautan dikelola secara terpadu. 60 UP Sumbu Y setelah Rotasi 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS Hulem-DAS Tengah Referensi Utama Reverensi Tambahan Gambar 61 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan. Pada Gambar 61 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan DAS Citarum bagian tengah sebesar Nilai indek keberlanjutan dimensi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih ke dalam ketegori kurang atau tidak berkelanjutan. Untuk

25 166 meningkat status nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. 60 UP Sum bu Y stelah Rotasi 0 BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainabilitas IkB-SIPPDAS-Hulem DAS Hilir Referensi Utama Referensi Tambahan Gambar 62 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan Gambar 62 nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan DAS Citarum bagian hilir sebesar Nilai indek keberlanjutan dimensi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan DAS Citarum bagian hulu, namun tetap masih kedalam ketegori kurang atau tidak berkelanjutan. Untuk meningkat status nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan-

26 167 perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan DAS Hilir Penyuluhan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 8.35 Political Commitment Staregi Action 6.42 Political Will Action 5.69 Transparansi dalam penentuan Kebijakan 4.58 Penegakkan Hukum Lingkungan 4.77 Attribute Aspek Legalitas Sarana dan Prasarana Efektifitas Kelembagaan 8.20 Ketersediaan Peraturan Pengelolaan Secara Formal Zonasi peruntukan lahan /perairan One river, coastal and ocean one integrated management plan Perubahan RMS ordinasi jika satu atribut dihilangkan Gambar 63 Peran masing-masing atribut hukum-kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hilir. Berdasarkan Gambar 63 hasil analisis leverage di DAS Citarum hilir ada tiga atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: (1) one river coastal and ocean one integrated management plan; (2) penyuluhan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dan (3) efektifitas kelembagaan. Analisis Rap-SIPDASPIR Citarum bagian hulu, tengah dan hilir pada setiap dimensi (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan hukum dan kelembagaan) seperti di sajikan pada Gambar di atas memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi, dimensi ekologi memiliki nilai yang buruk atau tidak berkelanjutan dan dimensi dengan nilai tertinggi adalah dimensi ekonomi status kategori baik atau berkelanjutan. Pada Gambar 64 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan

27 168 berarti semua nilai indeks dari setiap harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah/negara tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian. Namun supaya setiap dimensi tersebut berada pada kategori baik atau paling tidak cukup status keberlanjutannya. Ekologi Hukum & Kelembagaan Ekonomi Teknologi Sosial & Budaya DAS Hulu DAS Tengah DAS Hilir Gambar 64 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum bagian hulu, tengah dan hilir. Berdasarkan Gambar 64 menunjukkan bahwa diagram layang indeks keberlanjutan dari lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial - budaya, teknologi dan hukum-kelembagaan pada sistem pengelolaan DAS dan pesisir bagian hulu, tengah dan hilir Citarum Jawa Barat yang dominan yaitu dimensi ekonomi dengan nilai tertinggi sebesar Hal ini disebabkan tidak adanya pengelolaan yang seimbang antara ke lima dimensi tersebut. Pengelolaan lebih cenderung terhadap pembangunan ekonomi. Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap- SIPDASPIR dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 25 menyajikan nilai stress dan R 2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).

28 169 Tabel 25 Hasil analisis Rap-SIPDASPIR Citarum hulu untuk beberapa parameter statistik. Tabel 26 Hasil analisis Rap-SIPDASPIR Citarum tengah untuk beberapa parameter statistik. Tabel 27 Hasil analisis Rap-SIPDASPIR Citarum hilir untuk beberapa parameter statistik. Nilai Multi Sosial- Hukum dan Ekologi Ekonomi Teknologi Statistik Dimensi Budaya Kelembagaan Stress R Jumlah iterasi Sumber: Hasil analisis, Nilai Multi Sosial- Hukum dan Ekologi Ekonomi Teknologi Statistik Dimensi Budaya Kelembagaan Stress R Jumlah iterasi Sumber: Hasil analisis, Nilai Multi Sosial- Hukum dan Ekologi Ekonomi Teknologi Statistik Dimensi Budaya Kelembagaan Stress R Jumlah iterasi Sumber: Hasil analisis, Berdasarkan Tabel 25, 26 dan 27 setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25% (Fisheries. Com, 1999). Karena semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter (nilai stress dan R 2 menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan pesisir dan DAS di DAS Citarum Jawa Barat sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis.

29 170 Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masingmasing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistik untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Oleh karena itu menurut Bielajew (2001) proses perhitungan akan lebih cepat dan efisien jika menggunakan komputer. Nama Monte Carlo diambil dari nama kota Monte Carlo karena analisis Monte Carlo pada prinsipnya mirip dengan permainan rolet (roullet) di Monte Carlo. Permainan rolet ini dapat berfungsi sebagai pembangkit bilangan acak yang sederhana. Analisis Monte Carlo sangat membantu di dalam analisis Rap- SIPDASPIR untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau penilaian atau ada data yang hilang (missing data), dinilai stress yang terlalu tinggi. Dengan demikian hasil akhir analisis Rap-SIPDASPIR berupa IkB-SIPDASPIR (Indeks keberlanjutan Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir) di lokasi penelitian mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 28, 29 dan 30 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir di Citarum Jawa Barat pada selang kepercayaan, 95% didapatkan hasil yang tidak banyak mangalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1) kesalahan dalam membuat skor setiap atribut relatif kecil ; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4) kesalahan memasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari.

30 171 Tabel 28 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-SIPDASPIR dan masingmasing dimensi sistem dengan selang kepercayaan 95% di DAS bagian hulu Citarum Jawa Barat. Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan IkB-SIPDASPIR Ekologi Ekonomi Sosial-budaya Teknologi Hukum dan kelembagaan Sumber: Hasil analisis, Tabel 29 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-SIPDASPIR dan masingmasing dimensi sistem dengan selang kepercayaan 95% di DAS bagian tengah Citarum Jawa Barat. Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan IkB-SIPDASPIR Ekologi Ekonomi Sosial-budaya Teknologi Hukum dan Kelembagaan Sumber: Hasil analisis, Tabel 30 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-SIPDASPIR dan masingmasing dimensi sistem dengan selang kepercayaan 95% di DAS bagian hilir Pesisir Citarum Jawa Barat. Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan IkB-SIPDASPIR Ekologi Ekonomi Sosial-budaya Teknologi Hukum dan Kelembagaan Sumber: Hasil analisis, Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada tabel 28, 29 dan 30 menunjukkan bahwa analisis Rap-SIPPDAS dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-SIPDASPIR (Rapid appraissal Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir) yang dilakukan dalam kajian dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraissal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan daerah aliran sungai dan pesisir di suatu wilayah/kawasan.

31 172

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PESISIR (STUDI KASUS PANTURA DAN DAS CITARUM JAWA BARAT) 1)

RANCANG BANGUN SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PESISIR (STUDI KASUS PANTURA DAN DAS CITARUM JAWA BARAT) 1) Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Edwarsyah et al.) RANCANG BANGUN SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PESISIR (STUDI KASUS PANTURA DAN DAS CITARUM JAWA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 3 No. 3, Desember 2016: 175-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v3i3.16250 KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI,

Lebih terperinci

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara kita semakin hari semakin pesat. Pesatnya laju

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara kita semakin hari semakin pesat. Pesatnya laju 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di negara kita semakin hari semakin pesat. Pesatnya laju pembangunan ini menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat dielakkan (inevitable) terhadap kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

KEGIATAN DITJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN TAHUN Jakarta, 7 Desember 2016

KEGIATAN DITJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN TAHUN Jakarta, 7 Desember 2016 KEGIATAN DITJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN TAHUN 207 Jakarta, 7 Desember 206 PRIORITAS NASIONAL DITJEN. PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN NO PRIORITAS NASIONAL Kemaritiman

Lebih terperinci

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres VIII MKTI Di Palembang 5-7 November 2013 Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Permasalahan Pengelolaan SDA Sampah Pencemaran Banjir Kependudukan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi penelitian Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Sungai ini bermuara ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 43 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2006 sampai bulan Oktober 2006. Penelitian dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup, tidak lepas dari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan caranya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009. Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Cisadane segmen Hulu, meliputi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Kata Kunci : Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Produktivitas, Pendapatan, Keberlanjutan

Kata Kunci : Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Produktivitas, Pendapatan, Keberlanjutan Judul : Analisis Keberlanjutan Usahatani Kedelai melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Jember Peneliti : Titin Agustina 1 Mahasiswa Terlibat : Dewina Widyaningtyas 2 Sumberdana :

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

ANALISA KEKERUHAN DAN KANDUNGAN SEDIMEN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI DAS SUNGAI KRUENG ACEH

ANALISA KEKERUHAN DAN KANDUNGAN SEDIMEN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI DAS SUNGAI KRUENG ACEH ANALISA KEKERUHAN DAN KANDUNGAN SEDIMEN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI DAS SUNGAI KRUENG ACEH Nurmalita, Maulidia, dan Muhammad Syukri Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 185 VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 6.1. Umum Perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede dapat dievaluasi status keberlanjutannya dan diperbaiki agar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Pada awalnya Kabupaten Tulang Bawang mempunyai luas daratan kurang lebih mendekati 22% dari luas Propinsi Lampung, dengan pusat pemerintahannya di Kota Menggala yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Sistem Agribisnis Ikan Lele

V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Sistem Agribisnis Ikan Lele 45 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Pengembangan Sistem Agribisnis Ikan Lele Ikan lele merupakan nama ikan air tawar yang tidak asing lagi bagi kita, karena mulai dari tempat makan pinggir jalan sampai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

ISU DAN PERMASALAHAN

ISU DAN PERMASALAHAN ISU DAN PERMASALAHAN Isu dan Permasalahan Berdasarkan isu dan permasalahan lingkungan yang telah muncul di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Citarum Jawa Barat saat ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN AIR BAKU DAS BABON (Studi Kasus di Kota Semarang)

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN AIR BAKU DAS BABON (Studi Kasus di Kota Semarang) JRL Vol.7 No.2 Hal. 193-204 Jakarta, Juli 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN AIR BAKU DAS BABON (Studi Kasus di Kota Semarang) Raymond, M 1, M.Yanuar. J.P

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA Iis Arsyad¹, Syaiful Darman dan Achmad Rizal² iis_arsyad@yahoo.co.id ¹Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis existing condition pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat yang menggunakan aplikasi Rapfish

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub DAS Cikapundung berada di bagian hulu Sungai Citarum dan merupakan salah satu daerah yang memberikan suplai air ke Sungai Citarum, yang meliputi Kab. Bandung Barat,

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten, serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei September

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu,

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, BAB IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung 1. Profil Wilayah Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat kegiatan

Lebih terperinci

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Kesejahteraan masyarakat pesisir secara langsung terkait dengan kondisi habitat alami seperti pantai, terumbu karang, muara, hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci