VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN"

Transkripsi

1 185 VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 6.1. Umum Perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede dapat dievaluasi status keberlanjutannya dan diperbaiki agar dapat mencapai status keberlanjutan yang diingin dicapai. Penentuan jumlah dimensi yang digunakan dalam analisa sangat tergantung pada kondisi subjek penelitian. Peningkatan status keberlanjutan dapat ditempuh melalui serangkaian perbaikan kondisi eksisting, terutama pada atribut atau sektor kunci yang memiliki nilai yang tinggi sebagai atribut pengungkit. Kondisi yang menjadi model untuk kondisi eksisting dalam analisis ini adalah kondisi terkini di DAS Waduk Jatigede dengan laju sedimentasi 5,94 mm/tahun dan perubahan alokasi debit inflow akibat dibangunnya Bendung Leuwigoong di hulu Bendungan Jatigede. Sedangkan kondisi yang menjadi model untuk kondisi yang memenuhi aspek keberlanjutan adalah kondisi dengan perubahan laju sedimentasi secara bertahap selama umur layanan dan perubahan alokasi debit inflow. Analisis status keberlanjutan menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin (multi disciplinary rapid appraisal), yaitu Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak Rapfish, Kavanagh (2001). Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data-data yang berkaitan dengan komposisi sedimen, laju sedimentasi, debit inflow, data hujan, data pembebasan tanah, kebijakan dan permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan bendungan. Sumber data primer terdiri atas : observasi lapangan, kuesioner dan wawancara/diskusi dengan para pakar serta diambil dari hasil analisis bab sebelumnya. Data sekunder data jenis tanah, data tutupan lahan dan data topografi, berupa dokumen dari berbagai instansi. Acuan penilaian indeks keberlanjutan menurut Rapfish adalah (i) jika indeks bernilai 25 termasuk dalam kategori buruk, (ii) 25 < nilai indeks 50 termasuk dalam kategori kurang, (iii) 50 < nilai indeks 75 termasuk dalam kategori cukup dan (iv) 75 < nilai indeks 100 termasuk dalam kategori baik. Penelitian keberlanjutan pembangunan Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, dilakukan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu : (1) dimensi ekonomi; (2) dimensi kelembagaan; (3) dimensi lingkungan; dan (4) dimensi 185

2 186 sosial budaya; (5) dimensi teknis, dengan atribut dan nilai scoring hasil pendapat pakar dan data sekunder seperti pada lampiran hasil penelitian. Nilai keberlanjutan pada masing-masing dimensi diuraikan dalam penjelasan selanjutnya. 6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) biaya operasi dan pemeliharaan; (2) dampak finansial banjir; (3) biaya pembangunan bendungan; (4) nilai manfaat ekonomi; (5) luas lahan irigasi yang terairi; (6) suplai air baku; (7) produksi listrik per tahun; (8) biaya pengadaan tanah. Hasil analisis MDS dengan Rap-Jatigede menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pada perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede sebesar 41,31 dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 91. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapat atribut yang bernilai rendah, yaitu kenaikan biaya pembangunan, Gambar 91. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kemungkinan kenaikan biaya operasi dan pemeliharaan jika kualitas DAS menurun, kenaikan biaya pengadaan tanah dan biaya sosial lainnya, nilai manfaat ekonomi yang dapat terganggu akibat kenaikan biaya pembangunan dan menurunnya kualitas DAS serta produksi listrik yang hanya menguntungkan untuk beban puncak. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu : tercapainya nilai manfaat ekonomi yang direncanakan (6.11 %), biaya pembangunan yang terkendali dari rencana

3 187 awal (5.43 %) dan tercapainya luas lahan irigasi yang diairi sesuai rencana (4.61 %). Berdasarkan pendapat pakar dan praktisi serta hasil analisis leverage, maka dapat diketahui betapa pentingnya pencapaian nilai manfaat ekonomi yang direncanakan yaitu pencapaian fungsi-fungsi bendungan dengan menangani pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terintegrasi untuk memaduserasikan antara berbagai kebijakan yang cukup banyak berperan dan mengatur pengelolaan DAS dalam pencapaian fungsi bendungan. Demikian juga biaya pembangunan harus diupayakan agar tidak naik dari rencana awal yang telah menjadi dasar perhitungan nilai manfaat ekonomi seperti Benefit Cost Ratio. Luas lahan irigasi yang terairi yang direncanakan dari fungsi Bendungan Jatigede adalah ha, jika suplai air tidak mencukupi ataupun luasan jaringan irigasi berkurang akibat alih fungsi lahan, fungsi irigasi sebagai fungsi utama akan terganggu. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 92. Gambar 92. Atribut pengungkit dimensi ekonomi 6.3. Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) kualitas air; (2) penatagunaan hutan; (3) konservasi sumber air; (4) pengendalian laju sedimentasi; (5) alih fungsi lahan; (6) ketersediaan air; (7) pengembangan dan penatagunaan tutupan lahan; dan (8) penghematan air. Hasil analisis MDS dengan menggunakan Rap-Jatigede menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan pada kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede sebesar Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kawasan perencanaan

4 188 pembangunan Bendungan Jatigede memiliki status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 93. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung dimensi lingkungan yang diamati, hampir semua atribut termasuk kategori tidak baik, yang berkategori baik adalah kualitas air, ini pun dalam batasbatas kualitas air baku. Laju sedimentasi sesuai rencana awal sebesar 5,32 mm/tahun termasuk kategori kritis, demikian halnya dengan rasio perbandingan Q maks dan Q min > 251, termasuk kategori kritis karena di atas 50. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan yaitu : pengendalian laju sedimentasi (5.98 %), ketersediaan air (5.22 %) dan penghematan air (5.19 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 94. Gambar 93. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan Gambar 94. Atribut pengungkit dimensi lingkungan

5 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial budaya terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan; (2) tingkat kesadaran masyarakat menjaga sumber air; (3) pelaksanaan pengadaan tanah; (4) pelaksanaan relokasi permukiman; (5) pelaksanaan pemindahan situs budaya; (6) taraf hidup masyarakat; (7) klaim konflik tanah; dan (8) budaya hemat air. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya di kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, sebesar dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 95. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan semua atribut pendukung dimensi sosial budaya yang diamati berkategori kurang baik yaitu : tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan, pelaksanaan pengadaan tanah, pelaksanaan relokasi permukiman, pelaksanaan pemindahan situs budaya, taraf hidup masyarakat dan budaya hemat air. Gambar 95. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu : pelaksanaan pengadaan tanah (5.63 %), pelaksanaan relokasi permukiman (5.40 %) dan klaim konflik tanah (5.18 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 96.

6 190 Gambar 96. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan persyaratan penting bagi terciptanya iklim pembangunan bendungan yang kondusif. Kondisi pelaksanaan pengadaan tanah menjadi pertimbangan utama tercapainya kondisi sosial budaya yang kondusif dalam pelaksanaan pembangunan bendungan. Penanganan yang kurang baik terhadap ketiga atribut yaitu pelaksanaan pengadaan tanah, pelaksanaan relokasi permukiman dan penanganan klaim konflik tanah dapat menjadi pemicu terlambatnya penyelesaian pembangunan bendungan bahkan bisa menggagalkannya Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang digunakan untuk menganalisis dimensi kelembagaan adalah: (1) tumpang tindih tanggungjawab; (2) koordinasi kelembagaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (3) komitmen dukungan antar instansi terkait; (4) kesepakatan tentang program dan anggaran; (5) efektivitas lembaga/instansi dalam menjalankan tugasnya; (6) kejelasan pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan; (7) hubungan kerja antar instansi; dan (8) jumlah instansi yang terlibat. Hasil nilai MDS dengan menggunakan Rap-Jatigede menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan pada kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede adalah 41,57. Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan, angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan untuk pembangunan Bendungan Jatigede menunjukkan status kurang berkelanjutan (Gambar 97).

7 191 Gambar 97. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima atribut yang bernilai rendah, yaitu : koordinasi kelembagaan, komitmen dukungan antar instansi, kesepakatan program dan anggaran instansi terkait, efektivitas lembaga/instansi terkait dalam menjalankan tugas dan kejelasan pembagian tugas/kewenangan. Sedangkan atribut yang memperoleh nilai sedang ada tiga, yaitu tumpang tindih tanggung jawab, hubungan kerja antar instansi dan jumlah instansi yang terlibat. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan yaitu : kesepakatan program dan anggaran instansi terkait (6.84 %), kejelasan pembagian tugas pokok dan fungsi serta kewenangan antar instansi terkait (5.68 %) dan komitmen dukungan antar instansi terkait (5.17 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 98. Gambar 98. Atribut pengungkit dimensi kelembagaan

8 Status Keberlanjutan Dimensi Teknis Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi teknis terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) kondisi jaringan irigasi; (2) tersedianya varietas padi hemat air; (3) tersedianya perencanaan keseimbangan air; (4) program peningkatan kualitas sumber daya air; (5) tersedianya teknologi konservasi lahan; (6) tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi; (7) tersedianya perencanaan pengendalian konflik; dan (8) tersedianya pola operasi waduk. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis di kawasan perencanaan pembangunan Bendungnan Jatigede, Kabupaten Sumedang, sebesar 41,50 dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 99 status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan beberapa atribut pendukung dimensi teknis yang diamati berkategori kurang baik yaitu : ketersediaan perencanaan pengendalian konflik, ketersediaan perencanaan pengendalian sedimentasi dan ketersediaan perencanaan keseimbangan air. Beberapa atribut berkategori sedang yaitu kondisi jaringan irigasi dan tersedianya program peningkatan kualitas sumber daya air. Atribut yang berkategori baik adalah ketersediaan varietas padi hemat air, ketersediaan teknologi konservasi lahan dan ketersediaan pola operasi waduk. Gambar 99. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi teknis Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, yaitu : ketersediaan perencanaan

9 193 pengendalian konflik (10.16 %), ketersediaan perencanaan pengendalian sedimentasi (7.95 %) dan ketersediaan perencanaan keseimbangan air (7.10%). Hasil analisis leverage dapat dilihat di Gambar 100. Gambar 100. Atribut pengungkit dimensi teknis () Kondisi teknis merupakan persyaratan penting bagi terciptanya perencanaan pembangunan bendungan yang kondusif. Ketersediaan perencanaan pengendalian konflik, pengendalian laju sedimentasi dan pengelolaan keseimbangan air menjadi pertimbangan utama tersedianya perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan Analisis Multi Dimensi Status Keberlanjutan Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan suatu kondisi. Semakin besar nilai perubahan akibat hilangnya suatu atribut tertentu, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai keberlanjutan. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai indeks keberlanjutan, digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini, (i) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut, (ii) pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, (iii) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, (iv) kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data) dan (v) tingginya

10 194 nilai stress hasil analisis Rap-Jatigede (nilai stress diterima jika < 25 %). Analisis data dengan menggunakan Rap-Jatigede menyangkut aspek keberlanjutan dari dimensi ekonomi, lingkungan, sosial budaya, teknis dan kelembagaan. Secara umum metode analisis Rap-Jatigede akan dimulai dengan mereview atribut-atribut dan mendefinisikan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede melalui kajian pustaka serta pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Jatigede. Setelah mendapatkan hasil skor, setiap atribut dianalisis dengan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari perencanaan pembangunan bendungan terhadap ordinat Good and Bad. Dalam MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lainnya. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Analisis multi dimensi terhadap status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede yang berkelanjutan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar yang berarti status perencanan pembangunan Bendungan Jatigede adalah kurang berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi teknis sebesar 41,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 41,31 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi kelembagaan sebesar 41,57 dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi lingkungan sebesar 33,71 dengan status kurang berkelanjutan (Tabel 43). Tabel 43. Nilai indeks keberlanjutan skenario pesimis Nilai No Dimensi Keberlanjutan Indeks Indikator 1 Teknis Kurang berkelanjutan 2 Sosial Budaya Kurang berkelanjutan 3 Lingkungan Kurang berkelanjutan 4 Kelembagaan Kurang berkelanjutan 5 Ekonomi Kurang berkelanjutan Nilai Total Kurang berkelanjutan

11 195 Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi teknis, kelembagaan, lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting. Gambar diagram layanglayang hasil analisis keberlanjutan skenario pesimis disajikan Gambar 101. Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-Jatigede (Multy Dimensional Scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini relatif kecil (dibawah 2.5 poin) dan proses analisis data yang dilakukan secara berulangulang stabil serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan monte carlo seperti pada Tabel 44. Gambar 101. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan skenario pesimis Tabel 44. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Jatigede Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo Perbedaan Teknis Ekonomi Kelembagaan Sosial Budaya Lingkungan

12 196 Hasil analisis Rap Jatigede menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 % sampai 14 % dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh berkisar antara 0.91 dan Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0.25 (25 %) dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) mendekati nilai 1.0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 45. Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis leverage masing-masing dimensi sebanyak 15 atribut. Atribut-atribut tersebut perlu diperbaiki dengan tujuan untuk meningkatkan status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede. Perbaikan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai atau status keberlanjutan, sedangkan untuk atribut yang menimbulkan permasalahan bagi keberlanjutan suatu dimensi, maka dapat diupayakan semaksimal mungkin dengan cara memperbaiki kinerja atribut tersebut. Tabel 45. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi (R 2 ) Parameter Dimensi A B C D E Stress R Keterangan : A = DimensiTeknis, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Kelembagaan, D = Dimensi Sosial Budaya dan E = Dimensi Lingkungan 6.8. Strategi Perbaikan Status Keberlanjutan Pemilihan sektor kunci dari berbagai dimensi yang ada dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu : (i) mengambil atribut yang mempunyai nilai paling tinggi dari atribut-atribut yang ada dalam dimensi yang ditinjau, (ii) mengambil atributatribut yang mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai rata-rata atribut dalam dimensi yang ditinjau, (iii) mengambil tiga atribut dengan nilai tertinggi dalam dimensi yang ditinjau. Dalam penelitian ini ditempuh cara ke-iii namun dengan mempertimbangkan dengan nilai minimal 5 % yang harus dicapai oleh masing-

13 197 masing atribut, jika kurang dari nilai ini, akan dikeluarkan dari sektor kunci. Dari hasil analisis leverage, dengan cara tersebut diambil empat belas atribut yang menjadi sektor kunci dari lima dimensi yang ada. Pengambilan tiga atribut yang menjadi sektor kunci dimaksudkan agar kebijakan pemberdayaan sektor kunci akan lebih mengangkat indeks keberlanjutan dibandingkan jika hanya satu sektor kunci dan terlalu melebar jika menempuh cara (ii). Berbagai kebijakan dapat dikembangkan dari berbagai atribut yang menjadi sektor kunci dari berbagai dimensi yang ada. Tabel 46 memuat atribut yang menjadi sektor kunci sesuai tingkat pengaruhnya terhadap masing-masing dimensi. Tabel 47 menyajikan uraian rekomendasi kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan status keberlanjutan. Implementasi pada perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede dapat meningkatkan pencapaian keberlanjutan yang diharapkan. Tabel 46. Dimensi dan Sektor Kunci No Dimensi/Aspek Sektor Kunci Nilai 1 Teknis Tersedianya perencanaan pengendalian konflik Tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi 7.95 Tersedianya perencanaan keseimbangan air Sosial Budaya Pelaksanaan pengadaan tanah 5.63 Pelaksanaan relokasi permukiman 5.40 Penanganan klaim masalah tanah Lingkungan Pengendalian sedimentasi 5.98 Ketersediaan air 5.22 Penghematan pemakaian air 5.19 Kesepakatan program dan anggaran instansi terkait 6.84 Kejelasan pembagian tugas pokok dan fungsi Kelembagaan instansi terkait Komitmen dukungan antar instansi terhadap tujuan 5.17 pembangunan 5 Ekonomi Nilai manfaat 6.11 Biaya pembangunan 5.43

14 198 Tabel 47. Rekomendasi kebijakan untuk pencapaian status berkelanjutan No Dimensi/Aspek Rekomendasi Kebijakan 1 Teknis Memastikan tahapan detail pengendalian konflik yang mungkin muncul, masuk dalam produk perencanaan. Pembuatan SOP untuk mengantisipasi konflik dalam pelaksanaan pembangunan. Memastikan laju sedimentasi yang terjadi selama umur layanan sesuai rencana untuk mencapai daya dukung optimal tampungan waduk selama umur layanan. Memastikan bahwa ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air untuk fungsi-fungsi yang direncanakan selama umur layanan waduk. 2 Sosial Budaya Melaksanakan pengadaan tanah dengan lebih melibatkan instansi yang terkait, legislatif dan masyarakat untuk mendukung penciptaan kondisi yang lebih kondusif termasuk penyempurnaan peraturan yang ada. Melaksanakan pengadaan tanah dalam satu Ijin Penetapan Lokasi selama tiga tahun. Segera melaksanakan relokasi permukiman dengan program, pembagian tugas yang jelas dan anggaran yang terintegrasi. Melakukan klarifikasi terhadap klaim dan melibatkan aparat hukum untuk proses verifikasi legalitas dokumen. 3 Lingkungan Melakukan perbaikan tutupan lahan, metode pengolahan dan implementasi tindakan konservasi. Memelihara sumber air dan kualitas DAS Mengendalikan pemanfaatan dan pengambilan air agar dapat memenuhi fungsi sesuai alokasi air yang ada. 4 Kelembagaan Para pemimpin instansi segera menyepakati program dan anggaran untuk menyelesaikan program dalam rentang waktu yang ada. Kejelasan pembagian peran dlm pembangunan bendungan sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masingmasing. Penyusunan tanggungjawab pencapaian target masing-masing instansi serta evaluasi dalam rapat pimpinan instansi. 5 Ekonomi Memastikan langkah untuk pencapaian manfaat bendungan yang direncanakan selama umur layanan. Mencapai persyaratan finansial (IRR,BCR) yang direncanakan. Menekan kemungkinan penambahan biaya yang mungkin terjadi selama pelaksanaan dan operasi-pemeliharaan. Pelaksanaan rekomendasi kebijakan harus diterapkan dalam mencapai status berkelanjutan sebagaimana pada Tabel 45 akan meningkatkan status yang ada sebelumnya dari status kurang berkelanjutan menjadi cukup berkelanjutan pada perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede. Hal ini ditunjukkan perubahan nilai indeks dari masing-masing dimensi sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 48 dan Tabel 49.

15 199 Tabel 48. Peningkatan indeks keberlanjutan dari skenario pesimis menjadi skenario optimis No DIMENSI SEKTOR KUNCI NILAI AWAL SIMULASI INDEKS INDEKS REKOMENDASI KEBIJAKAN MENJADI AWAL AKHIR NAIK Stress R-Sq Tersedianya perencanaan pengendalian konflik 0 dan max= Memastikan tahapan detail penanganan masalah sosial yang 41,50 55,64 14,14 0, ,23 Tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi 0 dan max=1 1 mungkin muncul masuk dalam produk perencanaan pembangunan 1 TEKNIS 3. Memastikan bahwa ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air untuk fungsi-fungsi yang direncanakan. Tersedianya perencanaan keseimbangan air 1 dan max= Memastikan laju sedimentasi yang terjadi selama umur layanan sesuai rencana dan persyaratan kondisi DAS yang harus dipenuhi Pelaksanaan pengadaan tanah 0 dan max= Melaksanakan pengadaan tanah dengan lebih melibatkan instansi 32,43 68,61 36,18 0, ,00 Pelaksanaan relokasi permukiman 0 dan max=2 1 - instansi, legislatif dan masyarakat yg mendukung penciptaan 2 Klaim konflik tanah 0 dan max=2 2 kondisi yang lebih kondusif. SOSIAL 2. Segera melaksanakan relokasi permukiman dengan program, pembagian tugas yg jelas dan anggaran yang terintegrasi. BUDAY A 3. Melakukan klarifikasi terhadap klaim dan melibatkan aparat hukum untuk proses verifikasi legalitas dokumen. Pengendalian sedimentasi 0 dan max= Melakukan perbaikan tutupan lahan, metode pengolahan dan 33,71 54,44 20,73 0, ,00 Ketersediaan air 1 dan max=2 2 implementasi tindakan konservasi. 3 LINGKUNGAN Penghematan pemakaian air 0 dan max= Memelihara sumber air dan kualitas DAS 3. Mengendalikan pemanfaatan dan pengambilan air agar dapat memenuhi fungsi sesuai alokasi air yang ada. Kesepakatan program dan anggaran instansi terkait 0 dan max= Para pemimpin instansi segera menyepakati program dan anggaran 41,57 53,65 12,08 0, ,28 Kejelasan pembagian tugas, pokok dan fungsi instansi terkait 1 dan max=2 2 untuk menyelesaikan program dalam rentang waktu yang ada. 4 Komitmen dukungan antar instansi terhadap tujuan pembangunan 0 dan max= Kejelasan pembagian peran dalam pembangunan bendungan sesuai KELEMBAGAAN tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masing-masing instansi. 3. Penyusunan tanggungjawab pencapaian target masing-masing instansi serta evaluasi dalam rapat pimpinan instansi. Nilai manfaat 1 dan max= Memastikan langkah untuk pencapaian manfaat bendungan yang 41,31 52,14 10,83 0, ,23 5 EKONOMI Biaya pembangunan 0 dan max=1 1 direncanakan. 2. Menekan kemungkinan penambahan biaya yang mungkin terjadi. 199

16 200 Tabel 49. Analisis Rap-Jatigede (Skenario Optimis) No Dimensi/Aspek Nilai Indeks Indikator 1 Teknis 55,64 Cukup berkelanjutan 2 Sosial Budaya 68,61 Cukup berkelanjutan 3 Lingkungan 54,44 Cukup berkelanjutan 4 Kelembagaan 53,65 Cukup berkelanjutan 5 Ekonomi 52,14 Cukup berkelanjutan Nilai total status berkelanjutannya adalah 56,05 yang berarti berstatus cukup berkelanjutan. Gambar 102 menunjukkan diagram layang-layang Rap-Jatigede skenario optimis dengan nilai-nilai dimensi sesuai Tabel 49. Gambar 102. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan - skenario optimis Hasil perhitungan nilai MDS dan Monte Carlo dari masing-masing dimensi serta nilai stress dan R 2 dari masing-masing dimensi ditampilkan dalam Tabel 50. Tabel 50. Perhitungan MDS,Montecarlo, stress dan R 2 No Dimensi MDS Monte Carlo Stress R-sq 1 Teknis 41,5 42,07 0,1322 0,93 2 Ekonomi 41,31 41,81 0,1370 0,92 3 Kelembagaan 41,57 42,16 0,1371 0,92 4 Sosial Budaya 32,43 34,12 0,1390 0,95 5 Lingkungan 33,71 34,63 0,1378 0,93 200

17 Implementasi Rekomendasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan Rekomendasi kebijakan dalam meningkatkan indeks keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan, untuk kasus Bendungan Jatigede terdapat empat belas rekomendasi kebijakan berdasar empat belas sektor kunci yang mempunyai peran besar sebagai atribut pengungkit nilai indeks keberlanjutan. Empat belas rekomendasi kebijakan untuk kasus Bendungan Jatigede, sebagian bersifat lokal, antara lain: (i) pelaksanaan relokasi permukiman dan klaim masalah tanah dalam dimensi sosial budaya karena dalam peraturan pengadaan tanah yang terakhir opsi ganti rugi tanah lebih dikedepankan dan klaim masalah tanah di Jatigede disebabkan karena proses pengadaan tanah yang lama dan manajemen basis data yang belum sempurna, (ii) dalam dimensi kelembagaan, kejelasan pembagian tugas pokok, fungsi (tupoksi) dan kewenangan dalam dimensi kelembagaan yang tidak berjalan baik lebih disebabkan karena kondisi politik regional dan nasional yang masih berkembang sejak bergulirnya reformasi yang menyebabkan instansi pemerintah cenderung kurang tegas dan kurang berani menjalankan tupoksi dan kewenangannya, (iii) masih dalam dimensi kelembagaan, komitmen dukungan antar instansi dalam pencapaian tujuan pembangunan, hal ini juga bersifat regional dan nasional, dipengaruhi oleh kondisi politik sejak reformasi politik nasional. Dengan pertimbangan menghilangkan atribut kunci yang bersifat lokal, maka terdapat sepuluh atribut kunci atau sektor kunci yang dapat digunakan lebih umum untuk perencanaan pembangunan bendungan lain, yaitu (i) tersedianya perencanaan pengendalian konflik yang mungkin muncul, perencanaan pengendalian sedimentasi dan perencanaan keseimbangan air, dalam dimensi teknis (ii) pelaksanaan pengadaan tanah antara lain meliputi pengaturan kebijakan pengadaaan tanah, dalam dimensi sosial budaya (iii) pengendalian sedimentasi, pengelolaan ketersediaan dan penghematan air, dalam dimensi lingkungan, dan (iv) kesepakatan program dan anggaran biaya pembangunan bendungan di antara institusi yang terlibat, dalam dimensi kelembagaan dan (v) nilai manfaat serta biaya pembangunan bendungan, dalam dimensi ekonomi. Sepuluh sektor kunci dan rekomendasi kebijakannya disajikan dalam Tabel 44 dan 45 yang diberi warna abu-abu. Rekomendasi kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan merupakan rekomendasi kebijakan yang harus dilaksanakan agar pelaksanaan pembangunan bendungan tidak menemui konflik di lapangan dan

18 202 pencapaian fungsi optimal bendungan dapat dicapai secara berkelanjutan. Strategi dalam pencapaian keberlanjutan dalam berbagai dimensi telah disampaikan sebelumnya, intinya adalah menjamin pencapaian fungsi optimal bendungan selama umur layanan bendungan dan menjamin kelancaran pelaksanaan pembangunan dengan mengendalikan konflik yang mungkin muncul. Berikut adalah implementasi dari rekomendasi kebijakan dalam bentuk tahapan kegiatan yang harus dilaksanakan, dimulai dari ide pembangunan sampai pengoperasian dan pemeliharaan bendungan (Gambar 103). 1. Ide pembangunan bisa muncul jauh sebelum pelaksanan pembangunan bendungan. Ide pembangunan Bendungan Jatigede muncul pada tahun 1963 oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Mashudi. 2. Studi kelayakan dan LARAP. Studi kelayakan sudah biasa dilakukan untuk mengkaji kelayakan teknis dan ekonomi dari suatu rencana pembangunan sehingga pembangunan bendungan dilanjutkan jika kelayakan ekonomi dan teknis berada di atas ambang minimal. IRR harus di atas bunga bank yang berlaku dan BCR harus di atas 1,2. Seiring dengan era kebebasan dalam politik, masalah pengadaan tanah makin menjadi masalah yang menyita perhatian, tidak saja dapat meningkatkan biaya tetapi juga dapat menghambat pembangunan. Untuk itu, studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Plan) atau studi Rencana Pembebasan Lahan dan Relokasi Permukiman merupakan kajian sosial budaya yang menjadi hal penting untuk dapat melancarkan proses pelaksanaan pembangunan. Program pengadaan tanah, penyiapan peta kawasan hutan dan peta lahan pengganti/kompensasi serta Standard Operating Procedures jika konflik muncul, harus disiapkan dalam LARAP. 3. PKM (Pertemuan Konsultasi Masyarakat) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PKM merupakan pertemuan untuk dialog menyampaikan rencana pemerintah dan menggali pendapat dari masyarakat pemangku kepentingan baik yang tinggal di daerah rencana genangan waduk, tapak bendungan, maupun masyarakat pengguna air. Sedangkan Amdal merupakan kajian lingkungan terhadap suatu rencana pembangunan dengan memperhatikan rona lingkungan awal serta perubahannya sebagai dampak pembangunan. RKL dan RPL bendungan yaitu kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan disusun seakurat mungkin untuk menjadi acuan lingkungan dalam pelaksanaan konstruksi bendungan. 4. Evaluasi Keberlanjutan Perencanaan adalah proses untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hasil-hasil Studi Kelayakan, LARAP, PKM dan Amdal.

19 203 Studi Kelayakan, LARAP, PKM dan Amdal, merupakan perwujudan dari tiga pilar keberlanjutan yaitu ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Evaluasi ini seharusnya dilakukan oleh Bappenas dan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Keuangan dengan masukan dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pemrakarsa pembangunan. Hasil evaluasi jika layak perencanaan dapat diteruskan ke tahapan SIDED, jika tidak layak, perlu dikaji lagi kemungkinan untuk memperbaiki kelayakan keberlanjutannya, jika layak diperbaiki dilakukan review atau revisi terhadap Studi Kelayakan, LARAP dan Amdal, namun jika tidak layak diperbaiki maka rencana pembangunan tersebut dihentikan sampai disini. Apa yang disampaikan pada bagian 2.6 harus menjadi pertimbangan, bahwa pembangunan bendungan harus meningkatkan outcome bagi bangsa, orang terkena dampak, serta pemrakarsa pebangunan, dan dapat mengubah konflik menuju konsensus sesuai tujuh prioritas dari Teori Scudder. 5. SIDED (Survey, Investigation and Detailed Engineering Design) atau pekerjaan Survei, Investigasi dan Desain Rencana Detail, merupakan istilah yang hampir sama dengan SID (Survey, Investigation and Design), tetapi pengaruhnya di lapangan berbeda. SIDED lebih mendalam dan menekan sekecil mungkin terjadinya perubahan desain akibat kondisi terbaru di lapangan, sedangkan SID memang lebih besar memberi kemungkinan perubahan oleh konsultan supervisi di lapangan atau bahkan cenderung menyisakan desain tertentu dilaksanakan pada masa konstruksi. Akibatnya antara desain detail dan pelaksanaan konstruksi seperti kejar-kejaran. 6. Sertifikasi Persetujuan Desain dari Menteri Pekerjaan Umum adalah persetujuan formal dari Menteri PU terhadap rencana detail konstruksi bendungan dan bangunan pelengkapnya. Jika Sertifikat Persetujuan Desain sudah didapatkan, maka sampai tahapan ini secara teknis pembangunan bendungan sudah dilaksanakan. 7. Nota Kesepahaman tentang pembagian tugas, program dan anggaran pihakpihak terkait, walaupun secara teknis sudah siap dilaksanakan, pembangunan suatu bendungan pasti melibatkan berbagai Instansi dalam Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten khususnya dalam proses pengadaan tanah dan penanganan masalah sosial. Nota kesepahaman diperlukan agar terdapat distribusi tugas, program dan anggaran yang jelas dan ini menjadi dokumen pendukung dalam proses penyusunan RKAKL untuk penerbitan DIPA. 8. Pengadaan tanah di daerah tapak bendungan, bangunan pelengkap, lokasi

20 204 bahan timbunan, jalan masuk dan jalan kerja. Pengadaan tanah di lokasi ini merupakan prasyarat untuk memulai pekerjaan fisik pembangunan bendungan. 9. Tender konstruksi dan konsultan supervisi serta pengadaan tanah di genangan. Walaupun tender dan pengadaan tanah adalah kegiatan yang berbeda, namun kegiatan ini dapat dilaksanakan secara berbarengan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa pengadaan tanah sebaiknya dilaksanakan dalam waktu tiga tahun, dalam satu Ijin Penetapan Lokasi dan memuat pelarangan membangun pada daerah yang ditetapkan. 10. Pelaksanaan pembangunan bendungan dimulai dengan pembuatan jalan masuk dan jalan kerja, terowongan pengelak dan penyiapan lokasi bahan timbunan bendungan. 11. Penyelesaian proses pengadaan tanah, harus dilakukan paling lambat enam bulan sebelum penggenangan waduk, ini termasuk penebangan pohon di kawasan hutan di daerah genangan. Pengadaan tanah harus berjalan kontinyu, tidak terputus, dan akan lebih baik jika menggunakan sistim anggaran multiyears. 12. Sertifikasi Pelaksanaan Pembangunan Bendungan dari Menteri PU, yang mensahkan kesiapan konstruksi untuk proses penggenangan waduk. Jika belum siap, penggenangan harus ditunda. 13. Penggenangan waduk dan proses pemantauan keamanan bendungan. 14. Sertifikasi Operasi untuk memulai tahapan pemanfaatan fungsi bendungan. Jika terdapat masalah dalam proses penggenangan waduk, operasi bendungan harus dihentikan. 15. Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan bendungan selama umur layanan bendungan. Biaya operasi dan pemeliharaan seharusnya telah diperhitungkan dalam perhitungan finansial BCR maupun IRR. Implementasi rekomendasi kebijakan merupakan tahapan yang panjang dan harus dilewati dengan baik, tidak saja untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan pencapaian daya dukung optimal tampungan serta fungsi optimal bendungan, tetapi juga keamanan tubuh bendungan.

21 205

22 206 Gambar 103. Bagan alir implementasi rekomendasi kebijakan

23 Keterbatasan Hasil Penelitian Perencanaan pengendalian sedimentasi dan pengelolaan keseimbangan air merupakan perencanaan teknis lingkungan yang bersifat eksak, artinya dapat diukur secara kuantitatif. Jika perencanaan kedua aspek tersebut dilakukan secara akurat maka perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan akan dapat dicapai dengan indikasi tercapainya daya dukung optimal tampungan dan fungsi optimal bendungan selama umur layanan bendungan. Hal ini dapat diukur dan dimonitor secara kuantitatif melalui pengukuran laju sedimentasi, pengukuran volume tampungan dan sedimen, pengukuran debit inflow dan outflow. Jika nilainya sesuai perencanaan, berarti kualitas DAS dan keseimbangan air sesuai batasan perencanaan. Sedangkan pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan bersifat non eksak, artinya tidak diukur secara kuantitatif, tetapi berdasarkan besaran-besaran dalam implementasi pengadaan tanah dapat diukur penilaian kualitatif. Sekalipun program dan rencana pengadaan tanah sudah sesuai perencanaan, jika dalam implementasi pengadaan tanah tidak memiliki ketegasan, konsistensi, koordinasi dan kedisiplinan, bukan tidak mungkin rencana pengadaan tidak tercapai. Pengadaan tanah pada pembangunan Bendungan Jatigede, khususnya pengadaan tanah milik penduduk, sebenarnya telah didukung dengan kebijakan pengadaan tanah mulai dari PP, Kepres/Perpres, Permen, Peraturan Kepala BPN dan peraturan lainnya. Seharusnya dengan dukungan kebijakan tersebut tidak ditemui masalah dalam pengadaan tanah. Kenyataannya, terdapat masalah dalam relokasi permukiman pada tanah, masalah rumah tumbuh dan klaim tanah. Hal ini terjadi karena pemerintah kurang memiliki ketegasan, konsistensi, koordinasi dan kedisiplinan pada program yang harus dijalankan, serta masalah eksternal terkait anggaran pembiayaan padahal luas tanah yang harus dibebaskan besar (± ha). Akibatnya proses pengadaan tanah lama sekali baru dapat dituntaskan (lebih 30 tahun), sehingga bermunculan masalah di atas. Reformasi politik tahun 1998, membawa pengaruh terhadap pengadaan tanah, positifnya musyawarah harga berjalan lebih demokratis sehingga proses penentuan harga bisa mendekati keinginan masyarakat. Pengaruh negatifnya, pemerintah kurang memiliki ketegasan dalam menegakkan kebijakan/peraturan, kurang konsisten dan disiplin terhadap program yang ada serta koordinasi yang lemah antar instansi pemerintah yang terlibat. Program pengadaan tanah yang baik akan menjadi kurang bermakna jika tidak diimplementasikan dengan ketegasan, konsistensi, kedisiplinan dan koordinasi yang baik.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan adalah sebuah bangunan air yang berfungsi sebagai penangkap air dan menyimpannya di musim penghujan waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar. Waduk merupakan

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 43 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan

Lebih terperinci

TAHAPAN PENILAIAN AMDAL

TAHAPAN PENILAIAN AMDAL LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2013 TENTANG TATA LAKSANA PENILAIAN DAN PEMERIKSAAN DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP SERTA PENERBITAN IZIN LINGKUNGAN A. UMUM TAHAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. i i

Ringkasan Eksekutif. i i Ringkasan Eksekutif Dalam rangka meningkatkan peranan dalam usaha konservasi DAS yang rusak, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian melaksanakan program Pilot Project Optimasi Lahan responsif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang 1.1. Latar Belakang yang terletak sekitar 120 km sebelah selatan Kota Surabaya merupakan dataran alluvial Kali Brantas. Penduduk di Kabupaten ini berjumlah sekitar 1.101.853 juta jiwa pada tahun 2001 yang

Lebih terperinci

BAB III ISU ISU STRATEGIS

BAB III ISU ISU STRATEGIS BAB III ISU ISU STRATEGIS 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Berdasarka Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan No 03 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 3 No. 3, Desember 2016: 175-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v3i3.16250 KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI,

Lebih terperinci

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Proyek Pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang dan DAS Waduk Jatigede, Propinsi Jawa Barat yang berada Daerah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi bendungan Ketro, dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, antara lain :

BAB III METODOLOGI. Dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi bendungan Ketro, dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, antara lain : BAB III METODOLOGI 45 3.1. URAIAN UMUM Di dalam melaksanakan suatu penyelidikan maka, diperlukan data-data lapangan yang cukup lengkap. Data tersebut diperoleh dari hasil survey dan investigasi dari daerah

Lebih terperinci

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI v n t= 1 = 1 n t= 1 DEFt Di W t 2. Nilai maksimum deficit ratio v 2 = max DEFt Dt 3. Nilai maksimum deficit v = max { } DEF 3 t BAB III METODOLOGI 24 Tahapan Penelitian Pola pengoperasian yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Studi 1. Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Jepara dan Daerah Tangkapan Hujan Waduk Way Jepara secara geografis terletak pada 105 o 35 50 BT

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK)

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KEGIATAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JARINGAN IRIGASI PEKERJAAN DETAIL ENGGINERING DESAIN (DED) JARINGAN IRIGASI LOKASI : IRIGASI DESA TUVA (Kec.Gumbasa),IRIGASI DESA PULU (Kec.Dolo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi disaat musim penghujan

Lebih terperinci

Pertemuan 3. PSDA! Indradi Wijatmiko

Pertemuan 3. PSDA! Indradi Wijatmiko Pertemuan 3 PSDA! Indradi Wijatmiko Pola Pengelolaan SDA Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air! Data dan Informasi Penyusunan Pola! Rencana Induk Pengelolaan Sumber Daya Air! Disiplin Ilmu yang Terkait!

Lebih terperinci

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2.

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2. DAFTAR ISI Halaman: Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar LAMPIRAN I LAMPIRAN II LAMPIRAN III LAMPIRAN IV...... TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. Umum 2. Lampiran 1a: Wilayah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan merupakan infrastruktur transportasi darat yang berperan sangat penting dalam perkembangan suatu wilayah. Jalan berfungsi untuk mendukung kegiatan

Lebih terperinci

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH Diklat Perencanaan dan Persiapan Pengadaan Tanah KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005).

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul 15 m dan tampungan minimal 500.000 m 3, atau tinggi

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, 1 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan mulai bulan Februari 2011 hingga Oktober 2011. Lokasi penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT BINA TEKNIK

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT BINA TEKNIK KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT BINA TEKNIK FAKTOR KUNCI PENYELENGGARAAN JALAN Penegakan Hukum dan Peraturan Penggunaan Jalan Jaringan Jalan mendukung Pengelolaan Tata

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 89 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 89 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 89 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi penelitian adalah semacam latar belakang argumentatif yang dijadikan alasan mengapa suatu metode penelitian dipakai dalam suatu kegiatan penelitian. Metodologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup termasuk manusia. Keberadaan air baik kualitas maupun kuantitas akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Sistem penyediaan

Lebih terperinci

BAB V KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI LARAP PEMBANGUNAN BENDUNG GERAK KARANGNONGKO

BAB V KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI LARAP PEMBANGUNAN BENDUNG GERAK KARANGNONGKO BAB V KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI LARAP PEMBANGUNAN BENDUNG GERAK KARANGNONGKO Uraian Pendahuluan 1. Latar Belakang Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo memuat

Lebih terperinci

D I R E K T O R A T J E N D E R A L B I N A K O N S T R U K S I K E M E N T E R I A N P E K E R J A A N U M U M D A N P E R U M A H A N R A K Y A T

D I R E K T O R A T J E N D E R A L B I N A K O N S T R U K S I K E M E N T E R I A N P E K E R J A A N U M U M D A N P E R U M A H A N R A K Y A T Pedoman Layanan Informasi dan Konsultasi Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Berbasis Web D I R E K T O R A T J E N D E R A L B I N A K O N S T R U K S I K E M E N T E R I A N P E K E R J

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 2. Kerusakan DAS yang disebabkan karena erosi yang berlebihan serta berkurangnya lahan daerah tangkapan air.

BAB III METODOLOGI. 2. Kerusakan DAS yang disebabkan karena erosi yang berlebihan serta berkurangnya lahan daerah tangkapan air. III- 1 BAB III METODOLOGI 3.1. Survei Lapangan Perencanaan dam pengendali sedimen dimulai dengan melakukan survei dilapangan terlebih dahulu supaya dapat diketahui aspek-aspek penting yang melatarbelakangi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR VOLUME 2 : STUDI KELAYAKAN DAFTAR ISI PETA LOKASI DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN RINGKASAN EKSEKUTIF

LAPORAN AKHIR VOLUME 2 : STUDI KELAYAKAN DAFTAR ISI PETA LOKASI DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN AKHIR VOLUME 2 : STUDI KELAYAKAN DAFTAR ISI PETA LOKASI DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN RINGKASAN EKSEKUTIF BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1-1 1.2 Tujuan Studi... 1-2 1.3 Wilayah Studi dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 137 TAHUN 2003 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 137 TAHUN 2003 TENTANG S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 137 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL) ATAS PERUBAHAN KEGIATAN

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 55 III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI TANGGAL : 12 SEPTEMBER 2011 NOMOR : 16 TAHUN 2011 TENTANG : PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian disajikan dalam diagram langkah-langkah metodologi penelitian yang merupakan skema sistematis mengenai keseluruhan proses studi yang

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN Perangkat Daerah Pekerjaan Umum Pengairan Kabupaten Lamongan merupakan unsur pelaksana teknis urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Pengoperasian waduk harus disusun sesuai karakteristik sistem daerah yang ditinjau, oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap karakteristik sistem

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA

KERANGKA ACUAN KERJA Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian KERANGKA ACUAN KERJA Tenaga Pendukung Teknis Analis Pemanfaatan Ruang Bidang Kawasan Strategis Ekonomi Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PRT/M/2015 TENTANG RENCANA DAN RENCANA TEKNIS TATA PENGATURAN AIR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PRT/M/2015 TENTANG RENCANA DAN RENCANA TEKNIS TATA PENGATURAN AIR PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PRT/M/2015 TENTANG RENCANA DAN RENCANA TEKNIS TATA PENGATURAN AIR DAN TATA PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 2 TAHUN 2000 TANGGAL : 21 PEBRUARI 2000 PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL BAB I. PENDAHULUAN A. TUJUAN DAN FUNGSI PANDUAN Panduan ini merupakan

Lebih terperinci

L E G E N D A TELUK BANGKA J A M B I SUMATRA SELATAN B E N G K U L U S A M U D E R A H I N D I A L A M P U N G. Ibukota Propinsi.

L E G E N D A TELUK BANGKA J A M B I SUMATRA SELATAN B E N G K U L U S A M U D E R A H I N D I A L A M P U N G. Ibukota Propinsi. JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA) D i r e k t o r a t J e n d e r a l S u m b e r D a y a A i r D e p a r t e m e n P e m u k i m a n d a n P r a s a r a n a W i l a y a h R e p u b l i k I

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH 1 GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2016 TENTANG KRITERIA TIPOLOGI UNIT PELAKSANA TEKNIS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated IV. GAMBARAN UMUM A. Umum Dalam Pemenuhan kebutuhan sumber daya air yang terus meningkat diberbagai sektor di Provinsi Lampung diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air terpadu yang berbasis wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian adalah kerangka atau framework untuk mengadakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian adalah kerangka atau framework untuk mengadakan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Desain penelitian adalah kerangka atau framework untuk mengadakan penelitian. Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini termasuk

Lebih terperinci

2017, No untuk pembangunan bendungan serta sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.06/2017 tentang Tata Cara Pendanaan Pengadaan

2017, No untuk pembangunan bendungan serta sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.06/2017 tentang Tata Cara Pendanaan Pengadaan No.611, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. Penggunaan Dana Badan Usaha Terlebih Dahulu. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085 PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum d

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.663, 2016 KEMENPU-PR. Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai. UPT. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2016 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengembangan sumber daya air merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang berbagai sektor pembangunan seperti pertanian, industri, penyediaan sumber energi disamping

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM Untuk dapat memenuhi tujuan penyusunan Tugas Akhir tentang Perencanaan Polder Sawah Besar dalam Sistem Drainase Kali Tenggang, maka terlebih dahulu disusun metodologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi setiap wilayah di dunia tidak terkecuali Indonesia. Hampir di seluruh aspek kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR DIPA--0/2013 DS 3065-1154-2414-8690 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKAA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG Banjir yang sering terjadi di beberapa daerah merupakan peristiwa alam yang tidak dapat dicegah. Peristiwa banjir merupakan akibat misalnya curah hujan yang tinggi dan berlangsung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBUATAN STUDI KELAYAKAN DRAINASE PERKOTAAN

TATA CARA PEMBUATAN STUDI KELAYAKAN DRAINASE PERKOTAAN TATA CARA PEMBUATAN STUDI KELAYAKAN DRAINASE PERKOTAAN 1. PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan perkotaan yang amat pesat di Indonesia, permasalahan drainase perkotaan semakin meningkat pula. Pada umumnya

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN Dengan semakin berkembangnya seluruh aspek kehidupan sebagai dampak meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.996, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Manajemen Risiko. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Tinjauan Umum

BAB III METODOLOGI Tinjauan Umum BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Sebelum memulai perencanaan suatu waduk diperlukan adanya metodologi sebagai acuan untuk menentukan langkah-langkah dalam perencanaan. Adapun metodelogi penyusunan

Lebih terperinci

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS DINAS PEKERJAAN UMUM

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS DINAS PEKERJAAN UMUM WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS DINAS PEKERJAAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi. No.3, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.02/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM INFORMASI KEHUTANAN

Lebih terperinci