DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI"

Transkripsi

1 DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Achmad Sobari NRP H

3 ABSTRACT ACHMAD SOBARI. Impact of Fiscal Decentralization on Regional Socio- Economic Development in Indonesia. Under the Supervision of NUNUNG NURYARTONO and IRFAN SYAUQI BEIK. Fundamental change in the Indonesian governance mechanisms from centralized into decentralized system has been occured since 1st January The successes of the government during the period of decentralization can be seen from several indicaators such as economic growth, the number of poor people as well as human development index. However, many parties felt that the implementation of fiscal decentralization in Indonesia only in terms of its political success through the implementation of direct election of regional heads, while from an economic standpoint is still not satisfactory. Based on the background above, the purpose of this research are: 1) to analyze the factors that affect revenue, expenditure of local government and regional socio-economic development in Indonesia, 2) analyze the impact of fiscal decentralization on the revenue and expenditure of local government in Indonesia, 3) Analyzing the impact of changes in revenues and expenditures of local governments towards local socio-economic development in Indonesia. The analysis used in this research is descriptive analysis and analysis of simultaneous equations. The results of simulation models from the revenue side generally indicates that the increase in general allocation funds more influential and effective in improving the performance of socio-economic development compared with the increase in taxes and tax-sharing and non-tax. From the expenditure side, the agricultural sector development spending significantly more effective increasing the GRDP and poverty reduction in Sumatera, Kalimantan, and Sulawesi. As for education and health sector spending provides a larger impact on the increase GRDP and poverty reduction in Java-Bali and Papua. Keywords: fiscal decentralization, socio-economic development, simultaneous equation

4 RINGKASAN ACHMAD SOBARI. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO and IRFAN SYAUQI BEIK. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya. Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah). Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Dalam kurun waktu sembilan tahun diberlakukannya desentralisasi fiskal, dana perimbangan mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu dari 84.8 trilyun pada tahun 2001 menjadi trilyun pada tahun Dana Alokasi Umum juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari 61.8 trilyun pada tahun 2001, menjadi trilyun pada tahun Sementara itu Dana Alokasi Khusus

5 (DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari 1.05 trilyun pada tahun 2001, menjadi 24.4 trilyun tahun Disamping dari sisi penerimaan, peningkatan juga terjadi pada sisi pengeluaran pemerintah. Pada awal pelaksanaan desentralisasi yaitu tahun 2001, pengeluaran pemerintah sebesar 94.4 trilyun, kemudian di tahun 2009 meningkat menjadi trilyun. Bila dilihat perbandingan pengeluaran rutin dan pembangunan, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan. Berbagai keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin serta indeks pembangunan manusia. Tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun 2001 hingga tahun 2009 terlihat berfluktuasi, demikian pula dengan persentase penduduk miskin yang terlihat berfluktuasi dari tahun 2001 hingga 2009, sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) terus mengalami peningkatan dari pada tahun 2002, menjadi pada tahun Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah. Namun demikian, setelah 8 tahun otonomi daerah berjalan, harus disadari bahwa tujuan ideal belum tercapai dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, tentunya disertai dengan komitmen yang kuat sehingga otonomi daerah nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menyejahterakan rakyat (Brodjonegoro, 2009). Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia, 2) Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia, 3) Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia di Indonesia. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis persamaan simultan. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh nyata terhadap kinerja fiskal daerah. Setelah kebijakan tersebut diterapkan, total penerimaan pemerintah daerah dan total pengeluaran pemerintah daerah secara signifikan menjadi lebih tinggi. Dari sisi penerimaan, pajak daerah, retribusi, bagi hasil pajak dan bukan pajak, serta dana alokasi umum (DAU) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum penerapan kebijakan desentralisasi fiskal. Komponen terpenting dari sisi penerimaan adalah DAU. Terdapat kecenderungan umum bahwa pemerintah daerah sangat tergantung pada DAU. Dengan kata lain, effort untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) relatif kecil atau belum optimal. Dilema yang dihadapi dalam konteks ini adalah pengurangan ketergantungan pada DAU melalui peningkatan PAD (yaitu dengan meningkatkan pajak dan retribusi daerah) dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi, akhirnya dapat mengurangi daya saing usaha yang hendak dijalankan di daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, perlu dicari titik keseimbangan antara DAU dan PAD, dimana besaran PAD yang hendak dikumpulkan jangan sampai menghambat perkembangan dunia usaha di daerah.

6 Dari sisi pengeluaran, seiring dengan peningkatan penerimaan, pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara absolut menjadi lebih tinggi pada periode setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal. Pengeluaran pembangunan untuk pertanian dan tenaga kerja secara signifikan menjadi relatif lebih tinggi, sebaliknya pengeluaran pembangunan untuk kesehatan dan pendidikan tidak signifikan perubahannya. Hasil simulasi model dari sisi penerimaan secara umum menunjukkan bahwa peningkatan DAU lebih berpengaruh dan efektif dalam meningkatkan kinerja pembangunan sosial ekonomi dibandingkan dengan peningkatan pajak dan BHPBP. Dari sisi pengeluaran, pengeluaran pembangunan sektor pertanian lebih berpengaruh nyata dan efektif dalam meningkatkan kinerja perekonomian dan penurunan tingkat kemiskinan di Pulau Sumatera, Kalimantan, serta Sulawesi. Sedangkan pengeluaran sektor pendidikan dan sektor kesehatan memberikan dampak yang lebih besar terhadap peningkatan PDRB serta penurunan kemiskinan di Pulau Jawa-Bali dan Papua. Berdasarkan hasil penelitian maka saran penelitian ini adalah : 1) Meskipun DAU memberi dampak yang besar bagi kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi, namun perhatian harus lebih ditingkatkan pada kemampuan fiskal daerah serta perbaikan pengelolaan sumber daya alam, untuk dapat meningkatkan penerimaan dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. 2) Pembangunan wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi diarahkan untuk menjadi pusat produksi, pengolahan, serta peningkatan produktivitas sektor pertanian, untuk itu dibutuhkan peningkatan pengeluaran sektor pertanian secara berkesinambungan pada ketiga pulau tersebut. 3) Tantangan terbesar pengembangan Pulau Papua adalah meningkatkan sumber daya manusia. Peningkatan pada fasilitas dan akses pendidikan dan kesehatan sangat diperlukan, untuk itu peningkatan pengeluaran sektor kesehatan dan pendidikan lebih diprioritaskan dibanding pengeluaran sektor lainnya. 4) Pemerintah daerah diharapkan melakukan efisiensi pos pengeluaran rutin dan mengaloksikan kembali pada pos pengeluaran pembangunan karena memberikan dampak yang relatif baik pada kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah. Kata kunci : desentralisasi fiskal, persamaan simultan, pembangunan sosial ekonomi.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

8 DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia Nama : Achmad Sobari NRP : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua Dr. Irfan Syauqi Beik, SP. M.Sc.Ec. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 30 Juni 2011 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. H.R. Dedi Walujadi, SE, MA.

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Irfan Syauqi Beik, Sp, M.Sc. Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. H.R. Dedi Walujadi, SE, MA. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik serta Kepala BPS Provinsi Maluku Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis, begitu pula rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta Arie Nurlaela, kedua buah hatiku Muhammad Sheva Adrian dan Keisha Alya Adrian, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan inspirasi dan semangat luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia. Bogor, Juni 2011 Achmad Sobari

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 September 1978 dari pasangan Bapak Abdul Razak dan Ibu Masidjah. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 2 Pesawahan Teluk Betung kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Teluk Betung pada tahun 1991 dan lulus pada tahun Setelah lulus dari SMPN 1 Teluk Betung penulis melanjutkan ke SMAN 2 Bandar Lampung. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus tahun Setelah lulus penulis bekerja di BPS Provinsi Maluku Utara hingga sekarang. Pada tahun 2009 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi beasiswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xxiii xxvi xxvii I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 8 II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teori dan Konsep Pengertian dan Konsep Desentralisasi Desentralisasi Fiskal Peranan Pemerintah Teori Pengeluaran Pemerintah Pengelolaan Keuangan Daerah Pertumbuhan Ekonomi Definisi Kemiskinan Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Indeks Pembangunan Manusia Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Hubungan Pengeluaran dan Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan Pengeluaran Pemerintah dan pembangunan Manusia Tinjauan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis.. 44 III METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Model Persamaan Simultan Identifikasi Model Simultan Validasi Model Simulasi Model 56 IV GAMBARAN UMUM Penerimaan Pemerintah Daerah Pengeluaran Pemerintah Daerah Pertumbuhan Ekonomi 66

14 4.4 Pembangunan Manusia Kemiskinan.. 72 V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA 77 FISKAL DAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH 5.1 Blok Penerimaan Fiskal Daerah Dana Alokasi Umum Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Blok Pengeluaran Daerah Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pengeluaran Pembangunan Sektor Ketenagakerjaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Kesehatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan Pengeluaran Rutin Blok Sosial Ekonomi Daerah Produk Domestik Regional Bruto Kemiskinan Pembangunan Manusia 94 VI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP 97 PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH. 6.1 Hasil Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial 100 Ekonomi Daerah di Indonesia Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 16% Peningkatan Pajak Sebesar 20% Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 20% Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian Sebesar 50% Peningkatan Pengeluaran Sektor Kesehatan Sebesar 30% Peningkatan Sektor Pendidikan Sebesar 10% VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 116 DAFTAR PUSTAKA 117 LAMPIRAN.. 123

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di Indonesia tahun (Trilyun) 5 2. Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pembangunan manusia di Indonesia tahun Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM Keterangan variabel dalam persamaan simultan Sumber penerimaan daerah dan kontribusinya di Indonesia tahun 1996, 2001 dan Pendapatan asli daerah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia menurut sumber, tahun 1996, 2001 dan Belanja daerah di Indonesia dirinci menurut jenis belanja tahun 1996, 2001 dan 2009 (milyar rupiah) Distribusi belanja daerah di Indonesia menurut pulau tahun 1996, 2001 dan 2009 (%) Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia sebelum desentralisasi dan di era desentralisasi Indeks pembangunan manusia di Indonesia tahun Perkembangan komponen indeks pembangunan manusia di Indonesia tahun Perkembangan garis kemiskinan menurut status daerah di Indonesia tahun Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia menurut status daerah tahun Faktor-faktor yang memengaruhi dana alokasi umum di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pajak di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan retribusi di Indonesia.. 82

16 17. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor pertanian di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor ketenagakerjaan di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor pendidikan di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran rutin di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi PDRB di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan manusia di Indonesia Dampak peningkatan DAU sebesar 16% terhadap kinerja fiskal daerah Dampak kenaikan DAU 16% terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah Dampak peningkatan pajak sebesar 20% terhadap kinerja fiskal daerah Dampak kenaikan pajak 20% terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah Dampak peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 20% terhadap kinerja fiskal daerah Dampak peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak 20% terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah Dampak peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 50% terhadap kinerja fiskal daerah Dampak peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 50% terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah 112

17 34. Dampak peningkatan pengeluaran sektor kesehatan sebesar 30% terhadap kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah Dampak peningkatan pengeluaran sektor pendidikan sebesar 30% terhadap kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah. 114

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perkembangan dana perimbangan di Indonesia tahun (Juta rupiah) Hubungan stok Kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut teori Solow Kerangka hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengurangan kemiskinan Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Diagram alur kerangka pemikiran Keterkaitan antar blok dan persamaan dalam dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan social ekonomi daerah di Indonesia Penerimaan daerah di Indonesia tahun 1996, 2001 dan 2009 (Milyar) Belanja daerah di Indonesia menurut jenis belanja tahun (%) Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun Persentase penduduk miskin di Indonesia menurut status daerah tahun (%)

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Produk domestik regional bruto provinsi di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun (milyar) Indeks pembangunan manusia provinsi di Indonesia tahun Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut status daerah di Indonesia tahun Hasil output persamaan simultan dengan EViews Hasil validasi model persamaan simultan dengan koefisien determinasi, RMSPE, dan U Theils Script penghitungan U Theils dengan EViews

20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terkait dengan dilaksanakannya otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berubah dari sistem pemerintahan yang sentralistik, menjadi bersifat desentralistik. Kedua undang-undang tersebut dalam perjalanannya diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua undang-undang tersebut dilakukan dengan harapan daerah menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan. Pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada asas desentralisasi, semua bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. Spirit utama pelaksanaan otonomi daerah adalah berdasarkan pemikiran jika daerah diberikan kepercayaaan dan otoritas untuk mengatur dan

21 mengelola sebagian besar urusan domestik, bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalannya, maka pemerintah pusat cukup dengan membimbing, mengawasi dan memberi dukungan saja. Dengan begitu akan tersedia banyak waktu dan energi bagi pemerintah pusat untuk berkonsentrasi pada urusan yang memerlukan kebijaksanaan nasional dan urusan-urusan strategis untuk kompetisi global. Di lain pihak daerah secara bertahap dapat menjadi lebih demokratis, mandiri, kreatif dan inovatif dalam mengatur dan menangani urusan domestiknya. Pelayanan publik dapat menjadi lebih baik karena pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Berdasarkan pertimbangan ini, maka pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal merupakan suatu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyusun sendiri program-program kerja dan merealokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas daerah. Esensi dari perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ini sesungguhnya adalah distribusi sumber daya keuangan (financial sharing) yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuan membiayai otonominya dan untuk menciptakan sistem pembiayaan yang adil, proporsional, rasional serta kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Adanya desentralisasi fiskal diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, membangun sarana perekonomian serta dapat

22 menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya. Pendekatan yang didasarkan pada penerimaan (revenue side) akan menguntungkan bagi daerah yang relatif kaya dangan sumber daya alam dan daerah dengan basis pajak yang besar, tetapi akan menjadi suatu beban pada daerah yang miskin. Dengan demikian desentralisasi fiskal yang didasarkan pada bagi hasil akan menyebabkan disparitas diantara daerah-daerah. Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah). Hasil penelitian Nanga (2005) menunjukkan adanya perbedaan kesiapan daerah dalam memasuki era otonomi daerah. Adi (2006), menunjukkan dua penyebab terjadinya perbedaan kesiapan daerah, yaitu adanya perbedaan kapasitas fiskal daerah dan adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun dana. Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Dana perimbangan tersebut terdiri dari (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan (3) Dana Bagi Hasil (DBH). Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Pemberian dana perimbangan ini

23 melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Undang-Undang Nomor 33/2004), sehingga dapat dijamin tercapainya standar pelayanan minimum publik di seluruh negeri. Dana perimbangan tersebut hanya bersifat sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Disamping dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa Pajak Daerah, Retribusi daerah, BUMD dan Lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pajak dan retribusi inilah nantinya diharapkan akan membentuk suatu struktur PAD yang kuat di masing-masing daerah. Struktur PAD yang kuat inilah sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah didalam mendukung terciptanya suatu kemandirian daerah. Sumber : Kementrian keuangan (diolah) Gambar 1 Perkembangan dana perimbangan di Indonesia tahun (Juta rupiah). Kurun waktu sembilan tahun diberlakukannya desentralisasi fiskal, dana perimbangan mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu dari 84.8 trilyun pada tahun 2001 menjadi trilyun pada tahun Dana Alokasi Umum yang diprioritaskan untuk gaji dan tunjangan PNS-Daerah, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari 61.8 trilyun pada tahun 2001, menjadi trilyun pada tahun Dana Alokasi Khusus (DAK)

24 juga mengalami peningkatan tajam dari 1.05 trilyun pada tahun 2001, menjadi 24.4 trilyun tahun DAK ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan dan perikanan/kelautan. Disamping dari sisi penerimaan, peningkatan juga terjadi pada sisi pengeluaran pemerintah. Pada awal pelaksanaan desentralisasi yaitu tahun 2001, pengeluaran pemerintah sebesar 94.4 trilyun, kemudian di tahun 2009 meningkat menjadi trilyun. Pada era desentralisasi fiskal pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21.2% pertahun. Semakin besarnya pos pengeluaran pemerintah daerah mencerminkan lebih leluasanya pemerintah daerah dalam menggunakan dana. Bila dilihat perbandingan pengeluaran rutin dan pembangunan, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan. Tabel 1 Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di Indonesia tahun (Trilyun) Tahun Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Total Pengeluaran Sumber : Kementrian Keuangan (diolah) Berbagai keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin serta indeks pembangunan manusia. Tingkat pertumbuhan ekonomi terlihat berfluktuasi dimana pada tahun 2001 sebesar 3.64%, meningkat menjadi 5.69% pada tahun 2005, pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 5.50%, pada tahun 2008 meningkat kembali menjadi 6.06% dan pada tahun 2009 menurun menjadi sebesar 4.50%. Persentase penduduk miskin juga terlihat

25 berfluktuasi, dimana pada tahun 2001 sebesar 18.40% dan terus mengalami penurunan menjadi 15.97% ditahun 2005, namun di tahun 2006 meningkat menjadi 17.75%, tahun 2007 menjadi 16.58% dan pada 2009 menjadi sebesar 14.15%. Walaupun mengalami penurunan dari tahun namun penduduk miskin masih cukup tinggi. Sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) terus mengalami peningkatan dari pada tahun 2002, menjadi pada tahun Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro, 2006). Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pembangunan manusia di Indonesia tahun Tahun Pertumbuhan ekonomi (%) Persentase penduduk miskin (%) Indeks pembangunan manusia Sumber : BPS Namun demikian, setelah 8 tahun otonomi daerah berjalan, harus disadari bahwa tujuan ideal belum tercapai dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, tentunya disertai dengan komitmen yang kuat sehingga otonomi daerah nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menyejahterakan rakyat (Brodjonegoro, 2009).

26 1.2 Perumusan masalah Pemerintah daerah dalam era desentralisasi mendapatkan keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangannya. Keleluasaan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah untuk mendorong terciptanya pembangunan sosial ekonomi. Dengan demikian maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia pada periode ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia? 3. Bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia? 4. Bagaimana dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan perkembangan kinerja fiskal, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia pada periode Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia 3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia 4. Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :

27 1. Bagi pemerintah, dapat dijadikan pertimbangan pengambilan kebijakan pembangunan wilayah dalam penyusunan program pembangunan wilayah. 2. Bagi mahasiswa dan peneliti yang berminat dalam permasalahan desentralisasi fiskal sebagai bahan kajian dan perbandingan kasus desentralisasi fiskal di Indonesia Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan terhadap seluruh provinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1996 hingga tahun Jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1996, dimana jumlahnya sebanyak 26 provinsi, sehingga provinsi yang mekar setelah itu datanya diagregasikan ke provinsi induk. Penelitian terhadap pengeluaran pemerintah dilakukan dengan cara menjumlahkan masingmasing komponen pengeluaran pemerintah setiap kabupaten/kota dan provinsi dari setiap provinsi di Indonesia. Komponen pengeluaran pemerintah provinsi merupakan penjumlahan seluruh komponen pengeluaran pemerintah di kabupaten/kota dan provinsi. Alasan penelitian pada level provinsi adalah bahwa apabila melihat tren perekonomian dunia maka integrasi ekonomi perlu diperkuat di tingkat provinsi. Otonomi daerah terbesar memang dimiliki pemerintah kabupaten/kota namun harus disadari bahwa perekonomian kabupaten/kota tergolong perekonomian berskala kecil dengan segala keterbatasan dan potensi inefisiensi. Perekonomian dengan skala tersebut, sulit diharapkan bahwa perekonomian kabupaten/kota tersebut dapat berdiri sendiri apalagi menjadi perekonomian yang kompetitif. Dengan memakai analog negara-negara Eropa seperti Belanda, Austria, Belgia dimana negara-negara tersebut mengalami stagnasi ekonomi dan tidak akan mampu bersaing dengan negara ekonomi besar seperti Amerika Serikat, maka kabupaten/kota di Indonesia berada dalam posisi tersebut dan tidak akan banyak bersuara dalam percaturan ekonomi nasional apalagi regional dan global. Keberadaan Uni Eropa telah mengubah percaturan dunia dimana kekuatan ekonominya menjadi sangat diperhitungkan raksasa ekonomi lain seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia. Setiap negara anggota Uni Eropa tetap mempertahankan kedaulatan negaranya namun secara ekonomi para anggota tersebut sepakat untuk

28 mengintegrasikan ekonomi lokalnya kedalam ekonomi wilayah yaitu ekonomi Eropa. Dalam kasus Indonesia, integrasi ekonomi ditingkat provinsi merupakan suatu keniscayaan yang dapat membantu menjaga daya saing ekonomi nasional. Kabupaten/kota tidak akan kehilangan status daerah otonomnya teteapi mereka secara sadar mengintegrasikan ekonomi lokalnya ke dalam sistem ekonomi provinsi yang mempunyai skala ekonomi lebih besar dan lebih menjamin efisiensi. Integrasi ekonomi ditingkat provinsi ini sekaligus memberikan peran lebih jelas kepada provinsi sebagai panglima ekonomi daerah dengan tugas mengangkat perekonomian daerah dan menunjang semaksimal mungkin perekonomian nasional (Brodjonegoro, 2009). Pembangunan sosial ekonomi daerah dalam penelitian ini dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut : 1. Pertumbuhan ekonomi, yang dilihat dari penambahan PDRB atas dasar harga konstan pada masing-masing provinsi. 2. Kemiskinan, yang dilihat dari jumlah penduduk miskin pada setiap provinsi. 3. Pembangunan manusia, yang dilihat dari angka indeks pembangunan manusia pada masing-masing provinsi.

29 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori dan Konsep Pengertian dan Konsep Desentralisasi Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiskal decentralization) (Abimanyu dan Megantara, 2009). a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan

30 diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumbersumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Salah satu model yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956) yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan

31 petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik apabila berpedoman pada hal-hal sebagai berikut : a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah c. Stabilitas politik yang kondusif d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusankeputusan tersebut e. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah f. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat Peranan Pemerintah Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial. Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah:

32 1 Menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta 2 Mengoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar diantaranya: a. Kompetisi tidak sempurna, dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang. b. Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry. Sifat barang publik yang seperti itu maka akan menimbulkan fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang menyediakannya. c. Eksternalitas pasar bersifat egois (selfish), sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan. d. Adanya kegagalan informasi, dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut. Fungsi distribusi sebagai salah satu fungsi utama pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran untuk meningkatkan pengeluaran agregat dalam resesi dan depresi.

33 Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: a kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa. b c kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Berdasarkan sisi pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan Teori Pengeluaran Pemerintah Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Karenanya harus dibangun terutama adalah: kualitas SDM,

34 sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern. Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran pemerintah. Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga faktor-faktor produksi. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto 1997), yaitu: a. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap

35 PDB semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. b. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. c. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana

36 swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman (1961) mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan

37 kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya (Halim, 2007). Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut :

38 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun Perundangan Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara

39 Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi Pertumbuhan Ekonomi Banyak orang masih mencampur adukan penggunaan istilah pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Sebenarnya kedua istilah ini mempunyai

40 arti yang berbeda, meskipun keduanya memang menerangkan perkembangan ekonomi yang berlaku. Pertumbuhan selalu digunakan sebagai suatu ungkapan untuk menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara. Sedangkan istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ekonomi mengartikan pembangunan ekonomi sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi (economic development is growth plus change) (Sukirno, 2004). Para ahli ekonomi maupun politik umumnya sepakat menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan. Pemerintah di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi atau rendahnya mutu aparatnya di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output nasional (Todaro dan Smith, 2006). Berdasarkan teori neoklasik, pertumbuhan output ekonomi regional dipengaruhi pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan dalam menyediakan berbagai barang ekonomi bagi penduduknya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung persentase Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mengukur pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan total yang diterima dari adanya seluruh produksi dan jasa tersebut (Mankiw, 2006). Pertumbuhan biasanya dihitung dalam nilai riil dengan tujuan untuk menghilangkan adanya pengaruh inflasi pada barang dan jasa yang diproduksi, sehingga PDB riil sematamata menggambarkan perubahan kuantitas produksi. Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi (Todaro dan Smith 2006). Akumulasi modal terjadi apabila sebagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan. Akumulasi modal dapat

41 dilakukan secara langsung maupun dengan melakukan investasi terhadap fasilitasfasilitas penunjang seperti investasi infrastuktur, ekonomi dan sosial. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja secara tradisional dianggap faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar berarti dapat menambah tenaga kerja produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang besar berarti ukuran pasar domestik besar. Faktor lainnya adalah kemajuan teknologi yang merupakan dasar bagi berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Pentingnya akumulasi modal (investasi) dalam pertumbuhan ekonomi dikenal sejak dikembangkannya the linear stages theory, yang menyatakan bahwa kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan adalah peningkatan total tabungan nasional dan luar negeri. Semakin banyak total tabungan dan diinvestasikan, laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat (Todaro dan Smith, 2006). Muncul beberapa kritik terhadap teori ini, yang menyatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi, yaitu kecakapan managerial, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, kemampuan perencanaan, adanya transfortasi yang memadai serta birokrasi pemerintah yang efisien. Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Teori klasik dimotori Adam Smith, beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan pertambahan output. Yang termasuk dalam teori klasik lainnya Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah, sehingga dapat mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Selanjutnya, Teori Klasik berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat

42 dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori dari Harrord Domar juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Model pertumbuhan Solow menjelaskan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi di dalam perekonomian. Ketiganya mempengaruhi produk nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada skala regional. Hubungan ketiga input produksi tersebut digambarkan pada Gambar 2. Dalam model pertumbuhan ekonomi ini, stok kapital merupakan faktor penentu output sebuah perekonomian, namun stok kapital selalu berubah sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada akhirnya. Kegiatan investasi dalam hal ini terkait dengan misalnya pengeluaran pembangunan gedung atau fasilitas baru dan perlengkapan. Pengeluaran ini mengakibatkan stok kapital meningkat. Dari grafik, f(k) adalah fungsi produksi atau dapat dinotasikan y. Investasi per tenaga kerja dinotasikan dengan i. Jika investasi pertenaga kerja sy, maka i = sf(k). Bagaimana setiap nilai dari k dapat mempengaruhi output serta bagaimana alokasi output antara konsumsi dan tabungan ditentukan oleh saving rate s, dengan mempertimbangkan juga faktor depresiasi. Output per tenaga kerja Output f(k) Output per tenaga kerja c Konsumsi per tenaga kerja Investasi (sf(k)) y i Investasi per tenaga kerja Kapital per tenaga kerja Sumber: Mankiw, Gambar 2 Hubungan stok kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut Teori Solow

43 Dampak investasi dan depresiasi dalam stok kapital dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Perubahan dalam stok kapital = Investasi Depresiasi Δk = i δk....(2.1) dengan mensubstitusi i=sf(k) dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: Δk = sf(k) δk. (2.2) Persamaan di atas menjelaskan investasi dan depresiasi pada berbagai level stok kapital k. Semakin tinggi stok kapital, semakin tinggi output yang dihasilkan, namun semakin tinggi pula depresiasi. Pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Pada proses pembangunan selanjutnya, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai hipotesis Neoklasik.

44 2.1.7 Definisi Kemiskinan Menurut Badan Pusat Statistik, miskin adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara menurut World Bank Institute, kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluangpeluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut: a. Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti orang miskin selalu hadir bersama kita. Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50% dari median

45 (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. b. Kemiskinan Absolut Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut.

46 c. Terminologi Kemiskinan Lainnya Kemiskinan memiliki banyak wajah dan pengertian. Salah satu wajah kemiskinan adalah dimana orang kelaparan. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang tidak memiliki tempat tinggal. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang sakit tidak kuasa untuk pergi ke dokter. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana anak-anak tidak mampu bersekolah dan buta huruf. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang tidak memiliki pekerjaan sehingga masa depannya tidak pasti. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang terpaksa tinggal dengan sanitasi yang buruk dan kesulitan memperoleh air bersih. Kemiskinan juga adalah kondisi tidak berdaya dan tidak terwakili secara politik. Dari semua wajah itu, Bank Dunia menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana orang ingin lepas darinya (Bank Dunia, 2006). Lebih jauh, suatu konsep pandangan mengenai kemiskinan yang lebih luas dan filosofis dinyatakan oleh pemenang Nobel, Amartya Sen sebagai Capability Approach terhadap well being. Pendekatan ini melewati batasan pandangan mengenai kemiskinan yang konvensional dimana konsep ini memasukan dimensidimensi kemiskinan yang sifatnya lebih fundamental yang meliputi kerentanan terhadap resiko, kurangnya hak bersuara dalam masyarakat, dan ketidakberdayaan. Kapabilitas-kapabilitas penting yang harus dimiliki setiap orang tidak saja mencakup kecukupan sumberdaya pemenuhan kebutuhankebutuhan pokok (essential needs) saja seperti pangan, sandang, dan papan saja., tetapi juga mencakup akses terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan dan kekuatan-kekuatan perusak (violence). Dalam hal ini, negaralah yang berkewajiban untuk merealisasikannya, mengingat mekanisme pasar tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah tersebut Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan Pada level negara atau wilayah, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan meliputi PDRB sektoral, besarnya anggaran pemerintah dan tingkat pendidikan. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: PDRB Sektoral Peubah PDRB sektoral menggambarkan jumlah output agregat sektor yang dihasilkan suatu daerah. Peningkatan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan

47 menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyak kesempatan kerja yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri dan PDRB sektor jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung digunakan untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah dalam proses redistribusi manfaat pertumbuhan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun dari sektor industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan menguji hipotesis pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen terhadap pertumbuhan ekonomi aggregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat rata-rata pendapatan tertentu. Secara intuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin. Kedua, komposisi kegiatan ekonomi menurut sektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakmerataan awal. Hal ini akan tetap berlangsung bila proses pertumbuhan berikutnya bersifat netral atau semua pendapatan tumbuh dengan tingkat yang sama. Secara intuisi, ketika penduduk miskin memiliki share pendapatan yang rendah terhadap total pendapatan, mereka akan cenderung memiliki share manfaat aggregat pendapatan yang lebih rendah

48 selama proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, distribusi pendapatan awal telah diketahui mempunyai peran yang sangat penting bagi dampak berikutnya dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Menurut Tambunan (2006), hubungan antara peningkatan output sektoral dan kemiskinan adalah efek trickle down dari peningkatan output sektoral dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan upah/gaji riil. Pertumbuhan ekonomi sektoral bisa menjadi suatu alat yang efektif bagi pengurangan kemiskinan dengan asumsi ada mekanisme yang diperlukan untuk memfasilitasi trickle down manfaat pertumbuhan ekonomi sektoral kepada penduduk miskin. Kerangka pemikiran hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengurangan kemiskinan dapat ditunjukkan dalam Gambar 3. Pada saat output meningkat maka kesempatan kerja juga bertambah sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran berkurang. Penduduk akan memiliki sumber pendapatan baru maupun tambahan pendapatan, yang selanjutnya menurunkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan output juga memberikan pengaruh terhadap laju inflasi, semakin banyak output yang dipasarkan akan menekan peningkatan harga domestik, bahkan dapat menurunkan laju inflasi sehingga akan menyebabkan peningkatan pendapatan riil. Peningkatan pendapatan riil ini akan menurunkan garis kemiskinan riil dan berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi sektoral (peningkatan output) Sumber: Tambunan (2006) Peningkatan kesempatan kerja Peningkatan upah/gaji riil Pengurangan Kemiskinan Gambar 3 Kerangka hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengurangan kemiskinan. Kerangka pemikiran tersebut didasarkan pada beberapa studi empiris lintas negara yang menguji relasi antara pertumbuhan output sektoral dan pengurangan

49 kemiskinan. Studi yang dilakukan Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor primer khususnya pertanian, jauh lebih efektif dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Sektor sekunder tidak memberikan dampak yang berarti terhadap penurunan kemiskinan. Demikian juga, studi Kakwani (2001) melaporkan hasil yang sama untuk kasus di Philipina. Dalam studinya ditemukan bahwa sektor pertanian mempunyai elastisitas yang lebih tinggi dibanding sektor industri dan jasa Pengeluaran APBD Menurut Tambunan (2006), pengeluaran pembangunan pemerintah yang direalisasikan dalam rancangan APBN atau APBD merupakan instrumen kelembagaan pemerintah yang memiliki peran strategis dalam pengurangan kemiskinan, melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur fisik terutama jalan dan irigasi. Peningkatan kesehatan dan pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas yang selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk miskin seperti petani dan buruh tani dalam arti luas. Infrastruktur yang baik sangat membantu peningkatan produksi, pertumbuhan kegiatan bisnis, termasuk di sektor informal, dan pemasaran produk-produk dari penduduk miskin seperti petani dan usaha mikro kecil. Besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik dapat diproksi dengan besarnya realisasi pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) (Suparno, 2010). Nilai realisasi pengeluaran APBD digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah termasuk untuk mengatasi masalah kemiskinan. Semakin besar nilai realisasi pengeluaran APBD menunjukkan semakin besar pula peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Menurut Fan, et al, (1999), pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan. Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari

50 berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi untuk membantu mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama penyediaan solusi yang permanen dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Menurut Iradian (2005), besarnya pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di berbagai negara, disamping juga dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil perkapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat ketidakmerataan awal. Besarnya pengeluaran pemerintah dalam APBN atau APBD memiliki hubungan yang signifikan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin Tingkat Pendidikan Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengaruhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk menunjukkan semakin tinggi modal manusia (human capital). Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang tinggi tersebut dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika

51 tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik. Sementara itu, unit usaha yang diisi dengan mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap teknologi akan lebih produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. (Nurkolis. 2004). Menurut Bank Dunia (2006), tingkat pendidikan penduduk miskin yang rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan pada generasi berikutnya. Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Sehingga salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong lingkaran setan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin. Peran penting peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan juga dikemukakan Bank Dunia maupun Bank Pembangunan Asia (ADB). Bank Dunia (2006) dalam kerangka kerja untuk memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik dan modal manusia (pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut. Menurut Bank Pembangunan Asia (1999), salah satu pilar dari strategi penurunan kemiskinan adalah pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan modal manusia (pendidikan dan kesehatan), modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan sosial. Peran optimal pendidikan dalam pengurangan kemiskinan tergantung pada akses bagi masyarakat miskin dalam menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi,

52 yang nantinya sangat menentukan kemampuan mereka dalam bersaing di pasar kerja. Penduduk miskin sering kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan dan kesulitan keuangan untuk membiayai pendidikan anaknya. Motivasi penduduk miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak sejalan dengan ekspektasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang akan diterima di masa depan (Tambunan, 2006). Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan cenderung mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah menyelesaikan sekolah menengah atau universitas 300 persen hingga 800 persen lebih besar dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu (Todaro dan Smith, 2006) Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia menggunakan beberapa komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor didalamnya. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dikombinasikan. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity) (BPS-Bappenas- UNDP, 2001).

53 a. Umur Harapan Hidup Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung angka umur harapan hidup yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup dengan input data ALH dan AMH. Selanjutnya menggunakan program Mortpack ini, dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara umumnya. Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara didunia). Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini merupakan angka rata-rata umur terpanjang penduduk Swedia dan terpendek dari negara Siera Leon di Afrika. b. Tingkat Pendidikan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator, yaitu rata-rata lama sekolah (mean of years schooling) dan angka melek huruf. Selanjutnya rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara saat pertama kali penghitungan IPM dilakukan. Batas atas untuk angka melek huruf, dipakai maksimum 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100% atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya.

54 c. Standar Hidup Layak Selanjutnya dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan GDP riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. C (I) = C (i) Jika C (i) < Z = Z + 2(C (i)`-`z) 1/2 Jika Z < C (i) < 2Z = Z + 2(Z) 1/2 + 3(C (i)`-`2z) 1/3 Jika 2Z < C (i) < 3Z = Z + 2(Z) 1/2 +3(Z) 1/3 +4(C (i) -3Z) 1/4 Jika 3Z < C(i) < 4Z...(2.3) Keterangan : C (i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp per kapita per tahun atau Rp per kapita per hari Penghitungan indeks daya beli, seperti terlihat pada uraian sebelumnya dan diagram penghitungan IPM, terlihat bahwa batas atas penghitungan digunakan batas masksimum dan minimum adalah sebesar Rp dan Rp ini merupakan batas sampai dengan tahun Pada tahun 2002, batas bawah penghitungan PPP dirubah dan disepakati menjadi Rp mengikuti kondisi pasca krisis ekonomi. Penyusunan Indeks Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen harus dihitung indeksnya. Formula yang digunakan sebagai berikut;

55 ( X ( i, j) X ( i min) ) Indeks X ( i, j) =... (2.4) ( X X ) ( i maks) ( i min) keterangan X (i,j) = Indeks komponen ke-i dari daerah j X (i-min) = Nilai minimum dari X i X (i-maks) = Nilai maksimum dari X i Nilai IPM dapat dihitung sebagai: 1 IPM j = Indeks X ( i, j) 3 j (2.5) keterangan : Indeks X (i,j) = Indeks komponen IPM ke i untuk wilayah ke j; i = 1, 2, 3 j = 1, 2. k wilayah Untuk menghitung indeks rangkuman batas minimun dan maksimum setiap komponen IPM ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan 1. Angka Harapan Hidup Standar UNDP 2. Angka Melek Huruf Standar UNDP 3. Rata-rata lama sekolah Daya beli a (1996) UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan b (1999,2002) Keterangan : a) Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Sumber : BPS-Bappenas-UNDP.

56 Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia di kabupaten/kota ke dalam empat kategori dengan kriteria sebagai berikut : a. Rendah, bila angka IPM < 50. b. Menengah Bawah, bila angka 50 IPM < 66. c. Menengah Atas, bila angka 66 IPM < 90. d. Tinggi, bila angka IPM 90. Dalam Human Development Reports (HDR) 2010 yang diterbitkan United Nations For Development Programes (UNDP), indikator penyusun IPM mengalami perubahan yaitu pada dimensi pendidikan dan standar hidup. Indikator angka melek huruf pada dimensi pendidikan diganti dengan ekspektasi lama sekolah, sedangkan indikator PDB per kapita pada dimensi standar hidup diganti dengan indikator pendapatan nasional bruto per kapita. Begitu juga dengan penghitungan IPM yang sebelumnya menggunakan rata-rata sederhana, pada HDR 2010 menggunakan rata-rata geometri Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya. Hal ini disebabkan (1) Pemerintah Daerah memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan Pemerintah Pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. (2) Menstimulus Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah melalui optimalisasi sumberdaya yang ada secara efisien dan mengurangi pemborosan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. (3) Adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong

57 pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antar daerah. Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependen. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4. t Tingkat Pertumbuhan g Porsi pengeluaran pemerintah Sumber: Kharisma, 2006 Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB

58 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan Besarnya pengeluaran pemerintah dalam kerangka makro ekonomi akan mendorong pertumbuhan output ekonomi. Pertumbuhan output ekonomi ini akan diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terserap dan diikuti tingkat pendapatan yang semakin baik akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin dapat berkurang Pengeluaran Pemerintah dan Pembangunan Manusia Memperhatikan indikator-indikator yang digunakan dalam penghitungan IPM, pemerintah dalam melakukan pengeluaran juga harus memperhatikan aspekaspek tersebut. Perhatian pemerintah terhadap aspek-aspek pembangunan manusia tercermin dari pengalokasian pengeluaran pemerintah kedalam sektor-sektor yang berpengaruh pada pembangunan manusia. Sektor-sektor dimaksud antara lain sektor pendidikan, kesehatan, kependudukan dan kesejahteraan rakyat. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Cheminghui (2007) di Yaman, yang bertujuan mengevaluasi dampak dari perbedaan tipe pengeluaran pemerintah dengan sumberdaya yang tersedia untuk mendapat target yang lebih baik sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih cepat dalam pengurangan kemiskinan. Secara empiris menunjukan pentingnya investasi di pelayanan sosial dalam memperbaiki modal manusia dan terutama untuk pengurangan kemiskinan selama beberapa periode ini. Pendidikan yang baik dan pemeliharaan kesehatan menolong orang miskin untuk hidup lebih produktif, meningkatkan return dalam investasi. Dalam melakukan eksperimen tersebut efek dari pengeluaran publik untuk sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan. Terlihat bahwa pengeluaran sektor publik di bidang pertanian hanya meningkatkan TFP di sektor tersebut saja. Sementara untuk pengeluaran publik di sektor pendidikan dan kesehatan ternyata mampu meningkatkan TFP untuk semua sektor.

59 Sedangkan dalam jurnal Fiskal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study, Davoodi dan Zou (1998) menggunakan model pertumbuhan endogenous (Simple endogenous growth model) yang menunjukkan hubungan derajat desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data panel dari 46 negara selama periode untuk menyelidiki hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Pada penelitiannya disimpulkan bahwa adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan desentralisasi fiskal dalam 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun terutama untuk sampel data dunia dan negara berkembang, sedangkan untuk negara maju berkorelasi positif. Selain itu, penelitiannya menunjukkan bahwa negara-negara maju secara rata-rata cenderung lebih desentralistik dibandingkan negara berkembang dan kecenderungan mempunyai tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi. Namun, setelah melakukan penelitian ternyata di negara berkembang memiliki hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2005) di Amerika Serikat memperlihatkan bukti baru bahwa desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series (panel data) maka terdapat 50 observasi (rata-rata tahun untuk time series dan 50 negara bagian di Amerika Serikat). Penelitian empiris tersebut memperlihatkan desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti paper-paper sebelumnya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal memainkan peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan

60 dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mulyaningsih (2008). Ada empat tujuan dari penelitian ini, pertama melihat apakah ada pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor publik terhadap pembangunan manusia, kedua melihat apakah ada pengaruh pengeluaran pemerintah di sector public terhadap kemiskinan, ketiga melihat apakah ada pengaruh pembangunan manusia terhadap kemiskinan, dan keempat mengkaji nilai-nilai Islam dalam mengatasi permasalahan umat yang terkait dengan kemiskinan. Penelititan ini menggunakan metode regresi data panel (Pooled Least Square, Fixed effect, dan Random Effect). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor publik tidak berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan. Namun pembangunan manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Kharisma (2006) yang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah provinsi di Indonesia. Penelitian yang menggunakan data sekunder dari 26 provinsi di Indonesia selama periode yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode , peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di Jawa maupun luar jawa. Sedang kurun waktu , peran anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan sisi penerimaan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama masa era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Makrifah (2010) melakukan penelitian dengan tujuan (1) Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi

61 penerimaan maupun pengeluaran; (2) Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur; (3) Mengidentifikasi pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM, dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin adalah analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster. Analisis inferensia dengan menggunakan model Vector Autoregressive (VAR) dalam data panel digunakan untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan jumlah penduduk miskin. Hasil penelitian menunjukkan alokasi belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa teori Keynes yang menyatakan belanja pemerintah akan mempengaruhi hasil pembangunan berlaku di Jawa Timur. Suparno (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk melihat dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketenagakerjaan di Indonesia serta bagaimana kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah. Penelitian ini menggunakan data panel berupa data seluruh provinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika regresi panel data. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah (yang diukur dari derajat desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah) masih rendah. Justru di era desentralisasi, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin meningkat. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah di Indonesia adalah modal swasta (K), modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil (BH), dana alokasi khusus (DAK), pajak daerah (PD), retribusi daerah (RD), dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah (LD), tenaga kerja (L), tingkat keterbukaan daerah (XM) dan variabel dummy otonomi daerah.

62 Penelitian yang dilakukan Usman (2006) menghasilkan kesimpulan desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok miskin dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka pendek, pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Panjaitan (2006) menghasilkan kesimpulan bahwa sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. Kemudian peningkatan DAU ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan. 2.3 Kerangka Pemikiran Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Keuangan Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan Undang- Undang no 32 dan 33 tahun 2004, terjadi perubahan yang cukup fundamental terhadap sistem pemerintahan dan keuangan di Indonesia. Undang-undang inilah yang memicu terjadinya perubahan dari pemerintah yang sentralistik menjadi pemerintah yang desentralistik. Adanya kedua undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, termasuk kewenangan untuk memanfaatkan dan mengalokasikan keuangannya. Berdasarkan fakta tersebut diharapkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan perekonomian daerah yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, serta penurunan jumlah penduduk miskin. Diharapkan semua ini akan meningkatan capaian pembangunan manusia, yang selanjutnya bermuara pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran penelitian (Gambar 5).

63 2.4 Hipothesis Hipotesis pada penelitian ini adalah: 1. Desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah 2. Desentralisasi fiskal berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia 3. Desentralisasi fiskal berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. UU No. 22/1999 Disempurnakan UU No. 25/1999 Disempurnakan UU No.32/2004 UU No.33/2004 Desentralisasi Penerimaan Pemda Pengeluaran Pemda Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Pertumbuhan Ekonomi Kemiskinan Pembangunan Manusia Kesejahteraan masyarakat Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.

64 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang tercakup dalam penelitian ini adalah data APBD, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), angka kemiskinan, jumlah penduduk, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan data lainnya yang relevan dengan penelititan ini. Data pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, perpustakaan Perguruan Tinggi lainnya seperti UI, STIS, dan situs-situs yang berkaitan dengan penelitian. 3.2 Metode Analisis Dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis deskriptif digunakan dengan bantuan tabel dan grafik untuk mendeskripsikan kondisi kinerja fiskal pemerintah daerah, serta kondisi pembangunan sosial ekonomi daerah dalam hal ini kondisi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia. Analisis persamaan simultan digunakan untuk menjawab dampak kinerja fiskal daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia Model Persamaan Simultan Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja pembangunan sosial ekonomi daerah disusun dalam persamaan simultan yang dikelompokkan dalam tiga blok yaitu : (1) blok penerimaan fiskal daerah, (2) blok pengeluaran fiskal, dan (3) blok pembangunan sosial ekonomi daerah Penerimaan Fiskal Daerah Dana Alokasi Umum merupakan transfer pemerintah pusat ke daerah dan

65 menjadi instrumen penting desentralisasi fiskal. Secara normatif besarnya dipengaruhi antara lain oleh kapasitas fiskal, luas wilayah, serta jumlah penduduk. Dalam penghitungan DAU ada yang disebut dengan alokasi minimum yang artinya DAU tahun berjalan sedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak boleh kurang dari DAU tahun sebelumnya. Pajak daerah secara teoritis dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), juga oleh kepadatan jumlah penduduk. Diduga kuat juga oleh adanya kondisi psikologis bagi pemerintah daerah yaitu bahwa target perolehan pajak tahun berjalan sekurang-kurangnya tidak lebih rendah dari perolehan pajak tahun sebelumnya. Sesudah kebijakan otonomi, daerah diberi kebebasan menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan dari daerah sendiri antara lain melalui perluasan basis pajak. Oleh sebab itu diduga kuat bahwa ada peningkatan dan perbedaan yang signifikan pada penerimaan pajak daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, untuk mengakomodir hal ini dibuat variabel dummy desentralisasi fiskal. Besarnya retribusi daerah sebagai salah satu sumber penerimaan yang penting bagi daerah dipengaruhi oleh PDRB. Masyarakat dengan pendapatan yang tinggi tentu akan mampu memberikan retribusi yang tinggi pula kepada daerahnya. Sebaliknya, masyarakat dengan pendapatan yang rendah maka kemampuan membayar retribusi juga rendah. Besarnya penerimaan retribusi tahun lalu akan menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha pemerintah daerah untuk setidak-tidaknya mencapai perolehan yang sama dengan tahun sebelumnya. Disamping itu, meningkatnya jumlah penduduk diduga kuat juga mempengaruhi penerimaan retibusi daerah. Apabila penduduk bertambah banyak, maka transaksi yang terjadi pada sumber-sumber retribusi juga akan meningkat. Keleluasaan pemerintah daerah untuk menerbitkan PERDA guna meningkatkan sumber pembiayaananya antara lain melalui retribusi sudah tentu akan meningkatkan penerimaan retribusi yang berbeda dan signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi. Untuk itu dibuat pula variabel dummy desentralisasi fiskal. Bagi hasil pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting daerah. Besarnya bagi hasil pajak yang diterima daerah dipengaruhi oleh PDRB. Secara faktual, perolehan pajak tahun berjalan selain ditentukan oleh PDRB juga

66 ditentukan oleh apa yang disebut variabel target yaitu perolehan pajak tahun berjalan setidaknya sama dengan perolehan tahun lalu. Disamping itu, bagi hasil pajak yang diatur setelah desentralisasi, memberikan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan bagi hasil pajak sebelum desentralisasi, untuk itu dibuat variabel dummy desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penerimaan fiskal daerah dijelaskan dalam persamaan-persamaan : 1.Persamaan Dana Alokasi Umum (DAU) DAU = a 0 +a 1 Kapfis+a 2 Luas+a 3 Pop+a 4 Ldau+a 5 Ddf+u (3.1) Parameter estimasi yang diharapkan a 1 < 0 ; a 2, a 3, a 4,a 5 > 0 2.Persamaan Pajak (PJK) PJK = b 0 + b 1 Pdrb + b 2 Lpjk + b 3 Kpdt + b 4 Ddf+ u (3.2) Parameter estimasi yang diharapkan b 1,b 2,b 3,b 4 > 0 3. Persamaan Retribusi (RETR) RETR = c 0 + c 1 Pdrb + c 2 Lretr + c 3 Pop + c 4 Ddf + u (3.3) Parameter estimasi yang diharapkan c 1,c 2,c 3,c 4 > 0 4. Persamaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) BHPBP = d 0 + d 1 Pdrb + d 2 Lbhpbp + d 3 Ddf + u 4...(3.4) Parameter estimasi yang diharapkan d 1,d 2,d 3 > 0 5. Persamaan Total Penerimaan Daerah (TREVD) TREVD = DAPER + PAD + REVLAIN...(3.5) 6. Persamaan Pendapatan Asli Daereah (PAD) PAD = PJK + RETR + PADL... (3.6) 7. Persamaan Kapasitas Fiskal (KAPFIS) KAPFIS = PAD + BHPBP.....(3.7) 8. Persamaan Transfer (TRANSF) DAPER = DAU + DAK + BHPBP... (3.8) Pengeluaran Fiskal Daerah Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran yang digunakan untuk biaya operasional pemerintah di daerah. Besarnya pengeluaran rutin ini dipengaruhi oleh besarnya penerimaan asli daerah, dana perimbangan, serta pengeluaran rutin tahun lalu. Adanya peningkatan yang cukup signifikan antara penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, diduga akan mempengaruhi

67 peningkatan pengeluaran rutin secara signifikan, oleh sebab itu dibangun variabel dummy desentralisasi fiskal. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi di daerah. Pengeluaran pembangunan dalam penelitian ini hanya sektor-sektor yang diduga berpengaruh terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah yaitu pengeluaran sektor pertanian, sektor pendidikan, sektor kesehatan, serta sektor tenaga kerja. Besarnya pengeluaran ini diduga dipengaruhi oleh total penerimaan daerah. Secara normatif pula diduga selalu ada usaha-usaha pemerintah daerah untuk dapat memperoleh pengeluaran pembangunan tahun berjalan tidak lebih kecil dari pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya. Adanya peningkatan yang cukup signifikan antara penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, diduga akan mempengaruhi peningkatan pengeluaran rutin secara signifikan, oleh sebab itu dibangun variabel dummy desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut maka pengeluaran fiskal daerah dijelaskan dalam persamaan-persamaan : 1. Persamaan Pengeluaran Rutin (PR) PR = e 0 + e 1 Pad + e 2 Daper + e 3 Lpr + e4ddf + u 5...(3.9) Parameter estimasi yang diharapkan e 1,e 2, e 3, e 4 > 0 2. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (PPptn) PPptn = f 0 + f 1 Trevd + f 2 LPPptn + f 3 Ddf + u 6..(3.10) Parameter estimasi yang diharapkan f 1,f 2,f 3 > 0 3. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Tenaga Kerja (PPtk) PPtk = g o + g 1 Trevd + g 2 LPPtk + g 3 Ddf + u 7.(3.11) Parameter estimasi yang diharapkan g 1, g 2, g 3 > 0 4. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Kesehatan (PPkes) PPkes = h o + h 1 Trevd + h 2 LPPkes + h 3 Ddf + u 8..(3.12) Parameter estimasi yang diharapkan h 1, h 2, h 3 > 0 5. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan (PPpddk) PPpddk = i o + i 1 Trevd + i 2 LPPpddk + i 3 Ddf + u 9.(3.13) Parameter estimasi yang diharapkan i 1, i 2, i 3 > 0 6. Persamaan Total Pengeluaran Pembangunan (PP) PP = PPptn + PPtk + PPkes + PPpddk + PPlain.(3.14)

68 7. Persamaan Total Pengeluaran (TEXPD) TEXPD = PR + PP......(3.15) Kinerja Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Salah satu variabel makro ekonomi penting yang dijadikan sebagai indikator kinerja pembangunan daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam penelitian ini PDRB dikelompokkan menjadi tiga sektor besar yaitu sektor primer, sektor sekunder, serta sektor tertier. Kinerja PDRB disuatu daerah dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran pemerintah daerah yang bersangkutan, jumlah tenaga kerja masing-masing sektor, serta ekspor-impor. Adanya otonomi daerah, diduga terjadi peningkatan PDRB yang signifikan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal, atas dasar pemahaman tersebut maka ditambah variabel Dummy desentralisasi Selain PDRB, kinerja pembangunan sosial ekonomi daerah juga dapat dilihat dari kemampuan suatu daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Menurut Siregar dan Wahyuniarti (2007), jumlah orang miskin di Indonesia dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital). Indra (2009) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu Indra juga memasukkan variabel kebijakan otonomi daerah yang diasumsikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Besarnya pengeluaran pemerintah diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Disamping itu tingkat pemerataan pendapatan juga diduga berpengaruh terhadap kemiskinan. Berdasarkan tinjauan penelitian sebelumnya maka dibuatlah persamaan perilaku kemiskinan sebagaimana pada persamaan (3.20). Indikator lainnya yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan daerah adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator ini

69 digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia suatu daerah. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Penelitian yang dilakukan Mulyaningsih (2008) mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah disektor publik terhadap kemiskinan dan pembangunan manusia, menyimpulkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan manusia. Sedangkan Makrifah (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Selain itu penyerapan tenaga kerja, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital) juga memiliki pengaruh dalam pembangunan manusia. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dibuatlah persamaan perilaku pembangunan manusia seperti pada persamaan (3.21). Model kinerja pembangunan daerah disajikan dalam persamaan-persamaan sebagai berikut : 1. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Primer (PDRBprim) PDRBprim = j 0 + j 1 Texpd + j 2 TKprim + j 3 XM + j 4 Ddf+ u 10...(3.16) Parameter estimasi yang diharapkan j 1, j 2, j 3, j 4 >0 2. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Sekunder (PDRBsek) PDRBsek = k 0 + k 1 Texpd + k 2 TKsek + k 3 XM + k 4 Ddf+ u 11...(3.17) Parameter estimasi yang diharapkan k 1, k 2, k 3, k 4 >0 3. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tersier (PDRBtert) PDRBprim = l 0 + l 1 Texpd + l 2 TKtert + l 3 XM + l 4 Ddf+ u 12...(3.18) Parameter estimasi yang diharapkan l 1, l 2, l 3, l 4 >0 4. Persamaann Total PDRB PDRB = PDRBprim + PDRBsek + PDRBtert...(3.19) 5. Persamaan Kemiskinan (MIS) MIS = m 0 +m 1 PDRB+m 2 Rls+m 3 Pop+m 4 Texpd+m 5 Gini+m 6 Ddf+u (3.20) Parameter estimasi yang diharapkan m 1,m 2, m 4 <0 ; m 3, m 5 >0 3. Persamaan Pembangunan Manusia (IPM) IPM = n 0 + n 1 TK + n 2 Rls + n 3 Texpd + n 4 DDF + u 14.(3.21) Parameter estimasi yang diharapkan n 1,n 2, n 3,n 4 >0 4. Persamaan Total Tenaga Kerja (TK)

70 TK = TKprim + TKsek + TKtert..(3.22) Tabel 4 Keterangan variabel dalam persamaan model simultan No variabel Keterangan 1 BHPBP Bagi hasil pajak dan bukan pajak 2 DAPER Dana perimbangan 3 DAU Dana alokasi umum 4 DAK Dana alokasi khusus 5 DDF Dummy desentralisasi fiskal 6 GINI Gini rasio 7 IPM Indeks pembangunan manusia 8 KAPFIS Kapasitas fiskal 9 KPDT Kepadatan penduduk 10 LUAS Luas wilayah 11 LDAU Lag DAU 12 LPJK Lag pajak 13 LRETR Lag retribusi 14 LBHPBP Lag bagi hasil pajak bukan pajak 15 LPR Lag pengeluaran rutin 16 LPP Lag pengeluaran pembangunan 17 LPPptn Lag pengeluaran sektor pertanian 18 LPPtk Lag pengeluaran sektor tenaga kerja 19 LPPkes Lag pengeluaran sektor kesehatan 20 LPPpddk Lag pengeluaran sektor pendidikan 21 MIS Jumlah penduduk miskin 22 PDRB Produk domestik regional bruto 23 PDRBprim PDRB sektor primer 24 PDRBsek PDRB sektor sekunder 25 PDRBtert PDRB sektor tertier 26 POP Jumlah penduduk 27 PAD Penerimaan asli daerah 28 PP Pengeluaran pembangunan 29 PPptn Pengeluaran pembangunan sektor pertanian 30 PPtk Pengeluaran pembangunan sektor tenaga kerja 31 PPkes Pengeluaran pembangunan sektor kesehatan 32 PPpddk Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan 33 PPlain Pengeluaran pembangunan sektor lainnya 34 PJK Pajak 35 PR Pengeluaran rutin 36 RETR Retribusi 37 REVLAIN Penerimaan Lainnya 38 RLS Rata-rata Lama Sekolah 39 TK Tenaga kerja 40 TKprim Tenaga kerja sektor primer 41 TKsek Tenaga kerja sektor sekunder 42 TKtert Tenaga kerja sektor tertier 43 TREVD Total Penerimaan Daerah 44 TEXPD Total Pengeluaran Daerah

71 45 XM Ekspor Impor Identifikasi Model Simultan Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Setelah mengetahui kondisi estimasi model, maka akan dapat ditentukan juga model estimasi apa yang digunakan dalam mengestimasi model. Identifikasi persamaan dalam model adalah dengan order condition, secara matematis dirumuskan sebagai berikut : Dimana : (K M) > (G 1) G = Jumlah total persamaan dalam model (Jumlah total variabel endogen) K = Jumlah total variabel dalam model (endogen dan predetermined) M = Jumlah variabel (endogen dan eksogen) dalam persamaan yang diidentifikasi Jika suatu persamaan menunjukkan kondisi (K-M) < (G-1), maka persamaan tidak teridentifikasi (unidentified), apabila persamaan menunjukkan (K-M) = (G-1) maka persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) dan apabila persamaan menunjukkan kondisi (K-M) > (G-1) maka persamaan teridentifikasi berlebihan (over identified). Tiga jenis identifikasi tersebut akan menentukan teknik ekonometrik estimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi model. Berdasarkan status identifikasi terhadap persamaanpersamaan dalam model tersebut maka bila persamaan atau model secara keseluruhan unidentified, maka model tersebut tidak dapat diduga parameternya dengan teknik ekonometrik manapun. Bila persamaan exactly identified maka teknik yang dapat digunakan dalam estimasi model adalah dengan ILS (indirect least square) sedangkan jika over identified maka estimasi parameter dapat dilakukan dengan berbagai teknik ekonometrik seperti 2SLS (two stage least square), 3SLS (three stage least square), LIML (Limited Information Maximum Likelihood), dan FIML (Full information Maximum Likelihood). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified agar dapat menduga parameter-parameternya. Berdasarkan order condition, model terdiri dari 22 persamaan, 22 variabel endogen (G) dan 24 predetermined variable yang terdiri dari 15 variabel eksogen dan 9 lag endogenous variabel. Total variabel dalam model (K) adalah 46

72 variabel, dengan jumlah variabel dalam persamaan (M) terbanyak adalah 7. Hasil identifikasi terhadap persamaan-persamaan dalam model berdasarkan order condition menunjukkan bahwa setiap persamaan struktural dalam model yang digunakan adalah over identified. Dengan model yang over identified maka estimasi model yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah metode 3SLS. Untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan variabel bedakala (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistic d w (Durbin-Watson Statistics) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistic d h (Durbin-h Statistics), sebagai berikut : dw n h = n [( Varβ )] Dimana : d w : Durbin-Watson statistik n : Jumlah observasi Var β : Varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable Apabila h hitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi. Menurut Pindyck dan Rubenfield (1998), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan

73 beberapa kriteria statistik yaitu Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Theil s Inequality Coefficient (U-Theils). Nilai RMSE yang kecil/rendah adalah ukuran yang diinginkan dari ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu variabel endogen terhadap nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan koefisien ketidaksamaan theil digunakan untuk mengevaluasi simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R 2 (koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U Theils, serta makin besar R 2 maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U Theils berkisar antara 0 dan 1, jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. Sebaliknya U = 1, maka pendugaan model naïf Simulasi Model Untuk mengetahui dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia maka dilakukan enam skenario simulasi, yaitu tiga skenario dari sisi penerimaan dan tiga skenario dari sisi pengeluaran. Sisi penerimaan, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada DAU, pajak, serta bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada pengeluaran pembangunan sektor pertanian, sektor kesehatan, serta sektor pendidikan. Mengingat dana alokasi umum, serta bagi hasil pajak bukan pajak bersifat given, maka besarnya nilai simulasi pada sisi penerimaan didasarkan pada rata-rata peningkatannya selama tahun 2001 hingga Besarnya kenaikan pada masing-masing skenario selengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Skenario 1, Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 16%. Peningkatan DAU sebesar 16% didasarkan kepada rata-rata peningkatan DAU selama dilaksanakannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 hingga Skenario 2, Peningkatan pajak sebesar 20%. Sama halnya dengan skenario peningkatan DAU, peningkatan pajak sebesar 20% juga didasarkan pada ratarata peningkatan pajak selama periode desentralisasi fiskal dilaksanakan yaitu dari tahun 2001 hingga 2009.

74 3. Skenario 3, Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar 20%. Selama pelaksanaan desentralisasi terjadi peningkatan BHPBP sebesar %, untuk mempermudah penghitungan maka simulasi kenaikan BHPBP dibulatkan menjadi 20%. 4. Skenario 4, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 50%. Skenario ini didasarkan pada rata-rata peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian pada periode 2001 hingga Skenario 5, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30%. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 50% sebanding dengan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30%. Hal ini dilakukan agar dapat dibandingkan sektor mana yang memiliki dampak paling besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah. 6. Skenario 6, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan sebesar 10%. Agar dapat dibandingkan pengeluaran pembangunan sektor mana yang memberikan dampak terbesar, maka peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan harus sebanding dengan peningkatan pengeluaran sektor pertanian serta sektor kesehatan. Analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah dibagi menurut pulau. Pembagian menjadi 6 pulau yaitu Sumatera, Jawa- Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Pulau Lainnya yang terdiri dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Analisis menurut pulau didasari dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antarwilayah. Pembangunan berbasis kewilayahan merupakan jawaban untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing nasional dengan mengutamakan pengelolaan sumber daya lokal secara lebih efisien dan efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan antarwilayah, serta memperhatikan kaidah pembangunan secara berkelanjutan dan menjaga kesinambungan pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa visi pembangunan nasional adalah terwujudnya Indonesia

75 yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Salah satu misi pembangunan jangka panjang yang terkait dengan pembangunan wilayah adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional (PP No. 5 Tahun 2010). Berdasarkan arah pengembangan wilayah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , maka strategi pengembangan wilayah adalah sebagai berikut : 1. Mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di luar Jawa-Bali dan Sumatera dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa- Bali dan Sumatera. 2. Meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui peningkatan perdagangan antar pulau untuk mendukung perekonomian domestik 3. Meningkatkan daya saing daerah melalui pengembangan sektor-sektor unggulan di tiap wilayah 4. Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan strategis dan cepat tumbuh, kawasan perbatasan, kawasan terdepan, kawasan terluar, dan daerah rawan bencana. 5. Mendorong pengembangan wilayah laut dan sektor-sektor kelautan. Pengembangan wilayah diarahkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan sekaligus mengurangi kesenjangan antarwilayah dengan mendorong percepatan pembangunan Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua dan tetap mempertahankan momentum pembangunan di Jawa-Bali dan Sumatera. Dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di Jawa-Bali akan terus dilakukan. Sementara, untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah ditempuh dengan meningkatkan produksi, investasi, dan perdagangan melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong perluasan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan di luar Jawa- Bali, serta mempercepat pemerataan antarwilayah.

76 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Penerimaan Pemerintah Daerah Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai pemerintahan maupun pembangunan daerah. Penerimaan daerah provinsi/kab/kota selama periode selalu mengalami peningkatan. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan daerah, mendorong peningkatan besaran APBD yang diterima oleh pemerintah daerah. Peningkatan penerimaan daerah ini diharapkan mampu untuk mewujudkan kemandirian daerah, sesuai dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat, karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Penerimaan daerah terdiri dari beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penerimaan lain yang sah. Perkembangan penerimaan pemerintah daerah secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 1996 penerimaan pemerintah daerah sebesar milyar rupiah, kemudian meningkat menjadi milyar pada tahun Selama Sembilan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 hingga 2009 penerimaan daerah tumbuh sebesar %. Peningkatan penerimaan yang besar ini tidak lain adalah disebabkan meningkatnya sumber penerimaan daerah dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP), serta dana alokasi umum (DAU). Bila dilihat menurut komponen atau sumber penerimaan daerah, maka komponen terbesar dari penerimaan daerah adalah dana perimbangan yang berupa DAU, BHPBP, dan DAK yang memiliki kontribusi sebesar 75% dari penerimaan daerah. Sedangkan PAD hanya memberikan kontribusi sekitar 15%. Rendahnya proporsi penerimaan PAD dibandingkan dengan DAU mengindikasikan belum optimalnya pemerintah

77 daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan. Komposisi penerimaan pemerintah daerah selama tahun 1996 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 7. Sumber : BPS, diolah Gambar 7 Penerimaan daerah di Indonesia tahun 1996, 2001 dan 2009 (Milyar). Komposisi penerimaan daerah dari tahun 1996 hingga tahun 2009 tidak banyak mengalami perubahan, secara umum penerimaan pemerintah daerah masih didominasi oleh transfer dari pusat berupa DAU dan BHPBP, sedangkan kontribusi PAD masih dibawah kedua sumber penerimaan tersebut. Walaupun penerimaan PAD meningkat setiap tahunnya, namun jika ditinjau dari kontribusinya terhadap penerimaan daerah, kontribusi PAD masih sangat rendah dibandingkan kontribusi dana perimbangan. Bila dibandingkan dengan sebelum desentralisasi, maka kontribusi PAD terhadap total penerimaan pada masa desentralisasi masih lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah belum optimal dalam meningkatkan PAD. Beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah antara lain adalah (BPS 2000): 1. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada di luar penerimaan pemerintah daerah.

78 2. Tingkat hidup dan ekonomi masyarakat masih rendah, yang tercermin dalam pendapatan perkapita. 3. Kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Tabel 5 Sumber penerimaan daerah dan kontribusinya di Indonesia tahun 1996, 2001 dan Sumber Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Share (%) Share (%) Share (%) (Milyar) (Milyar) (Milyar) PAD BHPBP DAU DAK Lainnya Sumber : Kemenkeu, Diolah Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 komponen PAD terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Penerimaan pajak dan retribusi daerah memberikan kontribusi paling besar terhadap PAD dibandingkan sumber-sumber lainnya, seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Hal ini menunjukkan secara umum pemerintah daerah berusaha meningkatkan penerimaan PAD melalui peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelengaraan otonomi daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Tabel 6 Pendapatan asli daerah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia menurut sumber, tahun 1996, 2001 dan Sumber PAD Penerimaan Share Penerimaan Penerimaan Share (%) (Milyar) (%) (Milyar) (Milyar) Share (%) Pajak Retribusi Laba Daerah Lain PAD sah Sumber : Kemenkeu, Diolah

79 4.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melakukan pembangunan daerah, untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan tersebut tercermin pada alokasi belanjanya, yang terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Secara umum, total belanja daerah dari tahun 1996 hingga tahun 2009 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Belanja rutin mempunyai pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya sebesar 35.05%, sedangkan belanja pembangunan rata-rata tumbuh sebesar 27.70%. Menarik untuk diperhatikan adalah secara proporsional ternyata pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar diperuntukkan bagi pengeluaran rutin dimana nilainya hampir mencapai 65%, bahkan proporsinya terus bertambah seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1996 proporsinya sekitar 59.74%, kemudian meningkat menjadi 67.78% pada saat awal dilaksanakannya desentralisasi yaitu tahun 2001 dan meningkat kembali menjadi 73.33% pada tahun Sebaliknya terjadi untuk pengeluaran pembangunan yang menurun dari 40.26% pada tahun 1996 menjadi 26.67% pada tahun Tabel 7 Belanja daerah di Indonesia dirinci menurut jenis belanja tahun 1996, 2001dan 2009 (milyar rupiah) Jenis Belanja Total Belanja Share (%) Total Belanja Share (%) Total Belanja Share (%) Belanja Rutin Belanja Pembangunan Total Sumber : Kemenkeu, diolah Besarnya total belanja tidak terlepas dari bagaimana kondisi belanja masingmasing daerah. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan dari masing-

80 masing daerah, mengakibatkan prioritas pembangunan dari masing-masing daerah juga berbeda. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing daerah, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Sumber : Kemenkeu, diolah. Gambar 8 Belanja daerah di Indonesia menurut jenis belanja tahun Apabila distribusi belanja rutin dan pembangunan ini ditinjau per pulau terlihat sedikit perbedaan pola distribusi. Hal ini tentu dipengaruhi oleh perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan dari masing-masing daerah dalam mengalokasikan belanja daerahnya. Distribusi belanja daerah ditinjau per pulau, yang dibagi ke dalam Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan Bali, Pulau Sulawesi dan Lainnya (Maluku, Pulau Irian Jaya, NTB, dan NTT) dapat dilihat selengkapnya dalam Tabel 8. Tabel 8 Distribusi belanja daerah di Indonesia menurut pulau tahun 1996, 2001 dan 2009 (%) Pulau Belanja Rutin Belanja Pembangunan Belanja Rutin Belanja Pembangunan Belanja Rutin Belanja Pembangunan Sumatera Jawa + Bali Kalimantan Sulawesi Lainnya Sumber : Kemenkeu, diolah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN OLEH ACHMAD SOBARI H

ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN OLEH ACHMAD SOBARI H ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2000-2008 OLEH ACHMAD SOBARI H14094015 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ACHMAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi global senantiasa berdampak terhadap negara-negara yang sedang berkembang, selain mendorong perkembangan ekonomi lokal dampak lain adalah terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan absolut (absolute poverty) merupakan salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi sebagian besar pemerintahan di dunia. Data World Bank pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud dari amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah berlaku secara efektif sejak awal Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya

I. PENDAHULUAN. Provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah sejak lama sistem pemerintahan di Indonesia diwacanakan untuk menganut sistem pemerintahan Otonomi Daerah, bahkan sejak tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap pelayanan prima dari pemerintah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat semakin besar sejak era

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci