DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA"

Transkripsi

1 DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se- Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2010 Neli Agustina NRP H

3

4 ABSTRACT NELI AGUSTINA. Fiscal Decentralization, Tax Effort, and Economic Growth: An Empirical Study on Districts and Municipalities in Indonesia Under the supervision of D.S. PRIYARSONO and BUDIASIH. Indonesia has implemented a new policy of regional autonomy and fiscal decentralization for more than ten years. One of the objectives of this fiscal decentralization is to give the full autonomy to local governments in spending and managing their revenues. The local governments have the authority to explore and collect their own-source revenue (pendapatan asli daerah, or PAD), i.e. through the improvement of their tax effort. The objectives of this study are (1) to describe the fiscal performance of districts and municipalities in Indonesia both in the revenue as well as the expenditure sides, (2) to analyze the effects of intergovernmental transfers (dana perimbangan, or balancing fund from the central to regional governments) on regional tax efforts, and (3) to identify the regional economic growth elasticity of intergovernmental transfers and ownsource revenue. This study employs a panel data set of 336 districts and municipalities covering the whole area of Indonesia over the time period of The results show a relatively low contribution of PAD to regional revenues, indicating high fiscal dependency of regional governments on the central government. Intergovernmental transfers positively effect tax efforts. The result of the elasticity analysis also indicates a positive role of the transfers as stimuli to economic growth. Keywords: Regional Autonomy, Fiscal Decentralization, Own-source Revenue, Intergovernmental Transfers,Tax Effort.

5

6 RINGKASAN NELI AGUSTINA. Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO dan BUDIASIH. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak akan tercapai dengan optimal tanpa disertai dengan kemampuan finansial yang cukup memadai dari pemerintah daerah, yang ditunjukkan dengan struktur PAD (pendapatan asli daerah) yang kuat. Daerah menjadi lebih mandiri yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Namun, adanya perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut. Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah diantaranya dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang terdiri dari (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan (3) Dana Bagi Hasil (DBH). Selain itu transfer diberikan dengan tujuan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik di setiap daerah. Transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Muncul perbedaan sudut pandang dalam menyikapi masalah dana perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Namun di sisi yang lain, dana perimbangan yang terlalu besar, akan menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus bagi daerah dalam peningkatan kemandiriannya, justru direspon berbeda oleh daerah. Adi dan Wulan (2008), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada kecenderungan daerah untuk mempertahankan penerimaan dana perimbangan (DAU) tanpa mengupayakan

7 peningkatan pendapatannya sendiri, sehingga tidak terlihat adanya peningkatan kemandirian daerah. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka perlu diketahui ada tidaknya dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Indonesia ditinjau dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran; (2) menganalisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan (3) mengidentifikasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan. Analisis perkembangan kinerja keuangan daerah dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, yang akan disajikan dengan bantuan diagram boxplot dan tabel. Kinerja keuangan daerah dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu sisi penerimaan (fiscal availability) dan sisi pengeluaran (fiscal needs). Analisis regresi berganda dengan data panel digunakan untuk mengestimasi pengaruh pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan komponen sumber pembiayaan daerah (PAD, DBH, DAU dan DAK). Hasil analisis kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa perkembangan kinerja keuangan daerah dari kabupaten/kota di Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah belum mampu meningkatkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Penyebaran kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah semakin konvergen rata-rata di bawah 10%. Ini menunjukkan, derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota semakin mengumpul persebarannya, namun nilainya masih rendah rata-rata di bawah 10%. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan daerah, sehingga tingkat kemandirian daerah masih rendah, yang artinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin besar. Selaras dengan hasil penelitian Adi (2007) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah pelaksanaan otonomi daerah. Jika dilihat dari sisi pengeluaran, kinerja keuangan kabupaten/kota pada umumnya mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin (rata-rata di atas 60%) daripada belanja pembangunan (rata-rata di bawah 40%), artinya sebagian besar anggaran masih digunakan untuk belanja rutin. Kabupaten/kota pada umumnya belum mampu membiayai semua kebutuhan belanja daerahnya hanya bersumber dari penerimaan PAD, bahkan hanya beberapa daerah saja yang cukup mampu membiayai kebutuhan belanja daerahnya dari PAD dan BHPBP. Kebutuhan belanja daerah untuk kabupaten/kota secara umum masih banyak bersumber dari penerimaan transfer pusat. Hal ini menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Hal ini disebabkan karena daerah belum mampu menggali dan memanfaatkan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di derahnya dengan optimal, sehingga ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan memberikan pengaruh positif terhadap tax effort daerah. Dana perimbangan dalam bentuk DAU mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan tax effort daerah

8 dibandingkan dengan komponen dana perimbangan lainnya, DBH maupun DAK. Transfer pemerintah pusat efektif diberikan sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Hasil penelitian ini mendukung temuan Stine (1994), yang menunjukkan bahwa penurunan transfer akan mengakibatkan penurunan penerimaan daerah sendiri selain menurunkan pengeluaran daerah. Hal ini disebabkan turunnya penerimaan pajak karena publik merespon negatif terhadap peningkatan harga-harga pelayanan publik. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD, DBH, DAU dan DAK bernilai positif. Hal tersebut juga menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer pusat masih tinggi, terutama dalam bentuk DAU untuk membiayai pembangunan ekonomi daerah. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain : (1) mendorong peningkatan PAD dengan melihat kondisi dan potensi daerah masingmasing namun tetap memperhatikan dampaknya terhadap daya tarik investasi pada daerah yang bersangkutan, (2) pemberian dana perimbangan efektif diberikan sebagai stimulus bagi daerah untuk meningkatkan penerimaan PAD melalui peningkatan tax effort daerahnya. Perlu adanya pengawasan dari pemerintah atasannya dan masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana perimbangan sesuai dengan fungsinya sebagai stimulus bagi peningkatan penerimaan PAD dan (3) kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah pengaruh cara pengalokasian dana transfer dari pusat untuk pengeluaran pembangunan daerah yang dialokasikan keberbagai sektor dalam APBD terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Kata Kunci: Desentralisasi fiskal, PAD, dana perimbangan, tax effort, pertumbuhan ekonomi

9

10 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

11

12 DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

13

14 Judul Tesis : Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia Nama : Neli Agustina NRP : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing D.S. Priyarsono, Ph. D. Ketua Dr. Budiasih Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 13 Maret 2010 Tanggal Lulus :

15

16 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

17

18 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se- Indonesia , dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada D.S. Priyarsono, Ph. D. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Budiasih selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. dan Dr. Lukytawati Anggraeni. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, Maret 2010 Neli Agustina

19

20 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 9 Agustus 1976 dari Bapak H. Dudung Abdulhari dan Ibu Hj. Esah Kurnaesah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Kalapa Gunung I Kuningan kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Kuningan pada tahun 1988 dan lulus pada tahun Setelah lulus dari SMPN 1 Kuningan penulis melanjutkan ke SMAN 2 Kuningan. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil jurusan matematika dan lulus tahun Setelah lulus penulis bekerja di BPS, tepatnya sebagai salah satu staf pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Pada tahun 2008 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.

21

22 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xv xvi xviii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kajian Teori Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan Pengelolaan Keuangan Daerah Teori Pajak Tax Effort Model Leviathan Pertumbuhan Ekonomi Kurva Scully Teori Peacock dan Wiseman Penelitian Empirik Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Identifikasi Variabel Metode Analisis Analisis Boxplot Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sisi Penerimaan (Fiscal Availibility) Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs) Analisis Regresi Berganda dengan Data Panel Spesifikasi Model dalam Penelitian xiii

23 4 GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN PENERIMAAN DAERAH HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Indonesia Kinerja Keuangan Daerah ditinjau dari Sisi Penerimaan Kinerja Keuangan Daerah ditinjau dari Sisi Pengeluaran Derajat Kemandirian Daerah Analisis Regresi dengan Data Panel Dampak Pemberian Dana Perimbangan terhadap Tax Effort Daerah Elastisitas Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap PAD dan Dana Perimbangan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

24 DAFTAR TABEL Halaman 1. Proporsi pajak, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan penerimaan lainnya terhadap PAD Proporsi pembagian dana bagi hasil pajak dan bukan pajak Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan Nama dan keterangan variabel yang digunakan dalam penelitian Metode analisis yang digunakan dalam penelitian Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF) Skala interval indeks kemampuan rutin daerah (IKRD) Sumber penerimaan daerah kabupaten/kota dan sharenya tahun 2002 dan 2008 (milyar rupiah) Total belanja kabupaten/kota dan pertumbuhannya menurut jenis belanja tahun 2002 dan 2008 berdasarkan harga berlaku dalam milyar rupiah) Uji Hausman Hasil estimasi pengujian hipotesis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Uji Hausman Hasil estimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah terhadap PAD dan dana perimbangan xv

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. PAD kabupaten/kota periode Kurva Laffer, hubungan antara tarif pajak proposional atas basis pajak tertentu Hubungan stok kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut Teori Solow Kurva Scully, Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB menurut Teori Scully Diagram alur kerangka pemikiran Diagram boxplot Sumber penerimaan daerah periode PAD menurut sumber periode Dana perimbangan menurut sumber periode Kontribusi sumber penerimaan daerah terhadap total pengeluaran daerah periode Belanja daerah menurut jenis belanja periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode periode Jumlah kabupaten/kota menurut derajat kemandirian daerah berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Indonesia periode Derajat ketergantungan daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat periode Derajat belanja rutin kabupaten/kota untuk periode Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota untuk periode Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode xvi

26 19. Jumlah kabupaten/kota menurut derajat kemandirian daerah berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap total belanja daerah periode Derajat Kemandirian daerah ditinjau dari PAD dan BHPBP terhadap total belanja daerah periode xvii

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kontribusi komponen sumber-sumber penerimaan daerah terhadap total penerimaan daerah periode Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Sumatera periode Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Jawa dan Bali periode Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Kalimantan periode Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Sulawesi dan Maluku periode Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Irian, NTB dan NTT periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Sumatera periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Jawa dan Bali periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Kalimantan periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Sulawesi dan Maluku periode Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Irian, NTB dan NTT periode Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Pulau Sumatera periode Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali periode Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Pulau Kalimantan periode xviii

28 15. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku periode Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Pulau Irian, NTB dan NTT periode Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di Pulau Sumatera periode Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di Pulau Jawa dan Bali periode Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di Pulau Kalimantan periode Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di Pulau Sulawesi dan Maluku periode Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di Pulau Irian, NTB dan NTT periode Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Sumatera ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali ditinjau dari Rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Kalimantan ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Iria, NTB dan NTT ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode Hasil pengujian Hausman test untuk mengestimasi dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengestimasi dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Hasil pengujian dengan metode random effect untuk mengestimasi dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah xix

29 30. Hausman test untuk mengestimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengestimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan perimbangan Hasil pengujian dengan metode random effect untuk mengestimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort kabupaten/kota di Pulau Sumatera Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort kabupaten/kota di Pulau Kalimantan Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort kabupaten/kota di Pulau Irian, NTB dan NTT Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat Perubahan PAD dan dana perimbangan kabupaten / kota di Pulau Sumatera Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat Perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan kabupaten/kota di Pulau Kalimantan Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau Irian, NTB dan NTT xx

30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berubah dari sistem pemerintahan yang sentralistik, menjadi bersifat desentralistik (Seymour dan Turner 2002). Pada era sentralistik, pembangunan di daerah bersifat central oriented, akibatnya terjadi ketimpangan vertikal (pusat-daerah) dan horisontal (antardaerah), yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal, yakni ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Suparmoko 2000). Dengan kata lain, kontrol ekonomi dan politik pembangunan daerah sedikit sekali dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini mendorong munculnya tuntutan daerah dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi yang semakin luas dan nyata, yang menjurus kepada ancaman terjadinya disintegrasi bangsa. Salah satu bentuk tuntutan reformasi tersebut adalah pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Selain itu, perimbangan keuangan yang lebih adil, proposional dan transparan antartingkat pemerintahan menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Respon pemerintah transisi dan DPR pada saat itu adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Turner 2001). Lahirnya kedua undang-undang tersebut menunjukkan pentingnya sistem pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi. Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut resmi dimulai pada 1 Januari Kedua undang-undang tersebut dalam perjalanannya diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

31 2 dan Pemerintah Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua undang-undang tersebut dilakukan dengan harapan daerah menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan. Pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada asas desentralisasi, semua bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. Pemberian otonomi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal merupakan suatu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih 2003). Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah adanya kewenangan pemerintah daerah semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Pemerintah daerah seyogyanya lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal,

32 3 melakukan alokasi lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal akan lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi 2005). Selaras dengan yang dikemukakan oleh Halim (2001), bahwa ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: 1. Daerah memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah. 2. Ketergantungan kepada bantuan pusat seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan kata lain, di era otonomi diharapkan peran pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pembangunan daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber keuangan daerahnya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Kemampuan daerah dalam menggali dan meningkatkan PAD dapat diukur melalui tax effort daerah. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan adanya struktur PAD yang kuat, PAD diharapkan dapat menjadi sumber utama pembiayaan di daerah (Halim 2001). Kemandirian daerah menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah). Hasil penelitian Nanga (2005) menunjukkan adanya perbedaan kesiapan daerah dalam memasuki era otonomi daerah. Adi (2006), menunjukkan 2

33 4 penyebab terjadinya perbedaan kesiapan daerah, yaitu adanya perbedaan kapasitas fiskal daerah dan adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun dana. Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Dana perimbangan tersebut terdiri dari (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan (3) Dana Bagi Hasil (DBH). Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Pemberian dana perimbangan ini melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Undang-Undang Nomor 33/2004), sehingga dapat dijamin tercapainya standar pelayanan minimum publik di seluruh negeri. Dana perimbangan tersebut hanya bersifat sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Muncul perbedaan sudut pandang dalam menyikapi masalah dana perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Namun di sisi yang lain, dana perimbangan yang terlalu besar, akan menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus bagi daerah dalam peningkatan kemandiriannya, justru direspon berbeda oleh daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi kesenjangan horisontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskalnya. Semua dana APBD, baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan akan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan daerah, yang selanjutnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.

34 5 1.2 Perumusan masalah Dalam menjamin tercapainya tujuan diselenggarakannya otonomi daerah, diperlukan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri, yakni dengan upaya peningkatan PAD, baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru, sesuai dengan ketentuan yang ada serta tetap memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Daerah diberi kewenangan untuk memungut dan menggunakan sendiri sumber-sumber penerimaannya sesuai dengan potensi dan kondisi masing-masing daerahnya. Selama pelaksanaan otonomi daerah terjadi peningkatan penerimaan PAD kabupaten/kota, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Penerimaan PAD kabupaten/kota selama periode tahun 2001 sampai 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kemandirian daerah, yang diindikasikan dengan meningkatnya PAD. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan struktur PAD yang kuat, dengan kata lain, PAD diharapkan dapat menjadi sumber utama pembiayaan daerah. Milyar Rupiah Sumber : BPS, diolah Gambar 1 PAD kabupaten/kota periode Pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya. Pelaksanaan otonomi daerah direspon secara agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan

35 6 peraturan daerah (perda) terkait dengan pajak maupun retribusi daerah. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Lutfi (2002) dan Lewis (2003) yang menunjukkan adanya pertambahan peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi yang signifikan selama pelaksanaan otonomi daerah. Pajak dan retribusi daerah memberikan kontribusi paling besar terhadap PAD dibandingkan komponen PAD lainnya. Rata-rata besarnya kontribusi pajak daerah dan komponen PAD lainnya terhadap PAD, dapat dilihat pada Tabel 1. Kewenangan daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 34/2000 yang kemudian ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65/2001 tentang Pajak daerah, dan PP Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah. Tabel 1 Proporsi pajak, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan penerimaan lainnya terhadap PAD (%) Tahun Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan Lain-lain Total PAD Sumber : BPS, diolah Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya kesenjangan fiskal antar daerah. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan diberikan kepada pemerintah daerah, selain untuk mengurangi kesenjangan horisontal tersebut juga ditujukan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik. Pemberian dana perimbangan ini hanya bersifat stimulus atau pendukung bagi daerah untuk menggali potensi lokal yang dimilikinya untuk meningkatkan PAD. Namun pada kenyataannya, pemberian dana perimbangan yang bersifat hibah membuat pemerintah daerah berusaha mendapatkan alokasi dana perimbangan tetap bahkan lebih tinggi untuk periode berikutnya. Perkembangan

36 7 alokasi transfer fiskal dari tahun 2001 sampai 2008 ditinjau dari kontribusinya terhadap PDB terus meningkat, dari 4.8% pada tahun 2001 (Rp81.1 triliun) menjadi 6.4% pada tahun 2007 (Rp253.3 triliun), dan pada tahun 2008 menjadi 6.3% (Rp293.6 triliun), rata-rata kenaikan alokasi dana perimbangan tumbuh sebesar 20.2% per tahun. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan otonomi daerah, yakni mewujudkan kemandirian daerah dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Masih lemahnya kondisi kemandirian daerah tersebut diperkuat oleh gambaran perkembangan kontribusi PAD terhadap total pendapatan APBD kabupaten/kota yang relatif masih rendah. Pada tahun 2005 proporsinya mencapai 17.4%, sementara dari tahun proporsinya turun dan cenderung konstan sekitar 15.6%. Landiyanto (2005) menunjukkan bahwa ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih tinggi, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan PAD. Penelitian yang dilakukan Martin dan Pablo (2004) di Argentina, menunjukkan adanya indikasi kekurangseriusan daerah dalam mengoptimalkan potensi penerimaannya, pemerintah daerah lebih mengandalkan penerimaan dana perimbangan daripada meningkatkan PAD melalui optimalisasi penerimaan pajak daerah. Pemberian dana perimbangan yang awalnya bertujuan untuk mengurangi disparitas horisontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah dalam mengupayakan peningkatan kapasitas fiskalnya. Hasil penelitian Adi dan Wulan (2008) juga mengkonfirmasikan hal yang sama. Penelitian yang dilakukan keduanya menunjukkan bahwa daerah masih mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan penerimaan dana perimbangan (DAU) tanpa mengupayakan peningkatan pendapatannya sendiri, sehingga tidak terlihat adanya peningkatan kemandirian daerah. Rajaraman dan Vasishtha (2000) melakukan penelitian di negara Kerala, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian DAU justru berdampak negatif terhadap peningkatan tax effort daerah. Penelitian Stine (1994) yang dilakukan di beberapa wilayah di Pennsylvania, menemukan hal yang berbeda, ketika terjadi penurunan transfer yang mengalami penurunan tidak hanya pengeluaran lokal, tetapi penerimaan daerah sendiri (own revenue) juga mengalami penurunan. Stine mengemukakan bahwa penurunan transfer menyebabkan turunnya dukungan pembiayaan kegiatan yang ditujukan

37 8 untuk peningkatan pajak, yang pada akhirnya akan menurunkan penerimaan daerah sendiri. Penelitian ini secara umum dimaksudkan untuk mengkaji apakah pelaksanaan otonomi daerah sudah berjalan dengan efektif, dengan kata lain sudah memenuhi salah satu tujuan otonomi daerah, yaitu mencapai kemandirian fiskal daerah, khususnya ditinjau dari sisi keuangan daerah. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan daerah kabupaten/kota periode ? 2. Bagaimana dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah? 3. Bagaimana elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Mengkaji kinerja keuangan daerah periode tahun Menganalisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap peningkatan tax effort daerah. 3. Menganalisis elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan. 1.4 Manfaat Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan kemampuan keuangan daerah yang berbasis pada potensi lokal, sehingga dapat mewujudkan kemandirian daerah. Sasaran dari otonomi daerah sendiri adalah: 1. Terwujudnya kemandirian daerah yang berbasis potensi lokal. 2. Meningkatnya kemampuan keuangan daerah. 3. Meningkatnya kinerja yang sinergis diantara unsur-unsur penentu kebijakan Pemerintah daerah diharapkan tidak banyak tergantung pada pemerintah pusat, tetapi lebih bertumpu pada kemampuan keuangan daerahnya sendiri, dalam

38 9 hal ini PAD menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bermanfaat bagi pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah dalam membuat kebijakan serta menentukan arah dan strategi pembangunan, sehingga dapat tercapai kemandirian daerah.

39 10 Halaman ini sengaja dikosongkan.

40 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah Istilah otonomi daerah diartikan sebagai wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik dan pengaturan perimbangan keuangan. Menurut Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan antara pusat dan daerah menurut Undang- Undang Nomor 34/2004 dinyatakan dalam tiga prinsip, yaitu: a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah. c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan yang luas adalah kewenangan daerah yang lebih luas dalam menyelengarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain yang diatur dalam peraturan pemerintahan. Otonomi yang nyata adalah keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di bidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan, berkembang di daerah. Otonomi yang bertanggung jawab berupa perwujudan pertanggungjawaban daerah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan yang demokratis, keadilan, pemerataan, adanya

41 12 hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird 2000). Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 8, mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Hal ini sesuai dengan fungsi pemerintah, yang mempunyai tiga fungsi utama yaitu distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz 2000). Fungsi distribusi, pemerintah berperan dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam pengaturan distribusi pendapatan. Fungsi alokasi, pemerintah berperan mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu menyediakan barang yang tidak bisa

42 13 disediakan oleh pasar. Fungsi stabilisasi, pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, menciptakan kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) mengurangi peran dan tanggung jawab di antara pemerintah pada semua tingkat, (2) memperhitungkan bantuan atau transfer antarpemerintah, (3) memperkuat sistem penerimaan daerah atau merumuskan penyediaan jasa-jasa lokal, (4) memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi fungsi redistribusi. Oleh karena itu, keberhasilan desentralisasi fiskal dapat dinilai dari sejauh mana fungsi-fungsi di atas telah terlaksana. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan pelaksanaan. 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. 3. Stabilitas politik yang kondusif. 4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusan-keputusan tersebut. 5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah 6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Implikasi pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya penyerahan atau pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah, yang membawa konsekuensi pada pelimpahan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut atau dikenal dengan perimbangan keuangan antara

43 14 pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah distribusi sumber daya keuangan (financial sharing) yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antardaerah dalam kemampuan membiayai otonominya dan untuk menciptakan sistem pembayaran yang adil, proporsional, rasional serta kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Tujuan pokok pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25/1999, adalah: 1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah. 2. Menciptakan sistem pembayaran daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti. 3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. 4. Mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan secara transparan dan memperhatikan partisipasi masyarakat. 5. Menjadi acuan dalam pengalokasian penerimaan negara bagi daerah. 6. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah. 7. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: (1) PAD, (2) transfer dari pemerintah pusat atau dana perimbangan, (3) pinjaman daerah, dan (4) penerimaan lain-lain yang sah. Kewenangan daerah dalam bidang penerimaan yang berasal dari PAD, dalam rangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan asas desentralisasi. Dalam hal ini, pemerintah pusat tidak berwenang ikut campur, baik dalam penetapan besarnya pungutan, tarif dan tata cara perhitungan pajak, maupun sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang berlaku Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan asli daerah (PAD) didefinisikan sebagai sumber penerimaan yang penguasaan dan pengelolaannya diserahkan oleh negara kepada daerah otonom. Penguasaan dan pengelolaan komponen-komponen penerimaan PAD tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. PAD merupakan sumber keuangan

44 15 daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang dapat dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, yang sekaligus juga dapat mencerminkan efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 komponen-komponen penerimaan PAD terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seyogyanya cukup signifikan besarnya, apalagi dalam era otonomi daerah. Daerah dituntut lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tetap dalam koridor perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan unsur utama dari PAD. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 34/2000 yang ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan tersebut diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan PADnya, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan Undang-Undang dan PP tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 pajak dan 28 jenis retribusi. Selain itu, daerah juga diberi kewenangan untuk memungut jenis pajak dan retribusi lainnya sesuai kriteriakriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mendefinisikan pajak daerah sebagai iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan wilayahnya pendapatan pajak daerah dibagi menjadi dua yaitu pendapatan pajak yang berasal dari provinsi dan pendapatan pajak yang berasal dari kabupaten/kota. Rinciannya dapat dijelaskan sebagai berikut sebagai berikut:

45 16 1. Pajak Propinsi Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat provinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini adalah : a. Pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan di atas air. b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Jenis pajak propinsi bersifat limitatif, yang berarti propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undangundang. Pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh propinsi terkait dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Besarnya tarif pajak propinsi berlaku definitif, yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP Nomor 65/ Pajak Kabupaten Pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat II yakni pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak kabupaten/kota adalah: a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame e. Pajak penerangan jalan f. Pajak pengambilan bahan galian C g. Pajak parkir Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 34/2000. Kabupaten/kota dapat menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik,

46 17 dengan tetap memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Kriteria yang dimaksud disini adalah: 1. Bersifat pajak dan bukan retribusi daerah. 2. Objek pajak terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan, dan mempunyai mobilitas yang rendah. 3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak pusat. 5. Potensinya memadai. 6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. 7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. 8. Menjaga kelestarian lingkungan. Besarnya tarif untuk pajak kabupaten/kota berlaku definitif, ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut. Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta PP Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya mutu pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah terhadap masyarakatnya, maka kecenderungan perolehan dana retribusi akan semakin besar. Objek atau jenis retribusi daerah menurut Undang-Undang Nomor 34/2000 serta prinsip atau kriteria penentuan tarifnya adalah sebagai berikut: 1) Retribusi jasa umum dengan kriteria penentuan tarif kebijakan daerah yang bersangkutan, besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Retribusi yang termasuk dalam jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan parkir, pelayanan pasar, penggantian cetak akte.

47 18 2) Retribusi jasa usaha dengan kriteria penentuan tarifnya, yaitu tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Retribusi jasa usaha antara lain jasa usaha terminal, jasa usaha tempat rekreasi. 3) Retribusi perizinan tertentu dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan untuk menutup sebagian/seluruhnya biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Termasuk dalam retribusi perizinan tertentu antara lain retribusi izin trayek, izin gangguan. Dalam rangka pengawasan, perda-perda tentang pajak dan retribusi daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat. Perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri dengan pertimbangan menteri keuangan dapat membatalkan perda tersebut Dana Perimbangan Konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah adalah dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangan daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada daerah dalam bentuk transfer. Transfer pemerintah pusat didefinisikan sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang berperan penting dalam menentukan tingkat disparitas sosial sehingga dalam jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian negara. Sebelum masa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan, secara umum terdapat tiga jenis transfer pemerintah pusat kepada daerah. Transfer tersebut diwujudkan dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO), bantuan Inpres dan Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah, sebagian kecil lainnya untuk keperluan selain subsidi untuk

48 19 pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikategorikan sebagai transfer pusat yang bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara, daftar isian proyek (DIP) merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikategorikan sebagai bantuan antartingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah. Setelah berlaku otonomi daerah dan diberlakukannya desentralisasi fiskal ketiga transfer di atas dihilangkan, sebagai gantinya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk memperkecil kesenjangan kapasitas fiskal antardaerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana perimbangan didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Apabila APBN besar, maka dana yang dialokasikan ke daerah juga akan besar, dan sebaliknya. Perolehan dana perimbangan ini tidak memerlukan usulan dari pemerintah daerah, karena sudah ada formula yang pasti dengan dasar undang-undang, berapa besar alokasi yang akan diterima suatu daerah. Begitu juga dengan pengelolaannya sepenuhnya menjadi urusan daerah dalam APBD. Alasan perlunya transfer dana dari pusat ke daerah adalah: 1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal Pemerintah pusat menguasai sebagian besar penerimaan-penerimaan (pajak) utama, pemerintah daerah hanya berwenang memungut pajak-pajak yang

49 20 berbasis lokal, mobilitas rendah dengan besaran penerimaan yang relatif signifikan. 2. Untuk mengatasi ketimpangan fiskal horisontal. Kemampuan daerah dalam menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung pada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah, yang semuanya berimplikasi pada besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum di setiap daerah. Peran distribusi sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan pemerintah pusat. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan publik minimum. 4. Mengatasi permasalahan yang timbul akibat menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects). Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah mempunyai efek menyebar ke wilayah-wilayah lainya, manfaatnya tidak dapat dibatasi hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Seperti jalan penghubung antar daerah, tanpa adanya imbalan dari pembuatan jalan tersebut pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi di sini, maka pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif agar pelayanan publik tetap dapat terpenuhi di daerah. 5. Stabilisasi. Transfer dilakukan oleh pemerintah jika perekonomian lesu, maka untuk mencapai stabilisasi diberikan transfer. Dana perimbangan dari pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DBH mempunyai sifat bantuan umum (block grant) dan DAK mempunyai sifat bantuan khusus (specific grant). Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan ke daerah, di mana besarnya sesuai dengan kontribusi daerah

50 21 terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Tujuan Penganggaran DBH adalah untuk menjaga keadilan atau keseimbangan vertikal atas kontribusi yang telah disumbangkan daerah kepada Negara, daerah akan memperoleh bagian yang sesuai dengan besarnya kontribusi terhadap penerimaan negara. Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerahdaerah yang memiliki sumber sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Secara garis besar DBH dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) DBH yang bersumber dari perpajakan, dan (2) DBH yang bersumber dari SDA. Penerimaan Dana Bagi Hasil ditentukan pemerintah pusat dalam Undang-Undang Nomor 33/2004, dimana proporsi pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Proporsi Pembagian Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Jenis Proporsi Pembagian (%) Pusat Daerah Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Pajak Penghasilan (PPh) Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPP) Dana Reboisasi Pertambangan umum Pertambangan minyak bumi Pertambangan gas bumi Pertambangan panas bumi Perikanan Sumber: Undang-Undang No.33/2004

51 22 Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant), untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan, DAU ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri (PDN) yang ditetapkan dalam APBN. Besarnya DAU yang akan dibagikan kepada semua provinsi adalah 10% dari total DAU, sementara untuk semua kabupaten/kota dibagikan sebesar 90% dari total DAU. Kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan, kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Formula DAU yang digunakan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah pendekatan konsep alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah, dan alokasi dasar (AD) berupa jumlah gaji pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Besaran alokasi dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)....(2.1) keterangan: AD = Gaji PNS Daerah CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan daerah untuk menjalankan fungsi pelayanan dasar publik, terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk,

52 23 luas wilayah (mulai 2007 termasuk wilayah laut), indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerahdaerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. DAU dikategorikan sebagai transfer tak bersyarat (unconditional grant), sehingga penggunaan DAU dan penerimaan umum lainnya dalam APBD ditetapkan oleh daerah, dengan tetap berada dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Salah satu tolok ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya. Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, khususnya untuk mendukung kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pemberian DAK diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan daerah. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: 1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. Misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran drainase primer. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain proyek yang dibiayai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyekproyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Konsep DAK mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil dan

53 24 60% untuk pemerintah pusat. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Namun sejak diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana reboisasi dikelompokkan menjadi dana bagi hasil. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi dana khusus yang dianggarkan dalam APBD Pengelolaan Keuangan Daerah Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi perubahan dalam prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim 2007). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik. Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari: 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari

54 25 suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, menurut Mulyana (2006) sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. APBD adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah, yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode (satu tahun). Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 3 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Pada tahun menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) Awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Secara struktural, penerimaan daerah meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan belanja daerah dibagi menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan (Mulyana 2006).

55 26 Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan Jenis Makuda 1981 Kepmendagri No. 29/2002 Permendagri No. 13/2006 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Staff Aparatur-Adm umum Pengeluaran Staff Belanja Tidak langsung Pengeluaran Staff Rutin Rutin Pembayaran Hutang dan Bunga Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya Publik-Adm umum Pengeluaran Staff Rutin Pensiun dan santunan Rutin Subsisi/Bantuan Dana bagi Hasil Rutin Rutin Belanja pembangunan Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Pengeluaran tak terduga Barang dan Jasa Operasional Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas Aparaturoperasional dan Perawatan Publik- Operasonal dan perawatan Aparatur- Operasional dan Perawatan Bantuan keuangan Pengeluara tak terduga Pengeluaran Staf Pengeluaran staf Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan Lain-lain Belanja Langsung Pembayaran Hutang Subsidi Hibah Bantuan Sosial Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Bantuan keuangan untuk pemerintah daerah atau desa Pengeluaran tak terduga Belanja Barang dan Jasa Belanja pembangunan Belanja Pembangunan Sumber : Mulyana, 2006 Publik- Operasional dan Perawatan Aparatur Publik Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan Perawatan Lain-lain Belanja modal Belanja Modal Belanja modal

56 27 Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format yang berbasis MAKUDA 1981 (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002. Perundangan Kemendagri Nomor 29/2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran (Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002). Perbedaan disebabkan karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana 2006).

57 28 Sementara belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi merupakan satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Pengelompokan belanja berdasarkan fungsinya misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Pengelompokan jenis belanja terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana 2006). Kepmendagri Nomor 29/2002 selanjutnya direvisi kembali dengan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri Nomor 29/2002. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri Nomor 13/2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal Teori Pajak Pemerintah memerlukan biaya operasional dalam penyelenggaraan

58 29 pemerintahan maupun pembangunan daerah. Penghasilan pemerintah dalam rangka membiayai pengeluaran tersebut diperoleh melalui pungutan pajak dari masyarakat, atau dari hasil kekayaan alam yang terdapat di daerah tersebut. Penerimaan dari sektor pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan kembali kepada masyarakat melalui pengeluaran rutin dan kegiatan pembangunan berupa penyediaan fasilitas publik yang secara tidak langsung akan menunjang kelancaran pembangunan daerah. Teori keuangan negara menjelaskan bahwa pajak timbul sebagai implikasi dari peran pemerintah dalam perekonomian. Latar belakang perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonomian adalah karena adanya eksternalitas, merupakan barang publik, ketidaksempurnaan informasi, pilihan publik, dan masalah distribusi penghasilan dan kemiskinan yang tidak dapat ditangani pihak swasta. Pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya. Adapun dilihat dari pemungutannya pajak mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2002) yaitu: 1. Fungsi Budgeter, pajak digunakan sebagai alat untuk membiayai seluruh pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat/daerah. 2. Fungsi Pengaturan (Regulator), pajak juga berfungsi sebagai alat kontrol atau mengatur untuk mencapai tujuan. Misal, pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor untuk menghindari kelangkaan di dalam negeri Tax Effort Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan di antaranya pemberian kewenangan pajak (taxing power) yang lebih luas. Kewenangan dalam pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan penerimaan PAD, khususnya yang berasal dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.

59 30 Kewenangan pajak tersebut di antaranya pemerintah kabupaten/kota melakukan kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah yang bersifat komprehensif, dan tetap berpihak kepada rakyat. Intensifikasi pajak daerah didefinisikan sebagai suatu usaha yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah yang diaplikasikan melalui perubahan tarif pajak daerah dan meningkatkan pengelolaan pajak daerah secara profesional melalui prosedur yang baik dan transparan. Secara umum, menurut Sidik (2002) ada beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, antara lain dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Memperluas basis penerimaan Tindakan yang dapat dilakukan oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial adalah mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. 2. Memperkuat proses pemungutan Usaha yang dapat dilakukan antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM. 3. Meningkatkan pengawasan Hal ini dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak. 4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan Tindakan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki prosedur administrasi pajak, melalui penyederhanaan administrasi pajak, menigkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. 5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.

60 31 Sementara ekstensifikasi pajak daerah merupakan kebijaksanaan yang diaplikasikan melalui penciptaan sumber-sumber pajak daerah. Salah satu kebijaksanaan penciptaan sumber-sumber pajak daerah adalah melalui kegiatan investasi yang sangat berperan dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah. Investasi yang ditanamkan oleh investor pada suatu kabupaten/kota dapat menciptakan multiefek dalam sektor perekonomian di antaranya dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan PDRB dan menciptakan sumber/potensi pajak baru. Kegiatan investasi memberikan kontribusi yang sangat besar dan baik terhadap upaya peningkatan penerimaan pajak daerah pada khususnya dan peneriman PAD pada umumnya. Oleh karena itu kegiatan investasi harus diusahakan oleh pemerintah kabupaten/kota melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan berikut: a. Menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menginvestasikan modalnya di kabupaten/kota b. Memberikan jaminan kemudahan bagi investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah dengan menghilangkan birokrasi yang berbelit-belit Sumber perpajakan daerah yang ideal setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) basis pajak relatif tidak berpindah (immobile), (2) penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis, (3) basis pajak harus dapat dilihat, sehingga akuntabel, dan (4) pajak dianggap adil oleh wajib pajak. Adapun tax effort adalah upaya peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber PAD dengan potensi sumber-sumber PAD (Halim 2001). Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang miliki, yang selanjutnya akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerah (belanja daerah). Tax Effort (TE) dapat digunakan untuk menganalisis posisi fiskal suatu daerah yaitu dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap kapasitas pajak (Halim 2001). Secara matematis dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:

61 32 TE j = Tr j / (ts j B j )......(2.2) = Tr j / Tc j.... (2.3) keterangan: TE j = Upaya pajak di kabupaten/kota j Tr j = Penerimaan pajak di kabupaten/kota j Tc j = Kapasitas pajak di masing-masing kabupaten/kota j tsj = Standar tarif pajak di masing-masing kabupaten/kota j Bj = Basis pajak di masing-masing kabupaten/kota j Kapasitas pajak di daerah j (Tc j ) didekati dengan nilai PDRB (non migas) konstan dari daerah j, sehingga formula di atas dapat dituliskan kembali sebagai berikut: TE j = Tr j / PDRB j.. (2.4) Dengan pengukuran ini akan diketahui besaran pertumbuhan PDRB non migas terhadap peningkatan PAD Model Leviathan Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah perlu memperhatikan dua hal berikut, yaitu dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung menggunakan tarif pajak yang tinggi, supaya memperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan pajak yang maksimum. Hal ini tergantung pada respon dari wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Formulasi ini dikenal dengan Model Leviathan. Dengan mengasumsikan biaya administrasi perpajakan tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak. Gambar 2 menunjukkan hubungan tarif pajak dengan total penerimaan pajak daerah, yang dikenal dengan kurva Laffer. Bentuk kurva parabola menghadap sumbu Y, menghasilkan total penerimaan pajak maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah economic

62 33 behavior dari wajib pajak. Model leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Tarif t* menunjukkan bukanlah tarif pajak tertinggi, tetapi pada saat tarif t* dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Kondisi ini disebut Revenue Maximizing Tax rate. Tarif Pajak Daerah Kurva Laffer t* T* Total Penerimaan Pajak Daerah Sumber: Sidik, Gambar 2 Hubungan antara tarif pajak proposional atas basis pajak tertentu. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respons harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan maksimum. Model Leviatan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal Pertumbuhan Ekonomi Para ahli ekonomi maupun politik umumnya sepakat menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan. Pemerintah di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi atau rendahnya mutu aparatnya di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output nasional (Todaro dan Smith 2006).

63 34 Berdasarkan teori neoklasik, pertumbuhan output ekonomi regional dipengaruhi pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan dalam menyediakan berbagai barang ekonomi bagi penduduknya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung persentase Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mengukur pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan total yang diterima dari adanya seluruh produksi dan jasa tersebut (Mankiw 2006). Pertumbuhan biasanya dihitung dalam nilai riil dengan tujuan untuk menghilangkan adanya pengaruh inflasi pada barang dan jasa yang diproduksi, sehingga PDB riil sematamata menggambarkan perubahan kuantitas produksi. Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi (Todaro dan Smith 2006). Akumulasi modal terjadi apabila sebagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan. Akumulasi modal dapat dilakukan secara langsung maupun dengan melakukan investasi terhadap fasilitasfasilitas penunjang seperti investasi infrastuktur, ekonomi dan sosial. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja secara tradisional dianggap faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar berarti dapat menambah tenaga kerja produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang besar berarti ukuran pasar domestik besar. Faktor lainnya adalah kemajuan teknologi yang merupakan dasar bagi berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Pentingnya akumulasi modal (investasi) dalam pertumbuhan ekonomi dikenal sejak dikembangkannya the linear stages theory, yang menyatakan bahwa kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan adalah peningkatan total tabungan nasional dan luar negeri. Semakin banyak total tabungan dan diinvestasikan, laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat (Todaro dan Smith 2006). Muncul beberapa kritik terhadap teori ini, yang menyatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendukung pertumbuhan

64 35 ekonomi, yaitu kecakapan managerial, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, kemampuan perencanaan, adanya transfortasi yang memadai serta birokrasi pemerintah yang efisien. Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Teori klasik dimotori Adam Smith, beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan pertambahan output. Yang termasuk dalam teori klasik lainnya Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah, sehingga dapat mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Selanjutnya, Teori Klasik berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori dari Harrord Domar juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Model pertumbuhan Solow menjelaskan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi di dalam perekonomian. Ketiganya mempengaruhi produk nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada skala regional. Hubungan ketiga input produksi tersebut digambarkan pada Gambar 3. Dalam model pertumbuhan ekonomi ini, stok kapital merupakan faktor penentu output sebuah perekonomian, namun stok kapital selalu berubah sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada akhirnya. Kegiatan investasi dalam hal ini terkait dengan misalnya pengeluaran pembangunan gedung atau fasilitas baru dan perlengkapan. Pengeluaran ini mengakibatkan stok kapital meningkat. Dari grafik, f(k) adalah fungsi produksi atau dapat dinotasikan y. Investasi per tenaga kerja dinotasikan dengan i. Jika investasi pertenaga kerja sy, maka i = sf(k). Bagaimana setiap nilai dari k dapat mempengaruhi output serta

65 36 bagaimana alokasi output antara konsumsi dan tabungan ditentukan oleh saving rate s, dengan mempertimbangkan juga faktor depresiasi. Output per tenaga kerja Output f(k) Output per tenaga kerja c Konsumsi per tenaga kerja Investasi (sf(k)) y i Investasi per tenaga kerja Kapital per tenaga kerja Sumber: Kharisma, Gambar 3 Hubungan stok kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut Teori Solow Dampak investasi dan depresiasi dalam stok kapital dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Perubahan dalam stok kapital = Investasi Depresiasi Δk = i δk....(2.5) dengan mensubstitusi i=sf(k) dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: Δk = sf(k) δk. (2.6) Persamaan di atas menjelaskan investasi dan depresiasi pada berbagai level stok kapital k. Semakin tinggi stok kapital, semakin tinggi output yang dihasilkan, namun semakin tinggi pula depresiasi. Pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan

66 37 menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith 2006). Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Pada proses pembangunan selanjutnya, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai hipotesis Neoklasik Kurva Scully Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Gambar 4 menunjukkan hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah. Model ini menunjukkan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol bagi petumbuhan ekonomi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

67 38 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi g t 0 Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Kharisma, Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB menurut Teori Scully Teori Peacock dan Wiseman Teori Peacock dan Wiseman, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan peningkatan penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Pada kondisi normal peningkatan PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila kondisi di atas terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang, maka penerimaan pemerintah dari pajak akan meningkat di antaranya melalui cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Kondisi ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Biaya perang tidak hanya dipenuhi melalui pajak, dibiayai juga melalui pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang, pemerintah sebetulnya dapat menurunkan tarif pajak kembali, tetapi karena harus mengembalikan pinjaman tersebut maka penurunan tarif pajak tidak dilakukan. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat karena pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Hal ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan

68 39 terjadinya efek konsentrasi (concentration effect) yaitu terjadi konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Setelah perang selesai dan kembali ke keadaan normal, tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasari suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluarannya sementara masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar dalam rangka membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teorinya pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semenamena. 2.2 Penelitian Empirik Terdahulu Kharisma (2006), meneliti tentang pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di 26 provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan estimasi model ekonometrik data panel, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi ( ), peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di tingkat nasional, di Jawa maupun luar Jawa. Peran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar melalui dana perimbangan dibanding pendapatan asli daerah (PAD). Sesudah memasuki era desentralisasi ( ), peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan. Perannya jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan, baik untuk tingkat nasional, di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran

69 40 pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Ronauli (2006), meneliti tentang pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan daerah pasca penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Penelitian menggunakan analisis data panel dengan model regresi fixed effect dan metode Generalized Least Square (GLS). Hasil penelitian menunjukkan kebijakan dana bagi hasil pajak maupun sumber daya alam secara rata-rata nasional tidak memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan variabel Dana Alokasi Umum (DAU) tidak memberikan hasil positif meminimkan disparitas pendapatan daerah. Waluyo (2007), meneliti tentang dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan model ekonometrika persamaan simultan dengan menggunakan data panel antarpropinsi. Asumsi yang digunakan adalah tidak adanya keterkaitan antardaerah, tidak ada migrasi penduduk antardaerah, tidak ada pergerakan modal dan barang antardaerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan bukan pusat bisnis dan industri akan mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah terutama antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), hal ini disebabkan oleh mekanisme equalizing transfer melalui dana perimbangan. Hal ini juga ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di KTI, sedangkan pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonominya dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Secara umum kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah. Brodjonegoro (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU,

70 41 DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBHPPh) disparitas ekonomi antardaerah akan semakin meningkat ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Lutfi (2002), dalam penelitiannya tentang pemanfaatan kebijakan desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang Nomor 34/2000 oleh Pemda untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Implementasi Undang-Undang Nomor 34/2000 telah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini ditunjukkan seluruh daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk menerbitkan perda untuk menggali potensi pajak daerah dan retribusi daerah yang dimiliki daerahnya. Landiyanto (2005), meneliti kinerja keuangan daerah kota Surabaya di era otonomi daerah. Dengan menggunakan metode eksploratif dan diperkuat dengan melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi, periode tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD. Adi dan Wulan (2008), melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah kota/kabupaten terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan dalan APBD. Hasil penelitian menunjukkan transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran pemerintah daerah kabupaten atau kota. Terbukti adanya perilaku asimetris daerah dalam merespon transfer pemerintah pusat dengan cara memanipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan maksimasi pendapatan asli daerah (PAD) supaya dapat bantuan berupa transfer dari pemerintah pusat. Idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi PAD dalam hal pembiayaan

71 42 belanja daerah (Adi 2007). PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian daerah. Adi dan Wulan (2008), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat (DAU) justru memberikan pengaruh negatif pada tax effort daerah (pada taraf signifikansi 10%). Tax effort pemerintah kabupaten/kota justru semakin rendah. Hal ini menunjukan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat, daerah lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah daripada mengoptimalkan penerimaan PAD. Stine (1994) menemukan hal yang berbeda, penelitiannya di Pennsylvania menunjukkan ketika terjadi penurunan transfer menyebabkan turunnya dukungan pembiayaan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan pajak, yang kemudian diantisipasi daerah dengan melakukan peningkatan harga-harga layanan publik di tingkat lokal. Publik merespon negatif peningkatan harga-harga layanan publik tersebut, sehingga penerimaan daerah sendiri (own revenue) mengalami penurunan. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif, dikarenakan tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pendapatan sendiri (PAD). 2.3 Kerangka Pemikiran Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, termasuk kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangannya sendiri. Oleh karenanya, pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan penerimaan daerah guna memenuhi kebutuhan belanja daerah. Salah satu kendala yang sering dijumpai pada implementasi otonomi daerah adalah adanya perbedaan potensi dan kondisi dari masing-masing daerah, sehingga menimbulkan kesenjangan fiskal baik dengan pemerintah pusat maupun kesenjangan antardaerah. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan transfer fiskal berupa dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari DAU, DAK dan DBH. Pemberian dana perimbangan diharapkan dapat dijadikan sebagai stimulus

72 43 bagi daerah untuk meningkatkan kemandiriannya dan mengurangi kesenjangan fiskal horisontal, sehingga daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan dapat mengalokasikan dana perimbangan tersebut pada sektor-sektor produktif, yang dapat mendorong peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak. Kemandirian daerah semakin tinggi seiring dengan meningkatnya fiskal daerah, dan pada akhirnya dapat mengurangi tanggungan pemerintah pusat untuk memberikan dana perimbangan. Tingkat kemandirian daerah dapat diukur dengan semakin tingginya kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut. Hasil penelitian Adi dan Wulan (2008) menunjukkan masih adanya kecenderungan daerah untuk mempertahankan penerimaan dana perimbangan (DAU) tanpa mengupayakan peningkatan pendapatannya sendiri (PAD), pemberian DAU justru menjadi disinsentif bagi peningkatan tax effort daerah. Sementara Stine (1994) menemukan hal yang berbeda, penurunan transfer pusat tidak hanya berdampak pada penurunan pengeluaran lokal, tetapi akan menurunkan juga penerimaan daerah sendiri (own revenue). Penelitian ini akan melihat sejauh mana pemberian dana perimbangan yang terdiri dari DAU, DBH, dan DAK dapat menjadi stimulus bagi peningkatan tax effort daerah untuk periode Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran penelitian, yang ditunjukkan pada Gambar Hipotesis Penelitian Adanya desentralisasi fiskal yang berdampak pada semakin luasnya kewenangan pemerintah daerah, baik dalam pengelolaan keuangan maupun dalam pelaksanaan pembangunan daerah, diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : 1. Dana perimbangan dari pemerintah pusat berpengaruh positif terhadap tax effort daerah.

73 44 2. Elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan bernilai positif. Otonomi Daerah Pemerintah Pusat Pelimpahan Wewenang Fiskal Gap DAU Pemerintahan Transfer Fiskal dana perimbangan DAK DBH Pemerintah Daerah Administrasi Keuangan daerah Desentralisasi Fiskal Potensi Daerah dan Tax Effort PAD Kemandirian Fiskal Daerah Pertumbuhan ekonomi daerah Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.

74 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mencakupi semua kabupaten/kota di Indonesia, kecuali DKI Jakarta. Kabupaten/kota yang mengalami pemekaran digabungkan dengan kabupaten/kota induknya. Penggabungan ini dilakukan untuk menjaga konsistensi data dan hasil analisisnya, sehingga kabupaten/kota yang digunakan sebagai objek penelitian adalah 336 kabupaten/kota. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Keuangan. Data yang tercakup dalam penelitian ini adalah data APBD kabupaten/kota dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota. Periode penelitian mulai dari tahun Data-data pendukung lainnya, diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan lain-lain yang tersedia di Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, serta makalah dari internet yang berkaitan dengan penelitian. 3.2 Identifikasi variabel Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan serta hipotesis yang ada dan didukung dengan tinjauan pustaka dari berbagai hal, maka ada beberapa variabel yang relevan digunakan dalam penelitian. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat dalam Tabel 4. Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan adalah: 1. Penerimaan Asli daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yang dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, sekaligus mencerminkan efektivitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan pekerjaannya. 2. Dana perimbangan adalah suatu bentuk transfer dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka pelimpahan kewenangan pemerintahan, yang terdiri dari dana alolasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK).

75 46 3. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 4. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan ke daerah, dengan besaran yang disesuaikan dengan kontribusi daerah terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. 5. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah bentuk transfer terhadap pemerintah daerah yang bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, khususnya untuk mendukung kegiatan yang menjadi prioritas nasional. 6. Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah seluruh penerimaan suatu daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, baik itu yang berasal dari PAD, dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah. 7. Kinerja fiskal daerah adalah kemampuan pengelolaan keuangan daerah yang ditinjau dari sisi penerimaan yaitu bersumber dari PAD dan dana bagi hasil yang merupakan kemampuan daerah untuk pendanaan, sementara kinerja fiskal daerah dari sisi pengeluaran daerah terdiri dari pos-pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. 8. Fiscal capacity adalah ketersediaan keuangan daerah yang bersumber dari PAD, dana perimbangan dan penerimaan lainnya yang sah. 9. Fiscal needs adalah kebutuhan fiskal daerah, yakni konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah. 10. Total Pengeluaran Daerah (TKD) adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah, baik untuk belanja rutin maupun untuk belanja pembangunan. 11. Belanja Rutin (BR) adalah belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. 12. Belanja Pembangunan (BP) adalah belanja yang menghasilkan nilai tambah

76 47 aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. 13. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. 14. Kapasitas pajak adalah besarnya tarif dikalikan dengan basis atau jumlah objek (sumber) yang dikenai pajak. 15. Tax effort (TE) adalah upaya peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumbersumber PAD dengan potensi sumber-sumber PAD. Secara matematis dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut: TE j = Tr j / (ts j B j )......(3.1) = Tr j / Tc j.... (3.2) Kapasitas pajak (Tc j ) didekati dengan nilai PDRB (non migas) konstan, sehingga formula di atas dapat dituliskan kembali sebagai berikut: TE j = Tr j / PDRB j..... (3.3) Tabel 4 Nama dan keterangan variabel yang digunakan dalam penelitian. Nama Variabel DAU DAK DBH TE TPD TKD BR BP PAD BHPBP SB Keterangan Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Bagi Hasil Tax Effort Total penerimaan daerah Total pengeluaran daerah Belanja rutin daerah Belanja pembangunan daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak dan bukan pajak Transfer pusat yang bersifat bantuan

77 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia, yaitu analisis regresi berganda dengan data panel. Analisis perkembangan pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, yang akan disajikan dengan bantuan diagram boxplot dan tabel. Sementara untuk analisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah terhadap PAD dan dana perimbangan akan digunakan analisis inferensia yaitu analisis regresi berganda dengan data panel. Tabel 5 menunjukan matriks metode analisis yang digunakan dalam penelitian. Tabel 5 Metode analisis yang digunakan dalam penelitian. Masalah Metode Analisis 1. Kinerja keuangan daerah Analisis deskriptif dengan menggunakan diagram boxplot dan tabel 2. Dampak pemberian dana Analisis inferensia dengan perimbangan terhadap tax effort daerah menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel 3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi Analisis inferensia dengan daerah terhadap PAD dan dana perimbangan (DBH, DAU, DAK) menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel Analisis Boxplot Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada grafik dalam bentuk diagram boxplot. Sebagaimana diketahui, bahwa data mempunyai karakteristik untuk setiap tahun maupun setiap wilayah. Oleh karena itu langkah awal dalam menganalisis data adalah mempelajari karakteristik dari data tersebut. Untuk itu, perlu diketahui pemusatan dan penyebaran data dari nilai tengahnya, nilai ekstrim atau pencilan dan beberapa pengukuran lainnya. Boxplot

78 49 adalah salah satu teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi data tersebut. Beberapa manfaat dari penggunaan analisis boxplot adalah: 1. Melihat derajat penyebaran data (yang dapat dilihat dari tinggi atau lebar box). Jika data menyebar, maka box semakin tinggi atau lebar. 2. Menilai kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada di tengah box dan whisker pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), median tidak akan berada di tengah box dan salah satu dari whisker lebih panjang dari yang lainnya. Boxplot (juga dikenal sebagai diagram box-and-whisker) merupakan suatu box (kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numeris melalui lima ukuran sebagai berikut : 1. Nilai observasi terkecil 2. Kuartil pertama (Q1), yang memotong 25% dari data terendah. 3. Median (Q2) atau nilai pertengahan. 4. Kuartil ketiga (Q3), yang memotong 25% dari data tertinggi. 5. Nilai observasi terbesar. Boxplot juga menunjukkan adanya nilai pencilan (outlier) dari observasi. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi statistik yang mendasarinya. Karenanya, boxplot tergolong dalam statistik non-parametrik. Jarak antara bagian-bagian dari box menunjukkan derajat penyebaran dan skewness (kecondongan) dalam data. Dalam penggambarannya, boxplot dapat digambarkan secara horisontal maupun vertikal. Hasil pengolahannya analisis boxplot dapat diilustrasikan dalam bentuk seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Dari Gambar 6 dapat dijelaskan : 1. Garis horisontal bagian bawah box menyajikan kuartil pertama (Q1), sementara bagian atas menyajikan kuartil ketiga (Q3). Bagian dari box adalah bidang yang menyajikan interquartile range (IQR), atau bagian pertengahan dari 50% observasi. Panjang box ditentukan oleh IQR ini. IQR adalah ukuran yang terkenal untuk mengukur penyebaran data. Semakin

79 50 tinggi (jika boxplot vertikal) atau semakin lebar (jika boxplot horisontal) bidang IQR ini, menunjukkan data semakin menyebar. 2. Garis tengah yang melewati box menyatakan median dari data. Median adalah ukuran yang terkenal untuk lokasi variabel (nilai pusat atau ratarata). 3. Garis yang memperpanjang box dinamakan dengan whiskers. Whiskers menunjukkan nilai yang lebih rendah dan lebih tinggi dari kumpulan data yang berada dalam IQR (kecuali outlier). Panjang garis whisker bagian atas ini adalah kurang dari atau sama dengan Q3 + (1.5 x IQR). Panjang garis whisker bagian bawah ini adalah lebih besar atau sama dengan Q1 (1.5 x IQR). Masing-masing garis whisker dimulai dari akhir box. 4. Nilai yang berada di atas atau di bawah whisker dinamakan nilai outlier atau ekstrim. Suatu nilai dikatakan outlier jika: Q3+(1.5x IQR) < outlier Q3+(3x IQR) atau jika Q1-(1.5xIQR)> outlier Q1-(3xIQR). Selanjutnya, suatu nilai dikatakan ekstrim jika lebih besar dari Q3+(3 x IQR) atau lebih kecil dari Q1 (3 x IQR). Outlier Perpanjangan Whisher, nilai tertinggi dalam batas atas Kuartil ketiga (Q3) Median (Q2) Kuartil pertama (Q1) Perpanjangan Whisher, nilai terendah dalam batas bawah Gambar 6 Diagram boxplot.

80 Analisis Kinerja Keuangan Daerah Keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijakan penyelenggaraan yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Sumbersumber pengeluaran daerah terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan. Perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan pemerintah daerah, yang disajikan dengan menggunakan bantuan grafik dan tabel. Tujuannya untuk menelusuri dan mengungkapkan struktur serta pola data tanpa mengaitkan secara kaku asumsi-asumsi tertentu. Untuk keperluan analisis ini dipergunakan data APBD dari setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kinerja keuangan daerah dapat dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu melalui sisi penerimaan (fiscal availability) dan sisi pengeluaran (fiscal needs) Sisi Penerimaan (Fiscal Availability) Ketersediaan fiskal (Fiscal Availability) dapat ditinjau dari tiga sumber yaitu: (1). Kemampuan keuangan yang tersedia murni berasal dari daerah yaitu PAD. Rasio PAD terhadap total penerimaan daerah menunjukkan kemandirian fiskal dari suatu daerah, yang dapat diformulasikan : * 100 %... (3.1) Keterangan : DDF = Derajat desentralisasi fiskal PAD = Penerimaan Asli Daerah (Juta Rupiah) SB = DAU + DAK TPD = Total Penerimaan Daerah (Juta Rupiah) = PAD + BHPBP + SB + Lain-lain pendapatan daerah yang sah (2). Kemampuan keuangan yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah berupa dana bagi hasil. Dana bagi hasil ini terdiri dari bagi hasil pajak dan

81 52 bukan pajak. Rasio dana bagi hasil terhadap total penerimaan daerah menunjukkan besarnya potensi daerah terhadap sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Hubungan ini dapat diformulasikan sebagai berikut: Keterangan : DPS * 100%.(3.2) = Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) (3). Kemampuan keuangan yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah yang bersifat bantuan (grant). Rasio transfer dari pusat terhadap total penerimaan daerah menunjukkan besarnya kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan atau besarnya ketergantungan daerah terhadap pusat. Hubungan ini dapat diformulasikan sebagai berikut: Keterangan : * 100%.. (3.3) DKP = Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat Semakin tinggi kemampuan keuangan daerah yang tersedia murni berasal dari PAD, maka semakin baik kinerja keuangan daerah tersebut, dengan kata lain derajat desentralisasi fiskalnya besar (mandiri). Kinerja keuangan, yang dilihat dari sisi penerimaan khususnya derajat desentralisasi fiskal dapat dikategorikan dalam skala interval. Pengkategorian hasil skala interval menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6 Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF) DDF (dalam %) > Kemampuan Keuangan Daerah Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik Sumber: Tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan, 2005.

82 Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs) Kebutuhan fiskal (fiscal needs) daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah anggaran yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan, baik untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Total pengeluaran daerah ini tertuang dalam APBD. Dengan perhitungan sebagai berikut: (1). Pengeluaran rutin. Rasio pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran daerah. * 100%..... (3.4) Keterangan : DKR = Derajat belanja rutin daerah BR = Belanja Rutin (Juta Rupiah) TKD = Total Pengeluaran Daerah (Juta Rupiah) = BR + BP (2). Pengeluaran Pembangunan. Rasio pengeluaran pembangunan terhadap total pengeluaran daerah. Semakin besar kontribusi rasio pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan pengeluaran rutin menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif, artinya pemerintah daerah lebih konsentrasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. * 100%. (3.5) Keterangan : DKP = Derajat belanja pembangunan daerah BP = Belanja Pembangunan (Juta Rupiah) Selain itu, perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat ditinjau dari derajat kemandirian daerah, yang mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari dalam daerah sendiri mampu membiayai kebutuhan daerah (Halim, 2007). Ada 4 formula yang dapat digunakan dalam mengukur derajat kemandirian daerah, yaitu :

83 (3.6).. (3.7) (3.8).. (3.9) Keterangan: DK = Derajat Kemandirian Daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) TKD = Total Pengeluaran Daerah (Juta Rupiah) BR = Pengeluaran Rutin (Juta Rupiah) Dalam menilai derajat kemandirian daerah, digunakan skala menurut Tumilar dalam Tangkilisan (2005) terdapat skala interval yang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Skala interval indeks kemampuan rutin daerah (IKRD) IKRD (dalam %) Kemampuan Keuangan Daerah > Sumber : Tumilar dalam Tangkilisan, Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik Analisis Regresi Berganda dengan Data Panel Analisis ini digunakan untuk mengestimasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan model data panel, yaitu menggunakan informasi dari gabungan pendekatan cross section dan pendekatan time series.

84 55 Terdapat dua keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series atau cross section saja. Pertama, kombinasi data time series dan cross section membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) paramater yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis data panel dapat lebih informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Kedua, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja, sehingga dapat mengurangi masalah identifikasi. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Baltagi (2007) menjelaskan bahwa estimasi data panel memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut: 1. Data panel dapat mengendalikan heterogenitas antar individu. 2. Data panel dapat memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih bervariasi, berkurangnya kolinearitas antarvariabel, meningkatkan jumlah derajat kebebasan dan lebih efisien. 3. Data panel umumnya lebih baik digunakan untuk meneliti dynamics of adjustment, yang dapat mendeteksi efek-efek yang tidak dapat dilakukan oleh model cross section murni atau time series murni. 4. Data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. 5. Data panel lebih baik dalam mengukur, mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni. Kendati demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan

85 56 atau diperoleh dengan metode survei. Beberapa kelemahan dan keterbasan dari estimasi dengan data panel (Baltagi 2007) adalah: 1. Data panel relatif besar karena melibatkan komponen cross section dan time series, sehingga menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara. 2. Estimasi dengan data panel memungkinkan terjadinya distorsi dari kesalahan pengukuran yang umumnya terjadi karena kesalahan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lainlain). 3. Estimasi dengan data panel dapat menimbulkan cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analsis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulankesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Ditinjau dari berbagai asumsi dan faktor-faktor pembentuknya, struktur model estimasi data panel dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Metode estimasi Common Effect Metode estimasi ini paling sederhana untuk mengestimasi data panel, hanya dengan menggabungkan data cross section dan time series tanpa melihat perbedaan antarwaktu dan individu. Pedekatan metode ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu. Intersep α dan slope β dalam metode estimasi ini sama untuk setiap individu. Model umum dari model estimasi data panel adalah sebagai berikut:...(3.10) Keterangan: i = jumlah cross section; i=1,2,...,n t = periode: t=1,2,...t k = jumlah variabel bebas; k=1,2,...,k

86 57 Pada Common Effect akan sulit dilihat perubahan antarindividu, karena dalam metode ini semua individu dianggap homogen. 2. Metode Individual Effect Metode estimasi individual effect memperhatikan sifat dari efek individu(α), tanpa memperhatikan struktur kovarian errorterm. Bentuk umum dari model individual effect adalah sebagai berikut:...(3.11) Keterangan: α i α j untuk i j; i=1,2,3,...n ε it = komponen error = λ i + µ t + u it λ i = komponen error individu µ t = komponen error waktu.. u it = komponen error gabungan Metode individual effect terdiri dari metode fixed effect dan random effect (Baltagi 2007). Kedua metode tersebut dibedakan berdasarkan ada tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regresor). 1. Metode Fixed effect Metode fixed effect muncul ketika antara efek individu dan dan efek waktu memiliki korelasi dengan variabel bebas, atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, sehingga dapat dituliskan:...(3.12) Dengan asumsi tidak ada pengaruh efek waktu, untuk setiap saat sama sehingga errorterm dapat dituliskan sebagai berikut: ε it = λ i + u it Efek individu λ i, akan digabungkan dengan intersep, sehingga = β 0 + λ i. Model ini menggunakan variabel dummy, sehingga intersep hanya bervariasi terhadap individu, sedangkan terhadap waktu konstan. Slope dalam model Fixed effect adalah konstan antar individu dan waktu. Model ini mengasumsikan bahwa

87 58 perbedaan antar individu dapat diketahui melalui perbedaan nilai intersep. Kelemahan dari metode ini adalah jika jumlah penggunaan data individu cukup banyak, maka penggunaan variabel dummy juga banyak, sehingga akan mengurangi derajat kebebasan. Model fixed effect dapat dituliskan dalam persamaan berikut:...(3.13) Keterangan: e it = u it (error) Nilai α berbeda untuk setiap individu, sedangkan nilai β sama untuk setiap individu. 2. Metode Random effect Metode ini memperhitungkan pengganggu yang berasal dari data cross section dan time series, sehingga dapat meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil. Efek (u i ) merupakan nilai gangguan acak pada individu dan konstan sepanjang waktu. Model random effect memenuhi persamaan berikut:...(3.14) Keterangan: ε it = λ i + u it Secara teoretis dapat dilakukan pemilihan metode estimasi data panel, apakah common effect, fixed effect atau random effect. Apabila secara teoretis dampak dari gangguan tidak dapat ditentukan, maka metode fixed effect digunakan jika data yang digunakan meliputi semua individu dalam populasi atau hanya beberapa individu namun tidak diambil secara acak. Sebaliknya, apabila data yang digunakan berasal dari individu yang diambil berdasarkan sampel secara acak dari populasi yang lebih besar, maka digunakan metode estimasi random effect. Pemilihan model antara common effect dan individual effect dapat dilakukan dengan melakukan pengujian hipotesis, dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : α 1 = α 2 =α 3...= α n (intersep sama untuk setiap individu) H 1 : minimal ada satu intersep yang tidak sama

88 59 Pengujian hipotesis ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Pengujian F Statistik uji yang digunakan adalah, / / Keterangan: SSE 1 = sum of square error dari model common effect SSE 2 = sum of square error dari model individual effect n = banyaknya cross section t = banyaknya titik waktu k = banyaknya variabel bebas Jika F hitung lebih besar dari F tabel, maka tolak Ho (terima H 1 ), dalam hal ini dapat disimpulkan model yang digunakan adalah model individual effect. 2. Uji Wald Penggunaan menu pada software eviews, dengan melihat signifikansi distribusi Chi-square. Tolak Ho, jika probabilitas dari estimasi metode individual effect dengan uji Wald signifikan. Sementara pemilihan model antara metode fixed effect dan random effect dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hipotesis yang akan diuji adalah: Ho : ada gangguan antar individu (random effect) H 1 : tidak ada gangguan antar individu (fixed effect) Sebagai dasar penolakan Ho digunakan statistik Hausman. Adapun bentuk persamaan Hausman test adalah sebagai berikut:...(3.16) Keterangan: H = statistik Hausman = nilai parameter untuk random effect = nilai parameter untuk fixed effect k = jumlah derajat bebas Jika nilai - statistik hasil pengujian lebih besar dibandingkan dengan nilai - tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap Ho sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.

89 Spesifikasi Model dalam Penelitian Spesifikasi model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi model untuk menganalisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan model untuk menganalisis elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan. Spesifikasi model untuk melihat dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dapat diformulasikan sebagai berikut: Ln TE it α i β 1 Ln DAUit β 2 Ln DBHit β 3 Ln DAKit ε it 3.17 Keterangan: TE = Tax effort kabupaten/kota DAU = Dana alokasi umum kabupaten/kota DBH = Dana bagi hasil kabupaten/kota DAK = Dana alokasi khusus kabupaten/kota ε it = Errorterm i = kabupaten/kota; i = 1,2,3,,336 ; t = banyaknya time series; t = 1,2,,8 Model ini tidak mempunyai implikasi untuk proyeksi/ekstrapolasi. Dalam hal ini model tidak mempunyai implikasi bahwa agar tax effort daerah meningkat maka pemberian dana perimbangan (DBH, DAU dan DAK) harus ditingkatkan, karena formula pemberian dana transfer sudah ditentukan. Dengan kata lain, model ini digunakan untuk menunjukkan bahwa pemberian dana perimbangan efektif diberikan sebagai stimulus bagi daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya. Analisis elastisitas digunakan untuk mengetahui tingkat kepekaan pertumbuhan ekonomi jika terjadi perubahan pada suatu jenis sumber pembiayaan. PAD dan dana perimbangan merupakan komponen dari penerimaan daerah, yang menjadi sumber bagi pembiayaan pengeluaran daerah. Spesifikasi model elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan dapat diformulasikan sebagai berikut: lnpdrb it = δ i + ρ 1 lnpad it + ρ 2 lndbh it + ρ 3 lndau it + ρ 4 lndak it + ε it (3.18)

90 61 Keterangan : ln PDRB it = pertumbuhan ekonomi daerah (%) ρ i = elastisitas komponen pembiayaan ke-i Contoh: elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD ρ 1...(3.19) Model ini tidak mempunyai implikasi untuk proyeksi/ekstrapolasi. Interpretasi model hanya untuk menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah memerlukan sumber pembiayaan daerah (PAD dan dana perimbangan).

91 62 Halaman ini sengaja dikosongkan.

92 IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN/KOTA SE-INDONESA Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan sejalan dengan adanya tuntutan demokratisasi dalam bernegara. Sistem pemerintahan yang semula lebih bersifat sentralistik menjadi desentralistik akibat dari adanya otonomi daerah. Selaras dengan perubahan tersebut, tata aturan pemerintahan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah pada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan yang lebih luas dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan tersebut diberikan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran keuangan daerah. Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai pemerintahan maupun pembangunan daerah. Penerimaan daerah kabupaten/kota selama periode selalu mengalami peningkatan. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan daerah, memdorong peningkatan besaran APBD yang diterima oleh pemerintah daerah. Peningkatan penerimaan daerah ini diharapkan mampu untuk mewujudkan kemandirian daerah, sesuai dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat, karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Penerimaan daerah terdiri dari beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penerimaan lain yang sah. Perkembangan komponen penerimaan kabupaten/kota secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Komponen penerimaan PAD kabupaten/kota pada tahun 2001 tercatat sebesar Rp milyar, tahun 2002 naik menjadi Rp milyar dan pada tahun 2008 meningkat menjadi

93 64 Rp16 821,71 milyar. Komposisi penerimaan kabupaten/kota tahun secara lengkap dapat dilihat pada Gambar Milyar Rupiah 180, , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20, PAD BHPBP Tahun Transfer Pusat (DAU dan DAK) Lain-lainn Pend.Daerah yg sah Sumber : BPS, diolah Gambar 7 Sumber penerimaan daerah periode Komponenn penerimaan daerah dalam bentuk transfer dari pusat (DAU dan DAK) dan BHPBP mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya, sehingga pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk danaa perimbangan kepada daerah. Pemberian dana perimbangan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan, baik kesenjangan vertikal maupun kesenjangan horisontal antardaerah. Pertumbuhan penerimaan daerah pada awal pelaksanaan otonomi daerah (2001) dibandingkan dengan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat berarti. Pertumbuhan penerimaan daerah dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan perubahan penerimaann kabupaten/kota tahun 2001 dan 2008 menurut sumber penerimaan. PAD mengalami pertumbuhan sebesar % dari tahun 2001 ke tahun Pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan dari pusat, yang sebesar %. Walaupun penerimaan PAD meningkat setiap tahunnya, namunn jika ditinjau dari

94 65 kontribusinya terhadap penerimaan daerah, kontribusi PAD masih sangat rendah dibandingkan kontribusi sumber penerimaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah belum optimal dalam meningkatkan PAD, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Tabel 8 Sumber penerimaan daerah kabupaten/kota dan sharenya tahun 2002 dan 2008 (milyar rupiah) Sumber Penerimaan Penerimaan Share (%) Penerimaan Share (%) Pertumbuhan (%) PAD 5, , BPHBP 14, , Transfer Pusat (DAU + DAK) 55, , Lain-lainnya 2, , Total 78, , Sumber : BPS, diolah Beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah antara lain adalah (BPS 2000): 1. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada di luar penerimaan pemerintah daerah. 2. Tingkat hidup dan ekonomi masyarakat masih rendah, yang tercermin dalam pendapatan perkapita. 3. Kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 komponen PAD terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Penerimaan pajak dan retribusi daerah memberikan kontribusi paling besar terhadap PAD dibandingkan sumbersumber lainnya, seperti dapat dilihat pada Gambar 8. Hal ini menunjukkan secara umum kabupaten/kota berusaha meningkatkan penerimaan PAD melalui peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah atau melalui peningkatan tax effort daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelengaraan otonomi daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai

95 66 penyelenggaraann pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun ditinjau dari kontribusinya terhadap penerimaan daerah secaraa keseluruhan, pajak dan retribusi belum memberikan kotribusi yang signifikan. Penerimaan daerah banyak diperoleh dari penerimaan dana perimbangan. 6,000 5,000 Milyar Rupiah 4,000 3,000 2,000 1, Tahun Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan Lainnya Sumber : BPS, diolah Gambar 8 PAD menurut sumber periode Penerimaan dana perimbangan (terutama DAU) mengalami peningkatan yang signifikann tiap tahunnya, seperti dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan perkembangan penerimaan dana perimbangan, yang mengalami peningkatan untuk setiap tahunnya. Selain itu dana perimbangan mempunyai kontribusi besar terhadap penerimaan daerah dibandingkan sumber-sumber lainnya, data selengkapnyaa dapat dilihat pada Tabel 8 (lampiran). DAU dan DAK sebagai dana transfer dari pusat, mempunyai kontribusi terbesar terhadap total penerimaan daerah. Besarnya kontribusii transfer pusat terhadap total penerimaan daerah mengindikasikann masih lemahnya penerimaan daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam membiayai penyelenggaraann pemerintahan melalui PAD. Hal ini memberikan gambaran bahwa kinerja fiskal penerimaan daerah kabupaten/kota di Indonesia melalui PAD belum menunjukkan hasil yang optimal. Dengann kata lain,

96 67 pembiayaan pembangunan kabupaten/kota di Indonesia sebagian besar masih bergantung pada pusat, seperti dapat dilihat pada Gambar , , ,000 Juta Rupiah 120, ,000 80,000 60,000 40,000 20, Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Umum (DAU) Sumber : BPS, diolah Gambar 9 Dana perimbangan menurut sumber periode Persen (%) PAD BHPBP Transfer Pusat (DAU dan DAK) Sumber : BPS, diolah Gambar 10 Kontribusi sumber penerimaan daerah terhadap total pengeluaran daerah periode

97 68 Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melakukan pembangunan daerah, untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan tersebut tercermin pada alokasi belanjanya, yang terdiri dari belanja rutin dan belanja pembagunan. Secara umum, total belanja daerah dari tahun 2001 ke tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar %. Belanja pembangunan mempunyai pertumbuhan terbesar dibandingkan dengan belanja rutin dari tahun 2001 ke tahun 2008, yaitu %. Selain itu terjadi perubahan kontribusi belanja pembangunan terhadap total belanja daerah. Kontribusi belanja pembangunan mengalami peningkatan dari 31.60% pada tahun 2001 menjadi 36.29% pada tahun 2008, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Total belanja kabupaten/kota dan pertumbuhannya menurut jenis belanja tahun 2001 dan 2008 (berdasarkan harga berlaku dalam milyar rupiah) Jenis Belanja Total Belanja Total Belanja Share (%) Share (%) Pertumbuhan (%) Belanja Pembangunan 22, , Belanja Rutin 49, , Total Belanja Daerah 72, , Sumber : BPS, diolah. Besarnya total belanja kabupaten/kota tidak terlepas dari bagaimana kondisi belanja daerah masing-masing kabupaten/kotanya. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan dari masing-masing daerah, mengakibatkan prioritas pembangunan dari masing-masing daerah juga berbeda. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing kabupaten/kota, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan distribusi belanja rutin dan pembangunan di semua kabupaten/kota di Indonesia untuk periode

98 Persen (%) Belanja rutin Tahun Belanja pembangunan Gambar 11 Belanja daerah menurut jenis belanja periode Apabila distribusi belanjaa rutin dan pembangunan ini ditinjau per pulau terlihat sedikit perbedaan pola distribusi. Hal ini tentu dipengaruhi oleh perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan dari masing-masing daerah ditinjau per pulau, yang dibagi ke daerah dalam mengalokasikan belanja daerahnya. Distribusi belanja dalam Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan Bali, Pulau Sulawesi dan Maluku, serta Pulau Irian Jaya dan NTB, NTT dapat dilihat selengkapnya dalam lampiran. Daerah yang memiliki potensi SDA yang banyak, relatif banyak mengalokasikan belanja daerahnya untuk belanja pembangunan dibandingkan untuk belanja rutin, seperti Pulau Kalimantan yang pada umumnya daerahnya relatif kaya akan sumber daya alam, distribusi belanja daerahnya banyak dialokasikan untuk belanja pembangunan. Dengan pembangunan daerah diharapkan dapat memperbaiki fasilitas publik, selain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat juga ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi di daerah tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara daerah di Pulau Jawa dan Bali, banyak mengalokasikan belanja daerahnyaa untuk belanja rutin, yakni belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan.

99 70 Halaman ini sengaja dikosongkan.

100 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pembahasan pengelolaan keuangan daerah dibatasi pada kinerja keuangan yang ditinjau dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran daerah. Kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan dapat ditinjau dari tiga sisi yaitu melihat kemampuan keuangan daerah yang murni berasal PAD, kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer pusat dalam bentuk DBH, dan kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer pusat yang bersifat bantuan (grant) Kinerja Keuangan Daerah Ditinjau Dari Sisi Penerimaan Daerah Kabupaten/kota di Indonesia ditinjau dari sisi penerimaan daerah, pada umumnya masih memiliki kemampuan keuangan yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya kontribusi baik PAD maupun BHPBP terhadap penerimaan daerah dibandingkan penerimaan daerah lainnya, terutama yang berasal dari transfer pusat. PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayahnya sendiri, dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimilikinya. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah (derajat desentralisasi) kabupaten/kota selama tahun semakin konvergen, namun rata-rata nilainya masih rendah di bawah 10%. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 12. Ini menunjukkan, derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota penyebarannya semakin konvergen, namun nilainya masih rendah rata-rata di bawah 10%. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan daerah, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin menurun, yang artinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin besar. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Adi (2007) terhadap semua kabupaten/kota di Jawa-Bali yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah pelaksanaan otonomi daerah. Penurunan peran PAD disebabkan

101 72 karena kenaikan penerimaan PAD lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah Badung 60 Badung Badung Badung Badung 50 Badung Badung Badung Persen Cilegon surabay a Cilegon Cilegon Surabay a Surabay a Karimun Surabay a Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode Hasil analisis boxplot juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa kabupaten/kota yang menunjukkan derajat desentralisasi fiskal yang tinggi. Kabupaten Badung memiliki derajat desentralisasi fiskal paling tinggi selama periode penelitian, hal ini disebabkan daerah tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan PADnya terutama dari sektor pariwisata. Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya, serta ditunjang oleh banyaknya objek wisata serta berbagai sarana akomodasi bertaraf internasional seperti hotel, restaurant & bar, biro perjalanan wisata dan adanya berbagai atraksi wisata yang terdapat di wilayah Badung, menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber pendapatan utama bagi Kabupaten Badung. Pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Badung lebih dari 90% diperoleh dari sektor pariwisata, dan pengembangan kepariwisataan dilakukan secara selektif dengan

102 73 selalu berpedoman pada pengembangan pariwisata dan pelestarian budaya. Pengembangan sektor-sektor lainnya diarahkan untuk menunjang sektor pariwisata, seperti pengembangan sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga terutama industri kecil dan kerajinan yang menunjang sektor pariwisata, dan selebihnya dikembangkan untuk tujuan ekspor dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Derajat desentralisasi fiskal jika dalam analisisnya ditinjau per pulau akan menghasilkan pola yang berbeda, Pulau Jawa dan Bali memiliki pola derajat desentralisasi fiskal yang lebih baik dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Selengkapnya dapat dilihat di lampiran 7 sampai lampiran 8. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota dapat dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval yang ditunjukkan pada Gambar Persen (%) Sangat kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat baik Sumber : BPS, diolah Grafik 13 Jumlah kabupaten/kota menurut derajat desentralisasi fiskal berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode

103 74 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia secara umum masuk dalam kategori sangat kurang, rata-rata di atas 79% kabupaten/kota termasuk dalam kategori ini. Pada awal tahun 2001 jumlah kabupaten/kota yang masuk kriteria sangat kurang berjumlah 286 atau sekitar 85% dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia, pada tahun 2008 menjadi 294 atau 87.5%. Daerah yang memiliki derajat desentralisasi fiskal yang termasuk kategori sangat baik selama periode hanya Kabupaten Badung di Provinsi Bali. Sumber penerimaan daerah lainnya adalah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Perkembangan derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 14, yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia Kutai Kutai Rokan Hilir Kutai Kutai Kutai Bengkalis Kutai Persen Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah. Gambar 14 Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Indonesia periode

104 75 Derajat potensi SDA dan SDM kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya juga masih rendah. Selama periode , derajat potensi SDA dan SDM kabupaten/kota perkembangannya semakin konvergen namun rata-ratanya masih di bawah 20%. Kondisi ini menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang masih rendah. Setiap kabupaten/kota mempunyai derajat potensi SDA dan SDM yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya sumber BHPBP yang dimiliki masingmasing kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat lebih jelas apabila ditinjau analisisnya per pulau, dan dapat dilihat selengkapnya di lampiran 12 sampai lampiran 16. Daerah yang mempunyai potensi SDA dan dapat memanfaatkan dengan optimal, maka daerah tersebut akan dapat meningkatkan penerimaan dari BHPBP, sementara daerah yang tidak punya potensi atau yang tidak dapat mengoptimalkan pemanfaatan SDAnya akan semakin jauh tertinggal. Terdapat beberapa daerah yang memiliki kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Daerah-daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada umumnya kaya SDA, sehingga pola derajat potensi daerahnya lebih baik dibanding daerah di pulau lainnya. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi SDA yang berlimpah, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kutai dan Bengkalis. Selain letaknya yang strategis, Kabupaten Bengkalis juga mempunyai potensi sumber daya alam yang banyak. Kekayaan alam tersebut hampir menyebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis. Potensi tersebut antara lain di sektor pertanian tanaman pangan dan holtikultura, perikanan, perternakan, perkebunan, perternakan, pertambangan dan pariwisata. Kabupaten Bengkalis merupakan penghasil minyak bumi yang terbesar, tidak hanya di Propinsi Riau tetapi juga di Indonesia. Kabupaten Kutai merupakan salah satu daerah di Kalimantan Timur yang memiliki potensi dibidang pertanian tanaman pangan. Daerah Kabupaten Kutai memiliki potensi lahan yang cukup luas, pengembangan sektor perkebunan merupakan salah satu sumber penerimaan devisa yang cukup potensial, yang terdiri dari perkebunan untuk komoditi kelapa sawit, karet, lada, kopi dan kakao. Selain itu Kabupaten Kutai memiliki potensi yang besar dalam sektor

105 76 pertambangan, yang dititikberatkan pada batu bara, emas, pasir kuarsa dan batu kapur. Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya adalah transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah baik dalam pengelolaan keuangannya maupun dalam pembangunan daerah. Adanya perbedaan potensi dan kondisi dari masing-masing daerah, menimbulkan perbedaan kemampuan keuangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut. Di satu sisi ada daerah yang kaya, namun di sisi lain ada daerah yang kemampuan keuangannya masih rendah. DAU merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan horisontal antardaerah. Dana alokasi khusus (DAK) adalah bentuk transfer pusat yang bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, yang menjadi prioritas nasional. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan, peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Besarnya kontribusi transfer pusat dalam bentuk DAU dan DAK terhadap penerimaan daerah menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat untuk kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya masih tinggi. Dengan kata lain, kabupaten/kota memiliki tingkat kemandirian fiskal yang masih rendah. Kondisi ini menjelaskan bahwa keuangan daerah masih bergantung kepada pemberian dana perimbangan. Tingginya derajat ketergantungan daerah terhadap pusat diilustrasikan oleh diagram boxplot pada Gambar 15. Pada umumnya kabupten/kota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat masih tinggi, rata-rata di atas 70%. Daerah yang memiliki derajat ketergantungan tinggi pada umumnya kabupaten/kota yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti Kabupaten Puncak Jaya. Derajat ketergantungan daerah terhadap pusat pada menunjukkan trend menurun. Derajat ketergantungan tersebut kembali mengalami peningkatan sejak Beberapa kabupaten/kota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih rendah dari daerah lainnya. Daerah tersebut terutama daerah yang memiliki derajat desentralisasi dan derajat potensi yang

106 77 tinggi. Apabila derajat ketergantungan ini ditinjau per pulau analisisnya, seperti yang dapat dilihat pada lampiran 17 sampai lampiran 21, dapat dilihat pola yang agak berbeda. Selama periode tahun Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak memiliki derajat ketergantungan paling rendah. Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak merupakan daerah yang kaya akan SDA. Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis sepanjang tahun yang digunakan untuk menanami hasil panen terutama bahan tanaman pangan dan holtikultura. Di sektor kehutanan, hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis dan kayu gelondongan. Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau Persen Kutai Kutai Siak Kutai Siak Kutai Siak Siak Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 15 Derajat ketergantungan daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat periode

107 78 Daerah yang derajat desentralisasi fiskal dan derajat potensi daerahnya lebih besar dibandingkan dengan lainnya, maka daerah tersebut akan memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih kecil dibandingkan dengan daerah lainnya Kinerja Keuangan Daerah Ditinjau Dari Sisi Pengeluaran Daerah Penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Pelaksanaan pembangunan tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah, yang diwujudkan dalam pengalokasian belanja daerah. Alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritasprioritas dan program-program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya (Priyarsono et al 2008). Alokasi belanja daerah mempunyai peranan yang sangat penting dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Perkembangan derajat belanja rutin kabupaten/kota di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 16. Perkembangan derajat belanja rutin masih menyebar dan derajatnya relatif tinggi rata-rata di atas 60%, dimana derajatnya relatif mengalami penurunan. Perbedaan kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerahnya, disebabkan karena adanya perbedaan prioritas pembangunan dari masing-masing daerah. Beberapa daerah mempunyai derajat belanja rutin lebih rendah dari daerah lainnya. Daerah tersebut adalah Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Bulongan dan Samarinda, yang memiliki derajat belanja rutin rata-rata 30%. Hal ini menunjukkan daerah tersebut lebih banyak mengalokasikan belanja daerahnya untuk kebutuhan belanja pembangunan. Belanja pembangunan merupakan jenis belanja yang menghasilkan nilai tambah aset baik fisik maupun non fisik yang dilaksanakan pada periode tertentu. Perkembangan derajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 17.

108 Persen Rokan Hilir Siak Rokan Hilir Siak Samarinda 0 Siak Bulongan Bulongan Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 16 Derajat belanja rutin kabupaten/kota untuk periode Gambar 17 di bawah menunjukkan perkembangan derajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Indonesia, yang hasilnya menunjukkan persebarannya semakin konvergen namun masih berkisar dibawah 40%. Awal pelaksanaan otonomi daerah, alokasi daerah untuk belanja pembangunan mengalami peningkatan, namun pada 2006 kembali mengalami penurunan. Beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau, memiliki derajat belanja pembangunan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Daerah tersebut adalah Kabupaten Rokan Hilir, Siak, Bulongan dan Kota Samarinda. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan adanya kewenangan daerah dalam mengelola keuangan dari sisi pengeluaran, maka masing-masing daerah mempunyai prioritas pembangunan yang berbeda sehingga alokasi belanja juga berbeda.

109 Rokan Hilir Siak Siak Bulongan Bulongan Persen Rokan Hilir Siak Samarinda Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 17 Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota untuk periode Kinerja keuangan daerah ditinjau dari sisi pengeluaran menunjukkan bahwa pada umumnya kabupaten/kota di Indonesia mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin daripada belanja pembangunan. Kondisi ini jika ditinjau dengan analisis ekonomi mengenai perilaku birokrat dalam pemerintahan, sesuai dengan pandangan Weber yang dimodifikasi oleh Niskanen (Mangkoesoebroto 1997), yang menyatakan bahwa birokrat sebagaimana juga dengan orang lain adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya melalui gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosial Derajat Kemandirian Daerah Pelaksanaan desentralisasi fiskal, berimplikasi pada semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah, sehingga daerah dituntut untuk dapat

110 81 menggali potensi yang dimilikinya yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Selain itu daerah juga dituntut untuk mampu mengoptimalkan pemanfaatannya untuk membiayai pembangunan daerah. Besarnya kemampuan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerahnya tercermin dalam besarnya penerimaan PAD dari masing-masing daerah. Derajat kemandirian daerah didefinisikan sebagai kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan belanja daerahnya, baik belanja rutin maupun belanja pembangunan yang bersumber dari PAD. Hasilnya menunjukkan bahwa PAD belum dapat secara optimal membiayai belanja rutin daerah, apalagi untuk membiayai seluruh belanja daerah termasuk belanja pembangunan. Kondisi ini dapat dilihat pada diagram boxplot pada Gambar Badung Badung Badung Badung 100 Kota Tarakan Kota Batam Badung Persen Kepulauan Riau Kota Cilegon Badung Siak Kota Tangerang Kota Surabay a Badung Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 18 Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode

111 82 Gambar 18 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun derajat kemandirian kabupaten/kota mengalami persebaran yang semakin konvergen akan tetapi ada kecenderungan menurun dan derajat kemandiriannya masih relatif rendah, rata-rata di bawah 20%. Beberapa daerah yang mempunyai derajat kemandirian di atas 60% yaitu Kabupaten Badung, Kota Surabaya, Kota Tarakan, Kota Cilegon, Kota Tangerang dan Kabupaten Siak. Kabupaten Badung, pada tiga tahun pertama pelaksanaan desentralisasi bahkan memiliki derajat kemandirian di atas 100%, dengan kata lain Kabupaten Bandung untuk periode mengalami surplus dalam membiayai belanja rutin daerahnya. Hal ini selaras dengan hasil analisis kinerja keuangan daerah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Badung memiliki derajat desentralisasi paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Perkembangan derajat kemandirian daerah ditinjau dari komponen PAD dibandingkan TBR (total belanja rutin) jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval dapat ditunjukkan pada Gambar Jumlah Kabupaten/Kota Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik Sumber : BPS, diolah Gambar 19 Jumlah kabupaten/kota menurut derajat kemandirian daerah berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode

112 83 Selama kurun waktu terdapat pergeseran kabupaten/kota ke kategori yang cukup baik. Kabupaten/kota yang masuk kategori kurang, artinya rasio PAD terhadap belanja rutin di bawah 20%, mengalami peningkatan dari 75 kabupaten/kota tahun 2001 menjadi 116 pada tahun 2005, hanya saja pada tahun 2008 menurun kembali hanya sampai 65 kabupaten/kota yang masuk kategori kurang. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah untuk menggali sumber penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri untuk membiayai belanja rutinnya mengalami penurunan mulai pada tahun Perkembangan rasio PAD terhadap total belanja kabupaten/kota di Indonesia selama tahun menujukkan persebaran yang semakin konvergen akan tetapi secara rata-rata menurun. Kondisi ini ditunjukkan pada Gambar Badung Badung Badung Badung Badung Badung 50 Kota Padang Persen Kota Surabay a Cilegon Badung Kota Surabay a Kota Surakarta Cilegon Badung Siak Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 20 Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap total belanja daerah periode

113 84 Gambar 20 menunjukkan rata-rata rasio PAD terhadap total belanja daerah masih dibawah 10%, artinya pada umumnya sumber penerimaan kabupaten/kota yang berasal dari PAD untuk membiayai pembangunan daerah masih sangat kurang. Kebutuhan belanja daerah untuk kabupaten/kota di Indonesia masih banyak bersumber dari penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Beberapa daerah yang mempunyai derajat kemandirian tinggi, yaitu Kabupaten Badung, Kota Surabaya, Kota Cilegon Kota Padang, Kota Surakarta dan Kabupaten Siak. Kabupaten Badung selama kurun waktu , mempunyai derajat kemandirian rata-rata di atas 50%. Perkembangan derajat kemandirian daerah jika ditinjau dari rasio PAD dan BHPBP terhadap total belanja daerah menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan rasio PAD terhadap total belanja, ditunjukkan pada Gambar Kutai 160 Siak Persen Rokan Hilir Rokan Hilir Kutai Tarakan Kutai Kutai Bengkalis Bengkalis Kutai Rata-rata Minimum Q Median Q Maximum IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 21 Derajat Kemandirian daerah ditinjau dari PAD dan BHPBP terhadap total belanja daerah periode

114 85 Selama kurun waktu , persebarannya semakin konvergen, ratarata menurun dari 22.26% pada tahun 2001 menjadi 17.65% pada tahun Kabupaten/kota pada tahun 2008 hanya dapat membiayai 17.65% keseluruhan belanja daerahnya yang dibiayai dari PAD dan BHPBP. Beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur mempunyai derajat kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, yaitu Kabupaken Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kutai, Kabupaten Bengkalis dan Kota Tarakan. Beberapa daerah mengalami surplus dalam membiayai belanja daerahnya. Secara umum dari semua uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan kinerja keuangan daerah dari kabupaten/kota di Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah, belum mampu meningkatkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Penyebaran kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah semakin konvergen namun nilainya masih rendah dan cenderung mengalami penurunan. Kabupaten/kota pada umumnya belum mampu membiayai semua kebutuhan belanja daerahnya hanya bersumber dari penerimaan PAD, bahkan hanya beberapa daerah saja yang cukup mampu membiayai kebutuhan belanja daerahnya dari PAD dan BHPBP, terutama daerah-daerah yang memiliki potensi SDA. Hal ini menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Hal ini disebabkan karena daerah belum mampu menggali dan memanfaatkan potensi daerah yang dimilikinya dengan optimal, sehingga ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi. 5.2 Analisis Regresi Berganda dengan Data Panel: Dampak Pemberian Dana Perimbangan terhadap Tax Effort Daerah dan Elastisitas Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap PAD dan Dana Perimbangan Dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk dana perimbangan dengan tujuan untuk mengatasi kesenjangan horisontal yang timbul karena ada

115 86 kesenjangan fiskal, dan untuk menjamin tercapainya stadar pelayanan publik. Transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD. Daerah menjadi lebih leluasa melakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan PAD, baik melalui pajak maupun retribusi daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Pengaruh transfer pemerintah pusat terhadap upaya pajak daerah (tax effort) diestimasi melalui pengujian menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode fixed effect, hal ini karena data yang digunakan meliputi semua individu dalam populasi. Pemilihan model antara metode fixed effect dan metode random effect juga dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada Tabel 10, yang menunjukkan bahwa untuk periode penelitian nilai chi square hitung lebih besar daripada chi square tabel (, sehingga cukup bukti untuk menolak Ho. Dengan demikian estimasi menunjukkan bahwa pendekatan fixed effect lebih baik dibandingkan dengan pendekatan random effect. Berarti terdapat perbedaan antar unit yang dapat dilihat melalui perbedaan dalam constans term. Dalam fixed effect model diasumsikan bahwa tidak terdapat time specific effect dan hanya memfokuskan pada individual specific effects. Tabel 10 Uji Hausman Hipotesis Penelitian Kesimpulan Ho : ada gangguan antar Tolak Ho individu (random effect) Keterangan : signifikan pada α = 5% Hasil estimasi yang dilakukan pada periode menunjukkan variabel-variabel komponen dana perimbangan berpengaruh terhadap tax effort daerah. Hasil pengujian dengan metode fixed effect dirangkum dalam Tabel 11, dan hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat di lampiran. Tabel 11 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 84.22%. Koefisien ini

116 87 menunjukkan bahwa 84.22% variasi tax effort daerah ditentukan oleh dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK, sedangkan selebihnya (15.78%) ditentukan oleh faktor lain. Tabel 11 Hasil estimasi dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah Variable Coefficient t-statistic P-value R square (R 2 ) Intercept LNDBH LNDAU LNDAK Sumber : data diolah Keterangan : signifikan pada α = 5% Hasil estimasi menunjukkan bahwa intersep dan ketiga koefisien komponen dana perimbangan (DBH, DAU dan DAK) signifikan secara statistik, dengan taraf nyata 5% (α= 5%). Hasil ini membuktikan bahwa ketiga komponen dana perimbangan tersebut mempengaruhi secara positif terhadap besaran tax effort daerah. Dengan kata lain, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan memberikan pengaruh positif terhadap tax effort daerah terbukti. Hubungan antara komponen dana perimbangan dengan tax effort daerah dapat digambarkan dalam persamaan berikut: Ln TEit = α i + β 1 lndbhit + β 2 lndauit + β 3 lndakit + ε it (5.1) = α i * * ln DBH it * ln DAU it * ln DAK it (0.0058) (0.0084) (0.0187).. (5.2) Ketiga slope pada persamaan (5.2) menunjukkan koefisien elastisitas dari komponen dana perimbangan terhadap tax effort daerah. Besaran masing-masing koefisien elastisitas dari komponen dana perimbangan pada persamaan (5.2) dapat diinterpretasikan sebagai berikut: (1) setiap kenaikan DBH sebesar 1%, maka akan mendorong kenaikan tax effort daerah sebesar 0.052%, ceteris paribus, (2) setiap kenaikan DAU sebesar 1%, maka akan mendorong kenaikan tax effort daerah sebesar 0.069%, ceteris paribus, dan (3) setiap kenaikan DAK sebesar 1%,

117 88 maka akan mendorong kenaikan tax effort daerah sebesar %, ceteris paribus. Hasil tersebut sekaligus juga mengkonfirmasi bahwa dana perimbangan dalam bentuk DAU mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan tax effort daerah dibandingkan dengan komponen dana perimbangan lainnya, DBH maupun DAK. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian DAU kepada pemerintah daerah yaitu untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Model di atas tidak mempunyai implikasi untuk proyeksi/ekstrapolasi. Pesan utama dari hasil analisis model adalah pemerintah pusat tidak perlu mengkhawatirkan adanya penurunan tax effort daerah hanya karena meningkatnya dana perimbangan (transfer). Dengan kata lain meningkatnya dana perimbangan (transfer) berdasarkan hasil analisis, tidak akan menurunkan tax effort dan dengan demikian tidak menurunkan kemandirian fiskal daerah. Implikasi lainnya adalah bahwa pemberian dana perimbangan efektif diberikan sebagai stimulus bagi daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (PAD), melalui peningkatan tax effort daerah. Pemberian transfer ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dana perimbangan dan sumber penerimaan daerah lainnya menjadi sumber pembiayaan daerah dalam memenuhi semua kebutuhan belanja daerah, baik belanja rutin maupun belanja pembangunan. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pembelanjaan dana perimbangan di daerah lebih didominasi untuk belanja rutin terutama belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai pemda, porsi belanja pembangunan relatif kecil. Hal ini mengakibatkan pembentukan modal di daerah berjalan relatif lambat. Akibatnya, efek dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan tumbuhnya investasi di daerah belum sesuai yang diharapkan. Dalam jangka panjang pembentukan modal daerah semakin besar sehingga berdampak pada kemampuan daerah untuk menarik investasi di daerah. Investasi tersebut dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah daerah melalui belanja pembangunan. Khususnya belanja pembangunan ditujukan untuk dapat memperbaiki sarana dan prasarana daerah yang diharapkan dapat meningkatkan

118 89 iklim investasi di daerah, sehingga dengan membaiknya iklim investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan daerah, terutama penerimaan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. PAD diharapkan memiliki kontribusi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan pembangunan daerah, dengan kata lain ketergantungan daerah terhadap pusat dapat dikurangi. Daerah memiliki kemandirian fiskal yang tinggi, dan dapat dikatakan otonomi daerah berjalan dengan efektif. Hasil penelitian ini mendukung temuan Stine (1994) yang menunjukkan bahwa ketika terjadi penurunan transfer yang mengalami penurunan tidak hanya pengeluaran lokal, tetapi penerimaan daerah sendiri juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena penurunan transfer mengakibatkan terjadinya penurunan dukungan pembiayaan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan penerimaan pajak, yang kemudian diantisipasi daerah dengan peningkatan hargaharga layanan publik. Peningkatan harga ini justru menjadi kontraproduktif dikarenakan tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pendapatan sendiri (PAD). PAD justru mengalami penurunan karena publik merespon negatif terhadap peningkatan harga-harga layanan publik. Perbedaan tingkat kemandirian antar kabupaten/kota, jika tanpa dana perimbangan dapat dilihat dari efek individu, α i. Beberapa daerah di Pulau Jawa dan Bali memiliki derajat kemandirian yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Secara umum, derajat kemandirian daerah kota cenderung lebih baik dibandingkan daerah kabupaten. Pengecualian terjadi di Kabupaten Badung Provinsi Bali, yang memiliki tingkat kemandirian paling baik dibanding daerah lainnya. Kemandirian Kabupaten Badung diperkuat oleh hasil analisis kinerja keuangannya, yang menunjukkan tingginya derajat kemandirian kabupaten ini Elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah terhadap PAD dan dana perimbangan Keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan

119 90 suatu daerah dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah. Salah satunya adalah kebijakan dalam mengalokasikan sumber pembiayaan daerah yang tercermin pada alokasi belanjanya. Elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan diestimasi melalui pengujian menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode fixed effect, hal ini karena data yang digunakan meliputi semua individu dalam populasi. Pemilihan model antara metode fixed effect dan metode random effect juga dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada Tabel 12, yang menunjukkan bahwa untuk periode penelitian nilai chi square hitung lebih besar daripada chi square tabel (, sehingga cukup bukti untuk menolak Ho. Dengan demikian estimasi menunjukkan bahwa pendekatan fixed effect lebih baik dibandingkan dengan pendekatan random effect. Berarti terdapat perbedaan antar unit yang dapat dilihat melalui perbedaan dalam constans term. Dalam fixed effect model diasumsikan bahwa tidak terdapat time specific effect dan hanya memfokuskan pada individual specific effects. Tabel 12 Uji Hausman Hipotesis Penelitian Kesimpulan Ho : ada gangguan antar individu (random effect) Sumber : data diolah Keterangan : signifikan pada α = 5% Tolak Ho Hasil pengujian dengan metode fixed effect dirangkum dalam Tabel 13, dan hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat di lampiran. Hasil estimasi menunjukkan variabel-variabel sumber pembiayaan daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 99%. Koefisien ini menunjukkan 99% variasi pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh sumber pembiayaan daerah, yaitu PAD dan dana

120 91 perimbangan (DBH, DAU dan DAK), sedangkan selebihnya ditentukan oleh faktor lain. Tabel 13 Hasil estimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan Variable Coefficient t-statistic Prob. R square (R 2 ) Intercept LNDBH LNDAU LNDAK LNPAD Sumber : data diolah Keterangan : signifikan pada α = 5% Hasil estimasi menunjukkan bahwa intercept maupun keempat koefisien komponen sumber pembiayaan daerah (DAU, DAK, DBH dan PAD) adalah signifikan secara statistik mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dengan taraf nyata 5% (α= 5%). Dengan kata lain, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan bernilai positif, terbukti. Hubungan antara PAD dan dana perimbangan dengan pertumbuhan ekonomi daerah dapat digambarkan dalam persamaan berikut: Ln PDRBit = α i + β 1 lndbhit + β 2 lndauit + β 3 lndakit + β 3 lnpadit + ε it...(5.3) = α * i * lndbh it * lndau it * lndak it * lnpadit.... (5.4) Koefisien elastisitas masing-masing komponen sumber pembiayaan daerah adalah sebesar (DBH), (DAU), (DAK) dan (PAD). Interpretasi atas hasil tersebut menunjukkan bahwa: (1) setiap kenaikan DBH sebesar 1%, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar %, ceteris paribus, (2) setiap kenaikan DAU sebesar 1%, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar %, ceteris paribus, (3) setiap kenaikan DAK sebesar 1%, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar %, ceteris paribus, dan (4) setiap kenaikan PAD

121 92 sebesar 1%, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar %, ceteris paribus. Perlu juga dicatat bahwa hasil analisis ini tidak mempunyai implikasi bahwa agar pertumbuhan ekonomi daerah tinggi maka DAU dan DBH harus ditingkatkan karena untuk pemberian dana perimbangan khususnya DAU dan DBH sudah ada formulanya. Interpretasi model tersebut hanya menggambarkan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah masih memerlukan dana perimbangan yang relatif cukup besar dibandingkan PAD. Hubungan tersebut menunjukkan masih tingginya ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer pusat, terutama dalam bentuk DAU, untuk membiayai pembangunan ekonomi daerah. Sebagai penutup, dapat dikemukan bahwa dalam jangka pendek dana perimbangan efektif berperan sebagai stimulus peningkatan tax effort daerah, yang pada akhirnya meningkatkan PAD dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam jangka panjang diharapkan kemandirian fiskal daerah dapat terwujud dalam struktur yang lebih sehat, yakni sumber-sumber pembiayaan daerah lebih didominasi dari PAD dibandingkan dari dana perimbangan (transfer) dari pemerintah pusat.

122 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada umumnya kinerja keuangan daerah di Indonesia masih rendah, baik ditinjau dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluarannya. Kabupaten/kota belum secara optimal menggali potensi yang dimilikinya dalam meningkatkan sumber penerimaan daerah. Di sisi lain, alokasi belanja rutin masih mempunyai kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan. Sumber pembiayaan utama belanja daerah masih banyak bersumber dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan desentralisasi fiskal, yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah dengan memperkuat PAD kabupaten/kota belum tercapai secara optimal. 2. Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan, yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan tax effort daerah. Pengaruh DAU lebih besar dibanding komponen dana perimbangan lainnya dalam memengaruhi peningkatan tax effort daerah. Pemberian dana perimbangan efektif diberikan sebagai stimulus bagi daerah dalam meningkatkan PAD terutama melalui peningkatan tax effort daerah. Dengan struktur PAD yang kuat diharapkan dapat menjadi sumber utama pembiayaan di daerah. 3. PAD dan dana perimbangan merupakan salah satu komponen dari penerimaan daerah, yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah. PAD dan dana perimbangan sebagai sumber pembiayaan daerah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi daerah masih memerlukan dana perimbangan terutama DBH dan DAU. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah,

123 94 kabupaten/kota di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pusat. 6.2 Saran Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah perlu mencari alternatif lain untuk dapat meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan tetap melihat kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat tidak semakin tinggi. Upaya peningkatan penerimaan PAD harus tetap memperhatikan dampaknya terhadap daya tarik investasi. Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah guna meningkatkan PAD, hendaknya tidak menghambat masuknya investasi ke daerah. 2. Transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan efektif digunakan sebagai stimulus bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD, terutama melalui peningkatan tax effort daerah. Peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah, yang pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah optimalisasi pemanfaatan dana transfer sebagai sumber pembiayaan pengeluaran pembangunan ditinjau dari alokasi untuk sektor-sektor unggulan dalam APBD yang dapat meningkatkan tax effort daerah. Selain itu perlu adanya pengawasan dari pemerintah atasannya dan masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana perimbangan sesuai dengan fungsinya sebagai stimulus bagi peningkatan penerimaan PAD. 3. Sumber pembiayaan daerah, yang terdiri dari PAD dan dana perimbangan memengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah pengaruh cara pengalokasian dana transfer dari pusat untuk pengeluaran pembangunan daerah yang dialokasikan ke sektor-sektor dalam APBD, di antaranya sektor industri, sektor transfortasi, sektor pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Dalam hal

124 95 ini perlu dikaji pengaruh pengalokasian dana transfer tersebut ke sektorsektor dalam APBD terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga dapat dilihat sektor-sektor unggulan mana saja yang perlu ditingkatkan alokasi dananya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara optimal.

125 DAFTAR PUSTAKA Adi PH Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang Kemampuan Keuangan Daerah dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi. The 1 st National Accounting Conference. Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Relevansi Transfer Pemerintah Pusat dengan Upaya Pajak Daerah. Surabaya: The 2 nd National Conference UKWMS. Adi PH, Wulan L Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Transfer Pemerintah Pusat. Surabaya: The 2 nd National Conference UKWMS. [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Keuangan Pemerintah Daerah TK II Tahun Jakarta: BPS. Baltagi H Econometric Analysis of Panel Data. New York: John Wiley and Sons. Bird R, Francois V Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Brodjonegoro B Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Case of General Allocation Fund. International Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices. Tokyo: Hitotsubashi University. [Departemen Keuangan] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Departemen Keuangan Republik Indonesia Dana Alokasi Umum. Http// [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2004a. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2004b. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Halim A Manajemen Keuangan Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Halim A Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: STIM YKPN. Kharisma B Peran Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Sesudah Era Desentralisasi:

126 98 Pendekatan Model Ekonometrika periode [Tesis]. Depok: Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana, FE UI. Landiyanto A Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya. Cures Working Paper No. 05/ Januari Lewis BD Tax and Charge by Regional Governments Under Fiscal Decentralization: Estimates and Explanations. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol (39) No. 2 hlm Lutfi A Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No.34/2000 oleh Pemda untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Studi Kasus di Kota Bogor. Mankiw NG Makroekonomi. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mangkoesoebroto G Ekonomi Publik. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE. Mardiasmo Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Makalah disampaikan dalam seminar pendalaman ekonomi rakyat. Martin B, Pablo S Exerting Local Tax Effort or Lobbying for Central Transfer. Journal of Economic Literature Codes: D82-H77. Mulyana B Keuangan Daerah : Perspektif Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia. Http// Nanga M Analisis Posisi Fiskal Kabupaten/Kota di NTT: Adakah Posisi Fiskal Pasca Otda Lebih Baik? Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Priyarsono DS, Widyastutik, Henny R Ekonomi Publik. Jakarta: Universitas Terbuka. Rajaraman I, Vasishtha G Impact of Grants on Tax Effort of Local Government. Journal of Economic Literature Codes: H71,H77. Republik Indonesia. 2001a. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah. Jakarta. Republik Indonesia. 2001b. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah. Jakarta. Ronauli Analisis Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Daerah Pasca Penerapan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. [Tesis]. Depok: Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana, FE UI. Saragih JP Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Seymour R, Turner S Regional Autonomy: Indonesia s Decentralization Experiment. New Zealand Journal of Asian Studies Vol (4). Desember 2002.

127 99 Sidik M Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Orasi Ilmiah disampaikan pada acara wisuda XXI STIA LAN Bandung. Stiglitz JE Economics of the Public Sector. Third Ed. New York: W.W. Norton & Company. Stine W Is the Local Government Revenue Response to Federal Aid Symmetrical? Evidence from Pennsylvania County Government in an Era of Retrenchment. National Tax Journal Vol (47) No. 4 hlm Desember Suparmoko M Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Tangkilisan HN Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widiasono. Todaro PM, Smith SC Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga. Turner M Implementing Laws 22 and 25: The Challenge of Decentralization in Indonesia. Asian Review of Public Administration Vol (XIII) No. 1. Januari Waluyo J Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Parallel Session IA: Fiscal Decentralization. Jakarta.

128 100

129 LAMPIRAN

130 101 Lampiran 1 Kontribusi komponen sumber-sumber penerimaan daerah terhadap total penerimaan daerah periode Sumber Penerimaan Daerah Tahun PAD Share (%) BHBPB Share (%) Transfer Pusat (DAU+DAK) Share (%) Penerimaan Lainnya Share (%) Jumlah , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Sumber : BPS, diolah

131 102 Lamppiran 2 Diistribusi belanja rutin dan d belanja pembangun p nan Pulau Suumatera perriode P Persen (%) Tahun Belanja Ruutin Beelanja Pembanngunan Lamppiran 3 Disstribusi bellanja rutin dan d belanjaa pembanguunan Pulauu Jawa dan Baali periode Persen (%) Tahun Belanja Ruutin Bellanja Pembanggunan

132 103 Lampiran 4 Distribuusi belanja rutin r dan beelanja pembbangunan Puulau Kalim mantan periode Persen (%) Tahun Belannja Rutin Belanja Pembbangunan Lampiran 5 Distribuusi belanja rutin dan belanja pem mbangunan Pulau Sulaawesi dan Maluku M perioode Persen (%) T Tahun Beelanja Rutin Belanja Peembangunan 2008

133 104 Lampiran 6 Distribusi belanja rutin dan belanja pembangunan Pulau Irian, NTB dan NTT periode Persen (%) Tahun Belanja Rutin Belanja Pembangunan

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi global senantiasa berdampak terhadap negara-negara yang sedang berkembang, selain mendorong perkembangan ekonomi lokal dampak lain adalah terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA Oleh SUPARNO PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pembahasan pengelolaan keuangan daerah dibatasi pada kinerja keuangan yang ditinjau dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran daerah.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Bentuk pelaksanaan desentralisasi ditandai dengan diberlakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan otonomi daerah diawali dengan dikeluarkannya ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian otonomi dimaksud adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya

I. PENDAHULUAN. Provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah sejak lama sistem pemerintahan di Indonesia diwacanakan untuk menganut sistem pemerintahan Otonomi Daerah, bahkan sejak tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud dari amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT Lia Ekowati, Cathryna R.B.S, Rodiana Listiawati Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Jakarta, Depok, 16422 Email: liaekowati@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tata kelola yang diselenggarakan pemerintahan secara baik dalam suatu Negara merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Pemerintah wajib menerapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE 2001-2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang- BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia memasuki dimensi baru dalam matriks kehidupan masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

INUNG ISMI SETYOWATI B

INUNG ISMI SETYOWATI B PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Sejarah perjalanan pembangunan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era reformasi ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap pelayanan prima dari pemerintah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat semakin besar sejak era

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S ANALISIS POTENSI DAN KINERJA DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA SURAKARTA T E S I S OLEH : SATOTO MARTONO NIM : P 100040065 MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2006 i ANALISIS POTENSI DAN KINERJA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan reformasi di segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Pembangunan daerah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dijalankan selama ini. Keberhasilan akan ditentukan dari bagaimana kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan strategi yang bertujuan ganda. Yuwono, dkk (2005) menyatakan strategi tersebut adalah (1) pemberian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan otonomi daerah diberlakukan sejak tanggal 1 januari 2001 membawa implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci