BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian NAFLD Hati (hepar, liver) merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat metabolisme tubuh. Apabila terjadi gangguan dalam metabolisme, maka hati adalah organ yang berpotensi besar mengalami gangguan. Salah satu gangguan hati yang sering terjadi adalah Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). (Arciello et al, 2013) NAFLD merupakan gangguan hati yang disebabkan karena abnormalitas metabolis melemak. Penyakit ini ditandai dengan adanya infiltrasi lemak khususnya trigliserida (TG) yang menyerang lebih dari 5% dari total sel-sel hati (hepatocyte) tanpa disertai adanya konsumsi alkohol yang berlebihan (diatas 20 g/hari bagi pria dan 10g/hari bagi wanita) dan kerusakan hati yang disebabkan oleh virus ataupun penyakit hati lainnya. (Durazzo et al, 2014 ; Lankarani et al, 2013) 2.2. Spektrum NAFLD Rentangan NAFLD dimulai dari simple steatosis hingga Non Alcoholic Steato Hepatitis (NASH) yang ditandai dengan adanya degenerasi lemak (steatosis), kerusakan hepatocellular, dan inflamasi lobular. Kerusakan ini nantinya akan berakhir menjadi fibrosis, sirosis (cirrhocis), atau hepatocellular carcinoma. Penentuan spektrum ini, hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan biopsi. (Durazzo et al, 2014 ; Fruci et al, 2013 ; Liao et al, 2013 ; Schwenger et al, 2014) 2.3. Epidemiologi NAFLD Berdasarkan pemeriksaan ultrasonography (USG) dan fungsi hati, prevalensi NAFLD berkisar antara 17-33% dan NASH sekitar %.

2 6 Sementara itu, kelainan hati lebih lanjut berupa sirosis ditemukan pada 25% pasien yang memiliki NASH. (Alvina, 2010) 2.4. Faktor Risiko NAFLD Gaya hidup merupakan faktor risiko utama terjadinya NAFLD meskipun penyakit ini akan dapat didahului oleh kelainan-kelainan sindrom metabolik (Tabel 2.1). Studi dari Saudi Arabia melaporkan bahwa terjadinya sindrom metabolik berkaitan erat dengan faktor gaya hidup. Pada individu pre-diabetes, faktor gaya hidup ini (sedentary dan hypercaloric) dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya NAFLD. (Lankarani et al, 2013 ; Al-Jiffri et al, 2013 ; Berardis et al, 2013 ; Liu et al, 2014) Ternyata, sindrom metabolik tidak hanya menjadi penyebab NAFLD tetapi juga dapat menjadi faktor risiko yang memperburuk NAFLD. Studi dari Yogyakarta melaporkan bahwa pasien yang mengalami obesitas disertai dengan hypertriglyceridemia berisiko 3-4 kali lipat berkembang menjadi NASH. Sedangkan, pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 cenderung terkena NAFLD dalam waktu 7 tahun dan lebih berisiko 10 kali lipat terkena NAFLD dibandingkan dengan pasien NAFLD tanpa disertai diabetes mellitus tipe 2. (Ratnasari et al, 2012) Dari segi jenis kelamin, kecenderungan NAFLD masih belum menghasilkan data yang sama. Sebagian studi melaporkan bahwa NAFLD cenderung terjadi pada wanita karena wanita lebih cenderung terkena sindrom metabolik. Hal ini disebabkan karena penimbunan visceral adiposa wanita lebih banyak dibandingkan pria. Penimbunan ini juga dipengaruhi oleh faktor usia. Pada wanita, kecenderungan NAFLD meningkat setelah menopause karena penurunan fungsi protektif estrogen. Selain itu, menopause menyebabkan perubahan distribusi lemak tubuh wanita menjadi visceral adiposa. Sedangkan pada pria, kecenderungan terjadinya NAFLD dipengaruhi oleh peningkatan berat badan. Namun, studi lainnya melaporkan bahwa jenis kelamin tidak menjadi faktor risiko NAFLD karena kedua jenis kelamin tersebut memiliki kecenderungan yang sama. (Schwenger et al, 2014)

3 7 Dari segi umur, studi dari Semarang melaporkan bahwa NAFLD memiliki kecenderungan pada usia antara tahun dengan rata-rata terjadi pada usia 48 tahun. Sekitar 58,3% pasien berada dalam kelompok usia tahun. Sedangkan, pasien lainnya (33,3%) berada dalam kelompok usia tahun. (Sari, 2012) 2.5. Penyebab NAFLD Sampai saat ini, terjadinya NAFLD dipercaya berkaitan dengan sindrom metabolik. Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005, kriteria sindrom metabolik terdiri dari lima komponen yang tercantum dalam tabel 2.1. Apabila tiga/lebih diantara lima kriteria tersebut terpenuhi, maka diagnosis sindrom metabolik dapat ditegakkan. Namun, sumber lain mengatakan bahwa diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila ditemukannya obesitas sentral yang disertai minimal dua kriteria berikut. (Chalasani et al, 2012 ; Ratnasari et al, 2012) Tabel 2.1. Kriteria Sindrom Metabolik Menurut IDF 2005 No Kriteria Nilai 1 Obesitas 2 Trigliserida 3 Penurunan HDL 94 cm (Pria Eropa), 80 cm (Wanita Eropa) ; 90 cm (Pria Asia), 80 (Wanita Asia) 150 mg/dl (1.7 mmol/l) atau sedang dalam terapi <40 mg/dl (1.03 mmol/l) pada pria ; <50 mg/dl (1.29 mmol/l) pada wanita atau sedang dalam terapi 4 Peningkatan Tekanan Darah Tekanan Sistolik 130 atau Tekanan Diatolik 85 atau sedang dalam terapi 5 Kadar Gula Darah (KGD) Puasa 100 mg/dl (5.6 mmol/l) atau sebelumnya didiagnosa DM tipe 2

4 8 Studi dari Jakarta melaporkan bahwa kelima kriteria tersebut (baik tunggal maupun kombinasi) memiliki prevalensi masing-masing terhadap kejadian NAFLD yang tertera dalam tabel berikut : (Alvina, 2009) Tabel 2.2. Prevalensi NAFLD Berdasarkan Distribusi Sindrom Metabolik No Faktor Risiko Nilai (%) 1 Dislipidemia DM (Diabetes Mellitus) Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia Hipertensi Obesitas 10 7 Dislipidemia + Hypertension Dislipidemia + DM DM + Hiperkolesterolemia DM + Hipertrigliseridemia DM + Hipertensi Hiperkolesterolemia+ Hipertensi Obesitas+ Dislipidemia Obesitas+ DM Obesitas+ Hiperkolesterolemia Tiga Faktor Risiko* 6.6 Tanda * :DM-hipertensi-dislipidemia dan obesitas-dm-hipertensi 2.6. Mekanisme NAFLD Pola makan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan akumulasi lemak pada hati yang terdiri dari aspek kuantitas dan kualitas makanan.

5 9 Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol dapat menyebabkan resistensi insulin dan inflamasi hepatocyte. Selain itu, konsumsi fruktosa juga dapat meningkatkan trigliserida pada plasma dan jaringan adiposa visceral. (Alwahsh et al, 2014 ; Al-Jiffri et al, 2013; Schwenger et al, 2014) Hubungan pola makan dengan sindrom metabolik akan jelas terlihat pada skema berikut : Pola Makan Kuantitas makanan (makan berlebihan) Kualitas Makanan (Tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori) *Obesitas *Peningkatan TG ; *Penurunan HDL Peningkatan lemak perifer dan visceral Resistensi Insulin Terbentuknya atherosclerotic Akumulasi pada hati Resistensi Insulin Hepatic *Peningkatan KGD (DMT2) *Peningkatan Tekanan Darah (Hipertensi) TANDA-TANDA SINDROM METABOLIK NON ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE (NAFLD) Tanda * : Kriteria sindrom metabolik Gambar 2.1. Skema Penyebab NAFLD Trigliserida yang diperoleh dari makanan akan ditangkap oleh hepatocyte. Selanjutnya, trigliserida tersebut akan mengalami peroksidasi lipid yang akan meningkatkan produksi pro inflammatory cytokines. Selain itu, penumpukan trigliserida juga menyebabkan pengeluaran stress oxidative yang memicu

6 10 terjadinya inflamasi. (Schwenger et al, 2014) Hubungan NAFLD terhadap pola hidup sehari-hari juga berkaitan dengan pemilihan jenis makanan. Studi dari Jerman melaporkan bahwa makanan yang mengandung pemanis buatan diyakini sebagai penyebab NAFLD. Salah satu jenis pemanis buatan yang sering digunakan oleh pabrik industri yaitu fruktosa. Golongan monosakarida ini banyak ditemukan pada softdrink dan makanan kemasan. (Alwahsh et al, 2014) Tidak sepeti glukosa yang dapat dipakai langsung oleh jaringan tubuh, fruktosa akan mengalami metabolisme terlebih dahulu. Tentunya, metabolisme zat ini terjadi di dalam hati. Adanya fruktosa pada hati akan mempermudah terjadinya kerusakan oksidatif sel dan peroksidasi lipid, yaitu proses degradasi oksidatif lemak tidak jenuh di bagian sel yang mengalami inflamasi. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa fruktosa dapat memperparah kondisi inflamasi hepatocyte. (Alwahsh et al, 2014) Salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid ini yaitu 4-hydroxynonenal (4-HNE). Adanya 4-HNE ini akan menyebabkan gerakan kemotaksis sehingga menarik neutropil granulosit menuju sel-sel hati yang mengalami inflamasi. Selain itu, adanya Lipocalin-2 (LCN-2) pada neutrofil juga dapat dijadikan indikator adanya sel yang telah terekspos oleh bakteri/mikroorganisme. (Alwahsh et al, 2014) Selain sebagai indikator terhadap mikroorganisme, LCN-2 juga dianggap sebagai indikator fatty liver pada beberapa studi hewan coba. LCN-2 yang beredar di sirkulasi berfungsi sebagai transporter umum yang dapat mengikat substansi lipofilik kecil salah satunya adalah lipid. Sehingga, apabila ditemukan kadar LCN- 2 yang berlebih, maka dapat disimpulkan bahwa kadar lipid sirkulasi juga meningkat. (Alwahsh et al, 2014) Studi yang sama juga melaporkan bahwa peningkatan LCN-2 merupakan penanda adanya apoptosis dan respon fase akut yang disertai dengan penurunan fungsi mitokondria. Dengan begitu, LCN-2 juga berperan dalam fungsi regulasi

7 11 imun tubuh pada hati. (Alwahsh et al, 2014) Selain itu, penekanan pada LCN-2 dapat menurunkan obesitas yang diinduksi oleh insulin resistensi. Hal tersebut juga didukung oleh data yang diperoleh pada pemeriksaan manusia yaitu adanya peningkatan konsentrasi serum LCN-2 pada pasien diabetes. (Alwahsh et al, 2014) Selain itu, pemasukan fruktosa secara berlebihan dan terus-menerus akan menyebabkan peningkatan translokasi lipopolysaccharide (LPS, endotoxin) dari usus menuju vena portal. Akibatnya, permeabilitas intestinal akan meningkat dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. (Alwahsh et al, 2014) Fakta tersebut didukung oleh hasil studi dari wilayah Cina yang mengkaji mengenai microbiota usus (gut microbiota). Microbiota ini merupakan unsur biologi yang berfungsi dalam proses metabolisme, fisiologi, dan imunologi tubuh. Apabila terjadi gangguan pada microbiota ini, maka dapat menyebabkan kerusakan pada ketiga fungsi tersebut. Studi ini juga melaporkan bahwa akumulasi lemak pada hati (hepatic fat accumulation) dapat terjadi akibat ketidakseimbangan komposisi microbiota yang disebabkan oleh obesitas (yang berkaitan dengan sindrom metabolik), diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, kuantitas hepatocyte yang terinfiltrasi lemak juga dipengaruhi oleh keberadaan microbiota ini. Melalui vena porta (penghubung antara hati dan usus), microbiota usus ini dapat menjadi stimulator inflamasi selsel hati dan resistensi insulin pada hati (hepatic insulin resistence). (Liu et al, 2014 ; Alwahsh et al, 2014) Namun, studi dari Korea memberikan paparan yang berbeda terhadap kasus ini. Studi tersebut meyakini bahwa resistensi insulin hepatik disebabkan oleh akumulasi lemak pada tempat yang salah (ectopic adiposa) pada hepatocyte bukan karena visceral adiposa. Hal inilah yang menyebabkan resistensi insulin hepatik tetap terjadi meskipun telah dilakukan penurunan visceral adiposa bagi individu obesitas. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ectopic adiposa merupakan penyebab terjadinya resistensi insulin hepatik tanpa adanya visceral obesity. (Seo et al, 2013)

8 12 Selain microbiota usus, Helicobacter pylori (H. pylori) juga berperan terhadap resistensi insulin. Infeksi bakteri ini ternyata lebih banyak ditemukan di negara berkembang daripada negara maju. Infeksi yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya respon imun dan inflamasi kronis. Efek dari kedua respon ini akan menyebabkan lesi lokal dan non lokal (remote lesion). Adanya lesi lokal akan menyebabkan penyakit gastritis, peptic ulcer disease, dan kanker lambung. Apabila lesi tersebut ditemukan di hati, maka akan menginduksi terjadinya NAFLD. (Li et al, 2013) Beberapa studi melaporkan bahwa fetuin-a merupakan zat intermediate yang berfungsi sebagai mediator resistensi insulin yang diinduksi oleh H. pylori. Studi pendukung melaporkan bahwa individu yang terinfeksi H. pylori ternyata memiliki kadar fetuin-a yang tinggi. (Manolaksis et al, 2011) Fetuin-A disekresikan oleh hati dan diedarkan secara sistemik melalui pembuluh darah. Adanya zat ini di dalam sirkulasi diyakini berhubungan dengan resistensi insulin, metabolisme glukosa, dan awal timbulnya DM. (Li et al, 2013) Mekanisme kerja zat ini yaitu dengan menghambat reseptor endogen insulin-tyrosine kinase pada hati dan otot lurik (skeletal muscle). Selain itu, fetuin-a juga menghambat insulin-tyrosinephosphorylase dari substrat reseptor insulin yang akhirnya akan mempengaruhi sinyal insulin. Apabila sinyal insulin terganggu, maka akan berdampak pada regulasi glukosa yang mayoritas diperoleh dari otot, hati dan cadangan lemak. Sinyal yang terganggu ini akan berujung pada resistensi insulin. Jika terjadi di hati, maka akan terjadi NAFLD. (Li et al, 2013) Studi lainnya meyakini bahwa fetuin-a merupakan pertanda adanya inflamasi karena fetuin-a berfungsi sebagai sitokin anti-inflamasi yang diproduksi dan disekresikan ketika terjadi inflamasi dan memodulasi reaksi inflamasi. (Kebapcilar et al, 2010) Sebagai pusat metabolisme, hati berperan dalam pengubahan vitamin D menjadi 25(OH)D. Proses pengubahan ini dipercepat dengan adanya produksi garam empedu dan kadar vitamin D sirkulasi. Kadar vitamin D sirkulasi akan berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan uptake vitamin D tersebut ke dalam hati. Sehingga, akan lebih banyak 25(OH)D yang terbentuk. (Seo et al, 2013)

9 13 Selain itu, vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi adiponectin melalui penghambatan sistem RAS (Renin Angiotensin System). Sebaliknya, peningkatan aktivitas RAS akan menurunkan fungsi vitamin D sehingga akan menurunkan sekresi adiponectin yang merupakan zat protektif terhadap NAFLD. (Seo et al, 2013). Fungsi protektif adiponectin ini meliputi dua cakupan yaitu sebagai antiinflamasi dan stimulator sensitivitas insulin. Apabila terjadi penurunan kadar adiponectin, maka resistensi insulin juga akan terjadi. (Schwenger et al, 2014) Terjadinya resistensi insulin akan meningkatkan aktivitas lipolisis jaringan lemak perifer (peripheral adipose tissue) sehingga menyebabkan peningkatan masuknya Free Fatty Acid (FFA) ke hepatocyte. Selain itu, keadaan hyperinsulinemia dan hyperglycemia juga meningkatkan aktivitas lipogenesis (pembentukan lemak) dan penghambatan oksidasi FFA secara tidak langsung. (Qu et al, 2013) Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar vitamin D dapat menyebabkan terjadinya NAFLD melalui mekanisme adiponectin dan resistensi insulin. Selain itu, data yang diperoleh dari studi hewan coba melaporkan bahwa defisiensi vitamin D akan semakin memperburuk NAFLD karena menyebabkan peningkatan hepatic resistin dan aktivasi reseptor Toll. (Seo et al, 2013) 2.7. Diagnosis NAFLD NAFLD tidak dapat ditentukan hanya dengan anamnesis saja karena kebanyakan pasien tidak merasakan adanya gejala (asymptomatic). Namun, untuk pasien yang mengalami obesitas (khususnya obesitas sentral), sindrom metabolik, keluhan nyeri perut kanan atas, dan gangguan toleransi fisik (mudah lelah dan sakit kepala) perlu curiga terhadap kemungkinan adanya NAFLD. Studi dari Semarang melaporkan bahwa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan atas ditemukan sekitar 58.3%. Sedangkan, pasien dengan keluhan mudah lelah ditemukan sekitar 36,1%. (Schwenger et al, 2014; Sari, 2012) Studi dari India melaporkan bahwa hampir 90% subjek dengan diagnosa NAFLD memiliki Achantosis nigricans, yaitu warna kehitaman pada kulit yang terdapat di lipatan-lipatan tubuh. Hingga saat ini, adanya manifestasi tersebut dipercaya memiliki hubungan dengan hyperinsulinemia. Di Ghuangzhou, deteksi

10 14 NAFLD melalui palpasi abdomen berupa pembesaran hati (hepatomegali) ditemukan sebesar 26%-50%. Selain itu, studi pada populasi Asia melaporkan bahwa resistensi insulin (insulin resistence) merupakan manifestasi klinis pertama yang ditemukan sebanyak 80% pada pasien NAFLD. (Schwenger et al, 2014 ; Liao et al, 2013 ; Patell et al, 2014 ; Amarapurkar, 2011 ; Alvina, 2010) Dari pemeriksaan darah, peningkatan enzim alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) tanpa adanya gangguan/penyakit hati lainnya dapat mengindikasikan NAFLD. Selain itu, perbandingan antara kedua enzim tersebut (AST/ALT) kurang dari 1 ditemukan pada sekitar 50% pasien simple steatosis dan sekitar 80% pada pasien NASH. Namun, kadar normal enzim transaminase juga dapat ditemukan pada pasien NASH. Sehingga, hasil pemeriksaan enzim ini hanya berfungsi sebagai langkah awal diagnostik bukan sebagai kriteria diagnostik pasti karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (sekitar 64% dan 81%). (Schwenger et al, 2014 ; Berardis et al, 2013) Alat diagnostik lainnya yaitu ultrasonography (USG). Penggunaan USG ini dapat dijadikan sebagai media screening dan diagnostik lini pertama NAFLD karena memiliki beberapa keuntungan yaitu aman (non-invasi) dan terjangkau dengan kisaran sensitivitas 82-89% dan spesivisitas 93%. (Liao et al, 2014 & Schwenger et al, 2014 ; Alvina, 2010) Deteksi NAFLD menggunakan media USG mencapai 17-46% pada populasi Eropa, USA, dan negara Asia. Sedangkan di China, deteksi penyakit ini menggunakan media yang sama ditemukan sebesar 31% (pria) dan 16% (wanita) diperoleh pada individu yang melakukan cek kesehatan rutin. Sementara itu,di RSUP dr. Kariadi Semarang dilaporkan deteksi kasus ini sekitar 4-7% pada tahun (Liao et al, 2014 ; Sari, 2012) Diagnostik NAFLD melalui gambaran USG dapat ditegakkan apabila terpenuhinya dua diantara tiga kriteria berikut: a. Peningkatan pantulan hati (hyperechoic) terhadap limpa atau ginjal ; b. Melemahnya pantulan pembuluh darah hati (hypoechoic) dan c. Penurunan warna terhadap sinyal ultrasonografi (gambaran menghitam).

11 15 Namun, ketiga kriteria tersebut dapat dideteksi apabila minimal 30%-33% hepatocyte telah terinfiltrasi oleh lemak. (Karimi et al, 2011 ; Patell et al, 2014) Berdasarkan gambaran pada USG tersebut, infiltrasi lemak dapat dibagi dalam tiga derajat, yaitu : a. Ringan, ditandai dengan penyebaran ekogenitas ringan tanpa ada kerusakan pembuluh darah intrahepatic ; b. Sedang, peningkatan ekogenitas sedang yang disertai dengan sedikit kerusakan pembuluh darah intrahepatic ; c. Berat, peningkatan ekogenitas hati yang nyata yang disertai dengan sulitnya identifikasi vena porta dan diafragma. (Sari, 2012) Selain USG, alat diagnostik non-invasi lainnya yaitu Fatty Liver Index, yang terdiri dari empat buah komponen yaitu : a. Indeks Massa Tubuh (IMT) ; b. Lingkar Pinggang ; c. Kadar Trigliserida (TG) dan d. Gama Glutamiltransferase (GGT) Keempat komponen tersebut memiliki korelasi satu sama lain melalui rumus berikut: Indeks ini sudah digunakan pada studi populasi dengan ketepatan 0.84 dalam deteksi fatty liver. Apabila score yang diperoleh <30, maka hasil dapat diabaikan. Namun, apabila mencapai 60, maka dapat dikategorikan hepatic steatosis. (Schwenger et al, 2014) Teknologi pencitraan lainnya seperti computed tomography (CT) dan Nuclear Magnetic Resonance Imaging (Nuclear MRI) dapat digunakan dalam

12 16 diagnosis NAFLD dengan beberapa pertimbangan. Kelebihan alat diagnostik ini yaitu dapat menentukan jumlah lemak di hati. Namun, biaya yang diperlukan dalam pemeriksaan ini sangat mahal. Selain itu, informasi yang diberikan dari pencitraan ini tidak lebih baik jika dibandingkan dengan USG. (Schwenger et al, 2014) 2.8. Staging NAFLD Untuk membedakan spektrum NAFLD, maka baku emas yang seharusnya digunakan adalah pemeriksaan histopatologi (biopsi). Media ini dapat membedakan simple steatosis, NASH dengan atau tanpa fibrosis/sirosis. Namun, media ini digunakan setelah hasil pemeriksaan laboratorium dan USG membuktikan adanya steatosis. (Sari, 2012 ; Schwenger et al, 2014) Sayangnya, penggunaan biopsi ini kurang disukai karena sifatnya yang invasi. Maka dari itu, penggunaan media non-invasi lainnya mulai diperkenalkan yaitu NAFLD Fibrosis Score (NFS), Fibrometer, dan Fibroscan. Ketiga jenis pemeriksaan ini memiliki fungsi, kelebihan, kekerurangan, dan variabel pengukuran yang berbeda. (Schwenger et al, 2014) Pada NFS, metode ini mengukur enam buah variabel yang terdiri dari usia, kadar Indeks Massa Tubuh (IMT), hiperglikemia, jumlah trombosit, kadar albumin, dan rasio AST/ALT. (Schwenger et al, 2014). Keenam variabel tersebut berkorelasi satu sama lain melalui rumus berikut : Selain sebagai media yang akurat untuk mengukur kemungkinan (probability) terjadinya fibrosis, rumus ini juga dapat mengkategorikan ada atau tidaknya fibrosis pasien NAFLD. Interpretasi hasil terhadap rumus ini terdiri dari tiga macam, yaitu :

13 17 a. Rendah (kemungkinan kecil menjadi fibrosis), apabila nilai yang diperoleh < -1.5 b. Sedang (kemungkinan sedang menjadi fibrosis), apabila nilai yang diperoleh -1.5 < nilai < 0.67 c. Tinggi (kemungkinan besar menjadi fibrosis), nilai yang diperoleh > 0.67 (Schwenger et al, 2014) Apabila telah terjadi fibrosis, maka media yang dapat digunakan untuk mengukur persentase sel yang mengalami fibrosis tersebut yaitu fibrometer. Sama seperti NFS, fibrometer ini juga menggunakan rumus dan mengukur beberapa variabel yaitu usia, berat badan, KGD puasa, AST, ALT, ferritin, dan jumlah trombosit. Rumus fibrometer ini yaitu : (Schwenger et al, 2014) Penilaian fibrosis tersebut juga dapat dilakukan tanpa penggunaan rumus yaitu dengan fibroscan (transient elastography). Dalam menilai adanya fibrosis, media ini menilai tingkat kekakuan hati melalui pemantulan gelombang yang melewati kulit. Selanjutnya, gelombang tersebut akan mengalir melalui sirkulasi dan bermuara pada hati. Kecepatan aliran gelombang ini akan diukur dengan alat ultrasound. Selain itu, kecepatan aliran ini juga akan berhubungan dengan kekakuan hati. Semakin besar kekakuan hati yang terukur, maka akan semakin besar derajat fibrosis yang terjadi. Penilaian alat ini meliputi empat skala penilaian, yaitu : (Schwenger et al, 2014) a. Nilai 0, menunjukkan tidak ada steatosis; b. Nilai 1, menunjukkan adanya fibrosis perivenular dan atau perisinusoidal; c. Nilai 2, menunjukkan adanya fibrosis pada pericellular dan portal;

14 18 d. Nilai 3, menunjukkan adanya fibrosis pada septum (septal fibrosis); e. Nilai 4, menunjukkan adanya sirosis. (Schwenger et al, 2014) 2.9. Terapi NAFLD Dalam penatalaksanaan, NAFLD dimulai dengan terapi non farmakologi terlebih dahulu yaitu melalui perubahan gaya hidup. Pengaturan kuantitas dan kualitas makanan beserta aktivitas fisik dapat menunda progresivitas penyakit. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi antara aktivitas fisik, asupan makanan, dan modifikasi pola hidup dapat menurunkan 7-10% berat badan pasien obesitas dengan NASH. (Schwenger et al, 2014) Terkadang, perubahan pola hidup tidak dapat memberikan hasil yang efektif untuk beberapa kasus. Sehingga, dibutuhkan terapi obat seperti metformin dan thiazolidinediones (TZD) yang merupakan obat sensitisasi insulin. (Schwenger et al, 2014) Metformin merupakan obat yang digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara mengurangi glukogeogenesis (hati) dan penyerapan glukosa pada usus. Dengan demikian, stimulasi glukosa otot dan oksidasi FFA dapat terjadi. (Schwenger et al, 2014) Sementara itu, thiazolidinediones (TZD) merupakan obat primer yang digunakan untuk meningkatkan sensitisasi insulin di jaringan hati, otot, dan lemak. Obat ini juga meningkatkan oksidasi asam lemak dan menurunkan lipogenesis hati. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa pemberian obat sensitisasi insulin ini masih menjadi kontroversi. (Schwenger et al, 2014) Penggunaan asam empedu sekunder seperti UDCA (ursodeoxycholic acid) dilaporkan dapat menurunkan nilai enzim hati. Namun, zat ini tidak berpengaruh pada jumlah lemak yang menginfiltrasi hati. (Schwenger et al, 2014) Untuk menangani hiperlipidemia, digunakan N-3 PUFA. Beberapa studi melaporkan adanya hubungan antara resistensi insulin dengan penggantian asam lemak. Pada studi hewan coba dan manusia, zat ini dapat mengurangi steatosis

15 19 dan meningkatkan sensitivitas insulin maupun mediator biokimia inflamasi. (Schwenger et al, 2014) Karena pasien NAFLD juga sering disertai dengan dislipidemia, maka penggunaan statin juga diperlukan sebagai terapi. Tetapi, obat ini hanya digunakan pada pasien yang mengalami dislipidemia. Sedangkan, pada pasien yang tidak disertai gangguan tersebut, obat ini tidak memberikan efek yang berarti. (Schwenger et al, 2014) Untuk mengatasi masalah bakteri di usus, penggunaan prebiotik merupakan terapi pilihan. Zat ini merupakan karbohidrat tak tercerna yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri. Sedangkan, pemberian probiotik (mikroorganisme hidup) dapat menurunkan enzim hati. (Schwenger et al, 2014) Ternyata, vitamin E juga dapat digunakan sebagai salah satu terapi NAFLD. Vitamin ini bekerja sebagai penghambat stress oxidative dan mengurangi fibrosis hepatis. (Schwenger et al, 2014) Selain perubahan pola hidup dan obat-obatan, penanganan melalui bedah juga bisa menjadi pilihan seperti bariatric surgery. Melalui operasi ini, ukuran lambung pasien dapat diperkecil. Sehingga, porsi makanan juga dapat berkurang. Namun, indikasi pemilihan metode ini yaitu apabila pasien dengan IMT>40 kg/m 2. (Schwenger et al, 2014) Prognosis NAFLD Deteksi yang terlambat akan menyebabkan progresivitas simple steatosis menjadi NASH. Data dari sebuah studi melaporkan bahwa prevalensi NASH ditemukan pada sepertiga populasi NAFLD. Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi progresivitas NASH dan juga proses fibrosis. Kedua keadaan ini merupakan faktor predisposisi terjadinya sirosis hati dengan tingkat kematian sekitar 12%-25% dalam waktu 7-10 tahun. (Karimi et al, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan kumpulan gangguan hati yang ditandai dengan adanya perlemakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang tidak boleh diabaikan (Charlton et al., 2009).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama pada beberapa negara dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver disease ( NAFLD ) merupakan gangguan pada hati yang biasa terjadi di dunia, insiden yang paling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. (1) Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sindroma metabolik merupakan sindrom yang terdiri atas faktor-faktor yang saling berhubungan dalam meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, yaitu diabetes

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada zaman modern ini, seluruh dunia mengalami pengaruh globalisasi dan hal ini menyebabkan banyak perubahan dalam hidup manusia, salah satunya adalah perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma metabolik merupakan sindrom yang terdiri atas faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma metabolik merupakan sindrom yang terdiri atas faktor-faktor 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma metabolik merupakan sindrom yang terdiri atas faktor-faktor yang saling berhubungan dalam meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, yaitu diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat modern cenderung hidup dengan tingkat stres tinggi karena kesibukan dan tuntutan menciptakan kinerja prima agar dapat bersaing di era globalisasi, sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat Sindrom metabolik, juga dikenal sebagai sindrom resistensi insulin atau sindrom X, merupakan istilah yang biasa digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus kini telah menjadi ancaman dalam kesehatan dunia. Jumlah penderita diabetes melitus tidak semakin menurun setiap tahunnya, namun justru mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index (BMI), pengukuran lingkar pinggang, rasio lingkar panggul pinggang, skinfold measurement, waist stature rasio,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di zaman modern ini. Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit dimana terjadi penimbunan lemak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi diet tinggi lemak dan fruktosa di masyarakat saat ini mulai meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya konsumsi junk food dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan salah satu penyakit yang mulai mendapat perhatian dari penduduk dunia. NAFLD adalah istilah yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. umum disebabkan peningkatan enzim liver. Penyebab yang mendasari fatty liver

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. umum disebabkan peningkatan enzim liver. Penyebab yang mendasari fatty liver BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fatty adalah akumulasi triglycerid lemak lainnya di hepatosit. Paling umum disebabkan peningkatan enzim. Penyebab yang mendasari fatty dapat berhubungan alkohol

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, jumlah penderita DM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat. Penelitian sejak tahun 1990-an menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi muncul masalah gizi lebih

Lebih terperinci

Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik

Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik TINJAUAN PUSTAKA Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik Randy Adiwinata 1, Andi Kristanto 1, Finna Christianty 1, Timoteus Richard 1, Daniel Edbert 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Katolik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Metabolik adalah sekumpulan gangguan metabolik dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik,

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik, 1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik, seperti diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, obesitas dan sindrom metabolik (Afzali et al.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga menderita sindroma metabolik. Seluruh subyek penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang. relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang. relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan cadangan lemak menimbulkan perbedaan besar dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP 3.1 KERANGKA TEORI klasifikasi : Angina pektoris tak stabil (APTS) Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan munculnya hiperglikemia karena sekresi insulin yang rusak, kerja insulin yang rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan suatu penyakit yang diakibatkan karena penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh. Asam

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perubahan pola kesakitan dan kematian dari penyakit infeksi dan malnutrisi ke penyakit tidak menular menunjukan telah terjadinya transisi epidemiologi di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang digunakan untuk menilai status gizi seorang individu. IMT merupakan metode yang murah dan mudah dalam mengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang terus mengalami perubahan, terutama di bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang terus mengalami perubahan, terutama di bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman, Indonesia sebagai negara berkembang terus mengalami perubahan, terutama di bidang teknologi dan industri. Seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma metabolik adalah sekumpulan gejala akibat resistensi insulin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma metabolik adalah sekumpulan gejala akibat resistensi insulin 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma metabolik adalah sekumpulan gejala akibat resistensi insulin disertai abnormalitas fungsi dan deposisi lemak. Sindroma metabolik menjadi faktor risiko penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh kurangnya produksi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang Penelitian. Dislipidemia adalah suatu istilah yang dipakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang Penelitian. Dislipidemia adalah suatu istilah yang dipakai untuk BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Penelitian Dislipidemia adalah suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan sejumlah ketidaknormalan pada profil lipid, yaitu: peningkatan asam lemak bebas, peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan bagian dari sindroma metabolik. Kondisi ini dapat menjadi faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan bagian dari sindroma metabolik. Kondisi ini dapat menjadi faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lemak adalah substansi yang tidak larut dalam air dan secara kimia mengandung satu atau lebih asam lemak. Tubuh manusia menggunakan lemak sebagai sumber energi, pelarut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme berupa suatu

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme berupa suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme berupa suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu masalah gizi yang paling umum di Amerika merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu masalah gizi yang paling umum di Amerika merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam populasi dunia saat ini, kelebihan berat badan dan obesitas sudah mulai menggeser kedudukan kekurangan gizi dan penyakit menular sebagai penyebab kondisi kesehatan

Lebih terperinci

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM)

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM) Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM) PENDAHULUAN Mengenai pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam konsensus yang mengacu ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan, penyerapan dan penggunaan zat gizi. Status gizi berkaitan dengan asupan makanan yang dikonsumsi baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Soekirman, 2000). Di bidang gizi telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol Low Density

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol Low Density BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Dislipidemia Dislipidemia adalah suatu keadaan terganggunya metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012.

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, banyak penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk dan tidak teratur. Salah satunya adalah diabetes melitus. Menurut data WHO tahun 2014, 347 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

Dislipidemia. Ema Rachmawati

Dislipidemia. Ema Rachmawati Dislipidemia Ema Rachmawati Kolesterol dan metabolisme lipoprotein Kolesterol Merupakan prekursor garam empedu dan hormon Dapat diperoleh dari makanan (eksogen) maupun sintesis de novo di hati (endogen)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang artinya masalah gizi kurang belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gaya hidup modern dengan kesibukan tinggi dan serba otomatisasi menyebabkan masyarakat cenderung lebih suka mengonsumsi makanan cepat saji dan kurang aktivitas fisik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ tubuh secara bertahap menurun dari waktu ke waktu karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009 BAB V KOLESTEROL TINGGI Kolesterol selalu menjadi topik perbincangan hangat mengingat jumlah penderitanya semakin tinggi di Indonesia. Kebiasaan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari berperan penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbakar, bahan kimiawi, nutrisi, dan imunologik. 1. superior cavum abdominis, berperan pada berbagai fungsi metabolisme,

BAB I PENDAHULUAN. terbakar, bahan kimiawi, nutrisi, dan imunologik. 1. superior cavum abdominis, berperan pada berbagai fungsi metabolisme, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi atau reaksi radang merupakan reaksi terhadap jejas seluler yang hanya berlangsung pada jaringan dari organisme multiseluler yang mempunyai pembuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak. yang ditandai peningkatan salah satu atau lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak. yang ditandai peningkatan salah satu atau lebih dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai peningkatan salah satu atau lebih dari fraksi lemak di dalam darah, seperti kolesterol, kolesterol ester,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu keadaan akibat terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyempitan atau penyumbatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlahnya akan mengalami peningkatan di masa datang (Suyono, 2014). Diabetes melitus adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

FREDYANA SETYA ATMAJA J. HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT TINGKAT KECUKUPAN KARBOHIDRAT DAN LEMAK TOTAL DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Skripsi Ini Disusun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Dislipidemia 1. Definisi Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Dr. Nur Indrawaty Lipoeto, MSc, PhD; Dra Eti Yerizel, MS; dr Zulkarnain Edward,MS, PhD dan Intan Widuri, Sked Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan prevalensi tiap tahunnya. Sindrom metabolik merupakan sekumpulan

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan prevalensi tiap tahunnya. Sindrom metabolik merupakan sekumpulan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Metabolik Sindrom Metabolik merupakan salah satu masalah kesehatan metabolik di zaman modern yang kompleks dan banyak penyebabnya serta mengalami peningkatan prevalensi

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 mengumumkan 4 penyakit tidak menular (PTM) termasuk penyakit kardiovaskular (48%), kanker (21%), pernapasan kronis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin sering ditemukan di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, diabetes melitus merupakan permasalahan yang harus diperhatikan karena jumlahnya yang terus bertambah. Di Indonesia, jumlah penduduk dengan diabetes melitus

Lebih terperinci