BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011).

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sindroma metabolik merupakan sindrom yang terdiri atas faktor-faktor yang saling berhubungan dalam meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, yaitu diabetes melitus (DM) atau peningkatan glukosa darah puasa, obesitas sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011). Prevalensi sindroma metabolik terus meningkat. Saat ini diperkirakan prevalensi sindrom metabolik di dunia, laki laki antara 8-24% dan wanita 7-46%. Prevalensi bervariasi dengan perbedaan usia, jenis kelamin dan ras (Cameron et al., 2004). Penyebab pasti terjadinya sindroma metabolik masih merupakan tantangan bagi para ahli, namun resistensi insulin dan obesitas sentral diduga merupakan faktor yang paling berpengaruh (Alberti et al., 2006). Obesitas sering dikaitkan dengan abnormalitas liver yang dikenal dengan Non-alcoholic fatty liver diseases (NAFLD), ditandai dengan peningkatan trigliserid intrahepatik atau steatosis, baik tanpa atau dengan inflamasi dan fibrosis (steatohepatitis). NAFLD adalah masalah kesehatan yang penting, karena angka kejadiannya tinggi, berpotensi untuk berkembang menjadi penyakit liver berat dan berhubungan dengan abnormalitas metabolik kardial yang serius, termasuk DM tipe 2, sindrom metabolik dan penyakit jantung koroner. Sebagai tambahan, munculnya NAFLD berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DM tipe 2, dislipidemia dan hipertensi (Fabbrini et al., 2010).

2 2 Non-alcoholic fatty liver diseases (NAFLD) merupakan manifestasi hepatik dari sindrom metabolik. Penyakit ini mempunyai spektrum mulai dari steatosis sederhana (akumulasi lemak di jaringan hati) sampai non-alcoholic steatohepatitis (NASH) atau steatosis hati dan inflamasi yang dapat berkembang menjadi sirosis hati (Quercioli et al., 2009). Prevalensi NAFLD pada pasien sindrom metabolik adalah 62,78% (Shao et al., 2011). Prevalensi NAFLD di seluruh dunia antara 6,3 33%, median 20%, sedangkan yang berkembang menjadi NASH 3-5%, sisanya stabil dalam bentuk non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) (Vernon et al., 2011). Penyakit perlemakan hati non-alkohol kini diketahui sebagai salah satu bentuk penyakit hati kronik di negara negara berkembang dengan prevalensi 10%-24% dari seluruh populasi (Sey, 2003). Prevalensi NAFLD meningkat dengan peningkatan Body Mass Index (BMI). Prevalensi kejadian steatosis dan steatohepatitis pada obese tipe 1 (BMI 30-39,9 kg/m 2 ) adalah 65% dan 20%, sedangkan pada obese tipe 2 (BMI 40 kg/m 2) adalah 85% dan 40% (Petersen et al., 2006). Resistensi insulin pada sindroma metabolik menyebabkan terjadinya NAFLD melalui akumulasi lemak di hati yang berasal dari pelepasan asam lemak bebas akibat lipolisis jaringan lemak (Vanni et al., 2010). Beberapa penelitian melaporkankan bahwa metformin memberikan perbaikan bermakna terhadap resistensi insulin dan gambaran histologi hati (Marchesini et al., 2001 & Blaszik et al., 2005). Sebuah penelitian yang melibatkan 110 pasien, menunjukkan bahwa metformin dapat menurunkan enzim transaminase, tetapi hanya sedikit memperbaiki steatosis hepar dan inflamasi hepar pada 17 pasien (Bugianesi et al.,

3 3 2005). Penelitian lain yang mengevaluasi selama 48 minggu, menunjukkan metformin hanya memperbaiki 30% kondisi NASH (Loomba et al., 2009). Rekomendasi pemberian metformin pada NAFLD menyatakan bahwa metformin tidak signifikan memperbaiki kondisi liver dan tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik pada NASH, 1A (Chalasani et al., 2012). Pioglitazone adalah obat yang direkomendasikan sebagai terapi NASH. Meskipun demikian pioglitazone tidak aman digunakan jangka panjang dan juga memiliki efek retensi cairan dan natrium (Chalasani et al., 2012). Hipertensi merupakan komponen tersering yang menyertai sindrom metabolik. Beberapa obat golongan angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) dan angiotensin receptor blockers (ARB) mempunyai efek menguntungkan terhadap kondisi resistensi insulin. Telmisartan dari golongan ARB mempunyai struktur yang sama dengan pioglitazon dari golongan thiazolidindion. Telmisartan merupakan agonis terhadap peroxisome proliferator activated receptor γ (PPAR γ) yang digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 (Bahadir et al., 2007). Agonis PPAR γ dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan asam lemak dalam sirkulasi (Hulin et al., 1996). Angiotensin II berpengaruh dalam patogenesis fibrosis hepar dan resistensi insulin. Efek terapi losartan pada pasien NASH dan hipertensi yang mendapat terapi losartan 50 mg selama 48 minggu, menunjukkan penurunan fibrosis hepatik dan perbaikan enzim transaminase (up to date, 2010).

4 4 B. Pertanyaan Penelitian Apakah pemberian metformin dan telmisartan dapat memperbaiki resistensi insulin pada pasien sindrom metabolik (lingkar perut, diabetes dan hipertensi) dengan NAFLD? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian metformin dan telmisartan dapat memperbaiki resistensi insulin pada pasien sindrom metabolik (lingkar perut, diabetes dan hipertensi) dengan NAFLD D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pasien, peneliti maupun institusi, berupa: 1. Manfaat bagi pasien, dapat sebagai dasar pengelolaan sindroma metabolik dan NAFLD yang lebih baik. 2. Manfaat bagi peneliti, dapat mengetahui pengaruh pemberian metformin dan telmisartan terhadap resistensi insulin pasien sindroma metabolik dengan NAFLD. 3. Manfaat bagi institusi, dapat menjadi sumber data dan bukti klinis mengenai pengaruh pemberian metformin dan telmisartan terhadap resistensi insulin pasien sindroma metabolik dengan NAFLD. Penelitian ini dapat dijadikan acuan penyusunan prosedur tetap penanganan pasien sindroma metabolik dengan NAFLD.

5 5 E. Keaslian Penelitian Terdapat empat penelitian sebelumnya yang menjelaskan tentang efek metformin atau telmisartan terhadap resistensi insulin, hipertensi dan perlemakan hati, yang dijelaskan pada tabel 1. Peneliti belum menemukan penelitian mengenai efek pemberian terapi telmisartan dan metformin terhadap resistensi insulin pada sindrom metabolik (lingkar perut, diabetes dan hipertensi) dengan NAFLD di Indonesia. Tabel 1. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang terapi metformin dan telmisartan pada pasien sindroma metabolik dan NAFLD Peneliti/Metode Judul Hasil Mori et al., 2012 open-label, prospective, randomized study Subyek: DM dan hipertensi Follow up 3 bulan Dua kelompok : telmisartan 80 mg/hari dan telmisartan 40 mg + amlodipin 5 mg Ichikawa, 2007 Subyek : metabolik syndrome (hiperglikemia, dislipidemia, HT, peningkatan lingkar pinggang) (26 orang mendapat telmisartan, 27 orang valsartan), evaluasi 4 minggu Lavine et al., 2011 Randomized, double-blind, double-dummy, placebocontrolled clinical trial Subyek : 173 dengan NAFLD. Terbagi 3 kelompok (metformin 1000 mg, vit E 800 IU, plasebo) Watanabe, 2010 RCT, open label Subyek: 85 pasien hipertensi dan DM Follow up 3 bulan Dua kelompok (telmisartan 40 mg/hari dan candesartan 8 mg/hari) Telmisartan at 80 mg/day increases high-molecularweight adiponectin levels and improves insulin resistance in diabetic patients. Comparative effects of telmisartan and valsartan on insulin resistance in hypertensive patients with metabolic syndrome Effect of vitamin E or metformin for treatment of nonalcoholic fatty liver disease in children and adolescents: the TONIC randomized controlled trial. Effects of telmisartan on insulin resistance in Japanese type 2 diabetic patients. Perbaikan sensitivitas insulin dan hipertensi pada pemberian telmisartan 80 mg/hari, pada kelompok kedua (telmi 40 mg dan amlodipin 5 mg) tidak secara signifikan memperbaiki resistensi insulin Pemberian telmisartan selama 4 minggu memberikan perbaikan bermakna pada HOMA-IR Pemberian Metformin 1000 mg selama 96 minggu memperbaiki balooning hepatoceluller score NAFLD Pemberian metformin dan vit E lebih unggul dibanding plasebo Telmisartan 40 mg/hari meningkatkan sensitivitas insulin pada pasien hipertensi, obese dan dm.