MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN ANDI ZAINAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN ANDI ZAINAL"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN ANDI ZAINAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN ANDI ZAINAL Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

3 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Daniel Monintja 2. Prof Dr Ir Mulyono Sumitro Baskoro, MSc Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Andi Majdah Agus Arifin Nu mang, MS 2. Dr M Iqbal S Suhaeb, SE, MT

4 Judul Disertasi Nama NRP Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan Andi Zainal P0620a0191 Disetujui oleh Kornisi Pembimbing Dr. Ir. E Riani, MS Ketua! Prof. Dr. Ir. H. Se 0 Budi Susilo, MSc Anggota Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc Anggota Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Diketahui oleh Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal Ujian : Tanggal Lulus: 3 1 JUL Juli 2013

5 Judul Disertasi : Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan Nama : Andi Zainal NRP : P Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Etty Riani, MS Ketua Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, MSc Anggota Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus : 4 Juli 2013

6 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Andi Zainal NRP P

7 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan, pada tanggal 28 September 1968 serta merupakan anak dari pasangan H Andi Peruddin dan H Andi Rohani. Penulis menikah dengan Dr Andi Nurlinda, SKM, Mkes dan memiliki 3 orang anak yaitu Andi Mesyara Jerni Maswara, Andi Azura Arumi Masomba dan Andi Muhammad Ingkra Irfana Arbila. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SD Negeri 17 Bila Watansoppeng ( ), SMP Negeri 2 Watansoppeng ( ), SMA PGRI Watansoppeng ( ) serta melanjutkan pendidikan jenjang S1 dan S2 di Universitas Muslim Indonesia, Fakultas Hukum ( ) dan Magister Hukum ( ) dan menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor Mayor Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Pada penulisan tugas akhir doktoral, penulis menyusun disertasi berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Disertasi ini memuat sub bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke berkala ilmiah. Judul yang diajukan adalah Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjuatan (Studi Kasus Sulawesi Selatan) sedang menunggu penerbitan di Jurnal Segara.

9 KATA PENGANTAR Alhamdulillah Rabbilalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat yang tak terhingga sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan merupakan suatu karya ilmiah yang diharapkan dapat memberi solusi terhadap pelanggaran hukum khususnya pidana perikanan yang terjadi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di 3 kabupaten di Sulawesi Selatan yakni kabupaten Pangkep, Takalar dan Bulukumba pada bulan Februari hingga Oktober Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Disertasi ini dapat dirampungkan berkat bantuan dan kerjasama seluruh pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pangkep, Takalar, dan Bulukumba serta Pemerintah Sulawesi Selatan pada umumnya, pembimbing, enumerator, sahabat dan keluarga. Untuk itu ucapan terimakasih setinggi-tinnginya diucapkan kepada: 1. Ketua komisi pembimbing Dr Ir Etty Riani, MS, serta anggota yakni Prof Dr Ir H Setyo Budi Susilo, MSc dan Dr Ir Ferdinan Yulianda, MSc. 2. Gubernur Sulawesi Selatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan. 3. Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pangkep, Takalar, dan Bulukumba. 4. Enumerator, Sahabat dan kawan-kawan PSL angkatan Apresiasi setinggi-tingginya penulis berikan kepada Almarhum Orang tua H Andi Paeruddin dan Hj Andi Rohani atas doa dan motivasinya. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr Andi Nurlinda, SKM, MKes (istri), dan Andi Mesyara Jerni Maswara (Anak), Andi Azura Arumi Masomba (Anak), Andi Muhammad Ingkra Irfana Arbila (Anak) atas semua dukungan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Andi Zainal

10 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN Abstrak Penelitian model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dilaksanakan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Pangkep, Kabupaten Takalar dan Kapaten Bulukumba. Tujuan penelitian adalah: 1) menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2) menganalisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; 3) merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Pelaksanakan penelitian sejak bulan Februari sampai Oktober Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan metode Rapfish dan Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Rapfish digunakan untuk mengetahui indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi dan MDS digunakan untuk mengetahui pengelolaan perikanan tangkap keberlanjutan di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Rapfish yang dilakukan secara parsial pada setiap dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut : a) Dimensi Ekologi sebesar 49,07 berarti kurang berkelanjutan, b) Dimensi Ekonomi sebesar 53,13 berarti cukup berkelanjutan, c) Dimensi Sosial sebesar 60,92 berarti cukup berkelanjutan, d) Dimensi Kelembagaan dan Etika sebesar 46,93 berarti kurang berkelanjutan, e) Dimensi Teknologi dan Infrastruktur sebesar 48,35 berarti kurang berkelanjutan. Kesimpulan dari penelitian ini nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan, serta skenario optimis merupakan skenario model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan, karena skenario ini merupakan pengembangan model yang paling realistis untuk dilakukan secara terintegratif. Kata Kunci : Sulawesi Selatan, pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, Rapfish, Multi Dimensional Scaling, skenario optimis.

11 ABSTRACT ANDI ZAINAL. MODEL OF SUSTAINABLE FISHING MANAGEMENT IN SOUTH SULAWESI. Supervised by ETTY RIANI, SETYO BUDI SUSILO and FREDINAN YULIANDA Research on sustainable fishing management in South Sulawesi was carried out in three regencies, namely Pangkep Regency, Takalar Regency and Bulukumba Regency. The aim of the research was 1) to analyze fishing resource used; 2) to determine the index value and the status of sustainable fishing; 3) to formulate the model for managing sustainable fishing; and 4) to formulated policy for managing sustainable fishing in South Sulawesi. The research was carried out from February to October The types of data used were primary as well as secondary data. The data were analyzed using the Rapfish method and the Multi Dimensional Scaling (MDS). The Rapfish method was used to find out the index of sustainable level of the fishing activities from various dimensions, whereas MDS was used to know sustainable fishing management in South Sulawesi. The results of the research showed that based on the rapfish analyses that was carried out partially on every dimension the sustainable index value for each dimension was as follows: a) Ecological dimension was 49.07, which shows less sustainable, b) Economical dimension was 53.1, which means quite sustainable, c) Social dimension 60.93, which means quite sustainable, d) Institutional and ethical dimension 46.93, which means less sustainable, e) Technological and infrastructure dimension 48.35, which means less sustainable. From the research, it can be seen that the sustainable index value of fishing in South Sulawesi is less sustainable. The optimistic scenario is the model scenario for sustainable fishing management in South Sulawesi Province, since this scenario is the most realistic model development to be carried out in an integrated manner Key Words : South Sulawesi, sustainable fishing management, Rapfish, Multi Dimensional Scaling, optimistic scenario.

12 RINGKASAN ANDI ZAINAL. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ETTY RIANI, SETYO BUDI SUSILO dan FREDINAN YULIANDA Perikanan tangkap di Sulawesi Selatan belum menggunakan dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi. Padahal ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi. Berangkat dari fakta tersebut tujuan penelitian adalah : 1) menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2) menganalisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; 3) merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan yakni Kabupaten Pangkep, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Bulukumba. Alasan pemilihan lokasi ada 2 hal yakni berdasarkan tingkat kejadian kasus dan keterwakilan secara geografis. Kasus pelanggaran hukum paling sering terjadi di lokasi tersebut dan secara geografis Kabupaten Pangkep mewakili Laut Makassar, Kabupaten Takalar mewakili Laut Flores dan Kabupaten Bulukumba mewakili Teluk Bone. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Oktober Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan metode rapfish dan multidimensional scaling (MDS). Analisis Rapfish digunakan untuk mengetahui indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi dan MDS digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Rapfish yang dilakukan secara parsial pada setiap dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut : a. Dimensi Ekologi sebesar 49,07 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-50,00). b. Dimensi Ekonomi sebesar 53,13 berari cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,00-74,99). c. Dimensi Sosial sebesar 60,92 berarti cukup berkelanjutan (indeks terletak antara 50,00 74,99). d. Dimensi Kelembagaan dan Etika sebesar 46,93 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-49,99). e. Dimensi Teknologi dan Infrastruktur sebesar 48,35 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-50,00). Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah model yang disusun dalam upaya meningkatkan atau menjamin adanya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan melalui menjaga atau meningkatkan kinerja faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutannya. Model yang berkelanjutan disusun melalui tiga skenario yaitu Skenario I (Pesimis), Skenario II (Moderat), dan Skenario III (Optimis). Skenario model pengelolaan yang paling memungkinkan ditempuh untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan saat ini adalah dengan Skenario III sehingga mampu meningkatkan tingkat kerberlanjutan dari 50,76% (cukup berkelanjutan) menjadi 52,34% (cukup berkelanjutan). Walaupun dengan menggunakan Skenario III tingkat keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur relatif masih rendah 48,35

13 (kurang berkelanjutan). Kondisi ini memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan perlu segera dikendalikan agar daya dukung ekosistem perikanan tangkap tidak terus mengalami penurunan hingga mengarah kepada kondisi yang lebih buruk. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan, serta dipilihnya skenario optimis untuk keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan sebab merupakan skenario paling realisitis untuk dilakukan. Disarankan untuk diberlakukan kebijakan dan pengawasan yang ketat terhadap faktor penghambat kelestarian pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, dan kebijakan yang sudah ada mesti diimplementasikan. Kata Kunci : Sulawesi Selatan, pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, Rapfish, Multi Dimensional Scaling, skenario optimis

14 ANDI ZAINAL. MODEL OF SUSTAINABLE FISHING MANAGEMENT IN SOUTH SULAWESI. Supervised by ETTY RIANI, SETYO BUDI SUSILO and FREDINAN YULIANDA SUMMARY Fishing in South Sulawesi has not used sustainable dimensions, namely economical sustainability (profit), social sustainability (people), and ecological sustainability. In fact the three dimensions have affected one another. Fishing that is not sustainable can be found at Pangkep Regency, Takalar Regency and Bulukumba Regency. Criminal cases of fishing, such as fish bombing, often happen in those locations. The aim of the research were : 1) to analyze fishing resource used; 2) to determine the index value and the status of sustainable fishing; 3) to formulate the model for managing sustainable fishing; and 4) to formulated policy for managing sustainable fishing in South Sulawesi. The research was carried out in three regencies in South Sulawesi, namely Pangkep Regency, Takalar Regency, and Bulukumba Regency. There are two reason for choosing the locations, based on the extent of cases and their geographical representation. Legal violations occur the most in those locations, and geographically Pangkep Regency represents Makassar Sea, Takalar Regency represents Flores Sea, and Bulukumba Regency represents Bone Bay. The research was carried out from February to October The types of data used were primary and secondary data. The data were analyzed using the Rapfish method and the Multi Dimensional Scaling (MDS). The Rapfish method was used to find out the index of sustainable level of the fishing activities from various dimensions, whereas MDS was used to know sustainable fishing management in South Sulawesi. The results of the research showed that based on the rapfish analyses that was carried out partially on every dimension the sustainable index value for each dimension was as follows: a. Ecological dimension: meaning less sustainable (index between ). b. Economical dimension: meaning quite sustainable (index between ). c. Social dimension: meaning quite sustainable (index between ). d. Institutional and Ethical dimension: meaning less sustainable (index between ). e. Technological and infrastructure dimension: meaning less sustainable (index between ). The model of sustainable fishing management in South Sulawesi Province is a model established in order to increase or ensure the existence of sustainable fishing management through maintaining or improving the performance of dominant factors that give effects to sustainable index values. The sustainable model was made through three scenarios, namely Scenario I (pessimistic), Scenario II (moderate) and Scenario III (optimistic). The scenario of management model that is the most possible to do to improve the sustainability of fishing in South Sulawesi Province at present is Scenario III. It can improve the sustainability level from 50.67% (quite sustainable) to 52.34% (quite sustainable). In spite of using Scenario III, the sustainable level of technological and infrastructure dimension is still relatively

15 low, (less sustainable). This condition shows that utilization of fishing in South Sulawesi Province needs to be managed well so that the supporting ecosystem of fishing will not degrade continuously and lead to unsustainable In conclusion, the index value of fishing sustainability in South Sulawesi is less sustainable. The choice of optimistic scenario for fishing sustainability in South Sulawesi is because it is the most realistic scenario to do. It is suggested that there must be a policy and strict control towards the inhibiting factor on the preservation of sustainable fishing management, and the existing policy must be implemented. Key Words : South Sulawesi, sustainable fishing management, Rapfish, Multi Dimensional Scaling, optimistic scenario

16 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002). Kondisi ini memungkinkan perairan laut dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan. Perairan laut Indonesia memiliki keragaman ekosistem yang sangat besar (mega biodiversity). Tercatat di seluruh wilayah perairan Indonesia ditemukan ekosistem terumbu karang seluas km² dengan jumlah spesies lebih dari 500 jenis atau merupakan 75% keanekaragaman terumbu karang di dunia atau hampir 25% terumbu karang dunia dengan jumlah genera berkisar 70-80%. Lebih lanjut perairan Indonesia memiliki 4.5 juta hektar ekosistem mangrove, 12 juta hektar ekosistem padang lamun dan lebih dari 5000 jenis ikan di perairan laut (Dahuri 2003). Terkait dengan sumberdaya perikanan laut, Rais (2003) mengemukakan hasil perikanan mampu mencukupi lebih dari 60 persen rata-rata kebutuhan bahan protein penduduk secara nasional, dan hampir 90 persen di sebagian desa pesisir. Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Propinsi Sulawesi Selatan dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara umum. Potensi sumberdaya perikanan yang terkandung di wilayah perairan laut Sulawesi Selatan ± ton/tahun, sementara tingkat pemanfaatannya baru mencapai , 57 ton per tahun dari berbagai komoditi perikanan ekonomis yang ada sehingga tingkat pemanfaatannya belum optimal. Lebih lanjut dijelaskan perairan Selat Makassar, Teluk Flores serta pulau kecil di sekitarnya adalah kawasan kaya ikan. Namun, pada kenyataanya potensi sumberdaya perikanan di Sulawesi Selatan masih belum bisa dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana. Ditambah hampir seluruh wilayah di Sulawesi Selatan mengarah pada kondisi overfishing yaitu terjadi tangkapan jumlah ikan yang melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Sulawesi Selatan. Kondisi ini menunjukkan bahwasanya keberadaan sumberdaya perikanan merupakan peluang bagi sumber

17 2 pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pengembangan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan selama ini tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi, menyangkut faktor-faktor teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, upaya pelestarian sumber daya ikan merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Paradigma pembangunan berkelanjutan mencakup lebih banyak aspek dalam penilaian keberlanjutan, sehingga penilaian terhadap keberlanjutan dan pelestarian sumber daya perikanan menjadi lebih kompleks dengan penambahan aspek sosial, kelembagaan dan teknologi. Interaksi aspek-aspek tersebut menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Berdasarkan hal tersebut di Propinsi Sulawesi Selatan perlu dilakukan pengembangan sektor perikanan tangkap yang baik dan ideal. Pengembangan tersebut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap aspek keberlanjutan hingga perlu dilakukan penilaian pengembangan perikanan tangkap yang dapat menjadi acuan kebijakan dalam pemanfaatan perikanan secara optimal. 1.2 Kerangka Pemikiran Wilayah perairan laut merupakan kawasan perairan yang memiliki sejumlah sumberdaya penting, salah satunya adalah berupa sumberdaya perikanan bernilai ekonomi tinggi. Tidak salah jika salah satu kebijakan pemerintah adalah meningkatkan hasil perikanan bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia (Sularso 2010). Terkait hal tersebut dalam rangka pencapaian tersebut banyak kalangan mencoba mengeksploitasi laut beserta isinya termasuk masyarakat pesisir yang memanfaatkan potensi perikanan di laut dengan menjadikan menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama yang menghasilkan pendapatan. Perikanan tangkap adalah suatu upaya / kegiatan yang menyangkut pengusahaan suatu sumber daya di laut atau perairan umum rnelalui cara penangkapan baik secara komersial atau tidak. Kegiatan ini meliputi penyediaan prasarana, sarana, kegiatan penangkapan, penanganan hasil tangkapan, pengolahan serta pemasaran hasil. Lebih lanjut, pengelolaan sumber daya perikanan adalah suatu tindakan melalui pembuatan peraturan yang didasari oleh hasil kajian ilmiah yang kemudian dalam pelaksanaannya diikuti oleh

18 3 kegiatan monitoring, controlling dan surveilance, dimana tujuan akhirnya adalah suatu kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungannnya dan memberikan keuntungan secara ekonomi maupun ekologi. Arti pengelolaan mencakup pengembangan dan pengendalian, dimana acuan yang dianut dalam pelaksanaannya adalah konsep perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries). Pelaksanaan perikanan yang bertanggungjawab didasarkan atas pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan melalui secara berkelanjutan, diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia No 45 Tahun Undang-undang tersebut menyebutkan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Selanjutnya pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Kompleksitas pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan upaya yang terintegrasi dan mencakup sejumlah aspek atau dimensi. Untuk melaksanakan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan secara optimal di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki potensi perikanan tangkap, didasarkan atas 3 dimensi utama dan 2 dimensi tambahan yang harus diperhatikan, yaitu 1) dimensi ekologi; 2) dimensi ekonomi; 3) dimensi sosial; 4) dimensi teknologi; serta 5) dimensi kelembagaan. Dimensi ekologi terkait dengan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan serta tanpa menyebabkan terdegradasinya kondisi lingkungan. Hal ini diperlukan untuk menjamin keberlangsungan stok perikanan tangkap yang dapat dimanfaatkan generasi yang akan datang. Dimensi ekonomi, merupakan upaya pemanfaatan perikanan tangkap yang dapat memberikan keuntungan atau layak secara ekonomi bagi pemanfaat (nelayan dan masyarakat pesisir). Dimensi sosial, mengindikasikan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Dimensi teknologi, terkait dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektifitas penangkapan yang dilakukan. Dimensi kelembagaan, terkait dengan tata aturan/peraturan yang menjadi landasan pengelolaan dan organisasi pengelola yang melaksanakan pengelolaan.

19 4 Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu kawasan dengan potensi kelautan yang besar memilik luas wilayah km 2 dengan panjang garis pantai km memiliki penduduk jiwa dimana kurang lebih jiwa bekerja sebagai nelayan dan petani tambak. Terkait dengan potensi dan kondisi Sulawesi Selatan, pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan diperlukan arahan dan kebijakan yang didasarkan atas kelima dimensi keberlanjutan diatas. Hal ini diperlukan untuk menjamin upaya perikanan tangkap yang dilakukan bermanfaat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Berdasarkan penjelasan diatas, kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

20 5 1.3 Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan merupakan barang umum (good common) yang bersifat open access, artinya setiap orang berhak menangkap ikan dan mengeksploitasi sumberdaya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, keadaan ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar orang yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang bersifat diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya pengelolaan dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati hati (Fauzi 2006). Sifat sumber daya yang open access dan common property serta adanya titik persinggungan dengan sektor lain, menyebabkan banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam perikanan tangkap. Pada dasarnya tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai potensi ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada potensi ikan. Kenyataan pengelolaan perikanan tangkap di Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa banyak kegiatan perikanan belum berjalan optimal, hal ini antara lain disebabkan oleh tidak efisiennya kegiatan penangkapan ikan, fasilitas-fasilitas pendukung perikanan yang belum terpenuhi dan sistem pengelolaan yang kurang optimal. Bertolak dari kondisi yang ada, maka untuk mengatasi permasalahan- permasalahan tersebut, di Propinsi Sulawesi Selatan perlu dikembangkan model pembangunan perikanan berkelanjutan. Konsep perikanan berkelanjutan memiliki tiga dimensi penting, yaitu: ekologi, ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ketiga dimensi tersebut merupakan tipe ideal, artinya suatu tipe yang hanya berfungsi sebagai acuan teoritas karena dalam kenyataan secara empiris sulit ditemukan. Fungsi kebijakan (policy) merupakan upaya untuk mengatur proses tarik ulur sehingga ketiganya dalam kondisi seimbang (Satria 2004). Keberlanjutan salah satu faktor menjadi prasyarat bagi keberlanjutan faktor dimensi lain. Tanpa keberlanjutan ekologi maka kegiatan ekonomi akan terhenti sehingga akan berdampak pula pada kehidupan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan. Tanpa keberlanjutan ekonomi, (misalnya rendahnya

21 6 harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional) maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran yang dapat merusak kehidupan ekologi perikanan dan terjadinya konflik. Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonomi tidak dapat berlangsung optimal. Mengacu pada penjelasan tersebut diatas, dalam pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan terdapat beberapa perumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan 2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan 3. Bagaimana model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan 4. Bagaimana rumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap 2. Menganalisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 3. Merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. 4. Menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan manfaat praktis yaitu menyediakan model perikanan tangkap berkelanjutan yang bersifat holistik dalam rangka mencapai pembangunan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. 2. Terhadap aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan di Indonesia.

22 7 1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty) Kebaharuan (novelty) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan model pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan identifikasi dan analisis faktor-faktor penting yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap tersebut.

23 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan rumusan yang didasarkan pada laporan dari Brundtland Report sebagai hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembangunan berkelanjutan lebih lanjut didefinisikan sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk mewujudkan kebutuhannya (WCED 1987). Konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai dua arah yang harus diperhatikan yaitu pertama, mengingatkan pentingnya keterbatasan kendala sumberdaya alam dan lingkungan dalam mendukung pola pembangunan dan konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya, dan kedua, menyangkut kebutuhan untuk kesejahteraan (well being) generasi kini dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga pilar tersebut akan saling berinteraksi tergantung kepada titik prioritas bersama yang akan terjadi saling tolak angsur (trade-off) antar tujuan (Munasinghe 1993). Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang. Kerangka dimensi keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Kerangka tiga dimensi pembangunan berkelanjutan

24 10 Kerangka tiga dimensi pembangunan berkelanjutan menjelaskan, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kualitas sumberdaya alam terpelihara secara baik, dan penggunaan sumberdaya secara efisien, serta adanya distribusi hasil pemanfaatan yang berkeadilan diantara para pihak terkait. Pembangunan merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama, sehingga memberikan dampak terhadap aspek ekonomi, sosial, dan politik. Tujuan pembangunan yang merupakan vector dari berbagai aspek yang didukung dengan ketersediaan sumberdaya diarahkan untuk mencapai kesejahteraan melalui (a) peningkatan pendapatan per kapita; (b) peningkatan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat; (c) tingkat pendidikan; (d) akses terhadap sumberdaya; serta (e) distribusi pendapatan yang lebih merata dan lainnya. Keberlanjutan merupakan suatu syarat umum dimana karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sesuai dimensi waktu pemanfaatannya. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cincin-Sain and Knecht 1998). Terkait dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Lebih lanjut, konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Pada tataran pengembangan konsep, keberlanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi,

25 11 keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung 4 (empat) aspek keberlanjutan yaitu keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi,masyarakat/komunitas, dan kelembagaan (Fauzi dan Anna, 2005). Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu adanya upaya memelihara stok (biomass) sehingga tidak melebihi daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistemnya. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socio-economic sustainability) harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu dan pencapaian kepada kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan masyarakat/komunitas (community sustainability) yaitu masyarakat harus menjadi perhatian utama dalam pembangunan perikanan. Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability) yaitu adanya keberlanjutan pada aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan prasyarat untuk mencapai ketiga aspek keberlanjutan sebelumnya. 2.2 Pembangunan Berkeberlanjutan pada Perikanan Tangkap Pengelolaan sumberdaya perikanan lestari diawali dengan pendekatan hasil tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY) yang ditunjukkan oleh produktivitas sumberdaya biologi semata (Fauzi 2002). Konsep ini belum mempertimbangkan pada spek sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat secara dinamis. Produktivitas setiap species biologis mampu berproduksi melebihi kapasitas prduksi (surplus), sehingga pemanenan dilakukan pada sejumlah surplus yang dihasilkan oleh produktivitas ini, dan sumberdaya perikanan tangkap akan terjaga kesinambungannya. Namun kondisi sosial ekonomi berkembang lebih cepat dari perkembangan biologis tersebut. Perikanan tangkap meruapakan suatu sistem agribisnis perikanan yang terdiri dari beberapa subsistem yang berpengaruh satu dengan yang lainnya. Subsistem-subsistem pada perikanan tangkap terdiri dari subsistem (a) sarana produksi; (b) usaha penangkapan; (c) prasarana pelabuhan; (d) unit pengolahan; (e) unit pemasaran; dan (f) unit pembinaan (Monintja 2001). Pembangunan berkelanjutan pada perikanan tangkap jika diperoleh kelima kondisi yang dapat diwujudkan, yaitu (1) tingkat kemanfaatan yang diperoleh masyarakat tidak mengalami penurunan di sepanjang waktu pemanfaatannya;

26 12 (2) sumberdaya dikelola secara baik untuk memberikan kesempatan produksi di masa yang akan datang; (3) kondisi sumberdaya alam yang dikelola tidak mengalami penurunan kualitasnya (non-declining); (4) sumberdaya yang dikelola dapat mempertahankan komoditas produksi yang dihasilkan; dan (5) kondisi minimal sumberdaya dapat dipertahankan dan daya lentur sumberdaya dapat dipertahankan (resilience) (Fauzi 2005). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pembangunan yang mampu menghasilkan kondisi ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas bersifat luwes (flexible) tergantung pada kapasitas teknologi dan sosial ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung (carrying capacity) terhadap dampak kegiatan manusia (Charles 2001). Pembangunan berkelanjutan (sustainability development) diartikan sebagai serangkaian aktivitas perikanan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat memenuhi masyarakat perikanan itu sendiri dan mampu memelihara kondisi sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2002). Pembangunan berkelanjutan paling tidak harus ada beberapa komponen yang harus diperhatikan, yaitu (1) ekologi berupa tingkat eksploitasi, keragaman ikan yang ditangkap, perubahan ukuran tangkap; discard dan bycatch serta produktivitas primer tangkapan; (2) aspek ekonomi, yaitu kontribusi perikanan terhadap pendapatan domestik wilayah (gross domestic product), penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan pendapatan (income) alternatif; (3) teknologi meliputi lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat tangkap, FAD, ukuran kapal da efek samping dari alat tangkap; dan (4) etika, menyangkut kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, dan sikap terhadaplimbah dan bycatch (Fauzi dan Anna 2002). Keseluruhan ini diperlukan sebagai prasarana dari dipenuhinya pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan Food Agricultural Organization (FAO) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF (FAO 1995). Tujuan pembangunan perikanan pelagis berkelanjutan adalah memelihara stok sumberdaya perikanan dengan melindungi habitatnya. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis yang berkelanjutan, pemanfaatan dilakukan

27 13 dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek daripada aspek daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri. Namun demikian, prioritas utama keberlanjutan pada perikanan pelagis adalah menghindarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak memperhatikan kelestariannya (FAO 2001). Lebih lanjut bilamana kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipenuhi maka sumberdaya perikanan akan mengarah pada degradasi lingkungan, over exploitation, dan praktek perikanan yang merusak (destructive fishing practices). Kondisi demikian diakibatkan oleh tingginya keinginan untuk memenuhi kepentingan saat kini, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarhakan untuk memperoleh manfaat masa kini saja. Hal demikian berakibat diabaikannya kepentingan lingkungan dan penggunaan teknologi yang quick-yielding yang sering bersifat merusak (destructive) seperti penggunaan bom dalam penangkapan ikan (fish bombing) dan penggunaan racun ikan (poisoning) (Fauzi dan Anna 2002). 2.3 Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagaimana ditetapkan oleh FAO pada tanggal 31 Okrober 1995 menjelaskan bahwa pedoman ini diharapkan diacu bagi para pelaku perikanan yang meliputi negaranegara anggota PBB maupun bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internasional, dan semua yang libat dalam aktivitas perikanan dalam penyusunan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya alam perikanan (Pasal 1 ayat 2). Code of Conduct tersebut mencakup 19 prinsip (pasal 6), yaitu : 1. Negara harus melestarikan ekosistem perairan. Penangkapan ikan harus disertai dengan tanggung jawab / kewajiban untuk melestarikan ekosistem laut. 2. Pengelolaan perikanan harus berkelanjutan dengan mempertimbangkan pemanfaatan generasi saat ini dan pemenuhan kebutuhan untuk kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. 3. Negara berkewajiban mencegah penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) melebihi kapasitas / daya dukung lingkungan.

28 14 4. Kebijakan eksploitasi dan konservasi perikanan didasarkan data yang akurat dan dengan memperhatikan kearifan tradisional yang telah berkembang di masyarakat. 5. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dilakukan dengan data yang akurat dan mengambil tindakan untuk tetap melindungi keberadaan sumberdaya perikanan walaupun kurang didukung dengan data dimaksud. 6. Penggunaan alat tangkap ikan secara selektif sehingga dapat memelihara keragaman biota, struktur populasi dan ekosistem perairan serta kualitas ikan terlindungi. 7. Eksploitasi sumberdaya perikana harus dilakukan secara baik (cara-cara tertentu) sehingga dapat dihindarkan menurunnya kualitas ikan hasil tangkapan dan praktik-praktik pemborosan serta dampak negative terhadap lingkungan. 8. Semua habitat perikanan baik habitat laut maupun daratan harus dilindungi untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan. 9. Negara menjamin pengelolaan sumberdaya alam perikanan yang terintegrasi dengan pengelolaan kawasan pantai untuk kepentingan sumberdaya perikanan. 10. Kerangka kerja penegakan jaminan pemenuhan dan pelaksanaan pelestarian, manajemen dan mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas-aktivitas kapal ikan. 11. Negara harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap perijinan kapalkapal ikan yang berperasi. 12. Peningkatan kerjasama sub regional maupun regional untuk mendorong pelestarian dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 13. Negara harus mempraktekkan secara transparan dan ketepatan waktu atas penyelesaian masalah yang bersifat mendesak. 14. Perdagangan internasional ikan segar harus sesuai dengan prinsip, hak dan kewajiban yang tercantum dalam kesepakatan WTO dan kesepakatan internasional. 15. Negara berkewajiban mencegah terjadinya sengketa dalam praktek dan aktivitas perikanan. 16. Negara berkewajibam meningkatkan kesadaran tanggung jawab (bagi pekerja perikanan dan nelayan) melalui pendidikan dan pelatihan.

29 Negara menjamin penyediaan prasarana perikanan (fasilitas, perlengkapan) yang memungkinkan kondisi kerja yang aman, sehat dan terbuka serta berstandar internasional. 18. Negara menjamin terpenuhinya hak nelayan dan pekerja perikanan, khususnya nelayan subsisten (menangkap ikan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari) maupun melindungi daerah tangkapan tradisional. 19. Negara dapat mengembangkan perikanan budidaya air sebagai sarana untuk diversifikasi pangan dan pendapatan, tanpa mengancam kelestarian lingkungan dan tidak berdampaknegatif bagi masyarakatlokal / tradisional. Disamping ke-19 prinsip tersebut, CCRF juga menekankan perlunya penanganan pascapanen, dan pengelolaan perikanan secara terpadu, serta perlindungan terhadap hak-hak khusus kepada masyarakat pantai atas daerah tertentu yang merupakan wilayah perairan di sekitar desa masyarakat lokal. Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan memiliki karakteristik (Monintja 2001), yaitu : a. Proses penangkapan yang ramah lingkungan, yaitu (1) selektivitas tinggi, (2) hasil tangkapan yang terbuang rendah, (3) tidak membahayakan keanekaragaman hayati, (4) tidak menangkap jenis-jenis ikan yang dilindungi, (5) tidak membahayakan habitat, (6) tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, (7) tidak membahayakan keselamatan nelayan, dan (8) memenuhi CCRF. b. Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai seimbang). c. Adanya jaminan pasar. d. Usaha penangkapan ikan masih menguntungkan. e. Tidak menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat (konflik sosial) dan memenuhi persyaratan legal (ijin dari pemerintah). Penangkapan ikan telah berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi dan keterbatasan kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap. Metode penangkapan ikan yang ramah lingkungan telah dikembangkan sesuai dengan tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam danmengancam akan memboikot ekspor ikan dari negara yang penangkapannya masih merusak lingkungan. Mengingat sektor perikanan yang memberikan devisa yang cukup besar bagi Indonesia sudah seharusnya penerapan penangkapan yang merusak lingkungan dihapuskan di negara ini. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah

30 16 lingkungan terdiri dari antara lan memilki (1) Selektifitas tinggi, (2) Tidak destruktif terhadap habitat, (3) Tidak membahayakan nelayan (operator), (4) Menghasilkan ikan bermutu baik, (5) Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, (6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) Dampak minimun terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, (8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, (9) Diterima secara sosial. 2.4 Model Pengembangan Perikanan Tangkap Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubunganhubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Model juga diartikan suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat manajemen dan alat ilmiah. Umumnya model digunakan sebagai alat untuk mengambil keputusan tentang bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang terbaik. Penggunaan model dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan masalah yang bersifat umum (Eriyatno 2003). Model perikanan tangkap dapat diwujudkan melalui pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten. Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan iklim berusaha yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor dan kebijakan terhadap lingkungan (Haluan et al. 2007). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di wilayah perairan ditekankan pada

31 17 perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis (Monintja 2000). Sistem perikanan menurut Charles (2001) terdiri dari tiga komponen, yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya (social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research). Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu, karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di daerahnya. Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell 2000). Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan saat ini (Hauck dan Sowman 2001).

32 18 Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu berubahberubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri 2001). Lebih lanjut, pengembangan perikanan tangkap memerlukan keterlibatan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. 2.5 Kapal Perikanan Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan (Diniah 2008). Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan. Kapal penangkap ikan dikelompokan menjadi: 1. Perahu Tanpa Motor (PTM) Non powered motor, adalah perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak dayung atau layar. 2. Perahu Motor Tempel (PMT) Outboard motor, adalah kapal atau perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak mesin atau motor yang dipasang di perahu pada saat akan dioperasikan dan dilepaskan kembali pada saat selesai dioperasikan. 3. Kapal Motor (KM)-Inboard motor. Kapal motor dikelompokan lagi berdasarkan bobotnya, bobot kapal dinyatakan dalam Gross Tonnage (GT).

33 19 Kapal motor berdasarkan bobot dikelompokan menjadi kapal motor < 5 GT, 5-10 GT hingga >200 GT. Mesin kapal diletakkan di ruang mesin di dalam bangunan kapal. Berdasarkan fungsinya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 34 mengelompokan kapal ikan menjadi: 1. Kapal penangkap ikan 2. Kapal pengangkut ikan 3. Kapal pengolah ikan 4. Kapal latih perikanan 5. Kapal penelitian/eksplorasi perikanan 6. Kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidaya ikan 2.6 Alat Penangkapan Ikan Purse seine Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan cara menarik tali kolor tersebut (Sadhori, 1985). Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak ditengah jaring (Brandt 2005). Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri. Oleh sebab itu, jika ikan belum terkumpul pada suatu catchable area atau berada diluar kemampuan tangkap jaring, maka dapat diusahakan ikan

34 20 datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon (Ayodhyoa, 1981). Bentuk alat penangkapan ikan jenis purse sein ditampilkan pada Gambar 3. Gambar 3 Alat tangkap purse seine Bagan perahu Bagan (lifnet) merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat pengangkatan waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang berukuran lebih besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring (Fridman, 1986). Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah bagan (anjang-anjang), lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan waring (Subani dan Barus, 1989). Lebih lanjut, Von Brandt (2005), mengklasifikasikan bagan ke dalam klasifikasi jaring angkat (lifnet) karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan diklasifikasikan dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis bagan perahu ditampilkan pada Gambar 4.

35 21 Gambar 4. Alat tangkap bagan perahu Hand line Hand line atau pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling dikenal oleh masyarakat umum, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu : tali (line) dan pancing (hook). Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing terdiri satu atau lebih mata pancing. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989). Pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan mata pancing dengan atau tanpa umpan yang dikaitkan pada tali pancing dan secara langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari alat ini adalah bisa dioperasikan di tempat yang alat tangkap lain sukar dioperasikan, misalnya tempat-tempat yang dalam, berarus cepat atau dasar perairan yang berkarang. Alat ini dapat dioperasikan oleh satu atau dua orang. Bentuk alat penangkapan ikan jenis hand line ditampilkan pada Gambar 5.. Gambar 5 Alat tangkap hand line

36 Payang Payang digolongkan kedalam boat seine. Disainnya terdiri atas dua sayap, badan dan kantong mirip trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selembar. Menurut klasifikasi Von Brandt (2005) payang termasuk kelompok seine net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi pelampung dan pemberat. Bentuk alat penangkapan ikan jenis payang ditampilkan pada Gambar 6. Gambar 6. Alat tangkap payang Bubu Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996). Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasanya terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendirisendiri (Subani dan Barus, 1989). Unit penangkapan bubu terdiri atas perahu atau kapal, bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989). Bentuk alat penangkapan ikan jenis bubu ditampilkan pada Gambar 7.

37 23 Gambar 7. Alat tangkap bubu Gillnet Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori, 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan jumlah mata jaring ke arah horisontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring arah vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua gaya yang berlawanan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis gill net ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8. Alat tangkap gill net

38 Sero Sero adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan di perairan pantai, bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan yang melakukan gerakan ke pantai atau ikan yang habitatnya di pantai. Sifat ikan sasaran, umumnya adalah berenang menyusuri pantai karena pola ruayanya dan pada waktu tertentu akan kembali mendekati pantai (Martasuganda, 2002). Unit penangkapan sero, umunya terbuat dari kombinasi antara jaring dan bambu yang disusun menyerupai pagar. Bentuk alat penangkapan ikan jenis sero ditampilkan pada Gambar 9. Gambar 9. Alat tangkap sero 2.7 Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hogwood dan Gun (1984) menjelaskan kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat

39 25 atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah masalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan. Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan. 2.8 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan mempunyai topik mengenai model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Komponen yang dilakukan kajian meliputi : 1) pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2) keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Adapun penelitian terdahulu yang telah dilakukan, terkait dengan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :

40 26 Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu Peneliti Judul Metode Hasil 1. Metcalf, Gaughan Conceptual models for Risk Assessment Diperoleh lima sistem dan Shaw (2009) Ecosystem Based Method dan pengelolaan yang Fisheries Managemnt Qualitative Modelling merupakan (EBFM) in Western Australia Method bagian dari ekosistem, yang diidentifikasikan dalam kondisi resiko tinggi dan atau merupakan prioritas utama sebagai model yang akan dihasilkan. Model yang dihasilkan mengilustrasikan kebutuhan informasi terkait pengaruh terhadap perubahan dalam perikanan dan ketersediaan ikan yang berakibat pada pengelolaan perikanan 2. Pomeroy, Garces Ecosystem-based Pendekatan analisis Hasil penelitian Pido, Geronimo fisheries management yang telah dilakukan menunjukkan bahwa (2009) in small scale tropical untuk pengelolaan ada lima perbedaan marine fisheries: sumberdaya dalam susunan Emerging models of perikanan dalam level pemerintahan, yaitu: governance multi-jurisdictional kluster dan aliansi arrangements in kotamadya untuk Philippines integrasi pengelolaan sumberdaya pesisir; seluruh kota FARMC dan kluster Barangay FARMC; Integrasi perikanan dan Dewan pengelolaan Aquatic; Dewan Pengelolaan Teluk; IFARMC daerah 3. Rusmilyansari, Wiryawan, Haluan dan Simbolon (2011) Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Periran Kalimantan Selatan Survei PISCES (participatory institutional survei and conflict Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan evaluated exercise) secara efektif setelah dan survei persepsi penyebab konflik dan teknik resolusi konflik 4. Astariani, Haluan, Sugeng (2009) 5. Hamdan, Monintja, Purwanto, Budiharsono, Purbayanto (2007) Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Code of Conduct For Responsible fisheries (CCRF) di Perairan Ternate Provinsi Maluku Utara Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu Survey purposive secara Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) dan Data Envelope Analysis (DEA) teridentifikasi Strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis CCRF dapat dilakukan melalui penentuan kriteria kriteria unit penangkapan Status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika maupun kelembagaan dilanjutkan

41 27 Tabel 1 (lanjutan) Peneliti Judul Metode Hasil 6. Suherman. Murdiyanto, Marimin, Wisudo (2007) Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap 7. Firman. Fahrudin dan Sobari (2008) 8. Danial, Haluan, Mustaruddin, Darmawan (2007) Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan Model Pengembangan Industri Perikanan Berbasis Pelabuhan Perikanan di Kota Makassar Sulawesi Selatan Metode surplus produksi model Schaefer dan Fox, NPV, EIRR dan Net B/C, Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP). Metode surplus produksi model Schaefer dan Fox Survey secara purposive dan SEM (structural equation modelling) Model pengembangan PPSC melalui suatu paket program yang diberi nama SISBANGPEL; (2) model pengembangan PP yang dirancang dapat digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam merencanakan pengembangan PP Model bioekonomi pengelolaan sumberdaya rajungan Model pengembangan industri perikanan,

42 28

43 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan mulai bulan Februari 2011 hingga Oktober Lokasi penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Pangkep, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Bulukumba. Adapun letak geografis dari lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10. No Kabupaten Letak geografis LU BT 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba Gambar 10. Peta lokasi penelitian

44 30 Alasan pemilihan lokasi adalah berdasarkan tingkat kejadian illegal fishing, suku dan keterwakilan perairan, dimana Pangkep mewakili perairan Selat Makassar, Takalar mewakili Laut Flores dan Bulukumba mewalili Teluk Bone 3.2 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian yang disusun sesuai dengan tahapan tujuan penelitian. Rancangan penelitian ini dilaksanakan melalui 5 (lima) tahapan yaitu : 1. Analisis pemanfaatan perikanan tangkap. Analisis pemanfaatan perikanan tangkap merupakan tahapan awal dalam pelaksanaan penelitian, untuk menilai kondisi atau status pemanfaatan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. 2. Analisis keberlanjutan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan dilakukan untuk menilai status keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berdasarkan pencapaian 5 dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan) 3. Analisis faktor kunci pengelolaan perikanan tangkap. Analisis yang digunakan untuk mendapatan atribut penting atau faktor kunci pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan berdasarkan 5 dimensi keberlanjutan yang digunakan. 4. Memformulasikan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Model pengelolaan perikanan tangkap didapatkan dengan menganalisis tingkat ketergantungan dan pengaruhsejumlah faktor kunci pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. 5. Analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap. Analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap merupakan upaya yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan.. Adapun rancangan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 11.

45 31 Gambar 11. Rancangan penelitian Analisis Pemanfaatan Perikanan Tangkap di Sulawesi Selatan a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik nelayan, buruh kapal nelayan, dan kegiatan ekonomi selain nelayan tangkap. Data sekunder berupa produksi perikanan, produksi perikanan tangkap, keterlibatan masyarakat nelayan, keterlibatan masyarakat baik laungsung maupun tidak langsung dengan produksi perikanan tangkap, serta hasil perikanan laut. Sumber data primer yaitu nelayan, masyarkat pelaku usaha perikanan, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, pakar perikanan dari perguruan tinggi UNHAS dan IPB, pakar perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan serta dari BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan. b. Metode Pengumpulan Data Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner, diskusi mendalam, triangulasi lapangan, kuesioner pembobotan dimensi keberlanjutan, serta pengambilan gambar foto-foto. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data terkait dengan pemanfaatan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berupa data laporan tahunan instansi terkait dan data terkait lainnya.

46 32 c. Metode Analisis Data Metode analisis dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan pembuatan alat bantu berupa tabulasi maupun grafik. Analisis kualitatif dilakukan untuk menjelaskan hubungan antar parameter di dalam pemanfaatan perikanan tangkap serta menyajikan tingkat kecenderungan data kedepan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Sulawesi Selatan a. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan meliputi data primer dan data sekunder. Data tersebut mencakup atribut-atribut yang terkait dengan penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap diantaranya dimensi ekologi, ekonomi, ekologi, sosial, kelembagaan dan etika, serta dimensi teknologi dan infrastruktur. Dimensi penilaian keberlanjutan perikanan tangkap yang digunakan berupa : 1) dimensi ekologi; 2) dimensi ekonomi; 3) dimensi sosial; 4) dimensi kelembagaan dan etika; serta 5) dimensi teknologi dan infrastruktur. Atribut yang berhasil disusun dan dilakukan identifikasi sebanyak 47 atribut meliputi : o Dimensi ekologi meliputi enam atribut yaitu : 1. Penutupan karang. 2. Pencemaran air laut. 3. Kedewasaan ikan yang tertangkap. 4. Keragaman species ikan yang tertangkap. 5. Penangkapan jenis ikan yang dilindungi. 6. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap. o Dimensi ekonomi meliputi sembilan atribut yaitu : 1. Tingkat keuntungan usaha perikanan tangkap. 2. Peranan sumber pendapatan dari kegiatan perikanan bagi rumah tangga nelayan. 3. Orientasi pasar produk perikanan dari Sulawesi Selatan (market). 4. Tingkat penghasilan nelayan dari perikanan tangkap. 5. Jumlah penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap. 6. Akses nelayan terhadap sumberdaya permodalan. 7. Alternatif pendapatan non-perikanan nelayan. 8. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan.

47 33 9. Kepemilikan peralatan tangkap. o Dimensi sosial meliputi sepuluh atribut yaitu : 1. Tingkat pendidikan formal nelayan tangkap. 2. Tingkat pengetahuan nelayan tentang perikanan tangkap berkelanjutan. 3. Tingkat pengetahuan nelayan tentang alat tangkap ramah lingkungan. 4. Ketergantungan RT nelayan pada perikanan tangkap 5. Usia kepala keluarga nelayan. 6. Konflik pemanfaatan perikanan tangkap. 7. Jumlahrumah tangga pemanfaat SD perikanan 8. Program pemberdayaan nelayan 9. Waktu nelayan untuk menangkap ikan. 10. Jumlah anggota keluarga nelayan. o Dimensi kelembagaan dan hukum meliputi sebelas atribut yaitu : 1. Kebijakan pengaturan perikanan tangkap. 2. Kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan. 3. Kapasitas instansi pemerintah urusan perikanan dan kelautan. 4. Koordinasi instansi pemerintah 5. Kelompok nelayan perikanan tangkap. 6. Ketersediaan pasar input dan output perikanan. 7. LSM konservasi perikanan kelautan. 8. Sikap masyarakat terhadap praktek penangkapan destruktif. 9. Mitigasi terhadap kerusakan ekosistem perikanan tangkap. 10. Tingkat pelanggaran hukum dlm perikanan tangkap. 11. Penyuluhan hukum dan teknik perikanan berkelanjutan. o Dimensi teknologi dan infrastruktur meliputi sebelas atribut yaitu : 1. Jenis alat tangkap. 2. Selektivitas alat tangkap. 3. Tipe kapal. 4. Teknologi penanganan pascapanen. 5. Ketersediaan prasarana pendaratan ikan. 6. Jumlah ikan terbuang. 7. Penanganan hasil ikan tangkapan di atas perahu/ kapal. 8. Penanganan pasca penangkapan sebelum dipasarkan. 9. Mobilitas alat tangkap. 10. Ketersediaan sarpras penegakan hukum instansi pemerintah.

48 Penggunaan teknologi atau alat yang destruktif. b. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dilakukan melalui pengumpulan data hasil kajian dan penelitian, pengamatan lapangan, wawancara, diskusi, dan kuesioner. Responden lapangan diantaranya tokoh masyarakat, petugas perikanan dan petugas penyuluh lapangan dari instansi pemerintah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, diskusi mendalam dengan para pakar dan stakeholders lainnya yang terkait dengan topik penelitian ini. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, diskusi, dan survey lapangan dengan responden di wilayah penelitian yang terdiri atas berbagai pakar dan para pihak lainya yang terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai sumber kepustakaan dan data dari berbagai instansi terkait. Data dikumpulkan dari para pihak yang berhubungan dengan permasalahan pengelolaan perikanan tangkap di Sulsel, tata ruang wilayah pengelolaan perikanan (WPP). c. Metode Analisis Data Analisis keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dilakukan dengan metode pendekatan multi dimensional scaling (MDS) menggunakan alat analisis Rapfish. Atribut yang dipilih mencerminkan tingkat keberlanjutan di setiap dimensi yang dikaji, dan disesuaikan dengan ketersediaan informasi yang dapat diperoleh dari karakter sumberdaya yang dikaji (Pitcher dan Preikshot 2000). Rapfish digunakan untuk menentukan indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi. Teknik Rapfish telah dikembangkan untuk melakukan evaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan suatu obyek penelitian dengan melakukan modifikasi dimensi dan atibutnya sesuai dengan aspek yang dievaluasi (Mersyah 2005). Lebh lanjut dalam Rapfish, obyek yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin dengan titik asal. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut : 2 d (/ x1 x2 / / y1 y2 / / z1 z2...)... (1)

49 35 Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δ ij ) dengan persamaan : d ij = α + βδ ij + ε...(2) Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah dengan Metode least square yang didasarkan pada akar dari Euclidian distance (squared distance) atau disebut dengan ALSCAL. Metode ALSCAL ini mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j, k), formula nilai S-Stress dihitung sebagai berikut : m 1 S= k ( d o 2 2 ijk ijk i j 4 m 1 oijk i j ) 2... (3) dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang diberi pembobotan atau ditulis dengan : d 2 ijk r ( xia x ja a 1 ka w ) 2... (4) Pengukuran tingkat kesesuaian atau kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS merupakan ukuran ketepatan (how well) dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dalam MDS ditentukan oleh nilai S- Stress yang dihasilkan dari perhitungan nilai S tersebut. Nilai stress rendah menunjukkan good of fit, sementara nilai S tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S<0,25). Analisis Rapfish ini dapat memungkinkan untuk menganalsis leverage (senstivitas dari pengurangan atribut terhadap skor keberlanjutan). Leverage dihitung berdasarkan stdanard error perbedaan antara skor dengan atribut dan skor yang diperoleh tanpa atribut. Analisis Rapfish ini juga memperhitungkan aspek ketidakpastian dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis Monte Carlo. Ketidakpastian ini disebabkan oleh (Fauzi et al. 2005) : 1. Dampak kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi. 2. Dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian.

50 36 3. Kesalahan dalam entry data. 4. Tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL. Analisis Monte Carlo merupakan Metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak / galat (rdanom error) dalam analisis statistik (Kavanagh dan Pitcher 2004) yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Dalam hal ini analisis Monte Carlo dilakukan dengan Metode scatter plot yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi. Tahapan analisis Rapfish sebagaimana mengacu pada pedoman operasional Rapfisheries disajikan pada Gambar 12. Tahapan analisis meliputi langkah-langkah : a. Mengevaluasi dan menetapkan atribut dari kelima dimensi (review atribut). Atribut merupakan parameter dari dimensi yang mewakili kondisi sumberdaya perikanan dan kelautan di Provinsi Sulawesi Selatan. Atribut yang telah disusun kemudian dilakukan evaluasi untuk dilihat hubungan antar atribut, apakah memiliki hubungan linier atau tidak. Jika terdapat hubungan linier maka disatukan menjadi satu atribut. Evaluasi dan penetapan atribut dilakukan dengan pendekatan scientific judgement berdasarkan pendekatan keilmuan yang sesuai baik berdasarkan hasil kajian maupun penelitian maupun sumber pustaka lainnya. Penetapan atribut juga dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data dari atribut tersebut. b. Memberikan penilaian terhadap setiap atribut yang telah disusun dari masingmasing dimensi dalam skala ordinal 0-2 atau 0-3. Atribut dari setiap dimensi dilakukan penilaian berdasarkan scientific judgment oleh para pakar sesuai dengan kondisi atribut terkini dibandingkan dengan standar yang berlaku maupun pada kondisi normal. Pemberian skor ordinal pada rentang 0-2, atau 0-3 atau sesuai dengan karakter atribut yang menggambarkan strata penilaian dari terendah (0) sampai yang tertinggi (3). Skor 0 adalah buruk (bad) dan skor 3 adalah baik (good). Penilaian atribut dilakukan dengan membandingkan kondisi atribut dengan memberikan penilaian buruk (0), sedang (1), baik (2) atau sangat baik (3).

51 37 Gambar 12. Tahapan analisis Rapfish c. Menghitung nilai indeks dan menilai status keberlanjutan. Penilaian terhadap keseluruhan atribut dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan tangkap Sulawesi Selatan dikategorikan ke dalam baik, cukup baik, kurang baik, dan buruk. Asumsi bahwa kinerja pengelolaan terletak antara 0 sampai 100% atau buruk sampai ke baik sekali. Diantara nilai buruk sampai baik maka ada interval nilai kinerja yaitu cukup dan kurang, sehingga diperoleh empat tingkatan kinerja yaitu buruk, kurang, sedang dan baik. Tingkatan kinerja dibagi menjadi 4 tingkat sehingga diperoleh interval 0, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Hasil penilaian kinerja atribut dari masing-masing dimensi dipetakan kedalam dua titik acuan yang merupakan titik buruk (bad) dan titik baik (good). pada Tabel 2. Kategori hasil penilaian atribut disajikan Tabel 2 Kategori penilaian status keberlanjutan No. Nilai indeks dimensi Kategori Keterangan 1 0,00-24,99 Buruk tidak berkelanjutan 2 25,00-49,99 kurang kurang berkelanjutan 3 50,00-74,99 Cukup cukup berkelanjutan 4 75,00-100,00 Baik berkelanjutan

52 38 Posisi titik keberlanjutan dapat digambarkan dalam bentuk garis sumbu vertikal ataupun sumbu horisontal. Nilai indeks keberlanjutan berada pada nilai 0% (buruk) sampai 100% (baik). Jika dimensi yang dinilai dengan nilai indeksnya berada di bawah 50% maka mempunyai nilai yang kurang atau kurang berkeberlanjutan (unsustainable), dan jika dimensi yang dinilai berada di atas nilai 50% maka dimensi dari sistem yang dinilai dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable). Penilaian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 13. Gambar 13. Posisi titik keberlanjutan Hasil penilaian atas masing-masing dimensi keberlanjutan (lima dimensi) disajikan dengan diagram layang-layang (kite diagram) pada Gambar 14. Gambar 14. Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimensi d. Menentukan faktor pengungkit (leverage factor) Faktor pengungkit adalah atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan. Semakin besar nilai RMS maka semakin besar peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher 2004). Analisis Rapfish memungkinkan untuk menganalisis leverage (senstivitas atribut terhadap nilai indeks keberlanjutan). Leverage dihitung berdasarkan stdanard error perbedaan antara skor dengan atribut dan skor yang diperoleh tanpa atribut. Faktor pengungkit dapat dilihat dari hasil olahan Rapfish dengan nilai root means square (RMS)

53 39 tertinggi (maksimum) sampai dengan nilai setengahnya dari tiap-tiap dimensi keberlanjutan. e. Analisis Monte Carlo Analisis Monte Carlo dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis Monte Carlo kemudian dibandingan dengan hasil analisis MDS. Hasil perbandingan ini jika perbedaannya kecil maka menunjukkan bahwa dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil, dampak dari variasi beberapa pemberian skor terhadap atribut relatif kecil, penilaian dengan MDS yang berulang-ulang menjadi stabil, kesalahan data atau kehilangan data menjadi reltif kecil. Membandingkan hasil analisis Monte Carlo (MC) dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan 5% sehingga diperoleh bahwa selisih nilai kedua analisis tersebut lebih besar (MC-MDS>5%) atau lebih kecil (MC- MDS<5%). Jika nilai selisih kedua analisis ini >5% maka hasil analisis MDS tidak memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan, dan jika nilai selisih kedua analisis tersebut <5% maka hasil analisis MDS memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. f. Penilaian ketepatan (goodness of fit) Ketepatan analisis MDS (goodness of fit) ditentukan oleh nilai S-Stress yang dihasilkan dari perhitungan nilai S tersebut. Nilai stress rendah menunjukkan ketepatan yang tinggi (good of fit), sementara nilai S tinggi menunjukkan sebaliknya. Selanjutnya dalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 dan sebaliknya jika nilai stress lebih tinggi dari 0,25 maka hasil MDS memiliki ketepatan yang rendah Memformulasikan Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan Formulasi model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dilakukan dengan analisis prospektif. Analisis prospektif merupakan salah satu analisis yang banyak digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan berupa skenario strategis yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, industri ataupun sumberdaya lainnya untuk mencapai kondisi yang efektif dan efisien di masa yang akan datang. Analisis prospektif dapat digunakan sebagai alat untuk mengekplorasi dan mengantisipasi melalui skenario. Selanjutnya analisis prospektif dapat juga sebagai alat normatif yang merupakan pendekatan

54 40 berorientasi tindakan yang dimulai dari visi terpilih mengenai masa depan dan menentukan jalur untuk mencapainya. Dengan demikian, analisis prospektif tidak berfokus pada optimasi solusi, tetapi pada penyediaan berbagai macam pilihan dan tujuan bagi para pembuat keputusan dan turut merancang serangkaian alternatif ketimbang memilih alternatif terbaik (Bourgeois 2007). Analisis prospektif akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) yang berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Faktor-faktor yang dianalisis adalah faktor pengungkit (leverage factor) yang diperoleh dari hasil analisis keberlanjutan dari setiap dimensi. tahapan, yaitu Analisis prospektif dilakukan dengan dua 1. Analisis pengaruh langsung antar faktor di dalam model pengelolaan perikanan tangkap dengan menggunakan matriks pengaruh langsung antar faktor (Tabel 3). 2. Hasil analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam model pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Peubah yang berada pada kuadran satu dan dua dari analisis prospektif adalah faktor dominan (kunci) dengan karakter mempunyai pengaruh terhadap sistem yang tinggi dan dengan ketergantungan rendah sampai tinggi. Tabel 3 Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan Faktor Dari/Terhadap A B C D E F G A B C D E F G Sumber: Goet, Keterangan: A G = Faktor penting dalam sistem Skoring 0 = Tidak ada pengaruh 1 = Berpengaruh kecil s/d sangat kecil 2 = Berpengaruh sedang 3 = Berpengaruh kuat s/d sangat kuat Mekanisme pengisian tabel tersebut adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar faktor kecil, dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor.

55 41 Faktor-faktor kunci yang diperoleh pada penelitian selanjutnya dilakukan analisis dengan matrik pengaruh dan ketergantungan dengan software analisis prospektif. Analisis ini untuk melihat posisi setiap faktor dalam model pengelolaan perikanan berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan, disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam formulasi model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan Faktor-faktor yang berada di masing-masing kuadran mempunyai karakteristik faktor yang berbeda dan bisa di adjust (diintervensi) untuk memperoleh skenario strategis (Bourgeois and Jesus, 2004), yaitu : 1. Kuadran pertama faktor penentu (driving variables) : memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor rendah. Faktor-faktor pada kuadran ini termasuk kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji; 2. Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): memuat faktor-faktor dengan pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor. Faktorfaktor di dalam kuadran ini dinilai sebagai faktor penghubung yang kuat; 3. Kuadran tiga faktor terikat (output variables) : mewakili faktor output dengan pengaruh kecil tetapi mempunyai ketergantungan yang tinggi; 4. Kuadran empat faktor bebas (marginal variables) : merupakan faktor marjinal dengan pengaruh kecil dan tingkat ketergantungan rendah. Faktor ini bersifat bebas antar faktor di dalam sistem yang dikaji. Lebih lanjut Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan, yaitu :

56 42 1. Tipe sebaran cenderung mengumpul pada diagonal kuadran IV ke kuadran II. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau leverage variable. Tipe sebaran menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang. 2. Tipe sebaran yang mengumpul di kuadran I ke kuadran III, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain itu dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya setelah analisis prospektif adalah analisis morfologis. Analisis morfologis dilakukan untuk memperoleh kemungkinan perubahan faktorfaktor di masa depan. Ketepatan dalam memprediksi ini penting karena sangat menentukan alternatif skenario strategis yang diperoleh agar lebih konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua viabel kunci yang terpilih. Sebagai contoh variabel luas dengan tingkat penutupan hutan, kebun campuran atau permukiman. Variabel ini akan memiliki tiga kemungkinan keadaan di masa datang yaitu luasan penutupan hutan menurun, luasan kebun campuran menurun, luasan permukiman akan bertambah. Keadaan perubahan yang terjadi di masa yang akan datang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Variabel kunci dan kecenderungan perubahan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang Variabel Variabel 1 Variabel 2 Variabel 3 Variabel 4 Variabel 5 Variabel... Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategis model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan variabel-variabel kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang. Dalam penelitian ini skenario dikelompokkan ke dalam 3 cluster skenario yaitu cluster skenario pesimis, cluster skenario moderat, dan cluster skenario optimis.

57 Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan berupa data sekunder. Data sekunder undangundang, peraturan pemerintah, dan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, usaha perikanan tangkap, pengaturan alat tangkap, serta jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan. Sumber data berasal dari perpustakaan perguruan tinggi UNHAS dan IPB, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta buku yang terkait dengan kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan serta pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. b. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data berupa : data sekunder (penelusuran pustaka dan dokumen terkait pengelolaan perikanan dan kelautan); dan data primer (wawancara). c. Metode Analisis Data Metode analisis dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menjelaskan hubungan antar parameter di dalam pemanfaatan perikanan tangkap serta menyajikan tingkat kecenderungan data kedepan, latar belakang pengaturan serta tujuan pengaturan pengelolaan perikanan. Secara ringkas jenis, sumber, cara pengumpulan data, Metode analisis dan output dari setiap proses dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tujuan, jenis dan sumber data, cara pengumpulan, metode analisis dan output No Tujuan Jenis data Cara Metode Output Sumber data (primer/sekunder) pengumpulan analisis 1 Menganalisis pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan Kuesioner Sulsel dalam Angka, Laporan tahunan kelautan dan perikanan Deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulsel. Sulsel. Primer : Karakteristik nelayan, tipe dan bobot kapal penangkap ikan. Sekunder : Data penduduk Prov. Sulsel, perkembangan sosial nelayan, volume produksi nelayan perikanan tangkap, hasil perikanan tangkap, orientasi pasar hasil tangkapan Nelayan, pemilik kapal, buruh kapal, nelayan menengah, nelayan kecil. BAPPEDA Propinsi. Sulsel, BPS Prov Sulsel, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi. Sulsel,.

58 44 No Tujuan 2 Menganalisis tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan 3 Memformulasikan skenario model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan. 4 Menganalisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap Jenis data (primer/sekunder) Primer : Bobot antar dimensi keberlanjutan, persepsi pelaku kebijakan, koordinasi antar instansi / pelaku kebijakan. Sekunder : Data biofisik kelautan, penduduk, ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja sektor perikanan, pencemaran laut, program pemberdayaan masyarakat, kualitas air laut,, koordinasi antar instansi, sinergi kebijakan, kinerja LSM kelautan dan perikanan. Faktor pengungit (leverage factors) per-dimensi keberlanjutan, faktor kunci keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan perikanan, perikanan tangkap, Peraturan Pemerintah, peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Sumber data BAPPEDA Prov. Sulsel, BPS Prov Sulsel, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Sulsel, Kementerian Kelautan dan Perikanan., Pakar Perguruan Tinggi (Unhas), penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya, tokoh lokal. Analisis tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan; kecenderungan perubahan faktor-faktor ke depan. Internet, perpustakaan, journal, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Cara pengumpulan Desk study, konsultasi, konfirmasi, penelusuran dokumen kebijakan, wawancara mendalam, triangulasi, fotocopy, softcopy Diskusi mendalam, Analisis konteks hubungan antar faktor. Fotocopy, download, kumpulan buku perundangan kelautan dan perikanan. Metode analisis MDS (Multidimensional scaling) Rapfish. Analisis Prospektif Analisis Morfologis. Analisis Deskriptif Kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif / Analisis Isi. Output Indeks dan status keberlanjutan; faktor-faktor pengungkit perdimensi keberlan-jutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulsel. Skenario model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjut-an di Provinsi Sulawesi Selatan. Rekomendasi

59 4 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI SULAWESI SELATAN 4.1 Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada posisi o LS dan BT dan diapit oleg tiga wilayah laut yaitu : Teluk Bone disebelah Timur, Laut Flores di sebelah Selatan dan Selat Makassar di sebelah barat dan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat da Sulawesi Tengah sebelah utara dan Provinsi Sulawesi Tenggara sebelah timur. Kondisi geografis Provinsi Sulawesi Selatan menggambarkan potensi sumberdaya alam yang kaya baik di darat maupun di laut. Panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km, Pemerintah daerah Sulawesi Selatan bertanggung jawab mengelola wilayah laut dan pesisir seluas kurang lebih km 2 di daerah ini juga dikenal gugusan kepulauan antara lain : Kepulauan Spermonde atau kepulauan Sangkarang, kepulauan Pangkep, dan Atol Takabonerate. Lebih lanjut, Sulawesi Selatan jika ditinjau dari konteks pesisir maka luas sumber daya alami yang dimanfaatkan berupa kegiatan penangkapan ikan dan wisata. Wilayah pesisir Sulawesi selatan diketahui dihuni oleh 19 spesies mangrove dengancakupan vegetasi cukup luas yang pada tahun 1999 sekitar ha (Kehutanan Sulawesi Selatan 2002). Propinsi Sulawesi Selatan memiliki sumberdaya yang beragam mulai dari kelompok sumberdaya pelagis besar sampai cumi cumi, Berdasarkan data Ditjen Tangkap (2005), menunjukkan potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar memiliki produksi 655,45 ribu ton dari potensi 929,72 ribu ton. Kondisi tersebut menujukkan pemanfatan perikanan tangkap berupa kelompok sumberdaya pelagis besar sampai cumi-cumi, telah mencapai 70,50%. Lebih lanjut mengacu pada data yang sama, dketahui sejumlah kelompok sumberdaya ikan telah mencapai pemanfaatan yang setara dengan potensi yang dimiliki. Adapun potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar dan Laut Flores ditampilkan pada Tabel 6.

60 46 Tabel 6 Potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar dan Laut Flores No Kelompok Sumberdaya Potensi (ribu ton) Produksi (ribu ton) Pemanfaatan 1 Pelagis besar 193,64 85,10 43,96 2 Pelagis kecil 605,44 333,35 55,06 3 Demersal 87,70 87,20 > Ikan karang konsumsi 34,10 24,15 70,70 5 Udang peneaid 4,80 4,80 > Lobster 0,70 0,65 92,86 7 Cumi- cumi 3,88 3,88 > 100 Total 929,72 655,45 70,50 Sumber : Ditjen Tangkap DKP, 2005 Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki potensi yang terbesar dibandingkan kelompok sumberdaya lainnya, Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara vertikal maupun horizontal mendekati permukaan dengan ukuran tubuh relatif kecil (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Penangkapan ikan pelagis di perairan Selat Makassar dan Laut Flores dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan terjadi dua kali yaitu pada bulan November dan Februari. Berdasarkan perhitungan catch per unit effort (CPUE) sebagai patokan kelimpahan relatif stok ikan, ikan pelagis melimpah selama 6 bulan dari November sampai April, sedangkan 6 bulan lainnya kelimpahan stok relatif rendah dengan titik terendah pada bulan Juli. Puncak musim ikan pelagis kecil pada bulan Maret dengan musim penangkapan yang baik berlangsung bulan Januari hingga Maret dan paceklik terjadi pada bulan Juni (Gafa et al. 1993). Ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan terdapat pada dua lokasi yang berbeda musim, yaitu pada saat musim timur di perairan Kabupaten Takalar dan Barru, sedangkan peralihan musim timur ke barat di perairan Kabupaten Pinrang, Polmas dan Majene (Yahya et al. 2001). Ikan layang musim puncak penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan cenderung terjadi pada bulan yang sama, yaitu Agustus hingga November. Musim biasa pada bulan Februari sampai Agustus, sedangkan di perairan Majene terjadi pada bulan November hingga bulan April. Musim paceklik pada bulan November sampai Maret, sedangkan di perairan Majene pada bulan Mei hingga Juli (Najamuddin 2004). Hasil kajian stok sumberdaya ikan mengindikasikan ikan pelagis kecil memiliki potensi dan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tetapi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil lebih relatif rendah dibandingkan sumberdaya

61 47 ikan lainnya. Jika merujuk pada data tingkat pemanfaatan, maka peluang untuk mengembangkan penangkapan ikan pelagis kecil masih terbuka atau masih dapat ditingkatkan untuk perairan Selat Makassar dan Laut Flores, namun tetap harus dilakukan dengan pendekatan ekologi dan biologi agar pemanfaatan dilakukan sesuai dengan kemampuan produksi ikan pelagis kecil Lebih lanjut dijelaskan wilayah Propinsi Sulawesi Selatan masuk dalam wilayah pengembangan perikanan (WPP) 713. meliputi perairan bagian paling utara yaitu perairan laut Tarakan dan Nunukan sampai dengan bagian paling selatan yang terletak di bagian perairan barat Sulawesi Selatan. Kondisi WPP yang meliputi perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali mengalami peningkatan ekspoitasi ikan demersal dan udang sudah berlangsung sejak tahun 1980-an dengan pukat tarik mini dari kelas ukuran di bawah 30 GT. Lokasi penangkapan ikan yang dilakukan secara komersial di perairan Timur Kalimantan, lebih terkonsentrasi di sekitar perairan Bereau, sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan setempat. Di Pantai Timur Kalimantan status pengusahaan udang sudah over exploited karena banyaknya pukat tarik mini yang beroperasi serta maraknya pukat tarik dari negara tetangga yang tumpang tindih sehingga menyebabkan over fishing. Lebih lajut jenis ikan pelagis dalam tahap moderate, kecuali ikan terbang yang sudah fully exploited, sedangkan ikan pelagis besar sangat berfluktuatif (Tabel 7). Tabel 7 Status stok perikanan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores No Kelompok Sumberdaya Status Stok U M F O UN 1 Demersal 2 Udang 3 Pelagis kecil 4 Pelagis besar Sumber : Nurhakim, 2007 Keterangan U : under exploited M : moderate F : fully exploited O : over fishing UN : uncertain Berdasarkan fakta diatas diatas kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Sulawesi Selatan memiliki status stok yang berbeda untuk tiap kelompok sumberdaya perikanan serta berada pada sudah berada pada taraf yang cukup kritis dalam mengembangkan perikanan yang berkelanjutan.

62 Produksi Perikanan Tangkap Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam perikanan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan manusia dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktivitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan. Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan berperan sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang. Disisi lain, sumber daya perikanan bersifat dinamis, baik dengan ataupun tanpa intervensi manusia. Adanya intervensi manusia dalam bentuk aktivitas penangkapan pada hakekatnya adalah memanfaatkan bagian dari kematian alami, dengan catatan bahwa aktivitas penangkapan yang dilakukan dapat dikendalikan sampai batas kemampuan pemulihan stok ikan secara alami. Berdasarkan laporan KKP (2012) produksi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan selama tujuh tahun terakhir mengalami penurunan dari tahun ke tahun (KKP 2012). Gambaran mengenai jumlah produksi perikanan setiap tahun dapat dilihat pada grafik yang terdapat pada Gambar 16. Gambar 16. Produksi perikanan tangkap Sulawesi Selatan tahun

63 49 Penurunan produksi perikanan tangkap Sulawesi Selatan banyak disebabkan oleh semakin menipisnya stok alami sumberdaya perikanan dan cuaca buruk. Menipisnya stok alami banyak disebabkan oleh semakin maraknya penggunaan alat penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan pengerusakan ekosistem penting kawasan pesisir Sulawesi Selatan. Tekanan terhadap ekosistem pesisir semakin diperparah dengan menumpuknya nelayan pada satu kawasan penangkapan saja. Jumlah volume produksi perikanan tangkap tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebanyak ton, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2010, yaitu sebanyak ton. Apabila dilihat menurut jenis ikan dalam periode tersebut, volume produksi ikan swanggi/mata besar mengalami peningkatan yang tertinggi, yaitu dari ton pada tahun 2000 menjadi 41,251 ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata sebesar 26,56% per tahun. Volume produksi ikan tetengkek, kerapu karang, terubuk, ikan lidah dan kurisi juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu meningkat rata-rata per tahun sebesar 11,40%, 10,20%, 10,03%, 8,57% dan 8,07%. Volume produksi ikan tongkol, cakalang dan tuna mengalami peningkatan rata-rata per tahun masing-masing sebesar 4,35%, 3,68% dan 3,15%. Pada periode yang sama, volume produksi ikan cucut tikus/cucut monyet mengalami penurunan rata-rata terbesar yaitu turun rata-rata sebesar 8,49% per tahun. Sementara produksi golok-golok dan ikan terbang masing-masing turun rata-rata per tahun sebesar 3,08% dan 3,01%. 4.3 Karakteristik Nelayan Sulawesi Selatan Jumlah nelayan pada periode tahun mengalami penurunan rata-rata sebesar 5 % per tahun, yaitu dari orang pada tahun 2003 menjadi orang pada tahun Jumlah nelayan pada tahun 2005 merupakan jumlah terendah yang dicapai pada periode tersebut, yaitu orang. Sedangkan jumlah nelayan tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak orang

64 50 Gambar 17. Jumlah nelayan Sulawesi Selatan tahun Selama periode tujuh tahun terakhir jumlah nelayan mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan metode penghitungan jumlah nelayan, yaitu dari penghitungan dengan pendekatan RTP/PP menjadi penghitungan dengan pendekatan jenis alat penangkap ikan utama serta jenis dan ukuran kapal penangkap ikan, mulai tahun Jumlah nelayan laut pada periode yang sama turun rata-rata sebesar 0,40% per tahun, yaitu dari orang pada tahun 2003 menjadi orang pada tahun 2010, jumlah nelayan perairan umum juga mengalami penurunan rata-rata sebesar 5 % per tahun. Jumlah nelayan laut pada tahun 2005 merupakan jumlah nelayan terendah yang dicapai dalam periode yang sama yaitu, sebanyak orang, sedangkan jumlah nelayan laut tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak orang. Sebagian besar nelayan di laut adalah nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Jumlah nelayan di laut untuk kategori nelayan penuh meningkat rata-rata 0,26% per tahun. Sedangkan jumlah nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan mengalami penurunan masing-masing turun rata-rata sebesar 0,41% per tahun dan 0,47% per tahun Jumlah nelayan perairan umum pada tahun 2003 sebanyak orang dan berfluktuasi pada periode tahun Jumlah nelayan pada tahun 2010 menjadi sebanyak orang dan ini merupakan jumlah nelayan perairan umum terendah sejak tahun 2000.

65 51 Sedangkan jumlah nelayan perairan umum tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak orang. 4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan. Karakteristik nelayan meliputi asal daerah, pendidikan nelayan, jumlah anggota keluarga nelayan, usia nelayan, pengalaman nelayan, dan status nelayan Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat pendidikan nelayan di wilayah provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 19 kabupaten yaitu Kabupaten Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Janeponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan, Barru, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Kota Makasar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Karakteristik pendidikan nelayan Sulawesi Selatan berdasarkan pengambilan contoh di 3 kabupaten (Kabupaten Bulukumba 36 orang atau 31.9%, Kabupaten Pangkep 37 orang atau 32.7%, dan Kabupaten Takalar 40 orang atau 35.4%). Pendidikan nelayan adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan nelayan berdasarkan pengambilan sample, di wilayah perairan sulawasi selatan pada umumnya paling banyak adalah lulusan SD (76.1%) dan peringkat kedua terbanyak adalah tidak tamat SD (14.2%). Karakteristik pendidikan akhir nelayan di wilayah penelitian ditampilkan pada Gambar 18. Tingkat pendidikan nelayan merupakan salah satu permasalahan pembangunan perikanan yang juga terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rata-rata tingkat pendidikan nelayan adatah tamat sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan kendala pembangunan perikanan yang akan mengakibatkan keterbatasan dalam proses adopsi teknologi, penerimaan dan penyebaran informasi, kesadaran menjaga kelestarian [ingkungan dan kualitas kesehatan, dan kemampuan mengakses permodalan. Faktor budaya tampaknya merupakan alasan yang dapat

66 52 dikemukakan mengapa nelayan umumnya berpendidikan rendah. Nelayan pada umumnya cendrung memandang pendidikan bukan merupakan kebutuhan pokok untuk mengubah nasib. Pendidikan merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan perkembangan dan kemajuan dari suatu usaha yang dikembangkan oleh nelayan pengolah ikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka akan semakin besar pula pengaruh teknologi dalam pengembangan usaha. Tingkat pendidikan nelayan pengolah masih rendah, karena pendidikan yang ditempuh oleh nelayan pengolah hanya hingga tamat SD (sekolah dasar) yaitu sekitar 76.1 % (Gambar 18). Kondisi ini akan menyebabkan nelayan di Sulawesi Selatan tidak mudah dalam menerima pembaruan dan teknologi yang terus berkembang dalam memajukan usaha Gambar 18. Karakteristik pendidikan akhir nelayan Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Jumlah anggota keluarga nelayan dapat dikategorikan menjadi: 1) Keluarga kecil terdiri dari ( 4 orang anggota keluarga); (2) Keluarga sedang terdiri dari (5 sampai 6 orang anggota keluarga); (3) Keluarga besar terdiri dari ( 7 orang anggota keluarga). Gambar 15 menunjukkan sebaran jumlah anggoa keluarga nelayan Sulawesi Selatan, berdasarkan pengambilan data sampling, didominasi oleh keluarga kecil (70,8%), lainnya adalah keluarga sedang (20,40%), dan keluarga besar (8,8%) Mengacu pada kondisi tersebut, nelayan di Sulawesi Selatan umumnya memiliki tanggungan keluarga 4 orang. Tanggungan keluarga adaiah banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, yaitu istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Saputra (2009) menjelaskan, jumlah tanggungan

67 53 keluarga secara langsung tidak mempengaruhi tingkat produksi, namun akan mempengaruhi produksi yang dilakukan.. Gambar 19. Sebaran jumlah anggota keluarga nelayan Usia Nelayan Usia nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dewasa muda (26-38 tahun), dewasa madya (39-50 tahun), dan dewasa lanjut ( 51 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 42.5% nelayan dengan usia dewasa muda (26-38 tahun), 41.6% dengan usia dewasa madya (39-50 tahun), dan sisanya 15.9% dengan usia dewasa lanjut ( 51 tahun). Adapun proporsi sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori usia, ditampilkan pada Gambar 16. Usia akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami dan menerima pembaharuan. Selain itu juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja yang akan dilakukan seseorang. Keadaan usia nelayan pengolah berdasarkan kelompok kerja dapat dilihat pada Tabel 20. Pada tabel terlihat sebagian besar nelayan berada dalam usia produktif yaitu sekitar 42.5%, dan sangat produktif (41.6%). Kondisi ini menunjukkan umur nelayan hampir dihabiskan untuk kegiatan perikanan tangkap. Hal ini nelayan lakukan karena faktor keluarga (keturunan) yang menjadi alasan menjadi nelayan sebagai sumber mata pencaharian sampai umur mereka mencapai 50 tahun keatas. Selain itu terkait keahlian, mereka tidak ingin meninggalkan kegiatan penangkapan ikan.

68 54 Tabel 8 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori usia Kategori Jumlah Orang % 1. Dewasa Muda (26-38 thn) Dewasa Madya (39-50 thn) Dewasa Lanjut (>= 51 thn) Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011 Gambar 20. Sebaran usia nelayan Pengalaman Nelayan Pengalaman nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama (4-16 tahun), kelompok kedua (17-28 tahun) dan kelompok ketiga ( 29 tahun). Berdasarkan Tabel 9 sebagian besar pengalaman nelayan di seluruh wilayah penelitian berada pada kelompok pertama (4-16 tahun). Tabel 9 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori pengalaman Kategori Jumlah Orang % tahun tahun lebih dari 29 tahun Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011 Pengafaman kerja nelayan pengolah dapat diartikan bahwa lamanya nelayan dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan. Menurut Saputra (2009) pengalaman berusaha akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan nelayan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi serta penerapan teknologi baru. Nelayan di Sulawesi Selatan umumnya sudah memiliki pengalaman kerja lebih dari 4 16 tahun.

69 55 Gambar 21. Sebaran pengalaman nelayan Status Nelayan Status nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu anak buah juragan dan sendiri. Nelayan juragan adalah nelayan pemilik perahu dan alat tangkap ikan yang mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan pekerja adalah nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha menangkap ikan di laut. Nelayan pemilik adalah nelayan yang kurang mampu serta hanya memiliki perahu kecil. Masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan, jumlah nelayan didominasi oleh nelayan pekerja sebanyak 57.52%, nelayan juragan sebanyak 40.71% dan nelayan pemilik sebanyak 1.77%. Hal ini menunjukkan bahwa pemilik modal yang memiliki peralatan tangkap laut menguasai pemanfaatan sumberdaya ikan di Sulawesi Selatan. Kelompok lainnya yang sangat bergantung sumberdaya ekonominya maupun akses pemasaran maupun keperluan pasokan perlengkapan tangkapan pada kelompok juragan. Tabel 10 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan status nelayan Kategori Jumlah Orang % 1. Nelayan Pekerja Nelayan Juragan Nelayan Pemilik Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011

70 56 Gambar 22. Sebaran status nelayan 4.5 Karakteristik Alat Tangkap Terdapat tiga jenis perahu yang dipakai nelayan di perairan Sulawesi Selatan yaitu perahu motor, motor tempel dan kapal motor. Perahu motor adalah perahu yang memiliki mesin. Sebagian perahu bermotor dipasangi mesin dalam, yang lain memiliki mesin tempel yang dipasang di bagian belakang, memuat mesin pembakaran dalam, kotak gigi dan baling-baling dalam sebuah unit portabel. Mesin dalam/tempel memuat cangkokan pembangkit listrik dan tempel, dan mesin pembakaran dalaman dipasang di dalam perahu, sedangkan kotak gigi dan baling-baling di luar. Kapal motor (motor ship) adalah kapal yang mempunyai mesin pembakaran dalam, biasanya mesin diesel. Penamaan kapal motor (motor ship) dalam istilah internasional biasanya disingkat manjadi MS. Jenis perahu nelayan Sulawesi Selatan, sebagian besar 72.57% menggunakan kapal motor, dan diikuti dengan 16.81% nelayan menggunakan motor tempel, dan 10.62% nelayan menggunakan perahu motor, sebagian besar nelayan Sulawesi Selatan menggunakan kapal motor. Tabel 11 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan jenis perahu yang dimiliki Kategori Jumlah Orang % 1. Perahu motor Motor tempel Kapal motor Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011

71 57 Bobot perahu yang dimiliki oleh nelayan di Sulawesi Selatan pada umunya kurang dari 5 GT (80.53%). Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan daya jangkau kapal jarak 4 mil dari garis pantai. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, kapal yang memiliki kapasitas 30 GT (gross tonase), tidak boleh beroperasi di wilayah penangkapan kategori kurang 4 mil dari garis pantai. Demikian pula kapal yang di bawah 30 GT, tidak boleh masuk ke wilayah kategori tiga atau zona ekonomi eksklusif, karena bisa berbahaya. Tabel 12 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan bobot perahu yang dimiliki Kategori Jumlah Orang % 1. < 5 GT GT GT > 30 GT Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, Alat Tangkap Perikanan Alat tangkap perikanan yang ditemukan di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan jenisnya, terdiri dari 10 (sepuluh) kelompok yaitu : (1) jaring lingkar (surrounding nets); (2) pukat tarik (seine nets), (3) pukat hela (trawls), (4) penggaruk (dredges), (5) jaring angkat (lift nets); (6) alat yang dijatuhkan (falling gears); (7) jaring insang (gillnets and entangling nets); (8) perangkap (traps); (9) pancing (hooks and lines); dan (10) alat penjepit dan melukai (grappling and wounding). Pengaturan tata pengoperasian dari 10 kelompok alat tangkap ikan tersebut diatur sebagai berikut : 1. Jaring lingkar (surrounding nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan jaring lingkar dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan yang menjadi sasaran tangkap untuk menghadang arah renang ikan sehingga terkurung di dalam lingkaran jaring. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan sampai dengan kolom perairan yang mempunyai kedalaman yang cukup (kedalaman jaring 0,75 (kedalaman perairan), umumnya untuk menangkap ikan pelagis. 2. Pukat tarik (seine nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan pelagis atau ikan demersal dengan menggunakan kapal atau tanpa kapal. Pukat ditarik kearah kapal yang sedang berhenti atau berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui tali selambar di kedua bagian sayap. Pengoperasiannya dilakukan pada

72 58 permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis pukat tarik yang digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan pelagis dan demersal yang hidup di daerah pantai. Dogol dan lampara dasar dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang dioperasikan di kolom perairan umumnya menangkap ikan pelagis. 3. Pukat hela (trawls) Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dilakukan dengan cara menghela pukat di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju. Pengoperasiannya dilakukan pada kolom maupun dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal termasuk udang dan crustacea lainnya tergantung jenis pukat hela yang digunakan. Pukat hela dasar dioperasikan di dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan demersal, udang dan crustacea lainnya. Pukat hela pertengahan dioperasikan di kolom perairan, umumnya menangkap ikan pelagis. 4. Penggaruk (dredges) Pengoperasian alat penangkapan ikan penggaruk dilakukan dengan cara menarik ataupun menghela garuk dengan atau tanpa kapal. Pengoperasiannya dilakukan pada dasar perairan umumnya untuk menangkap kerang, teripang, dan biota menetap lainnya. 5. Jaring angkat (lift nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan jaring angkat dilakukan dengan cara dibenamkan pada kolom perairan saat setting dan diangkat ke permukaan saat hauling. Pengoperasiannya dapat menggunakan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu. Anco dan bagan tancap dioperasikan di daerah pantai sedangkan jaring angkat lainnya dioperasikan di perairan yang lebih jauh dari pantai. 6. Alat yang dijatuhkan atau ditebarkan (falling gears) Pengoperasian alat penangkapan ikan yang dijatuhkan atau ditebarkan dilakukan dengan cara menjatuhkan/menebarkan pada suatu perairan dimana target sasaran tangkapan berada. Ketika jala jatuh berkapal pengoperasian dilanjutkan dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jala, sedangkan pada jala tebar bagian bawah jala akan menguncup dengan sendirinya karena pengaruh pemberat rantai. Jala tebar dioperasikan di sekitar pantai yang dangkal untuk menangkap ikan-ikan kecil, sedangkan jala jatuh berkapal dioperasikan di perairan yang lebih jauh dari pantai dengan

73 59 atau tanpa alat bantu penangkapan berupa lampu umumnya menangkap ikan pelagis bergerombol dan cumi-cumi. 7. Jaring insang (gillnets and entangling nets) Pengoperasian jaring insang dilakukan dengan cara menghadang arah renang gerombolan ikan pelagis atau demersal yang menjadi sasaran tangkap sehingga terjerat pada jaring. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, pertengahan maupun pada dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis jaring insang. Jaring insang dioperasikan secara menetap, dihanyutkan, melingkar maupun terpancang pada permukaan, pertengahan maupun dasar perairan. Jaring insang ada yang satu lapis maupun berlapis. Jaring insang berlapis umumnya dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. 8. Perangkap (traps) Pengoperasian alat penangkapan ikan perangkap dilakukan secara pasif berdasarkan tingkah laku ikan, ditempatkan pada suatu perairan dengan atau tanpa umpan sehingga ikan terperangkap atau terjebak masuk dan tidak dapat keluar dari perangkap. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan maupun dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis perangkap. Bubu bersayap, togo, ambai, jermal, pengerih dan sero dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan yang beruaya dengan mamanfaatkan pasang surut perairan. Set net dioperasikan di wilayah pantai secara menetap untuk menangkap ikan pelagis maupun demersal yang beruaya secara regular atau musiman. Pukat labuh dioperasikan di wilayah pantai dengan memanfaatkan arus perairan, umumnya untuk menangkap ikan ukuran kecil di daerah pasang surut. Bubu dioperasikan di dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan demersal dan ikan karang. Alat penangkapan ikan peloncat dioperasikan pada permukaan air mengikuti tingkah laku ikan yang meloncat apabila merasa terhalang. 9. Pancing (hooks and lines) Pengoperasian alat penangkapan ikan pancing dilakukan dengan cara menurunkan tali dan mata pancing dan atau sejenisnya, menggunakan atau tanpa joran yang dilengkapi dengan umpan alami, umpan buatan atau tanpa umpan. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal

74 60 tergantung jenis pancing. Huhate dioperasikan di permukaan perairan umumnya menangkap gerombolan ikan pelagis perenang cepat seperti tongkol dan cakalang. Tonda dan pancing layang-layang dioperasikan di permukaan perairan dengan cara ditarik secara horizontal dengan menggunakan kapal umumnya menangkap ikan pelagis. Squid jigging dioperasikan pada kolom perairan umumnya untuk menangkap cumi-cumi. Rawai hanyut (termasuk rawai tuna dan rawai cucut) dioperasikan di kolom perairan sampai dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis dan demersal. Pancing ulur, pancing berjoran dan rawai dasar dioperasikan di kolom perairan sampai dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis dan demersal. 10. Alat penjepit dan melukai (grappling and wounding) Pengoperasian alat penangkapan ikan penjepit dan melukai dilakukan dengan cara mencengkeram, mengait/menjepit, melukai dan/atau membunuh sasaran tangkap. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis alatnya.ladung dioperasikan di daerah pantai untuk menombak ikan-ikan pantai.tombak dioperasikan di daerah pantai untuk menombak ikan-ikan pantai, dapat pula dioperasiakan di laut lepas (harpoon) umumnya menangkap mamalia besar.panah dioperasikan pada wilayah berkarang umumnya untuk menangkap ikan yang hidup di karang. 4.7 Pendapatan Nelayan Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh nelayan dari hasil penangkapan dikurangi dengan biaya-biaya operasional. Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan digunakan untuk kepertuan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak dan keperluan laian-lain. Apabila pendapatan yang diperoleh nelayan tidak mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga, nelayan pengolah terpaksa meminjamnya kepada tetangga atau pada sanak famili, terutama untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak. Adapun tingkat pendapatan berdasarkan kategori nelayan berdasarkan hasil pengamatan, di tampilkan pada Tabel 13. Buruh nelayan umumnya memperoleh pendapatan Rp ,-/ melaut atau rata-rata Rp ,-/bulan. Lebih lanjut tingkat pendapatan kelompok buruh nelayan tergolong miskin. Nelayan pemilik kapal memperoleh pendapatan Rp ,-/melaut atau rata - rata Rp ,-/bulan. Berdasarkan tingkat

75 61 pendapatan ini maka kelompok pemilik kapal tergolong sejahtera. Sedangkan juragan kapal memperoleh pendapatan Rp ,-/melaut atau rata-rata Rp ,-/bulan. Tabel 13. Tingkat pendapatan berdasarkan kategori nelayan Kategori Pendapatan (Rupiah) trip bulan 1. Buruh nelayan Nelayan pemilik kapal Juragan kapal Sumber : Hasil pengamatan lapang, 2011

76 62

77 63 5 ANALISIS KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA PERIKANAN TANGKAP Analisis keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan melalui analisis pendugaan nilai indeks keberlanjutan terhadap kelima dimensi yaitu (1) Dimensi Ekologi, (2) Dimensi Ekonomi, (3) Dimensi Sosial, (4) Dimensi Kelembagaan dan Etika, serta (5) Dimensi Teknologi dan Insfastruktur. Hasil analisis terhadap kelima dimensi diperoleh sebanyak 50 atribut yaitu Dimensi Ekologi 9 atribut, Dimensi Ekonomi 9 atribut, Dimensi Sosial 10 atribut, Dimensi Kelembagaan dan Etika 11 atribut, dan Dimensi Teknologi 11 atribut. Setiap atribut yang telah disusun dan diisi dengan kondisi eksisting data yang ada kemudian dianalisis dengan menggunakan MDS maka diperoleh indeks keberlanjutan masing-masing dimensi. Untuk memperoleh indeks keberlanjutan multidimensi maka dilakukan pembobotan yang diperoleh dari pendapat pakar yang berkompeten dalam perikanan tangkap. Pembobotan dilakukan melalui scientific judgement sesuai dengan karakteristik spesifik perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. 5.1 Dimensi Ekologi Analisis keberlanjutan dimensi ekologi perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan terhadap 9 atribut. Berdasarkan hasil pengolahan MDS dengan Rapfish diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan dari Dimensi Ekologi adalah 49,07 atau di bawah indeks 50,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan ekologi perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan. Hasil analisis dengan Rapfish disajikan pada Gambar 23.

78 64 Gambar 23 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 24). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi ekologi diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (6 atribut). a. Atribut yang berpengaruh sensitif Diperoleh 3 (tiga) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekologi) yaitu : (1) tingkat penutupan karang (RMS = 2,18); (2) Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap (RMS =1,45); dan (3) kecepatan arus laut (RMS =1,09).

79 65 1. Tingkat penutupan karang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis ekosistem terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan (nursery ground). Fungsi ekologi terumbu karang terhadap populasi sumberdaya ikan karang penting karena ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sebagai spillover yang berkontribusi terhadap penyediaan ikan muda/remaja di daerah tangkapan (fishing ground). Sedangkan secara ekonomi, ekosistem terumbu karang memiliki kontribusi terhadap penyediaan stok bagi perikanan tangkap. Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Manfaat langsung yang dapat dirasakan dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Lebih lanjut Caesar (1996) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km 2 per tahun, sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km 2 /tahun dan 8 ton/km 2 /tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat djelaskan, tingkat tutupan terumbu karang merupakan parameter yang merepresentasikan fungsi ekosistem terumbu karang. Tingkat penutupan karang di lokasi penelitian rata-rata sudah mengalami kerusakan, sehingga berpengaruh terhadap fungsi ekologis terumbu karang sebagai habitat ikan laut dan penyedia sumberdaya (provisioning service). Kondisi ini berpengaruh juga terhadap daya dukung lingkungan bagi pemanfaatan perikanan tangkap. Berdasarkan hasil pengamatan dari 13 stasiun yang dilakukan oleh Coremap, diperoleh data bahwa 40 stasiun sudah mengalami kerusakan, 36 stasiun kritis, 22 stasiun bagus, dan 2 stasiun sangat bagus. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar penutupan karang sebagai habitat ikan telah mengalami kerusakan. Kondisi tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi perikanan laut.

80 66 Berkurangnya penutupan terumbu karang berdampak negatif pada ekosistem dan kenyataannya dampak tersebut sering dilupakan dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Fauzi (2001) mengungkapkan bahwa pemanfaatan sumber daya haruslah tidak melebihi daya dukung ekologis. Untuk itu dilakukan sedemikian rupa untuk tidak merusak keberadaan sumber daya yang ada. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya paling melimpah di daerah terumbu karang. Selain itu, komunitas ini merupakan penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang. Jenis dan kelimpahan ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi dengan organisme bentik, sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan pakan, maka keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi (Tarigan et al. 2008). Lebih lanjut, dalam perikanan yang bergantung sepenuhnya pada ikan di terumbu karang, tingkat tangkapan mungkin berkurang dan komposisi hasil tangkapan dapat berubah menjadi jenis-jenis ikan herbivor. Ikan-ikan ini umumnya bernilai jual lebih rendah, sehingga pendapatan nelayan berkurang. Komunitas nelayan dengan sedikit pilihan sumber pendapatan akan mengalami kesulitan. Kegiatan perikanan tangkap yang menargetkan ikan besar dan mencari makanannya di dekat terumbu karang akan mengalami penurunan tangkapan jika jenis tersebut bermigrasi ke daerah yang lebih baik untuk mencari mangsanya. Untuk perikanan dengan target jenis ikan kecil dan menempati daerah terumbu karang pada kurun waktu tertentu dalam hidupnya, akan mengalami penurunan tangkapan saat terumbu karang menghilang. 2. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang sedikit dibandingkan dengan jangka panjang. Umumnya nelayan bersaing untuk mendapatkan ikan lebih banyak sehingga mengancam kapasitas lingkungan sumberdaya. Lebih lanjut, menurut Stergio et al (2007), penangkapan ikan memiliki pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh itu bisa diidentifikasi pada rentang waktu yang berbeda dan tingkat organisasi biologi contohnya populasi, komunitas dan ekosistem

81 67 Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan sudah mencapai 70,50% (KKP 2011). Produksi perikanan tangkap tahun 2010 mencapai ton terdiri dari perikanan laut ton, dan perairan umum sebesar ton. Lebih lanjut dijelaskan, tingkat produktivitas hasil tangkapan berdasarkan perhitungan tahun menunjukkan setiap tahun hasil tangkapan cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan kondisi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan telah mengalami overcapacity, Rejim open access yang melekat pada perikanan tangkap, membiarkan jumlah dan teknologi alat tangkap berkembang tanpa kontrol telah mendorong percepatan terjadinya overcapacity di Sulawesi Selatan.Overcapacity yang juga dapat diartikan sebagai berlebihnya armada penangkapan atau tingginya teknologi penangkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan ini telah menjadi isu dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang ada selama ini. Terkait dengan hal tersebut, kalau selama ini pengelolaan sumberdaya ikan hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang optimum, maka pengelolaan perikanan yang perlu dilakukan sekarang sudah mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan. Alat tangkap ikan sebagai sarana utama dalam pemanfaatan ikan diatur sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif baik pada pemanfaat dan pengguna sumberdaya ikan, biota, dan lingkungan perairan serta pengguna jasa perairan lainnya. Penggunaan alat tangkap ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan harus benar-benar memperhatikan kesetimbangan dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain yang kurang termanfaatkan. Hal ini penting dipertimbangkan mengingat hilangnya biota dalam struktur ekosistem laut akan mempengaruhi secara keseluruhan ekosistem yang ada.

82 68 Gambar 24. Leverage factor pada dimensi ekologi perikanan tangkap Sulawesi Selatan 3. Tingkat kecepatan arus laut Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan. Tingkat kecepatan arus laut merupakan salah satu parameter kesesuaian bagi ikan untuk memiih habitat untuk melakukan perkembang biakan (nursery ground), pembesaran dan pendewasaan terhadap anakan ikan (spawning ground) maupun sebagai tempat tinggal. Kondisi tersebut ideal bagi produktivitas perkembangbiakan perikanan tangkap. Semakin tinggi kesesuaiannya maka kemampuan reproduksi akan dapat menjamin adanya ketersediaan populasi ikan dan tumbuh berkembang hingga usia tangkap. Perubahan kecepatan arus akan sangat berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku individu, populasi maupun komunitas. Kondisi ekstrim dengan menaiknya suhu air, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan ph air, lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Lingkungan dengan kondisi yang tidak optimal dapat

83 69 menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan dan kemampuan bertelur dari ikan, juga merubah metamorphosis, dan mempengaruhi sistem endokrin dan pola ruaya (Roessig et al. 2004). Semua perubahan ini secara langsung berpengaruh pada populasi dan struktur komunitas ikan, yang pada akhirnya berpengaruh pada stok perikanan. b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif Terdapat 6 (enam) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekologi), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi yaitu : (1) pencemaran air laut (RMS = 0,05). 1. Pencemaran air laut Peraturan Pemerintah No.19/1999 menjelaskan pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Lebih lanjut, UNCLOS III (United Nations Convention on the Law of the Sea) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya. Berdasarkan hal tersebut, atribut pencemaran air laut merupakan salah satu atribut penting terhadap penciptaan kondisi ekologi bagi perikanan tangkap. Meski demikian, atribut pencemaran air laut hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi. Pengaruh yang kecil atribut pencemaran air laut terhadap status keberlanjutan di Sulawesi Selatan disebabkan pada kawasan perairan Sulawesi Selatan memiliki kecepatan arus yang cukup tinggi. Kecepatan arus, menjadikan perairan Sulawesi Selatan memiliki flushing time yang tinggi sehingga pencemaran air laut yang ada tidak berpengaruh terhadap biota laut sekaligus terhadap keberlanjutan perikanan tangkap.

84 70 Keberadaan Laut Sulawesi yang sangat terbuka terhadap Samudera Pasifik memungkinkan terjadinya aliran arus Samudera Pasifik masuk ke laut Sulawesi melalui percabangan Selatan Mindanao ke arah Barat daya. Arus tersebut dibelokkan ke selatan kemudian ketika sampai di bagian tengah laut dibelokkan ke Timur dan kembali mengalir ke Timur di sepanjang pantai Utara Sulawesi. Di daerah baratlaut Halmahera arus pantai ini bertemu kembali dengan arus dari percabangan Mindanao yang datang dari utara antara Pulau Sangihe dan Talaut dan bertemu dengan air yang ke luar dari Laut Maluku, dan membentuk percabangan dari Arus Sakal (Counter Current). Sistem sirkulasi arus ini terjadi selama sepanjang tahun bahkan mungkin meluas ke arah Barat. Arus di Selat Makassar dari bulan Pebruari sampai dengan September hampir seluruhnya didukung oleh air dari sistem arus ini. Tetapi dari Oktober hingga Januari, ketika Angin Utara dominan bertiup di atas Laut Sulawesi, mengakibatkan arus Mindanao berbalik arah ke Timur, berganti ke Timur, dan air dari Laut Sulu mengalir melalui bagian Barat Laut Sulawesi masuk ke Selat Makassar. Di bagian Utara Laut Sulawesi air secara umum bergerak lemah dan tidak teratur, tetapi pergerakan masuk ke laut Sulu dominan dari bulan Maret hingga Juli dan pergerakan di bulan-bulan yang lain adalah bergerak ke arah Barat daya. 5.2 Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rapfish Sulawesi Selatan terhadap 9 atribut dimensi ekonomi secara parsial, dihasilkan nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 63,13 (berada di atas 50,00) berarti cukup berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 25. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 25). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi ekologi diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (6 atribut).

85 71 a. Atribut yang berpengaruh sensitif Diperoleh 3 (tiga) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekonomi) yaitu : (1) Orientasi pasar produk hasil perikanan (RMS = 2,64), (2) Sumber pendapatan perikanan tangkap bagi nelayan (RMS =.2,28), dan (3) Kepemilikan peralatan tangkap (RMS = 0,64). Gambar 25 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 26 Leverage factor pada dimensi ekonomi perikanan tangkap Sulawesi Selatan

86 72 1. Orientasi pasar Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai ekonomi suatu barang. Kotler, 2007 mengatakan bahwa pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Pemasaran menjadi penghubung antara produsen dan konsumen. Hasil tangkapan ikan tidak mempunyai nilai ekonomi sampai didistribusikan dan dipasarkan kepada konsumen. Aspek orientasi pasar sangat penting dalam pengembangan perikanan tangkap. Hal ini terkait dengan karakteristik sumberdaya ikan yang relatif cepat mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu hasil tangkapan ini harus segera dipasarkan kepada konsumen untuk dikonsumsi atau menjadi bahan baku industri pengolahan. Disamping itu, orientasi pasar memainkan peranan yang besar dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para pelakunya terutama nelayan. Hasil tangkapan yang dipasarkan dengan baik akan memberikan keuntungan yang besar kepada nelayan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Namun demikian dalam pelaksanaannya pemasaran hasil tangkapan di Sulawesi Selatan relatif kompleks. Kompleksitas tersebut pertama berkaitan dengan daerah pemasaran yang tidak hanya pemasaran antar daerah di dalam negeri, tetapi yang lebih memungkinkan adalah pemasaran luar negeri dengan pelaku usaha negara tetangga. Kedua, berkaitan dengan pola keterikatan nelayan dengan pihak lain. Orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan meliputi pasar lokal, kabupaten, provinsi maupun pasar nasional serta internasional. Ketersediaan pasar produk perikanan tangkap ini mampu mendorong tingkat eksploitasi jenis ikan komersial terutama ikan karang. Produksi ikan karang cenderung terus mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan produksi perikanan tangkap yang cenderung meningkat sesuai dengan tingkat permintaan pasar. Meskipun keberlanjutan ekonomi ditentukan oleh faktor pengungkit orientasi pasar namun tidak menjamin keberlanjutan ekologi, khusus terhadap sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan bahwa kebutuhan pasar dipenuhi oleh suplai ikan yang tidak mempertimbangkan asal tempat hasil penangkapan

87 73 (fishing ground). Kebutuhan ikan dapat diperoleh dari berbagai tempat fishing ground dan termasuk juga berasal dari luar Sulawesi Selatan. Tingginya orientasi pasar ini, hendaknya diikuti dengan sistem kontrol sumberdaya yang baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang hendaknya juga mempertimbangkan daya dukung pemanfaatan Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya peningkatan produksi perikanan tangkap untuk memenuhi permintaan pasar, perlindungan terhadap ekosistem tetap diperlukan untuk menjamin ketersediaan stok sumber daya ikan 2. Sumber pendapatan nelayan Nelayan adalah orang/individu yang aktif dalam melakukan penangkapan ikan dan binatang air lainnya. Tingkat kesejahteraan nelayan sangat ditentukan oleh hasil tangkapannya. Banyaknya tangkapan tercermin juga besarnya pendapatan yang diterima oleh nelayan yang nantinya sebagian besar digunakan untuk konsumsi keluarga. Dengan demikian tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga sangat ditentukan oleh pendapatan yang diterimanya. Para nelayan melakukan pekerjaan ini dengan tujuan memperoleh pendapatan untuk melangsungkan kehidupannya. Sedangkan dalam pelaksanaannya dibutuhkan beberapa perlengkapan dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam guna mendukung keberhasilan kegiatannya. Menurut Salim (1999) faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan meliputi faktor sosial dan ekonomi yang terdiri dari modal, jumlah perahu, pengalaman melaut,jarak tempuh melaut, jumlah tenaga kerja. Pendapatan nelayan berdasarkan besar kecilnya volume tangkapan,masih terdapat beberapa faktor yang lainnya yang ikut menentukan keberhasilan nelayan yaitu faktor sosial dan ekonomi selain tersebut diatas. Di Selat Makassar hasil tangkapan di pengaruhi oleh musim angin Barat, angin Timur dan musim Pancaroba. Musim angin Barat terjadi sekitar bulan Januari sampai Maret dan biasanya diikuti musim penghujan dengan angin kencang yang dapat menimbulkan gelombang laut yang besar. Musim angin Timur terjadi pada bulan Juli sampai September yang diikuti oleh musim Kemarau dan ditandai dengan kurangnya kecepatan angin, sehingga gelombang laut agak tenang. Musim Pancaroba adalah musim peralihan, terjadi pada bulan April sampai Juni dan antara bulan Oktober sampai bulan Desember. Keadaan laut pada musim Pancaroba tidak dapat diduga karena sewaktu-waktu gelombang laut tenang dan di waktu lain menjadi besar.

88 74 Produksi perikanan sangat dipengaruhi oleh musim. Saat musim Barat yang di sebut musim paceklik, nelayan kurang atau bahkan tidak melaut karena besarnya ombak sehingga produksi perikanan pada uumumnya menurun. Sebaliknya, saat musim timur tiba para nelayan sangat bersyukur karena pada musim ini kondisi laut sangat bersahabat, sehingga para nelayan dengan semangat baharinya berbondong-bondong melaut untuk mengkap ikan, sehingga musim timur ini juga di sebut musim ikan karena produksi ikan sangat melimpah. Musim juga sangat mempengaruhi harga jual produk perikanan, pada saat musim barat harga ikan meningkat karena kurangnya aktivitas penangkapan, sedangkan pada musim timur harga ikan menurun akibat hasil yang melimpah. Peranan penghasilan dari kegiatan perikanan tangkap terhadap ekonomi rumah tangga merupakan penghasilan utama, sehingga nelayan berusaha maksimal untuk memperoleh hasil tangkap yang cenderung berlebih. Nilai ekonomi perikanan tangkap menjadi pendorong utama bagi masyarakat untuk melakukan tangkap ikan, disamping untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan sendiri. 3. Kepemilikan peralatan tangkap Kepemilikan usaha perikanan oleh nelayan dianalogkan dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumahtangga pertanian. Usaha perikanan yang dimiliki menyangkut semua asset yang digunakan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, seperti : kepemilikan alat tangkap, kapal penangkap ikan, mesin pendorong, alat penunjang dan personil armada penangkapan. Lama kepemilikan alat tangkap tergantung pada umur ekonomis dan daya beli nelayan terhadap alat tangkap yang baru. Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Mengacu pada hal tersebut, nelayan juragan memiliki pendapatan yang lebih baik dibandingkan nelayan yang buruh nelayan dan buruh perorangan. Lebih lanjut, dapat dikatakan kepemilikan alat tangkap berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan nelayan.

89 75 Nelayan tradisional pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan ciri-ciri yang melekat pada mereka yaitu suatu kondisi yang subsisten, dengan modal yang kecil, teknologi yang digunakan dan kemampuan/skill serta perilaku yang tradisional baik dari segi keterampilan, psikologi dan mentalitas (Susilowati, 1991). Nelayan tradisional menggunakan perahu-perahu layar dalam aktivitasnya di pantai-pantai laut dangkal. Akibatnya, purata produktivitas dan pendapatannya adalah relatif rendah, di samping penangkapan di laut dangkal sudah berlebihan (over-fishing) (Susilowai 2001). Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Amanah et al. (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah. b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif Terdapat 6 (enam) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekonomi), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu : (1) penghasilan nelayan (RMS = 0,12); dan (2) penyerapan tenaga kerja (RMS = 0,10). 1. Penghasilan nelayan Penghasilan nelayan tradisonal di Sulawesi Selatan utamanya berasal dari kegiatan perikanan tangkap. Meski pada saat tertentu penghasilan yang didapat dari kegiatan perikanan tangkap dapat dijadikan penopang, namun pada saat tertentu dimana nelayan tidak melaut, memerlukan sumber pendapatan lainnya seperti pengolahan ikan dan berdagang ikan yang umumnya dilakukan oleh wanita. Menurut Wahyono et. al (2007), penghasilan usaha tangkap nelayan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya, seperti pedagang atau bahkan petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang diperolehnya setiap bulannya, begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka

90 76 tidak demikian dengan nelayan yang kegiatannya penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) serta bersifat spekulatif dan fluktuatif. Berangkat dari hal tersebut dalam menciptakan keberlanjutan dimensi ekonomi, diversifikasi sumber pendapatan diperlukan untuk meningkatkan penghasilan nelayan yang tidak menentu. Hal ini pula yang menjelaskan dalam perikanan tangkap yang berkelanjutan pada dimensi ekonomi, atribut penghasilan nelayan tidak berpengaruh terhadap naik atau turunnya keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. 2. Penyerapan tenaga kerja Fenomena kesejahteraan nelayan yang rendah merupakan pemasalahan yang sering terjadi, terutama pada nelayan tradisional sehingga menghambat pembangunan subsektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan merupakan tantangan dalam mencapai tujuan pembangunan perikanan antara lain meningkatkan kesejahteraan nelayan, petani ikan, dan masyarakat pesisir lainnya (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/Men/2002). Faktor ekonomi mendasar bagi pengembangan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan adalah bagaimana memasarkan hasil perikanan tangkap. Harapannya melalui pemasaran hasil perikanan tangkap yang baik akan terdapat multiplier effect berupa munculnya kegiatan pendamping lainnya yang mendukung perikanan tangkap seperti penyediaan sarana prasarana perikanan tangkap. Munculnya kegiatan pendamping tersebut tentunya berpotensi terhadap penyerapan tenaga kerja di bidang pemasaran hasil perikanan tangkap. 5.3 Dimensi Sosial Hasil analisis terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi sosial secara parsial, diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 60,82 (berada di atas 50,00) berarti cukup berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Gambar 27. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 28). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi ekologi diperoleh 2

91 77 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (4 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (6 atribut). a. Atribut yang berpengaruh sensitif Diperoleh 4 (empat) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan sosial) yaitu : (1) Usia kepala keluarga nelayan (RMS=5,37); (2) Jumlah rumah tangga nelayan pemanfaatan sumberdaya perikanan (RMS=4,79); (3) Ketergantungan rumah tangga nelayan pada perikanan tingkap (RMS=4,79); dan (4) Pengetahuan nelayan tentang peralatan tangkap ramah lingkungan (RMS=3,75). 1. Usia kepala keluarga nelayan Umur atau usia merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi aktivitas seseorang dalam bidang usahanya. Umumnya seseorang yang masih muda dan sehat memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibanding dengan yang berumur tua. Seseorang yang masih muda lebih cepat menerima hal-hal yang baru, lebih berani mengambil resiko dan lebih dinamis. Sedangkan seseorang yang relatif tua mempunyai kapasitas pengelolaan yang matang dan memiliki banyak pengalaman dalam mengelola usahanya, sehingga ia sangat berhati-hati dalam bertindak, mengambil keputusan dan cenderung bertindak dengan hal-hal yang bersifat tradisional, disamping itu kemampuan fisiknya sudah mulai berkurang Selain berkaitan dengan tingkat kedewasaan teknis seseorang, usia juga mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis. Dalam hal ini berarti semakin lanjut usia seseorang, diharapkan akan semakin mampu menunjukan kematangan jiwa (dalam arti semakin bijaksana), semakin mampu berpikir secara rasional dan semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lainnya yang menunjukan kematangan intelektual dalam psikologis, sehingga semakin tua usia seseorang, motivasi yang dimiliki akan semakin tinggi. Usia dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, mempersepsi dan menyikapi sesuatu yang menjadi objeknya (Heryanto, 1998).

92 78 2. Jumlah rumah tangga nelayan Jumlah rumah tangga mencerminkan pengeluaran rumah tangga. Jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga akan berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu keluarga. Demikian juga anggota keluarga yang lanjut usia. Mereka tidak bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga mereka bergantung kepada kepala keluarga. Anak anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup lainnya. Jumalah anggota yang di tanggung baik yang tinggal bersama dalam satu rumah maupun di tempat lain tetapi masih menjadi tanggung jawab rumah tangga tersebut. Jumlah angka keluarga menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Setiap individu mempunyai kebutuhan sendiri, sehingga dalam keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarganya banyak maka kebutuhannya akan banyak pula. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Gambar 27 Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan

93 79 Gambar 28 Leverage factor pada dimensi sosial perikanan tangkap Sulawesi Selatan 3. Jumlah rumah tangga nelayan Jumlah rumah tangga mencerminkan pengeluaran rumah tangga. Jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga akan berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu keluarga. Demikian juga anggota keluarga yang lanjut usia. Mereka tidak bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga mereka bergantung kepada kepala keluarga. Anak anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup lainnya. Jumalah anggota yang di tanggung baik yang tinggal bersama dalam satu rumah maupun di tempat lain tetapi masih menjadi tanggung jawab rumah tangga tersebut. Jumlah angka keluarga menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Setiap individu mempunyai kebutuhan sendiri, sehingga dalam keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarganya banyak maka kebutuhannya akan banyak pula. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan.

94 80 4. Ketergantungan rumah tangga nelayan Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan keramba-keramba di pantai Pemberdayaan nelayan diperlukan untuk menciptakan keberlanjutan prikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumah tangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa kekurangan modal produksi. Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui:

95 81 o Peranan anggota keluarga nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka o Diversifikasi pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan. o Jaringan sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumah tangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan nelayan. 5. Pengetahuan nelayan tentang peralatan tangkap ramah lingkungan Pendidikan yang rendah membatasi seseorang untuk terserap dalam akses sumber-sumber ekonomi yang lebih baik sehingga seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mengalami kemiskinan dan ketertinggalan. Persoalan kemiskinan inilah yang menjadi penyebab ketidakmampuan nelayan untuk meningkatkan kualitasnya sehingga inovasi dan transfer pengetahuan tidak terjadi (Dahuri 2002). Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Rendahnya pendidikan pula menyebabkan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh nelayan di Sulawesi Selatan seringkali tidak mengindahkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan. Kerusakan lingkungan yang terjadi diakibatkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak.

96 82 Tingkat perekonomian yang kurang mapan/rendah karena rendahnya tingkat pendidikan nelayan, sehingga dalam memenuhi kehidupan sehari-hari lebih lanjut mengakibatkan nelayan di Sulawesi Selatan tidak menyadari telah melakukan kerusakan di lingkungan wilayah pesisirnya. Sifat dasar nelayan yang boros didalam membelanjakan kebutuhan sehari-hari yang tidak dipikirkan penting tidaknya barang tersebut dibeli sehingga menyebabkan pengeluaran yang banyak, hal tersebut mengakibatkan tidak adanya simpanan atau tabungan untuk kehidupan yang akan datang hal ini juga harus di pahami karena tingkat pendidikan rendah oleh sebagian besar para nelayan. Kurangnya kesadaran nelayan karena sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menyebabkan apapun akan dilakukan demi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dan kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Sampai-sampai nelayan tidak menyadari kalau dalam menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang dapat menyebabkan kerusakan dalam sumberdaya laut. b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif Terdapat 6 (enam) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan sosial), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sosial yaitu : (1) jumlah anggota keluarga nelayan (RMS = 0,05) 1. Jumlah anggota keluarga nelayan Tanggungan keluarga adaiah banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala kelaurga, yaitu istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Lebih lnjut jumlah tanggungan keluarga secara langsung tidak mempengaruhi tingkat produksi, namun akan mempengaruhi produksi yang dilakukan (Asih 2008). Berdasarkan hal tersebut, atribut yang berpengaruh terhadap produksi perikanan tangkap merupakan atribut yang lebih penting dalam menciptakan keberlanjutan dimensi sosial. Lebih lanjut, Hamid dan Islamiah (2008) menyatakan jumlah tanggungan keluarga dengan bertambahnya tanggungan keluarga tidak meningkatkan pendapatan, malah justru memperkecil pendapatan perkapita (apalagi tanggungan keluarga tidak bekerja).

97 Dimensi Teknologi dan Infrastruktur Hasil analisis Rapfish terhadap perikanan Provinsi Selatan secara parsial pada dimensi Teknologi dan Infrastruktur terhadap 11 atribut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan sebesar 48,35 (berada di bawah 50,00) berarti kurang berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi Teknologi dan Infrastruktur disajikan pada Gambar 29. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 30). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi Teknologi dan Infrastruktur diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (8 atribut). a. Atribut yang berpengaruh sensitif Diperoleh 2 (dua) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan Teknologi dan Infrastruktur) yaitu : (1) Ketersediaan sarana prasarana (sarpras) dalam rangka penegakan hukum instansi pemerintah (RMS = 2,05); dan (2) Penggunaan teknologi atau alat tangkap ikan yang destruktif terhadap ekosistem kawasan perikanan tangkap (RMS = 1,16). Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar Ketersediaan sarana prasarana penegakan hukum Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan di Sulawesi Selatan, perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna. Ketersediaan sarana prasarana penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka di Sulawesi Selatan pelu diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan. Pengadilan perikanan tersebut bertugas

98 84 dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka di Sulawesi Selatan terkait pemenuhan sarana prasarana penegakan hukum, perlu dibuat regulasi dalam pengelolaan perikanan tangkap. Langkah langkah yang dapat dilakukan terdiri atas : a) pengawasan perikanan; b) pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia; c) pembentukan pengadilan perikanan; dan d) pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan. Gambar 29. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastuktur perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan 2. Penggunaan alat tangkap Tingkat teknologi penangkapan seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan ppenangkapan ikan. Teknologi penangkapan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas penangkapan yang dilakukan. Efisiensi mengacu pada penggunaan sumberdaya yang lebih kecil untuk mendapatkan hasil yang sama atau bahkan lebih besar seperti penggunaan modal, sarana penangkapan dan penggunaan sumberdaya manusia. Sedang efektifitas mengacu pada besaran hasil tangkapan yang dapat

99 Attribute 85 diperoleh dengan menggunakan alat tangkap tertentu. Penggunaan alat tangkap tertentu dapat dipengaruhi oleh karakteristik sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan, karakteristik daerah penangkapan, jumlah hasil tangkapan yang ingin ditangkap, ketersediaan modal pendukung dan adanya permintaan pasar terhadap komoditas ikan tertentu. Leverage of Attributes Penggunaan teknologi atau alat yang destruktif 1,16 Ketersediaan sarpras penegakan hukum instansi pemerintah 2,05 Mobilitas alat tangkap 0,05 Penanganan pasca penangkapan sebelum dipasarkan Penanganan hasil ikan tangkapan di atas perahu/ kapal Jumlah ikan terbuang 0,37 0,50 0,56 Ketersediaan prasarana pendaratan ikan 0,53 Teknologi penanganan pascapanen 0,27 Tipe kapal 0,31 Selektivitas alat tangkap 0,98 Jenis alat tangkap 0,29 0 0,5 1 1,5 2 2,5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 30. Leverage factor pada dimensi teknologi dan infrastuktur perikanan tangkap Sulawesi Selatan b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif Terdapat 9 (sembilan) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan teknologi dan infrastuktur), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan teknologi dan infrastuktur yaitu : (1) mobilitas alat tangkap (RMS = 0,05). 1. Mobilitas alat tangkap Alat penangkapan ikan adalah alat sarana, perlengkapan, atau benda lain yang dipergunakan untuk menangkap ikan (DKP 2006). Jenis alat penangkap ikan sangat banyak ragamnya sesuai dengan beragam sifat dan perilaku sasaran tangkap. Jenis sasaran tangkap sangatlah beragam dengan kondisi yang

100 86 terkonsentrasi maupun menyebar di suatu lingkungan perairan. Lebih lanjut mobilitas alat tangkap wilayah operasi alat tangkap yang digunakan nelayan di Sulawesi Selatan berkisar pada jarak 0 4 mil dari pantai. Pada kondisi tersebut kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan hanya menggunakan teknologi alat penangkapan yang masih tradisional sehingga efektifitas dan efisiensi kegiatan penangkapan yang digunakan masih rendah. 5.5 Dimensi Kelembagaan dan Etika Hasil analisis Rapfish secara parsial terhadap dimensi kelembagaan dan etika perikanan tangkap di provinsi Sulawes Selatan terhadap 10 atribut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan sebesar 46,93 (berada di bawah 50,00) berarti kurang berkelanjutan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 31). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi kelembagaan dan etika diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (8 atribut). a. Atribut yang berpengaruh sensitif Diperoleh 2 (dua) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan kelembagaan dan etika) yaitu : (1) Koordinasi instansi pemerintah (RMS=3,55); dan (2) Tingkat pelanggaran hukum dalam perikanan tangkap (RMS=2,13). Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar Koordinasi instansi pemerintah Pengelolaan sumberdaya perikanan terpadu merupakan suatu program terintegrasi yang meliputi berbagai sektor yang saling berpengaruh. Keberhasilan program pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh keterlibatan masingmasing sektor dalam mensukseskan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu di Sulawesi Selatan perlu adanya suatu kerangka koordinasi antar sektor yang saling mendukung untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan terpadu adalah mengkoordinir kebutuhan berbagai stakeholders yang terlibat di kawasan tersebut untuk mencapai hasil kesejahteraan masyarakat yang optimal dan

101 87 berkelanjutan (Mascia 2003). Langkah pertama yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan adalah menyelesaikan konflik antar stakeholders dan memberikan jalan terbaik yang saling menguntungkan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan sistem pengelolaan yang sangat kompleks dalam kaitan dengan banyaknya stakeholders yang terlibat. Gambar 31 Leverage factor pada dimensi kelembagaan dan etika perikanan tangkap Sulawesi Selatan 2. Tingkat pelanggaran hukum dalam perikanan Tingkat pelanggaran hukum terhadap aturan pemerintah masih tinggi hal ini ditunjukkan oleh tingginya jumlah kasus pelanggaran dalam bidang perikanan diantaranya berupa penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai, penggunaan bom maupun bahan beracun yang berdampak terhadap kerusaakan ekosistem terumbu karang setempat sebagai habitat ikan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi

102 88 memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan khususnya oleh nelayan tradisional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak, digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan tradisional di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya di dalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik, baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif Terdapat 8 (delapan) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekonomi), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan kelembagaan dan etika yaitu : (1) kapasitas instansi pemerintah urusan perikanan dan kelautan (RMS = 0,04). 1. Kapasitas instansi pemerintah urusan perikanan dan kelautan Kapasitas instansi pemerintah mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kreativitas untuk memperkuat instansi pemerintah sehingga mampu berkontribusi terhadap kemampuan organisasi (dari kemampuan individual menjadi kemampuan kolektif institusi). Peninjauan kapasitas instansi pemerintah ini akan mencakup ulasan atas kerangka pengembangan kapasitas, penilaian kinerja,

103 89 maupun mekanisme manajerial lain yang memungkinkan instansi pemerintah mengembangkan kapasitas urusan perikanan dan kelautan secara baik. Berdasarkan hasil pengamatan di Sulawesi Selatan, belum memiliki kapasitas instansi pemerintah untuk perikanan dan kelautan. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya kebijakan yang mendukung bagi pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan, Lebih lanjut, melalui pelatihan pola pikir dan birokrasi kewirausahaan dalam rangka merubah pola pikir, pola laku dan pola tindak aparatur menjadi lebih inovatif, fasilitatif, dan berjiwa kewirausahaan diperlukan untuk menciptakan koordinasi antar instansi sebagai atribut penting dalam mewujudkan keberlanjutan kelembagaan dan etika. 5.6 Tingkat Keberlanjutan Multidimensi Perikanan Tangkap Berdasarkan hasil analisis Rapfish yang dilakukan secara parsial pada setiap dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut : a. Dimensi ekologi sebesar 49,07 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-50,00). b. Dimensi ekonomi sebesar 53,13 berari cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,00-74,99). c. Dimensi sosial sebesar 60,92 berarti cukup berkelanjutan (indeks terletak antara 50,00-74,99). d. Dimensi kelembagaan dan etika sebesar 46,93 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-49,99). e. Dimensi teknologi dan infrastruktur sebesar 48,35 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-50,00). Dua dimensi secara parsial menunjukkan cukup berkelanjutan (Ekonomi dan dimens Sosial), dan tiga dimensi yang lain menunjukkan kurang berkelanjutan (dimensi Ekologi, Kelembagaan dan Etika, serta dimensi Teknologi dan Infrastruktur). Hasil analisis Rapfish perikanan tangkap Sulawesi Selatan secara parsial disajikan pada Gambar 32.

104 90 Gambar 32 Layang-layang indeks keberlanjutan parsial perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan hasil pembobotan antar dimensi keberlanjutan diperoleh bahwa tingkat keberlanjutan multidimensi Perikanan Tangkap Sulawesi Selatan adalah tidak berkelanjutan. Faktor yang menyebabkan tingkat keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dalam kategori tidak berkelanjutan adalah tidak terpenuhi salah satu dari tiga dimensi penentu keberlanjutan perikanan tangkap, yaitu dimensi ekologi (49,07 berarti kurang berkelanjutan). Nilai indeks keberlanjutan ini menunjukkan bahwa apabila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tetap seperti saat ini maka kegiatan perikanan tangkap, dilihat dari aspek ekologinya tidak akan berkelanjutan dan akan menyebabkan degradasi kualitas kawasan perairan. Karena itu, atributatribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan aspek ekologi yang berdampak positif tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif ditekan. Salah satu yang harus dikendalikan adalah praktek penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap illegal. Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal fishing termasuk kegiatan yang dilarang dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan tetapi memberikan keuntungan

105 91 yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang 5.7 Faktor Pengungkit (leverage factor) Faktor pengungkit (leverage factor) perubahannya dapat mempengaruhi tingkat sensitivitas terhadap perubahan indeks tingkat keberlanjutan dari kelima dimensi adalah sebanyak 16 faktor. Ke-16 faktor ini berasal dari dimensi ekologi tiga faktor, dimensi ekonomi tiga faktor, dimensi sosial empat faktor, dimensi kelembagaan dan etika tiga faktor, dan dimensi teknologi dan infrastruktur tiga faktor. Atribut sebanyak enam belas faktor pengungkit tersebut agar dipelihara secara baik dan merupakan kunci sukses untuk meningkatkan keberlanjutan sumberdaya kelautan di Provinsi Sulawesi Selatan. Faktor pengungkit tersebut adalah disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Faktor pengungkit perdimensi keberlanjutan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan No Dimensi Faktor Pengungkit (Leverage Factor) RMS 1 Ekologi (3) 1. Tingkat penutupan karang. 2,18 2. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap. 1,45 3. Kecepatan arus laut 1,09 2 Ekonomi (3) 4. Orientasi pasar produk hasil perikanan tangkap 2,64 5. Sumber pendapatan perikanan bagi 2,28 ekonomi keluarga nelayan 6. Kepemilikan peralatan tangkap 0,64 3 Sosial (4) 7. Usia kepala keluarga nelayan tangkap. 5,37 8. Jumlah rumah tangga nelayan 4,79 pemanfaat sumberdaya perikanan. 9. Ketergantungan rumah tangga nelayan 4,79 pada perikanan tangkap. 10. Pengetahuan nelayan tentang peralatan 3,75 tangkap ramah lingkungan.

106 92 No Dimensi Faktor Pengungkit (Leverage Factor) RMS 4 Kelembagaan dan Etika (3) 11. Koordinasi antar instansi pemerintah 3, Tingkat pelanggaran hukum dalam 2,13 aktivitas perikanan tangkap 13. Kebijakan pengaturan perikanan 1,62 tangkap. 5 Teknologi dan 14. Ketersediaan sarana prasarana 2,05 Infrastruktur (3) (sarpras) dalam rangka penegakan hukum instansi pemrintah. 15. Penggunaan teknologi atau alat tangkap 1,16 ikan yang destruktif terhadap ekosistem kawasan perikanan tangkap. 16. Selektivitas alat tangkap 0, Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo dilakukan melalui perbandingan antara nilai indeks keberlanjutan dengan nilai indeks Monte Carlo. Memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan adanya selisih nilai kedua análisis tersebut sangat kecil (1,25% atau lebih kecil dari 5%). Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan. Perbedaan nilai antara hasil MDS dengan menggunakan Rapfish dengan Analisis Monte Carlo yang sangat kecil menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi et al. 2005). Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik) yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Hasil analisis analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 15.

107 93 Tabel 15 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rapfish perikanan tangkap Provinsi Sulawesi dan analisis Monte Carlo Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Dimensi MDS Monte Carlo Perbedaan Perbedaan (MC) (MDS-MC) (MDS-MC) % Ekologi 49,07 49,30 0,23 0,51 Ekonomi 53,13 53,38 0,25 0,47 Sosial 60,92 60,78 0,14 0,23 Kelembagaan 46,93 46,05 0,88 1,87 dan Etika Teknologi dan 48,35 49,92 1,57 3,14 Infrastruktur Rata-rata 0,61 1,24 Uji ketepatan analisis MDS (goodness of fit) berdasarkan hasil analisis Rapfish perikanan tangkap Provinsi Sulawesi diperoleh koefisien determinasi (R 2 ) antara 94,17% - 95,05 % atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh 2001). Nilai stres antara 0,13 0,14. Nilai determinasi ini mendekati nilai % dan nilai stres lebih kecil dari 25% sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan prikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan (Fisheries 1999). Nilai stres, koefisien determinasi hasil analisis Rapfish disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Nilai stres dan nilai determinasi (R 2 ) hasil analisis Rapfish Dimensi Parameter Teknologi dan Kelembagaan Ekologi Ekonomi Sosial Infrastruktur dan Etika Nilai Stress 0,13 0,14 0,13 0,14 0,14 Nilai R 2 94,26 95,05 94,17 94,78 94,99 Jumlah Iterasi 2,00 2,00 2,00 2,00 2, Rekapitulasi Atribut Penilaian Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan Atribut penilaian pada keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari beberapa atribut dari berbagai dimensi. Beberapa dimensi yang digunakan terdiri dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi serta dimensi kelembagaan dan etika. Rekapitulasi dari berbagai atribut penilaian terhadap keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tabel 17.

108 94

109 95

110 96

111 97

112 98

113 99

114 100

115 101

116 102

117 6 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan disusun berdasarkan atas faktor kunci dengan pengaruh yang tinggi dan memiliki ketergantungan yang rendah maupun tinggi terhadap sistem yang dikaji, dalam hal ini sistem pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. Model pengelolaan perikanan merupakan fungsi dari beberapa faktor yang saling berinteraksi sehingga perlu dikelola secara baik. Faktor yang dikelola adalah faktor memiliki pengaruh tinggi terhadap tingkat keberlanjutan sehingga mampu mendorong kinerja sistem pengelolaan untuk mencapai tujuan sistem. Faktor ini memiliki kekuatan yang kuat dan mampu mempengaruhi pencapaian terhada kinerja sistem. Faktor ini juga memilki ketergantungan yang rendah terhadap sistem sehingga mampu mencapai kinerja tanpa tergantung terhadap faktor lainnya. Di lain pihak, faktor faktor dengan ketergantungan yang tinggi terhadap sistem yang tinggi maka perlu dikelola secara lebih hati-hati karena dapat mengakibatkan ketidak-stabilan di dalam sistem yang dikaji. Penyusunan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif ini dilakukan dengan memberikan skor penilaian tingkat pengaruh langsung maupun tidak langsung antar elemen (faktor) di dalam sistem perikanan tangkap yang dikaji. Pemberian nilai tingkat pengaruh antar elemen dimulai dari tidak ada pengaruh (0); berpengaruh kecil (1); berpengaruh sedang (2); dan berpengaruh sangat kuat (3). Hasil analisis prospektif merupakan rumusan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga dicapai kondisi yang efektif dan efisien di masa yang akan datang melalui berbagai skenario yang mungkin terjadi. Analisis prospektif ini akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (kunci) yang berpengaruh terhadap kinerja sistem pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. Semua faktor di dalam model pengelolaan perikanan tangkap memiliki pengaruh mulai dari berpengaruh lemah sampai dengan kuat terhadap kinerja sistem. Skenario model pengelolaan perikanan yang dibangun untuk melalui intervensi terhadap faktor dominan (kunci) di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dan dengan

118 104 menggabungkan hasil analisis morfologis terhadap berbagai kemungkinan perubahan (membaik atau memburuk) atas faktor-faktor pengungkit (leverage factor) dari setiap dimensi keberlanjutan. 6.1 Identifikasi Faktor Dominan Identifikasi faktor dominan dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan terhadap faktor pengungkit (leverage factor) dari setiap dimensi keberlanjutan yang diperoleh dan beberapa faktor lainnya yang mempunyai peluang mempengaruhi kinerja sub-sistem dari hasil analisis leverage dengan menggunakan Rapfish. Faktor pengungkit (leverage) dari kelima dimensi keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 16 faktor, yaitu : 1. Tingkat penutupan karang. 2. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap. 3. Kecepatan arus laut. 4. Orientasi pasar produk hasil perikanan tangkap. 5. Sumber pendapatan perikanan bagi ekonomi keluarga nelayan. 6. Kepemilikan peralatan tangkap. 7. Usia kepala keluarga nelayan tangkap. 8. Jumlah rumah tangga nelayan pemanfaat sumberdaya perikanan. 9. Ketergantungan rumah tangga nelayan pada perikanan tangkap. 10. Pengetahuan nelayan tentang peralatan tangkap ramah lingkungan. 11. Koordinasi antar instansi pemerintah. 12. Tingkat pelanggaran hukum dalam aktivitas perikanan tangkap. 13. Kebijakan pengaturan perikanan tangkap. 14. Ketersediaan sarana prasarana (sarpras) dalam rangka penegakan hukum instansi pemrintah. 15. Penggunaan teknologi atau alat tangkap ikan yang destruktif terhadap ekosistem kawasan perikanan tangkap. 16. Selektivitas alat tangkap. Leverage factor yang diperoleh dari analisis leverage tersebut kemudian dilakukan tingkat pengaruh antar faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Analisis dilakukan menggunakan analisis prospektif. Pengaruh faktor terhadap faktor yang lain dapat bersifat kuat, sedang, lemah, sampai dengan tidak ada pengaruhnya. Penilaian tingkat pengaruh ini maka karakter faktor

119 105 memiliki tingkat pengaruh maupun tingkat ketergantungan terhadap faktor lainnya di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan. Hasil dari analisis prospektif adalah pengelompokan faktor kedalam 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I disebut sebagai input atau faktor penentu (driving varables), kuadran II disebut sebagai stake atau faktor penghubung (leverage variables), kuadran III disebut output atau faktor terikat (output variables), dan kuadran IV disebut unused atau faktor bebas (marginal variables). Hasil analisis prospektif dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Gambar 33. Gambar 33 Hasil analisis prospektif dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Provinsi Sulawesi Selatan Hasil analisis prospektif pada Gambar 29 diperoleh bahwa faktor yang memiliki pengaruh kuat dan ketergantungan lemah sebanyak 1 (satu) faktor yaitu orientasi pasar hasil perikanan tangkap. Faktor-faktor dengan pengaruh kuat dan ketergantungan kuat yaitu sebanyak lima faktor yaitu (1) Tingkat penutupan karang; (2) Pemanfaatan perikanan tangkap; (3) Tingkat pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap; (4) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; dan (5) Koordinasi instansi pemerintah. Memperhatikan hal tersebut maka faktor yang dominan (kunci) di dalam Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja sistem sebanyak enam faktor yaitu (1) Orientasi pasar hasil perikanan tangkap; (2) Tingkat penutupan karang; (3) Pemanfaatan perikanan

120 106 tangkap; (4) Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap; (5) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; dan (6) Koordinasi instansi pemerintah. Keenam faktor tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di provinsi Sulawesi Selatan. Keenam faktor ini perlu dikelola dengan lebih baik. Analisis morfologis dipergunakan dalam memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di masa depan (state), sehingga model pengelolaan berkelanjutan diarahkan kepada kondisi yang lebih baik ke dapan. Faktor dengan kondisi kinerja yang sudah baik dipertahankan kinerjanya, sedangkan faktor dengan kondisi kinerja yang kurang baik kecenderungan perubahannya maka perlu diintervensi agar perubahannya ke arah yang lebih baik. a. Orientasi pasar hasil perikanan tangkap. Hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dipasarkan baik di pasar lokal, kabupaten, provinsi, lintas provinsi, maupun secara nasional maupun nasional. Pasar lokal dan kabupaten umumnya hasil perikanan dengan jenis ikan yang kurang diminati oleh pasar provinsi maupun pasar internasional (ekspor). Pasar lokal dan antar kabupaten biasa dipasarkan dengan menggunakan kendaraan roda dua, mobil pickup maupun dengan kapal motor jika jarak ke kota kabupaten lainnya berdekatan. Lebih lanjut untuk pasar provinsi umumnya didistribusikan dengan menggunakan modil pick-up dan dengan perlakuan pengawetan yang baik. Pengiriman pasar nasional sampai dengan pasar internasional (ekspor) dilakukan dengan menggunakan teknik pengemasan yang sangat baik dan dikirim dengan menggunakan pesawat udara. Memperhatkan pasar ikan Sulawesi Selatan di luar daerah atau luar negeri yang terjamin kontinyuitasnya maka mendorong para nelayan dan pemanfaatan perikanan tangkap untuk melakukan eksploitasi secara optimal. Jaminan pemasaran yang baik ini dapat mendorong nelayan untuk memburu jenis-jenis yang laku dipasaran dengan harga tinggi, dan yang hidup di perairan dangkal. Kondisi ini mendorong eksploitasi pemanfaatan ikan pada jenis tertentu pada wilayah yang dapat dijangkau. Pemanfaatan ikan secara berkelanjutan terkait dengan kondisi ekologi pada suatu kawasan. Pada kawasan dengan ekosistem yang memiliki fungsi ekologi yang mendukung bagi perkembangan sumberdaya ikan, akan mampu menyediakan stok bagi usaha perikanan tangkap. Untuk itu upaya perikanan tangkap harus disertai dengan upaya pelestarian ekosistem

121 107 penunjang bagi perikanan tangkap, seperti terumbu karang, sebagai faktor penghubung dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan ( Gambar 33). Hal lain yang sangat penting adalah pemanfaatan sumberdaya ikan di setiap daerah penangkapan tidak melebihi daya dukung. b. Tingkat penutupan karang. Fungsi ekologi dari ekosistem terumbu karang hendaknya dapat dipertahankan secara maksimal. Hal ini penting karena ekosistem terumbu karang memberikan kontribusi terhadap suplai ikan ke daerah penangkapan. Lebih lanjut, strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ditekankan pada upaya : - Meningkatkan persen tutupan terumbu karang hingga diatas 50% - Mempertahankan dan memperluas keberadaan ekosistem terumbu karang - Mencegah penurunan kualitas perairan dan lingkungan ekosistem terumbu karang - Mencegah kerusakan terumbu karang dari aktifitas pemanfaatan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap terumbu karang. c. Pemanfaatan perikanan tangkap. Penggunaan alat tangkap berupa motor 0-10 GT masih mendominasi di wilayah perairan Sulawesi Selatan. Kondisi ini akan dpat mengancam beberapa species tertentu yang hidup di sekitar 0-5 mil laut atau rata-rata berupa perairan dangkal. Spesies ikan yang biasa hidup di perairan dangkal mendapatkan aktivitas penangkapan ang lebih intensif sehingga populasi ikan semakin merosot tajam karena tidak sesuai dengan produktivitas dari populasi ikan. Disamping itu, dengan intensifnya penangkapan ikan dan penggunaan alat motor yang terbatas, serta langkanya ikan tangkapan, banyak nelayan menggunakan teknis yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Terumbu karang yang rusak maka habitat sebagai tempat reproduksi ikan dan pembesaran ikan semakin terganggu sehingga kondisi stok ikan di wilayah tangkapan ikan ikut terganggu.

122 108 d. Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap. Pelanggaran hukum yang ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan diantaranya penggunaan jaring double trawl ship yang dapat menangkap semua jenis dan ukuran jenis ikan, penggunaan bom ikan, pemindahan ikan dari kapal tangkapan di perairan Indonesia ke atas kapal ikan berbendera asing tanpa dokumen, serta penggunaan kapal tangkap tanpa ijin. Kondisi ini mengakibatkan jumlah ikan hasil tangkapan tidak dapat dideteksi secara baik dan pendapatan negara dari sektor perikanan tidak dapat diperoleh. e. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap menyangkut kewajiban dan larangan para pihak dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Pengaturan pengelolaan diharapkan dapat meningkatkan manfaat perikanan laut bagi semua pihak. Namun demikian parapihak masih belum berupaya untuk meningkatkan daya dukung dan tingkat kemanfaatan sumberdaya perikanan dengan baik. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan penggunaan bahan peledak masih ditemukan diantara para nelayan. Kondisi ini apabila dibiarkan maka akan mengganggun kondisi ekosistem perikanan tangkap. f. Koordinasi instansi pemerintah. Koordinasi antar instansi pemerintah masih rendah. Hal ini ditunjukkan masih lemahnya keterpaduan program dalam penanganan permasalahan pengelolaan perikanan tangkap. Sistem perikanan tangkap menyangkut ekosistem kelautan, sosial nelayan, pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan ekosistem dari kerusakan serta pengaturan produksi perikanan tangkap. Koordinasi antar instansi pemeirntah dalam pemberantasan illegal fishing berupa pengendalian penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing serta penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan masih tetap berlangsung. Kapasitas koordinasi instansi pemerintah perlu ditingkatkan melalui peningkatan sarana prasarana dan smberdaya manusia yang kompetensinya sesuai. Hubungan keterkaitan antar instansi yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi di dalam sistem pengelolaan perikanan dalam mencapai tujuan sistem. Koordinasi antar pelaku di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap mampu mendorong peningkatan kinerja faktor-faktor. Koordinasi

123 109 menghubungkan antar faktor, antar pelaku maupun mensinergikan antar dimensi di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap. Koordinasi merupakan hubungan positif antar pelaku yang dimiliki oleh adanya kebersamaan antar pelaku dalam mencapai tujuan bersama. Koordinasi diperlukan oleh para pihak untuk melakukan pembagian tanggung jawab, resiko dan pembagian peran secara bersama serta mencapai kondisi yang diinginkan bersam. Koordinasi harus mampu memberikan harapan manfaat yang akan diterima secara bersama oleh masing-masing pijak secara adil sesuai dengan tingkat pengorbanan yang diberikan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Jika para pihak melakukan koordinasi secara bersama harus maka akan dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada tidak melakukan koordinasi. 6.2 Keadaan yang Mungkin Terjadi pada Faktor Kunci (Dominan) di Masa Depan Keadaan faktor di masa yang akan datang dapat berubah, sesuai dengan dinamisasi perubahan sosial, ekonomi, politik, maupun adanya force majeur yang tidak bisa dihindari. Dalam kajian kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan juga memiliki kecenderungan yang sama yaitu adanya peluang untuk berubah, menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Analisis morfologis dipergunakan untuk untuk menganalisis kecenderungan perubahan dari setiap faktor dominan dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah, keadaan lokal, maupun akibat perubahan faktor dari luar wilayah ataupun faktor yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan level yang lebih tinggi. Ketepatan dalam analisis ini mendukung kepada skenario model model pengembangan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Variabel dominan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan berpeluang menjadi berubahn ke depan jika dilakukan perubahan kinerjanya melalui intervensi kedalam model rangka meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Perubahan kinerja faktor-faktor dominan dalam pengelolaan perikanan tangkap disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan analisis prosepektif terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan, dihasilkan enam faktor kunci (dominan) yaitu (O) Orientasi pasar hasil perikanan tangkap; (T) Tingkat penutupan karang; (P) Pemanfaatan

124 110 perikanan tangkap; (H) Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap; (J) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; dan (K) Koordinasi instansi pemerintah. Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan (M) dapat digambarkan sebagai hubungan fungsi M = f (O, T, P, H, J, K). Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah model yang disusun dalam upaya meningkatkan atau menjamin adanya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan melalui menjaga atau meningkatkan kinerja faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutannya. Model yang berkelanjutan disusun melalui tiga skenario yaitu : Skenario I (Pesimis); Skenario II (Moderat); dan Skenario III (Optimis). Skenario pesimis merupakan skenario model tanpa adanya intervensi perbaikan kinerja atribut. Skenario moderat merupakan skenario model pengelolaan yang dilakukan dengan perbaikan kinerja faktor kunci / dominan yang dilakukan dengan perbaikan kinerja menjadi setingkat lebih baik. Skenario optimis dilakukan dengan memberikan intervensi pada faktor kunci / dominan menjadi dua tingkat lebih baik atau kalau kinerjanya sudah maksimal maka mempertahankan kinerja yang sudah maksimum tersebut. Tabel 18 Kondisi faktor kunci (faktor dominan) dan kemungkinan perubahan masa yang akan datang dalam pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan No Faktor Dominan Kemungkinan Terjadi Perubahan ke Depan (key factor) A B C 1 Orientasi pasar hasil perikanan tangkap. 2 Tingkat penutupan karang. 3 Pemanfaatan perikanan tangkap. 4 Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap. 5 Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap. (2) Orientasi pasar lokal, kabupaten, provinsi, nasional dan internasional. (2 ) Pemanfaatan % daya dukung (2) Orientasi pasar lokal, kabupaten, provinsi, nasional dan internasional. (2) Orientasi pasar lokal, kabupaten, provinsi, nasional dan internasional. Tinggi Tinggi Tinggi (0) (1) (2 ) 0-24% 25-49,9%) 50-74,9% Rusak Sedang Baik (3) (3) Pemanfaatan Pemanfaatan 0-50% daya 0-50% daya dukung dukung Tangkap penuh Tangkap kurang Tangkap kurang (0) (1 ) (2) Sangat Tinggi Tinggi Kurang (1) Kurang memadai (2) Cukup memadai (3) Sangat Memadai

125 111 6 Koordinasi instansi pemerintah (0) Masih lemah (1) Kurang baik (2) Sedang/cukup baik Buruk Kurang Cukup Baik Keterangan : A : kondisi eksisting skenario I (pesimis) B : skenario II (moderat) C : skenario III (optimis 0-2 : nilai skoring atribut faktor kunci (dominan) atau kinerja saat ini. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan variabel kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Skenario yang dibangun untuk pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan dengan menggunakan tiga skenario yaitu skenario I (pesimis), II (moderat), dan III (optimis). Skenario pengembangan kebijakan dilakukan dengan melakukan intervensi (perbaikan) kinerja faktor kunci. Perbaikan dilakukan dengan meningkatkan nilai skor terhadap faktor penting tersebut. Selanjutnya pada faktor-faktor pengungkit (leverage) pada masing-masing dimensi keberlanjutan dibuat kondisi yang mungkin terjadi di masa depan. Skenario kemudian disimulasikan melalui analisis MDS untuk menilai kembali peningkatan indeks keberlanjutannya. Hasil skenario pengembangan kebijakan berkelanjutan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Nilai indeks keberlanjutan perdimensi berdasarkan skenario pengembangan kebijakan Tingkat Keberlanjutan No Dimensi Skenario I (Pesimis) Skenario II (Moderat) Skenario III (Optimis) 1 Ekologi 49,07 51,11 52,37 2 Ekonomi 53,13 53,13 53,13 3 Sosial 60,92 60,92 60,92 4 Kelembagaan dan etika 46,93 52,21 55,46 5 Teknologi dan infrastruktur 48,35 48,35 48,35 Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan per dimensi berdasarkan skenario pengembangan kebijakan diperoleh hasil sebagai berikut : a. Skenario I (Pesimis) merupakan skenario kebijakan berdasarkan kondisi eksisting tanpa melakukan intervensi terhadap faktor dominan. Pada skenario I, tiga dimensi utama dalam penentuan keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, terdapat satu dimensi yaitu dimensi ekologi yang memiliki nilai dibawah 50%. Kondisi ini mengindikasikan pada skenario I (pesimistis), perikanan tangkap di Sulawesi Selatan memiliki status tidak berkelanjutan.

126 112 b. Skenario II (Moderat). Pada skenario II (Moderat), tiga dimensi utama dalam penentuan keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial memiliki nilai di atas 50%. Kondisi ini mengindikasikan pada skenario II (moderat), perikanan tangkap di Sulawesi Selatan akan memiliki status cukup berkelanjutan. Lebih lanjut pada skenario II dilakukan melalui perbaikan kinerja beberapa faktor dominan pada dimensi ekologi (tingkat penutupan karang, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap), dimensi ekonomi (mempertahankan orientasi pasar hasil prikanan tangkap), dan dimensi kelembagaan dan etika (tingkat pelanggaran hukum dalam aktivitas perikanan tangkap, kebijakan pengaturan perikanan tangkap, dan koordinasi antar instansi pemerintah) c. Skenario III (Optimistis). Skenario IIII (Optimistis) dibandingkan dengan skenario lainnya (skenario I dan skenario II) memiliki nilai pada tiga dimensi utama (dimensi ekologi, ekonomi dan sosial) lebih baik. Kondisi ini mengindikasikan pada skenario III, perikanan tangkap di Sulawesi Selatan memiliki status keberlanjutan cukup berkelanjutan. Seperti halnya pada skenario II (Moderat), skenario III (Optimis) memiliki nilai pada tiga dimensi utama (ekologi, ekonomi dan sosial) diatas 50%. Namun pada skenario III, nilai dimensi ekologi lebih tinggi dibandingkan skenario II. Lebih lanjut, mengacu pada nilai dimensi ekologi yang lebih baik, skenario III dinilai sebagai skenario paling baik bagi pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Pada setiap skenario yang digunakan, dimensi dimensi Teknologi dan Infrastruktur masih memiliki nilai dibawah 50%. Hal ini mengindikasikan dimensi Teknologi dan Infrastruktur pada setiap skenario merupakan dimensi pembatas pada setiap skenario. 6.3 Skenario Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan yang Realistis Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan model dengan fungsi dari enam faktor kunci, yang secara matematik dapat disusun M = f (O, T, P, H, J, K), dengan O = Orientasi pasar hasil perikanan tangkap, T = Tingkat penutupan karang, P = Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap, H = Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap, J = Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, dan K = Koordinasi instansi pemerintah.

127 113 Skenario model pengelolaan yang paling memungkinkan ditempuh untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan saat ini adalah dengan Skenario III. sehingga mampu meningkatkan tingkat keberlanjutan semua dimensi diatas 50% (cukup berkelanjutan) kecuali dimensi teknologi dan infrastruktur relatif masih masih rendah 48,35 (kurang berkelanjutan). Kondisi ini memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan perlu segera dikendalikan agar daya dukung ekosistem perikanan tangkap tidak terus mengalami penurunan hingga mengarah kepada tidak berkelanjutan. 6.4 Arahan dan Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan disusun berdasarkan hasil penilaian skenario model pengelolaan yang paling memungkinkan ditempuh. Hasil penilaian menunjukkan skenario model pengelolaan pada skenario III, sebagai skenario yang paling realistis untuk dikembangkan, disusun implikasi dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan model dengan fungsi dari enam faktor kunci, yang secara matematik dapat disusun M = f (O, T, P, H, J, K), dengan O = Orientasi pasar hasil perikanan tangkap, T = Tingkat penutupan karang, P = Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap, H = Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap, J = Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, dan K = Koordinasi instansi pemerintah. Mengacu pada model yang dihasilkan, berikut arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan 1. Orientasi pasar hasil (O) Orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan masih mengedepankan produksi perikanan sebagai indikator pertumbuhan dalam menilai kemajuan kinerja ekonomi dan pembangunan. Orientasi ini sejatinya tak luput paradigma mekanisme pasar yang menghegemoni ekonomi dunia. Bila produksi perikanan meningkat, otomatis pembangunan perikanan dianggap berhasil. Padahal hal tersebut tak menjamin akan menyejahterakan nelayan. Ironisnya, produksi perikanan meningkat tapi stok sumber daya ikan dan ekosistemnya mengalami degradasi. Terkait dengan hal tersebut, orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan harus dirubah, yaitu selain mampu meningkatkan produksi juga harus mampu mempertahankan stok sumberdaya

128 114 ikan dan ekosistem. Lebih lanjut, peningkatan produksi perikanan di Sulawesi Selatan untuk berkelanjutan harus memperhatikan potensi pemanfaatan ikan lestari, ketersediaan sarana prasarana penunjang bagi pengembangan perikanan tangkap, berupa ketersediaan tempat pelelangan ikan (TPI), pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan lainnya. Peningkatan fasilitas maupun kapasitas sarana dan prasarana kelautan dan perikanan ini sangat strategis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan, serta mendorong berkembangnya usaha perikanan rakyat dan membantu tercapainya iklim yang kondusif begi pertumbuhan usaha perikanan. Produksi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan saat ini hanya mengandalkan penyediaan bahan baku (berupa ikan), sekaligus menjadi aktifitas yang dominan. Padahal sistem perikanan tangkap masih terdapat sub sistem pengolahan produk perikanan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Langkah yang dapat dilakukan berupa Pengembangan Unit Pengolahan Ikan Berorientasi Ekspor. Menurut Elfindri dan Bachtiar (2004) pengembangan industri yang menghasilkan produk berorientasi ekspor mempunyai dampak positif terhadap perluasan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan industri-industri tersebut lebih tepat untuk mencapai skala ekonomi karena luasnya pasar. Semakin luasnya pasar menyebabkan kegiatan usaha juga meningkat, sehingga keperluan terhadap tenaga kerja juga bertambah. Potensi pasar ekspor untuk produk perikanan sangat luas. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya permintaan produk perikanan Indonesia di pasar internasional. Sehingga program Pengembangan UPI, baik untuk skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang berorientasi ekspor untuk perluasan kesempatan kerja pada sektor perikanan dapat dilakukan. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan program ini dalam bentuk pembinaan, pelatihan dan pengawasan menyangkut kualitas dan kuantitas produk, penerapan teknologi yang lebih baik serta penyediaan informasi pasar. Selain itu pemanfaatan output sektor perikanan dalam bentuk olahan akan meningkatkan nilai tambah yang akan diterima. Beberapa kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam program ini berupa pelatihan pengolahaan ikan dalam berbagai bentuk bahan pangan maupun non pangan berbahan dasar ikan. Setelah kegiatan pelatihan, agar program ini dapat berjalan dengan baik, harus dilanjutkan dengan pembinaan secara langsung dan terus menerus.

129 Tingkat penutupan karang (T) Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem khas di kawasan pesisir, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, yang peran dan fungsinya sangat penting bagi pembangunan ekonomi pada umumnya dan masyarakat pesisir pada khususnya. Namun demikian, akibat pengelolaan yang tidak memadai dengan tingkat eksploitasi yang begitu intensif pada beberapa dasawarsa belakang ini, maka ekosistem terumbu karang kita pada umumnya termasuk dalam kategori kurang baik dan semakin terancam oleh pengaruh berbagai aktifiats manusia (anthropogenic), seperti penangkapan berlebih dan penggunaan alat tangkap. Lebih lanjut, DKP Sulsel (2008) menyebutkan khusus Kepuluan Spermonde hanya ditemukan terumbu karang dengan kondisi sangat bagus 2%; kondisi bagus 19,24%; kondisi sedang 63,38% dan kondisi rusak 15,38 %. Kombinasi destructif fishing dengan penangkapan berlebih tentunya akan mengarah pada degradasi habitat yang berkepanjangan yang pada gilirannya bukan hanya akan berdampak pada penurunan kualitas lingikungan secara umum, tapi juga pada hilangnya sumber-sumber mata pencaharian masyarakat nelayan. Gejala ini telah sangat dirasakan sendiri oleh masyarakat pesisir dengan penurunan secara drastis hasil tangkapan yang mereka peroleh dari kawasan terumbu karang dibandingkan dengan pada saat sebelumnya. Oleh karena itu, demi menyelematkan terumbu karang di Sulawesi Selatan yang masih tersisa sekaligus membantu masyarakat nelayan, perlu ada tindakan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam tersebut secara bijaksana. Upaya yang perlu dipertimbangkan adalah melalui pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi terumbu karang berupa transplantasi terumbu karang dan pembuatan terumbu buatan (artificial reef). Upaya rehabilitasi terumbu karang lebih lanjut merupakan upaya untuk meningkatkan fungsi ekologi terumbu karang sekaligus meningkatkan daya dukung ekologi bagi kegiatan perikanan tangkap. Lebih lanjut untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang, pada beberapa lokasi yang memiliki tutupan terumbu karang yang baik, perlu menggunakan pendekatan kawasan konservasi laut, termasuk penutupan beberapa area tertentu terhadap aktifitas perikanan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

130 116 Keberadaan kawasan konservasi laut berdampak positif bagi sumberdaya perikanan di kawasan pesisir, yaitu memelihara sumber induk (brood stocks) agar jumlah dan ukurannya bisa meningkat sehingga produksi benihnya akan lebih baik dan melimpah serta untuk melindungi habitat dan stok ikan agar dapat tumbuh dengan baik tanpa gangguan di kawasan perlindungan (Dalton 2004). Limpahan ikan-ikan dewasa dan juga ikan-ikan kecil akan berpindah tempat (spill-over effect) keluar kawasan perlindungan (Kamukuru et al. 2004), sehingga sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan 3. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap (P) Wilayah Sulawesi Selatan masuk dalam WPP IV (meliputi Selat Makassar dan Laut Flores). Pada WPP tersebut sumberdaya ikan yang masih dalam kategori dapat dimanfaatkan adalah ikan demersal, pelagis dan pelagis besar (KKP 2010). Berangkat dari hal tersebut, tingkat pemanfaatan sejumlah suberdaya ikan lainnya yang ada harus mulai dibatasi dan diawasi. Jenis ikan pelagis kecil umumnya ditangkap dengan menggunakan purse seine, rawai, maupun huhate. Ketiga jenis alat tangkap ini sudah sesuai dengan standar penggunaan alat tangkap yang tertulis pada pasal CCRF (code of conduct for responsible fisheries) Negara-negara harus mensyaratkan bahwa alat, metode, dan praktek penangkapan ikan, sejauh bisa dilaksanakan, agar cukup selektif sedemikian rupa sehingga meminimumkan limbah, ikan buangan, hasil tangkapan spesies bukan target baik spesies ikan maupun spesies bukan ikan serta dampak terhadap spesies yang terkait atau tergantung dan bahwa maksud dari peraturan terkait tidak diabaikan oleh peranti teknis. Sehubungan dengan ini, para nelayan harus bekerjasama dalam pengembangan alat dan metode penangkapan yang selektif. Negara harus menjamin bahwa informasi tentang perkembangan dan persyaratan yang terbaru tersedia bagi semua nelayan. Untuk jenis ikan peruaya jauh (pelagis besar), pengelolaannya harus merujuk pada CCRF dimana pada pasal dituliskan Bagi stok ikan pelintas batas, stok ikan straddling, stok ikan peruaya jauh dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh dua Negara atau lebih, maka Negara bersangkutan, termasuk negara pantai yang relevan dalam hal stok yang straddling dan ikan peruaya jauh tersebut, harus bekerjasama untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu, melalui pembentukan sebuah organisasi atau tatanan bilateral, subregional atau

131 117 regional. WPP yang sudah mengupayakan penangkapan ikan pelagis besar secara berlebih adalah Samudra Pasifik dan Laut Sulawesi. Kelebihan upaya penangkapan ini akan menyebabkan laju pengambilan ikan melebihi laju penambahan alamiah ikan yang berdampak pada berkurangnya kemampuan stok ikan untuk memulihkan diri. Untuk mengatur tingkat pemanfaatan ikan serta untuk mencapai tujuantujuan eksploitasi yang telah ditetapkan, semua pihak hanya bisa berperan secara langsung melalui dua cara yaitu dengan mengatur upaya tangkap total, atau dengan melakukan perubahan sebaran usaha tangkap menurut kelas umur dan spesies yang membentuk stok (sediaan alami) ikan. Untuk WPP yang telah mengalami kelebihan upaya penangkapan, pembatasan penangkapan harus ketat dilakukan. Jika masih ada WPP yang bisa menampung upaya penangkapan dari WPP yang overfished, seharusnya segera mengalihkan penangkapan ke WPP yang masih dalam tingkat moderate. 4. Pelanggaran hukum (H) Konflik pemanfaatan sumberaya perikanan di Sulawesi Selatan salah satunya disebabkan adanya sejumlah pelanggaran. Pelanggaran pelanggaran yang terjadi berupa wilayah operasi bagi alat tangkap tertentu, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta penggunaan bahan berbahaya. Pengaturan wilayah operasi bagi alat tangkap tertentu diperlukan untuk mencegah menumpuknya nelayan pada suatu perairan, mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan tertentu, perlindungan terhadap ekosistem laut dan perlindungan bagi nelayan kecil. Lebih lanjut pengaturan wilayah pemanfaatan atau mempermudah pengawasan pelanggaran terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan. Terkait dengan maraknya pelanggaran hukum di perairan Sulawesi Selatan juga disebabkan oleh belum adanya pengawasan dari stakeholders terkait dalam melindungi keberlanjutan perikanan tangkap. Salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan di Sulawesi Selatan adalah penerapan undang undang dan peraturan terkait perikanan tangkap, Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) dan adaptasi budaya lokal dalam pengelolaan perikanan tangkap. Budaya lokal mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari konflik. Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan adalah Rompong. Adopsi nilai

132 118 nilai lokal dalam mengatasi pelanggaran hukum yang terjadi, diharapkan lebih diterima oleh masyarakat nelayan 5. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (J) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berupa regulasi dan kelembagaan pendukung diperlukan dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Di dalam masyarakat pesisir peran kelembagaan merupakan hal yang sangat penting demi tercapainya kehidupan masyarakat yang sejahtera. Lembaga dalam suatu komunitas masyarakat pesisir terdiri dari organisasi pada tingkat nelayan serta kelembagaan masyarakat desa yang diartikan sebagai norma lama atau aturan-aturan sosial yang telah berkembang secara tradisional dan terbangun atas budaya lokal sebagai komponen dan pedoman pada beberapa jenis/tingkatan lembaga sosial yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat untuk mempertahankan nilai. Norma lama yang dimaksud yaitu aturan-aturan sosial yang merupakan bagian dari lembaga sosial dan simbolisasi yang mengatur kepentingan masyarakat di masa lalu (Arief 2009). Fungsi dari lembaga masyarakat pesisir adalah untuk memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system pengendalian social terhadap tingkah laku anggota-anggotanya (Idianto 2004). Berangkat dari hal tersebut dalam mewujudkan pengelolaan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan, kelembagaan diperlukan pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) untuk memastikan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. 6. Koordinasi instansi pemerintah (K) Aturan dari pusat hingga daerah sebenarnya sudah ada untuk membahas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun apakan dijabarkan dan diimplementasikan dengan baik yang disesuaikan dengan keunikan daerah masing-masing. Tumpang tindih antar lembaga yang sama-sama memanfaatkan laut juga sering ditemukan. Inti dari kelembagaan adalah bagaimana pengelolaan memastikan aturan, pembagian peran dan target pembangunan berjalan saling

133 119 bersinergi, melengkapi dan menguatkan, bukan dimaksudkan untuk bersaing berdasarkan ego masing-masing lembaga. Lebih lanjut, koordinasi instansi pemerintah diperlukan untuk harmonisasi segenap permasalahan pada perikanan tangkap sebagai kegiatan multisektoral dan multisistem. Untuk itu di Sulawesi Selatan, dalam mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama beberapa instansi terkait seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lingkungan Hidup dan instansi lainnya. Koordinasi yang dilakukan dapat dilakukan dalam sebuah wadah atau forum semisal pembentukan Komite KelautanPerikanan di tiap wilayah kabupaten. Harapannya akan terjalin sinergitas perencanaan perikanan tangkap di tiap wilayah kabupaten pesisir di Sulawesi Selatan. Berdasarkan penjelasan diatas, secara ringkas arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 20 Arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan Faktor Kunci Kendala Strategi dan Kebijakan O : Orientasi pasar hasil o Fasilitas pemasaran o Pengoptimalan PPI (Pusat Pendaratan Ikan) dan TPI (Tempat Pendaratan Ikan) o Media promosi o Melengkapai sarana penunjang pemasaran produk perikanan (angkutan, transportasi menuju dan pasar) o Jaringan pemasaran o Penyediaan media o Stabilitas harga produk perikanan o Produk olahan perikanan tangkap informasi harga produk perikanan tangkap o Perlindungan produk perikanan tangkap o Pelatihan kelompok usaha dan o budidaya o Kredit dan usaha mikro o Pendampingan KUB (Kelompok Usaha Bersama) dalam mengelola usaha

134 120 Faktor Kunci Kendala Strategi dan Kebijakan o Penggunaan alat tangkap o Rehabilitasi terumbu yang tidak ramah karang o Pemusatan daerah o Mitigasi terhadap tangkapan ikan habitat o Menjaga kebersihan lingkungan pesisir dan laut T : Tingkat penutupan karang P : Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap H : Pelanggaran hukum J : Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap K : Koordinasi instansi pemerintah o Keterbatasan pengetahuan masyarakat o Pengaturan usaha perikanan tangkap o Pengetahuan perundangan perikanan o Pengawasan terhadap pelanggaran illegal fishing o Lemahnya kelembagaan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap Lemahnya koordinasi o Pengaturan alat tangkap o Pengaturan jalur penangkapan disesuaikan dengan kapasitas perahu o Perbaikan lingkungan dan pusat pendaratan ikan (Environmental Improvement and Fish Landing Centres/ IFLC o o Pelatihan ketrampilan bagi masyarakat Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan o Pengaturan usaha perikanan tangkap o Penerapan undang undang dan peraturan terkait perikanan tangkap 1. Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) 2. Adaptasi budaya lokal dalam pengelolaan perikanan tangkap 3. Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) o o Pembentukan KKPK (Komite Kelautan Perikanan Kabupaten) KPPL (Komite Pengelolaan Perikanan Laut) di tingkat kawasan dan desa. 4. Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL)

135 Tabel 17. Atribut penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan No. Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Ekologi 1 Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap 0 = collapsed (over fishing) 1 = tangkap lebih (pemanfaatan > daya dukung) 2 = tangkap penuh (pemanfaatan % daya dukung) 3 = kurang (pemanfaatan 0-50% daya dukung) (FAO dan Rapfish) 2 Tingkat penutupan karang 0 = rusak (0-24%) 1 = sedang 25-49,9%) 2 = baik (50-74,9%) 3 = sangat baik (75-100%); (Gomez and Yap 1988) 3 Tingkat pencemaran perairan laut 4 Tingkat kedewasaan ikan yang tertangkap (persentase ikan tertangkap sebelum dewasa) 0 = tinggi 1 = sedang 2 = rendah s/d tidak ada 0 = tidak ada (<30%) 1 = sedikit (30-60%) 2 = banyak (>60%) Peman-faatan 70,50% (50-100%) 1 Tingkat pemanfaatan mencapai 70,50% (Bappeda 2006). Produksi ton terdiri dari perikanan laut ton dan perairan umum ton (Bappeda 2011) 24%, baik 0 Dari 200 stasiun pengamatan sudah mengalami rusak, 36 kritis, 22 bagus, 2 sangat bagus (DKP 2008 : Terumbu Karang, CITES dan Kawasan Konservasi Prov. Sulsel). Kriteria sangat bagus : penutupan karang hidupnya berkisar %, bagus : 50-75%; kritis : 25-50%, rusak : 0-25% Ada, sedang 1 Berdasarkan pengamatan di pantai terdapat pencemaran dari sumber rumah tangga/permukiman, restoran, hotel, pelabuhan, dan kapal penangkapan ikan Sedikit 1 Hasil penangkapan ikan sebagian berupa anakan yang belum dewasa mencapai 30% atau lebih (kuesioner)

136 No. Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan 5 Jumlah keragaman spesies ikan yang tertangkap 0 = rendah (<10 spesies) 1 = sedang ( spesies) 2 = tinggi (>100 spesies) Sedang 1 92 jenis ikan yang tertangkap (Bappeda ) 6 Penangkapan jenis-jenis ikan yang dilindungi 1 Tingkat keuntungan usaha penangkapan ikan 2 Kontribusi pendapatan sektor perikanan terhadap PDRB Kabupaten/Provinsi (Rapfish) 0 = banyak terjadi 1 = kurang/ sedang 2 = tidak ada kejadian 0 = kurang menguntungkan atau negatif 1 = rendah tingkat keuntungannya 2 = sedang tingkat keuntungannya 3 = tinggi tingkat keuntungannya 0 = rendah (< 5 %) 1 = sedang (5-10%) 2 = tinggi(>10%) (Rapfish, 2000) Dimensi Ekonomi Kurang 1 Dalam penangkapan ikan masih terdapat jenis-jenis ikan yang dilindungi (kuesioner di DKP 2011) Rendah tingkat keuntung-annya 1-6,78% 1 Kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Prov. Sulsel 6,78% (Bappeda 2011) = sektor perikanan Rp.2.961,42 milyar, PDRB: Rp ,43 milyar; 2008 = perikanan Rp.3.178,42 milyar, PDRB:44.549,82; 2009 = perikanan Rp.3.272,77 milyar, PDRB : ,08; 2010 = perikanan Rp.3.472,89 milyar, PDRB : ,03 milyar. (Bappeda 2011)

137 No. Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan 3 Orientasi pasar produk ikan hasil Lokal s/d internasional tangkapan 4 Tingkat penghasilan nelayan dibandingkan dengan UMR Provinsi Sulse 5 Tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor perikanan 6 Akses nelayan terhadap sumberdaya permodalan 0= pasar lokal 1 = pasar lokal dan nasional 2 = pasar lokal, nasional dan ekspor 0 = dibawah UMR 1 = hampir sama dengan UMR (+ 5% dari UMR) 2 = lebih tinggi 5% ke atas drpd UMR 0 = rendah (<5%) 1 = sedang (5-10%) 2 = tinggi (>10%) 0 = tidak ada 1 = sedang 2 = tinggi Rp (hapir sama dengan UMR) 2 Pasar lokal, kabupaten, provinsi, nasional dan internasional (Bappeda 2011) 1 Pendapatan rata2 = Rp (kuesioner). UMR Prov Sulsel 2008 Rp , Rp ,- dan 2010 sebesar Rp ,- (Bappeda 2011) 8% 1 Tingkat penyerapan tenaga di sektor perikanan 8% (Bappeda 2011) Cukup tersedia akses ke lembaga keuangan 1 Banyak lembaga perkreditan yang menawarkan modal pinjaman kepada nelayan (wawancara) 7 Alternatif mata pencaharian tambahan selain sebagai nelayan penangkap ikan 0 = tidak ada 1 = sedikit 2 = banyak Ada, terbatas 1 Ada tersedia alternatif mata pencaharian selain nelayan tetapi terbatas (pengamatan dan wawancara) 8 Sumber pendapatan perikanan bagi rumah tangga nelayan tangkap 0 = pendapatan utama (full time) 1 = musiman (seasonal) 2 = tambahan (part time) 3 = bukan utama (casual) 9 Kepemilikan peralatan tangkap 0 = masyarakat luar 1 = campuran (lokal dan masy luar) 2 = lokal Pendapatan utama 1 (milik masyarakat lokal dan luar) 1 Kegiatan tangkap ikan merupakan sumber penghasil utama bagi rumah tangga nelayan 1 Kepemilikan modal berasal dari berbagai daerah yaitu masyarapat lokal, antar kabupaten ataupun antar provinsi

138 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Sosial 1 Tingkat pendidikan formal masyarakat 0=minim (tidak tamat SD dan tamat SD) 1=kurang (tamat SMP dan ke bawah) 2=sedang (tamat SMA dan ke bawah) 3=baik (0-10% tidak tamat PT Minim 1 Tingkat pendidikan nelayan umumnya tidak tamat SD s/d tamat SD 2 Pengetahuan nelayan tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan 3 Pengetahuan nelayan tentang alat tangkap ramah lingkungan dan tamat PT) 0=minim 1=kurang 2=sedang 3=baik 0=minim 1=kurang 2=sedang 3=baik 4 Jumlah anggota keluarga nelayan 0=kecil (<3 orang) 1=cukup (4-5 orang) 2=sedang (6-7 orang) 3=sangat besar (>7 orang) 5 Usia kepala keluarga nelayan 0=belum produktif <18 tahun 1=kurang produktif >50 tahun 2=produktif tahun 6 Tingkat konflik pemanfaatan perikanan laut 0=banyak 1=sedikt 2=tidak ada Minim 0 Umumnya tidak mengenal (wawancara mendalam) Kurang 1 Nelayan mengenal secara terbatas tentang alat tangkap yang tidak merusak ekosistem, tetapi tidak mau menggunakan Kecil 0 Keluarga kecil nelayan dengan 1 anak (kuesoner) Produktif 2 Umumnya usia produktif tahun (kuesioner) Ada, sedikit/ jarang terjadi 1 Ada. Terbatas, lokal, antara nelayan tradisional dengan nelayan lebih maju

139 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Sosial 7 Jumlah rumah tangga pemanfaat sumberdaya perikanan 8 Upaya/program pemberdayaan dari pemerintah daerah setempat 9 Waktu nelayan yang dialokasikan untuk menangkap ikan 10 Tingkat ketergantungan ekonomi rumah tangga nelayan dari perikanan tangkap 0=kecil (<1/3 populasi nelayan) 1=sedang (2/3 populasi nelayan) 2=tinggi (>2/3 popuasi nelayan) (skala Rapfish) 0=tidak ada 1=sedikit/terbatas 2=banyak 0=hobi dan paruh waktu 1=musiman 2=penuh waktu 0=<50% (rendah) 1=50-80% (sedang) 2=>805 (tinggi) Tinggi, lebih dari 2/3 populasi nelayan 2 Jumlah rumah tangga yang terlibat di kegiatan perikanan tangkap sebesar unit berperahu s/d berkapal motor. (Bappeda 2011) Sedikit/ terbatas 1 Ada program pemberdayaan masyarakat namun dengan jumlah yang terbatas Musiman 1 Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan mempertimbangkan musim. Di luar musim baik maka hanya sekedar memancing saja Tinggi 2 Lebih 80% ekonomi nelayan bergantung pada kegiatan perikanan tangkap. (kuesioner) 1 Jenis alat tangkap 0=mayoritas pasif 1=seimbang 2=mayoritas aktif (skala Rapfish) Dimensi Teknologi Mayoritas pasif 1 Kondisi tahun 2010 yaitu jumlah alat tangkap unit; terbesar berupa jaring insang hanyut unit, jarring insang tetap (set gillnet) unit dan bagan tancap unit. Tidak ada jenis pukat tarik ikan (fishnet) s/d pukat tarik udang (double riggs shrimp tawl). (DKP 2011)

140 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Teknologi 2 Selektivitas alat tangkap 0=kurang selekif 1=agak selektif 2=selektif 3=sangat selektif Selektif 2 Kondisi tahun 2010 yaitu jumlah alat tangkap unit; terbesar berupa jaring insang hanyut unit, jarring insang tetap (set gillnet) unit dan bagan tancap unit. Tidak ada jenis pukat tarik ikan (fishnet) s/d pukat tarik udang 3 Tipe kapal 0=1-5 GT 1=5-10 GT 2=>10 G 4 Teknologi penanganan pascapanen 5 Tingkat ketersediaan prasarana pendaratan ikan 6 Penggunaan teknologi atau alat yang destruktif 7 Penanganan hasil ikan tangkapan di atas kapal/perahu 0=tidak ada 1=sedang 2=baik 0=terpusat (terbatas/kurang merata) 1=sedang (agak terbatas/cukup tersebar) 2=tersebar 0=banyak atau dominan 1=sedang 2=tidak ada (skala Rapfish) 0=tidak ada 1=sedang (cukup baik) 2=banyak dan dominan (baik) (doubleriggs shrimp tawl). (DKP 2011) 5-10 GT 1 Jumlah motor 2010 :0-5 GT=9.371 unit, 5-10 GT=2.359 unit, GT=391 unit, GT=103 unit, dan GT=13 unit. (DKP 2011) Cukup baik/sedang Jumlah agak cukup dan cukup tersebar Banyak atau dominan 1 Penanganan pasca panen cukup baik diawetkan dengan menggunakan es atau dibuat ikan kering/asin. (wawancara) 1 Prasarana pendaratan ikan (TPI) cukup tersedia untuk pendaran ikan 0 Banyak terjadi penggunaan bom ikan maupun menggunakan racun ikan Cukup baik 1 Penanganan pasca panen cukup baik dengan menggunakan es dan freezer sebagai media pengawet. (wawancara)

141 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Teknologi 8 Penanganan pasca penangkapan sebelum dipasarkan 0=tidak ada 1=sedang 2=banyak dan dominan (skala Rapfish) 9 Mobilitas alat tangkap 0=mayoritas pasif 1=sedang 2=mayoritas aktif (skala Rapfish) 10 Jumlah ikan terbuang 0=banyak 1=sedikit 2=tidak ada 11 Ketersediaan sarana dan prasarana penegakan hukum instansi pemerintah 1 Kebijakan pemerintah dalam pengaturan perikanan tangkap 0=tidak memadai 1=kurang memadai 2=cukup memadai 3=sangat memadai 0=tidak ada 1=kurang memadai 2=cukup memadai/tersedia 3=banyak dan memadai Sedang 1 Ada penanganan pasca panen sebelum dipasarkan cukup baik dengan menggunakan es atau freezer sebagai media pengawet pada kapal. (wawancara) Paduan antara pasif dan aktif Dimensi Kelembagaan dan Etika 1 Perpaduan antara alat tangkap pasif hingga aktif tetapi didomiasi oleh alat tangkap pasif Sedikit terbuang 1 Hasil tangkapan ikan ada yang terbuang tidak sesuai dengan permintaan pasar, sehingga sebagian terbuang atau dikonsumsi rumah tangga. (pengamatan) Tidak memadai 0 Prasarana yang ada berupa kapal patroli Kurang memadai 1 Kebijakan lengkap, namun implementasinya lemah di lapangan. (Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap)

142 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Kelembagaan dan Etika 2 Kebijakan pemerintah dalam peningkatan/pemberdayaan ekonomi nelayan 0=tidak ada 1=kurang 2=cukup Kurang memadai 1 Kebijakan kurang menyentuh sebagian besar nelayan 3 Kapasitas instansi pemerintah urusan perikanan dan kelautan 4 Tingkat koordinasi antar instansi pemerintah 5 Kelompok nelayan perikanan tangkap 6 Lembaga (LSM) konservasi SD kelautan dan perikanan 7 Ketersediaan pasar input dan output perikanan 8 Penyuluhan hukum dan teknik perikanan berkelanjutan 3=banyak 0=rendah 1=sedang 2=kuat 3=sangat kuat 0=buruk 1=kurang baik 2=sedang/cukup baik 3=baik 0=tidak ada 1=sedikit 2=banyak 0=tidak ada 1=ada, sedang 2=ada, banyak 0=tidak ada 1=cukup tersedia 2=banyak 0=tidak pernah s/d sangat jarang 1=jarang 2=sering Sedang 1 Kerebatasan SDM dan sarana prasarana pengamanan perairan buruk 0 Tingkat koordinasi antar instansi penegak hukum di perairan masih buruk. Penanganan illegal fishing sering dilepaskan kembali Ada, sedikit 1 Ada kelompok-kelompok nelayan tetapi masih dalam jumlah terbatas Ada, sedikit 1 Ada kelompok LSM dalam bidang konservasi perikanan dan pemberdayaan masyarakat, namun jumlahnya masih terbatas Cukup tersedia 1 Cukup tersedia bagi nelayan untuk memenuhi kebutuhan alat tangkap baik berupa perahu, motor, maupun alat Hampir tidak pernah ada/sangat jarang pancing 0 Berdasarkan informasi dari masyarakat belum ada kegiatan penyuluhan hukum dan penyuluhan tenik perikanan berkelanjutan

143 No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Kelembagaan dan Etika 9 Tingkat pelanggaran hukum dalam pemanfaatan/penangkapan sumberdaya ikan 10 Mitigasi terhadap ekosistem perikanan tangkap 11 Sikap masyarakat nelayan terhadap praktek penangkapan yang destruktif dan illegal 0=sangat tinggi 1=tinggi 2=kurang 3=tidak ada 0=tidak ada 1=kurang 2=ada, cukup 0=tidak peduli 1=rendah kepeduliannya 2=peduli dengan memperingatkan terhadap sesama nelayan Sangat tinggi 0 Pelanggaran hukum yang terjadi sangat tinggi, diantaranya dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangakap yang tida diperbolehkan Ada, tetapi hanya terbatas Rendah kepeduliannya 1 Kegiatan mitigasi yang dilakukan masih terbatas 1 Sikap masyarakat rendah hanya melalui himbauan atau hanya perasaan keberatan saja, belum melakukan pelanggaran

144 7 KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah disampaikan, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan : 1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berada pada status kritis. Ditunjukkan dengan penurunan peningkatan produksi berdasarkan 7 tahun pengamatan dan pemanfaatan sejumlah sumberdaya perikanan mulai menuju pemanfaatan lebih.. 2. Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan etika, dan dimensi teknologi dan infrastruktur berada pada status tidak keberlanjutan. Faktor yang menyebabkan tingkat keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dalam kategori tidak berkelanjutan adalah tidak terpenuhi salah satu dari tiga dimensi penentu keberlanjutan perikanan tangkap, yaitu dimensi ekologi (49,07 berarti kurang berkelanjutan). 3. Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan model dengan fungsi dari enam faktor kunci, yaitu : M = f (O, T, P, H, J, K), dimana O = Orientasi pasar hasil perikanan tangkap, T = Tingkat penutupan karang, P = Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap, H = Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap, J = Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, dan K = Koordinasi instansi pemerintah. 4. Skenario optimistis (skenario pengembangan III) merupakan skenario model yang memiliki keberlanjutan paling baik bagi pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan yang perlu dilakukan berupa peningkatan kondisi ekologi untuk mencapai perikanan tangkap yang mampu memberikan manfaat baik secara ekonomi dan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarkat nelayan.

145 Saran Mengingat rendahnya skenario yang dapat diterapkan dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, maka perlu adanya perhatian khusus mengenai kebijakan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap factor penghambat kelestarian pengelolaan seperti illegal fishing. Disamping itu kebijakan pengaturan yang ada harus dapat dimplementasikan untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan perikanan yaitu pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dan berkeadilan.

146 Lampiran 1 Nilai peluang (probability value) dari pearson correlations Variabel Illegal Fishing 1. Pengalaman Nelayan Rata-rata Produksi Ikan Jumlah Total Ikan Total Biaya Variabel Total Biaya Tetap Total Biaya Investasi Pengetahuan Dasar Hukum Pengetahuan Terumbu Karang 0.00

147 130 Lampiran 2 Multiple regression linear analysis Regression Notes Output Created 02-Nov :14:04 Comments Input Data D:\JoB\PR Deadline\AndiZainal\Olah Data Pa AndiZainal\last corr.sav Active Dataset DataSet1 Filter <none> Weight <none> Split File <none> N of Rows in Working Data File 113 Missing Value Handling Syntax Definition of Missing Cases Used User-defined missing values are treated as missing. Statistics are based on cases with no missing values for any variable used. REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT KategoriIllegalFishing /METHOD=ENTER biaya PDH PTK. Resources Processor Time 00:00: Elapsed Time 00:00: Memory Required Additional Memory Required for Residual Plots 1940 bytes 0 bytes

148 131 Model Variables Entered/Removed b Variables Entered 1 PTK, PDH, biaya a Variables Removed Method. Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kategor iillegal Fishing Model R R Square Model Summary Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), PTK, PDH, biaya Model ANOVA b Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), PTK, PDH, biaya b. Dependent Variable: Kategor iillegal Fishing Model Unstandardized Coefficients Coefficients a Standardized Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) t Sig. biaya E PDH PTK a. Dependent Variable: Kategori iillegal Fishing

149 132 Lampiran 3 Tujuan pemberantasan illegal fishing T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 Tujuan Pemberantasan Illegal Fishing Menegakkan kedaulatan negara atas wilayah perairan dari gangguan yang merusak SDA laut Menegakkan UU Perikanan dan Kelautan Menjamin kelangsungan biota laut dan ekosistem kelautan dan tidak terjadi over fishing Mengendalikan pemanfaatan SDA kelautan dengan membatasi jumlah tangkapan ikan yang beroperasi di laut Indonesia Terlaksananya pembangunan kelautan berwawasan lingkungan Meningkatkan penghasilan nelayan di Indonesia Mencegah penangkapan ikan secara liar yang menggunakan alat tangkap kimia beracun Lampiran 4 Matrix tujuan pemberantasan illegal fishing T1 T2 T3 T4 T5 T6 T 7 T1 X V V X X X T2 X V V X O X T3 X X X X O X T4 A O X A O X T5 X X X A X X T6 O O X X A O T7 X X X O X O Lampiran 5 Struktur tujuan pemberantasan illegal fishing hasil pengolahan ISM VAXO (struktur dari tujuan)

150 133 Lampiran 6 Kendala pemberantasan illegal fishing Kendala Dalam Pemberantasan Illegal Fishing K1 Lemahnya Pengawasan dari aparatur pemerintah K2 Sarana dan prasarana K3 Lemahnya kordinasi antar aparat K4 Kesadaran Nelayan K5 Kurang informasi (pengetahuan) yang sampai kepada nelayan K6 Efek jera dari sanksi hukum Lampiran 7 Matrix kendala pemberantasan illegal fishing K1 K2 K3 K4 K5 K6 K1 X X O X X K2 A O O X O K3 X V O X V K4 X O O X X K5 X O A X X K6 X O X O X Lampiran 8 Struktur kendala pemberantasan illegal fishing hasil pengolahan ISM VAXO (struktur dari kendala)

151 134 Lampiran 9 Aktor pemberantasan illegal fishing A1 Nelayan A2 LSM A3 Polisi perairan A4 Dinas Perikanan A5 Industri Perikanan Aktor Dalam Pemberantasan Illegal Fishing Lampiran 10 Matrik aktor pemberantasan illegal fishing A1 A2 A3 A4 A5 A1 X X X O A2 X X X V A3 X O X V A4 X X A X A5 X O O X Lampiran 11 Struktur aktor pemberantasan illegal fishing hasil pengolahan ISM VAXO (struktur dari aktor)

152 Lampiran 12 Tabel analisis prospektif 135

153 136 Lampiran 13 Tabel analisis prospektif pengaruh tidak langsung dan total

154 Tabel lanjutan analisis prospektif pengaruh tidak langsung dan total 137

155 138 Lampiran 14 Tabel analisis prospektif penyimpanan

156 Tabel lanjutan analisis prospektif penyimpanan 139

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN Abstrak Penelitian model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dilaksanakan di tiga kabupaten yakni

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangunan Berkelanjutan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangunan Berkelanjutan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan rumusan yang didasarkan pada laporan dari Brundtland Report sebagai hasil kongres Komisi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK BULETIN PSP ISSN: 251-286X Volume No. 1 Edisi Maret 12 Hal. 45-59 ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN Oleh: Asep Suryana

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY Oleh: Kevin Yoga Permana Sub: Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Cilacap Tanpa tindakan konservasi dan pengelolaan, sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO 1 ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO SUDARMIN PARENRENGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN TARGET INDIKATOR KETERANGAN 14.1 Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi semua jenis pencemaran laut, khususnya dari kegiatan berbasis lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci