OPTIMASI BA/TDZ DAN NAA UNTUK PERBANYAKAN MASAL NENAS (Ananas comosus L. (Merr) KULT1VAR SMOOTH CAYENNE MELALUI TEKNIK IN VITRO ROSMAINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI BA/TDZ DAN NAA UNTUK PERBANYAKAN MASAL NENAS (Ananas comosus L. (Merr) KULT1VAR SMOOTH CAYENNE MELALUI TEKNIK IN VITRO ROSMAINA"

Transkripsi

1 OPTIMASI BA/TDZ DAN NAA UNTUK PERBANYAKAN MASAL NENAS (Ananas comosus L. (Merr) KULT1VAR SMOOTH CAYENNE MELALUI TEKNIK IN VITRO ROSMAINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 OPTIMASI BA/TDZ DAN NAA UNTUK PERBANYAKAN MASAL NENAS (Ananas comosus L. (Merr) KULTIVAR SMOOTH CAYENNE MELALUI TEKNIK IN VITRO ROSMAINA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

3 ABSTRACT ROSMAINA. BA/TDZ and NAA optimized for Rapid mass propagation of Pineapple (Ananas comosus L. (Merr)) cv. Smooth Cayenne through In-vitro culture.under supervision of SOBIR and DARDA EFENDI. The objectives of this research are to study the effect of BA or TDZ and its combination with NAA on multiplication; rooting and explants survive during acclimatization, and to obtain optimum concentration for uniform multiplication of pineapple cv Smooth Cayenne. The research was divided into two experiments: a) experiment to optimize BA and NAA, BA concentration consist of 0.00 µm, 4.44 µm, 8.88 µm, µm, and µm and NAA concentration consist of 0.00 µm, 0.50 µm, 1.00 µm and 2.00 µm. b) Experiment to optimize TDZ and NAA, TDZ concentration consist of 0.00 µm, 0.05 µm, 0.10 µm, 0.50 µm, 1.00 µm and 2.00 µm and NAA concentration consist of 0.00 µm, 0.50 µm, 1.00 µm and 2.00 µm. The experiments were conducted in completely randomized design with two factorial treatments. The results showed that BA treatment produced better explants than TDZ treatment does. The best treatment is 8.88 µm BA µm NAA with high multiplication rate, rooting, uniform plantlet and survive during acclimatization. All TDZ treatments could not produce high quality explants because explants showed necrosis symptoms after second subcultures. Key words : Ananas comosus, BA, TDZ, NAA, multiplication.

4 ABSTRAK ROSMAINA. Optimasi BA/TDZ dan NAA untuk perbanyakan masal Nenas (Ananas comosus L. (Merr) Smooth Cayenne melalui teknik In-Vitro. Di bawah bimbingan SOBIR dan DARDA EFENDI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh BA atau TDZ dan kombinasinya dengan NAA terhadap multiplikasi, pengakaran dan eksplan survive selama aklimatisasi, dan untuk memperoleh konsentrasi optimum untuk perbanyakan seragam nenas kultivar Smooth Cayenne. Penelitian ini dibagi ke dalam dua percobaan: a) percobaan untuk optimasi BA dan NAA, konsentrasi BA terdiri dari 0.00 µm, 4.44 µm, 8.88 µm, µm, dan µm dan konsentrasi NAA terdiri dari 0.00 µm, 0.50 µm, 1.00 µm dan 2.00 µm. b) Percobaan untuk optimasi TDZ dan NAA, konsentrasi TDZ terdiri dari 0.00 µm, 0.05 µm, 0.10 µm, 0.50 µm, 1.00 µm dan 2.00 µm dan konsentrasi NAA terdiri dari 0.00 µm, 0.50 µm, 1.00 µm dan 2.00 µm. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor. Hasil percobaan kami menunjukkan bahwa perlakuan BA menghasilkan eksplan yang lebih bagus daripada eksplan yang diberi perlakuan TDZ. Perlakuan yang paling baik adalah 8.88 µm BA µm NAA dengan tingkat multiplikasi dan pengakaran yang tinggi, planlet yang seragam dan survive selama aklimatisasi. Semua perlakuan TDZ tidak dapat menghasilkan eksplan yang berkualitas tinggi karena eksplan menunjukkan gejala nekrosis setelah subkultur kedua. Kata kunci : Ananas comosus, BA, TDZ, NAA, multiplikasi.

5 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Optimasi BA/TDZ dan NAA Untuk Perbanyakan Cepat Nenas (Ananas comosus L. (Merr) Smooth Cayenne Melalui Teknik In-Vitro adalah karya saya sendiri di bawah Bimbingan Dr. Ir. Sobir, M.Si dan Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Tesis ini. Bogor, Juni 2007 Rosmaina NIM A

6 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagianya

7 Judul Tesis Nama NIM : Optimasi BA/TDZ dan NAA untuk perbanyakan masal Nenas (Ananas comosus L. (Merr) Smooth Cayenne melalui teknik In-Vitro. : Rosmaina : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sobir, M.Si Ketua Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 11 Juni 2007 Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahiim, Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT yang dengan kemurahan Nya senantiasa menyiapkan kemudahan di balik setiap kesulitan, menjadikan kenikmatan dalam setiap kemudahan, serta pelajaran di balik setiap kesulitan, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah Optimasi BA/TDZ dan NAA untuk perbanyakan cepat Nenas (Ananas comosus L. (Merr) Smooth Cayenne melalui teknik In-Vitro Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Sobir, M.Si. dan Dr. Ir. Darda Efendi M.S selaku pembimbing yang telah memberi kepercayaan dan bimbingan serta nasehat yang sangat berharga kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tesis ini. 2. Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. selaku penguji luar komisi. 3. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS selaku ketua program studi agronomi dan seluruh dosen program studi agronomi yang selalu memberi dukungan. 4. Pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Gunung Leuser yang telah memberikan kesempatan dan ijin untuk mengikuti program S2 di IPB. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues yang telah memberi ijin dan bantuan dana selama mengikuti program S2 di IPB. 6. Pemerintah daerah Nangroe Aceh Darussalam atas bantuan dana pendidikan selama mengikuti program S2 di IPB. 7. Bapak dan Ibu tercinta, dengan rasa hormat dan cinta yang dalam penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga atas segenap kasih sayang, jerih payah, dan doa yang tiada putus-putusnya untuk menjadi sumber semangat dan kekuatan bagi penulis. Juga untuk kedua adikku (Saidi Bahri dan Efan Efendi) dan seluruh keluarga yang telah ikut berbagi rasa dan memberikan dukungan kepada penulis. 8. Mbak Lasih, Pipit, Luluk, Nunung, Mika, Endang, Esto, dan Iis, yang telah banyak membantu selama penelitian 9. Bu Liza, dan Pak Arif teman seperjuangan selama penelitian, tetap semangat.

9 10. Suamiku tercinta (Zulfahmi, M. Si) dan anakku (Nazwa Aini Rofa), terima kasih atas semua cinta, kasih sayang, doa dan motivasi yang telah diberikan. 11. Kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika dan seluruh staf yang telah memberi bantuan dana, penggunaan fasilitas laboratorium selama melakukan penelitian. 12. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus, semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang dilipatgandakan. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat. Alhamdulillahirrabbil alamiin. Bogor, Juni 2007 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotacane, pada tanggal 12 Juli 1979 sebagai anak pertama dari pasangan Bukhari dan Henny. Penulis menikah dengan Zulfahmi, M.Si dan telah dikaruniai seorang putri (Nazwa Aini Rofa). Pada tahun 1998 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Pemulian Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB pada program studi Agronomi. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan lulus pada tahun Tahun 2003 Penulis bekerja sebagai staf pengajar di fakultas pertanian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Gunung Leuser dan sejak tahun 2004 diterima sebagai PNS di Pemerintah Daerah Gayo Lues, Nangroe Aceh Darusalam (NAD).

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v 1. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi tanaman nenas Morfologi tanaman nenas Persyaratan tumbuh tanaman nenas Bahan perbanyakan tanaman nenas Perbanyakan in-vitro Kultur jaringan nenas Zat pengatur tumbuh BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Bahan dan alat Metode penelitian Pengaruh BA dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng in vitro Pengaruh TDZ dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng in vitro Analisis data i

12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh BA dan terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng Kondisi umum kultur Regenerasi dan multiplikasi pada subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur Regenerasi Multiplikasi Tunas Nodul Proporsi tunas terhadap nodul Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada media dasar MS Pengaruh subkultur 1 dan subkultur 2 pada media pengakaran Aklimatisasi subkultur 1 dan subkultur Pengaruh TDZ dan NAA terhadap multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng Kondisi umum kultur Regenerasi dan multiplikasi Tunas Nodul Proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA pada media dasar MS Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA pada media pengakaran Aklimatisasi perlakuan TDZ dan NAA Pembahasan umum SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA ii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi tunas dan nodul pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dari perlakuan BA dan NAA Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan nodul yang dihasilkan pada 5 MST Jumlah tunas subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 pada 5 MST Jumlah nodul subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 pada 5 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi Proporsi jumlah tunas (%) terhadap nodul dari perlakuan BA dan NAA pada subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 umur 5 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dari eksplan subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 dalam media MS pada 4 MST Jumlah tunas dari eksplan subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 dalam media MS pada 4 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam pada media pengakaran subkultur 1 dan subkultur 2 pada 5 MST Pengaruh subkultur 1 dan subkultur 2 terhadap panjang akar dalam media pengakaran pada 5 MST Pengaruh subkultur 1 terhadap jumlah daun dalam media perakaran pada 5 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah daun, jumlah akar, panjang akar dan tinggi tanaman antar subkultur pada media pengakaran Rekapitulasi hasil analisis ragam aklimatisasi Rekapitulasi hasil analisis ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan persen hidup anatar subkultur pada saat aklimatisasi Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul dari Perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST iii

14 17. Rata-rata jumlah tunas eksplan dari media perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Rata-rata jumlah nodul eksplan dari media perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam proporsi jumlah tunas dan jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Rata-rata jumlah tunas pada media MS0-1 dan MS0-2 pada 4 MST setelah dikultur pada media TDZ dan NAA Rekapitulasi hasil analisis ragam perlakuan TDZ dan NAA pada media pengakaran pada 5 MST Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA terhadap panjang akar dalam media pengakaran pada 5 MST Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA terhadap tinggi tanaman dalam media pengakaran pada 5 MST Rekapitulasi hasil analisis ragam saat aklimatisasi Hasil uji T dari perlakuan BA dan NAA Vs TDZ dan NAA terhadap jumlah tunas dan jumlah nodul pada media multiplikasi, Jumlah daun, tinggi tanaman, dan panjang akar pada media pengakaran, dan persen hidup saat diaklimatisasi iv

15 DAFTAR GAMBAR Halama n 1. Produksi nenas nasional tahun Bagian tanaman nenas pada penampang melintang Bagan alur penelitian Morfologi eksplan subkultur 1 pada berbagai konsentrasi NAA Morfologi eksplan pada subkultur Morfologi eksplan pada subkultur 2 dari perlakuan NAA Bentuk-bentuk tunas yang tidak normal Rata-rata jumlah tunas dari perlakuan BA dan NAA pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur Proporsi jumlah tunas terhadap nodul antar subkultur Rata-rata jumlah tunas eksplan dari perlakuan BA dan NAA pada media MS Morfologi tanaman dalam media perakaran pada 5 MST Multiplikasi pada tanaman nenas Rata-rata jumlah daun, jumlah akar, tinggi tanaman dan panjang akar antar subkultur pada media pengakaan Persen hidup planlet subkultur 2 pada saat aklimatisasi Tinggi tanaman pada subkultur Jumlah daun, tinggi tanaman dan persen hidup planlet pada subkultur 1 dan subkultur Proses organogenesis pada tanaman nenas Smooth Cayenne Morfologi tunas pada perlakuan TDZ Morfologi eksplan hasil perlakuan TDZ Morfologi tanaman pada perakaran dan media dasar MS dari perlakuan TDZ dan BA v

16 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nenas merupakan salah satu buah tropika yang memiliki peran penting dalam perdagangan dunia. Indonesia merupakan negara pengekspor jus nenas dan nenas kaleng terbesar ketiga setelah Filipina dan Thailand (USDA 2005). Nenas berpotensi menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia. Produksi nenas nasional terus meningkat dari ton pada tahun 2003, ton pada tahun 2004, ton pada tahun 2005 (Gambar 1). Produksi nenas menempati urutan terbesar keempat setelah pisang, jeruk, dan mangga (BPS 2006). Pada tahun , ekspor nenas Indonesia terus meningkat, dengan negara tujuan adalah Amerika Serikat, Singapura, Belanda, Jerman dan Jepang (BPS 2006). Industri pengalengan nenas berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan kondisi agroklimat, Indonesia merupakan wilayah yang sesuai untuk pengembagan nenas, ketersediaan lahan yang cukup luas, terutama di daerahdaerah yang belum termanfaatkan secara optimal, sehingga Indonesia berpeluang besar untuk meningkatkan suplai nenas di pasar global Produksi nenas (Ton) Tahun Gambar 1. Produksi nenas nasional tahun Kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri nenas antara lain: 1) terbatasnya penyediaan bibit yang berkualitas dalam jumlah banyak dan seragam. Apriani (2005) melaporkan bahwa rata-rata nenas Cayenne hanya

17 menghasilkan 3 anakan/tanaman/tahun. 2) Produktivitas nenas yang rendah. 3) Jumlah kultivar yang tersedia masih sedikit. 4) Kebun produksi yang ada umumnya merupakan kebun tua. 5) Adanya serangan penyakit MWaV (Mealybug Wilt associated Virus) pada tanaman nenas. 6) Teknologi pengendalian pertumbuhan vegetatif dan reproduktif untuk menghasilkan produktivitas dan kualitas hasil yang tinggi masih terbatas. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi nenas perlu dilakukan pembukaan kebun-kebun baru, meremajakan kebun-kebun yang sudah tua dan memperkenalkan kultivar-kultivar baru. Usaha tersebut harus didukung oleh penyediaan bibit yang berkualitas dan seragam. Selama ini pemenuhan kebutuhan bibit dilakukan dengan teknik konvensional. Sumber bahan perbanyakan berasal dari tunas batang, tunas akar, tunas leher buah, tunas mahkota, mahkota, batang, potongan daun, potongan batang dan plantlet kultur jaringan (International Board for Plant Genetic Resources 1991). Perbanyakan vegetatif lebih menguntungkan untuk produksi buah, karena sifat-sifat tanaman induk dapat diturunkan kepada keturunannya secara identik, dan dapat berproduksi dengan cepat dan seragam. Rangan (1984) menyatakan bahwa sumber bahan perbanyakan nenas akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, ukuran tanaman, kecepatan berbuah, rasa buah dan produksi tanaman. Tanaman nenas yang bersumber dari bahan perbanyakan yang berbeda memiliki kemampuan produksi buah yang berbeda, seperti bahan perbanyakan dari anakan akan berbuah setelah melewati 12 bulan, dari tunas batang akan berbuah setelah 15 sampai 18 bulan, dari tunas tangkai akan berbuah setelah 18 bulan, dari tunas dasar buah akan berbuah setelah 20 bulan, dari mahkota akan berbuah setelah 22 sampai 24 bulan, dari batang bermata akan berbuah setelah 24 sampai 36 bulan dan dari biji akan berbuah setelah 16 sampai 30 bulan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 1994). Pada nenas jenis Smooth Cayenne dengan bahan perbanyakan yang berbeda (crown, slip, sucker) akan menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda sehingga sangat mempengaruhi kualitas (Mustikarini 2005) tentu saja hal tersebut sangat tidak diharapkan dalam produksi skala industri yang menghendaki keseragaman. Untuk meningkatkan jumlah bibit dapat dilakukan dengan memodifikasi teknik konvensional. Beberapa modifikasi teknik konvensional yaitu: 1). metode 2

18 pemotongan mata tunas pada axilar daun dari crow, slip dan sucker. 2) metode pemotongan memanjang dari slip dan sucker (teknik kuarter), 3) metode pemotongan batang (Selamat 1999). Bibit yang dihasilkan dengan metode pemotongan mata tunas sebanyak 15 sampai 25 bibit/crown, (Wong 1992 dalam Selamet 1996), dengan teknik kuarter dihasilkan 256 bibit/crown/tahun, dengan metode pemotongan batang dihasilkan 25 bibit/batang (Selamet 1996). Teknik perbanyakan konvensional memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan waktu yang lama, jumlah bibit yang dihasilkan sedikit, dan tidak seragam. Hal ini akan berakibat pada ketidak seragaman pembungaan dan pembentukan buah. Metode perbanyakan konvensional kurang efisien untuk menyediakan bibit dalam jumlah banyak, kontinu, cepat dan seragam. Oleh karena itu, teknik perbanyakan in vitro (kultur jaringan) merupakan alternatif yang tepat untuk mengatasi kelemahan tersebut. Teknik kultur jaringan tanaman nenas telah banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan bibit, antara lain telah dilaporkan oleh Zepada & Sagawa (1981) yang menghasilkan 5000 planlet/tahun dengan menggunakan media ½ MS + 1 mg/l BAP. Firoozabady & Gutterson (2003) dan Kiss et al. (1995) menghasilkan planlet/tahun dengan penambahan 20 µm kinetin, regenerasi tanaman nenas melalui embrio somatik (Firoozabady & Moy 2004; Sripoaraya et al. 2003), enkapsulasi tunas mikro pada tanaman nenas (Gangopadhyay et al. 2005), kultur kalus (Fernadez & Pomilia 2003), kultur nodul (Teng 1997), metode perbanyakan dengan menggunakan Temporary immersion system (Escolana et al. 1999). Keberhasilan dalam perbanyakan secara in vitro dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: jenis tanaman, komposisi media kultur, jenis dan konsentrasi hormon (Conger 1987; Kiss et al. 1995; Waithaka 1992). Kendala yang banyak dihadapi dalamkultur jaringan adalah laju multiplikasi yang rendah. Pada nenas kultivar Perolera dihasilkan planlet/tunas aksilar selama 13 bulan, PRI-67 menghasilkan planlet dan Smooth Cayenne menghasilkan planlet (Dewald et al. 1998). Perbanyakan mikro menggunakan tunas aksilar dorman dari mahkota buah menghasilkan rata-rata 1000 tanaman/tahun/mata tunas (Mhatre et al. 2002). 3

19 1.2 Perumusan masalah Teknik perbanyakan tanaman nenas secara konvensional yang menggunakan bagian vegetatif kurang efesien untuk produksi bibit dalam skala komersial, sehingga metode perbanyakan in vitro merupakan alternatif yang tepat untuk pengadaan bibit dalam jumlah besar, cepat, bebas patogen, seragam dan kontinue (Asra et al. 2000). Teknik kultur jaringan telah banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro tanaman nenas, tetapi permasalahan yang sering muncul adalah biaya produksi yang tinggi, tingkat multiplikasi yang rendah, kemampuan tanaman untuk survive rendah pada saat diaklimatisasi, dan munculnya keragaman diantara tanaman hasil perbanyakan atau variasi somaklon. Hal ini menjadi masalah yang serius dalam perbanyakan secara komersial yang menghendaki keseragaman. Agar teknik in vitro efesien maka perlu dicari metode yang dapat meningkatkan laju multiplikasi setinggi mungkin dengan variasi somaklon rendah dan biaya produksi yang relatif murah. Oleh karena itu perlu dilakukan studi perbanyakan nenas Smooth Cayenne secara in vitro melalui pendekatan penggunaan zat pengatur tumbuh sitokinin (TDZ dan BA) yang dikombinasikan dengan auksin (NAA) dan frekwensi subkultur. Sitokinin jenis BA dan TDZ digunakan dalam penelitian ini karena fungsi fisiologis sitokinin berkaitan erat dengan pembelahan dan pembesaran sel. Sitokinin memiliki peran utama dalam pembentukan benang gelondong pada fase metaphase mitosis. Berdasarkan stuktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenin (BA, zeatin dan kinetin) dan turunan fenilurea (TDZ). BA banyak menjadi pilihan karena harganya BA yang relatif murah, sedangkan TDZ dilaporkan memiliki efektifitas pada konsentrasi rendah. Dalam menginduksi tunas adventif, sitokinin dan auksin memiliki peran yang sangat penting. Nisbah auksin dan sitokinin menentukan apakah suatu kalus akan membetuk tunas adventif atau akar. Sitokinin bersinergi dengan auksin dalam menstimulasi pembelahan sel. 1.3 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh BA, TDZ dan NAA terhadap regenerasi, multiplikasi, pengakaran dan kemampuan eksplan untuk survive pada saat aklimatisasi. 4

20 2. Mencari konsentrasi sitokinin (BA dan TDZ) dan kombinasinya dengan auksin (NAA) yang optimal untuk multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng. 3. Mencari kombinasi BA dan NAA, dan TDZ dan NAA yang cocok untuk multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng. 1.4 Hipotesis 1. Zat pengatur tumbuh TDZ dapat menginduksi pembentukan tunas pada nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan BAP 2. Terdapat konsentrasi sitokinin (TDZ/BA) yang optimal untuk multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng. 3. Terdapat kombinasi sitokinin (TDZ/BA) dan auksin (NAA) yang optimal untuk multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng. 5

21 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi tanaman nenas Nenas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman tahunan monokotil yang terdiri dari 45 genus dan 2000 jenis dalam satu famili. Nenas memiliki banyak macam dan jenis, tetapi yang bersifat komersil hanya Ananas comosus. Secara taksonomi Ananas comosus termasuk dalam Devisi Spermatophyta, Ordo Farinosae, Famili Bromeliaceae, Genus Ananas dan Spesies Ananas comosus. Ananas camosus terdiri dari 4 golongan Cayenne, Queen, Spanish dan Abacaxi-Punambuco (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 1994; Samson 1980). Berdasarkan karakteristik tanaman dan buahnya, nenas dapat dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu Cayenne, Queen, Spanish, Abacaxi dan Maipure (Nakasone & Paull 1999). Pengelompokan tersebut berdasarkan pada ukuran tanaman, ukuran buah, warna dan rasa daging buah, serta pinggiran daun yang rata dan berduri (Nakasone & Paull 1999). Kultivar Cayenne merupakan golongan yang heterozigot. Menurut sejarah, Cayenne adalah hibrida yang berasal dari tipe tetua yang tidak diketahui. Perubahan genotipe nenas Cayenne terjadi akibat mutasi gen dan kromosom somatik. Pada saat terjadi mutasi somatik, Cayenne mampu bertahan hidup, sehingga populasi nenas Cayenne yang ada sekarang, bukan lagi sebuah klon, tetapi merupakan klon yang penampilannya mirip (Collins 1968). Nenas Cayenne merupakan jenis yang paling banyak dibudidayakan, tinggi tanaman ini berkisar 1 m, lebar 1.5, berdaun panjang (100 cm x 6.5 cm), ujung daun sedikit berduri, jarak antar daun berdekatan, dan berbunga hanya satu kali (Samson 1980). Permukaan atas daun berwarna hijau tua dengan warna belang merah kecoklatan yang tidak teratur, karena adanya antocianin dalam epidermis. Pada permukaan daun atas terdapat beberapa trikoma yang tersebar. Permukaan daun bawah berwarna kelabu keperakan, karena tertutup oleh trikoma yang tebal. Pada saat pertumbuhan vegetatif maksimum, jumlah daun berkisar helai (Ratnaningsih 2002). Bobot buah 2.5 kg, bentuk buah silindris, daging buah berwarna kuning pucat sampai kuning (Coronel dan Verheij 1997; Wee dan Thongtham 1997).

22 Nenas Queen pada umumnya ditanam didataran rendah, ukuran tanaman, daun dan buah yang lebih kecil ( kg). Nenas Queen memiliki ciri-ciri, yaitu tepi daun berduri, bentuk buah konicol, mata menonjol, warna kulit kuning, warna daging buah kuning tua, hati kecil, rasa manis, kandungan asam dan serat rendah, kurang baik untuk pengalengan. Varietas yang termasuk jenis ini adalah Queen, Mac Gregor, Natal, Ripley dan Alexandria (Sari 2002). Nenas Queen kurang disukai untuk pengolahan dan pembekuan karena bau dan rasa tidak diinginkan untuk penyimpanan. Nenas Queen rasanya manis, renyah dan aromanya harum dibandingkan yang lain (Ensminger et al dalam Sari 2002) Nenas Spanish memiliki ukuran tanama n dan ukuran buah antara Cayenne dan Queen. Nenas ini mempunyai daun panjang dan berduri, berat buah berkisar kg dan berbentuk segi empat, tangkai buah ramping dengan panjang cm, fruitlet (buah kecil) lebih besar daripada Cayenne namun jumlahnya lebih sedikit. Rata-rata jumlah buah kecil antara Cawan bunga lebih dalam menyerupai Queen. Aroma menyenangkan sama sekali berbeda dengan Cayenne dan Queen. Kulit buah kasar dan kuat sehingga buah tidak mudah rusak dalam pengangkutan. Warna kulit buah merah oranye, hati buah relatif lebih besar dari pada Cayenne. Panjang mahkota cm, daun membengkok ke belakang, panjang dan berduri, seringkali terdapat mahkota-mahkota kecil mengelilingi dasar dari mahkota besar. Tunas tangkai berjumlah 2 8, tumbuh berdekatan dengan buah dan kadang melekat pada dasar buah. Tunas batang berjumlah 1 3 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 1994). Nenas Abacaxi, nenas ini memiliki ciri-ciri panjang daun berkisar antara cm dan berduri, tangkai buah kaku, dengan panjang sekitar 40 cm. Golongan Abacaxi banyak ditanam di Brazilia untuk keperluan lokal. Buah berbentuk seperti paramida, berat kurang lebih 1.5 kg, fruitlet kecil, cawan bunga dangkal, daging buah kuning pucat sekali. Buah mempunyai serat sangat kecil, cairan buah banyak, flavor bagus. Nenas ini kurang baik untuk pengalengan. Contoh varietas adalah Abacaxi, Abaka, Sugar Loaf, Papelon, Venezolara dan Amarela. Nenas Maipure, jenis ini dibudidayakan di Amerika Tengah dan Selatan sebagai buah segar untuk pasar lokal. Pinggir daun tidak berduri, bobot buah 7

23 sekitar kg, berbentuk silinder, warna kulit buah kuning atau merahorange, warna daging buah putih atau kuning tua, hati kecil sampai medium, rasa lebih manis dari Cayenne, berserat, sangat juicy, kurang baik untuk pengalengan. Maipure, Perolena, Lebrija, Monte Libio, dan Rondon termasuk varietas jenis Maipure. 2.2 Morfologi tanaman nenas Nenas memiliki daun berbentuk pedang dengan panjang mencapai 1 m atau lebih, lebar 5 sampai 8 cm, pinggir daun berduri atau hampir rata, berujung lancip, bagian atas daun berdaging, berserat, beralur, tersusun dalam spiral yang tertutup, bagian pangkalnya memeluk poros utama (Verheij & Coronel 1992). Jumlah daun yang terbentuk dapat mencapai 70 sampai 80 helai. Permukaan daun atas, licin seperti lapisan lilin, berwarna hijau terang atau coklat kemerahan, permukaan bawahnya terdapat garis-garis linier berwarna putih keperakan, mudah lepas dari epidermis yang berwarna hijau terang. Stomata tersusun dalam garis putus-putus. Stomata berada di bagian sisi dan bawah permukaan daun diantara garis-garis linier (Collins 1960). Batang nenas selalu tertutup daun, jika daun dilepas terlihat ruas-ruas pendek dengan panjang bervariasi antara 1 sampai 10 cm dengan ruas yang paling panjang terdapat di bagian tengah batang, panjang batang berkisar 20 sampai 25 cm dengan diameter bagian bawahnya 2 sampai 3.5 cm dan semakin ke atas diameter batang semakin besar yaitu 5.5 sampai 6.5 cm serta bagian puncaknya mengecil (Collins 1960). Nenas memiliki akar serabut dengan sebaran ke arah vertikal dan horizontal. Perakaran dangkal dan terbatas walaupun ditanam pada media yang paling baik. Kedalaman akar nenas tidak akan lebih dari 50 cm (Samson 1980). Akar tunggang hanya terbentuk jika bibit berasal dari biji. Rangkaian bunga dan buah tanaman nenas terdapat pada meristem apikal, batang berwarna lembayung kemerah-merahan, masing-masing bunga diiringi oleh satu braktea yang lancip. Nenas memiliki banyak bunga yang tak bertangkai (100 sampai 200), memiliki daun kelopak 3 helai, pendek dan berdaging, daun mahkota 3 helai, membentuk tabung yang mengelilingi 6 lembar benang sari dan 8

24 satu lembar tangkai putik yang bercabang tiga (Coronel & Verheij 1997), bersifat hermaprodit dan self incompatible (Collins 1960). Sifat self-incompatible pada nenas (A. comosus) karena adanya lokus tunggal S dengan multiple alel, tetapi pada spesies A. ananassoides, A. bracteatus, dan A. saginarius adalah self-fertile (Brewbaker & Gorrez 1967 dalam Hadiati 2002), sehingga biji akan terbentuk jika terjadi penyerbukan silang. A. comosus mempunyai fertilitas yang rendah. Hal ini terlihat dari persentase ovule yang menghasilkan biji setelah penyerbukan, yaitu kurang dari 5 %. Pada kultivar Cayenne, Red Spanish, Singapore Spanish, Perola, dan Queen dihasilkan kurang dari 2 biji/bunga, sedangkan pada genotipe yang mempunyai daun piping dihasilkan 2 sampai 5 biji/bunga (Leah & Coppens 1996). Buah nenas merupakan buah majemuk yang terbentuk dari gabungan 100 sampai 200 bunga, berbentuk silinder, dengan panjang buah sekitar 20.5 cm dengan diameter 14.5 cm dan beratnya sekitar 2.2 kg (Collins 1960). Kulit buah keras dan kasar, saat menjelang panen, warna hijau buah mulai memudar. Soedibyo (1992) menyatakan bahwa diameter dan berat buah nenas semakin bertambah sejalan dengan pertambahan umurnya, sebaliknya untuk tekstur buah nenas, semakin tua umur buah maka teksturnya akan semakin lunak (Coronel & Verheij 1997). 2.3 Persyaratan tumbuh tanaman nenas Nenas dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Nenas sering ditemukan di daerah tropis, terutama di tanah latosol coklat kemerahan atau merah. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang dangkal, sehingga memerlukan tanah yang memiliki sistem drainase dan aerase yang baik, seperti tanah berpasir dan banyak mengandung bahan organik. ph yang optimum untuk pertumbuhan nenas adalah 4.5 sampai 6.5. Nenas secara alami merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan karena nenas termasuk jenis tanaman CAM, yaitu tanaman yang membuka stomata pada malam hari untuk menyerap CO 2 dan menutup stomata pada siang hari. Hal ini akan mengurangi lajunya transpirasi. Nenas memerlukan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan. Kondisi berawan pada musim hujan 9

25 menyebabkan pertumbuhannya terhambat, buah menjadi kecil, kualitas buah menurun dan kadar gula menjadi berkurang. Sebaliknya bila sinar matahari terlalu banyak maka tanaman akan terbakar dan buah cepat masak. Intensitas rata-rata cahaya matahari pertahunnya yang baik untuk pertumbuhan nenas berkisar 33 sampai 71 % (Coronel & Verheij 1997). Temperatur optimum untuk pertumbuhan nenas adalah 23 o C sampai 32 o C. Temperatur maksimum dan minimum adalah 30 o C-20 o C. Menurut Coronel & Verheij (1997) pada suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan daun-daun tanaman menjadi lunak, buah menjadi besar dengan kandungan asam rendah dan pertumbuhan menjadi sangat rendah. Ketinggian tempat untuk tanaman nenas berkisar m dpl. Untuk varietas Cayenne, bila ditanam di dataran rendah akan menghasilkan kualitas yang lebih rendah dengan ciri buah nenas dan daunnya lebih kecil. Jika daerahnya lebih tinggi dari 760 m di atas permukaan laut, tanaman nenas menjadi lebih pendek, daun lebih pendek dan menyebar, nenas lebih ringan dan fruitlet menonjol keluar, sehingga permukaan lebih kasar. Nenas Cayenne yang ditanam di Kenya pada ketinggian 1400 sampai 1800 mdpl memiliki perbandingan gula-asam 16:1. Pada ketinggian 1150 mdpl perbandingan gula-asam menjadi 38:1. Sementara di Guatemala, Amerika Tengah ada nenas yang daunnya berduri, hidup pada ketinggian 1555 mdpl. Di Srilangka terdapat tanaman nenas yang ditanam pada daerah dengan ketinggian 1221 mdpl. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan (1994) tanaman nenas dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 635 mm sampai dengan 2500 mm per tahun, namun curah hujan optimum untuk pertumbuhan dan perkembangannya adalah antara 1000 sampai 1500 mm per tahun. Daerah yang memiliki kelembaban tinggi baik untuk mencegah transpirasi yang terlalu besar, sehingga lahan di dekat pantai akan sangat mendukung pertumbuhan dan produksi nenas. 2.4 Bahan perbanyakan tanaman nenas Bahan perbanyakan nenas dapat berasal dari organ generatif maupun vegetatif. Bahan perbanyakan generatif (sexual) membutuhkan waktu yang sangat lama (± 5 tahun) dan lebih diarahkan untuk program pemuliaan tanaman dengan tujuan menghasilkan varietas unggul (Sripaoraya et al. 2003). 10

26 Perbanyakan vegetatif lebih menguntungkan karena sifat-sifat tanaman induk dapat diturunkan kepada keturunannya secara identik dan dapat berproduksi dengan cepat. Perbanyakan tanaman nenas secara vegetatif dapat dilakukan dengan mengunakan anakan, tunas batang, tunas tangkai, tunas dasar buah, mahkota dan batang bermata. Sumber: Pineapple, the plant and its culture by Kenneth G. Rohrbach, Hawaii Agricultural Experiment Station, University of Hawaii, dalam (Bartholomew et al. 2000) Gambar 2. Bagian tanaman nenas pada penampang melintang. Anakan nenas tumbuh dari bagian batang yang berada di bawah permukaan tanah. Tunas ini jumlahnya sedikit dan biasanya telah berakar. Bahan tanaman yang berasal dari tunas anakan lebih cepat menghasilkan buah, yaitu lebih kurang satu tahun. Tunas batang (sucker) merupakan tunas yang keluar dari bagian batang bawah di atas tanah. Tunas menyebar dengan panjang 35 sampai 40 cm, jumlah tiap tanaman bisa 2 sampai 3 (Collins 1968). Biasanya, tunas seperti ini belum berakar, dan menghasilkan buah lebih lama di bandingkan anakan, yaitu 15 sampai 18 bulan setelah ditanam. 11

27 Tunas tangkai (rotons) muncul dari tangkai buah, pada umumnya ukuran tunas tangkai lebih kecil dari pada tunas batang. Jumlahnya relatif lebih sedikit, bentuknya lebih ramping dan daunnya lebih panjang dari pada tunas batang, mampu menghasilkan buah pada umur 18 bulan setelah ditanam. Tunas dasar buah (slips) adalah tunas yang keluar dari dasar buah atau ujung tangkai buah. Tunas dasar buah jumlahnya adalah 0 sampai 10 buah per tanaman, baik digunakan jika beratnya 340 sampai 450 g (Collins 1968). Tanaman dapat berbuah setelah berumur 20 bulan dari saat tanam. Mahkota (crown) merupakan tunas yang tumbuh pada bagian pucuk dari buah, umumnya hanya satu, namun kadang-kadang dapat lebih. Tanaman dapat menghasilkan buah pada umur 22 sampai 24 bulan setelah tanam (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 1994). Mata tunas yang tidur terdapat pada bagian batang. Mata tunas ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk perbanyakan. Satu batang nenas yang telah tua memiliki 80 mata tunas yang tidur maka dapat dihasilkan 80 bibit. Tanaman yang diperoleh akan berbunga setelah 2 sampai 3 tahun setelah ditanam. 2.5 Perbanyakan In-Vitro Perbanyakan bibit dalam skala besar merupakan salah satu aspek yang sangat penting, dimana produksi memerlukan bibit dari varietas unggul dalam jumlah banyak, seragam, bebas hama dan penyakit serta tersedia secara kontiniu. Perbanyakan dengan kultur jaringan atau disebut juga dengan in-vitro culture, merupakan suatu teknik perbanyakan vegetatif yang banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan antara lain, tingkat mutiplikasi yang tinggi, seragam secara genetik, memiliki sifat seperti induknya, bibit dapat dihasilkan setiap waktu, tidak tergantung pada musim, dapat menghasilkan bibit yang bebas penyakit, bahan tanaman yang dibutuhkan sedikit, tidak merusak pohon induk, dan tempat untuk produksi bibit yang relatif sempit. Metode perbanyakan secara kultur jaringan dapat dilakukan melalui: 1) perangsangan tunas lateral untuk membentuk tunas ganda yang melebihi pertumbuhan normal. Bahan tanaman yang digunakan, biasanya berupa batang yang memiliki satu buku atau tunas terminal. Cara ini lebih mudah dan aman dalam mempertahankan sifat pohon induknya. 2) Inisiasi tunas adventif yang 12

28 langsung dari eksplan atau kalus. 3) Pembentukan benih somatik dari regenerasi melalui embriogenesis somatik. Cara ke 2 dan ke 3 telah banyak dilaporkan tetapi menyebabkan ketidakstabilan pada keturunannya apabila terbentuk melalui kalus. Jika dibandingkan dengan metode konvensional, metode kultur jaringan lebih menguntungkan, khususnya untuk perbanyakan yang dilakukan pada tanaman heterozigot, sexual incompatible, dan untuk genotipe yang steril (Connger 2000). Jika tanaman heterozigot diperbanyak secara konvensional, maka terjadi segregasi sehingga sifat anakan tidak sama dengan induknya. Permasalahan ini dapat diatasi dengan teknik perbanyakan in vitro. Demikian juga halnya untuk tanaman steril dan sex incompatible yang tidak menghasilkan biji, dapat diperbanyak dengan mudah. 2.6 Kultur jaringan nenas Menurut Wee dan Thongtham (1997) teknik kultur jaringan pada tanaman nenas telah dikembangkan untuk produksi secara besar-besaran. Zepeda dan Sagawa (1981) menyatakan bahwa rata-rata 16 tunas diperoleh dari 23 tunas aksilar per mahkota (crown) pada media ½ MS + 25% air kelapa. Sekitar planlet dapat dihasilkan dalam 12 bulan dari satu buah mahkota nenas dengan teknik in vitro. Berdasarkan penelitian Kiss et al. (1995) sekitar planlet pada medium N µm BA atau planlet pada medium N µm kinetin dapat dihasilkan dari satu planlet berakar selama 12 bulan. Hasil penelitian Kiss et al. (1995) pada tanaman nenas cv. Smooth Cayenne de Oriental dan Espenola Raja bahwa pangkal batang nenas hasil in vitro yang ditumbuhkan pada medium 10 µm NAA dan diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu 28 o C akan menghasilkan tunas etiolasi. Tunas etiolasi yang diregenerasikan selama hari setelah tanam akan menghasilkan lebih dari satu tunas etiolasi per pangkal batang yang digunakan. Pada inkubasi hari setelah tanam dalam ruang gelap, panjang tunas etiolasi mencapai 6-10 cm dengan 7 buku per tunas. Tunas etiolasi yang dihasilkan selama hari setelah induksi di subkultur pada media N 6 +BA atau kinetin dengan rata-rata tunas per eksplan, setiap eksplan terdiri dari 7 buku pada ruang terang (16-h photoperiod) selama 4 minggu. 13

29 Hasil penelitian Devilana (2005) pada tanaman nenas cv. Queen yang ditumbuhkan pada media MS mg/l NAA, dan MS mg/l NAA dapat meningkatkan jumlah akar pada 15 dan 17 MST. Hasil penelitian Murtini (2005) pada tanaman nenas cv. Smooth Cayenne yang ditumbuhkan pada media MS dengan penambahan 1.0 mg/l dan 2.0 mg/l NAA dapat meningkatkan rata-rata eksplan bertunas berakar pada 7 MST. 2.7 Zat pengatur tumbuh (ZPT) Hormon merupakan senyawa organik yang mempengaruhi proses fisiologi tanaman pada konsentrasi rendah. Hormon tanaman mempengaruhi proses pertumbuhan, difrensiasi, dan perkembangan tanaman. Selain itu, hormon juga mengontrol proses pembukaan stomata (Devies 1995; Bidwell 1974). Secara umum, hormon disintesis di suatu tempat, kemudian ditransportasikan ke jaringan target, dan mempengaruhi proses fisiologi jaringan tersebut pada konsentrasi tertentu. Sitokonin merupakan hormon turunan adenin. Golongan ini berperan penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Gunawan 1988). Sitokinin dan turunannya, banyak terdapat pada bagian ujung akar dan meristem yang mengalami pembelahan sel secara cepat, serta bagian tanaman yang sedang berkembang. Fungsi fisiologis sitokinin antara lain, berkaitan erat dengan pembelahan sel, pembesaran sel, pertumbuhan tunas lateral, pembentukan kloroplas, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi selain itu sitokinin juga berperan dalam penghambatan tumbuhan. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi tanpa siokinin. Sitokinin memiliki peran utama dalam pembentukan benang gelondong pada fase metaphase mitosis Salah satu hormon yang dikenal mendorong perpanjangan sel pucuk adalah auksin. Seperti halnya dengan fitohormon lain, auksin juga aktif dalam kadar rendah. Hubungan antara pertumbuhan dan kadar auksin adalah sama pada akar, batang dan tunas. Auksin merangsang pertumbuhan pada kadar rendah, sebaliknya menghambat pertumbuhan pada kadar tinggi (Kusumo 1990). Kandungan auksin yang tinggi dapat menimbulkan terjadinya dominasi apikal. Auksin mengalir satu 14

30 arah yaitu dari pucuk ke pangkal melalui batang. Pada jaringan yang tua, biasanya batang atau tangkai daun, aliran hormon berlangsung melalui floem. Tidak semua auksin ditranslokasikan secara basepetal, tetapi ada juga auksin yang ditranslokasikan secara acropetal (Bidwell 1974). Dalam menginduksi tunas adventif, sitokinin dan auksin memiliki peran penting. Nisbah auksin dan sitokinin menentukan apakah suatu kalus akan membetuk tunas adventif atau akar. Sitokinin bersinergi dengan auksin dalam menstimulasi pembelahan sel secara kontiniu dalam kultur jaringan pith tembakau, tetapi bersifat antagonis dengan auksin dalam mengontrol inisiasi tunas dan akar dan juga dalam proses dominasi apikal (Binns 1994). Pada konsentrasi tinggi, sitokinin mendorong proliferasi, sebaliknya menghambat pembentukan akar. Penggunaan sitokinin pada konsentrasi tinggi pada Cymbidium sinensis willd menghambat pemanjangan tunas dan inisiasi akar (Chang dan Chang 2000), pada tanaman ubi kayu menghasilkan tunas hiperhidrik (Konan et al. 1997), dapat menyebabkan fitrifikasi atau suatu kondisi fisiologis in vitro yang menyebabkan disorganisasi seluler (Ziv 1991). Membentuk kalus pada bagian dasar eksplan (Lakshamana et al. 1997), pembengkakan akar dan pembentukan akar terhenti (Fratini dan Ruiz 2002) dan meningkatkan produksi etilen (Kevers dan Gasper 1985). Berdasarkan stuktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenin (BA, zeatin dan kinetin) dan turunan fenilurea (TDZ). TDZ (N-phenyl- N (1,2,3-thidiazol-5-yl)urea) adalah jenis herbisida yang mempunyai aktivitas sama dengan sitokinin. TDZ dapat mengsubstitusi sitokinin jenis adenin dalam beberapa sistem kultur sel, meliputi kultur kalus dan perbanyakan pada jenis tanaman berkayu. TDZ dilaporkan memiliki efektivitas yang tinggi pada konsentrasi rendah (nm-µm) (Thomas dan Katterman, 1986; Murthy et al. 1995) dan telah banyak digunakan untuk menstimulasi regenerasi dan proliferasi tunas aksilar, (Gribaudo dan Fronda 1991; Henny dan Fooshe, 1990; Kerns dan Martin 1986; kenyand et al. 1994; Mondal et al. 1998; Prathanturarug et al. 2005) kultur kalus (Thomas dan Katterman 1986), somatik embriogenesis (Victor et al. 1999) pada beberapa spesies tanaman. 15

31 TDZ telah banyak digunakan untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi diantaranya pada tanaman Arachis hypogaea (Kanyand et al. 1994; Victor et al. 1999), Curcuma longa (Prathanturarug et al. 2005), hibrid Acer x freemanii (Kerns dan Meyer 1986), hibrid Alocasia x Chantrieri (Henny dan Fooshee 1990), grape (Gribaudo dan Fronda 1991). Efektivitas TDZ dan BA dalam menginduksi multiplikasi tunas berbedabeda, tergantung pada jenis tanamannya. Pada tanaman angrek phalaenopsis konsentrasi optimal untuk pambentukan tunas adventif adalah 5-10 µm TDZ, dan jika sitokinin yang digunakan BA konsentrasi optimal 40 µm (Chen dan Piluek, 1995). Pada tanaman ubi kayu perlakuan 10 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas/eksplan lebih banyak dibandingkan perlakuan 10 mg/l TDZ, tetapi persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan TDZ lebih tinggi dibandingkan perlakuan BAP (Konan et al. 1997). Efektivitas sitokinin berbeda-beda, pada tanaman lentil (Lensculinaris medik) dilaporkan efektivitas TDZ lebih tinggi dari BA, BA lebih tinggi dari kinetin dan efektivitas kinetin lebih tinggi dibanding zeatin dalam menginduksi tunas, sedangkan untuk pemanjangan tunas berlaku sebaliknya yaitu zeatin > kinetin > BA > TDZ (Fratini dan Ruiz 2002). Beberapa keuntungan pada mekanisme kerja TDZ seperti, dilaporkan pada kacang tanah tidak memerlukan jenis ZPT lain untuk menginduksi somatik embriogenesis, (Victor et al. 1999), meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lainnya (Murthy et al. 1995), merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif pada tanaman berkayu (Huetteman dan Preece1993), menginduksi dan meningkatkan proliferasi protocorm like body (PLB) pada tanaman angrek (Ernst 1994), memiliki efektivitas yang tinggi pada konsentrasi rendah (Thomas dan Katterman 1986). Konsentrasi yang dibutuhkan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin sangat tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi kultur serta jenis auksin dan jenis sitokinin yang digunakan, sehingga untuk mengetahui konsentrasi sitokinin dan auksin yang tepat untuk masing-masing tanaman perlu dilakukan studi tersendiri. Hal lain yang penting diperhatikan dalam perbanyakan in vitro 16

32 yaitu hilangnya beberapa aktivitas komponen media kultur yang disebabkan proses sterilisasi, seperti autoklaf, penggunaan antibiotik, serta pencampuran antibiotik dan fungisida untuk menghilangkan kontaminan dari bagian vegetatif (Gonzalez-olmedo et al. 2005). 17

33 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium kultur jaringan dan molekuler Pusat Kajian Buah-Buahan Tropis (PKBT-IPB), dimulai dari Desember 2004 sampai Juni Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah planlet yang berasal BrMC (bioresources manejement center) Tajur. Bahan kimia yang digunakan adalah media MS, agar, zat pengatur tumbuh (NAA, BA, dan TDZ). Alat yang digunakan adalah peralatan tanam kultur jaringan, ph meter, timbangan, LAFC (Laminar Air Flow Cabinet), dan autoklaf. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: multiplikasi tunas, pembesaran dan pemanjangan tunas, pengakaran dan aklimatisasi. Bagan alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Eksplan dari BrMc ditanam ke media dasar MS selama tiga bulan (dua kali subkultur). Tahap multiplikasi tunas terdiri dari 2 percobaan yaitu: 1) Pengaruh BA dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng secara in vitro, 2) Pengaruh TDZ dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng secara in vitro Pengaruh BA dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng in vitro Perlakuan dan rancangan percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah BA yang terdiri dari 5 taraf konsentrasi yaitu 0 µm, 4.44 µm, 8.88 µm, µm, dan µm. Faktor kedua adalah NAA dengan 4 taraf konsentrasi yaitu 0 µm, 0.5 µm, 1.0 µm dan 2.0 µm. Terdapat 20 kombinasi perlakuan, dengan 12 kali ulangan untuk setiap kombinasi

34 perlakuan, sehingga terdapat 240 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 1 botol kultur dengan 1 eksplan per botol kultur. Multiplikasi tunas Pembesaran dan Pemanjangan Pengakaran Aklimatisasi Percobaan 1 SK 1 (BA+NAA) MS0 MS + 0.5µM NAA Kompos : Pasir (3: 1) SK 2 (BA+NAA) MS0 MS + 0.5µM NAA Kompos : Pasir (3: 1) BrMc SK 3 (BA+NAA) MS0 MS + 0.5µM NAA Kompos : Pasir (3: 1) MS0 2x - Jumlah tunas/eksplan - Jumlah nodul/eksplan - Proporsi tunas terhadap nodul - Jenis dan jumlah varian - Jumlah tunas - Jumlah akar/eksplan - Panjang akar/eksplan - Jumlah daun - Tinggi tanaman - % tanaman berakar - Tinggi tanaman - Jumlah daun - % hidup - Jenis varian - Jumlah varian Percobaan 2 Multiplikasi tunas SK 1 (TDZ+NAA) Pembesaran dan Pemanjangan MS0 2x Pengakaran MS + 0.5µM NAA Aklimatisasi Kompos : Pasir (3: 1) Gambar 3. Bagan alur penelitian Multiplikasi, pembesaran dan pemanjangan tunas Eksplan yang digunakan adalah pangkal batang dari planlet nenas Smooth Cayenne berasal BrMC (bio-resources manejement center) Tajur yang telah ditanam pada media MS0 selama 3 bulan (2 kali subkultur). Planlet nenas, dibuang daun dan akarnya kemudian dipotong sepanjang cm dari pangkal batang, selanjutnya ditanam pada media perlakuan selama hari. Kemudian 19

35 sebagian eksplan disubkultur pada media perlakuan yang sama selama hari dan sisanya ditanam pada media MS0 selama ± 30 hari untuk pembesaran dan pemanjangan tunas, agar eksplan siap diakarkan. Pengamatan pada media multiplikasi dilakukan tiap minggu selama 1-5 MST, terhadap peubah: jumlah tunas, jumlah nodul, jumlah akar, bentuk dan jumlah varian. Pada tahap pembesaran dan pemanjangan peubah yang diamati hanya jumlah tunas. Pengakaran Eksplan yang berasal dari MS0 dibuang daunnya dan dipotong sepanjang cm dari pangkal batang dan ditanam pada media perakaran yaitu MS µm NAA selama ± 30 hari. Pada media pengakaran pengamatan dilakukan tiap minggu terhadap jumlah akar, persen tanaman berakar, jumlah tunas, persen tanaman bertunas, sedangkan panjang akar, dan jumlah daun dihitung pada saat minggu terakhir Aklimatisasi Planlet yang berasal dari media pengakaran dikeluarkan dari botol, kemudian akarnya dicuci bersih untuk menghilangkan sisa agar, kemudian ditanam pada media aklimatisasi dengan perbandingan pasir terhadap kompos sebanyak 1:3. Aklimatisasi dilakukan dirumah kaca selama ± 3 bulan. Pengamatan saat aklimatisasi dirumah kaca terdiri dari: persen tanaman tumbuh, tinggi tanaman, jumlah daun, jenis dan jumlah variasi yang muncul dalam hal ini perubahan morfologi dari tanaman normal (warna daun, bentuk daun, ada tidaknya duri pada daun) Pengaruh TDZ dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne klon Curug Rendeng secara in vitro Perlakuan dan Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah TDZ, terdiri dari 6 taraf konsentrasi yaitu 0.00 µm, 0.05 µm, 0.10 µm, 0.50 µm, 1.00 µm dan 2.00 µm. Faktor kedua 20

36 adalah NAA dengan 4 taraf konsentrasi yaitu 0.0 µm, 0.5 µm, 1.0 µm dan 2.0 µm. Terdapat 24 kombinasi perlakuan dengan 12 kali ulangan untuk setiap kombinasi perlakuan. Sehingga terdapat 288 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 1 botol kultur dengan 1 eksplan per botol. Metode multiplikasi, pembesaran dan pemanjangan tunas, pengakaran dan aklimatisasi yang digunakan pada tahap ini sama dengan metode yang digunakan pada percobaan pertama yaitu pengaruh BA dan NAA. 3.4 Analisis Data Data yang diperoleh dari perbanyakan secara in vitro dilakukan uji F. Jika berbeda nyata maka dilakukan Duncan s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% dengan menggunakan program SAS System. 21

37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh BA dan NAA terhadap regenerasi multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng Kondisi umum kultur Secara umum, eksplan pada semua perlakuan mulai menunjukkan respon pada 1 MST, ditandai dengan terjadinya pemanjangan daun, pembengkakan pada pangkal atau bagian dasar eksplan dan pembentukan tunas. Eksplan dalam media yang diberi perlakuan ZPT akan berdiferensiasi membentuk sel yang meristematik atau embriogenik. Pada saat sel mengalami diferensiasi, terjadi pembelahan sel yang sangat cepat karena adanya ZPT sitokinin dan auksin. Menurut Schwarz et al. (2005) fase diferensiasi sel dapat dipertahankan melalui subkultur berulang pada media yang sama. Apabila eksplan mempunyai titik tumbuh dengan sel-sel meristematis yang ditanam dalam media regenerasi yang tepat, maka sel tersebut dapat langsung beregenerasi me mbentuk tunas (Zhang & Lemaux 2005). Persentase kontaminasi pada subkultur 1 adalah 2.2%, pada subkultur 2 sebesar 3.1%, dan pada subkultur 3 sebesar 40.6%. Pada subkultur 1 pembengkakan bagian dasar eksplan pada 1 MST adalah 63.5% dan pembentukan tunas sebesar 2.6%. Persentase pembentukan tunas meningkat yaitu 18% pada 2 MST sampai 79.5% pada 5 MST. Pembentukan nodul mulai terjadi pada 2 MST sebesar 10.12% dan terus meningkat sampai 58.4% pada 5 MST. Pembentukan kalus tidak terjadi sampai 5 MST pada subkultur 1. Pada subkultur 2, tunas yang terbentuk pada 1 MST adalah 52.7% dan meningkat menjadi 79.3% pada 4 MST. Nodul yang terbentuk adalah 42.8% pada 1 MST dan 60.2% pada 4 MST. Kalus yang terbentuk adalah 3.1% pada 1 MST dan meningkat 13.3% pada 4 MST. Secara umum, persentase kontaminasi pada SK 2 sampai 4 MST adalah 3.1%, dimana kontaminasi paling banyak terjadi pada minggu kedua, yaitu 1.8%. Pada subkultur 3 tunas yang terbentuk adalah 72.4% pada 1 MST dan meningkat menjadi 90% pada 5 MST. Nodul yang terbentuk adalah 58.1% pada 2 MST dan 63.7% pada 5 MST.

38 4.1.2 Regenerasi dan multiplikasi pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur Regenerasi Regenerasi tanaman nenas pada kultur jaringan dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dalam perbanyakan langsung, eksplan yang meristematik akan langsung beregenerasi membentuk tunas adventif. Dalam perbanyakan tidak langsung, eksplan akan tumbuh menjadi kalus yang meristematik terlebih dahulu sebelum membentuk tunas (Mattjik 2005). Regenerasi tunas pada penelitian ini terjadi secara langsung (tanpa melalui nodul) dan tidak langsung (melalui nodul). Pada regenerasi tunas secara langsung, tunas yang terbentuk umumnya berukuran relatif besar dan dapat membentuk akar. Pada regenerasi tidak langsung, eksplan tumbuh menjadi nodul terlebih dahulu, dan kemudian membentuk tunas, dengan ukuran tunas relatif kecil, kompak dan padat. Kondisi tunas dan nodul yang terbentuk pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dapat dilihat pada Tabel 1. Pada subkultur 1 penambahan NAA ( µm) pada media MS menghasilkan tunas secara langsung dan tidak langsung. Tunas yang terbentuk normal dengan ukuran bervariasi dari kecil, sedang dan besar. Morfologi tanaman dalam media NAA ditunjukkan pada Gambar 4. Perlakuan 4.44 µm dan 8.88 µm BA pada berbagai taraf konsentrasi NAA menghasilkan tunas secara langsung dan tidak langsung. Tunas yang terbentuk berukuran sedang sampai besar. Nodul yang terbentuk juga relatif besar sehingga mudah untuk dipisahkan dan peluang untuk membentuk tunas sangat tinggi. Penambahan µm dan µm BA dengan 3 taraf NAA menghasilkan tunas melalui pembentukan nodul terlebih dahulu. Umumnya tunas yang terbentuk berukuran kecil, kompak, daun agak keriting dan rapuh sehingga mudah rusak saat penanaman (subkultur) seperti terlihat pada Gambar 5. Nodul yang terbentuk umumnya berukuran kecil dan kompak, serta berpotensi membentuk kalus. Sema kin tinggi konsentrasi NAA dan BA yang ditambahkan, dihasilkan tunas yang kompak dan padat, dan berukuran relatif kecil (Gambar 5F). Induksi pembentukan nodul, kemudian membentuk tunas dipengaruhi oleh rasio auksin/sitokinin pada eksplan. Mercier et al. (2003) 23

39 melaporkan bahwa rasio auksin/sitokinin endogen menurun pada hari ketiga setelah kultur, dimana kandungan ip endogen meningkat, hal ini diduga sebagai pendorong induksi pembentukan nodul, yang akan beregenerasi menjadi tunas. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Lakshamanan et al. (1997) dalam (mercier et al. 2003) pada tanaman Garcinia mangostana yang diberi tambahan BA, mengalami peningkatan ip dan ipr endogen pada hari ke 6, sehingga rasio auksin/sitokinin menurun dan terbentuk nodul. Pambahan BA dan NAA pada berbagai taraf konsentrasi pada media kultur akan membentuk nodul dan tunas pada tanaman nenas (Wasaka 1989) dikutip (Marcier et al. 2003). A B C 0.5 mm NAA 1,0 mm NAA 2,0 mm NAA Gambar 4. Morfologi eksplan subkultur 1 pada berbagai konsentrasi NAA.[A-B] pembentukan tunas secara langsung, [C] tunas terbentuk melalui nodul. Pada subkultur 2, penambahan NAA 0.5 µm dan 1.0 µm menghasilkan tunas secara langsung tanpa melalui nodul. Tunas yang terbentuk adalah normal dengan ukuran yang beragam. Hal yang menarik dari penambahan 2.0 µm NAA adalah daun yang dihasilkan tidak segar, adanya pertumbuhan akar, nodul dan primordia tunas yang sulit dibedakan (Gambar 6C). Pada konsentrasi rendah, auksin merangsang pertumbuhan, sebaliknya pada konsentrasi tinggi menghambat pertumbuhan (Kusumo 1990). Akumulasi auksin pada konsentrasi tinggi menginduksi pembentukan akar. Penambahan 4.44 µm dan 8.88 µm BA pada berbagai taraf konsentrasi NAA (kecuali 2.0 µm NAA) menghasilkan tunas secara langsung dan melalui nodul. Tunas yang terbentuk merupakan tunas normal dengan ukuran bervariasi, tetapi bentuk daun umumnya terlihat agak keriting dan rapuh, sehingga mudah rusak saat subkultur. 24

40 Tabel 1 Kondisi tunas dan nodul pada subkultur 1, subkultur 2, dan subkultur 3 dari perlakuan BA dan NAA BA NAA Kondisi tunas dan nodul (µm) (µm) Subkultur 1 Subkultur 2 Subkultur tunas langsung Tunas langsung dan melalui tunas langsung nodul tunas langsung tunas langsung tunas langsung tunas normal tunas dan nodul relatif besar tunas langsung, nodul besar- besar tunas normal, kompak nodul kompak dan kecil-kecil tunas tidak segar sebagian tidak normal tunas normal tunas normal tunas normal tunas normal nodul kompak dan kecil-kecil tunas tidak normal (kecilkecil) tunas normal, kompak tunas normal, tetapi daun agak tunas normal, kompak nodul kompak dan kecil. keriting dan rapuh batang utama mati tunas normal (kecil-sedang) tunas normal tunas normal dan kompak tunas normal ( kecil-besar), nodul kompak dan kecilkecil tunas tidak normal (kerdil dan tidak berkembang) nodul kecil dan padat tunas tidak normal (kerdil) nodul kecil dan padat tunas normal tunas normal tunas normal tunas normal nodul berukuran besar tunas normal dan kompak batang utama mati tunas tidak normal dan kompak tunas normal tunas tidak normal, kompak nodul kecil-kecil tunas tidak normal (necrosis) nodul kecil-kecil dan berkalus tunas normal tunas tidak normal Tunas normal tunas normal tunas tidak normal tunas mulai tidak normal kebanyakan tidak layak disubkultur, nodul kompak dan berukuran kecil tunas normal nodul sangat kompak padat, tunas tidak normal (tidak layak disubkultur) nodul kompak kecil tunas normal padat dan kompak nodul kecil-sedang tunas langsung & melalui nodul, nodul berukuran sedangbesar tunas terbentuk dari nodul (kerdil) tidak normal (tidak layak disubkultur tunas terbentuk dari nodul (kerdil) tidak normal (tidak layak disubkultur tunas tidak normal batang utama mati tunas tidak normal (warna daun pucat) batang utama mati tunas tidak normal tidak layakdisubkultur tunas tidak normal, kompak nodul kecil-kecil tidak layak untuk disubkultur tunas tidak normal tidak layak untuk disubkultur tunas tidak normal batang utama mati tidak layak untuk disubkultur tunas tidak normal tidak layak untuk disubkultur tunas tidak normal batang utama mati tunas tidak normal dan kompak batang utama mati tunas tidak normal dan necrosis tunas tidak normal, kompak nodul kecil-kecil dan terbentuk kalus tunas abnornal, kompak dan necrosis tunas tidak normal batang utama mati nodul kecil-kecil dan berkalus - 25

41 A B C 4.44 µm BA µm NAA 8.88 µm BA µm NAA 8.88 µm BA µm NAA D D E F µm BA µm NAA µm BA µm NAA µm BA µm NAA Gambar 5. Morfologi eksplan pada subkultur 1. [A] Tunas langsung terbentuk tanpa melalui nodul; [B] Tunas terbentuk melalui nodul dan tanpa nodul; [C] Nodul yang pecah membentuk tunas; [D-E] Kumpulan nodul; [ F] Tunas yang padat, dan kompak. A B C 0.5 µm NAA 1.0 µm NAA 2.0 µm NAA Gambar 6. Morfologi eksplan pada subkultur 2 dari perlakuan NAA Nodul yang terbentuk sangat kompak dan kecil-kecil, dan pada sebagian tanaman terjadi pembentukan kalus (Gambar 7). Penambahan µm BA dengan 3 taraf NAA menghasilkan tunas melalui pembentukan nodul terlebih dahulu, umumnya tunas yang terbentuk berukuran kecil, kompak, tidak normal seperti daun keriting dan agak rapuh sehingga mudah rusak saat subkultur. Nodul 26

42 yang terbentuk umumnya berukuran kecil dan kompak, pada akhir pengamatan banyak terbentuk kalus. A B C µm BA µm NAA µm BA + 2 µm NAA 4.44 µm BA µm NAA D E F µm BA µm NAA µm BA µm NAA 8.88 µm BA µm NAA Gambar 7. Bentuk-bentuk tunas yang tidak normal. [A] tunas kompak, daun berlilin dan rapuh, [B] daun keriting, batang utama mati, [C dan F] nodul kompak dan kecil-kecil, [D] kalus ditunjukkan tanda panah, [E] tunas kompak, batang utama mati dan mulai mengalami necrosis. Pada subkultur 3, penambahan µm NAA, masih menghasilkan tunas yang normal, tetapi pada 2.0 µm NAA tunas yang dihasilkan tidak normal (kecil-kecil, daun keriting, dan berlilin), selain itu nodul yang dihasilkan juga kecil dan kompak. Tunas normal pada subkultur 3 diperoleh pada perlakuan 4.44 µm BA dengan 0.0, 0.5 dan 1.0 µm NAA dan 8.88 µm BA tanpa NAA, sedangkan pada perlakuan 4.44 µm BA µm NAA dan perlakuan lainnya menghasilkan tunas yang tidak normal dengan morfologi daun yang keriting, kaku, tanaman lebih pendek, batang utama mati dan pada beberapa perlakuan terbentuk kalus. Semakin tinggi konsentrasi BA dan NAA dan semakin sering frekwensi subkultur (sampai subkultur ke-3) akan menghasilkan tunas yang tidak normal seperti ukuran tunas yang kecil, massa yang kompak, daun keriting, batang utama mati, tunas dan nodul akan mengalami necrosis dan kemudian mati. Hasil yang 27

43 sama juga dilaporkan pada kultivar Queen (Nursandi 2005). Penggunaan sitokinin konsentrasi tinggi dilaporkan menghasilkan tunas hiperhidrik pada tanaman ubi kayu (Konan et al. 1997), menyebabkan vitrifikasi atau suatu kondisi fisiologis in vitro yang menyebabkan disorganisasi seluler (Ziv 1991), menyebabkan pembentukan kalus pada bagian dasar eksplan pada Ixora coccinea (Lakshamana et al. 1997), meningkatkan produksi etilen (Kevers & Gasper 1985), menyebabkan stomata terus membuka sehingga respirasi tanaman tinggi, yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada tanaman (Wattimena et al. 1992). Perlakuan NAA tanpa tambahan BA menghasilkan tunas dengan dominasi apikal (Gambar 4), auksin dapat menimbulkan terjadinya dominasi apika (Bidwell 1974), sedangkan pada perlakuan yang diberi tambahan sitokinin, terutama BA pada konsentrasi tinggi menghasilkan tunas dan tidak ditemui adanya dominasi apikal (Gambar 5 dan 7). Penambahan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin) ke dalam medium kultur dapat menghilangkan dominasi apikal. Sebagai hasilnya adalah tunas yang kompak dan padat (Wattimena et al. 1992) Multiplikasi Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 ditunjukkan pada Tabel 2. Interaksi BA dan NAA berpengaruh sangat nyata pada subkultur 1 dan subkultur 3 terhadap jumlah tunas dan nodul. NAA berpengaruh sangat nyata pada subkultur 1 dan subkultur 2 terhadap jumlah tunas dan nodul, sedangkan BA berpengaruh sangat nyata pada subkultur 3 terhadap jumlah tunas dan berpengaruh sangat nyata pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 terhadap jumlah nodul Tunas Rata- rata jumlah tunas setiap perlakuan pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 ditunjukkan pada Tabel 3. Pada subkultur 1 penambahan 4,44-17,76 µm BA µm NAA menghasilkan tunas dengan rata-rata tunas/eksplan. Rataan jumlah tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan µm BA µm NAA, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 4.44 µm BA µm NAA dan 2.0 µm NAA, µm BA µm NAA, dan 28

44 perlakuan µm BA µm NAA. Jumlah tunas terendah diperoleh dari perlakuan 0.5 µm NAA yaitu 1.92 tunas/eksplan yang tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Jumlah tunas akibat penambahan 8.88 µm BA µm NAA jika dibandingkan dengan tanaman kontrol meningkat 3 kali, sedangkan penambahan 4.44 µm BA tanpa NAA dapat meningkatkan jumlah tunas 2.8 kali tanaman kontrol. Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul yang dihasilkan pada 5 MST Tunas Nodul Subkultur Perlakuan BA NAA BA*NAA BA NAA BA*NAA 1 tn ** ** ** ** ** 2 tn ** tn ** ** tn 3 ** tn ** ** tn ** Keterangan : tn: tidak nyata, *: berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Tabel 3. Jumlah tunas subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 pada 5 MST Subkultur BA (µm) Rata-rata Jumlah Tunas NAA (µm) cdef 1.9 f 7.3 abcdef 9.2 abcde abc 8.1 abcdef 4.5 bcdef 9.1 abcde bcdef 12.5 a 11.0 ab 10.8 abcde ef 10.3 ab 7.3 abcdef 7.0 abcdef def 13.9 a 8.3 abcdef 4.4 bcdef c 6.3 bc 10.8 ab 12.2 ab ab 9.9 abc 8.4 bc 17.1 ab ab 22.3 a 16.4 ab 18.1 ab bc 19.2 ab 10.2 ab 13.2 ab ab 18.6 ab 18.5 ab 17.8 ab d 5.6 c 15.8 ab 1.7 dc ab 18.2 ab 17.4 ab 18.6 ab ab 17.4 ab 20.6 a ab 18.5 ab 13.1 b 21.4 a ab 18.3 ab 14.1 b - Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.- tidak ada pengamatan (tanaman mati) Pada subkultur 2 dihasilkan rata-rata tunas/eksplan. Jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan 4.44 µm BA dengan tambahan NAA atau tanpa 29

45 NAA menghasilkan jumlah tunas yang tidak berbeda secara statistik, demikian juga dengan perlakuan 8.88 µm BA dan µm BA, tetapi untuk perlakuan µm BA tanpa tambahan NAA menghasilkan rataan jumlah tunas yang lebih sedikit dibandingkan jika dikombinasikan dengan NAA. Pada subkultur 3 rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan adalah tunas/eksplan. Pada subkultur 3, perlakuan BA dengan atau tanpa tambahan NAA menghasilkan jumlah tunas yang tidak berbeda nyata secara statistik. Meskipun tidak berbeda secara statistik, semakin sering frekwensi subkultur dilakukan semakin tinggi rataan jumlah tunas yang dihasilkan. Eksplan yang ditanam pada media dasar MS (tanaman kontrol) memiliki laju multiplikasi yang rendah dengan bertambahnya frekwensi subkultur, yaitu 4.1 tunas pada subkultur 1, dan 0.3 pada subkultur 3, sedangkan pada subkultur 2 tanaman kontrol tidak menghasilkan tunas. Perubahan laju multiplikasi tersebut diduga disebabkan oleh kandungan zat pengatur tumbuh endogen. Pada tahap awal subkultur kandungan sitokinin dan auksin endogen masih tinggi, dengan adanya subkultur berulang pada media MS0 menyebabkan kandungan sitokinin dan auksin endogen berkurang sehingga menurunkan laju multiplikasi. Dari hasil diatas maka perlakuan 4.44 µm BA tanpa tambahan NAA dapat dipertimbangkan untuk menjadi satu pilihan dalam perbanyakan nenas Smooth cayenne, selain bahan kimia yang dibutuhkan lebih sedikit, perlakuan ini juga menghasilkan jumlah tunas yang tidak berbeda dengan perlakuan lainnya, dan tunas yang terbentuk merupakan tunas yang normal (Tabel 1). Selain alasan tersebut diatas, penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Nursandi (2005) pada nenas kultivar Queen, tanaman hasil perbanyakan in vitro dari perlakuan 4.44 µm BA memiliki diameter tajuk, tinggi tanaman, panjang, lebar dan jumlah daun yang lebih baik dibandingkan tanaman yang berasal dari perlakuan µm BAP pada umur 44 minggu setelah aklimatisasi. Jumlah tunas hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Nursandi (2005) pada konsentrasi BAP dan jenis kultivar nenas Smooth cayenne, yaitu tunas pada subkultur 1, tunas pada subkultur 2. Imelda dan Erlyandari (2000) melaporkan penambahan 4.44 µm BA menghasilkan 9 tunas/eksplan selama 2 bulan, eksplan yang digunakan diinisiasi 30

46 langsung pada media yang mengandung BA. Prahardini (1995) menghasilkan 9 tunas/eksplan pada penambahan 8 mg BA mg GA 3 selama 5 bulan. Zepada dan Segawa (1981) menghasilkan 3 tunas/eksplan pada penambahan 0.5 atau 1.0 µm BA selama 30 hari. Perbedaan hasil ini diduga karena beberapa faktor, diantaranya perbedaan sumber eksplan yang digunakan dan konsentrasi NAA yang berbeda. Nursandi (2005) menggunakan eksplan yang diinisiasi pada media dasar MS, sedangkan pada penelitian ini eksplan yang digunakan berasal dari media multiplikasi BAP yang telah disubkultur sebanyak dua kali dalam media dasar MS. Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa jika eksplan dikultur pada media MS dengan tambahan sitokinin yang tinggi, tunas yang terbentuk bila dikulturkan kembali akan mengalami multiplikasi tunas dengan jumlah yang tinggi. Meskipun eksplan sebelumnya telah dikulturkan pada media dasar MS sebanyak dua kali untuk menurunkan kandungan sitokinin endogen pada eksplan, diduga pengaruh sitokinin endogen yang diperoleh dari media sebelumnya masih terbawa. Kandungan sitokinin endogen ini semakin meningkat dengan adanya penambahan sitokinin dan auksin eksogen. Mercier et al. (2003) melaporkan penambahan 2.0 mg/l BA dan 1.0 mg/l NAA pada media dasar MS meningkatkan kandungan sitokinin endogen, terutama N 6 (2isopentenyl)adenin (ip) yang diduga sebagai pendorong pertumbuhan tunas pada nenas. Pada beberapa tanaman hasil perbanyakan in vitro mengalami perubahan genetik yang menyebabkan adanya variasi somaklonal (Larkin & Scowcroft 1981). Pada penelitian ini sampai pada 13 minggu setelah aklim pada semua perlakuan BA dan NAA tidak dijumpai adanya variasi atau keragaman somaklonal. Walaupun pada perlakuan BA dan NAA dengan konsentrasi tinggi terdapat tunas yang tidak normal seperti, daun keriting dan berlilin, tanaman kerdil, dan pada beberapa tunas mengalami fitrifikasi, tetapi pada saat eksplan dipindah ke media MS tanpa zat pengatur tumbuh, tanaman kembali normal. Hal ini menunjukkan penambahan µm BA yang dikombinasikan dengan µm NAA tidak menginduksi munculnya variasi. Sehingga metode ini dapat dikembangkan dalam perbanyakan cepat nenas Smooth Cayenne. 31

47 Nodul Rata-rata jumlah nodul setiap perlakuan pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 ditunjukkan pada Tabel 4. Pada subkultur 1, perlakuan µm BA µm NAA menginduksi pembentukan nodul sebanyak nodul/eksplan pada 5 MST. Rataan jumlah nodul tertinggi diperoleh dari perlakuan 0.0 µm BA µm NAA, µm BA µm NAA dan µm BA µm NAA. Pada Tabel 4 terlihat jumlah nodul yang dihasilkan dari perlakuan BA tanpa tambahan NAA relatif sedikit yaitu rata-rata nodul/eksplan. Sedangkan penambahan NAA meningkatkan pembentukan nodul. Tabel 4. Jumlah nodul subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 pada 5 MST Subkultur BA (µm) NAA (µm) f 0.0 f 2.3 def 15.6 a ef 3.1 cdef 1.7 def 3.3 bcde ef 3.9 bcd 2.2 cdef 3.2 bcde def 13.1 a 6.4 b 5.6 bc def 5.4 bc 5.0 bc 10.0 a f 7.6 bc 9.2 a 3.2 cdef ef 3.5 cdef 4.0 cdef 5.4 bcd def 7.8 bc 4.4 cdef 5.8 bcd cdef 4.2 bcdef 3.6 cdef 4.1 bcdef bc 9.0 b 4.8 bcde 4.0 bcdef d 3.8 bcd 6.5 abc 0.2 d cd 2.5 bcd 5.5 abc 5.9 abc abc 4.5 abc 2.5 bcd abcd 2.5 bcd 5.4 abc 8.2 a abc 7.6 ab 6.1 abc - Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. - tidak ada pengamatan. Pada subkultur 2, jumlah nodul tertinggi diperoleh dari perlakuan 1.0 µm NAA tanpa tambahan BA yaitu 9.2 nodul/eksplan, sedangkan perlakuan µm BA µm NAA menghasilkan rataan nodul yang tidak berbeda nyata secara statistik, dengan rataan nodul/eksplan. Pola yang sama seperti subkultur 1 juga terlihat pada subkultur 2, dimana interaksi BA dan NAA meningkatkan rataan jumlah nodul. 32

48 Pada subkultur 3, perlakuan ,76 µm BA yang dikombinasikan dengan 4 taraf NAA menghasilkan rataan jumlah nodul Pada Tabel 4 terlihat penambahan BA dengan atau tanpa NAA menghasilkan rataan nodul yang tidak berbeda nyata. Pengaruh subkultur terhadap jumlah tunas Hasil rekapitulasi analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah tunas yang dihasilkan antar subkultur berbeda sangat nyata, tetapi jumlah nodul tidak berbeda nyata. Jumlah tunas tertinggi diperoleh pada subkultur 3 yaitu rata-rata 15 tunas/eksplan, sedangkan pada subkultur 1 rata-rata jumlah tunas hanya 7.5/eksplan, sangat berbeda nyata dengan subkultur 2 dan subkultur 3 (Gambar 8). Hal ini berarti semakin lama eksplan berada dalam media kultur yang mengandung BA dan NAA semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan, tetapi tidak demikian dengan jumlah nodul. Tabel 5. Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi Peubah Respon Tunas ** Nodul tn Keterangan : tn: tidak nyata, *: berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) jumlah tunas a 12.55b 7.58c SK 1 SK 2 SK 3 Gambar 8. Rata-rata jumlah tunas dari perlakuan BA dan NAA pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3. (SK: subkultur) Eksplan dalam media multiplikasi BA dan NAA memiliki laju multiplikasi yang terus meningkat dengan bertambahnya frekwensi subkultur (sampai 33

49 subkultur 3). Fiorino dan Loreti (1997) menyatakan bahwa jumlah tunas baru yang dihasilkan dari satu eksplan meningkat sampai subkultur ketiga atau keempat kemudian stabil Proporsi tunas terhadap Nodul Rekapitulasi hasil analisis ragam proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi ditunjukkan pada Tabel 6. Proporsi tunas terhadap nodul yang terbentuk pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dapat dilihat pada Tabel 7. Pada subkultur 1 perlakuan 0.5 µm NAA dan kontrol 100% menghasilkan tunas, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 4.44 dan 8.88 µm BA dengan atau tanpa tambahan NAA. Pada 2.0 µm NAA proporsi tunas hanya 31.1%, ini berarti jumlah nodul yang terbentuk lebih banyak dibandingkan jumlah tunas, tidak berbeda dengan perlakuan µm BA yang dikombinasikan 0.5 dan 1.0 µm NAA, dan µm BA yang dikombinasikan dengan 1.0 dan 2.0 µm NAA. Pada subkultur 1, semakin tinggi konsentrasi BA dan NAA semakin kecil proporsi jumlah tunas yang terbentuk, tetapi tidak demi kian dengan subkultur 1 dan subkultur 2. Tabel 6. Rekapitulasi hasil analisis ragam proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul antar subkultur pada media multiplikasi Proporsi tunas/nodul SK 1 SK 2 SK 3 BA ** tn tn NAA ** tn tn BA*NAA ** * ** Keterangan : tn: tidak nyata, *: berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Pada subkultur 2, tanaman kontrol tidak membentuk tunas maupun nodul. Perlakuan µm BA menghasilkan rataan proporsi jumlah tunas yang tinggi dan secara statistik tidak berbeda dengan adanya penambahan NAA atau tanpa NAA, kecuali untuk perlakuan 8.88 µm BA µm NAA menghasilkan proporsi tunas yang lebih rendah. Pada perlakuan µm BA, penambahan NAA meningkatkan proporsi jumlah tunas. Pada subkultur 3 proporsi tunas dari tanaman kontrol adalah 100%, tetapi tidak berbeda dengan beberapa perlakuan lainnya, seperti 2.0 µm NAA, 4.44 µm 34

50 BA + 0.0, 0.5, dan 2.0 µm NAA, 8.88 µm BA µm NAA. Perlakuan menghasilkan rataan proporsi tunas yang tidak berbeda dengan adanya penambahan NAA atau tanpa penambahan NAA. Sedangkan pada perlakuan µm BA menghasilkan rataan proporsi tunas yang lebih kecil. Tabel 7 Proporsi jumlah tunas (%) terhadap nodul dari perlakuan BA dan NAA pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkutur 3 umur 5 MST BA Proporsi jumlah tunas terhadap nodul Subkultur (µm) NAA (µm) a 100 a 94.3 ab 31.1 f ab 83.2 abc 74.0 abcde 72.4 abcde abc 77.0 abcde 80.4 abcd 75.7 abcde bcde 52.1 def 50.7 ef 59.2 cde bcde 70.4 bcde 50.6 ef 31.3 f Rata-rata abc 55.4 c 74.7 abc a 72.6 abc 75.9 abc 68.1 abc ab 70.2 abc 77.4 abc 65.1 bc c 78.8 abc 61.1 bc 71.2 abc c 66.6 abc 76.7 abc 74.8 abc Rata-rata a 59.5 e 72.7 cde 95.8 ab abc 90.6 abcd 77.7 bcde 80.5 abcd cde 80.2 abcd 89.4 abcd abcd 89.9 abcd 70.0 de 72.0 cde bcde 75.2 cde 71.3 cde -- Rata-rata Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Nilai rata-rata merupakan rataan dari µm BA, - tidak terbentuk tunas dan nodul, -- tanaman mati. Rata-rata proporsi tunas dari perlakuan BA tanpa tambahan NAA lebih tinggi dibandingkan dengan adanya penambahan NAA pada ketiga subkultur yaitu 81.9% pada subkultur 1, 75.2% pada subkultur 2 dan 85.6% pada subkultur 3. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan NAA pada media kultur menyebabkan munculnya nodul. Pengaruh subkultur terhadap proporsi jumlah tunas Proporsi jumlah tunas terhadap nodul antar subkultur sangat berbeda nyata, dimana subkultur 3, memberikan proporsi tunas paling tinggi yaitu 80.4%. 35

51 Proporsi jumlah tunas pada subkultur 1 dan subkultur 2 tidak berbeda nyata, dengan rataan proporsi tunas masing-masing adalah 69.2% dan 71.4% (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa sampai pada subkultur 3, terjadi peningkatan jumlah tunas tetapi tidak me mpengaruhi jumlah nodul. Dengan demikian perbanyakan tanaman nenas dapat dilakukan menggunakan sitokinin BA tanpa khawatir akan terbentuk banyak nodul, dengan harapan tanaman yang dihasilkan seragam. 84 Proporsi tunas b 71.49b 80.41a SK 1 SK 2 SK 3 Gambar 9. Proporsi jumlah tunas terhadap nodul antar subkultur (SK) Proporsi jumlah tunas terhadap nodul terus meningkat sampai pada subkultur ke 3, tetapi tidak demikian dengan proporsi jumlah nodul. Semakin sedikit proporsi jumlah nodul yang terbentuk mengindikasikan regenerasi tanaman terjadi secara langsung semakin banyak. Regenerasi tunas secara langsung umumnya menghasilkan tunas berukuran relatif besar, dapat membentuk akar dan merupakan tunas yang normal. Hal ini berarti media multiplikasi BA dan NAA dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman nenas Smooth Cayenne Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada media MS0 Dalam media perlakuan BA dan NAA dihasilkan tunas yang sangat kompak, dan banyak diantaranya berukuran relatif kecil, sehingga tunas tidak dapat langsung dipindah ke media pengakaran. Untuk pembesaran dan pemanjangan tunas, eksplan dipindah ke media MS0 terlebih dahulu sebelum diakarkan. Hasil analisi ragam jumlah tunas dari eksplan subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dalam media MS0 dapat dilihat pada Tabel 8. BA, NAA dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk dalam media dasar MS. 36

52 Pada subkultur 1 perlakuan µm BA µm NAA menghasilkan rata-rata tunas/eksplan pada 4 MST, dimana jumlah tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan 4.44 µm BA µm NAA dan perlakuan µm BA µm NAA, sedangkan jumlah tunas terendah diperoleh pada perlakuan 8.88 µm BA µm NAA dan 0.5 µm NAA µm BA yaitu 3.6 tunas/eksplan. Nilai ini lebih tinggi dari kontrol yang menghasilkan 0.2 tunas/eksplan. Tabel 8. Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dari ekplan subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dalam media MS pada 4 MST. Subkultur BA NAA BA*NAA 1 ** ** ** 2 ** ** ** 3 ** ** ** Keterangan : ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Tabel 9. Jumlah tunas dari ekplan subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3 dalam media MS pada 4 MST. Subkultur BA (µm) Rata-rata Jumlah Tunas NAA (µm) g 3.6 ef 7.8 abcd 5.2 cde abcd 11.2 a 4.0 def 6.2 bdef f 6.6 abcdef 9.4 abc 9.0 abc abcde 11.2 a 10.4 ab 5.6 abcdef abcdef 7.2 abcdef 10.6 ab 7.0 abcdef g 10.6 abcdef 15.0 ab 5.8 ef ef 17.6 a 5.0 f 6.4 ef cdef 10.6 abcde 9.7 def 10.0 abcdef ef 14.0 ab 12.6 abcd 10.0 abcdef bcdf 10.4 abcdef 13.4 abc 8.4 bcdef i 7.0 fgh 16.2 ab 9.0 defg gh 15.2 abc 4.4 h 8.2 efg defg 10.4 cdef 12.0 abcde defg 17.0 a 13.2 abcd 11.0 bcde defg 11.2 bcde 15.2 abc - Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%, - tidak ada pengamatan Nodul yang ditanam ke media MS0 80% berhasil membentuk tunas, sisanya membentuk nodul kembali. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari nodul pada media MS0 adalah 3-5 tunas/nodul pada 4 MST dan meningkat

53 tunas/nodul pada 8 MST (data tidak ditunjukkan). Teng (1997) melaporkan bahwa nodul baru dapat terbentuk dari nodul yang sudah tua, dan 70% dari nodul tersebut dapat membentuk tunas. Tunas dan nodul hasil perlakuan subkultur 2 yang di pindah ke media MS0 menghasilkan rataan jumlah tunas tunas/eksplan pada 4 MST. Perlakuan faktor tunggal BA menghasilkan rata-rata 6-9 tunas/eksplan, sedangkan perlakuan NAA faktor tunggal menghasilkan tunas/eksplan, dimana jumlah tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan 1.0 µm NAA. Jumlah tunas tertinggi dihasilkan pada perlakuan 4.44 µm BA µm NAA yaitu 17.6 tunas. Penambahan konsentrasi NAA pada 1.0 µm dan 2.0 µm menyebabkan penurunan jumlah tunas yaitu masing-masing 5.0 dan 6.4 tunas (Tabel 9). Pada subkultur 3 jumlah tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan µm BA µm NAA yaitu 17 tunas/eksplan. Rataan jumlah tunas terendah diperoleh dari perlakuan 4.44 µm BA µm NAA yaitu 4.4 tunas/eksplan, tetapi tidak berbeda secara statistik dengan perlakuan 0.5 µm NAA dan 4.44 µm BA. Sedangkan tanaman kontrol (media dasar MS) tidak menghasilkan tunas (Tabel 9). Pada subkultur 1, subkultur 2 dan subkultur 3, BA yang dikombinasikan dengan 0,5 µm NAA menghasilkan rataan jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, walaupun secara statistik tidak berbeda. Secara umum jumlah tunas yang dihasilkan pada media MS0 lebih rendah dibandingkan pada media perlakuan (multiplikasi). Laju multiplikasi nenas Smooth cayenne semakin meningkat dengan adanya penambahan tunas pada media MS Pengaruh subkultur terhadap jumlah tunas pada media MS0. Secara umum semakin sering frekwensi subkultur dilakukan semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Eksplan yang berasal dari subkultur 3 yang dipindah ke media MS0 memiliki rataan jumlah tunas yang lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan subkultur 2, tetapi berbeda sangat nyata dengan subkultur 1 yang menghasilkan rata-rata 7.0 tunas/eksplan. Hal ini berarti semakin lama eksplan berada dalam media yang B 38

54 mengandung sitokinin dan auksin, maka semakin banyak jumlah tunas yang terbentuk pada saat eksplan dipindah ke media dasar tanpa ZPT. 12 Rata-rata jumlah tunas a 10.16a 7.09b SK1-MS0 SK2-MS0 SK3-MS0 Gambar 10. Rata-rata jumlah tunas eksplan dari perlakuan BA dan NAA pada media MS0. SK1-MS0: eksplan dari subkultur 1, SK2-MS0: eksplan dari subkultur 2, SK3-MS0: eksplan dari subkultur 3 Eksplan yang telah diinduksi dalam media yang mengandung sitokinin dapat dipindah ke media lain tanpa zat pengatur tumbuh. Media ini hanya mengandung mineral dan sumber karbon seperti media dasar MS. Setelah melalui fase induksi dalam media yang mengandung sitokinin, sel akan memasuki fase diferensiasi kedua dalam medium MS0 yaitu perkembangan morfologis atau pembentukan organ (Mattjik 2005). Hasil perbanyakan pada media MS0 pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Nursandi (2005) pada kultivar Smooth Cayenne yaitu tunas/eksplan pada 17 MST dan pada kultivar Queen yaitu tunas/eksplan pada 11 MST dengan penambahan µm BAP. Perbedaan laju multiplikasi tersebut diduga karena perbedaan kultivar, sumber eksplan, metode, jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Kemampuan membentuk tunas adventif secara langsung dari jaringan eksplan berbeda pada tiap tanaman. Mudah tidaknya suatu tanaman membentuk tunas secara in vitro dapat dilihat dari kemampuannya diperbanyak secara vegetatif dilapang (in vivo). Perbedaan ini sangat terlihat jelas antara kultivar Cayenne dan Queen, dimana kultivar Queen menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak 8-12 tanaman (Sari 2002), sedangkan Cayenne hanya ma mpu membentuk kurang dari 3 anakan (Nakasone dan Paull 1999). Daya multiplikasi 39

55 nenas Smooth Cayenne lebih rendah bila dibanding varietas Queen. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe, media kultur, lingkungan tumbuh yaitu keadaan fisik ruang kultur dan fisiologi jaringan tanaman yang digunakan. Pertumbuhan dari kultur jaringan atau organ dan in vitro morfogenesis lebih dipengaruhi oleh genotipe, sumber jaringan atau organ yang digunakan dibandingkan dengan faktor lain. Tidak jarang antar varietas yang memiliki sifat dekat namun kebutuhan akan lingkungan dan medianya berbeda. Walaupun jarang orang memikirkan bahwa genotipelah yang berperan dalam inisiasi kultur, namun kemampuan eksplan untuk tumbuh dan berkembang secara nyata berbeda antara tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat, seperti yang dilaporkan oleh McComb dan Bennet (1982) dalam Wattimena et al. (1992) pada beberapa spesies Eucalyptus marginata memiliki daya tahan yang berbeda terhadap metode sterilisasi yang berbeda Pengaruh subkultur 1 dan subkultur 2 pada media perakaran Tahap multiplikasi dapat merupakan tahap pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar yang tumbuh dari mata tunas adventif secara bersama-sama (Wattimena et al. 1992). Tahap berikutnya adalah tahap pengakaran dari tunas adventif yang telah dihasilkan untuk mendapatkan planlet. Morfologi tanaman pada media perakaran ditunjukkan pada Gambar 11. Daun-daun baru yang terbentuk berwarna hijau hampir pada semua perlakuan. Akar mulai terbentuk pada 2 MST dengan morfologi yang kompak serta kuat. Pada akhir pengamatan kontaminasi yang terjadi sebesar 8.3%. Kontaminan yang ditemukan selama pengamatan adalah bakteri dan cendawan. Persentase kematian eksplan selama 5 MST sebesar 1.9%. Kematian pada eksplan ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan dan perkembangan eksplan, eksplan mengalami necrosis dan kemudian mati. Hasil analisis ragam pada media pengakaran ditunjukkan pada Tabel 10, dimana pada subkultur 1, perlakuan tunggal NAA dan BA tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, sedangkan interaksi BA dan NAA berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan jumlah daun. Pada subkultur 2, 40

56 panjang akar dipengaruhi oleh BA, NAA dan interaksi keduanya tetapi tidak mempengaruhi peubah lainnya mm BA mm BA+2 mm NAA Gambar 11. Morfologi tanaman pada media perakaran pada 5 MST. Tabel 10. Rekapitulasi hasil analisis ragam pada media pengakaran subkultur 1 dan subkultur 2 pada 5 MST Subkultur 1 Subkultur 2 Peubah Perlakuan BA NAA BA*NAA BA NAA BA*NAA Persentase eksplan Berakar tn tn tn tn tn tn Jumlah akar tn tn tn tn tn tn Panjang Akar tn tn * * * ** Tinggi Tanaman tn tn tn tn tn tn Jumlah Daun tn tn * tn tn tn Keterangan : tn: tidak nyata, *: berbeda nyata (a=5%), **: berbeda sangat nyata (a=1%) Persentase eksplan berakar, jumlah akar dan tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh BA, NAA dan interaksi keduanya. Hal ini diduga karena pemindahan eksplan pada media dasar MS merubah rasio auksin/sitokinin endogen pada eksplan. Pada subkultur 1 dan subkultur 2, 83.3%-100% eksplan mampu membentuk akar, dengan rata-rata 3,6-5,4 akar/eksplan pada subkultur 1 dan akar/eksplan pada subkultur 2. Demikian juga dengan tinggi tanaman, rata-rata tinggi tanaman berkisar cm pada subkultur 1 dan cm pada subkultur 2. Panjang Akar Rata-rata panjang akar dalam media pengakaran ditunjukkan pada Tabel 11. Pada subkultur 1 perlakuan µm BA µm NAA menghasilkan rata-rata 41

57 akar terpanjang yaitu 4.2 cm per eksplan, berbeda nyata dengan perlakuan µm BA µm NAA, 4.44 µm BA µm NAA dan 0.5 µm NAA tanpa BA, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada subkultur 2 akar terpanjang diperoleh pada kontrol, yaitu 4.01 cm dan tidak berbedanyata dengan perlakuan 4.44 µm BA, sedangkan akar terpendek adalah 2.14 cm diperoleh dari perlakuan µm BA µm NAA. Nursandi (2005) melaporkan bahwa penambahan BAP lebih dari 8.88 µm menyebabkan pemanjangan tunas terhambat dan tidak berakar. Rataan panjang akar dari subkultur 1 secara umum (hampir pada semua perlakuan) lebih tinggi dibandingkan subkultur 2, hal ini diduga karena eksplan dari subkultur 2 lebih lama berada dalam media yang mengandung sitokinin dibandingkan subkultur 1 sehingga kandungan sitokinin endogen pada eksplan juga lebih tinggi. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tinggi tanaman, jumlah akar dan jumlah daun pada subkultur 2 lebih rendah dari subkultur 1. Tabel 11. Pengaruh subkultur 1 dan subkultur 2 terhadap panjang akar dalam media pengakaran pada 5 MST. Subkultur BA (µm) Rata-rata panjang akar NAA (µm) abcd 2.8 bdc 3.7 abc 3.1 abcd ab 3.3 abcd 3.5 abc 2.6 dc abcd 3.2 abcd 3.2 abcd 2.9 abcd d 3.4 abcd 2.9 bdc 3.2 abcd abc 3.0 abcd 3.0 abcd 4.1 a a 3.2 bc 3.0 bcde 2.3 ef ab 2.8 bcde 3.1 bcd 3.1 bcd bcde 2.8 bcde 2.8 cdef 3.2 bc f 2.9 bcde 3.1 bcd def 2.7 cdef - - Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. tidak ada pengamatan. Pendeknya akar yang diperoleh diduga karena eksplan masih membawa pengaruh sitokinin (BA) dari media multiplikasi tunas sebelumnya. Fenomena ini secara umum sejalan dengan konsep klasik Skoog dan Miller (1957) tentang pengontrolan organogenesis in vitro, yaitu bahwa ratio yang tinggi antara 42

58 sitokinin dengan auksin merangsang multiplikasi tunas tetapi menghambat pengakaran, sedangkan kondisi sebaliknya akan merangsang pengakaran tetapi menghambat pembentukan tunas. Dari hasil percobaan ini ditemukan bahwa panjang akar yang pendek terdapat pada eksplan yang memiliki multiplikasi yang relatif tinggi yaitu perlakuan 8.88 µm BA µm NAA dan µm BA µm NAA (Gambar 12). Pada Gambar 12A dan 12B terlihat eksplan yang memiliki laju multiplikasi yang tinggi, tetapi jika di hubungkan dengan jumlah daun dan panjang akar, perlakuan ini menghasilkan jumlah daun yang relatif sedikit dan perakaran yang lebih pendek. Sedangkan pada Gambar 12D, tunas yang dihasilkan normal dengan ukuran sedang, tetapi multiplikasinya tidak terlalu banyak, dan jika dihubungkan dengan panjang akar dan jumlah daun, perlakuan ini menghasilkan akar yang panjang dan jumlah daun yang lebih banyak. Jumlah daun Rata-rata jumlah daun terbanyak pada subkultur 1 diperoleh dari perlakuan µm BA tanpa NAA yaitu 9.0 helai/eksplan, tidak berbeda nyata dengan 8.88 µm BA tanpa NAA yaitu 7.8 helai/eksplan dan µm BA tanpa NAA yaitu 7.39 helai/eksplan, sedangkan jumlah daun terendah diperoleh pada perlakuan 1.0 µm BA tanpa NAA yaitu 5.7 helai/eksplan. Planlet yang lebih vigor, adalah planlet yang memiliki jumlah dan lebar daun yang tinggi akan lebih tahan terhadap stres ex vitro (Gonzalez-olmedo et al. 2005). Pada media perakaran tidak terlihat perbedaan yang mencolok terhadap peubah yang diamati antar perlakuan, baik pada subkultur 1 maupun subkultur 2. Hal ini diduga karena sebelum diakarkan, eksplan terlebih dahulu dipindah ke media dasar MS untuk pembesaran dan pemanjangan, sehingga kandungan atau nisbah fitohormon berubah, diduga hal ini yang menyebabkan keseragaman yang diperoleh pada media perakaran. Pengaruh subkultur pada media pengakaran Pengaruh subkultur terhadap jumlah daun, jumlah akar, panjang akar dan tinggi tanaman sangat berbeda nyata antara subkultur 1 dan subkultur 2. Subkultur 43

59 1 memiliki nilai yang lebih tinggi terhadap semua peubah yang diamati dibandingkan subkultur 2 (Gambar 13). Tabel 12. Pengaruh subkultur 1 terhadap jumlah daun pada media perakaran 5 MST. Rata-rata jumlah daun BA NAA (µm) (µm) bc 6.7 bc 6.8 bc 6.7 bc c 7.7 abc 6.5 bc 6.3 bc abc 7.7 abc 5.7 c 7.0 abc a 7.5 abc 6.1 bc 6.3 bc abc 6.3 bc 6.3 bc 8.1 ab Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. A B µm BA µm NAA 8.88 µm BA µm NAA C D 2.0 µm NAA 4.44 µm BA Gambar 12. Multiplikasi pada tanaman nenas. [A-B] tunas dengan multiplikasi yang tinggi, [C] tunas tidak normal, primordia tunas dan akar tidak bisa dibedakan, [D] tunas normal Secara umum semakin lama eksplan berada dalam media yang mengandung BA dan NAA, semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan, tetapi semakin rendah kualitas tanaman yang dihasilkan. Rendahnya kualitas tanaman dilihat dari jumlah akar, jumlah daun, tinggi tanaman dan panjang akar yang terbentuk. 44

60 Tabel 13. Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah daun, jumlah akar, panjang akar dan tinggi tanaman antar subkultur pada media pangakaran Peubah Respon Jumlah daun ** Jumlah akar ** Panjang akar ** Tinggi tanaman ** Keterangan : tn: tidak nyata, *: berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Jumlah a 6.14b 4.4a 4.03b 5.37a 5.01b 3.23a 2.97b Jumlah daun Jumlah akar Tinggi tanaman Panjang akar SK 1 SK 2 Gambar 13. Rata-rata jumlah daun, jumlah akar, tinggi tanaman dan panjang akar antar subkultur pada media pengakaran. Semakin lama eksplan berada dalam media yang mengandung sitokinin, diduga kandungan sitokinin endogen eksplan akan semakin tinggi. Costa dan Dolan (2000) melaporkan bahwa sitokinin yang tinggi akan menyebabkan pemanjangan tunas terhambat dan tanaman sulit berakar. Pada tanaman Lentil (Lens culinaris) dilaporkan planlet yang berasal dari media yang mengandung 1.25 µm BAP dan 1.25 µm TDZ tidak membentuk akar saat dipindah kemedia MS tanpa zat pengatur tumbuh (Fratini dan Ruiz 2002). Jumlah akar, panjang akar, jumlah daun dan tinggi tanaman sangat berkaitan dengan vigoritas dan kemampuan planlet dalam penyerapan hara, dan kemampuan hidup planlet saat diaklimatisasi. Wattimena et al. (1992) dan Yusnita (2003) menyatakan bahwa ukuran eksplan berpengaruh nyata terhadap keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang berukuran besar lebih tahan saat dipindahkan ke dalam kondisi lapang dan memiliki pertumbuhan lebih cepat. 45

61 4.1.5 Aklimatisasi subkultur 1 dan subkultur 2 Aklimatisasi dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Proses adaptasi ini sangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat bertahan atau tidak pada kondisi in vivo. Umumnya hasil kultur jaringan yang akan diaklimatisasi harus mempuyai perakaran dan pertunasan yang proporsional. Aklimatisasi dilakukan setelah 5 minggu planlet berada dalam media pengakaran. Hasil analisis ragam saat aklimatisasi Tabel 14 menunjukkan bahwa pada subkultur 1 BA, NAA, dan interaksi BA dan NAA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dan persentase planlet hidup, sedangkan tinggi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi BA. Pada subkultur 2 Persentase planlet hidup dipengaruhi oleh konsentrasi NAA, dan tinggi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi BA dan NAA, sedangkan jumlah daun tidak berpengaruh nyata. Ratarata jumlah daun pada subkultur 1 adalah 8.0 helai/planlet. Jumlah daun yang dihasilkan berkisar dari helai/planlet. Sedangkan pada subkultur 2 jumlah daun yang dihasilkan lebih sedikit yaitu berkisar helai. Tabel 14. Rekapitulasi hasil analisis ragam pada aklimatisasi Subkultur 1 Subkultur 2 Peubah Perlakuan Perlakuan BA NAA BA*NAA BA NAA BA*NAA Persentase hidup planlet tn tn tn tn * tn Jumlah daun tn tn tn tn tn tn Tinggi tanaman tn tn tn * * tn Keterangan : tn : tidak nyata, * : berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Persen hidup Pada subkultur 1 sampai 12 MSA, persen hidup planlet berkisar %. Dimana persen hidup terkecil diperoleh dari perlakuan µm BA µm NAA, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada subkultur 2 persen hidup planlet dipengaruhi oleh konsentrasi NAA. Perlakuan 0.5 µm NAA menghasilkan persen hidup planlet terkecil yaitu 44.4%, sedangkan 46

62 perlakuan 1.0 µm NAA menghasilkan persen hidup planlet yang tinggi yaitu 88.8% dan tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol yang memiliki 83.3% (Gambar 14) a 88.89a ab Persen hidup b Konsentrasi NAA Gambar 14. Persen hidup planlet subkultur 2 pada saat aklimatisasi Tinggi Tanaman Pada subkultur 1, rata-rata tinggi tanaman pada 12 MSA adalah 7.6 cm. Tinggi tanaman yang dihasilkan berkisar dari cm. Pada subkultur 2 tinggi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi BA dan NAA faktor tunggal. Semakin tinggi konsentrasi BA yang ditambahkan, semakin pendek tanaman yang dihasilkan (Gambar 15A). Tinggi tanaman A 6.97a 5.38ab 4.86b 4.59b Tinggi tanaman B 6.97ab 6.29b 7.04ab 7.15a Konsentrasi BA konsentrasi NAA Gambar 15. Tinggi tanaman pada subkultur 2. [A] pengaruh konsentrasi BA (µm), [B] Pengaruh konsentrasi NAA (µm) 47

63 Perlakuan kontrol memberikan rataan tinggi tanaman tertinggi dan tidak berbeda nyata degan perlakuan 4.44 µm BA. Pada NAA faktor tunggal tanaman terendah diperoleh dari penambahan 0.5 µm NAA, tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol dan penambahan 1.0 µm NAA yang menghasilkan tanaman lebih tinggi (Gambar 15B). Pengaruh subkultur pada saat aklimatisasi Hasil analisis ragam antar subkultur pada saat aklimatisasi ditunjukkan pada Tabel 15. Tinggi tanaman, jumlah daun dan persen hidup planlet sangat berbeda nyata antar subkultur. Subkultur 1 memberikan tinggi tanaman, jumlah daun dan persen hidup yang lebih tinggi dibandingkan subkultur 2. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama eksplan berada dalam media multiplikasi BA dan NAA, maka kualitas tunas yang dihasilkan semakin rendah dan persen hidup atau kemampuan planlet untuk survive juga semakin rendah. Tabel 15. Rekapitulasi hasil analisis ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan persen hidup antar subkultur pada saat aklimatisasi Peubah Respon Tinggi tanaman ** Jumlah daun ** Persen hidup ** Keterangan : ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Jumlah a 7.08b Jumlah daun SK1 7.59a 6.34b Tinggi tanaman SK2 % Hidup Planlet SK 1 SK 2 4 MSA 8 MSA 12 MSA Gambar 16. Jumlah daun, tinggi tanaman dan persen hidup planlet pada subkultur 1 dan subkultur 2. 48

64 Persen hidup planlet dipengaruhi oleh kondisi planlet seperti panjang akar, jumlah akar, jumlah daun dan tinggi tanaman. Panjang dan jumlah akar akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara, sedangkan jumlah daun dan tinggi tanaman berpengaruh terhadap kemampuan tanaman berfotosintesis dan vigoritas Pada tanaman Ixora cocinea L. dilaporkan subkultur berulang pada media BA menyebabkan terjadinya akumulasi sitokinin, dan menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas tidak normal (Lakshmanan et al. 1997). Pada konsentrasi tinggi, sitokinin mendorong proliferasi, sebaliknya menghambat pembentukan akar. Pada Cymbidium sinensis willd sitokinin pada konsentraasi tinggi menghambat pemanjangan tunas dan inisiasi akar (Chang dan Chang 2000). 49

65 4.2 Pengaruh TDZ dan NAA terhadap multiplikasi nenas Smooth Cayenne klon Curug Rendeng Kondisi umum kultur Eksplan pada semua perlakuan telah menunjukkan respon pada 1 MST, ditandai dengan pembengkakan pada pangkal atau dasar eksplan yang diikuti dengan pembentukan nodul berwarna hijau keputihan, kemudian nodul pecah dan muncul daun (Gambar 17). Nodul adalah kumpulan sel yang menunjukkan suatu pola diferensiasi jaringan dan sel internal yang konsisten (Teng 1997). Kalus mulai terbentuk pada minggu ketiga. Tunas yang terbentuk pada 1 MST adalah 9.4% dan meningkat menjadi 76.8% pada 6 MST. Nodul yang terbentuk pada 2 MST adalah 31.7% dan pada 6 MST adalah 78.5%. Secara umum, persentase kontaminasi sampai 5 MST adalah 5.5%, dimana kontaminasi paling banyak terjadi pada minggu pertama, yaitu 3.8%. Hasil analisis ragam pada Tabel 16 menunjukkan bahwa TDZ tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah nodul. NAA berpengaruh sangat nyata terhadap pembentukan tunas dan nodul, sedangkan interaksi TDZ dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan sangat nyata terhadap jumlah nodul. Tabel 16. Rekapitulasi hasil analisis ragam jumlah tunas dan jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Peubah Perlakuan TDZ NAA TDZ*NAA Tunas tn ** * Nodul ** ** ** Keterangan : tn : tidak nyata, * : berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Regenerasi dan multiplikasi Tunas Perlakuan TDZ pada 5 taraf konsentrasi yang dikombinasikan dengan 4 taraf konsentrasi NAA mampu menginduksi pembentukan tunas sejak 1 MST. Tunas yang terbentuk merupakan tunas adventif dan tunas aksilar. Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk tidak pada tempatnya. Pada kasus ini tunas adventif terbentuk dari nodul, sedangkan tunas aksilar adalah tunas yang terbentuk dari 50

66 ketiak daun. TDZ menginduksi tunas tanpa meristem apikal (Gambar 17D). Akasaka et al. (2000) melaporkan pada tanaman kacang tanah yang diinduksi dengan TDZ menghasilkan tunas tanpa meristem apikal dan jaringan vaskular yang tidak terorganisir sehingga menghasilkan tunas multiple yang kompak. A B C D Gambar 17. Proses organogenesis pada tanaman nenas Smooth Cayenne. [A-B] pembengkakan pada dasar eksplan dan terbentuk nodul, [C] nodul mulai pecah, [D] tunas yang terbentuk dari nodul. Interaksi TDZ dan NAA berpengaruh nyata terhadap pembentukan tunas dan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah nodul. Rataan jumlah tunas tertinggi (13.25 tunas/eksplan) diperoleh pada perlakuan 0.1 µm TDZ µm NAA, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan µm TDZ µm dan 2.0 µm TDZ, 0.5 µm TDZ tanpa tambahan NAA, 0.05 µm, 1.0 µm dan 2.0 µm TDZ µm NAA (Tabel 17). Penambahan 0.05 µm TDZ tanpa tambahan NAA atau dengan tambahan NAA menghasilkan rataan jumlah tunas yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain yang juga menghasilkan rataan jumlah tunas yang tinggi. Efektivitas TDZ dan NAA dalam menginduksi tunas pada perbanyakan in vitro tergantung pada jenis tanaman, jenis eksplan dan konsentrasi TDZ dan NAA yang digunakan. 51

67 Tabel 17. Rata-rata jumlah tunas eksplan dari media perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST TDZ (µm) Rata-rata Jumlah Tunas NAA (µm) fg 3.4g 7.3bcdefg 9.2abcd efg 12.8abc 7.0abcdef 9.9abcde defg 6.3abcde 10.9a 13.2ab abcdef 5.4abcdef 4.2defg 13.0abcde cdefg 6.4abcdef 4.5efg 9.3abcde efg 7.5abcdef 8.6abcdef 5.4bcdefg Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Pada konsentrasi tinggi, selain penurunan jumlah tunas, morfologi tunas yang dihasilkan menunjukkan gejala tidak normal seperti tanaman yang berukuran kecil, panjang dan lebar daun yang lebih kecil, daun agak keriting, mengalami penebalan dan agak rapuh sehingga mudah rusak. Selain itu, juga dihasilkan 5 tanaman varigata dari 3929 planlet atau sekitar 0.12% dari total planlet hasil perbanyakan menggunakan TDZ dan NAA. Bentuk varigata yang ditemukan bervariasi seperti, adanya garis putih ditengah daun, garis putih di sisi daun atau seluruh permukaan daun berwarna putih atau albino (Gambar 18). Ketidak normalan tanaman ini juga pernah dilaporkan oleh Gribaudo dan Fronda (1991) pada tanaman anggur, penggunaan TDZ 0.1 µm atau lebih menghasilkan tanaman yang tidak normal, seperti gejala vitrifikasi (suatu kondisi fisiologis in vitro yang menyebabkan disorganisasi seluler), bentuk daun yang memanjang, penyok (bentuk yang tidak beraturan), munculnya thocyanins, dan terjadinya penebalan pada daun. Nursandi (2005) melaporkan pada nenas kultivar Queen penggunaan TDZ µm menghasilkan variasi berupa tanaman varigata, roset, tanaman berdaun kecil dan kaku, tetapi variasi tersebut dapat hilang (tanaman menjadi normal kembali), seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan, semakin banyak tanaman tidak normal yang dihasilkan, dan juga TDZ memiliki efektivitas pada kisaran konsentrasi yang sempit (Thomas dan Katterman 1986). Rasio auksin dan sitokinin sangat menentukan arah dari perkembangan kultur, apakah suatu kultur akan membentuk kalus atau tunas adventif (Binns 1994; Wattimena et al. 1992). TDZ dilaporkan memiliki efektivitas yang tinggi 52

68 pada konsentrasi rendah (Thomas dan Katterman 1986; Murthy et al. 1995) sehingga untuk induksi tunas adventif mungkin membutuhkan konsentrasi auksin (NAA) yang lebih tinggi agar rasio endogen auksin/sitokinin seimbang dan tepat untuk induksi tunas. A B C D E F Gambar 18. Morfologi tunas pada perlakuan TDZ. [A] TDZ konsentrasi 1 µm, [B] TDZ konsentrasi 0.1 µm, [C] TDZ konsentrasi 0.1 µm dalam media MS0-2, [D-F] tunas tidak normal Nodul Semua kultur yang diberi tambahan TDZ mulai membentuk nodul pada 1 MST. TDZ, NAA dan interaksi TDZ dan NAA berpengaruh sangat nyata terhadap pembentukan nodul. Interaksi TDZ dan NAA menginduksi pembentukan nodul lebih banyak dibandingkan tanpa NAA. Jumlah nodul tertinggi diperoleh pada perlakuan 2.00 µm TDZ µm NAA (40.7 nodul/eksplan), dan terendah pada 0.05 µm TDZ µm NAA (3.0 nodul/eksplan). Semakin tinggi konsentrasi TDZ dan NAA semakin banyak jumlah nodul yang terbentuk. Pada semua taraf TDZ yang diberi tambahan 2.00 µm NAA menghasilkan rataan nodul yang lebih tinggi dibandingkan dua taraf NAA lainnya (0.50 µm dan 1.00 µm) (Tabel 18). Nodul pada nenas memiliki karakter yang sama dengan kalus, dimana kalus dapat berproliferasi membentuk nodul baru dan beregenerasi menjadi tunas. 53

69 Nodul baru terbentuk dari nodul yang sudah tua dan sekitar 70% dari nodul dapat membentuk tunas (Teng 1997). Tabel 18. Rata-rata jumlah nodul eksplan dari media perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Rata-rata Jumlah Nodul TDZ (µm) NAA (µm) w 0.0x 2.3u 15.6j v 10.1p 3.0s 16.9g t 19.9e 12.3l 18.5h m 11.7o 11.7q 32.2b k 10.0n 16.6i 26.6c r 26.5d 24.2f 40.7a Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. TDZ faktor tunggal tanpa NAA menghasilkan rataan jumlah tunas dan jumlah nodul yang lebih sedikit dibandingkan jika TDZ dikombinasikan dengan NAA. Dari hasil tersebut terlihat TDZ dan NAA saling menguatkan dalam induksi nodul. Kombinasi sitokinin dan auksin merupakan faktor penting dalam multiplikasi tunas, hal tersebut mungkin yang menyebabkan rendahnya tingkat multiplikasi yang dihasilkan pada perlakuan TDZ tanpa tambahan NAA. Penggunaan TDZ pada konsentrasi rendah, pada kasus ini (0.05 µm dan 0.1 µm) tanpa penambahan NAA dapat menginduksi tunas tanpa membentuk kalus, hal serupa juga pernah dilaporkan pada tanaman chickpea (Mondal et al ) Proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul Hasil analisis ragam proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST ditunjukkan pada Tabel 19. TDZ, NAA dan interaksi keduanya sangat mempengaruhi proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul. Perlakuan 0.5 µm NAA tanpa TDZ 100% membentuk tunas, tidak berbeda nyata dengan kontrol dan perlakuan 1.0 µm NAA tanpa TDZ, 0.05 µm TDZ tanpa tambahan NAA atau dengan tambahan 0.5 µm dan 1.0 µm NAA, dan perlakuan 0.10 µm TDZ tanpa NAA. Proporsi jumlah tunas terkecil diperoleh dari perlakuan 2.0 µm TDZ µm NAA dan tidak berbeda nyata dengan beberapa 54

70 perlakuan lainnya (Tabel 20). Rata-rata proporsi jumlah tunas perlakuan TDZ tanpa NAA lebih tinggi dibandingkan perlakuan TDZ yang dikombinasikan dengan NAA. Tabel 19. Rekapitulasi hasil analisis ragam proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST Proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul Respon TDZ ** NAA ** TDZ*NAA ** Keterangan : ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Tabel 20. Proporsi jumlah tunas terhadap jumlah nodul dari perlakuan TDZ dan NAA pada 5 MST TDZ (µm) Proporsi jumlah tunas (%) NAA (µm) a 100 a 94.3 a 31.1 cdefg ab 59.1 abcde 64.0 abc 27.4 defg abcd 22.4 defg 38.4 cdefg 40.6 bcdefg defg 28.7 defg 20.3 fg 26.8 cdefg fg 27.4 efg 19.4 fg 21.8 efg fg 18.0 fg 24.3 defg 9.7 g Rata-rata Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Secara umum semakin besar konsentrasi TDZ dan NAA yang digunakan semakin kecil proporsi jumlah tunas yang dihasilkan, hal ini berarti semakin banyak nodul yang terbentuk. Dari penjelasan diatas terlihat TDZ dan NAA secara bersama-sama saling menguatkan terhadap pembentukan nodul. Seperti terlihat pada Gambar 19, perlakuan 2.0 µm TDZ µm NAA menghasilkan proporsi jumlah nodul yang lebih banyak daripada tunas, sedangkan pada konsentrasi rendah (0.05 µm TDZ) jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak daripada jumlah nodul. 55

71 A B C 0.05 mm TDZ 2.0 mm TDZ mm NAA 0.1 mm TDZ mm Gambar 19. Morfologi eksplan hasil perlakuan TDZ. [A] proporsi tunas lebih banyak daripada nodul, [B] proporsi nodul lebih banyak dari pada tunas, [C] proporsi tunas dan nodul hampir sama Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA dalam media MS0 Eksplan dari perlakuan TDZ sebagian disubkultur ke media perlakuan yang sama dan sebagian lagi ke media MS0 (tanpa penambahan ZPT). Eksplan yang disubkultur pada media yang sama 100% membentuk kalus pada minggu ke 2 (data tidak ditunjukkan). Sedangkan eksplan yang dipindah ke media MS0, justru memiliki laju multiplikasi yang tinggi. Nodul yang berasal dari perlakuan µm TDZ dalam media MS0 sebagian besar membentuk tunas, sedangkan pada konsentrasi µm TDZ yang dipindah ke media MS0 sebagian besar mengalami necrosis atau pencoklatan dan jika dibiarkan lebih lama dalam media tersebut eksplan akan mati. Wattimena (1992) menyatakan bahwa kandungan sitokinin yang tinggi menyebabkan stomata terus membuka, sehingga respirasi tanaman tinggi dan menyebabkan kematian tanaman. Selain itu TDZ pada konsentrasi tinggi dapat menginduksi sintesis etilen (Yip dan Yang 1986). Etilen yang tinggi dapat menyebabkan necrosis pada tanama n. Jumlah tunas yang dihasilkan pada media MS0 lebih banyak dibandingkan pada saat dimedia perlakuan TDZ dan NAA. Perlakuan 0.05 µm TDZ µm NAA yang dipindah kemedia MS0 menghasilkan 22 tunas/eksplan pada 4 MST (Tabel 21). Sedangkan pada media TDZ dan NAA, perlakuan ini hanya menghasilkan 7 tunas/eksplan dan 3.08 nodul/ekplan pada 5 MST (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat multiplikasi nenas pada media MS0 setelah dikulturkan pada media MS yang diberi tambahan TDZ lebih tinggi dibandingkan jika dalam media yang mengandung TDZ. Tunas yang terbentuk dalam media 56

72 MS0, berukuran lebih kecil dan sangat kompak, sehingga sulit dipisahkan satu sama lain. Pada konsentrasi TDZ dan NAA yang tinggi masih terbentuk nodul, dan jika nodul dibiarkan pada media MS0 lebih dari 4 MST nodul akan mengalami necrosis atau pencoklatan dan kemudian mati, hal tersebut diduga karena kandungan sitokinin yang terdapat pada tanaman masih tinggi, sehingga harus di subkultur ke media MS0-2. Tabel 21. Rata-rata jumlah tunas pada media MS0-1 dan MS0-2 pada 4 MST setelah dikultur pada media TDZ dan NAA. Subkultur TDZ NAA (µm) (µm) abc 18.2ab 22.0a 19.0ab ab 16.2abc 12.0abc 14.4abc c 20.3ab 6.6bc 17.4abc de 19.0bcde 32.2a 25.0abc cde 21.1abcd 20.0abcd 29.0abc e 22.0abc 28.0abc 31.0ab Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Pada media MS0-2, eksplan masih mengalami regenerasi dan multiplikasi yang cukup tinggi. Pada konsentrasi TDZ dan NAA yang tinggi respon yang sama pada MS0-1 juga terlihat di MS0-2, tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, jumlah tunas/botol pada tiap perlakuan sangat banyak, dan masih terbentuk nodul, hal ini diduga karena kandungan sitokinin endogen masih tinggi, sehingga perlu dilanjutkan ke MS0-3 agar tunas lebih besar dan memanjang. Sedangkan pada konsentrasi yang lebih rendah, jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, ukurannya lebih besar dan tidak ada nodul yang terbentuk sehingga dapat dilanjutkan ke media perakaran. Penambahan TDZ (thidiazurona) pada media kultur menginduksi pembentukan sitokinin endogen pada tanaman. Thomas dan Katterman (1986) melaporkan pada ekstrak kalus kedelai yang dikulturkan pada media dengan tambahan TDZ mg/l, menunjukkan peningkatan beberapa jenis sitokinin endogen yaitu AMP (adenosine 5 -monophosphate), ZG (zeatin glucoside), ZR (zeatin riboside), 2iP (N 6-2 -isopentenyl]adenosine). Sehingga jika tetap dibiarkan 57

73 dalam media yang mengandung TDZ tanaman akan mengalami necrosis dan kemudian mati, hal ini diduga karena kandungan sitokinin yang semakin tinggi Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA pada media pengakaran Tunas hasil multiplikasi sebelum disubkultur ke media pengakaran (MS µm NAA) terlebih dahulu disubkultur ke media MS0 sebanyak dua kali untuk pembesaran tunas dan merangsang pembentukan akar. Nursandi (2005) menyatakan bahwa sitokinin (BAP dan TDZ) dapat menghambat pembentukan akar secara spontan pada konsentrasi tertentu. Akar dapat diinduksi dengan mensubkultur ke media pengakaran yaitu MS µm NAA untuk eksplan yang berasal dari BAP, sedangkan yang berasal dari TDZ sebelumnya disubkultur ke media MS0 dua kali. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ, NAA dan interaksi antara TDZ dan NAA tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tunas berakar, jumlah akar, dan jumlah daun sampai 5 MST. Tetapi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dan tinggi tanaman (Tabel 22). Pada 5 MST semua perlakuan mampu membentuk akar (94,4-100%) dengan rata-rata 4.0 akar/tunas. Persen tunas berakar dan jumlah akar yang dihasilkan tidak berbeda pada semua perlakuan demikian juga dengan jumlah daun, rata-rata jumlah daun yang dihasilkan adalah 5.7 daun/eksplan. Tabel 22. Rekapitulasi hasil analisis ragam perlakuan TDZ dan NAA dalam media pengakaran pada 5 MST. Peubah Perlakuan TDZ NAA TDZ* NAA Persentase Tunas berakar tn tn tn Jumlah Akar tn tn tn Panjang Akar * ** * Jumlah Daun tn tn tn Tinggi Tanaman ** ** ** Keterangan : tn : tidak nyata, * : berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Persen pembentukan akar yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari tanaman anggur yang hanya mampu membentuk akar 12-64% pada konsentrasi µm TDZ (Gribaudo dan Fronda 1991). Penambahan auksin 58

74 eksogen (0.5 µm NAA) pada media pengakaran diduga mampu merubah keseimbangan hormonal tunas, sehingga tunas tersebut akan lebih responsif. Alasan lain tingginya persen pembentukan akar adalah karena subkultur berulang pada media MS0 sehingga menurunkan kandungan sitokinin endogen tanaman. Tunas yang berasal dari media multiplikasi dengan kombinasi 0.5 µm TDZ µm NAA memberikan rata-rata panjang akar terpanjang, yaitu 3.79 cmtidak berbeda nyata dengan perlakuan µm TDZ µm NAA, 0.05 µm TDZ µm NAA, 0.5 dan 2.0 µm NAA tanpa TDZ. Tetapi berbeda nyata dengan kombinasi 0.10µM TDZ µm NAA dan 0.5 µm TDZ µm NAA yang memberikan rata-rata panjang akar terpendek, yaitu 1.7 cm dan 1.9 cm. Peningkatan konsentrasi TDZ akan cenderung menurunkan panjang akar. Menurut Murthy et al. (1995) penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro akan meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan auksin endogen. Sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan berpengaruh negatif yaitu pembengkakan akar dan pertumbuhan akar terhenti (Fratini dan Ruiz 2002). Tunas yang berasal dari media kontol memberikan rata-rata panjang akar yang tidak berbeda nyata dengan kombinasi 0.05 µm TDZ µm NAA memberikan rata-rata panjang akar yang sama, yaitu 3.6 cm/tunas pada media pengakaran (Tabel 23). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan, semakin pendek akar yang terbentuk. Tabel 23. Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA terhadap panjang akar dalam media pengakaran pada 5 MST TDZ (µm) Rata-rata panjang akar NAA (µm) bc 2.9ab 3.3ab 3.5ab ab 3.6bc 3.2ab 3.3ab ab 2.5bc 3.2ab 1.9c ab 2.5bc 3.7a 1.7c Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Tinggi tanaman merupakan ukuran yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai peubah yang digunakan untuk mengukur 59

75 pengaruh lingkungan atau perlakuan yang dicobakan. Penambahan tinggi eksplan disebabkan oleh dua proses yaitu pembelahan dan pemanjangan sel. Kedua proses ini terjadi pada jaringan meristem, yaitu pada titik tumbuh batang. Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan pada akhir percobaan, yaitu minggu ke-5. Hasil analisis ragam pada Tabel 20. menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ, NAA dan interaksi antara TDZ dengan NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman tertinggi diperoleh dari media multiplikasi 0.05 µm TDZ tanpa NAA, yaitu 5.6 cm, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0.1 µm TDZ tanpa NAA, 2.0 µm NAA tanpa TDZ dan kontrol. (Tabel 24). Sedangkan tanaman terpendek diperoleh dari perlakuan 0,5 µm TDZ + 2 µm NAA, yaitu 3.6 cm, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0.5 µm TDZ µm NAA, 0.1µM TDZ µm NAA. Peningkatan konsentrasi TDZ dan NAA cenderung menurunkan tinggi tanaman, hal serupa juga dilaporkan Gribaudo dan Fronda (1991) pada tanaman anggur peningkatan konsentrasi 0.1 µm atau lebih menyebabkan pemendekan pucuk. Hal tersebut diduga karena selain NAA yang ditambahkan pada media pengakaran, tanaman juga mempunyai auksin endogen yang terbawa dari media multiplikasi sebelumnya sehingga diduga terjadi akumulasi auksin. Konsentrasi auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi produksi etilen dan menekan pemanjangan tunas (Thomas dan Katterman 1986; Yip dan Yang 1986). Tabel 24. Pengaruh perlakuan TDZ dan NAA terhadap tinggi tanaman dalam media pengakaran pada 5 MST TDZ (mm) Rata-rata tinggi tanaman NAA (mm) abc 4.7bde 5.3abc 5.6a a 4.9abcd 4.5cde 4.9abcd ab 4.3def 4.0ef 4.2def abcd 4.3def 5.2abc 3.6f Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. 60

76 4.2.5 Aklimatisasi perlakuan TDZ dan NAA Aklimatisasi adalah tahap pemindahan planlet dari kondisi buatan (in vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) dari keadaan heterotrop ke keadaan autotrop. Agar planlet dapat bertahan hidup dibutuhkan perakaran yang cukup kuat dan panjang. Akar yang kuat dibutuhkan untuk tetap menjaga ketahanan planlet terhadap pengaruh lingkungan saat planlet tersebut pindah ke lapangan. Tabel 25. Rekapitulasi hasil analisis ragam saat aklimatisasi Perlakuan Peubah TDZ NAA TDZ*NAA Persentase Planlet Hidup tn tn tn Jumlah Daun tn tn tn Tinggi Tanaman tn tn tn Keterangan : tn : tidak nyata, * : berbeda nyata (a=5%), ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Planlet diaklimatisasi setelah 5 minggu di media pengakaran. Jumlah planlet saat aklimatisasi 279 planlet. Setelah 4 minggu diaklimatisasi terjadi kematian yang cukup tinggi hanya 60.4% tanaman yang mampu bertahan hidup. Hasil analisis sidik ragam (Tabel 25) menunjukkan interaksi TDZ dan NAA tidak berbeda nyata terhadap persen planlet hidup, jumlah daun dan tinggi tanaman. Rata-rata jumlah daun yang dihasilkan 5.5 daun/eksplan tidak berbeda dengan kontrol 5.3 daun/eksplan. Rata-rata tinggi tanaman adalah 4.5 cm, lebih rendah dari tanaman kontrol yaitu 5.0 cm. 61

77 4.3 PEMBAHASAN UMUM Dari percobaan ini diperoleh dua metode perbanyakan tunas yaitu secara langsung dan tidak langsung (melalui nodul). Dalam perbanyakan langsung, eksplan yang meristematik akan langsung membentuk tunas adventif, sedangkan pada diferensiasi tidak langsung ekplan akan tumbuh menjadi kalus/nodul yang meristematik terlebih dahulu sebelum membentuk tunas. Tunas yang terbentuk secara langsung umumnya berukuran relatif besar dan dapat langsung membentuk akar, sedangkan tunas yang terbentuk melalui nodul umumnya berukuran relatif kecil, kompak dan padat. Pada perlakuan BA dan NAA secara umum proporsi tunas lebih banyak dibandingkan nodul, sehingga untuk perbanyakan tunas secara langsung metode ini lebih baik dibandingkan perlakuan TDZ dan NAA yang lebih banyak menghasilkan proporsi nodul dibandingkan tunas. Tetapi perlakuan TDZ dan NAA berpotensi untuk pengembangan perbanyakan tunas melalui nodul. Perlakuan auksin tanpa tambahan sitokinin (BA dan TDZ), menghasilkan tunas dengan dominasi apikal (Gambar 4), sedangkan pada perlakuan yang diberi tambahan sitokinin, terutama BA pada konsentrasi tinggi dan TDZ menghasilkan tunas tanpa dominasi apikal (Gambar 5, 7 dan 19). Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa, pengaruh dominasi apikal dapat dihilangkan dengan penambahan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin) ke dalam medium kultur. Sebagai hasilnya adalah tunas yang kompak dan padat dimana umumnya tidak terdapat tunas apikal. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Akasaka et al. (2000) pada tanaman Arachis hypogeae yang diberi perlakuan TDZ menghasilkan tunas tanpa meristem apikal. Tunas dan nodul mulai terbentuk pada minggu pertama, baik pada perlakuan yang mengandung BA maupun TDZ. Mercier et al. (2003) melaporkan rasio auksin/sitokinin endogen menurun pada hari ketiga setelah kultur, dimana kandungan ip endogen meningkat, hal ini diduga sebagai pendorong induksi nodul, yang selanjutnya akan berkembang membentuk tunas. Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman Garcinia mangostana, penambahan BA menyebabkan, peningkatan ip dan ipr endogen sehingga, rasio auksin/sitokinin menurun pada hari ke 6 setelah induksi (Lakshamanan et al dalam Mercier et al. 2003). 62

78 Panambahan BA dan NAA pada berbagai taraf konsentrasi pada media kultur akan membentuk nodul dan tunas pada tanaman nenas (Wasaka 1989) dikutip (Marcier et al. 2003). Tabel 26 Hasil uji T dari perlakuan BA dan NAA Vs TDZ dan NAA terhadap jumlah tunas dan jumlah nodul pada media multiplikasi, Jumlah daun, tinggi tanaman, dan panjang akar pada media pengakaran, dan persen hidup saat diaklimatisasi. Peubah Respon Jumlah tunas tn Jumlah nodul ** Jumlah daun ** Tinggi tanaman tn Panjang akar tn Persen hidup ** Keterangan : tn : tidak nyata, ** : berbeda sangat nyata (a=1%) Hasil uji T antara perlakuan BA dan NAA dan TDZ dan NAA ditunjukan pada Tabel 26. TDZ yang dikombinasikan dengan 4 taraf NAA tidak berbeda nyata dengan BA yang dikombinasikan dengan 4 taraf NAA terhadap jumlah tunas, tinggi tanaman dan panjang akar, tetapi berbeda sangat nyata terhadap jumlah nodul, jumlah daun dan persen hidup planlet saat diaklimatisasi. Dari hasil tersebut untuk induksi tunas, TDZ tidak berbeda dengan BA, tetapi perlakuan TDZ dan NAA menghasilkan lebih banyak nodul yang berarti menghasilkan calon atau bakal tunas yang banyak. Tetapi kualitas tunas yang dihasilkan rendah, hal ini terlihat dari jumlah daun dan persen hidup planlet yang rendah. Akan tetapi kelemahan tersebut masih bisa diatasi dengan mengsubkultur tunas yang berasal dari perlakuan TDZ dan NAA beberapa kali ke media MS0 untuk pembesaran dan pemanjangan tunas. Eksplan dalam media multiplikasi BA dan NAA memiliki laju multiplikasi yang terus meningkat dengan bertambahnya frekwensi subkultur, tetapi tidak demikian dengan perlakuan TDZ dan NAA. Penambahan µm BA yang dikombinasikan dengan 3 taraf NAA (0.5, 1.0, 2.0 µm) menghasilkan tunas/eksplan pada subkultur 1, tunas/eksplan pada subkultur 2 dan tunas/eksplan pada subkultur 3 (Tabel 2). Sangat berbeda dengan perlakuan TDZ, subkultur berulang akan membentuk nodul dan kalus 63

79 pada 2 MST, yang kemudian mengalami necrosis dan jika dibiarkan lebih lama (lebih dari 4 MST) maka tunas dan nodul tersebut akan mati, sehingga perlu dipindah ke media tanpa ZPT (data tidak ditunjukkan). Hasil yang sama juga pernah dilaporkan pada tanaman Camellia sinensis, subkultur berulang pada media yang mengandung TDZ tidak akan menginduksi tunas tetapi bila disubkultur ke media MS0 akan menghasilkan banyak tunas (Mondal et al. 1998). Dalam perbanyakan in vitro, subkultur berulang sering dilakukan untuk memproduksi tunas dalam jumlah banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subkultur berulang dalam media BA dan NAA dapat meningkatkan jumlah tunas, tetapi pertumbuhan tunas terhambat dengan semakin tinggi frekwensi subkultur yang dilakukan. Nielsen et al. (1995) menyatakan bahwa pada Miscanthus X ogiformis Giganteus, subkultur berulang pada media yang mengandung sitokinin (BA atau TDZ) akan menghambat pertumbuhan tunas tetapi multiplikasi meningkat. Jumlah tunas baru yang dihasilkan dari satu eksplan meningkat sampai subkultur ketiga atau keempat kemudian stabil (Fiorino dan Loreti 1997). Semakin tinggi konsentrasi dan frekwensi subkultur akan menghasilkan tunas yang tidak normal seperti ukuran tunas yang kecil, massa yang kompak, daun keriting, batang utama mati, tunas dan nodul akan mengalami necrosis dan kemudian mati (Gambar 13 A). Frekwensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994). Hal tersebut terjadi karena subkultur berulang pada media sitokinin BA menyebabkan terjadinya akumulasi sitokinin (Yip et al dalam Laksmanan et al. 1997). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Nursandi (2005) pada nenas kultivar Queen. Lakshmanan et al. (1997) melaporkan bahwa subkultur berulang pada tanaman ixora coccinea pada media BAP menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas tidak normal, tetapi kelainan ini bisa dihindari bila setiap tiga kali subkultur, tunas ditanam dalam media basal selama 1 bulan. Selain itu tidak normalitas tersebut akan hilang saat eksplan dipindah ke media MS tanpa ZPT atau pada saat aklimatisasi (Nursandi 2005). Pada semua taraf TDZ yang dikombinasikan pada berbagai taraf NAA menginduksi pembentukan tunas, nodul dan kalus. Semakin tinggi konsentrasi 64

80 TDZ yang digunakan maka semakin tinggi jumlah nodul dan persen kalus yang terbentuk tetapi tunas yang dihasilkan tidak normal. Hal serupa juga dilaporkan Gribaudo dan Fronda (1991) pada tanaman anggur, dimana semakin tinggi konsentrasi TDZ yang digunakan semakin rendah jumlah tunas yang dihasilkan dan semakin banyak nodul dan kalus yang terbentuk Eksplan pada media multiplikasi BA/NAA dan TDZ/ NAA menghasilkan tunas yang kompak dan berukuran kecil, sehingga tidak layak untuk dipindah kemedia pengakaran, sehingga untuk pembesaran dan pemanjangan tunas eksplan dipindah kemedia MS0. Eksplan dalam media MS0 memiliki laju multiplikasi yang terus meningkat seiring dengan peningkatan frekwensi subkultur yang dilakukan. Eksplan yang diberi tambahan BA dan NAA kemudian dipindah kemedia dasar MS, pada subkultur 1 dihasilkan rata-rata 7.09 tunas/eksplan, subkultur 2, 9.42 tunas/eksplan dan 10,25 tunas/eksplan pada subkultur 3 (Tabel 9). Sedangkan eksplan yang diberi tambahan TDZ menghasilkan rataan tunas yang lebih tinggi yaitu, tunas/eksplan pada MS0 pertama dan tunas/eksplan pada MS0 kedua (Tabel 21). Dalam media yang mengandung sitokinin eksplan akan berespon membentuk sel yang meristematik atau embriogenik yang juga disebut diferensiasi awal, kemudian akan dilanjutkan pada fase induksi. Fase induksi ini akan terjadi pada sel atau jaringan yang kompeten, kemudian eksplan membentuk primordia. Akhir dari proses induksi adalah pembentukan tunas dan akar (Schwarz et al. 2005). Persen hidup tanaman yang diberi perlakuan TDZ dan NAA sangat rendah dibandingkan perlakuan BA dan NAA, hal ini sangat erat hubungannya dengan morfologi tanaman yang beri tambahan TDZ dan NAA. Pada Gambar 20 terlihat morfologi akar pada perlakuan TDZ/NAA pendek, kecil dan umumnya tidak memiliki akar sekunder (2B), sangat berbeda dengan tanaman dari perlakuan BA/NAA (1B). Tunas hasil TDZ sulit berakar karena TDZ dapat menstimulasi biosintesis etilen yang dapat menghambat pengakaran (Mok et al. 1987; Khadafalla dan Hattori 2000). Sedangkan untuk tinggi dan jumlah daun dapat dilihat pada gambar 2A, yang diberi perlakuan BA dan 2B perlakuan TDZ. Pada tanaman yang diberi perlakuan TDZ, walaupun telah disubkultur sebanyak 2 kali pada media dasar MS, vigoritas tanaman sangat berbeda, dan multiplikasi masih 65

81 tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa kandungan sitokinin masih sangat tinggi, karena TDZ dapat meningkatkan sitokinin endogen (Thomas dan Katterman 1986; Mangioli et al. 1998). 1A 1B 2A 2B Gambar 20. Morfologi tanaman pada perakaran dan media dasar MS dari perlakuan TDZ dan BA. [1A] akar tanaman kontrol pada media perakaran, [1B] akar tanaman dari perlakuan TDZ pada media perakaran, [2A] sumber eksplan dari perlakuan BA dalam media dasar MS, [2B] sumber eksplan dari perlakuan TDZ setelah 2 kali subkultur pada media MS0 Pada Gambar 20, morfologi tanaman dari perlakuan BA/NAA dan TDZ/NAA sangat berbeda, walaupun telah dilakukan 2 kali subkultur pada Media MS0, tetapi tanaman yang terbentuk masih sangat padat dan kecil-kecil. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ yang digunakan masih terlalu tinggi untuk proliferasi tunas secara langsung pada nenas Smooth Cayenne. Pada tanaman Teh dilaporkan, eksplan yang diinduksi dengan TDZ dapat disubkultur sebanyak 6 kali kemedia MS0 dan masih terjadi multiplikasi tunas Mondal et al. (1998). Penggunaan TDZ dalam konsentrasi rendah (nm-µm) dilaporkan sangat efektif dalam proliferasi tunas aksilar pada beberapa tanaman (Mondal et al. 1998) Aklimatisasi adalah proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Pada proses aklimatisasi planlet akan terekspos pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, seperti intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan sirkulasi udara. Planlet yang baru dipindahkan sangat rentan terhadap setiap perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Persen hidup pada tanaman yang diberi perlakuan BA dan NAA lebih tinggi dari dibandingkan perlakuan TDZ dan NAA. Persen hidup planlet 66

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi tanaman nenas

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi tanaman nenas 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi tanaman nenas Nenas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman tahunan monokotil yang terdiri dari 45 genus dan 2000 jenis dalam satu famili. Nenas memiliki banyak macam

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Nenas Nenas merupakan tanaman buah berbentuk semak yang mempunyai nama latin Ananas

I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Nenas Nenas merupakan tanaman buah berbentuk semak yang mempunyai nama latin Ananas I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Nenas Nenas merupakan tanaman buah berbentuk semak yang mempunyai nama latin Ananas comosus. Nenas mempunyai beberapa nama daerah antara lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan. Hampir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebar ke seluruh penjuru dunia, terutama di sekitar daerah khatulistiwa yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. tersebar ke seluruh penjuru dunia, terutama di sekitar daerah khatulistiwa yaitu II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Klasifikasi Tanaman Nenas Nanas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman buah yang berasal dari Amerika tropis yaitu Brazil, Argentina dan Peru. Tanaman nenas telah tersebar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah tropika yang menempati urutan ke dua terbesar setelah pisang. Indonesia merupakan produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas atau Pineapple bukan tanaman asli Indonesia Penyebaran nanas di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pengisi di lahan pekarangan, lambat laun meluas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Riau-Pekanbaru

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Riau-Pekanbaru MIKROPROPAGASI NANAS BOGOR (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. QUEEN DENGAN PEMBERIAN NAFTALEN ACETYL ACYD (NAA) DAN KINETIN PADA MEDIA MURASHIGE SKOOG (MS) Desi Ekavitri 1, Sri Wulandari, Imam Mahadi Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas (Ananas comossus L. Merr)

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas (Ananas comossus L. Merr) TINJAUAN PUSTAKA Nenas (Ananas comossus L. Merr) Nenas (Ananas comosus L. Merr) adalah tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan. Bangsa Indian diduga mengadakan seleksi dari tumbuhan nenas liar sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae. Famili Musaceae terdiri dari dua genera, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok, yaitu Australimusa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Nenas

TINJAUAN PUSTAKA Botani Nenas TINJAUAN PUSTAKA Botani Nenas Tanaman nenas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman buah yang berasal dari Amerika tropis yaitu Brazil, Argentina dan Peru. Tanaman nenas telah tersebar ke seluruh penjuru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Saat ini, manggis merupakan salah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan yang teramati selama aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30 o C dengan suhu minimum hingga 20 o C dan suhu maksimum mencapai 37 o C. Aklimatisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica) 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica) Kopi tergolong pohon dan termasuk dalam famili Rubiaceae. Tumbuhan ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

Pengaruh Perlakuan BA dan NAA (Rosmaina)

Pengaruh Perlakuan BA dan NAA (Rosmaina) Pengaruh Perlakuan BA dan NAA terhadap Pembentukan Akar Nenas (Ananas comosus (L). Merr.) cv. Smooth Cayenne Secara In Vitro (Effect Of BA and NAA Treatments on rooting formation of Pineapple (Ananas comosus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman tanaman hortikultura meliputi tanaman buah, tanaman sayuran dan tanaman hias. Menurut Wijaya (2006), Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang mempunyai jenis 180 jenis. Tanaman gladiol ditemukan di Afrika, Mediterania, dan paling banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Klasifikasi botani jarak pagar menurut Hambali et al. (2006) yaitu : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman buah naga adalah sebagai berikut ; Divisi: Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman buah naga adalah sebagai berikut ; Divisi: Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo: TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman buah naga adalah sebagai berikut ; Divisi: Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo: Caryophyllales, Famili: Cactaceae, Genus:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya

I. PENDAHULUAN. energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Energi merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Saat ini sumber energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya sekarang,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis anggrek asli Indonesia yang penyebarannya meliputi daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Gladiol Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis (Herlina, 1991). Tanaman gladiol berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia dan

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya Brasil (Lingga dkk., 1986 ; Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi kayu yang juga dikenal sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Nenas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Nenas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Nenas Nenas merupakan anggota famili Bromeliaceae atau bromeliad. Famili ini terdiri atas 45 genus dan 2000 spesies (Nakasone dan Paull, 1999) yang semuanya berasal dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh cabang lagi kecil-kecil, cabang kecil ini ditumbuhi bulu-bulu akar yang sangat halus. Akar tunggang

Lebih terperinci

LAJU MULTIPLIKASI TUNAS NENAS (Ananas comosus L. Merr) PADA MEDIA DASAR MURASHIGE AND SKOOG HASIL PERLAKUAN BA DAN NAA SECARA IN VITRO

LAJU MULTIPLIKASI TUNAS NENAS (Ananas comosus L. Merr) PADA MEDIA DASAR MURASHIGE AND SKOOG HASIL PERLAKUAN BA DAN NAA SECARA IN VITRO Laju Multiplikasi Tunas Nenas (Rosmaina) LAJU MULTIPLIKASI TUNAS NENAS (Ananas comosus L. Merr) PADA MEDIA DASAR MURASHIGE AND SKOOG HASIL PERLAKUAN BA DAN NAA SECARA IN VITRO (Multiplication Rate of Pineapple

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan tumbuhan carnivorous plant lainnya (Doaea muscipula, Drosera sp, Pinguicula sp dan Utriculara sp), karena Nepenthes

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah di domestikasi disana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial)

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO ABSTRAK Ernitha Panjaitan Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMI Medan Percobaan untuk mengetahui respons

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO SKRIPSI INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO Oleh: Erni Noviana 11082200690 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK WAHANA INOVASI VOLUME 4 No.2 JULI-DES 2015 ISSN : 2089-8592 PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK Arta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jeruk Besar (Pamelo)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jeruk Besar (Pamelo) 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jeruk Besar (Pamelo) Tanaman jeruk besar (Citrus grandis (L.) Osbeck) termasuk ke dalam famili Rutaceae. Famili Rutaceae memiliki sekitar 1 300 spesies yang dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Barangan (Musa acuminata L.) Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya seperti

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Turi adalah tanaman leguminosa yang umumnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan ternak). Tanaman leguminosa memiliki kandungan protein yang tinggi, begitu juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas tanaman hortikultura khususnya buah-buahan mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan mengingat bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan utama dan satu percobaan lanjutan, yaitu:

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan utama dan satu percobaan lanjutan, yaitu: III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas dua percobaan utama dan satu percobaan lanjutan, yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi thidiazuron dengan dan tanpa benziladenin terhadap perbanyakan tunas pisang

Lebih terperinci

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc.

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PENDAHULUAN Metode kultur jaringan juga disebut dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ton. Data produksi gula 2013 hanya mencapai ton dengan luas wilayah. penyiapan bibit dan kualitas bibit tebu (BPS, 2013).

PENDAHULUAN. ton. Data produksi gula 2013 hanya mencapai ton dengan luas wilayah. penyiapan bibit dan kualitas bibit tebu (BPS, 2013). PENDAHULUAN Latar Belakang Tebu adalah tanaman penghasil gula yang menjadi salah satu sumber karbohidrat. Tanaman ini sangat dibutuhkan sehingga terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Kacang Tanah Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh: Uswatun Khasanah NIM K4301058 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Pisang Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Sudah lama buah pisang menjadi komoditas buah tropis yang sangat populer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik dan cukup popular. Bunga gladiol memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menduduki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai manfaat ganda, baik sebagai makanan segar, bahan industri makanan seperti pizza, rempah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN HORMON NAFTALEN ACETYL ACYD (NAA) DAN KINETIN PADA KULTUR JARINGAN NANAS BOGOR (Ananas comosus (L.) Merr.) cv.

PENGARUH PEMBERIAN HORMON NAFTALEN ACETYL ACYD (NAA) DAN KINETIN PADA KULTUR JARINGAN NANAS BOGOR (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Bio-site. Vol. 02 No. 2, November 2016 : 1-50 ISSN: 2502-6178 PENGARUH PEMBERIAN HORMON NAFTALEN ACETYL ACYD (NAA) DAN KINETIN PADA KULTUR JARINGAN NANAS BOGOR (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. QUEEN Effect

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TANAMAN

KULTUR JARINGAN TANAMAN KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Victoria Henuhili, MSi Jurdik Biologi victoria@uny.ac.id FAKULTAS MATEMATIKA DA/N ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 Kultur Jaringan Tanaman Pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar,

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA Oleh Fetrie Bestiarini Effendi A01499044 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gladiol Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan pada bentuk daunnya yang sempit dan panjang seperti pedang. Genus gladiolus terdiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman manggis merupakan tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman manggis merupakan tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manggis (Garcinia mangostana L.). Tanaman manggis merupakan tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara, tepatnya semenanjung Malaya. Daerah pertumbuhannya sudah menyebar ke

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura yang cukup diperhitungkan. Selain memiliki fungsi estetika, bunga juga mendatangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Pisang Barangan Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial dengan tinggi 2-9 m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai pucuk

Lebih terperinci