Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung"

Transkripsi

1 Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini ada lima jenis komponen lingkungan pendukung produksi udang yang akan dihitung nilai ecological footprintnya yaitu luas hutan mangrove penghasil detritus, luas wilayah laut penghasil pakan udang, luas wilayah pertanian penghasil pakan udang, luas wilayah hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 dan luas wilayah hutan mangrove yang diperlukan untuk menghasilkan air bersih. Luas wilayah laut penghasil pakan udang Luas hutan penyerap emisi CO 2 Luas hutan mangrove penghasil air bersih Produksi udang Luas wilayah pertanian penghasil pakan udang Luas hutan mangrove penghasil detritus Gambar V.1. Ruang ekologi yang dibutuhkan tambak silvofishery di Desa Dabung Ecological footprint untuk detritus mangrove Di dalam rantai makanan, detritus mangrove yang masuk ke dalam wilayah perairan merupakan pakan alami hewan-hewan seperti ikan, udang dan kepiting. Selain itu daun-daun mangrove yang membusuk tersebut merupakan makanan bagi mikroorganisme air seperti plankton dan bakteri yang pada akhirnya juga akan menjadi pakan alami bagi hewan makro seperti ikan dan udang. 72

2 Kebutuhan akan detritus mangrove tergantung pada pertama, besarnya energi detritus mangrove yang dapat diserap oleh udang sebagai predator utama dalam rantai makanan di tambak budidaya. Menurut Soeryowinoto (1993), produksi primer kotor dari ekosistem mangrove adalah kkal/m2/th di mana hanya 25% dari energi tersebut yang dimanfaatkan untuk metabolisme hutan mangrove (dalam Noer, 2005) dan sisanya dimanfaatkan oleh hewan herbivor darat dan atau masuk ke dalam rantai makanan wilayah perairan. Energi yang dimanfaatkan oleh hewan herbivora darat besarnya tidak lebih dari 10% (Odum dan Heald,1969 dalam Noer 2005) dari energi yang tersisa. Sehingga energi yang masuk ke dalam wilayah perairan bisa mencapai kkal/m2/th. Namun dari sejumlah energi yang besar itu yang bisa dimanfaatkan oleh udang hanya sebesar kkal/m2/th. Kedua, kebutuhan akan detritus mangrove juga sangat tergantung pada produksi udang dari tambak. Ini berarti semakin tinggi produksi udang maka kebutuhan detritus mangrove yang sebesar 30% (Larsson et.al., 1998 dalam Wolowicz, 2005) dari kebutuhan energi udang itu akan semakin besar. Dengan sendirinya, nilai ecological footprint untuk detritus mangrove juga akan semakin besar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode ecological footprint didapat nilai ecological footprint (ef) total yang paling besar ada pada tambak A, sedangkan tambak B menghasilkan nilai ef untuk detritus mangrove yang paling kecil. Sedangkan apabila dihitung rata-rata per ha terlihat bahwa tambak B keterkaitannya dengan ekosistem mangrove paling tinggi dibandingkan tambak yang lain. Ini tentunya dikarenakan produksi rata-rata tambak B yang tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan akan detritus sebagai sumber energinya juga menjadi besar. 73

3 Ecological footprint untuk pakan udang dari area laut Kebutuhan ruang ekologi yang berasal dari wilayah laut berkaitan dengan pakan yang diperlukan oleh udang untuk pertumbuhannya. Dari data yang diperoleh, ada dua jenis pakan dari laut yang diperlukan yaitu pakan segar berupa ikan runcah dan biota laut yang terkandung dalam pellet. Untuk tambak A, kedua jenis pakan ini digunakan sebagai makanan tambahan bagi udang, sedangkan dua tambak lainnya hanya mengunakan pellet. Nilai ecological footprint untuk pakan udang dari area laut ditentukan oleh jumlah penggunaan masing-masing jenis pakan dan komposisi biota laut/ikan yang ada di dalam pellet. Menurut Prihatman (2000) persentase ikan/biota laut lainnya yang diperlukan untuk pembuatan pellet adalah 20% dari seluruh komposisi yang ada. Analisa nilai ef menunjukkan bahwa kebutuhan pakan yang paling besar ada pada tambak A baik secara total maupun rata-rata per ha. Ini disebabkan oleh penggunaan pakan ikan segar tambak A yang sangat tinggi yaitu mencapai 1,875 ton untuk keseluruhan tambak. Berbeda dengan kedua tambak yang lain di mana kebutuhan akan area laut hanya tergantung pada pellet dan tidak memafaatkan ikan runcah. Ecological footprint untuk pakan dari area pertanian Kebutuhan pakan dari area pertanian berkaitan dengan penggunaan produk pertanian untuk pembuatan pellet. Kandungan produk pertanian ini dapat mencapai 80% dari seluruh komposisi yang ada (Prihatman, 2000). Tambak yang menghasilkan produksi rata-rata yang tinggi dengan sendirinya akan memiliki nilai ef yang tinggi pula seperti yang terjadi pada tambak B. Kebutuhan ruang ekologi rata-rata per ha-nya untuk wilayah pertanian pada tambak tersebut sebesar 1,575 gha yang hampir mencapai empat kali lipat nilai ef tambak C. 74

4 Ecological footprint untuk penyerapan CO 2 Dari pembakaran bahan bakar minyak akan dihasilkan sejumlah gas CO 2 ke udara. Penumpukan gas ini dalam konsentrasi yang tinggi di udara sangat berbahaya karena dapat menimbulkan efek rumah kaca yang menjadi penyebab meningkatnya suhu bumi. Untuk mengatasi hal tersebut maka gas ini harus diserap dari udara. Areal hutan merupakan salah satu agen yang paling efektif dalam menyerap gas CO 2 terutama melalui proses fotosintesis pohon-pohonnnya. Sedangkan hutan mangrove merupakan penyerap CO 2 yang sangat baik, di mana kemampuannya melebihi jenis hutan lainnya. Oleh karena itu harus disediakan luasan hutan mangrove tertentu untuk membantu penyerapan gas CO 2 terutama bagi tambak yang mengunakan bahan bakar minyak. Dari hasil analisa tambak silvofishery di Desa Dabung ini hanya tambak A yang menggunakan BBM, yang digunakan untuk mengeringkan tambak pada saat panen. Sedangkan tambak yang dikelola pemerintah dan tambak B tidak menggunakan BBM sehingga tidak memerlukan sejumlah area hutan untuk menyerap emisi gas CO 2. Ecological footprint untuk air bersih Salah satu penyebab kegagalan usaha tambak budidaya udang adalah karena rendahnya kualitas lingkungan akibat tidak tersedianya sejumlah kawasan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter zat-zat polutan yang dihasilkan dari tambak. Keberadaan ekosistem mangrove diperlukan untuk menyaring air yang berasal dari tambak sehingga dihasilkan air bersih untuk pertumbuhan udang. Menurut Pillay (1990) (dalam Irianto, 2004) untuk kepentingan akuakultur yang berkelanjutan, sedikitnya 3 ha hutan mangrove harus dibiarkan tetap ada sebagai biofilter untuk setiap 1 ha tambak kolam budidaya. 75

5 Ada beberapa hal yang mempengaruhi kebutuhan ekosistem mangrove sebagai biofilter di lokasi penelitian. Pertama, kemampuan setiap tanaman mangrove untuk menyaring air. Menurut Sprung (2000) sebuah tanaman mangrove dapat menyaring air rata-rata sebanyak dua gallon. Kedua, kerapatan vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Dengan mengunakan data kerapatan vegetasi yang ada dalam Laporan Akhir Pekerjaan Detail Desain Tambak Silvofishery Desa Dabung Kecamatan Kubu tahun 2004, diketahui bahwa jumlah rata-rata tanaman per ha hutan mangrove di lokasi penelitian adalah tanaman / ha. Ketiga, persentase pergantian air setiap hari. Pergantian air dimaksudkan untuk memberikan lingkungan air yang bersih, bebas dari zat pencemar yang membahayakan kehidupan udang. Besarnya persentase ini sangat tergantung pada tingkat teknologi yang digunakan. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa semua tambak silvofishery yang diteliti menggunakan teknologi tradisional plus yang mengandalkan pergantian air pada peristiwa pasang surut setiap 15 hari sekali. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat (2004) untuk tingkat teknologi tradisional plus ini diasumsikan persentase pergantian air adalah sebesar 6% per hari. Keempat adalah volume air setiap tambak. Volume air ditentukan oleh luas kolam budidaya dan ketinggian air di dalam kolam. Semakin luas kolam yang dikelola maka volume air yang diperlukan akan semakin besar. Sedangkan ketinggian air untuk setiap kolam rata-rata adalah sama yaitu 100 cm atau 1 m. Dengan menggunakan data-data tersebut diketahui bahwa kebutuhan air yang paling besar ada pada tambak A, diikuti oleh tambak C dan yang paling sedikit adalah tambak B. Namun jika dihitung kebutuhan rata-rata per ha maka nilai ecological footprint untuk setiap tambak adalah 4,84 gha. 76

6 Nilai ecological footprint total untuk masing-masing tambak Berdasarkan analisa nilai ecological footprint diketahui bahwa kebutuhan ruang ekologi yang paling besar secara total adalah pada tambak silvofishery A dan yang paling kecil adalah tambak B. Tabel V.1. Nilai Ecological footprint untuk masing-masing tambak silvofishery Nilai ef (gha) Komponen A B C total per ha kolam total per ha kolam total per ha kolam 1. Detritus 0,549 0,092 0,134 0,338 0,138 0,069 mangrove 2. Pakan dari laut 25,313 4,254 0,389 0,973 0,584 0, Pakan dari area 1,575 0,265 0,630 1,575 0,945 0,473 pertanian 4. Energi 0,002 0, Air bersih 28,820 4,840 1,937 4,840 9,688 4,840 Jumlah 56,259 9,1863 3,090 7,726 11,355 5,674 Sumber : Hasil Analisa Data, 2007 Keterangan :A = tambak milik Bapak Syukur B = tambak milik Bapak Ridho C = tambak milik pemerintah (dkp) Sedangkan bila dihitung rata-rata per ha tambak, kebutuhan ruang ekologi yang paling besar adalah pada tambak A dan yang paling kecil adalah tambak C. Besarnya ruang ekologi total untuk per ha tambak silvofishery di Desa Dabung ini hanya berkisar antara 5 9 kali luas kolam produksi udang. Nilai ini jelas lebih kecil jika dibandingkan hasil penelitian Larsson et al pada tambak semi intensif di Columbia yang mencapai kali luas kolam pembudidayaan udang. Salah satu penyebabnya adalah karena pada tambak ini bibit udang (benur) yang didapat adalah berasal dari tempat pembenihan (hatchery) dan bukan dari hutan mangrove, sehingga kebutuhan ruang ekologi hutan mangrove untuk tempat hidup benur dapat dikurangi. 77

7 Luas area bioproduktif Area bioproduktif yang dihitung dalam penlitian ini adalah area hutan mangove, area laut dan area pertanian. Luas eksisiting hutan mangrove yang ada adalah seluas ha, area laut seluas ha dan area pertanian seluas 603 ha. Dari perhitungan dengan metode ecological footprint diketahui luas area bioproduktif total yang ada adalah ,52 gha. Ecological deficit dan level keberlanjutan setiap tambak silvofihery Dengan mencari selisih antara nilai ef dan luas bp maka nilai ecological deficit untuk setiap tambak dapat dihitung sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini : Tabel V.2. Nilai Ecological deficit (ed) untuk masing-masing tambak silvofishery Silvofishery Ef total Bp total Ed A 56, , ,261 B 3, , ,430 C 11, , ,165 Sumber : Hasil Analisa Data, 2007 Dari hasil perhitungan terlihat bahwa untuk ketiga tambak ini daya dukung ekosistem masih melampaui laju ekstraksi sumber daya alam atau tergolong berkelanjutan. Sedangkan nilai ed yang paling kecil terdapat pada tambak B. Namun dari analisa ed ini belum bisa diambil kesimpulan bahwa tambak B adalah tambak yang paling lestari mengingat bahwa luas tambak yang dihitung berbeda-beda. Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat, maka perlu dianalisa nilai ecological footprint rata-rata untuk setiap ha tambak udang seperti terlihat pada tabel VI.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tambak C memiliki tingkat kelestarian paling tinggi karena ruang ekologi yang dibutuhkan paling kecil yaitu sebesar 5,674 gha untuk setiap ha tambaknya. Sedangkan tambak A memerlukan ruang ekologi yang paling besar yang berarti tingkat keberlanjutannya paling rendah. 78

8 Analisa Aspek Teknis dan Ekonomi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Untuk menentukan tambak silvofishery yang layak dikembangkan di Desa Dabung ini maka, perlu dilakukan kajian terhadap aspek teknis dan aspek ekonomis. Tabel V.3. Analisa Aspek Teknis Tambak Silvofishery di Desa Dabung Hasil analisa Komponen A B C Perbadingan kolam dan belum sesuai Sudah sesuai sudah sesuai mangrove standar tambak silvofishery standar tambak silvofishery standar tambak silvofishery Penutupan ekosistem kurang Sedang Lebat mangrove di dalam tambak Produksi/ha/siklus 206,72 kg/ha sedang 750 kg/ha tinggi 155 kg/ha rendah Perbandingan jumlah 1,83 0,5 0,76 pakan dan produksi tinggi rendah sedang Padat penebaran benur/ha rendah tinggi rendah Ukuran udang tidak seragam Seragam Seragam Skor Sumber : Hasil Analisa Data, 2007 Hasil analisa teknis menunjukkan bahwa tambak B adalah yang paling baik dari segi teknis karena selain tambak ini sudah memenuhi syarat sebagai sebuah tambak silvofishery, produksi yang dihasilkan juga tinggi dengan penggunaan pakan yang sangat efisien. Sedangkan tambak C, walaupun dari hasil analisa keberlanjutan ekologi adalah yang paling lestari, namun secara teknis masih berada di bawah tambak B. Kelemahan tambak C ini adalah dari segi produksi yang rendah akibat penebaran benur yang tidak optimal. Padahal tinggi rendahnya produksi ini akan mempengaruhi besarnya pendapatan yang akan diperoleh masyarakat bila mengembangkan sistem silvofishery ini. 79

9 Tabel V.4 Analisa Usaha per hatambak Silvofishery Komponen Harga (Rp) A B C Biaya bahan , , ,00 Biaya tenaga kerja , , ,00 Pendapatan (R) , , ,00 Keuntungan , , ,00 R/C 3,51 3,90 2,67 Skor Akhir Sumber: Hasil analisa data, 2007 Dari hasil analisa ekonomi terlihat bahwa tambak C menghasilkan ratio pendapatan dan biaya yang paling rendah. Sedangkan tambak B, walaupun tingkat keberlanjutannya berada di bawah tambak pemerintah, namun dari analisa ekonomi menunjukkan hasil yang paling bagus dibandingkan tambak-tambak yang lain. Sementara itu, tambak A dari segi ekonomi lebih baik dari tambak C. Hanya saja tambak ini adalah tambak yang paling rendah tingkat keberlanjutannya dan belum memenuhi syarat sebagai tambak silvofishery yang dapat dikembangkan di kawasan hutan yang masih utuh seperti di Desa Dabung ini. Menentukan tambak silvofishery yang paling layak untuk dikembangkan di Desa Dabung Jika analisa keberlanjutan dengan metode ecological footprint dikaitkan dengan analisa pendukungnya, maka tambak yang menghasilkan nilai paling tinggi adalah tambak B. Tabel V. 5. Rangkuman hasil analisa tambak silvofishery di Desa Dabung Jenis analisa Nilai A B C Analisa ecological footprint Analisa teknis Analisa ekonomi Total nilai Sumber : Hasil analisa data, 2007 Tambak B ini walaupun bukanlah tambak yang tingkat keberlanjutannya paling tinggi, namun laju pemakaian sumber daya alam tidak terlalu besar. 80

10 Tambak ini juga dapat menghasilkan keuntungan rata-rata yang lebih tinggi dari tambak yang lain dengan tetap menerapkan sistem silvofishery yang sesuai dengan standar yang ada. Sehingga untuk pengembangan tambak silvofishery di masa mendatang tambak jenis ini adalah yang paling disarankan karena dapat memberikan manfaat secara ekologi dan ekonomi yang paling optimal. V.2. Kebutuhan ekosistem mangrove untuk mendukung keberlanjutan sistem silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan kajian keberlanjutan dengan metode ecological footprint, diketahui bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan sistem silvofishery. Produk yang diperlukan terutama berhubungan dengan serasah yang gugur yang masuk ke dalam wilayah perairan tambak budidaya yang nantinya akan melapuk di dalam kolam menjadi detritus yang diperlukan sebagai salah satu sumber makanan bagi komoditas yang dibudidayakan. Sedangkan jasa lingkungan yang diperlukan berkaitan dengan keperluan akan hutan mangrove untuk menghasilkan air bersih dan menyerap emisi gas CO2 yang dihasilkan dari penggunaan BBM. Dari hasil analisa sebelumnya diketahui bahwa tambak B adalah model tambak yang paling layak untuk dikembangkan dikembangkan di Desa Dabung. Kebutuhan ekosistem mangrove untuk setiap 1 ha kolam budidaya pada tambak ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel V.6. Kebutuhan Ekosistem Mangrove Untuk Setiap Ha Kolam Budidaya pada Tambak B Komponen Luas Ekosistem Mangrove yang dibutuhkan 1. Detritus 0,338 gha 0,252 ha mangrove 2. Air bersih 4,840 gha 3,610 ha Jumlah 5,178 gha 3,862 ha Sumber: Hasil Analisa Data,

11 Lokasi ekosistem mangrove ini dapat berada di dalam atau di luar areal tambak. Khusus untuk menjaga fungsi ekosistem mangrove sebagai biofilter maka kawasan mangrove harus terletak di luar areal tambak. Areal ini juga nantinya dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga bagi areal pertambakan terutama dari hempasan gelombang. Detritus mangrove yang dihasilkan dari kawasan mangrove ini juga dapat menjadi pakan alami bagi udang karena dapat terbawa masuk ke dalam kawasan tambak oleh arus pasang surut air laut. Luas ekosistem mangrove di luar areal tambak yang diperlukan untuk setiap ha kolam budidaya adalah 3,61 ha. Sementara itu, jika diasumsikan bahwa detritus mangrove seluruhnya berasal dari ekosistem mangrove di dalam areal tambak, maka kebutuhan akan luas ekosistem mangrove di dalam areal tambak untuk setiap ha kolam adalah sebesar 0,252 ha. Namun perlu diingat bahwa untuk tambak silvofishery, harus ada sejumlah mangrove tertentu di dalam areal tambak, di mana pada tambak B persentase ekosistem mangrovenya mencapai 80% dari seluruh tambak. Ini berarti bahwa untuk setiap 1 ha kolam budidaya terdapat 4 ha ekosistem mangrove yang ada di dalam tambak. Dengan menggabungkan kebutuhan akan ekosistem mangrove di luar tambak dengan persentase ekosistem mangrove yang harus disediakan di dalam areal tambak, maka didapat ratio antara luas kolam, luas ekosistem mangrove di dalam tambak dan luas ekosistem mangrove di luar tambak sebesar 1 : 4: 3,61. Keterangan : = kawasan hutan di dalam tambak = kawasan hutan di luar tambak = kolam budidaya = sungai : : = 1 : 4 : 3,61 Gambar V.2. Lokasi hutan mangrove berada di dalam dan luar kawasan tambak 82

12 Jika tambak B diterapkan pada 350 ha tambak yang ada sekarang maka luas ekosistem mangrove di luar lokasi tambak yang harus dipertahankan adalah seluas 252,7 ha (Gambar V.3). V.3. Luas maksimal ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak Untuk menunjang sistem silvofishery yang berkelanjutan perlu ditentukan luas maksimal hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi kolam budidaya. Dari ratio ekosistem mangrove di dalam dan di luar kawasan tambak, didapat ratio total keperluan hutan mangrove sebesar 1 : 7,61 ( Nilai 7,61 didapat dari penjumlahan 4 (1 : 4) dan 3,61 (1 : 3,61)). Dari ratio total ini luas maksimal ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dapat ditentukan sebagai berikut: Ratio total = 1 : 7,61 Luas ekosistem mangrove yang dijadikan dasar perhitungan adalah : Luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi tambak + luas ekosistem mangrove yang masih utuh = 350 ha ha = ha Luas maksimal mangrove yang dapat dikonversi menjadi kolam budidaya dengan sistem silvofishery = 1.161,44 ha Luas ekosistem mangrove yang harus dipertahankan maksimal seluas 8.838,56 ha yang terdiri atas 4.645,76 ha di dalam areal tambak dan 4.192,8 ha di luar areal tambak. Produksi keseluruhan dari tambak silvofishery dengan luasan maksimal tersebut bisa mencapai 871,08 ton /siklus panen. Persyaratannya adalah seluruh tambak yang sudah ada harus diubah menjadi tambak silvofishery dengan melakukan penanaman pada lahan-lahan kosong di dalam tambak atau di sepanjang tanggul agar persentase sebesar 80% mangrove dapat terpenuhi. 83

13 Jika seluruh tambak yang ada sekarang dengan luas mencapai 350 ha diubah menjadi model tambak B, maka dengan menggunakan ratio 1: 4 untuk luas kolam dan ekosistem mangrove di dalam tambak maka luas kolam budidaya pada kawasan tambak tersebut menjadi hanya sebesar 70 ha. Ini berarti bahwa pengkonversian hutan mangrove menjadi kolam budidaya masih dapat dilakukan seluas 1.091,44 ha. 85

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Desa Dabung

Bab III Karakteristik Desa Dabung Bab III Karakteristik Desa Dabung III.1. Kondisi Fisik Wilayah III.1.1. Letak Wilayah Lokasi penelitian berada di Desa Dabung yang merupakan salah satu desa dari 18 desa yang terdapat di Kecamatan Kubu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya. Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk mempelancar pasang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peralihan antara daratan dan lautan yang keberadaannya dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peralihan antara daratan dan lautan yang keberadaannya dipengaruhi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang hidup pada peralihan antara daratan dan lautan yang keberadaannya dipengaruhi oleh pergerakan ombak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan masyarakat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan Bangsa Indonesia bidang ekonomi telah mendapat prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan di era tahun 1980 an hingga pertengahan tahun 1990 an banyak memberikan pandangan keliru tentang pengelolaan hutan mangrove yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB V SUMBER DAYA ALAM

BAB V SUMBER DAYA ALAM BAB V SUMBER DAYA ALAM A. Pertanian Kota Surakarta Sebagai salah satu kota besar di Jawa Tengah, mengalami pertumbuhan ekonomi dan penduduk karena migrasi yang cepat. Pertumbuhan ini mengakibatkan luas

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

KAJIAN PENERAPAN SILVOFISHERY DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE. Studi Kasus : Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak TESIS

KAJIAN PENERAPAN SILVOFISHERY DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE. Studi Kasus : Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak TESIS KAJIAN PENERAPAN SILVOFISHERY DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE Studi Kasus : Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak TESIS Karya tulis diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 18. 110 buah pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi BAB I PENDAHULAUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Herpetofauna adalah kelompok hewan dari kelas reptil dan amfibi (Das,

I. PENDAHULUAN. Herpetofauna adalah kelompok hewan dari kelas reptil dan amfibi (Das, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herpetofauna adalah kelompok hewan dari kelas reptil dan amfibi (Das, 1997). Pada saat ini keberadaan herpetofauna masih dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

saat suhu udara luar menjadi dingin pada malam dan pagi hari. (Mengakibatkan kematian pada Udang)

saat suhu udara luar menjadi dingin pada malam dan pagi hari. (Mengakibatkan kematian pada Udang) POKOK-POKOK PENTING DALAM PENGELOLAAN TAMBAK TRADISIONAL BUDIDAYA PERIKANAN AIR PAYAU DAN AIR ASIN / TAMBAK TEPI PANTAI TAMBA K ORGANIK INTENSIF "By Sari Tambak Suraba ya" Syarat-Syarat Utama Tambak Produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total 17.504 pulau (Dewan Kelautan Indonesia (2010) dan Tambunan (2013: 1)). Enam puluh lima persen dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

I. PENDAHULUAN.  (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan sektor agribisnis yang hingga saat ini masih memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Dari keseluruhan total ekspor produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove adalah kawasan hutan yang terdapat di daerah pasang surut. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 dalam Supriharyono, 2007). Menurut

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan yang memiliki ciri khas didominasi pepohonan yang mampu tumbuh di perairan asin. Komunitas pepohonan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang unik dan layak untuk dipertahankan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas budidaya perikanan yang banyak dikonsumsi, karena dagingnya enak, juga merupakan sumber protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci