BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan"

Hadi Darmadi
6 tahun lalu
Tontonan:

1 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian dan analisis yang didasarkan pada landasan yuridis, doktrinal, dan filosofis serta didukung oleh data empirik mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap badan hukum Partai politik dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut : 1. Kebijakan legislasi di Indonesia terdapat perbedaan pengaturan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan/ atau badan hukum. BerbagaipPengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan /atau badan hukum dapat ditemukan dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP. Pengakuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi baru dilakukan dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang didalamnya menggunakan beberapa konsep normatif untuk menunjuk recht person, legal person yaitu badan hukum, perseroan, perusahaan, perserikatan orang dan yayasan. Perkembangan selanjutnya, undang-undang pidana diluar KUHP menggunakan konsep normatif korporasi untuk menunjuk recht person, legal person. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum partai politik, undang-undang Partai Politik juga tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap Partai Politik, atas larangan-larangan yang ditujukan terhadap Partai Politik. 2. Partai Politik tidaklah dapat dipersamakan dengan korporasi, korporasi merupakan entitas bisnis atau badan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, sedangkan Parpol adalah suatu organisasi yang merupakan kumpulan orang dalam rangka membangun demokrasi dengan tujuan akhir untuk memperoleh kekuasaan politis melalui Pemilu. Persamaan keduanya adalah status kelembagaannya sebagai badan hukum. Sekalipun karakteristiknya berbeda, dalam hal pertanggungjawaban pidana sebagai badan hukum teori-teori commit dan to user doktrin tentang pertanggungjawaban 318

2 korporasi dapat diterapkan terhadap partai politik karena adanya persamaan yaitu sebagai badan hukum keduanya dalam menjalankan aktifitasnya di wakili oleh organnya. Keduanya tidak memiliki sikap batin, sikap batin Parpol dan korporasi adalah sikap batin organnya dalam melaksanakan aktivitasnya atas nama dan untuk kepentingan badan hukum. Untuk mengatasi kesulitan membuktikan sikap batin korporasi/ dan atau badan hukum lainnya, dapat digunakan doktrin vicarious liability, identification yang identik dengan teori keberlakuan fungsional dan strict liability. Dengan demikian Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Tindak Pidana Uang yang telah mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan/atau badan hukum dapat diterapkan terhadap Parpol sebagai badan hukum. 3. Korporasi merupakan salah satu bentuk badan hukum yang menunjuk pada badan usaha yang merupakan badan hukum privat, dengan demikian istilah korporasi tidak dapat mengakomodir bentuk badan hukum lainnya. Sedangkan partai politik merupakan badan hukum publik. Konsekwensi logis pengaturan partai politik sebagai badan hukum membawa konsekwensi logis dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu Partai politik dapat di kenakan sanksi pidana. Pelaksanaan eksekusi putusan pidana dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku kecuali dalam hal berupa pencabutan status badan hukum yang harus diatur secara khusus karena bersinggungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang membubarkan partai politik, oleh karenanya dalam pencabutana status badan hukum partai politik dalam eksekusinya harus harus melalui Mahkamah konstitusi yaitu Jaksa Agung mengajukan permohonan penetapan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van Gewijsde), yang selanjutnya berdasarkan penetapan dari Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung mengirimkan surat perintah pada Kementerian Hukum dan Ham untuk mencabut status badan hukum Partai Politik. 319

3 B. Implikasi 1. Belum diaturnya pertanggungjawaban pidana korporasi dan /atau badan hukum dalam KUHP berimplikasi pada 1) muncul beragam konsep normatf mengenai subyek hukum recht person atau legal person dalam undang-undang di luar KUHP, 2) Undang-undang pidana di luar KUHP lebih menekankan pertanggungjawaban pidana korporasi pada manusia alamiah (naturlijke person) pengurus korporasi dan/atau badan hukum. 2. Adanya perbedaan konsep normatif tentang korporasi menimbullkan keragu-raguan penegak hukum mengingat sampai saat ini konsep normatif korporasi masih dalam perdebatan, apakah korporasi itu badan hukum privat atau termasuk pula badan hukum yang lain. Hal tersebut berakibat penegak hukum lebih memfokuskan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan membebankan pada pengurusnya (naturlijke person). 3. Ketidakjelasan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan/atau badan hukum dalam implementasinya menimbulkan kesulitan dalam menentukan kapan dan bagaimana korporasi dan/atau badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana dan berpengaruh pada proses penegakan hukum. C. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka diajukan rekomendasi yang diusulkan kepada DPR sebagai badan legislatif, sebagai berikut : 1. Reformulasi konsep normatf korporasi serta pertanggungjawaban pidananya dalam penyusunan KUHP Nasional Indonesia (ius Constituendum) sebagai induk hukum pidana. a. memformulasi konsep normatf Badan Hukum dengan dasar pemikiran bahwa badan hukum memiliki arti yang lebih luas sehingga dapat mengakomodir badan hukum lainnya selain badan usaha atau badan hukum bisnis. Badan Hukum adalah : adalah kumpulan orang dan/atau harta kekayaan yang diberikan status badan hukum berdasarkan peraturan commit perundang-undangan to user yang berlaku. 320

4 b. mereformulasi konsep normatf korporasi yang secara universal mengacu pada badan usaha atau badan hukum hukum bisnis, menjadi Korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau harta kekayaan yang berbadan hukum dan bergerak dalam bidang usaha atau bisnis 2. Merevisi Undang- undang Partai Politik khususnya Pasal-pasal yang berkaitan dengan larangan terhadap Parpol dan Pasal yang berkaitan dengan sanksi pidana agar memasukkan Partai Politik sebagai pihak yang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pengurusnya sepanjang dalam kerangka aktivitas badan hukum Parpol sesuai dengan AD/ADRT. Diusulkan pula untuk memformulasikan sanksi pidana terhadap badan hukum dan/ atau Parpol dimasa yang akan datang : pidana pokok berupa : 1). Pembubaran dan/atau Pencabutan status badan hukum, 2). Pembekuan sementara badan hukum, 3) Ganti kerugian, 4) Denda, pidana tambahan berupa: 1). Pencabutan hak tertentu, 2). Perampasan barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim, dan tindakan berupa : 1). Perampasan euntungan yang diperoleh dari tindak pidana, 2). Pengawasan badan hukum. 4. Mengamandemen Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 dengan menambahkan kewenangan pada Mahkamah Kostitusi untuk dapat mengeluarkan penetapan tentang pembubaran partai politik dan/ atau mencabut status badan hukum Partai Politik sebagai tindak lanjut atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk partai politik yang dipidana karena tindak pidana korupsi. 3. Merevisi Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan penetapan eksekusi atas putusan hakim dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal pencabutan status badan hukum, berdasarkan penetapan tersebut Jaksa Agung dapat mengajukan pencabutan status badan hukum pada Kementrian Hukum dan Ham. 321

5 4. Merevisi Pasal 68 ayat (1) UU MK, dengan menambahkan pihak lain sebagai pemohon pembubaran partai politik yaitu KPU dengan alasan KPU merupakan lembaga yang memiliki landasan konstitusional yang keberadaannya diamanatkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan di atur lebih lanjut dalam UU No. 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. 5. Lemahnya pengaturan mengenai akuntabilitas pelaporan dalam pendaan Partai Politik telah menjadi celah yang di manfaatkan oleh Partai Politik dan/ atau oknum Partai untuk melakukan berbagai pelanggaran dan korupsi politik. Untuk itu Pemerintah harus segera membuat standart pelaporan keuangan khusus agar Parpol lebih bertanggungjawab dan transparan dalam memperoleh dana politik. Adanya aturan yang jelas diharapkan dapat membatasi atau mengurangi ruang gerak partai politik dalam mendapatkan dana-dana politik yang melanggar aturan yang berlaku.. 322

dokumen-dokumen yang mirip

Hukum Acara Pembubaran Partai Politik. Ngr Suwarnatha

Hukum Acara Pembubaran Partai Politik 1 Pembubaran Partai Politik Hukum Acara Pembubaran Partai Politik diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah