Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia
|
|
- Hartanti Sasmita
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu <erasmus@icjr.or.id> Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam membongkar suatu tindak pidana. Setidaknya keyakinan tersebut terpancar dari ungkapan para pendukung penggunaan metode penyadapan. Namun, disisi lain, selain memiliki kegunaan dalam penegakan hukum, penyadapan juga memiliki kecenderungan untuk melanggar hak asasi manusia. 1 Dan perdebatan terkait penggunaan metode penyadapan bukanlah hal baru dikalangan penggiat hukum di Indonesia. Saat ini penyadapan memberikan warna baru dalam proses penyelidikan dan penyidikan sampai dengan pembuktian, khususnya untuk tindak pidana korupsi. Bahkan, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, menyebutkan bahwa 30% kasus yang ditangani KPK terutama pada saat tertangkap tangan, merupakan hasil dari metode penyadapan. Secara hukum positif, pengaturan tentang penyadapan tersebar ke 16 aturan berbeda, mulai dari Undang-Undang (UU) sampai dengan Peraturan Menteri (Permen). Diantaranya, UU KPK, UU Anti Terorisme, UU Narkotika, UU ITE, UU Intelijen Negara, sampai dengan peraturan menteri. Maka tidak heran apabila banyak perbedaan terkait pengaturan penyadapan, maupun kewenangan lembaga yang menyadap. Telah dilakukan beberapa kali uji materil menyangkut keabsahan dan pengaturan penyadapan. Yaitu uji materiil UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, (Putusan Perkara No 006/PUU-I/2003, dan putusan Perkara No /PUU-IV/2006) dan uji materiil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010). Pada tahun 2003, MK secara tegas mengamanahkan bahwa harus ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman. Pada tahun 2006, MK kembali menjelaskan bagaimana penggunaan penyadapan yang memang pada dasarnya merupakan pembatasan pada hak konstitusional warga negara harus diatur berdasarkan pasal 28 J ayat (2) UUD1945. Dan dalam Putusan Perkara No. 5/PUU-VIII/2010, MK mengamanahkan bahwa dalam membentuk aturan mengenai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat-syarat penyadapan yakni : 1. adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, 2. adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, 3. pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, 1 Edmon Makarim, Analisi Terhadap Kontroversi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Cara Intersepsi Yang Sesuai Dengan Hukum (Lawful Interception), Artikel yang dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, tahun ke-40 No. 2 April 2010, halaman 231.
2 4. pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Serta unsur-unsur yang harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu : a. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, b. tujuan penyadapan secara spesifik, c. kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, d. adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, e. tata cara penyadapan, f. pengawasan terhadap penyadapan, g. penggunaan hasil penyadapan, dan h. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya Setelah putusan-putusan MK terkait penyadapan hadir, kemudian mencuat Rancangan KUHAP (dalam prolegnas disebut Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana/RUU HAP) yang juga mengatur tentang penyadapan. Sehingga kemudian timbul pertanyaan : apakah tepat mengatur penyadapan di dalam Rancangan KUHAP? dan haruskah dibentuk UU Khusus Penyadapan sebagai bentuk tunduknya pemegang kekuasaan terhadap putusan MK? Penyadapan dalam Rancangan KUHAP Sumber:kompas Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan, khususnya Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang. Tindakan penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan tindak pidana serius ataupun diduga keras akan
3 terjadi tindak pidana serius. 2 Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana dimana penyadapan dapat dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana, yaitu: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2). perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) pencurian dengan kekerasan; (4) pemerasan; (5) pengancaman; (6) perdagangan orang; (7) penyelundupan; (8) korupsi; (9). pencucian uang; (10) pemalsuan uang; (11) keimigrasian; (l2). mengenai bahan peledak dan senjata api; (13) terorisme; (14) pelanggaran berat HAM; (15) psikotropika dan narkotika; (16) Pemerkosaan; (17) pembunuhan; (18). penambangan tanpa izin; (19) penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan (20) pembalakan liar. 3 Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dengan kondisi bahwa Penyidik bersama sama dengan Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang didalamnya termuat alasan alasan untuk melakukan penyadapan kepada HPP. Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penyadapan. Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu, disertai kewajiban untuk memberitahukannya kepada HPP melalui penuntut umum. RUU HAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori yaitu : (a) bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; (b) permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau (c) permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. Dan jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. HPP dapat menolak memberikan ijin untuk melakukan tindakan penyadapan. Namun tidak dirumuskan secara jelas apakah HPP dapat menolak untuk memberikan persetujuan atas tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik sebelumnya atas dasar keadaan mendesak. Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan KUHAP justru tidak mengatur hal hal lain yang menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya, yaitu : 1. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, 2. tujuan penyadapan secara spesifik, 3. kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, 4. adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, 5. tata cara penyadapan, 6. pengawasan terhadap penyadapan, 7. penggunaan hasil penyadapan, dan 8. mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut. 2 Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP 3 Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP
4 Pengaturan Penyadapan : KUHAP atau Undang-Undang Khusus? Implikasi apabila Rancangan KUHAP disepakati oleh DPR RI dan disetujui oleh Presiden adalah adanya kodifikasi hukum acara pidana yang bertujuan langsung pada adanya unifikasi hukum acara pidana. Unifikasi hukum dimaksudkan untuk menseragamkan sistem hukum acara pidana di Indonesia, dan masuknya penyadapan dalam Rancangan KUHAP secara tegas menunjukkan keinginan pembentuk UU untuk menyamakan mekanisme penyadapan di Indonesia yang nantinya berakar dalam KUHAP. Secara objektif harus diakui bahwa apabila yang akan dijadikan acuan adalah Pasal 83 dan 84 Rancangan KUHAP, maka tentu saja amanah putusan MK tidak akan terpenuhi. Pengaturan penyadapan di Rancangan KUHAP hanya dalam dua pasal dan substansi yang tidak sesuai dengan amanah putusan MK adalah tidak memadai, terlebih dengan potensi pelanggaran hak privacy seseorang. Selain itu pandangan yang berpendapat bahwa MK mengamanahkan pengaturan penyadapan di atur di UU tersendiri yang harus terpisah dari KUHAP, mewakili pemahaman bahwa KUHAP tidak akan mampu untuk menampung pengaturan penyadapan yang komprehensif. Selain itu, hubungannya dengan perintah MK tersebut, adalah pandangan yang mengharuskan pembuat undang-undang patuh pada perintah dari putusan MK dimana bagi negara yang mengalami proses transisi, putusan MK dimaksudkan sebagai panduan dalam transisi demokrasi, dan menjaga berjalannya konstitusi. 4 Selain itu, pengaturan penyadapan di UU khusus nantinya juga dapat dijadikan sebagai langkah preventif terhadap perkembangan zaman di dunia tehknologi dan komunikasi pada saat ini. Pengaturan penyadapan melalui UU khusus akan mempermudah dilakukannya amandemen apabila dirasakan perlu dilakukan perubahan, hal ini akan berbeda jika penyadapan diatur dalam KUHAP. Namun, apakah dengan demikian berarti penyadapan tidak dapat diatur di dalam KUHAP? Tentu saja ada pembenaran terhadap pemahaman ini. Secara materil, putusan Mahkamah Konstitusi berpijakan pada pendirian pasal 28J UUD 1945, yang menyaratkan bahwa pembatasan hak asasi harus dilakukan dengan pengaturan berdasarkan UU. Yang dimaksud dengan UU tentu saja tidak harus UU khusus, namun materi pengaturannya harus ada di peraturan perundang-undangan setara dengan Undang-Undang dan tidak boleh diatur dengan aturan yang lebih rendah berdasarkan hirarki perundang-undangan di Indonesia. Psikologi MK pada saat mengeluarkan putusan terkait kewajiban pengaturan penyadapan di Undang-Undang khusus bisa dipahami, sebab yang diuji materikan adalah Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang menyebutkan bahwa : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jejak dari pemahaman ini dapat dilihat dalam permohonan yang diajukan oleh Anggara Suwahyu dkk.,yang mendalilkan sebagai berikut : 4 Supriyadi W. Eddyono dan Wahyudi Djafar, Menata (kembali)hukum Penyadapan di Indonesia, briefing paper, Institute for Criminal Justice Reform, 2012.
5 Bahwa pembatasan hak atas privasi dari para Pemohon semata-mata hanya diperbolehkan sepanjang untuk kepentingan penegakkan hukum yang harus ditetapkan dengan Undang-Undang dimana hal ini telah sesuai dengan pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi pada putusan-putusan Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 dan Nomor /PUU-IV/2006; Oleh karena itu para Pemohon berpendapat bahwa pengaturan dan/atau peraturan sepanjang mengenai hukum acara khususnya yang berkaitan dengan upaya paksa dan/atau hak atas privasi harus diatur dalam KUHAP atau Undang-Undang Penyadapan tersendiri dan bukan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU 11/ Beranjak dari pemahaman tersebut bisa dikatakan bahwa upaya mengatur penyadapan dalam KUHAP bukanlah suatu kesalahan mendasar, yang menjadi permasalahan adalah apabila pengaturan penyadapan di KUHAP terlalu dipaksakan sehingga berdampak lebih buruk dari pengaturan saat ini. Untuk itu, perlu dicari jalan tengah untuk menampung perbedaan pandangan tersebut. Kesimpulan dan Rekomendasi Pemaknaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/ 2010 akan sangat tepat jika dikembalikan pada posisinya sebagai penjaga konstitusi. Perdebatan terkait penyadapan sebagai salah satu upaya paksa dalam menegakkan hukum tidak boleh menjadi boomerang dalam pemenuhan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Untuk menjaga pandangan tersebut, kita harus melihat putusan-putusan MK terkait penyadapan.secara politik hukumnya, penyadapan harus diatur dalam peraturan perundangundangan setara dengan materi muatan Undang-Undang. Untuk memakukan posisi penyadapan sebagai bagian upaya paksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka posisinya di dalam KUHAP sudah tepat, namun perlu dicermati, apa saja yang perlu diatur dalam KUHAP terkait penyadapan? Merujuk pada amanah dari MK, pengaturan menyeluruh di dalam KUHAP sulit untuk direalisasikan, sehingga akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil penyadapan. Hal-hal ini perlu diatur didalam KUHAP sebab berhubungan dengan proses peradilan.selanjutnya, prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di tataran Undang-Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh MK dan pengaturan penting lainnya. Undang-Undang khusus terkait penyadapan dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi negara Republik Indonesia. 5 Ibid
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak banyak dari regulasi tersebut
Lebih terperinciSurat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa
E. Pemeriksaan Surat Definisi Yang dimaksud dengan surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan pikiran seseorang dan digunakan
Lebih terperinciKONSTITUSIONALITAS PENYADAPAN (INTERCEPTION)
45 KONSTITUSIONALITAS PENYADAPAN (INTERCEPTION) DENGAN PERATURAN PEMERINTAH DARI SUDUT PANDANG PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (ANALISA PUTUSAN MK NO. 5/PUU-VIII/2010) Oleh: Hj. Nur Alam Abdullah, SH.,
Lebih terperinciPerihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kepada Yang Terhormat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Jakarta Perkenankan kami: 1. Anggara
Lebih terperinciBAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:
34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan
Lebih terperinciPerihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kepada Yang Terhormat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Jakarta Perkenankan kami: 1. Anggara
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.
Lebih terperinciMatriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK
Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka I. PEMOHON Setya Novanto Kuasa Hukum: DR. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M, Yudha Pandu, S.H.,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Achmad Saifudin Firdaus, SH., (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Bayu Segara, SH., (selanjutnya disebut
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan
Lebih terperinciHUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki manusia karena dirinya manusia. HAM menjadi dasar suatu Negara dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR I. PEMOHON Nining Elitos...(Pemohon 1) Sunarno...(Pemohon 2) Eduard
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Lebih terperinciHUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja
HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja PENDAHULUAN Kekosongan waktu pembahasan RUU KUHAP oleh DPR periode 2014-2019, dimanfaatkan oleh ICW untuk kembali mengundang pakar dan pemerhati hukum
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. DR. Busyro Muqoddas 2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 3. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan
Lebih terperinciMENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1
MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting
Lebih terperinciDR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015
DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 POKOK BAHASAN Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Wewenang Mahkamah
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana I. PEMOHON Sri Royani, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan
Lebih terperinciLAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI
LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat
Lebih terperinciSIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
Lebih terperinciSusunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.
Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden. 3 orang = diajukan o/ MA 3 orang = diajukan o/ DPR 3 orang = diajukan o/ Presiden
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciA. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,
49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XV/2017 Hak Konstitusional Guru Dalam Menjalankan Tugas dan Kewajiban Menegakkan Disiplin dan Tata Tertib Sekolah (Kriminalisasi Guru) I. PEMOHON 1. Dasrul (selanjutnya
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL I. UMUM Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperinciWahyu Wagiman, S.H., Zainal Abidin, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Totok Yuliyanto, S.H., Adam M. Pantouw, S.H., Adiani Viviana, S.H.
Jakarta, 21 Desember 2010 Kepada, YTH. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Cq. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jl. Medan Merdeka Barat No 6, Jakarta Perihal: Kesimpulan Para Pemohon Dalam
Lebih terperinciAttribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported (CC BY-NC-SA 3.0)
Editor Anggara Dipersiapkan dan disusun oleh Supriyadi W. Eddyono, S.H. Senior Researcher Associate Institute for Criminal Justice Reform supriyadi@icjr.or.id Wahyudi Djafar, S.H. Researcher Associate
Lebih terperinciAttribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported (CC BY-NC-SA 3.0)
Editor Anggara Dipersiapkan dan disusun oleh Supriyadi W. Eddyono, S.H. Senior Researcher Associate Institute for Criminal Justice Reform supriyadi@icjr.or.id Wahyudi Djafar, S.H. Researcher Associate
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA DAN PROF. DR. ANDI HAMZAH DALAM RANGKA PENGHARMONISASIAN,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA 28 /PUU-VIII/2010
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 28 /PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Hak Tersangka/ Terdakwa Untuk mengajukan Ahli I. PEMOHON 1. Dr. Y.B. Purwaning
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang
Lebih terperinci- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 24
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008
MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 I. PEMOHON Suta Widhya KUASA HUKUM JJ. Amstrong Sembiring, SH. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air: Prosedur
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah
Lebih terperinciMengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza
Lebih terperinciRISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-VIII/2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh I. PEMOHON Ir. H. Abdullah Puteh. Kuasa Hukum Supriyadi Adi, SH., dkk advokat
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 40/PUU-X/2012 Tentang Larangan Melakukan Praktek Yang Tidak Memiliki Surat Ijin Praktek Dokter atau Dokter Gigi I. PEMOHON H. Hamdani Prayogo.....
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 119/PUU-XII/2014 Pengujian Formil Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu 2/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan
Lebih terperinciRilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum
Rilis Pers Bersama Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Muhammad Hafidz. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 57 ayat (3) Undang -Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean) I. PEMOHON Philipus P. Soekirno bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, baik selaku
Lebih terperinci