HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Pemetaan Sagu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Pemetaan Sagu"

Transkripsi

1 45 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Pemetaan Sagu Sebaran Sagu Tanaman sagu di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua (2006) seluas ha atau 4,97 persen dari luas tanaman sagu di Provinsi Papua. Penyebaran tanaman sagu sebagian besar adalah tegakan alami berupa hamparan/kawasan yang kompak dan luas. Berdasarkan penafsiran peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura, sagu yang ada di Kabupaten Jayapura berada di pinggiran danau Sentani, Maribu, Nimbokrang (di sekitar sungai Grime dan Sermo) dan Kaureh (di sekitar sungai Nawa). Untuk penelitian ini lokasi difokuskan hanya pada lahan sagu yang ada di sekitar danau Sentani yakni di pinggiran danau Sentani meliputi 5 distrik yakni Distrik Sentani, Sentani Timur, Sentani Barat, Waibu dan Ebungfauw. Lahan sagu di daerah Nimbokrang dan Kaureh tidak dilakukan pengamatan karena letaknya yang jauh dan jenis serta produktifitas produski tidak sebaik kawasan sekitar Danau Sentani dan Maribu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis dan produktifitas sagu di sekitar Danau Sentani lebih baik dibandingkan daerah lain. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005), di Distrik Kaureh menemukan hanya terdapat 16 jenis sagu saja dan ini lebih rendah dibandingkan di Kawasan Kehiran (Distrik Sentani) ditemukan paling tidak 18 jenis sagu berdasarkan penelitian Miftahorochman dan Novirianto (2003). Hasil Penelitian Unipa (2005) dalam PT. Freeport Indonesia (2010) menemukan 31 jenis sagu di daerah Sentani. Produktifitas sagu di Sentani juga tergolong tinggi seperti dilaporkan Saitoh et al. (2003) dalam Bintoro, (2008) menemukan beberapa jenis unggul yang menghasilkan pati kering sagu hingga mendekati 1 ton per batang. Lahan bervegetasi sagu diinterpretasi secara bertahap yakni: (1) deteksi (global) ada tidaknya tanam yang bertajuk bintang; (2) identifikasi (setengah rinci) untuk memisahkan dari berbagai jenis tanaman yang bertajuk bintang; (3) Analisis (rinci) untuk membedakan lagi lebih rinci lahan sagu berdasarkan tipenya. Tahap ketiga berupa analisis dibahas pada sub sub bab tipe ekosistem sagu. Deteksi dilakukan dengan mencari lahan yang bervegetasi dan bertajuk bintang. Deteksi terhadap tanaman bertajuk bintang sangat mudah dilakukan

2 46 dengan bantuan citra GeoEye dari Google Earth karena sebagian besar tanaman bertajuk bintang di lokasi penelitian berupa hamparan/kawasan (Gambar 13). Setelah diperoleh adanya tanaman bertajuk bintang lalu dibedakan lagi (identifikasi) berbagai tanaman yang bertajuk bintang yang ditemukan pada tahap deteksi di lokasi penelitian. Jenis-jenis tanaman bertajuk bintang yang ada di lokasi penelitian berdasarkani literatur dan pengamatan lapang. Berdasarkan studi literatur dan pengamatan lapang, tanaman yang bertajuk bintang sebagai landasan untuk interpretasi sagu di lokasi penelitian hanya ada tanaman sagu, kelapa (Cocos nucifera) dan pinang (Areca catechu L.). Perbedaan tanaman sagu dengan tanaman lainnya (kelapa dan pinang) di lokasi penelitian yakni tanaman sagu belum sepenuhnya menjadi tanaman budidaya sedangkan kelapa dan pinang merupakan tanaman budidaya sehingga terlihat berbeda dari pola tumbuhnya. Sagu umumnya mempunyai pola tumbuh tidak teratur, gerombol dan agak jauh dari pemukiman karena belum dibudidaya (sagu alam) sedangkan kelapa dan pinang berpola tumbuh teratur dalam luasan sempit, tidak gerombol dan berada dekat dengan pemukiman. Umumnya kelapa dan pinang pada masyarakat asli Papua merupakan dijadikan tanaman pekarangan yang ditanam beberapa pohon saja di sekitar rumah atau kebun dengan jarak tanam tidak teratur (tidak ada jarak tanam). Jumlah yang sedikit dan hanya merupakan tanaman pekarangan yang tidak ditanam bersama sagu, tanaman kelapa dan pinang dapat diabaikan. Penampakan kelapa dan pinang dibandingkan dengan sagu dibedakan juga dari penampakan fisik. Pohon kelapa lebih kecil dibandingkan sagu dan pinang lebih kecil dibandingkan kelapa. Warna daun kelapa lebih terang dibandingkan sagu. Saat identifikasi sagu, kelapa dan pinang, resolusi spasial diperbesar mencapai beberapa kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi sehingga tampak jelas perbedaan fisik sagu dan kelapa (Gambar 14). Setelah teridentifikasi sagu lalu dilakukan pemetaaan melalui citra untuk mengetahui sebarannya. Areal yang didelineasi dari citra merupakan areal yang memiliki tanaman sagu minimal 30 persen dari penampakan vegetasi yang ada. Areal yang dinominasi tanaman selain sagu atau hanya dijumpai beberapa rumpun tanaman sagu dalam jumlah yang sedikit tidak dimasukkan dalam areal sagu yang didelineasi. Selain itu, areal sempit (< 0,25 ha) dan menyebar berjauhan (sporadis) tidak didelineasi.

3 47 Bukan sagu Sagu Gambar 13. Penampakan sagu dan bukan sagu Sagu Kelapa Gambar 14. Penampakan sagu dan kelapa Berdasarkan identifikasi citra GeoEye dari Google Earth ditemukan empat daerah berupa hamparan bervegetasi sagu berupa hutan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dan Distrik Maribu seluas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan salah satu kampung yang terdapat di daerah tersebut. Sebagian besar tanaman sagu masih merupakan tanaman liar (hutan sagu) yang tumbuh dengan sendirinya. Sedikit yang sudah melakukan penanaman dengan budidaya yang sangat sederhana (tipe dusun sagu) tanpa jarak tanam dan pemeliharaan intensif hanya pemangkasan daun-daun tua.

4 48 Penyebaran sagu di lokasi penelitian setelah ditumpangtindihkan dengan peta administrasi diketahui daerah administrasi yang masuk dalam daerah sagu seperti tersaji pada Gambar 15 dan Tabel 15. Dari gambar dan tabel diketahui bahwa penyebaran sagu paling luas pada daerah Kehiran meliputi 13 kampung sedangkan daerah Sosiri merupakan yang paling sempit luasnya dan hanya meliputi 1 kampung. Tabel 15. Luas lahan sagu Hamparan Distrik Kampung Hektar Harapan Sentani Timur Asei Besar 170,8 Kehiran Asei Kecil 22,8 Nendali 57,9 Luas 251,6 Ebungfauw Babrongko 151,3 Imporo 73,0 Sentani Dobonsolo 125,5 Hinekombe 2,6 Ifale 290,3 Ifar Besar 132,4 Sentani Kota 31,3 Yoboy 763,3 Sentani Timur Nendali 8,7 Waibu Donday 69,7 Doyo Baru 58,9 Doyo Lama 232,0 Kwadeware 428,4 Luas 2367,4 Maribu Sentani Barat Maribu 35,6 Panjang Rejo 163,6 Luas 199,2 Sosiri Waibu Sosiri 91,7 Luas 91,7 Luas Persen 8,6 81,4 Luas Keseluruhan 2909,8 100,0 6,8 3,2

5 49 Gambar 15. Sebaran lahan sagu

6 50 Di daerah Harapan terdapat Kampung Asei Kecil, Asei Besar dan Nendali (Harapan) Distrik Sentani Timur, berjarak ± 1 km dari kantor distrik dan jarak dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 10 km yang dapat di tempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 10 menit. Secara geografis, sebelah Utara berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop, sebelah Selatan dengan Kampung Takiwa, sebelah Timur dengan Kelurahan Waena dan sebelah Barat dengan Kampung Ifar Besar. Daerah ini terletak pada ketinggian m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 251,6 hektar. Pada daerah Kehiran terdapat 4 (empat) distrik dan 12 kampung. Daerah ini berjarak ± 1 km dari kantor distrik dan jarak dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 3 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 5 menit. Secara geografis, sebelah Utara daerah Kehiran berbatasan dengan Kampung Hinekombe dan Sereh sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Kemtu, sebelah Timur dengan Distrik Sentani Timur dan sebelah Barat dengan Kampung Sosiri. Daerah sagu Kehiran terletak pada ketinggian m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 2367,4 hektar. Pada daerah Sosiri hanya terdapat Kampung Sosiri dari sepuluh kampung yang ada Distrik Sentani Barat, berjarak ± 8 km dari kantor distrik sedangkan jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 10 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 20 menit. Secara geografis, sebelah Utara daerah Sosiri berbatasan dengan Distrik Sentani Barat sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Donday, sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Kampung Yakonde. Kampung Sosiri terletak pada ketinggian m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 91,7 hektar. Pada daerah Maribu terdapat Kampung Panjang Rejo dan Maribu Tua merupakan dua kampung dari sepuluh kampung yang ada Distrik Sentani Barat, yang berjarak ± 4 km dari kantor distrik. Jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 15 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 30 menit. Secara geografis, sebelah Utara berbatasan dengan daerah Sosiri sebelah Selatan berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop, sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Distrik

7 51 Depapre. Hamparan sagu ini terletak pada ketinggian m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan seluas 199,2 hektar. Data luasan lahan bervegetasi sagu dari interpretasi citra lebih rendah dibandingkan data lahan sagu dari Dinas Kehutanan. Data dari Dinas Kehutanan menyebutkan lahan bervegetasi sagu di lokasi penelitian seluas ha. Keadaan ini terjadi karena data penelitian hanya dihitung dari luas sagu berupa hamparan sedangkan areal sagu berupa spot-spot dan luasan kurang dari 0,25 ha tidak didelineasi. Selain itu, interpretasi yang dilakukan hanya pada lahan bervegetasi yang mempunyai sagu lebih dari 30 persen. Lahan-lahan berupa kebun yang ditanami (penyulaman) sagu oleh Dinas Kehutanan tidak dapat dideteksi dari citra karena tutupan lahannya dominan (> 30 persen) bukan sagu dan tidak adanya data (peta) mengenai sebaran sagu tanam. Untuk data lahan sagu dari Dinas Kehutanan sangat besar karena hasil interpretasi citra yang digunakan untuk menghitung luasan sagu adalah hasil interpretasi tutupan/penggunaan lahan (citra Landsat). Tutupan lahan berupa rawa dianggap sebagai habitat sagu walaupun kenyataannya rawa belum tentu ada sagu sehingga hasil hitungan terlalu besar. Selain itu, data luas penanaman sagu di setiap kegiatan sagu dari dinas merupakan penjumlahan luas penanaman sagu seluruh kegiatan tanpa melihat tumpangtindih pada lokasi yang sama termasuk dengan lahan dusun sagu masyarakat. Tipe Sagu Setelah pemetaan sebaran sagu, dilakukan lagi interpretasi lebih rinci berupa tahap analisis untuk mengetahui sebaran tipe sagu yang ada di setiap hamparan sagu. Resolusi spasial pada tingkat analisis ini tidak lebih tinggi lagi dari pada tahap identifikasi sagu. Mengacu klasifikasi tipe sagu menurut Matanubun et al. (2008), ditemukan 4 (empat) tipe sagu yaitu areal hutan sagu budidaya (masyarakat setempat biasa menyebutnya dusun sagu), hutan sagu alam, rawa sagu, dan sagu campuran. Pembagian tipe sagu tersebut berdasarkan tempat tumbuh dan pengaruh dari aktivitas manusia. Sagu di lokasi penelitian ditemukan tumbuh di daerah tergenang permanen, tergenang sesaat hingga daerah tidak tergenang (kering). Ada yang murni hanya sagu saja maupun bercampur tumbuh dengan tanaman lain. Ada yang telah dibudidayakan dan belum dibudidayakan.

8 52 Hutan sagu budidaya (dusun sagu) merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu persen) dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu campuran merupakan hutan sagu (sagu persen) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (Matanubun et al., 2008). Sebaran tipe sagu diperoleh dari interpretasi citra disesuaikan dengan hasil pengamatan kondisi sagu (pengamatan lapang) dan wawancara masyarakat. Saat interpretasi sebaran tipe sagu lebih mudah karena telah diketahui sebaran lahan bervegetasi sagu. Cakupan lokasi penelitian menggunakan beberapa lembar citra dengan resolusi spasial citra tinggi (Citra GeoEye) namun kondisi kecerahan citra yang berbeda-beda menimbulkan kesulitan dalam interpretasi. Tingkat kecerahan citra tergantung pada keadaan cuaca saat pengambilan gambar, waktu pengambilan (pagi, siang atau sore) dan sebagainya. Kesulitan saat interpretasi citra secara visual karena kemampuan mata membedakan warna yang terbatas. Penggunaan layanan gratis dari Google Earth menyebabkan kecerahan citra tidak dapat diperbaiki walapun resolusi spasialnya baik dan hanya bisa interpretasi secara visual. Kesulitan ini diatasi dengan menambah titik pengamatan (titik GPS). Kesulitan awalnya ditemukan untuk membedakan sagu hutan dan sagu rawa pada daerah peralihan yang lebar antara tipe tersebut. Keterbatasan mata pada interpretasi visual menyebabkan perbedaan batas di daerah peralihan sagu rawa dan sagu hutan hanya diperkirakan di tengah-tengah daerah peralihan tersebut. Demikian pula untuk membedakan hutan sagu dan dusun sagu. Pada kondisi sagu dusun yang terawat mudah dibedakan dengan hutan sagu karena perbedaan permukaan tekstur tajuk tanaman yang mencolok. Tekstur tajuk dusun sagu yang terawat lebih kasar dibandingkan dengan hutan sagu karena. Kesulitan ditemukan saat membedakan hutan sagu dan dusun sagu yang tidak terawat. Penampakan tekstur kanopinya hampir sama. Kesulitan ini diatasi dengan bantuan hasil wawancara dengan penduduk untuk membantu membedakan dusun sagu dan hutan sagu. Interpretasi citra untuk membedakan tipe-tipe areal sagu menggunakan beberapa unsur interpretasi yakni warna, tekstur, pola dan ukuran. Di lapangan tipe sagu dikenali dari tempat tumbuh, tegakan dan posisinya. Perbedaan

9 53 penampakan masing-masing tipe sagu dari citra dan di lapang disajikan pada Tabel 16. Penampakan warna sagu pada citra GeoEye nampak jelas pada berbeda pada hutan sagu dengan rawa sagu sedangkan hutan sagu dan dusun sagu tidak semuanya dapat dibedakan. Dusun sagu nampak berwarna hijau ketuaan sedangkan rawa sagu berwarna hijau muda dan rawa sagu berwarna hijau muda kekuningan. Perbedaan warna ini karena tempat tumbuh yang berbeda. Warna daun sagu pada dusun sagu lebih hijau ketuaan karena tempat tumbuhnya lebih kering sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkanpada hutan sagu. Sagu pada hutan sagu yang lebih hijau muda karena air tanah lebih dangkal sehingga agak terganggu pertumbuhannya walaupun tidak tergenang seperti rawa sagu. Rawa sagu yang berada di tempat tumbuh yang tergenang menyebabkan pertumbuhannya terhambat sehingga warna daun lebih berwarna hijau kekuningan. Tekstur tajuk nampak pada dusun sagu lebih kasar dibandingkan hutan sagu. Pada rawa sagu tekstur tajuk lebih halus. Selain itu, ketinggian tajuk pada dusun sagu lebih tinggi dibandingkan hutan sagu. Rawa sagu memiliki tinggi tajuk paling rendah karena tidak memiliki tegakan pohon. Di lapang, hal ini dapat dilihat bahwa tajuk tegakan pohon lebih besar. Jumlah tegakan pohon lebih bnayak, diameter dan tinggi batang pohon pada dusun sagu lebih besar dibandingkan hutan sagu. Hal ini karena jenis sagu yang ditanam pada dusun sagu berbeda dan tempat tumbuhnya lebih kering sehingga pertumbuhan sagu lebih baik dibandingkan pada hutan sagu yang tempat tumbuhnya lebih basah dan hanya ada jenis sagu hutan dan belum dibudidaya. Hutan mempunyai jumlah tegakan pohon sangat sedikit dan diameter, tinggi dan lebar tajuk lebih kecil. Pada rawa sagu, tegakan pohon tidak ditemukan hanya berupa tegakan semai. Dusun sagu dengan dusun sagu campuran dapat diketahui dari penampakan tajuk. Pada dusun sagu umumnya tajuk berbintang yang terlihat dominan (>80 persen) sagu sedangkan dusun sagu campuran, tajuk bintang bercampur dengan tajuk (vegetasi) lainnya. Hasil analisis sebaran tipe sagu yang ada di setiap daerah sagu disajikan Tabel 17 dan Gambar 16.

10 54 Tabel 16. Perbedaan penampakan tiap tipe sagu Tipe Dusun sagu (a) Citra GeoEye Warna hijau tua, permukaan kanopi nampak lebih kasar, diameter tajuk lebih besar, tinggi tajuk lebih tinggi dan berada dekat dengan pemukiman Penampakan Di lapangan Tanah lebih kering dan tidak rapat, jumlah tegakan pohon lebih banyak, tinggi dan diameter batang tegakan pohon lebih besar, warna daun lebih hijau tua. c a a Hutan Sagu alam (b) Warna lebih hijau muda, rapat dan permukaan kanopi agak kasar, berada agak jauh dari pemukiman (setelah dusun sagu) Tanahlebih basah, rumpun rapat, hanya ditemukan beberapa tegakan pohon dengan tinggi dan diameter batang tegakan pohon lebih kecil, warna daun lebih terang a b b

11 55 Rawa sagu (c) Warna lebih hijau kekuningan, permukaan kanopi Lebih halus dan lebih rendah dari sagu alam Tempat tumbuh rawa (tergenang), tidak ditemukan tegakan pohon hanya anakan. d a c c Sagu campuran (d) berselang-seling dengan pohon hutan lainnya, permukaan kanopi bercampur bukan saja bintang (sagu). Berada paling dekat dengan pemukiman dan jalan Tanah lebih kering dari dusun sagu dan rumpun sagu berselangseling dengan tanaman lain, banyak tanaman lain di lantai hutan. d a d

12 56 Dusun sagu ditemukan pada semua hamparan sagu di lokasi penelitian. Ini berarti penduduk di sekitar daerah sagu semua memanfaatkan hutan sagu sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Dusun sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Dusun sagu yang ditemukan ada yang murni dusun sagu dan ada juga dusun sagu campuran dengan tanaman lain atau pohon hutan lainnya (dusun sagu campuran). Hal ini dikarenakan dusun sagu murni yang sudah tidak terawat ditanami dengan tanaman lainnya seperti kakao (Theobroma cacao L), pinang, pisang (Musa sp) atau ditumbuhi pohon hutan. Banyak ditemukan di sekitar perkampungan di daerah Kehiran. Dusun sagu campuran ini menjadi awal permulaan konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Tabel 17. Luas lahan tipe hutan sagu yang ada setiap hamparan Tipe Daerah Luas Harapan Kehiran Maribu Sosiri Hektar Persen Dusun Sagu 604,4 0,0 604,4 20,8 Campuran Dusun Sagu 247,3 777,5 48,1 91, ,6 40,0 Hutan Sagu 14,9 14,9 0,5 Campuran Hutan Sagu 942,7 136,1 1078,8 37,1 Rawa Sagu 4,3 42,8 47,1 1,6 Luas 251,6 2367,4 199,2 91,7 2909,8 100,0 Hutan sagu alam hanya tersisa di daerah Kehiran dan Maribu sedangkan daerah Harapan dan Sosiri tidak ditemukan lagi. Walaupun sebelumnya daerah Harapan dan Sosiri juga mempunyai hutan sagu alam dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk yang memanfaatkan sagu dan terbatas luasan hutan sagu maka hutan sagu alam telah digantikan dengan hutan sagu budidaya (dusun sagu). Hutan sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Pada daerah Maribu ditemukan hutan sagu campuran dengan pohon hutan lainnya selain hutan sagu murni. Hutan sagu campuran ditemukan secara berangsur-angsur ke arah daerah yang semakin kering. Daerah yang kering populasi sagu semakin berkurang dikarena kecepatan tumbuhnya kalah dengan pohon hutan. Areal rawa sagu ditemukan sporadis pada pinggiran danau dan rawa permanen yang tidak kering sepanjang tahun dalam luasan yang sempit. Pada daerah Maribu tidak ditemukan rawa sagu. Secara keseluruhan areal tipe sagu yang paling luas ditemukan yakni dusun sagu dan yang paling sedikit luasnya yakni rawa sagu.

13 57 Gambar 16. Sebaran tipe sagu

14 58 Secara aktual, dusun sagu merupakan tipe areal sagu yang telah dibudidayakan dan menghasilkan pangan sagu walaupun teknik budidaya dari pembukaan lahan, pemeliharaan dan pemanenan masih sederhana. Teknik pembukaan areal dusun sagu baru umumnya dipilih dari areal hutan sagu yang dekat dengan dusun sagu yang telah ada dengan luas yang sempit (kurang dari 0,25 ha). Areal hutan sagu dibersihkan dengan cara membakar sagu saat musim kemarau hingga tidak ada lagi tanaman di atasnya. Setelah bersih, ditanami dengan anakan sagu yang berasal dari dusun sagu yang telah ada. jenis-jenis sagu yang ditanam beberapa jenis dan bercampur tanpa jarak tanam teratur. Pemeliharaan hanya berupa pembersihan daun-daun tua dan menanam kembali bekas tegakan yang telah dipanen dengan anakan baru (menyulam). Kondisi lingkungan sagu Wilayah sebaran sagu di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam ekosistem rawa (swamp) dan hutan hujan lahan rendah (lowland rainforest), Bentuk lahan wilayah ini terdiri atas (1) rawa lahan rendah dan (2) dataran lahan rendah. Daerah Harapan meliputi ekosistem rawa belakang dan dataran banjir, terletak secara sporadis di pinggiran danau Sentani. Rawa belakang (backswamp) dan dataran banjir dengan lereng kurang dari 2 persen. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan organik yang mempunyai kematangan fibrik hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar, dengan drainase sangat terhambat. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral bergambut dan gambut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Inceptisols dan Histosols. Inceptisols pada daerah ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik, berwarna hitam kecoklatan sampai coklat. Kedua ordo tanah ini berasosiasi dengan batas yang lebih jelas ke arah danau Sentani. Tanah Histosols dengan luasan meningkat cenderung terletak lebih dekat ke arah danau Sentani. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Inceptisols yang mempunyai drainase sangat terhambat dari pada tanah Histosols yang mengalami genangan dalam periode yang lama maupun permanen. Daerah Kehiran meliputi dataran aluvium berdrainase sangat terhambat, air tanah sangat dangkal. Tanah mineral dan mineral bergambut berwarna coklat terang ditemui pada areal ke arah danau Sentani. Tekstur liat berlempung

15 59 sampai pasir liat berdebu. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Aquepts dan Humaquept. Aquepts adalah Subordo dari Ordo Inceptisols yang mempunyai air tanah berada di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah. Humaquepts adalah Subordo dari ordo Inceptisols yang mempunyai horison histic. Tanah-tanah seperti ini relatif tidak subur. Daerah Sosiri meliputi ekosistem tanah mineral bergambut kearah danau Sentani, sedangkan ke arah perbukitan hanya terdiri atas tanah mineral berdrainase sangat terhambat sampai agak terhambat. Tekstur tanah sangat beragam mulai dari liat berlempung, lempung liat berpasir sampai lempung. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan organik yang mempunyai kematangan fibrik hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar. Asosiasi antara Aquept dan Hemist berangsur-angsur ditemui pada areal pengamatan ke arah danau. Inceptisols pada kawasan ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik, berwarna coklat tua. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Aquepts yang mempunyai drainase sangat terhambat atau tidak mengalami genangan permanen. Daerah Maribu meliputi ekosistem rawa semi permanen ditemui pada cekungan-cekungan dengan luasan sempit di antara tanah mineral. Tekstur lempung, liat berlempung, lempung liat berpasir, lempung berpasir sampai pasir. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi hutan sagu, pandanus dan vegetasi hutan campuran yang belum terdekomposisi sempurna dan mempunyai kematangan fibrik hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar, dengan drainase sangat terhambat sampai baik. Air tanah ditemui pada kedalam 10 cm- 50 cm dari permukaan. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral bergambut dan gambut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Entisols, Inceptisols dan Histosols yang berasosiasi pada luasan yang sempit. Tanah lapisan atas berwarna hitam sampai coklat kemerahan. Tegakan sagu Secara alami, semua fase pertumbuhan tipe tegakan sagu (semaian, tiang, pohon dan pohon siap panen) ditemukan pada semua tipe areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu. Pada rawa sagu hanya ada semai dan tiang sedangkan fase batang gagal terbentuk. Fase batang gagal terbentuk

16 60 dikarenakan sagu tumbuh di lahan yang tergenang permanen. Menurut Flach (1977, 1983) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) apabila genangan merendam akar nafas terus menerus, pertumbuhan sagu terhambat dan dengan sendirinya akan menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam pokok batangnya. Terkadang ditemukan tegakan pada dusun sagu hanya semai dan tiang sedangkan pohon (termasuk pohon siap panen) sudah tidak ada lagi. Tegakan siap panen termasuk tegakan pohon yang belum siap panen tersebut telah ditebangi untuk diambil patinya (dipanen) karena lahan dusun sagu tersebut telah dijual. Kondisi rumpun paling padat ditemukan pada areal tipe hutan sagu dibandingkan areal tipe sagu lainnya dikarenakan jenis sagu hutan mempunyai banyak anakan dibandingkan jenis sagu lainnya. Rumpun paling sedikit ditemukan pada tipe areal dusun sagu campuran dan hutan sagu campuran. Dusun sagu yang tidak dirawat atau segaja ditanami tanaman budidaya didalamnya, menyebabkan tanaman sagu ternaungi dari sinar matahari. Demikian pula dengan hutan sagu campuran yang berada dilahan kering menyebabkan banyak pepohonan hutan lainya tumbuh. Menurut Flach dan Scuiling (1986) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992), tanaman sagu memerlukan sinar matahari banyak atau tidak tahan naungan sehingga pertumbuhannya kalah bersaing dalam memperoleh sinar matahari dengan tanaman lainya. Dari berbagai tipe areal sagu yang ditemukan hanya tipe dusun sagu saja yang telah dibudidaya dan menghasilkan pangan sedangkan tipe lainnya tidak umum dimanfaatkan. Oleh karnanya, pengamatan potensi tegakan kerapatan hanya pada areal dusun sagu. Hasil pengamatan potensi tegakan dan kerapatan di dusun sagu setiap sebaran sagu disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Jumlah siap panen dan kerapatan di daerah sagu Daerah Jumlah siap panen (Tegakan/ha) Kerapatan (rumpun/ha) Harapan Kehiran Sosiri Maribu dan Tabel 18 menunjukkan bahwa semua sebaran mempunyai jumlah tegakan siap panen tergolong tinggi dibandingkan sagu budidaya umumnya 80 pohon/ha/tahun. Hal ini dikarenakan sagu yang ada di lokasi penelitian tidak

17 61 ditanam menggunakan jarak tanam sehingga tidak teratur dan rapat. Jumlah tegakan siap panen tertinggi pada daerah Kehiran serta Maribu. Untuk kerapatan rumpun tertinggi hanya pada daerah Maribu. Jika membandingkan jumlah siap panen terhadap kerapatan rumpun maka produktifitas tertinggi pada daerah Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis Sagu Jenis sagu yang dikenal oleh masyarakat berdasarkan ciri morfologi yang ada pada bagian tanaman sagu. Informasi tentang jenis sagu diperoleh lebih banyak dari wawancara sedangkan pada saat pengamatan sagu (survei lapang) tidak semua jenis yang diketahui masyarakat setempat ditemui. Keragaman jenis sagu antar kampung di dalam sebaran sagu sama jumlah jenisnya dikarenakan antar penduduk sering tukar menukar anakan sagu seperti saat acara adat pernikahan. Pertukaran anakan sagu antar penduduk menyebabkan jumlah jenis yang ditemui tiap kampung bahkan sama di dalam daerah sebaran. Perbedaan jumlah jenis sagu hanya antar daerah seperti disajikan Tabel 19. Tabel 19. Jenis-jenis sagu di sebaran sagu Daerah Jenis Sagu Harapan Kehiran Sosiri Maribu 7 jenis (Mambo, Layar, Super, Yamaha, Rondo, Mano (Sagu Hutan) 18 jenis (Osoghulu, Ebesung, Yebha, Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, Yakhali, Yoghuleng, Manno, Hili, Habela, phane,phara )* 12 jenis (Yeba, Bata, Para, Wani, Ojokuru, Nandea, Dondo, Ebenuksun, Yohari, Wakenoko, Manimo (sagu hutan), Denah) 16 jenis (Kutusaipren, Kutuprup, Wani, Njam, Bakroy, Njamkut, Dasiabu, Dimisba, Wami 2, Marangkra, Yekrum, Srom, Dano, Emperi, Mamakutu, Dundu.) *) Hasil survei; Miftahorochman dan Novirianto (2003) Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal dusun sagu sedangkan pada areal rawa sagu, hutan sagu alam dan hutan sagu campuran hanya ada satu jenis saja yakni sagu hutan atau dikenal dengan nama sagu mano (manino). Berdasarkan tabel di atas, jenis sagu yang paling beragam terdapat pada daerah Kehiran (18 jenis) sedangkan keragaman jenis pada daerah Harapan yang paling sedikit (7 jenis). Jenis sagu yang ditemukan saat survei dan wawancara hanya 8 jenis dikarenakan responden yang diwawancara tidak

18 62 mengetahui secara pasti semua jenis sagu yang ada diakui masih ada jenis yang tidak diketahuinya. Oleh karenanya, jenis sagu pada daerah Kehiran disesuaikan dengan hasil penelitian Miftahorochman dan Novirianto (2003). Nama-nama jenis sagu tiap daerah sebaran sagu tampak terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut lebih banyak karena bahasa/dialek bahasa yang berbeda walaupun sebenarnya jenis sagu tersebut sama jenisnya seperti penyebutan jenis dondo di daerah Sosiri, pada daerah Maribu disebut dundu sedangkan di daerah Kehiran dan daerah Harapan disebut rondo. Selain perbedaan bahasa dan dialek, tingkat pemahaman untuk membedakan jenis sagu antar daerah berbeda-beda. Misalnya masyarakat di daerah Sosiri membedakan lagi jenis wani menjadi wani dan wani 2. Pemanfaatan Hutan Sagu Pemanfaatan hutan sagu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di areal sagu adalah sama yakni untuk kebutuhan hidup (pangan dan papan), tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas kawin untuk pernikahan. Dusun sagu merupakan tipe sagu yang paling banyak dimanfaatkan terutama sebagai sumber pangan selain sumber bahan bangunan rumah (pelepah dan kulit sagu), tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas kawin untuk pernikahan. Hutan sagu tidak diambil pati sagunya hanya sebagai tempat untuk mencari ulat sagu dan memasang jerat untuk berburu hewan (terutama babi). Rawa sagu kadangkala dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan atau buaya. Perbedaan hanya pada intensitas pemanfaatannya saja. Jenis pemanfaatan hutan sagu untuk pangan dan papan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Pemanfaatan sagu Pemanfaatan Pati sagu Ulat sagu Jamur sagu Daun Kulit Pelepah Kegunaan Olahan makan (papeda/kapurung, sagu bakar) Sumber lauk Sumber sayuran Atap Lantai / Dinding rumah - Tali jahit atap - Tempat meremas sagu - Dinding rumah dan pagar

19 63 Semua jenis sagu dapat diambil sebagai sumber bahan makanan, kecuali jenis Mano atau Manino (jenis sagu hutan) karena tidak umum dikonsumsi dan hasil patinya sedikit. Diantara jenis sagu sebagai sumber makanan tiap-tiap masyarakat ada jenis yang sangat disukai. Sebagai contoh, masyarakat Sosiri menyukai jenis Yeba dan Para karena warnanya putih dan produktifitasnya tinggi. Untuk masyarakat Maribu lebih menyukai jenis sagu Kutusaipren, Kutuprup, Wani dan Njam. Sebagai sumber bahan makanan karbohidrat, sagu umumnya dijadikan sebagai makanan pokok yang diolah sebagai papeda (kapurung). Selain itu, dari tepung sagu dapat dibuat bahan makanan lain, seperti porno (sagu bakar), kue-kue kering, ongol-ongol, dan lain-lain. Selain empulurnya, dari sagu dapat juga diambil ulat sagu. Ulat sagu adalah organisme hidup yang terdapat pada batang sagu yang telah mati. Umumnya masyarakat mengambil ulat sagu ini dari batang yang tidak diambil pati (tidak dipanen). Ulat sagu ini dimakan karena enak rasanya dan mengandung protein tinggi. Sebagai sumber makanan dari sagu adalah jamur sagu. Jamur sagu diambil dari tempat ampas sagu berada. Untuk bahan bangunan, tidak semua jenis sagu bagian-bagian tanaman dapat digunakan sebagai bahan rumah dengan baik. Sebagai contoh, daun sagu jenis Denah (Sosiri) lebih disukai untuk atap karena lebih awet dan lebar. Kulit sagu jenis Wani pada kawasan Sosiri sangat baik untuk dinding atau lantai karena kuat. Sebagai sumber bahan makanan, bagian tanaman sagu yang diambil adalah batangnya yaitu bagian empelurnya. Manfaat lain dari sagu adalah sebagai sumber pendapatan. Sebagai sumber pandapatan, sagu diambil tepungnya kemudian dijual di pasar. Untuk ini tepung ditempatkan dalam karung yang dahulu menggunakan daun sagu yang diayam disebut tumang. Selain dijual di pasar, adakalanya orang atau pedagang memesan langsung ke rumah-rumah. Satu karung (beras 20 kg) tepung sagu dijual seharga Rp Tidak setiap waktu secara periodik orang menjual tepung sagu. Memanen sagu untuk di jual, hanya pada saat membutuhkan biaya untuk rumah tangga atau pendidikan anak. Masyarakat Sentani umumnya harus menggunakan sagu untuk acara - acara adat. Pertemuan-pertemuan adat, ibadah orang meninggal, syukuran, pernikahan, mas kawin salah satu makanan/bahan makanan adalah sagu. Hal ini menunjukkan sagu merupakan simbol legalitas untuk acara-acara adat.

20 64 Dari hasil wawancara didapatkan tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu berdasarkan kriteria pemanfaatan hutan sagu. Tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu disajikan pada Tabel 21 Gambar 17. Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sangat rendah tidak ditemukan. Ini berarti semua kampung yang berada di daerah sebaran sagu di lokasi penelitian memanfaatkan hutan sagu. Kecenderungan tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota (Sentani). Kampung di daerah Harapan dan Kehiran yang letaknya paling dekat dengan pusat kota masih ditemukan intensitas pemanfaatan hutan sagu masih tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini dikarenakan aksesibilitas kampung-kampung tersebut untuk menuju pusat kota harus menyeberang danau hingga perlu biaya yang lebih mahal. Oleh karenanya kampung-kampung tersebut masih sangat tergantung pada hutan sagu. Kampung Panjang Rejo pada daerah Maribu tingkat pemanfaatan rendah dikarenakan daerah ini merupakan eks transmigran sehingga hanya sebagian besar penduduknya berasal dari luar papua (Pulau Jawa) yang tidak memanfaatkan hutan sagu. Tabel 21. Tingkat pemanfaatan hutan sagu No Daerah sebaran sagu 1 Harapan 2 Kehiran Kampung - Kampung Asei Kecil - Kampung Asei Besar - Kampung Nendali - Kampung Sentani Kota - Kampung Ifar Besar - Kampung Dobonsolo - Kampung Ifale - Kampung Yoboy - Kampung Kwadeware - Kampung Doyo Lama - Kampung Doyo Baru - Kampung Donday - Kampung Babrongko - Kampung Imporo Tingkat pemanfaatan Menengah Sangat Tinggi Rendah Rendah Tinggi Rendah Menengah Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi 3 Sosiri - Kampung Sosiri Sangat Tinggi 4 Maribu - Kampung Maribu - Kampung Panjang Rejo Sangat Tinggi Rendah

21 65 Gambar 17. Tingkat pemanfaatan lahan sagu

22 66 Kebutuhan Lahan Sagu Untuk Pangan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan. Perencanaan kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan didasarkan pada pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, pertumbuhan produktivitas serta kebutuhan pangan nasional. Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan luasan lahan sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan termasuk pangan sagu. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Jayapura 10 tahun terakhir adalah 4,16 persen per tahun (BPS, 2010). Sejauh ini tidak ada program khusus dari pemerintah Kabupaten Jayapura yang ditunjukkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan konsumsi sagu. Kebutuhan konsumsi sagu dibuat dua skenario yakni skenario 1, konsumsi aktual sagu rata-rata naik 1,27 persen per tahun berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2008 dan skenario 2 berdasarkan standar Pola Pangan Harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kapita/tahun. Konsumsi ideal sagu pada penetapan PPH sangat kecil bagian dari umbi-umbian hanya 6 persen dibandingkan beras mencapai 50 persen. Hal ini menyebabkan ada kecenderungan usaha penurunkan konsumsi sagu aktual yang masih tinggi (17,95 kg/kapita/tahun) dari standar ketersediaannya menjadi 15,11 kg/kapita/tahun. Penetapan PPH bersifat nasional tanpa melihat keragaman pangan tiap daerah. Oleh karenanya pemerintah belum mempunyai kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sagu karena masih dianggap tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi ideal bahkan cenderung menurunkan konsumsi hingga mencapai konsumsi ideal PPH. Data produktifitas sagu diperoleh dari hasil wawancara dengan cara menghitung kemampuan petani sagu di lokasi penelitian untuk memanen sagu. Tiap pohon rata-rata diperoleh 184 kg tepung sagu dan tiap hektar rata-rata dapat dipanen 48 pohon/ha/tahun maka dari setiap hektar akan diperoleh 8,8 ton tepung sagu/ha/tahun. Kebutuhan luas lahan sagu hingga tahun 2030 berdasarkan jumlah penduduk di lokasi penelitian dan kontribusinya untuk tingkat lebih tinggi tersaji pada Tabel 22 dan Gambar 18.

23 67 Tabel 22. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di lokasi penelitian Tahun ke Tahun *) Skenario 1 (ha) Kebutuhan luas *) Skenario 2 (ha) *) Skenario 1 (ha) Surplus Lahan *) Skenario 2 (ha) ,2 123,3 1012,4 1041, ,5 128,5 1004,1 1036, ,3 133,8 995,3 1030, ,6 139,4 986,0 1025, ,4 145,2 976,2 1019, ,7 151,2 965,9 1013, ,6 157,5 955,0 1007, ,1 164,0 943,5 1000, ,2 170,9 931,4 993, ,0 178,0 918,6 986, ,5 185,4 905,1 979, ,7 193,1 890,9 971, ,7 201,1 875,9 963, ,5 209,5 860,1 955, ,2 218,2 843,4 946, ,9 227,3 825,7 937, ,4 236,7 807,2 927, ,0 246,6 787,6 918, ,7 256,8 766,9 907, ,5 267,5 745,1 897,1 Kecukupan lahan sagu di suatu wilayah dapat diketahui dengan memperbandingkan ketersediaan lahan sagu dan kebutuhannya. Lahan yang menghasilkan sagu (dusun sagu) di lokasi penelitian luas 1.164,6 hektar. Luasan dusun sagu yang digunakan adalah luas dusun sagu aktual yang ada di lokasi penelitian dan belum melihat arahan pemanfaatan ruang pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada (peruntukan untuk hutan lindung, sempadan danau dan kawasan budidaya). Kebutuhan untuk lahan sagu untuk memenuhi konsumsi sagu saja berdasarkan jumlah penduduk di lokasi penelitian hingga 20 tahun akan datang berdasarkan skenario 1 dan skenario 2 masing-masing 419,5 ha dan 267,5 ha.

24 68 Gambar 18. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Secara umum kebutuhan sagu untuk konsumsi saja berdasarkan luas lahan sagu yang menghasilkan (dusun sagu) masih tercukupi. Jika dibandingkan luas lahan yang menghasilkan sagu dengan kebutuhan lahan, hanya terpakai 36,0 persen untuk konsumsi aktual dan 23,0 persen untuk konsumsi ideal (PPH) hingga 2030 untuk penduduk di lokasi penelitian. Masih terdapat kelebihan lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual. Kelebihan luasan sagu yang ada setelah mencukupi kebutuhan lahan sagu di daerah penelitian dapat digunakan untuk kontribusi kebutuhan pangan sagu daerah di tingkat lebih tinggi. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi kebutuhan lahan sagu untuk Kabupaten Jayapura dihitung menggunakan data konsumsi kebutuhan pangan dan asumsi produktifitas sagu seperti pada tingkat lokasi penelitian. Berdasarkan data BPS Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2010 mencapai jiwa dengan laju rata-rata 4,16 persen dari tahun 2000 hingga Proyeksi penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2030 mencapai jiwa sehingga kebutuhan luas lahan sagu 752,3 ha untuk skenario 1 dan 479,7 ha untuk skenario 2 (Tabel 23 dan Gambar 19). Kontribusi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat

25 69 Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha (35,4 persen) untuk skenario 1 dan 684,9 ha (58,8 persen) untuk skenario 2. Tabel 23. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Kabupaten Jayapura Kebutuhan luas Surplus Lahan No Tahun *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) ,7 212,3 905,9 952, ,9 221,2 891,7 943, ,8 230,4 876,8 934, ,6 239,9 861,0 924, ,2 249,9 844,4 914, ,8 260,3 826,8 904, ,3 271,1 808,3 893, ,9 282,4 788,7 882, ,5 294,2 768,1 870, ,2 306,4 746,4 858, ,1 319,2 723,5 845, ,3 332,4 699,3 832, ,8 346,3 673,8 818, ,7 360,7 646,9 803, ,1 375,7 618,5 788, ,1 391,3 588,5 773, ,7 407,6 556,9 757, ,0 424,5 523,6 740, ,1 442,2 488,5 722, ,2 460,6 451,4 704,0 Gambar 19. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di Kabupaten Jayapura

26 70 Surplus lahan yang masih ada setelah dihitung untuk kebutuhan pangan sagu di lokasi penelitian dan ditingkat Kabupaten Jayapura dapat digunakan untuk memasok kebutuhan pangan sagu di kabupaten lain di Propinsi Papua yang tidak memiliki lahan sagu. Kabupaten yang berada di dataran tinggi Papua tidak memiliki lahan sagu dan tidak sesuai untuk budidaya sagu seperti Kabupaten Wamena, Puncak Jaya, dan Lani Jaya. Kabupaten-kabupaten ini potensial untuk dijadikan tempat untuk memasarkan kelebihan produksi tepung sagu dari surplus lahan yang ada. Kelebihan tepung sagu tersebut juga dapat dimanfaatkan (dijual) untuk kebutuhan industri selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga nantinya sagu dapat disajikan sebagai sumber penghasilan. Untuk meningkatkan kontribusi kebutuhan pangan sagu ditingkat Propinsi Papua perlu dilakukan intensifikasi untuk meningkatkan produktifitas. Asumsi produktifitas yang digunakan pada proyeksi ini 8,8 ton/ha/tahun masih sangat mungkin ditingkatkan menjadi 30 ton/ha/tahun bahkan lebih tinggi lagi jika dilakukan teknik budidaya sagu dengan baik dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan. Salah satu cara intensifikasi yakni penanaman jenis sagu unggul yang menghasilkan pati tinggi. Jenis unggul lokal dapat digunakan seperti yang dilaporkan Saitoh et al. (2003), dalam Bintoro (2008) bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kg/pohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Kebutuhan luasan sagu untuk konsumsi sagu di atas akan berkurang jika tidak ada kebijakan pemerintah kabupaten jayapura untuk meningkatkan jumlah konsumsi sagu dimasyarakat, karena ada kecenderungan konsumsi sagu semakin menurun setiap tahunnya yang beralih ke beras. Seperti yang dilaporkan Hutapea (2003) bahwa konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126 kg/kapita/tahun pada 1994 menjadi 95,53 kg/kapita/tahun pada Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu dan program beras murah untuk rakyat miskin (raskin). Untuk itu perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang popular dan mengganti beras murah menjadi pangan murah. Demikian pula dengan produktifitas sagu jika ditingkatkan dari asumsi yang dibuat akan mengurangi luas sagu yang dibutuhkan. Konversi lahan potensial sagu ke penggunaan lain sangat mudah terjadi karena lahan potensial sagu merupakan lahan datar yang mempunyai daya jual

27 71 tinggi dibandingkan lahan tidak datar. Perlu adanya pengawasan lahan-lahan potensial sagu sehingga tetap terjaga penggunaannya. Perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di atas mempunyai beberapa kekurangan karena asumsi yang digunakan dan keterbatasan memperoleh data yang valid. Data luasan sagu yang digunakan adalah data luasan lahan dusun sagu berupa hamparan. Kenyataanya luasan dusun sagu yang ada di lokasi penelitian lebih luas. Lahan-lahan dusun sagu atau yang bercampur dengan vegetasi (dusun sagu campuran) yang sempit hanya terdapat beberapa rumpun sagu lain tidak dihitung karena kesulitan mendelineasi secara visual disebabkan keterbatasan mata merinci warna. Asumsi luas lahan yang digunakan dalam proyeksi kebutuhan lahan sagu hanya lahan dusun sagu. Padahal lahan yang berproduksi menghasilkan sagu selain dusun sagu adalah dusun sagu campuran. Walaupun terdapat sagu dan dimanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu namun secara bertahap dusun sagu campuran akan berubah menjadi lahan pertanian lain karena ditanami komoditas yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi (seperti tanaman kakao) pada saat ini sehingga tidak dipilih dalam penentuan luasan LP2B. Oleh karenanya, dusun sagu campuran tidak dimasukkan dalam menghitung kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Data konsumsi aktual sagu yang digunakan diperoleh dari laporan Neraca Bahan Makanan (NBM). merupakan hasil perbandingan produksi sagu dengan jumlah penduduk. Data yang digunakan hanya menggambarkan konsumsi rata-rata penduduk seluruh Kabupaten Jayapura, tidak menggambarkan pola konsumsi sagu masyarakat yang sebenarnya. Tidak adanya data jumlah penduduk berdasarkan suku dan data produksi sagu di setiap distrik di Kabupaten Jayapura sehingga sulit menghitung konsumsi aktual sagu. Padahal tidak semua penduduk di Kabupaten Jayapura mengkonsumsi sagu. Penduduk di Kabupaten Jayapura terdiri dari penduduk asli (Papua) dan penduduk pendatang (luar Papua). Kebanyakan yang mengkonsumsi pangan sagu sehari-hari hanyalah penduduk asli Sentani dan penduduk asli lainya yang berasal dari pesisir Papua. Penduduk yang berasal dari luar Papua dan penduduk asli papua dari daerah pengunungan tidak dominan mengkonsumsi sagu. Data produksi sagu yang tercatat dalam NBM hanya data sagu yang dijual di pasar sedangkan produksi sagu yang langsung dikonsumsi tidak dihitung.

28 72 Oleh karenanya data konsumsi sehari-hari masih lebih tinggi lagi dari pada data komsumsi aktual di NBM. sagu pada penduduk asli Papua Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Sagu Arahan pengembangan lahan pertanian sagu memberi informasi lokasi ketersediaan lahan sagu yang sesuai berdasarkan aspek fisik untuk pengembangan pertanian pangan sagu didasarkan pada kesesuaian lahan, rencana pemanfaatan/penggunaan ruang (RTRW) dan penggunaan saat ini. Kesesuaian lahan untuk sagu diperlukan untuk mendapatkan lahan-lahan potensial yang sesuai untuk sagu selain lahan yang telah ada tanaman sagunya (lahan aktual sagu). Kesesuaian lahan tersebut dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) dan belum mempertimbangkan tingkat pengelolaan serta faktor penghambat berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman sagu. Standar penilaian kesesuaian untuk tanaman sagu hingga saat ini belum tersedia sehingga pendekatan yang dilakukan berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang tempat tumbuh sagu alam. Kriteria yang dihasilkan untuk penilaian kesesuaian lahan sagu diklasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai karena terbatasnya data atau informasi tentang penilaian. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) mengusulkan dalam pengharkatan lahan sagu menggunakan dua kriteria pembeda harkat yaitu tegakan dan sifat-sifat lahan. Sifat-sifat lahan sagu terdiri dari sifat-sifat tanah dan perilaku hidrologi lahan tempat tumbuh sagu. Lebih lanjut menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) tanaman sagu berupa hamparan tumbuh ditempat datar hingga ketinggian 700 m dpl namun idealnya kurang dari 400 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai yang terpenting dari tanah adalah kedalaman air tanah kurang dari 100 cm atau tidak tergenang permanen. Hasil pengecekan lapang diperoleh bahwa sebaran sagu ditemukan hingga pada lahan berlereng 15 %. Hal tersebut diperoleh setelah menumpangsusunkan sebaran sagu dengan peta lereng dari dibuat dari citra Aster Gdem. Sebenarnya sagu tidak tumbuh pada lereng 15 % dikarenakan menggunakan peta lereng dari Aster Gdem yang kurang detail untuk maka lereng yang ada adalah lereng global. Pada lereng global tersebut, secara mikro

29 73 (lebih detail) terdapat tempat-tempat datar dengan lereng kurang dari 2 % sehingga memungkinkan sagu tumbuh. Berdasarkan sifat tempat tumbuh sagu tersebut di atas dilakukan pencarian tempat-tempat yang sama dengan tempat tumbuh sagu alam dengan mengtumpangtindihkan peta kemiringan lereng, kontur, dan kedalaman air tanah dengan model SIG. Hasil penilaian kesesuian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas ,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu. Untuk mengetahui peruntukan lahan sesuai sagu pada rencana tataruang Kabupaten Jayapura (RTRW Kabupaten Jayapura), peta kesesuaian lahan untuk sagu tersebut ditumpangtindihkan dengan peta rencana tata ruang (RTRW) Kabupaten Jayapura. Hasil tumpangtindih peta kesesuaian lahan sagu dan peta RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha (4,4 %) dan kawasan budidaya ,0 ha (95,6 %). Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya dan melebihi dari kebutuhan lahan sagu untuk pangan yang telah diproyeksikan maka pemilihan lahan untuk pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Hal tersebut juga mempermudah untuk menambahkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW nantinya. Setelah dikurangi dengan kawasan budidaya non pertanian dan kawasan lindung diperoleh lahan sesuai yang berada di kawasan budidaya pertanian seluas 9.223,8 ha. Untuk mengetahui ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk penggunaanya pada kawasan budidaya pertanian perlu tumpangtindih lagi dengan peta penggunaan lahannya. Hasil tumpangtindih peta lahan arahan pemanfaatan sesuai tutupan/penggunaan lahan pada kawasan budidaya tersaji pada Tabel 24 dan Gambar 20. Tabel 24. Luas lahan berdasarkan tutupan/penggunaan lahan pada kawasan budidaya Penggunaan lahan Kawasan budidaya Campuran Hutan Budidaya Luas (ha) Hutan 20,2 246,0 266,2 Lahan pertanian 3819,1 1425,3 5244,4 Lahan Terbangun 645,2 115,4 760,6 Lahan Terbuka 288,0 51,4 339,4 Sagu 2219,4 263,4 2482,8 Semak 129,8 0,6 130,4 Luas (ha) 7121,7 2102,1 9223,8

30 Gambar 20. Arahan pemanfaatan untuk sagu 74

31 75 Dari Tabel di atas diketahui bahwa tutupan/pengunaan saat ini lahan sesuai sagu yang berada di kawasan budidaya pertanian terdiri dari hutan, lahan pertanian, lahan terbuka, lahan terbangun, semak dan sagu. Lahan terbangun merupakan lahan yang tidak lahan tersedia sehingga perlu dikeluarkan dalam menghitung lahan tersedia. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan tersedia yang dapat dimanfaatkan untuk sagu seluas 8.463,2 ha. Lahan pertanian merupakan penggunaan lahan pada terluas sedangkan tutupan berupa semak paling sedikit dari lahan tersedia. Lahan terbangun yang ada di kawasan budidaya pertanian seharusnya tidak ada. Adanya lahan terbangun pada kawasan budidaya pertanian menunjukkan penyimpangan rencana pemanfaatan ruang (inkonsistensi). Hal ini jika tidak dikendalikan atau dilakukan pengawasan akan semakin banyak lahan tersedia untuk sagu berubah penggunaanya menjadi lahan terbangun sehingga semakin mengurangi keberadaan lahan tersedia untuk sagu. Penggunaan lahan berupa lahan terbangun tidak mungkin (sulit) berubah menjadi lahan pertanian lagi. Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi. Selebihnya digunakan untuk perluasan lahan sagu (ekstensifikasi) nantinya. Dalam upaya menjaga keberadaan lahan arahan tersebut dari penggunaan lain terutama lahan terbangun perlu adanya tindak lanjut setelah perencanaan dan penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Tindak lanjut yang diamanat pada ruang lingkup undang-undang ini yakni pembinaan, pengendalian, pengawasan dan peran serta masyarakat. Salahsatu cara mengendalikan perubahan penggunaan lahan sagu dengan melibatkan masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat berpendapat bahwa tanah dan hutan dijaga oleh seseorang yang dianggap kramat dan memiliki kekuatan yakni kepala suku atau kepala adat. Oleh karenanya kepemilikan tanah dan hutan di Papua secara umum berupa komunal dan pribadi. Kepemilikan tanah adat komunal berdasarkan kepemilikan bersama dalam satu klen atau fam berupa hutan, sungai, atau tempat yang dikramatkan. Kepemilikan tanah pribadi didasarkan pada keluarga inti seperti tanah kebun (ladang) atau pekarangan. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang bersifat komunal diatur oleh seorang dituakan yakni kepala suku. Oleh karna itu

32 76 dalam aspek pembinaan dapat berupa pelibatan masyarakat adat terutama pelibatan tokoh adat dalam sosialisasi. Dalam perkembangannya, beberapa kepala suku yang menjual tanah komunal kepihak luar (pendatang) sehingga masyarakat adat sekarang lebih menghormati kepala suku yang mempunyai banyak harta. Harta yang banyak dilihat dari luas tanah, hutan, ladang dan jumlah babi. Penekanan yang harus dilakukan terhadap pelestarian lahan sagu yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya masyarakat adat sebagai muatan dalam peraturan daerah dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan nantinya. Identifikasi dan pemetaan LP2B Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Perencanaan kawasan LP2B diharapkan dari lahan sagu yang telah ada menghasilkan pangan sagu. Dari tipe sebaran sagu, lahan dusun sagu merupakan lahan pangan sagu yang telah berproduksi secara aktual. Untuk itu, dalam menentukan LP2B dipilih sebaran sagu yang bertipe dusun sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah ada kegiatan budidaya dan telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produksi pangan sagu. Dusun sagu juga yang dipilih karena memiliki jenis sagu yang paling beragam dan produktifitas paling tinggi sehingga dengan menetapkannya menjadi LP2B maka secara langsung menjaga keragaman plasma dan memberdayakan petani sagu yang telah ada. lahan bervegetasi sagu diketahui tipe dusun seluas 1164,6 hektar atau 40,0 persen dari luas lahan bervegetasi sagu. Lahan dusun sagu tersebut ada berada di kawasan lindung dan kawasan budidaya sedangkan Lahan yang akan diusulkan untuk perencanaan LP2B berada di kawasan budidaya. Oleh karena itu, lahan dusun sagu yang akan dipilih menjadi LP2B hanya yang berada di kawasan budidaya khususnya budidaya pertanian. Hasil tumpangsusun peta tipe dusun sagu dengan peta ketersediaan lahan diperoleh dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan campuran yang akan dipilih menjadi LP2B seluas 950,1 ha atau 81,6 persen dari dusun sagu yang ada. Penetapan LP2B berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, produktifitas dan tingkat konsumsi.

33 77 Oleh karenanya, berdasarkan hasil proyeksi diketahui bahwa kebutuhan lahan sagu untuk ditetapkan sebagai LP2B di Kabupaten Jayapura sesuai skenario yang telah dibuat seluas 590,2 hektar untuk konsumsi aktual (skenario 1) dan 173,6 hektar untuk konsumsi ideal (skenario 2). Dari luasan dusun sagu yang akan ditetapkan untuk LP2B ternyata lebih luas (950,1 ha) dari kebutuhannya (590,2 ha dan 173,6 ha) maka perlu dilakukan urutan prioritas penetapan dusun sagu yang akan ditetapkan menjadi LP2B. Urutan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan keragaman dari masing-masing dusun sagu yang ada. Keragaman yang dipertimbangankan meliputi produktivitas (rumpun dan pohon siap panen), jenis dan intensitas pemanfaatan. Produktivitas sagu digambarkan dengan jumlah rumpun dan pohon siap panen per hektar. Semakin tinggi jumlah rumpun dan pohon siap panen per hektar semakin tinggi pula produksi panennya. Diharapkan dusun sagu yang dipilih adalah dusun sagu yang mempunyai produktifitas yang tinggi sehingga dusun sagu yang terpilih adalah dusun sagu yang memiliki rumpun dan pohon siap panen terbanyak. Keragaman jenis mengambarkan banyaknya jenis sagu di setiap kawasan. Semakin banyak jenis sagu yang ditemukan semakin beragam plasma nutfah sagu yang ada. Diharapkan dusun sagu yang terpilih memiliki jumlah jenis sagu tinggi sehingga keragaman plasma nutfa sagu yang ada tetap terjaga. Intensitas pemanfaatan mengambarkan tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan sagu dari paling tinggi hingga tidak dimanfaatkan. Urutan prioritas yang dipilih terlebih dahulu untuk menjadi lahan LP2B berturut-turut adalah sangat tinggi hingga sangat rendah. Hal ini dikarenakan lahan-lahan yang pemanfaatannya masih tinggi berarti pemilik lahan memiliki mata pencaharian sebagai petani sagu sehingga lebih mudah dilakukan pembinaan nantinya. Selain itu, lahan sagu yang masih tinggi pemanfaatannya tidak akan mudah terkonversi ke penggunaan lain (dijual) dikarenakan ketergantungan penduduk masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masing-masing keragaman di atas ditumpangsusunkan sesuai skor dan bobot yang telah dibuat sebelumnya sehingga memperoleh total bobot. Hasil tumpang susun berdasarkan total bobot pada masing-masing kampung tersaji pada Tabel 25 dan Gambar 21. Berdasarkan hasil peringkat total bobot diperoleh urutan prioritas lahan-lahan sagu untuk usulan pengembangan menjadi LP2B. Lahan-lahan sagu yang mempunyai bobot tertinggi (0,79) umumnya berada di

34 78 pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada di pinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga Danau Sentani selain pertimbangan keragaman sagunya. Tabel 25. Luas lahan usulan LP2B tiap kampung berdasarkan urutan prioritas Kampung Total bobot * Luas 0,48 0,49 0,56 0,59 0,69 0,76 0,78 0,79 (ha) Asei Besar 119,4 10,3 129,7 Asei Kecil 15,8 15,8 Babrongko 73,1 73,1 Dobonsolo 75,6 75,6 Donday 10,4 10,4 Doyo Lama 0,2 0,2 Hinekombe 2,6 2,6 Ifale 123,3 123,3 Ifar Besar 114,3 114,3 Imporo 42,1 42,1 Kwadeware 1,6 1,6 Maribu 1,1 0,7 22,3 24,1 Nendali 47,2 47,2 Panjang Rejo 6,3 10,9 17,2 Sentani Kota 31,3 31,3 Sosiri 0,1 80,1 80,1 Yoboy 161,3 161,3 Luas (ha) 6,3 168,8 15,8 123,5 115,9 119,4 0,7 399,5 950,1 *) Semakin tinggi total bobot semakin tinggi urutan prioritas pengembangan LP2B Sagu yang berada di pinggiran danau berperan secara fisik dan ekologi. Secara fisik lahan-lahan sagu sebagai penjaga garis Danau Sentani dan erosi sehingga danau tidak mudah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Angin yang bertiup langsung dari danau biasanya menyebabkan kerusakan daerah di belakangnya dengan adanya sagu dapat mengurangi terpaan angin. Secara ekologi berperan sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, kerang dan biota danau lainnya selain sumber plasma nutfah sagu yang sudah ada.

35 79 Gambar 21. Urutan prioritas LP2B

36 80 Selama hutan sagu dieksploitasi masih secara tradisional atau hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat, masalah degradasi pertumbuhan hutan sagu atau penurunan produksi tidak perlu dirisaukan. Nantinya setelah penetapan hutan sagu menjadi LP2B akan menjadikan hutan sagu di \eksplotasi secara terus menerus (sagu budidaya) dan dalam jumlah yang besar sehingga perlu adanya pembudidayaan sagu. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 41 tahun 2009 setelah penetapan menjadi LP2B perlu adanya pengembangan hutan sagu meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Intensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan: a. peningkatan kesuburan tanah; b. peningkatan kualitas benih/bibit; c. pendiversifikasian tanaman pangan; d. pencegahan dan penanggulangan hama tanaman; e. pengembangan irigasi; f. pemanfaatan teknologi pertanian; g. pengembangan inovasi pertanian; h. penyuluhan pertanian; dan/atau i. jaminan akses permodalan. Tindakan pemuliaan perlu dilakukan agar sifat-sifat sagu baik dan berekonomi tinggi yang dikehendaki dapat dipertahankan. Contohnya jenis Para dan Folo mempunyai produksi tinggi perlu dipertahankan. Pemupukan tidak pernah dilakukan pada hutan sagu karena tidak semua pohon dipanen untuk diambil tepungnya. Bila pohon mati tanpa dipanen maka siklus hara masih di sekitar pohon tersebut. Oleh karena itu tanpa pemupukan produksi pati sagu masih sangat tinggi. Namun jika sagu dikelola secara intensif maka pemupukan perlu dilakukan dalam tindakan pemeliharaan. Menurut Flach (1983) dalam Bintoro (1999), dalam satu hektar di panen 136 batang, maka unsur hara yang terangkut sebanyak 100 kg N, 70 Kg P 2 O 5, 260 Kg K 2 O, 200 Kg Ca 2 O dan 50 Kg MgO. Hama dan penyakit sagu pada hutan sagu belum mengganggu karena masih dalam keadaan seimbang. Identifikasi dan pemetaan LCP2B Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Berdasarkan peta arahan pemanfaatan lahan sagu diperoleh lahan potensial sagu seluas 7.488,7 ha (Tabel 26).

37 81 Tabel 26. Luas lahan potensial berdasarkan tutupan/penggunaan di kawasan budidaya Penggunaan lahan Kawasan budidaya Campuran Hutan Budidaya Luas (ha) Hutan 20,2 246,0 266,2 Lahan pertanian 3819,1 1425,3 5244,4 Lahan Terbuka 288,0 51,4 339,4 Sagu 1388,2 120,1 1508,3 Semak 129,8 0,6 130,5 Luas (ha) 5645,3 1843,4 7488,7 Lahan potensial sagu terdiri dari lahan yang telah ada tanaman sagunya (lahan sagu) maupun belum ada tanaman sagu (lahan bukan sagu). Lahan potensial sagu tidak bervegetasi sagu pengunaan atau tutupan lahannya berupa kebun, lahan terbuka, dan semak belukar namun sesuai untuk pertumbuhan sagu. Lahan potensial bervegetasi sagu berupa lahan hutan sagu dan hutan sagu campuran. Lahan potensial sagu tersebut nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu jika kebutuhan sagu yang telah ada (usulan LP2B) tidak mencukupi. Luas lahan sagu yang ada sekarang (usulan LP2B) melebihi kebutuhan luas lahan pangan sagu berdasarkan proyeksi hingga tahun Oleh sebab itu, lahan cadangan yang disiapkan cukup dari lahan yang telah ada vegetasi sagu yang tidak diusulkan menjadi LP2B. Selain untuk memudahkan pengawasan dan menyediakan ruang untuk penggunaan lainnya. Dari segi kesesuaian lahan sagu, lahan yang telah ada tanaman sagunya kemungkinan lebih baik dibandingkan lahan potensial lainnya yang tidak ditumbuhi sagu. Dari lahan potensial sagu diperoleh bahwa lahan bervegetasi sagu yang akan diusulkan menjadi LCP2B seluas 1.508,3 ha yang sebagian besar peruntukannya di dokumen RTRW saat ini berada di kawasan budidaya campuran (Gambar 22). Saat ini lahan sagu tersebut belum dikelola untuk menghasilkan pangan sagu atau belum dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Lahan potensial sagu LCP2B akan digunakan untuk ekstensifikasi, saat lahan LP2B sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Diharapkan keberadaan lahan potensial sagu LCP2B dijaga dari penggunaan yang akan merusak sehingga dapat digunakan lagi saat diperlukan.

38 Gambar 22. Sebaran LCP2B 82

39 83 Rawa sagu tidak diusulkan masuk dalam usulan LCP2B agar fungsi rawa sagu sebagai tempat cadangan air untuk daerah sekitarnya termasuk untuk lahan sagu tetap terjaga dan tidak diubah menjadi lahan budaya sagu nantinya. Kesesuaian lahan rawa sagu saat ini (aktual) untuk budidaya tergolong tidak sesuai karena tergenang permanen namun dengan teknik pengelolaan saluran drainase akan menjadikan kesesuaian lahan potensialnya menjadi sesuai sehingga dikawatirkan nantinya rawa sagu akan diubah menjadi lahan budidaya sagu jika ditetapkan dalam usulan LCP2B. Agar tetap terjaga fungsi rawa sagu dan dilindungi keberadaannya maka rawa sagu diusulkan dalam usulan penetapan KP2B. Keberadaan sagu rawa perlu dipertahankan karena mempengaruhi keberadaan lingkungan sekitarnya termasuk lahan sagu. Hal ini karena habitat sagu rawa mempunyai peran ekologi untuk daerah sekitarnya sebagai tempat sumber cadangan air. Peran dan manfaat hutan rawa sagu sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya sehingga tidak terjadi banjir dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering. Identifikasi dan pemetaan KP2B KP2B adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah pedesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian berkelanjutan (LP2B) dan atau hamparan lahan cadangan pertanian berkelanjutan (LCP2B) serta unsur penunjang dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Berdasarkan definisi tersebut pada UU Nomor 41 tahun 2009 maka pemetaan KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana yang mendukung aktivitas produksi pangan sagu seperti jalan, sumber air dan tempat pengelolaan sagu. Hasil gabungan lahan LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang yang berada di kawasan budidaya pertanian seluas 2.458,4 ha. Untuk memudahkan pengelolaan KP2B tersebut, perlu adanya manajemen pengelolaan berupa pembagian KP2B. Penelitian Syamson (2011) pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi manajemen pengelolaan KP2B berdasarkan 3 skenario yakni batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Skenario pengelolaan berdasarkan batas kecamatan yang paling mudah dilaksanakan karena

40 84 kebijakan perencanaan pembangunan biasanya mengikuti batas-batas administrasi namun terbagi menjadi banyak kawasan. Sebaliknya, berdasarkan kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal didapat luas hamparan yang terpadu sehingga keberlanjutan kawasan akan lebih terjaga, hambatan nantinya adalah pengelolaannya sulit karena berada dalam beberapa wilayah administrasi. Berdasarkan kriteria yang dikemukan oleh Syamson (2011) maka untuk memudahkan pengelolaan KP2B nantinya maka KP2B yang ada di lokasi penelitian dibagi berdasarkan batas administasi dengan memperhatikan sebaran kepemilikan tanah adat yang bersifat komunal. Hal tersebut untuk mencegah konflik pertanahan yang sering terjadi terkait kepemilikan bersifat komunal sering terjadi di Propinsi Papua. Penguasaan lahan di Propinsi Papua masih didominasi penguasaan lahan komunal yang bersifat hak ulayat adat. Kepemilikan komunal merupakan kepemilikan tanah bersama berdasarkan fam/klen atau lebih luas lagi berdasarkan suku dimana pengelolaannya dipercayakan pada orang yang disebut kepala suku atau kepala adat. Informasi tentang sebaran kepemilikan lahan secara komunal hingga sekarang hanya ada sebaran berdasarkan suku atau bahasa yang dikeluarkan oleh SIL (Summer Insitute of Linguistics). Pada peta sebaran bahasa (SIL, 2004), diketahui suku yang ada di lokasi penelitian terdiri dari dua suku yakni suku Sentani dan suku Moi. Sebaran hak ulayat tanah adat suku Sentani menyebar pada Distrik Sentani, Sentani Timur, Waibu dan Ebungfauw dan suku Moi menyebar pada Distrik Sentani Barat. Hasil pembagian diperoleh sebanyak 5 kawasan KP2B yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat (Gambar 23 dan Tabel 27). Lahan KP2B terluas terdapat di Distrik Sentani seluas dan terkecil pada Distrik Ebungfauw. Kepemilikan hak ulayat terluas pada suku Sentani meliputi 4 distrik dan suku Moi hanya pada distrik Sentani Barat saja. Tabel 27. Luas kawasan KP2B berdasarkan kepemilikan hak ulayat suku dan distrik Suku Ebungfauw Sentani Distrik Sentani Barat Sentani Timur Waibu Luas (ha) Sentani 173, ,2 184,4 708, ,4 Moi 185,0 185,0

41 85 Gambar 23. Sebaran KP2B

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA. Letak dan Luas

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA. Letak dan Luas 37 KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA Letak dan Luas Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Disusun Oleh : Ridha Chairunissa 0606071733 Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA Kuliah 2 SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA Luas Wilayah : 600 Juta Ha Luas Daratan : 191 Juta Ha Luas Lautan : 419 Juta Ha Jumlah Pulau : 17 Ribu Panjang Pantai : 80 Ribu Km Jumlah G.Api : 130 Luas Rawa : 29

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3 (tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung lingkungan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan pangan terus menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Peningkatan jumlah populasi dunia, peningkatan suhu bumi yang disebabkan efek pemanasan global,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi No Tahun Bulan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1987 206 220 368 352 218 17 34 4 62 107 200 210 1998 2 1989 183 198 205 301 150

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN SAGU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN SAGU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN SAGU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang a. bahwa Sagu di Maluku

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Bab GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Kondisi Geografis Desa Suka Damai merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Gereudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Ibu kota kecamatan ini berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 Wahyu Asrining Cahyowati, A.Md (PBT Terampil Pelaksana) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya I. Pendahuluan Tanaman kakao merupakan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan 68 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh karena itu, tantangan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tanggal : 16 Februari 2009 PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Peningkatan

Lebih terperinci

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan M10 KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN Widianto, 2010 Klasifikasi Kemampuan Lahan TUJUAN PEMBELAJARAN : 1. Mampu menjelaskan arti kemampuan lahan dan klasifikasi kemampuan lahan

Lebih terperinci

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 4.1. Identifikasi Penggunaan Lahan Identifikasi penggunaan lahan di Citra Lansat dilakukan dengan membuat contoh (training area) penggunaan lahan yang mewakili tiap kelas

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan PT Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang tergabung dalam KODECO GROUP. Didirikan pada tanggal 5 Desember 1991 dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut,

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam seperti sumberdaya alam pertanian, sumberdaya alam hasil hutan, sumberdaya alam laut, sumberdaya alam tambang,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan yang sulit dihindari (Manwan, dkk dan Suryana. 2004). Hal ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan yang sulit dihindari (Manwan, dkk dan Suryana. 2004). Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan-lahan sub optimal pada masa yang datang merupakan pilihan yang sulit dihindari (Manwan, dkk. 1992 dan Suryana. 2004). Hal ini terkait dengan masih berlangsungnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim JURNAL EDUKASI KIMIA e-issn: 2548-7825 p-issn: 2548-4303 Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim Ainun Mardhiah 1* dan Marlina Fitrika 2 1 Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

IV. KONDISI SUB-SEKTOR PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN ROKAN HILIR

IV. KONDISI SUB-SEKTOR PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN ROKAN HILIR IV. KONDISI SUB-SEKTOR PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN ROKAN HILIR 4.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Rokan Hilir merupakan hasil pemekaran Kabupaten Bengkalis dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105. IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 4.1.1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.14 sampai dengan 105, 45 Bujur Timur dan 5,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2 SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI Pertemuan ke 2 Sumber daya habis terpakai yang dapat diperbaharui: memiliki titik kritis Ikan Hutan Tanah http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/148111-

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

Penetapan Blok Penghasil Tinggi (BPT) Kelapa Dalam (Cocos Nucifera L.) Di Kabupaten Sarmi, Papua

Penetapan Blok Penghasil Tinggi (BPT) Kelapa Dalam (Cocos Nucifera L.) Di Kabupaten Sarmi, Papua Penetapan Blok Penghasil Tinggi (BPT) Kelapa Dalam (Cocos Nucifera L.) Di Kabupaten Sarmi, Papua Oleh : Septyan Adi Pramana, SP Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan.

I. PENDAHULUAN. Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan. Lingkungan fisik, lingkungan biologis serta lingkungan sosial manusia akan selalu berubah

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN Oleh : Bambang Sayaka Mewa Ariani Masdjidin Siregar Herman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam penyediaan pangan, penyediaan bahan baku industri, peningkatan ekspor dan devisa negara,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah 71 IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kabupaten Way Kanan Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah Kabupaten Lampung Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 12

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci