HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian rataan suhu dan kelembaban harian kandang berturut-turut 28,3 o C dan 91,3% yang masih dalam kisaran normal untuk hidup kelinci. Adapun suhu dan kelembaban pada saat penampungan dan evaluasi adalah 25,5 o C dan 84%. Kondisi tersebut diasumsikan tidak mempengaruhi kondisi spermatozoa karena masih dalam kondisi normal suhu kamar. Pada penelitian ini terdapat beberapa ekor kelinci yang mengalami penyakit scabies. Pemberian obat antibiotik secara injeksi subkutan dilakukan pada tiga ekor kelinci perlakuan R2 dan R3. Terdapat juga dua ekor kelinci yang mengalami luka di bawah telapak kakinya yang selanjutnya diberi obat penyembuh luka guna mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut. Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian dua ekor kelinci. Faktor perbedaan cuaca dan pakan menjadi penyebab utama, hal ini karena kelinci penelitian didatangkan dari Kota Bandung yang suhu umum rataratanya lebih rendah dibandingkan Kota Bogor. Bobot badan awal rata-rata kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1653,36±265,46 g/ekor. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap seminggu sekali dengan empat pengelompokan bobot badan. Rataan bobot badan pada saat penampungan semen adalah 2010,10±300,18 g/ekor (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Bobot Badan Kelinci pada Saat Penampungan Semen Perlakuan Rataan BB Minggu Ke-7 (gram/ekor) R0 1898,25±398,27 R1 1973,25±107,99 R2 1903,75±326,98 R3 2155,75±312,44 R4 2119,50±343,61 Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana Pemberian ransum R3 dan R4 cenderung meningkatkan PBB dan bobot badan jika dibandingkan dengan pemberian ransum R0, R1 dan R2. Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci 23

2 dibandingkan daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna coklat) pada kelinci. Oleh karena itu penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum. Menurut Toelihere (1993), nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Penampungan semen dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan vagina buatan. Namun terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan tidak dapat dilakukan penampungan semennya. Hal ini dapat disebabkan karena kelincikelinci tersebut belum terbiasa dengan penampungan semen menggunakan vagina buatan serta secara keseluruhan kelinci belum benar-benar mengalami dewasa kelamin meskipun kelinci telah berumur 6 bulan. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian epididimis. Hal ini menunjukan bahwa produksi spermatozoa telah berlangsung meskipun belum mampu berejakulasi saat ditampung. Kualitas Makroskopik Semen Kualitas makroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain volume, ph, konsistensi dan warna semen. Volume Semen Pada penelitian ini terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan tidak dapat dilakukan penampungan semennya. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian epididimis. Nilai rataan volume semen dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan nilai rataan volume pada kelinci yang diberi perlakuan R0 memiliki nilai rataan volume semen relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R3 dan R4. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan nutrisi yang dikandung masing-masing pelet perlakuan. Menurut Toelihere (1993), nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Hafez dan Hafez (2000) menyatakan, volume ejakulat kelinci berkisar antara 0,4-0,6 ml. Volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per ejakulat sebesar x 10 6 (Morrow, 1986). 24

3 Tabel 7. Nilai Rataan Volume Semen Perlakuan Nilai Rataan volume (ml) R0 1,52±1,28 R1 0,55 R2 0,58±0,11 R3 0,18±0,10 R4 0,27±0,21 Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana Kisaran volume pada perlakuan R0 adalah 0,07-2,5 ml, pada perlakuan R1 hanya terdapat satu sampel volume yaitu sebesar 0,55 ml sehingga tidak terdapat nilai standar deviasi, pada perlakuan R2 kisaran volumenya adalah 0,5-0,65 ml, sedangkan kisaran volume pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 0,1-0,3 ml dan 0,1-0,5 ml. Kisaran volume semen yang diperoleh cenderung lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan volume semen yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 0,67 ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Selain faktor nutrisi, volume ejakulat juga dipengaruhi oleh kelenjar assesorius yang dipengaruhi oleh umur dewasa kelamin kelinci-kelinci tersebut. Plasma semen dihasilkan sebagian besar oleh kelenjar vasikularis dan sisanya oleh cairan dari testis dan prostate. Plasma semen sebagai komponen semen disamping spermatozoa, dibuat pada jaringan kelamin sekunder termasuk diantaranya adalah epididimis vas deferent, ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan cowper. Oleh karena itu, volume semen sangat dipengaruhi oleh aktivitas jaringan pada kelenjar-kelenjar tersebut (Elya et al., 2010). Tidak adanya respon yang signifikan dalam mempengaruhi volume semen, menunjukkan bahwa pemberian pelet ransum komplit berbasis daun I. zollingeriana dan daun lamotoro sampai 30% berpengaruh baik pada kelenjar seks aksesori kelinci jantan. 25

4 ph Semen Nilai ph dipengaruhi oleh komposisi cairan yang terdapat dalam semen yang sebagian besar berasal dari kelenjar pelengkap. Semakin banyak cairan dari kelenjar pelengkap, maka semakin tinggi ph semen. Nilai ph semen kelinci rata-rata 6,9 (Paufler et al., 1974). Nilai rataan ph semen kelinci perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rataan ph Perlakuan Nilai Rataan ph R0 6,70±0,0 R1 6,87±0,57 R2 6,85±0,21 R3 6,97±0,55 R4 7,20±0,50 Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana Nilai rataan ph pada kelinci dengan perlakuan R0 adalah 6,7, pada perlakuan R1 didapat kisaran nilai ph antara 6,4-7,5. Pada perlakuan R2 nilai ph berkisar antara 6,7-7, sedangkan kisaran nilai ph pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 6,4-7,5 dan 6,7-7,7. Kisaran ph semen yang diperoleh cenderung sama jika dbandingkan dengan rataan ph semen yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 7,18 pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Menurut Yousef et al. (2000), ph kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum masing-masing adalah sebesar 8,0; 8,1 dan 8,1. Nilai ph semen juga ditentukan oleh aktivitas kelenjar assesorius. ph semen ditentukan oleh keseimbangan kation dan anion yang terdapat dalam struktur kimia yang terkandung dalam kelenjar assesorius. Tidak terdapatnya perubahan yang nyata pada volume serta ph semen berarti bahwa kelenjar assesorius masih bisa bekerja sesuai fungsinya (Elya et al., 2010). 26

5 Kekentalan Semen Konsistensi semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen, semakin banyak jumlah spermatozoa di dalam semen, maka konsistensi semen akan semakin kental (Sansone, 2000). Hasil pengamatan konsistensi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Pengamatan Konsistensi Semen Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 Kisaran Nilai Konsistensi Encer Encer-kental Encer Encer Encer-sedang Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana ` Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa kelinci yang diberi pelet ransum R0 memiliki konsistensi yang encer (E). Sedangkan pada kelinci yang diberi pelet ransum R1 didapatkan dua kelompok kelinci dengan konsistensi kental (K) dan konsistensi encer (E). Hal ini dapat disebabkan bahwa rataan konsentrasi spermatozoa pada pelet ransum R1 lebih tinggi yaitu sebesar 826,25 x 10 6 /ml dibandingkan dengan rataan konsentrasi spermatozoa pada ransum R0 yaitu sebesar 345 x 10 6 /ml. Konsistensi yang kental pada ransum R1 juga disebabkan pengambilan sampel yang diperoleh langsung dari epididimis sehingga akan menghasilkan substansi berupa lendir yang bersifat licin dan kental. Warna Semen Warna semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen. Semakin keruh biasanya jumlah spermatozoa permililiter semen semakin banyak (Partodihardjo, 1982). Semen normal memiliki warna seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh (Toelihere, 1981). Hasil pengamatan warna semen dapat dilihat pada Tabel

6 Tabel 10. Hasil Pengamatan Warna Semen Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 Kisaran Warna Semen Krem Putih-Krem keputihan Putih-Krem keputihan Krem-Putih Putih-Krem keputihan Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa secara umum kelinci menghasilkan ejakulat dengan warna terbanyak putih (P) kemudian diikuti dengan warna krem serta krem keputihan. Warna tersebut merupakan warna semen kelinci normal. Hal ini menunjukan bahwa kelinci yang diberi ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna semen kelinci. Semen normal tampak putih kelabu homogen. Semen tampak jernih jika jumlah sperma terlalu sedikit atau tampak coklat jika ada sel darah merah (Elya et al., 2010). Kualitas Mikroskopik Semen Kualitas mikroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain gerakan massa, konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas, persentase viabilitas, persentase abnormalitas dan persentase nilai HOS Test. Nilai rataan persentase motilitas, viabilitas dan Abnormalitas disajikan pada Lampiran 1. Gerakan Massa Semen Spermatozoa dalam suatu kelompok memiliki kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah dan membentuk gelombang-gelombang yang tebal atau tipis, bergerak cepat atau lambat tergantung dari konsentrasi spermatozoa hidup di dalamnya. Semakin besar pergerakan gelombang yang terjadi, semakin tinggi motilitas spermatozoa. Hasil pemeriksaan gerakan massa dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 dapat menunjukkan bahwa semen kelinci yang diberi ransum R1, R3 dan R4 saja yang memiliki gerakan massa dengan gelombang gerakan yang besar (++). Nilai tersebut memiliki makna bahwa semen memiliki gerakan massa yang 28

7 baik jika dibandingkan dengan semen dengan gerakan massa sedikit (+). Hal ini menunjukkan bahwa spermatozoa memiliki motilitas dan konsentrasi yang baik. Tabel 11. Hasil Pengamatan Gerakan Massa Perlakuan Kelompok R T.A.S R1 T.A.S R2 T.A.S + T.A.S + R T.A.S R4 + T.A.S + ++ Keterangan: 1. R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro + 0% lamtoro; R2 = 20% lamtoro+10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro+20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana +0% lamtoro 2. - = tidak ada gerakan; + = terjadi sedikit gerakan; ++ = terjadi gelombang gerakan yang besar; T.A.S = Tidak Ada Sampel Perbedaan gerakan massa pada kelinci perlakuan terjadi akibat perlakuan yang diberikan. Pada perlakuan R1, terdapat gerakan massa dengan gelombang gerakan yang besar, akan tetapi data ini diperoleh pada kelinci perlakuan R1 yang pengambilan semennya langsung dari saluran epididimis. Ada kecenderungan pemberian pakan dengan taraf I. zollingeriana yang tinggi dapat memberikan pengaruh baik pada gerakan massa semen kelinci. Hal ini diduga karena ransum yang mengandung daun lamtoro dengan taraf 20% dan 30% masih mengandung zat anti nutrisi mimosin pada pakan pelet tersebut. Pengaruh yang merugikan daun lamtoro pada sapi dapat menyebabkan gondok (Jones et al., 1976), menurunnya fertilitas dan penyusutan berat lahir (Hamilton et al., 1971; Helmes, 1980). Uji ini dilakukan di Australia dan Papua New Guinia dengan menggembalakan sapi-sapi percobaan padang lamtoro, sementara itu kerontokan bulu dan anak-anak yang dilahirkan berkurang terjadi pula pada kelinci yang diberi pakan daun lamtoro (Ruskin, 1984). Penelitian lain menyatakan, pemberian tepung daun lamtoro 15% menyebabkan terhambatnya kemampuan bereproduksi. Terbukti tikus betina menjadi infertil, prenatal dan pada tikus jantan libido serta fertilitasnya turun setelah diberi pakan mengandung daun lamtoro (Joshi, 1968). 29

8 Konsentrasi Spermatozoa Konsentrasi spermatozoa berkisar 0,1-1,0 ml juta dan persentase motilitas berkisar 40%-80%. Volume ejakulat untuk kelinci ras New Zealand White 0,86 ml dengan konsentrasi spermatozoa sebesar 0,31 x 10 6 / µl dan persentase motilitas sebesar 55%. Data ini diperoleh pada pengambilan sampel sebanyak 45 sampel (Paufler et al., 1974). Kisaran nilai konsentarasi spermatozoa pada kelinci yang diberi perlakuan R0 adalah 277,5 x ,4 x 10 6, pada perlakuan R1 didapat kisaran nilai konsentrasi spermatozoa antara 180 x 10 6 /ml 1472,5 x 10 6 /ml. Pada perlakuan R2 nilai kisaran konsentrasi spermatozoa berkisar antara 182 x 10 6 /ml 860 x 10 6 /ml, sedangkan kisaran nilai konsentrasi spermatozoa pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 112,5 x 10 6 /ml 592,5 x 10 6 /ml dan 372,5 x 10 6 /ml 2375 x 10 6 /ml. Kisaran konsentrasi spermatozoa yang diperoleh cenderung lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan konsentrasi spermatozoa yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 403 x 10 6 /ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Hal ini kemungkinan terdapat perbedaan umur kelinci pada penelitian terdahulu dengan penelitan ini. Gambar 4. Diagram Rataan Konsentrasi Spermatozoa (10 6 /ml). Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana Gambar 4 menunjukkan lebih jelas bahwa rataan konsentrasi spermatozoa pada R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi spermatozoa pada perlakuan ransum lainnya walaupun diketahui pemberian perlakuan R0 memiliki rataan volume semen yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum 30

9 penelitian lainnya. Hal ini cenderung disebabkan karena protein ransum R0 lebih rendah yaitu sebesar 15,74% sedangkan kisaran protein ransum untuk R1 sampai R4 berkisar antara 17,94%-21,06%. Protein merupakan zat yang berperan dalam pertumbuhan dan pembentukan tubuh, termasuk di dalamnya pembentukan sel kelamin (spermatogenesis). Namun, rataan konsentrasi spermatozoa tersebut masih sesuai dengan kisaran konsentrasi spermatozoa kelinci. Menurut Morrow (1986), volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per ejakulat sebesar x Yousef et al. (2000) menyatakan, konsentrasi spermatozoa kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum masing-masing adalah sebesar 336 x 10 6 /ml, 332 x 10 6 /ml, 332 x 10 6 /ml. Selain faktor nutrisi, konsentrasi spermatozoa juga dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron. Kadar testosteron yang tinggi menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis. Testosteron akan menghambat hipotalamus untuk menghasilkan GnRH sehingga kadar GnRH turun dan menghambat hipofisis anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. Bila FSH turun maka terjadi gangguan pada sel sertoli yang menyebabkan berkurangnya zatzat makanan yang diperlukan untuk proliferasi, diferensiasi serta memelihara sel-sel spermatogenik (Steven et al., 1974). Apabila kadar LH turun maka testosteron yang dihasilkan juga berkurang. Kadar FSH dan testosteron yang rendah akan menyebabkan proses spermatogenesis terganggu, akibatnya jumlah spermatozoa yang dihasilkan menurun. Rataan konsentrasi tertinggi terdapat pada perlakuan yang diberi ransum R4 (Gambar 4). Hal ini juga dibuktikan dengan terdapatnya konsistensi sedang pada kelompok perlakuan R4 dengan pengambilan sampel yang menggunakan vagina buatan. Rataan konsentrasi tertinggi berikutnya ada pada perlakuan R1, dimana pemberian pelet ransum komplit yang mengandung 30% daun lamtoro mampu memberikan efek positif terhadap peningkatan konsentrasi spermatozoa per ejakulatnya. Pemberian daun lamtoro dengan level g/ekor/hari secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi spermatozoa domba di daerah tropis Etiopia (Dana et al., 2000). 31

10 Meningkatnya konsentrasi spermatozoa umumnya dianggap bermanfaat karena memungkinkan inseminasi dari sejumlah besar betina (Foote, 1980). Saat kawin alam konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi memastikan masuknya spermatozoa lebih ke dalam serviks dan kemudian ke saluran telur, sehingga meningkatkan kesempatan terjadinya pembuahan (Garner dan Hafez, 1980). Menurut Nadir et al. (1993), semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar pula persaingan antara spermatozoa pada tempat pembuahan, sehingga mampu meningkatkan kemungkinan sel telur yang dibuahi oleh sebuah spermatozoa yang normal, memastikan inseminasi yang baik dan tingkat perkembangan embrio normal berikutnya. Motilitas Spermatozoa Ciri utama spermatozoa adalah motilitas atau daya geraknya yang dijadikan patokan atau cara yang paling sederhana dalam penilaian semen untuk inseminasi buatan. Hal ini karena motilitas atau pergerakan spermatozoa memegang peranan penting sewaktu pertemuannya dengan ovum. Motilitas juga digunakan sebagai ukuran kesanggupan apermatozoa untuk membuahi (Toelihere, 1993). Gambar 5. Diagram Rataan Motilitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana Gambar 5 menunjukkan bahwa rataan motilitas sperma pada perlakuan yang diberi ransum R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan motalitas sperma pada perlakuan lainnya. Secara umum motilitas spermatozoa yang diperoleh sangat rendah jika dibandigkan dengan karakteristik seminal kelinci oleh Paufler et al. (1974) yaitu sebesar 55%. Kisaran motilitas spermatozoa yang diperoleh cenderung 32

11 lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan motilitas yang didapat pada penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 71% pada kelinci New Zealand White. Pentingnya memilih persentase motilitas sebelum melakukan inseminasi, karena hal ini berkaitan dengan kesuburan (Brun et al., 2002). Rendahnya persentase motilitas yang diperoleh dapat disebabkan kelinci yang belum dewasa kelamin sehingga spermatozoa yang terbentuk tidak dapat bergerak secara progresif. Viabilitas Persentase hidup spermatozoa menggambarkan spermatozoa yang hidup pada saat dicampur dengan zat warna yang menyebabkan perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel spermatozoa yang mati dan hidup (Hafez dan Hafez, 2000). Spermatozoa yang mati akan menyerap warna sedangkan spermatozoa yang hidup tidak atau sedikit sekali menyerap warna. Gambar 6. Diagram Rataan Viabilitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana Gambar 6 menunjukkan bahwa rataan viabilitas spermatozoa dari kelinci yang diberi pelet ransum mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro mencapai di atas 70%, kecuali viabilitas spermatozoa dari kelinci yang diberi ransum komersial. Yang menunjukan nilai. Rataan spermatozoa tertinggi didapat pada kelinci yang diberi perlakuan R2 dan R4, sedangkan kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R3 tidak mengalami penurunan yang signifikan. Pemberian semua pakan perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap nilai persentase viabilitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai persentase viabilitas kelinci yang diberi perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 memiliki pengaruh yang sama. Viabilitas spermatozoa sangat 33

12 ditentukan oleh keutuhan membran plasma dan kemampuan sistem transport membran. Selain itu juga kelangsungan hidup spermatozoa juga dipengaruhi oleh sekresi epididimis antara lain karnitin, fosfatidilkholin (Kaur et al., 1991; Brooks et al., 1974). Abnormalitas Persentase abnormalitas menggambarkan spermatozoa yang hidup namun tidak memiliki bentuk yang sempurna seperti tidak adanya ekor, ekor kriting dan ekor tidak lurus. Gambar 7. Diagram Rataan Abnormalitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana Nilai abnormalitas spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 7, yang menunjukan adanya kecenderungan penurunan nilai persentasenya jika kelinci diberi pelet yang mengandung daun Indigofera zollingeriana dan/atau lamtoro. Nilai abnormalitas spermatozoa secara relatif mengalami penurunan jika kandungan Indigofera pada pelet ditingkatkan, dibandingkan dengan peningkatan daun lamtoro. Penurunan nilai abnormalitas spermatozoa akibat pemberian Indigofera merupakan informasi baru yang positif, sehingga daun tanaman ini diduga dapat menjadi salah satu komponen pakan yang berperan penting untuk program pembibitan kelinci. Tingginya persentase abnormalitas pada spermatozoa disebabkan spermatogenesis yang belum sempurna dan akibat perlakuan di laboratorium. Selama abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka semen tersebut masih dapat dipakai untuk inseminasi (Toelihere, 1981). Abnormalitas terjadi terutama karena bengkok atau ekor melingkar, yang biasanya terjadi selama perjalanan spermatozoa melalui epididimis (Jainudeen dan 34

13 Hafez, 1980). Proporsi yang lebih tinggi pada kelainan ini mungkin disebabkan gangguan pada fungsi epididimis karena level hormon testosteron yang di bawah normal (Hainonen, 1989). Produksi hormon ini dinyatakan serius sebagai akibat dari pakan berkualitas rendah dalam waktu lama (Parker dan Thwaites, 1972). HOS Test Spermatozoa yang memiliki membran utuh pada bagian ekor akan terlihat melengkung sedangkan spermatozoa yang tidak mempunyai membran pada bagian ekor akan terlihat lurus. Gambar 8. Diagram Rataan Nilai HOS Test (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana Membran plasma spermatozoa mengalami proses pematangan di dalam epididimis yang antara lain berupa perolehan enzim membran plasma. (Kaur et al., 1991; Brook et al., 1974). Fungsi normal membran plasma spermatozoa adalah melindungi spermatozoa dan mempertahankan daya hidupnya. Gambar 8 menunjukkan bahwa rataan nilai HOS Test tertinggi secara relatif terdapat pada semen kelinci yang diberi perlakuan R3 dan R4. Hal ini dapat dimaknai bahwa semen yang diberi perlakuan R3 dan R4 memiliki persentase membran plasma utuh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan semen yang diberi perlakuan lain. Secara relatif perlakuan R2 memiliki nilai rataan membrane plasma utuh paling rendah. Hal ini dapat disebabkan proses pematangan di dalam epididimis yang tidak sempurna pada kelinci yang diberi perlakuan R2. Rataan konsumsi pelet pada kelinci perlakuan R2 juga lebih rendah yaitu sebesar 73,86 g/ekor/hari jika dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R3 dan R4 masing-masing sebesar 84,14 g/ekor/hari, 86,01 g/ekor/hari, 97,87 g/ekor/hari, 89,1 g/ekor/hari. Rendahnya 35

14 konsumsi pakan juga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa. Menurut Hafez dan Hafez (2000), bahwa kualitas dan kuantitas spermatozoa yang dihasilkan dipengaruhi oleh makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi dan libido, penyakit dan benih penyakit, pengangkutan, umur, hereditas dan gerak badan. Pentingnya membran dalam menjaga integritas baik biokimia dan struktur spermatozoa adalah baik diketahui (Cabrita et al., 1999). Ketika terkena solusi hypoosmotic, biokimia-aktif spermatozoa meningkatkan volume mereka dalam rangka membangun keseimbangan antara cairan kompartemen dalam spermatozoa dan ekstraseluler lingkungan. Pembengkakan menyebabkan perubahan baik ukuran sel dan bentuk yang dapat dievaluasi dengan menggunakan mikroskop fase kontras (Cabrita et al., 1999). Proses pembengkakan ini memuncak dalam mempromosikan perluasan membran sel meliputi ekor, sehingga memaksa flagela untuk membentuk kumparan di dalam membran. Melingkarnya ekor dimulai pada ujung distal ekor dan melanjutkan jalannya menuju bagian tengah kepala sebagai tekanan osmotik dari media yang rendah (Jeyendran et al., 1984). 36

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba HASIL DAN PEMBAHASAN Volume Semen Domba Pengukuran volume semen domba dilakukan untuk mengetahui jumlah semen yang dihasilkan oleh satu ekor domba dalam satu kali ejakulat. Volume semen domba dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kelinci Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kelinci Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Lapang Bagian Produksi Ternak Ruminansia Kecil Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi, Bagian

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk

Lebih terperinci

KUALITAS SPERMATOZOA KELINCI PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE

KUALITAS SPERMATOZOA KELINCI PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE KUALITAS SPERMATOZOA KELINCI PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE YANG DIBERI PELET RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG DAUN Indigofera zollingeriana DAN Leucaena leucocephala SKRIPSI DONA MARINA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

KUALITAS SPERMATOZOA DARI TANAMAN Polyscias guilfoylei

KUALITAS SPERMATOZOA DARI TANAMAN Polyscias guilfoylei MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 51-56 KUALITAS SPERMATOZOA DARI TANAMAN Polyscias guilfoylei Berna Elya 1*), Dadang Kusmana 2, dan Nevy Krinalawaty 2 1. Departemen Farmasi, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burung Puyuh Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung-burung puyuh lainnya. Burung puyuh ini memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Texel di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan domba lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan kemudian menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, ph dan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi sperma,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (1): 39-44 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap evaluasi semen domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan 4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Hasil evaluasi semen segar merupakan pemeriksaan awal semen yang dijadikan dasar untuk menentukan kelayakan semen yang akan diproses lebih lanjut. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Domba Ekor Tipis Domba ekor tipis merupakan domba yang bersifat profilik yaitu mampu mengatur jumlah anak yang akan dilahirkan sesuai dengan ketersediaan pakan yang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Abnormalitas Spermatozoa Pemeriksaan abnormalitas spermatozoa dihitung dari jumlah persentase spermatozoa yang masih memiliki cytoplasmic droplet dan spermatozoa yang mengalami abnormalitas sekunder.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani berkualitas yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Streptomycin dalam Skim Kuning Telur Sebagai Pengencer terhadap Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.)

Pengaruh Penambahan Streptomycin dalam Skim Kuning Telur Sebagai Pengencer terhadap Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.) Pengaruh Penambahan Streptomycin dalam Skim Kuning Telur Sebagai Pengencer terhadap Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.) Budi Setyono, SPi dan Suswahyuningtyas Balai Benih Ikan Punten Batu email:

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode Penelitian

MATERI DAN METODE. Metode Penelitian MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai April 2012 bertempat di Indira Farm Hamtaro and Rabbit House, Istana Kelinci, dan di Unit Rehabilitasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 di Unit Pelaksana

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 di Unit Pelaksana III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 di Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Inseminasi Buatan (UPTD BIB) Tuah Sakato, Payakumbuh. 3.2. Materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah di laksanakan pada bulan Desember 2014 sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah di laksanakan pada bulan Desember 2014 sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah di laksanakan pada bulan Desember 2014 sampai dengan Januari 2015 di Balai Inseminasi Buatan Tenayan Raya, Pekanbaru. 3.2. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

Tatap mukake 6 KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA

Tatap mukake 6 KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA Tatap mukake 6 PokokBahasan: KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti Kuantitas dan Kualitas Sperma pada berbagai ternak Mengerti faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan daging domba setiap tahunnya terus meningkat.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan babi yang ada di Indonesia khususnya di daerah Bali masih merupakan peternakan rakyat dalam skala kecil atau skala rumah tangga, dimana mutu genetiknya masih kurang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Entok (Cairina moschata) Entok (Cairina moschata) merupakan unggas air yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok lokal memiliki warna bulu yang beragam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan pola faktorial dengan dua faktor, yaitu suhu dan lama thawing, dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan pola faktorial dengan dua faktor, yaitu suhu dan lama thawing, dengan 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan pola faktorial dengan dua faktor, yaitu suhu dan lama thawing, dengan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Teen.) Steenis) dalam pengencer tris kuning telur tehadap kualitas semen kambing Peranakan Etawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik. Volume (ml) 1,54 ± 0,16. ph 7,04±0,8

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik. Volume (ml) 1,54 ± 0,16. ph 7,04±0,8 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Semen Segar Karakteristik semen segar yang didapatkan selama penelitian disajikan pada tabel sebagai berikut : Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu jenis bangsa sapi asli Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu jenis bangsa sapi asli Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu jenis bangsa sapi asli Indonesia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dan sapi bali ini juga merupakan hasil

Lebih terperinci

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai 22 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai Inseminasi Buatan Daerah (UPTD-BIBD) Lampung Tengah. Kegiatan penelitian

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerbau adalah salah satu ternak besar penghasil daging yang banyak dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dan untuk mengurangi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 12 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan yaitu semen yang berasal dari lima ekor kambing PE umur 2-3 tahun. 3.1.2 Bahan dan Peralatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Dari hasil penampungan semen yang berlangsung pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Juli 2004 dan rusa dalam kondisi rangga keras memperlihatkan bahwa rataan

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH Gambar mas Disusun oleh Mas Mas Mas Faisal Ernanda h0510030 Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 Mas tolong

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai usaha telah dilakukan oleh para peneliti anti fertilitas untuk menemukan obat yang tepat dalam mengatasi masalah Keluarga Berencana. Bagi pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Perbedaan Kualitas Semen Segar Domba Batur dalam Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret sampai dengan 1 Mei

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak (KTT) Manunggal

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak (KTT) Manunggal 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak (KTT) Manunggal IV Dusun Wawar Lor, Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada bulan Maret Juni

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL Oleh Nurcholidah Solihati 1) dan Petrus Kune 2) 1) 2) Staf Dosen pada Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003). Penelitian yang dilakukan (Foa et al., 2006)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Etawah dengan kambing lokal (Kacang). Kambing Etawah sendiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Etawah dengan kambing lokal (Kacang). Kambing Etawah sendiri 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing Etawah dengan kambing lokal (Kacang). Kambing Etawah sendiri berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA EVALUASI SEMEN Hari dan tanggal : Senin, 21 Desember 2015

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA EVALUASI SEMEN Hari dan tanggal : Senin, 21 Desember 2015 LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA EVALUASI SEMEN Hari dan tanggal : Senin, 21 Desember 2015 KELOMPOK 2 KETUA : Deni Setiawan ( 0661 14 187 ) ANGGOTA : Endah Irianti ( 0661 11 115 ) Mira Amalia

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. breeding station Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Domba jantan yang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. breeding station Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Domba jantan yang III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. ` Bahan dan Peralatan 3.1.1. Objek Penelitian Objek pada penelitian ini yaitu semen yang berasal dari domba yang ada di breeding station Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011) MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infertilitas adalah gangguan dari sistem reproduksi yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Infertilitas adalah gangguan dari sistem reproduksi yang ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infertilitas adalah gangguan dari sistem reproduksi yang ditandai dengan kegagalan mengalami kehamilan setelah 12 bulan atau lebih dan telah melakukan hubungan sanggama

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Semen Kambing Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara umum diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati, 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Sains Peternakan Vol. 9 (2), September 2011: 72-76 ISSN 1693-8828 Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Nilawati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah konsumen rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan Inseminasi Buatan (IB)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) adalah ketersediaan semen beku. Semen beku yang akan digunakan untuk IB biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME Hasil pengamatan pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dari pengamatan kualitas sperma mencit (konsentrasi sperma,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dari pengamatan kualitas sperma mencit (konsentrasi sperma, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil dari pengamatan kualitas sperma mencit (konsentrasi sperma, motilitas sperma, dan abnormalitas sperma) yang dilakukan di Laboratorium Fisiologi secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi Friesian Holstein. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu dari Provinsi North

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi Friesian Holstein. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu dari Provinsi North BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu dari Provinsi North Holand dan West Friesland. Keunggulan sapi FH yaitu jinak, mudah menyesuaikan

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR PEJANTAN DAN FREKUENSI PENAMPUNGAN TERHADAP VOLUME DAN MOTILITAS SEMEN SEGAR SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG

PENGARUH UMUR PEJANTAN DAN FREKUENSI PENAMPUNGAN TERHADAP VOLUME DAN MOTILITAS SEMEN SEGAR SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG PENGARUH UMUR PEJANTAN DAN FREKUENSI PENAMPUNGAN TERHADAP VOLUME DAN MOTILITAS SEMEN SEGAR SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG THE INFLUENCE OF AGE AND SEMEN COLLECTION FREQUENCY ON THE VOLUME

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Limousin merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di Perancis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Limousin merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di Perancis. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Limousin Sapi Limousin merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di Perancis. Karakteristik Sapi Limousin adalah pertambahan badan yang cepat perharinya sekitar 1,1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

OBJEK DAN METODE PENELITIAN. diberi lima perlakuan. Domba yang digunakan ini adalah domba lokal yang

OBJEK DAN METODE PENELITIAN. diberi lima perlakuan. Domba yang digunakan ini adalah domba lokal yang 20 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 TernakPercobaan Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak domba lokal jantan umur 2 tahun sebagai sumber penghasil sperma yang

Lebih terperinci

Pengaruh Bobot Badan Terhadap Kualitas dan Kuantitas Semen Sapi Simmental

Pengaruh Bobot Badan Terhadap Kualitas dan Kuantitas Semen Sapi Simmental Pengaruh Bobot Badan Terhadap Kualitas dan Kuantitas Semen Sapi Simmental M. Adhyatma, Nurul Isnaini dan Nuryadi Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bobot badan pejantan terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. animalia, kelas: mammalia, subklas: ungulata, ordo: artiodactila, sub ordo:

II. TINJAUAN PUSTAKA. animalia, kelas: mammalia, subklas: ungulata, ordo: artiodactila, sub ordo: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerbau Batasomma (1985) mengklasifikasikan ternak Kerbau dalam kingdom: animalia, kelas: mammalia, subklas: ungulata, ordo: artiodactila, sub ordo: ruminansia, famili: bovidae,

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci