BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bahasa Jerman di Indonesia semakin berkembang seiring
|
|
- Widya Pranata
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan bahasa Jerman di Indonesia semakin berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap bidang studi bahasa Jerman karena semakin berkembangannya pengaruh negara Jerman dalam berbagai bidang yang berdampak pada meningkatnya kerjasama dengan berbagai negara, salah satunya Indonesia, baik dalam bidang industri, kesehatan, ekonomi, khususnya dalam bidang pendidikan. Kondisi tersebut membuat banyak lembaga pendidikan melakukan inovasi pada sistem pendidikan guna mencapai hasil yang maksimal dalam pencapaian target kurikulum pengajaran bahasa Jerman. Variasi model, metode, dan teknik pengajaran yang inovatif pun selalu dikembangkan. Namun demikian, tidak sedikit para pembelajar yang masih mengalami kendala, kesulitan, atau bahkan kesalahan dalam mempelajari bahasa Jerman dengan baik yang selama ini masih tampak dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Seiring dengan dikenalnya Indonesia dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang pendidikan, tidak sedikit jumlah mahasiswa asing berkebangsaan Jerman menempuh studi atau kegiatan ilmiah lainnya, yang mengharuskan mereka mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Ketika mereka dihadapkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa 1
2 2 asing, mereka akan menghadapi kendala dalam mempelajari dan mengakuisisi bahasa aglutinasi dari rumpun astronesia ini, seperti halnya kesulitan dan kendala yang dihadapi oleh pembelajar Indonesia ketika mempelajarai bahasa Jerman sebagai bahasa fleksi dari rumpun Indo-Germani. Perlu dipahami bersama bahwa kesulitan dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa asing tidak selalu bersumber dari dalam diri pembelajar ataupun pengajar, tetapi juga bisa bersumber dari karakteristik ketatabahasaan bahasa asing itu sendiri, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman. Hal itu juga bisa dirujuk pada pernyataan seorang pakar linguistik kontrastif, Lado dalam Brown (2007:273) memaparkan bahwa kita bisa memprediksi dan mendeskripsikan pola-pola yang akan menimbulkan kesalahan dalam pembelajaran, dan pola-pola yang tidak akan menimbulkan kesulitan, dengan membandingkan secara sistematis bahasa dan budaya yang harus dipelajari dengan bahasa dan budaya pembelajar. Artinya, kesulitan dan kesalahan yang dialami pembelajar dapat diprediksi dengan cara melihat kadar perbedaan dan persamaan karakteristik sistem gramatikal bahasa Jerman, sebagai bahasa ibu pelajar Jerman dalam mempelajari bahasa Indonesia, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pelajar Indonesia yang belajar bahasa Jerman. Semakin besar kadar perbedaan sistem gramatikal kedua bahasa, maka akan semakin memungkinkan pembelajar mengalami kendala dalam mempelajari dan mengakuisisi bahasa asing tersebut. Bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinatif (agglutinative language), sedangkan bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi (flected
3 3 language). Pernyataan di atas bisa dirunut pada penjelasan Soeparno (2002:33) bahwa bahasa fleksi adalah bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua hal yang melandasi perubahan bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan konjugasi. Deklinasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah, dan kasus; sedangkan konjugasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan persona, jumlah dan kala. Suparno (2002:33) juga menambahkan bahwa bahasa aglutinasi merupakan bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan, unsur pokok dan unsur pokok, atau pun pengulangan unsur pokok. Jadi prosode morfologis yang berlaku pada bahasa tipe ini, misalnya bahasa Indonesia, adalah afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Oleh karena itu, sistem gramatikal antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sangat berbeda. Prediksi kesulitan dan kendala yang akan dihadapi oleh pelajar Indonesia yang belajar bahasa Jerman dan pelajar Jerman yang belajar bahasa Indonesia, berdasarkan sistem gramatikalnya yang sangat berbeda diduga kuat bahwa mereka akan mengalami kesulitan dan kendala dalam penyusunan kalimat majemuk yang di dalamnya terdapat atribut klausa relatif. Berbicara masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan bahwa dari sudut sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa relatif, misalnya klausa relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat majemuk, klausa bawahan entah terkandung entah berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional.
4 4 Kendala dan kesulitan dalam penentuan konjungsi relatif bahasa Jerman disebabkan adanya proses deklinatif yang bergantung pada jenis, jumlah, dan hirarki kasus yang diduduki oleh nomina sebagai anteseden pada klausa utama dan nomina sebagai unsur yang direlatifkan dalam klausa bawahan, misalnya konjungsi relatif die, der, das, dem, deren, dan dessen. Selain itu, pola urutan predikat klausa bawahannya yang harus menduduki posisi akhir dalam kalimat majemuk tersebut. Namun demikian di sisi lain, penentuan konjungsi relatif bahasa Indonesia sangat terbatas yang tidak bergantung sepenuhnya pada ketiga hal yang sebagaimana berlaku dalam bahasa Jerman, misalnya konjungsi relatif yang dan tempat; dan tidak ada aturan yang mengharuskan predikat klausa bawahan untuk berada pada posisi akhir kalimat majemuk yang bersangkutan. Lihatlah beberapa contoh kalimat di bawah ini (1) Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami. (Sumber: Moeliono, 1996: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia) (2) Kaffe ist ein Getrӓnk, das in Deutschland sehr beliebt ist. S P1 det Pel det.rel Prep. Adv Adv P2 Kopi adalah sebuah minuman, yang di Jerman sangat disukai adalah Kopi adalah sebuah minuman yang sangat disukai di Jerman. (Sumber: Funk Studio D A2 DaF) Kalimat (1) merupakan kalimat majemuk bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat klausa relatif yang harus dialihbahasakan oleh pelajar Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Kalimat ini menunjukkan bahwa yang merupakan konjungsi relatif yang mengacu pada anteseden pelamar,
5 5 sedangkan sufiks nya pada nomina ijazah merupakan penanda hubungan posesif yang dimiliki nomina pelamar dan ijazah. Di sisi lain, penentuan konjungsi relatif yang merelatifkan hubungan posesif antara anteseden dengan nomina yang direlatifkan dalam bahasa Jerman tidak melalui afiksasi seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan melalui proses deklinatif determinan antesedennya dalam kasus genetif. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut akan terbawa ke dalam penyusunan klausa relatif bahasa Jerman, sehingga kalimat (1) tersebut akan menjadi seperti di bawah ini: (3) Der Bewerber, das Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S det.rel S adv P2 Aux Prep Adv P1 Pelamar, yang ijazah dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat. Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami Kalimat (3) secara sintaktis bahasa Jerman tidak berterima karena konjungsi relatif das pada kalimat tersebut hanya berkategori determinan dari jenis atau genus feminimun dari kata benda Diplom, dan tidak bisa berfungsi sebagai konjungsi relatif yang menyatakan bahwa nomina Diplom berdasarkan hirarki kasusnya mengalami kasus genitif dari anteseden Der Bewerber, sehingga jenis dan jumlah nomina Der Bewerber tersebut menentukan jenis konjungsi relatifnya, bukan jenis dan jumlah dari nomina Diplom. Oleh karena itu, konstruksi kalimat (2) tersebut harus disusun ke dalam bentuk sebagai berikut: (4) Der Bewerber, dessen Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S det.rel.gen S P2 Aux Adv P1 Pelamar, yang ijazahnya dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami.
6 6 Konjungsi relatif atau perelatif dessen berdeklinasi pada kasus genetif karena anteseden Der Bewerber memiliki hubungan posesif dengan das Diplom. Adapun kalimat (2) merupakan kalimat majemuk bahasa Jerman yang di dalamnya terkandung atribut klausa relatif. Pelajar Jerman yang sebagai pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing harus mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia akan membawa kebiasaan intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama, kemungkinan besar kendala yang dihadapi adalah sulitnya membiasakan diri untuk selalu meletakkan predikat, yaitu disukai, pada posisi bukan di akhir klausa relatif bahasa Indonesia, melainkan pada posisi setelah subjek dan atau langsung setelah konjungsi relatifnya. Kedua, pelajar Jerman akan masih membuang-buang tenaga untuk memikirkan jenis, jumlah, dan hirarki kasus yang diduduki oleh nomina kopi, padahal hal itu tidak mempengaruhi dalam penentuan kojungsi yang dalam klausa tersebut. Dengan demikian, kalimat (2) kemungkinan besar akan disusun sebagai berikut: (5) Kopi adalah sebuah minuman yang disukai di Jerman. Sistem gramatikal yang perberdaannya sangat jauh antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia seperti yang dicontohkan di atas merupakan kendala utama bagi pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Fenomena seperti di atas merupakan alasan yang sangat mendasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang membandingkan dan memadankan kedua tata bahasa klausa relatif di dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, dengan harapan hal ini bisa mengatasi kesulitan, kendala,
7 7 maupun kesalahan pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing seperti yang digambarkan sebelumnya. Sebagaimana juga dipaparkan oleh Samsuri (1991:47) bahwa pengadaan analisis paralel tentang bahasa ibu dan bahasa asing yang diajarkan kepada pembelajar merupakan jawaban untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses belajar bahasa asing tersebut. Penelitian tentang analisis semacam ini dikenal dengan sebutan penelitian kontrastif. Kridalaksana (2001:13) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan untuk masalah yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan sebagai suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Dengan demikian, para pembelajar bahasa asing, khususnya bahasa Jerman, bisa memahami dengan baik perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses pembelajaran tersebut dapat diatasi Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini merujuk pada latar belakang permasalahan tersebut di atas, yaitu sebagaimana tersusun dalam rumusan sebagai berikut: 1) Apa saja jenis konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia?
8 8 2) Bagaimana cara pendistribusian konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia? 3) Apa saja perbedaan dan persamaan konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia? 4) Apa saja implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1) Menjelaskan jenis-jenis konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 2) Mendeskripsikan distribusi konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 3) Menjelaskan perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. 4) Menjelaskan implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian yang telah dirancang, penelitian ini setidaknya akan memberikan manfaat teoritis dan praktis kepada para pembaca. Adapun manfaat teoritis yang diperoleh sebagai berikut:
9 9 1) Memberikan kontribusi pustaka atau bahan acuan bagi perkembangan Linguistik di Indonesia, khususnya kajian linguistik kontrastif. 2) Mendeskripsikan kekhasan dan keunikan tatabahasa Jerman dan Indonesia, khususnya tentang konstruksi klausa relatif. 3) Memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan yang sejenis. Adapun manfaat praktis yang bisa diperoleh melalui hasil penelitian ini antara lain: 1) Memberikan kontribusi dan masukan bagi pengembangan strategi; baik dalam penyusunan kurikulum, penyediaan bahasa ajar, maupun teknik pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing di Indonesia (Deutsch als Fremdsprache) dalam empat aspek kemampuan berbahasa, yaitu membaca, mendengar, menulis, dan berbicara. 2) Memberikan gambaran informasi konkret kepada pembelajar tentang perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, sehingga mereka selalu mempunyai titik kontrol atau cerminan untuk bisa mengatasi kendala dan kesulitan yang dialami sebelumnya dalam pembelajaran materi tersebut Tinjauan Pustaka Kajian kontrastif tentang tata bahasa Jerman dan Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah terkait deskripsi bahasa Jerman sebagai salah satu rumpun bahasa Indo-Eropa yang berkarakteristik gramatikal fleksi. Adapun beberapa
10 10 penelitian terkait kajian kontrastif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang pernah dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan solusi atas kesulitan dan kendala pembelajar bahasa Jerman terhadap berbagai macam unsur-unsur tata bahasanya adalah sebagai berikut: 1) Penelitian yang berjudul Analisis Kontrastif Vokoid Bahasa Jerman Dan Bahasa Indonesia dilakukan oleh Ratna Jayanti (1991). Dari analisis kontrastif tersebut dapat disimpulkan adanya persamaan dan perbedaan antara vokoid bahasa Jerman dan vokoid bahasa Indonesia. Persamaan dan perbedaan tersebut mencakup masalah peta vokoid dan pembentukan vokoid. Berdasarkan peta vokoid, vokoid bahasa Jerman dapat dibagi menjadi: 8 bunyi vokoid panjang, yaitu [a:], [e:], [E:], [i:], [u:], [o:]. [y:] dan bunyi vokoid pendek, yaitu [a], [E], [I], [U], [oe], [v], [a]. Sedangkan bahasa Indonesia mempunyai 6 bunyi vokoid, yaitu : [a], [e], [i], [o], [u] dan [a]. Dalam bahasa Jerman terdapat pembagian bunyi vokoid berdasarkan panjang-pendeknya vokoid tersebut dilafalkan, tetapi hal yang sama tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jerman, pelafalan suatu bunyi vokoid berdasarkan panjang-pendeknya vokoid tersebut dilafalkan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan karena perbedaan tersebut dapat membedakan arti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia terdapat variasi fonem (alofon) yang tidak membedakan arti. Mengenai diftong dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terdapat perbedaan definisi antara keduanya tetapi dalam pembentukan dan pelafalannya dapat dikatakan sama. Dalam bahasa Jerman diftong terdiri
11 11 atas dua bunyi vokoid atau disebut juga vokoid ganda. Ada tiga bentuk diftong dalam bahasa Jerman, yaitu: [a3], [ai] dan [)I]. Dalam bahasa Indonesia, diftong adalah rangkaian bunyi bahasa yang segmen pertamanya berupa vokoid dan segmen keduanya berupa bunyi hampiran. Rangkaian ini selalu berada dalam satu suku kata. Ada tiga bentuk- diftong dalam bahasa Indonesia, yaitu: [aw], [ay] dan [oy]. 2) Penelitian yang berjudul Analisis kontrastif konvensi pragmatis sekelompok penutur bahasa Indonesia dan bahasa Jerman dilakukan oleh Rita Maria Siahaan (1996). Masalah-masalah yang dibahas dalam tesis ini terdiri atas: bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: persamaan dan perbedaan bentuk bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: dan faktor-faktor pragmatik yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah; agar diperoleh bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman: persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman; juga agar diperoleh hal-hal yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan faktor-faktor yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman ialah pengungkapan makna-makna yang berlainan caranya dalam bahasa Jerman dan dalam bahasa Indonesia, antara lain, pemakaian kata Herr... tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dikombinasikan dengan nama depan atau nama panggilan, tetapi dikombinasikan dengan nama keluarga. Dalam bentuk sopan santun dipakai bentuk pengandaian Kӧnten,die...? serta klausa
12 12 pengandaian "Es wӓre nett,..." Pemakaian partikel vielleicht; mul,- cloch besar pengaruhnya dalam kalimat sopan santun. Juga bentuk es dan mull yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia perlu ditekankan oleh pengajar bahasa Jerman". 3) Penelitian yang dilakukan oleh Pratomo Widodo (2008) dalam disertasinya yang berjudul Distribusi Nomina dan Verba dalam Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia: Kajian Gramatika Kontrastif. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan distribusi nomina dan verba serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal dalam klausa bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; (2) mendeskripsikan pengaruh distribusi nomina dan verba dalam klausa terhadap wujud nomina dan verba dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; dan (3) menjelaskan persamaan dan perbedaan distribusi N dan V dalam klausa bj dan bi ditinjau dari sudut pandang tata bahasa universal. Dalam membandingkan distribusi nomina dan verba serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal dari kedua bahasa digunakan data sekunder yang berasal dari hasil- hasil penelitian dan buku-buku gramatika bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Analisis data menggunakan metode analisis gramatika kontrastif yang mendasarkan pada tata bahasa universal tipologis. Adapun cara kerja analisisnya adalah dengan melihat distribusi nomina dan verba, baik pada tataran kata maupun frasa, serta distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal serta membandingkan butir-butir (properties) tata bahasa
13 13 dari kedua bahasa yang dibandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaannya. Untuk menjawab pertanyaan mengapa terdapat persamaan dan perbedaan distribusi dan wujud nomina dan verba dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia digunakan analisis berdasarkan hirarkhi tematik, yang mendasarkan pada analisis peran semantik, dan hirarkhi kasus, yang mendasarkan pada konsep relasi formal. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. (1) Terkait dengan distribusi nomina dan verba dalam klausa bahasa Jerman dan bahasa Indonesia dapat disampaikan hal- hal berikut: (a) Nomina dalam kedua bahasa dapat menduduki fungsi sintaksis sebagai subjek, objek, dan pelengkap. Dengan didahului oleh preposisi, nomina, baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Indonesia, dapat berfungsi sebagai objek, pelengkap, atau adverbial. Distribusi nomina dalam klausa bahasa Jerman relatif bebas atau fleksibel, sementara distribusi nomina dalam bahasa Indonesia tidak bebas karena distribusi tersebut berperan dalam menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi kategorial unsur frasa nominal dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki banyak persamaan. Atribut frasa nominal dalam kedua bahasa ada yang prenominal dan ada yang posnominal. (b) Dalam bahasa Jerman verba menduduki fungsi predikat, sementara dalam bahasa Indonesia di samping verba, fungsi predikat dapat pula diisi oleh kategori yang lain seperti nomina, adjektif, numeralia, dan konstruksi preposisional. Distribusi verba dalam bahasa Jerman lebih berfungsi untuk menjelaskan jenis-jenis klausa,
14 14 namun kurang menonjol fungsinya dalam menjelaskan proses gramatik klausa; sementara itu distribusi verba dalam klausa bahasa Indonesia tidak begitu fleksibel, karena posisi verba memiliki peranan yang besar dalam menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi frasa verbal dalam bahasa Jerman merupakan konstruksi diskontinu yang unsur-unsurnya terpisah, sementara dalam bahasa Indonesia susunan unsur frasa verbal berurutan. Penelitian ini memiliki hubungan yang erat dengan kajian kontrastif klausa relatif yang dilakukan oleh peneliti karena keduanya menitikberatkan pada proses deklinatif dalam bahasa Jerman yang merupakan kekhasan tersendiri bahasa Jerman sebagai bahasa fleksi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa aglutinasi. 4) Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratnasari dalam sebuah disertasi dengan judul Perilaku Ajektiva terhadap Nomina dalam Frasa dan Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia (2010). Penelitian ini membahas tentang perilaku adjektiva dalam frasa dan klausa bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia yang dikemas dalam bingkai linguistik kontrastif dan tata bahasa semesta. Tujuannya adalah untuk membandingkan dan mendeskripsikan perilaku adjektiva, serta implikasinya terhadap wujud adjektiva. Data diambil dari karya sastra Jerman berupa roman dari novel, buku-buku gramatika, koran Süddeutsche Zeitung, Kompas, dan Harian Reginal jawa Barat Pikiran Rakyat. Hasil penelitian ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan; terkait dengan urutan unsur frasa,, adjektiva bahasa Jerman menempati posisi di sebelah
15 15 kiri nomina yang diwatasinya, dan determina terletak di sebelah kiri adjektiva. Selanjutnya, dalam sebuah klausa adjektiva bahasa Jerman berkoneksi dengan verba kopula dan verba yang mengungkapkan pendapat membentuk predikasi. Dengan demikian, adjektiva menuntut kehadiran unsur lain sebagai subsistemnya dan berpotensi menguasai tampilan morfologis dalam unsur lain tersebut. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva dapat langsung menempati slot predikat dan terletak di kanan subjek Landasan Teori Kalimat Berbicara tentang kalimat, banyak sekali definisi yang dipaparkan oleh para ahli dengan intisari yang sama. Ramlan dalam Markhamah (2009:10) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Dalam hal ini yang dimaksud satuan gramatik adalah unsur-unsur segmental dari suatu kalimat yang memiliki susunan yang sistematis. Selain itu, kalimat ada yang terdiri atas satu kata, dua kata, tiga kata dan seterusnya. Penentu satuan kalimat menurut Ramlan adalah intonasi. Batasan pengertian kalimat yang dipaparkan dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1996:224) dinyatakan bahwa kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam bahasa lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai,
16 16 dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya. Dalam bahasa tulis, kalimat dimulai oleh huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua, dan atau sepanjang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu Jenis-jenis Kalimat Banyak ahli memberikan kategori-kategori tertentu dalam pembagian jenis-jenis kalimat. Salah satunya Moeliono (1996:267) membagi kalimat berdasarkan bentuk dan maknanya sebagaimana tampak pada diagram pohon di bawah ini: Predikat Frasa Nominal Tunggal Predikat Frasa Adjektival Predikat Frasa Verbal Bentuk Predikat Frasa Lain Setara Majemuk Kalimat Bertingkat Berita Perintah Makna Tanya Seru Emfatik
17 17 Pembagian jenis kalimat berdasarkan bentuknya terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majekmuk. Kalimat tunggal merupakan kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri atas lebih dari satu bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti (Moeliono, 1996: ). Selain itu, Moeliono juga membagi jenis kalimat berdasarkan maknanya, yang meliputi kalimat berita, perintah, tanya, seru, dan kalimat emfatik. Namun demikian, yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah kalimat majemuk bertingkat. Berbicara masalah kalimat majemuk, Verhaar (2004:275) juga menyatakan bahwa kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, misalnya dalam kalimat seperti berikut: (6) Sri pergi ke dapur, mempersiapkan makanan, dan mengantar makanan ke kami di kebun. Dalam kalimat (6) ketiga klausa tersebut berstruktur koordinatif (tidak ada klausa yang lebih tinggi daripada yang lain). Berdasarkan jenis-jenis klausa yang menyusun sebuah kalimat majemuk, Verhaar (2004: ) membagi jenis-jenis klausa sebagai berikut: 1) Klausa Mandiri dan Klausa Gabungan Klausa mandiri (yang identik dengan kalimat tunggal) berbeda dengan klausa gabungan. Artinya, klausa ini harus digabung dengan klausa lain untuk membentuk sebuah kalimat majemuk.
18 18 2) Klausa Terkandung dan Klausa Berbatasan Klausa terkandung adalah klausa bawahan yang merupakan bagian dari yang tidak terasingkan dalam klausa lebih atas, atau bagian dalam salah satu frasa yang terdapat dalam klausa atas tersebut. Sedangkan klausa berbatasan merupakan klausa yang tidak mutlak sebagai bagian esensial dari klausa lebih atas. 3) Klausa Absolut dan Klausa Relasional Klausa absolut merupakan klausa bawahan yang tidak memiliki argumen yang juga ada dalam klausa atas, sedangkan klausa relasional adalah klausa yang memiliki argumen dalam klausa yang lebih atas. 4) Klausa Lengkap dan Klausa Buntung Klausa lengkap adalah klausa yang memiliki predikat, verbal atau non verbal, seperti halnya dalam klausa mandiri, sedangkan klausa buntung merupakan klausa gabungan yang berfungsi sebagai klausa dalam segala tetapi hanya untuk menyebut topik. Misalnya (7) Ayah saya, dia tidak mau mendaftarkan diri. Dalam kalimat (7) frasa ayah saya merupakan klausa buntung yang berfungsi hanya menyebut topik. 5) Klausa Koordinatif dan Klausa Subordinatif Klausa koordinatif merupakan klausa yang bergabung langsung dengan klausa lain, sedemikian rupa sehingga tidak ada sebuah klausa yang berkedudukan lebih tinggi daripada klausa yang lain.
19 19 Adapun klausa subordinatif merupakan klausa yang mencakup klausa terkandung dan klausa berbatasan. Berdasarkan klasifikasi klausa tersebut, adapun yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini merupakan klausa bawahan dalam sebuah kalimat majemuk, entah terkandung atau berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional yang membentuk sebuah klausa relatif yang memiliki hubungan atributif dengan klausa mandiri atau klausa inti Kalimat Pasif Moeliono (1996:279) menjelaskan bahwa pengertian kalimat aktif pasif menyangkut beberapa hal: (1) macam verba yang menjadi predikat, (2) subjek dan objek, (3) bentuk verba yang dipakai. Adapun strategi umum dalam pengubahan kalimat aktif menjadi pasif adalah sebagai berikut: a. Pertukarkanlah pengisi subjek dengan pengisi objek. b. Gantilah prefiks men- dengan di- pada predikat. c. Tambahkanlah kata oleh di depan objek, terutama bila objek terpisah oleh kata lain dari predikat. Perhatikan kalimat di bawah ini. (8) Pak Toha mengangkat seorang asisten baru. (9) Seorang asisten baru diangkat oleh pak Toha. Kalimat (8) merupakan kalimat aktif yang terdiri atas unsur Pak Toha sebegai subjek, verba mengangkat sebagai predikat, dan seorang asisten baru sebagai objek. Bila strategi pemasifan di atas diterapkan, maka
20 20 kalimat (8) akan menjadi kalimat (9) dengan rincian bahwa sekarang seorang asisten baru telah menjadi subjek dan pak Toha menjadi objek. Strategi pemasifan di atas berlaku bila pelaku perbuatan berupa (a) nomina atau frasa nomina atau (b) pronomina dia, beliau,mereka. Adapun strategi pemasifan kedua berlaku untuk pelaku perbuatan adalah pronomina persona aku, saya, kami, kita, engkau, kamu, anda, dia, beliau, dan mereka. Kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut: a. Ubahlah letak S P O menjadi O S P. b. Hapuskan prefiks meng- dari verbanya. c. Rapatkan subjek dengan predikatnya tanpa kata pemisah apa pun. Jika semula verbanya mempunyai kata bantu seperti akan, dapat atau kata ingkar seperti tidak, maka kata-kata seperti itu diletakkan sebelum subjek. d. Gantikan aku dengan ku dan engkau dengan kau (mana suka). Perhatikan contoh kalimat berikut ini. (10) Aku akan menjemput Pak Lurah. (11) Pak Lurah akan aku jemput. Kalimat (10) merupakan kalimat aktif yang bila diterapkan kaidah di atas akan menjadi kalimat pasif (11). Adapun kalimat pasif bentuk yang lain adalah yang bermakna adversatif (Moeliono, 1996:282). Kalimat ini salah satunya memiliki predikat yang berkonfiks ke-an. Perhatikan contoh berikut ini. (12) Partai kita kemasukan unsur kiri.
21 Klausa Relatif Berbicara masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan bahwa dari sudut sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa relatif, misalnya klausa relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat majemuk, klausa bawahan entah terkandung entah berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat relasional. Disusul dengan keterangan tambahan oleh Verhaar (2004:328) tentang klausa relatif, bahwa terdapat beberapa konsep pokok yang harus dipahami dari sebuah klausa relatif, antara lain sebagai berikut: 1. Istilah anteseden merupakan nomina induk dengan klausa relatif sebagai atribut. Terkait anteseden, ada bahasa yang dalam sebuah klausa relatif nomina induk mendahului atau mengawali klausa relatifnya. Namun ada pula bahasa-bahasa yang susunan nomina induknya mengikuti klausa relatif. 2. Klausa relatif memiliki dua kelas semantis: klausa pembuka dan klausa pembatas. Perbedaan tersebut sangat penting secara sintaktis. 3. Konstituen (entah bebas atau terikat) yang memarkahi klausa relatif sebagai klausa relatif dapat disebut perelatif, akan tetapi perelatif tersebut tidak mutlak perlu berupa perangkai. 4. Perelatif dapat berupa perangkai pronominal, sehingga berstatus argumen dalam sebuah klausa relatif, atau merupakan objek adposisi.
22 22 5. Perelatif dapat berupa perangkai sebagai penghadir anteseden di dalam klausa relatif Klausa Relatif Pembuka dan Pembatas Sehubungan dengan dua karakteristik klausa relatif berdasarkan tatabahasa universal, yaitu klausa relatif pembuka dan klausa relatif pembatas, Verhaar (2004:332) menjelaskan bahwa klausa relatif pembuka tidak mutlak perlu untuk identifikasi anteseden (keterangan yang ditambahkan demi alasan tertentu tetapi keterangan yang tidak perlu demi pengidentifikasian nomina induk secara unik), sedangkan klausa relatif pembatas mutlak harus hadir demi identifikasi anteseden. Misalnya dalam ortografi bahasa Inggris anteseden dan klausa relatif dipisahkan oleh koma bila klausa bersifat pembuka dan tidak dipisahkan oleh koma bila klausa bersifat pembatas. Misalnya dalam kalimat (13) Fool that I was! Bodoh saya ini! (14) He looked like a football player, which he appeared to be Dia kelihatan seperti seorang pemain sepak bola, dan memang dia nampak demikian. Sehubungan dengan klausa relatif pembuka, Verhaar (2004:333) menambahkan bahwa dalam bahasa Indonesia, klausa relatif pembuka dapat diawalai dengan yang, asalkan yang itu diawalai oleh jeda (yang dilambangkan dengan tanda { ). Akan tetapi, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam frasa seperti ini bersusunan anteseden + klausa
23 23 relatif. Namun dalam bahasa-bahasa OV secara konsisten, dengan keselaran infraklausal, memiliki susunan lain, yaitu klausa relatif + anteseden Konstituen Perelatif Berupa Pronominal Perangkai perelatif selain pronominal juga ada beberapa yang berupa pronominal. Verhaar (2004:334) juga menjelaskan bahwa perelatif itu dapat berupa pronomina atau frasa adposisional yang objeknya berupa perelatif pronominal. Misalnya dalam bahasa Jerman (15) Ich liebe Jemanden, dem du geholfen hast. S P1 O Pron.Rel S P2 Aux. Saya suka seseorang yang untuknya kamu memberikan bantuan telah. Saya menyukai seseorang yang kamu tolong atau dalam bahasa Inggris juga terdapat dalam kalimat (16) The girl to whom Charles gave the ring Gadis yang saya beri cincin. Adapun pronomina yang menjadi perelatif perangkai juga tetap mengikuti bentuk deklinatif sesuai masing-masing distribusi hirarki kasus antesedennya. Berbicara masalah hirarki kasus, khususnya dalam sebuah sistem gramatikal bahasa fleksi semisal bahasa Jerman, hal itu sangat ditentukan oleh sifat semantis verba yang mengisi fungsi predikatnya, selain dari valensi yang dimiliki oleh verba yang bersangkutan. Sehubungan dengan sifat semantis verba, secara teoritis dapat mengacu pada makalah Tambupolon dalam sebuah seminar Linguistik, Parera
24 24 (2002:152) menjelaskan bahwa terdapat dua belas jenis klasifikasi verba berdasarkan sifat semantisnya sebagai berikut: 1. Verba Keadaan Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan (menyatakan keadaan); mengharuskan hadirnya objek. 2. Verba Keadaan-Pengalaman Verba jenis ini mempunyai ciri semantis keadaan-pengalaman, yaitu menyatakan keadaan yang berkenaan dengan pengalaman; mengharuskan hadirnya pengalam dan Objek. 3. Verba Keadaan-Pemilikan Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan-pemilikan, yang mengharuskan hadirnya pemilik dan objek. 4. Verba Keadaan-Lokasi Mempunyai ciri keadaan-lokasi yang mengharuskan hadirnya pemilik dan lokasi. 5. Verba Proses Mempunyai ciri semantis proses yang menyatakan suatu proses atau perubahan dan yang mengharuskan hadirnya objek. 6. Verba Proses-Pengalaman Verba ini mempunyai ciri semantis proses-pengalaman; menyatakan proses yang berkenaan dengan pengalaman dan mengharuskan hadirnya pengalam dan objek.
25 25 7. Verba Proses-Pemilikan Mempunyai ciri semantis Proses-Pemilikan yang menyatakan sebuah proses yang berkaitan dengan pemilikan atau ketidakpemilikan dengan mengharuskan hadirnya pemilik dan objek. 8. Verba Proses-Lokasi Verba ini mempunyai ciri semantis Proses-Lokasi; menyatakan sebuah proses yang berkenaan dengan lokasi dengan mengharuskan hadirnya objek dan lokasi. 9. Verba Aksi Verba ini mempunyai ciri semantis aksi yang menyatakan aksi atau perbuatan dengan mengharuskan hadirnya pelaku dan objek. 10. Verba Aksi-Pengalaman Mempunyai ciri semantis Aksi-Pengalaman; menyatakan aksi yang berkenaan dengan pengalaman dan mengharuskan hadirnya pelaku, pengalam, dan objek. 11. Verba Aksi-Pemilikan Verba ini mempunyai ciri semantis Aksi-Pemilikan; menyatakan aksi yang berkenaan dengan pemilikan atau ketidakpemilikan dengan mengharuskan hadirnya pelaku, pemilik, dan objek. 12. Verba Aksi-Lokasi Mempunyai ciri semantis Aksi-Lokasi; menyatakan aksi yang berkenaan dengan lokasi mengharuskan hadirnya pelaku.
26 26 Verhaar (2004:335) menambahkan terkait perelatif perangkai yang berupa pronominal bahwa perelatif pronominal bersifat argumen bila berupa argumen dalam klausa relatif itu sendiri, misalnya pronominal who sebagai subjek dalam kalimat bahasa Inggris (17) The guest who came yesterday Tamu yang datang kemarin atau whom sebagai objek langsung dan objek tidak langsung dalam kalimat (18) The carpenter whom I saw last week Tukang kayu yang saya lihat minggu lalu dan (19) The teacher whom I gave the flowers Guru yang saya beri bunga. Perelatif pronominal yang tidak berstatus sebagai argumen bila berstatus konstituen nominal dalam predikat kopulatif, misalnya that dalam kalimat Fool that I was! Bodoh saya ini!; which dalam kalimat (14); serta whom dalam kalimat (18) Klausa Relatif Bahasa Jerman Bahasa Jerman merupakan salah satu anggota keluarga bahasa Indo-Eropa yang memiliki karakteristik ketatabahasaan sebagai bahasa fleksi. Soeparno (2002:33) menyatakan bahwa bahasa fleksi adalah bahasa yang struktur katanya terbentuk oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua hal yang melandasi perubahan bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan konjugasi. Deklinasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah, dan kasus; sedangkan konjugasi adalah
27 27 perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan persona, jumlah dan kala. Terkait karakteristik tata bahasa Jerman sebagaiman sepintas dipaparkan di atas, berbicara kalimat relatif pun dalam bahasa Jerman tidak lepas dari proses-proses yang mengacu pada karakteristik tata bahasanya tersebut. Schmitt (2008:181) menyatakan Relatifsätze sind Nebensätze, die von einem Substantiv abhängen. Sie geben erklärungen zu diesem Substantiv. Ohne diese Erklärungen ist ein Satz unverständlich. Artinya, kalimat relatif merupakan anak kalimat yang bergantung pada sebuah substantif, tanpa keterangan tersebut sebuah kalimat tidak bisa dipahami. Schmitt (2008:181) juga menambahkan bahwa kalimat relatif dalam bahasa Jerman bisa terwujud ke dalam beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut: a. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah induk kalimat, misalnya dalam sebuah kalimat (20) Der Polizist fragt den Passanten, der den Unfall gesehen hat, det S P1 det O det.rel det O P2 Aux Polisi menanyakan pejalan kaki, yang kecelakaan itu melihat telah nach seiner Meinung. Prep pos. O Kepada miliknya pemikiran Polisi itu menanyakan kesaksian pejalan kaki, yang menyaksikan tragedi kecelakaan itu. b. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah anak kalimat, misalnya dalam kalimat di bawah ini.
28 28 (21) Der Polizist vermutet, dass der Passant, der den Unfall gesehen Det S P1 Konj det S det.rel det O P3 Polisi itu menduga, bahwa pejalan kaki itu, yang kecelakaan itu melihat hat, vor Gericht nicht aussagen will. Aux. Prep. Adv Neg. P2 Aux Telah, di depan pengadilan tidak menyatakan berkenan Polisi itu menduga bahwa pejalan kaki itu, yang telah menyaksikan kecelakaan itu, tidak berkenan memberikan kesaksian di depan pengadilan. c. Terwujud ke dalam bentuk lain sebagai kalimat relatif, misalnya dalam kalimat (22) Der Polizist verfolgt den Mann, der den Unfall gesehen hat, bei Det S P1 det O det.rel det. O P2 Aux prep Polisi itu membuntuti laki-laki, yang kecelakaan itu melihat telah, oleh dem ein Kind verletzt worden ist. Det.Rel det. S P3 Aux Aux Dia seorang anak terluka telah Polisi itu membuntuti pria, yang mengalami kecelakaan, yang melukai seorang anak kecil. Beberapa contoh kalimat relatif di atas tentunya memiliki konjungsi relatif yang menjadi penunjuk atribut yang diterangkannya. Adapun pemakaian konjungsi relatif, yang dalam bahasa Jerman dikenal dengan sebutan Relativpronomen pronomina relatif, merujuk pada jenis, jumlah, dan kasus yang dialami oleh atribut yang dijelaskan dalam kalimat relatif yang bersangkutan. Hal itu berlaku karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi, yang di dalamnya terdapat proses deklinatif dan konjugatif.
29 29 Sehubungan dengan penentuan jenis-jenis konjungsi relatif dalam sebuah klausa relatif bahasa Jerman, Schoch (1998:187) menerangkan Das Relativpronomen passt sich dabei in Numerus und Genus an das Nomen an, auf das es sich bezieht; und der Kasus des Relativpronomens hӓngt von der Rolle ab, die es im Relativsatz spielt. Pronomina relatif menyesuaikan diri pada jumlah dan jenis nomina yang dihubungkan; dan kasus yang berlaku pada pronomina relatif bergantung pada peran diduduki nomina dalam klausa relatifnya. Artinya, sebuah konjungsi atau pronomina relatif dalam sebuah klausa relatif harus disesuaikan dengan jenis dan jumlah nomina yang direlatifkan. Selain itu, kasus yang turut menentukan bentuk deklinatif dari pronomina atau konjungsi relatif tersebut tergantung atas peran sintaksis atau fungsi semantis nomina yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan jenis anteseden apa saja yang bisa direlatifkan dalam bahasa Jerman dijelaskan oleh Keenan dan Comrie (1977:77), yaitu German allows relativization on subjects, direct object, indirect object, oblique, and genetive. Artinya, dalam bahasa Jerman konjungsi relatif bisa merelatifkan nomina yang menduduki semua fungsi sintaksis Sehubungan dengan berlakunya proses deklinatif dalam sebuah sistem tata bahasa kasus, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman, Van Valin (2004:22) dengan rinci menjelaskan masing-masing peran sintaksis atau fungsi semantis dari sebuah nomina sebagai berikut The semantic roles (also called thematic relations or theta roles) that the arguments bear to the predicate. Artinya, semantic role adalah uraian atau penjelasan terkait verba, dalam hal ini adalah predikat. Kemudian Van Valin
30 30 (2004:22-31) memaparkan beberapa variasi semantic role berdasarkan kemungkinan yang dibentuk oleh faktor semantis verbanya. Adapun jenisjenis semantic role adalah sebagai berikut: 1. Agent Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang berupa bentukbentuk yang bernyawa dan biasanya memerankan dengan sengaja tindakan yang dicerminkan oleh verba (Van Valin, 2004:24). Biasanya seringkali berupa fungsi subjek dalam sebuah kalimat aktif dan bisa berupa pelengkap dalam sebuah kalimat pasif. 2. Patient Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang berada dalam sebuah keadaan atau mengalami perubahan atas sebuah keadaan tertentu (Van Valin, 2004:24). Biasanya berupa direct object dalam sebuah kalimat aktif dan berupa subjek dalam sebuah kalimat pasif. 3. Instrument Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan alat untuk melakukan sebuah tindakan tertentu yang dicerminkan oleh verba seperti dalam kalimat The soap is used by woman to wash the clothes (Van Valin, 2004:23). 4. Theme Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang berada pada lokasi tertentu atau mengalami perubahan lokasi. Selain
31 31 itu, mereka juga dapat berupa unsur yang menunjukkan sebuah kepemilikan atau mengalami perubahan status kepemilikan (Van Valin, 2004:24). 5. Location Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan sebuah posisi atau letak dari makna yang dicerminkan verba. Misalnya dalam kalimat The books are lying on the table (Van Valin, 2004:24). 6. Recipient Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang bisa muncul secara sintaktis sebagai objek tidak langsung seperti dalam kalimat Chris gave the notebook to Dana. Selain itu, peran ini juga bisa muncul sebagai subjek seperti dalam kalimat Sandy received the message from the Kim (Van Valin, 2004:24). 7. Goal Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan tujuan akhir atau endpoint dari sebuah perubahan keadaan atau lokasi (Van Valin, 2004:24), seperti dalam kalimat Pat put the books on the table. 8. Source Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan sumber, bisa berupa sumber tempat atau yang lain, seperti dalam kalimat the runner starts from a specific place (Van Valin, 2004:24).
32 32 9. Path Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menyatakan sebuah jalur, lintasan, atau jalan yang dicerminkan oleh makna verba, seperti dalam kalimat The dog run through the garden (Van Valin, 2004:24). 10. Benefactive Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menggambarkan peruntukan atas makna tindakan yang dicerminkan oleh verba, atau dengan kata lain tindakan yang digambarkan oleh verba diperuntukkan kepada orang lain, seperti dalam kalimat Dana bought some flowers for Pat (Van Valin, 2004:24). 11. Content Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan isi, kandungan, dan atau bagian dari isi atau kandungan atas suatu unsure tertentu yang tercermin dari tampilan makna verba, misalnya dalam kalimat jesse knows that Chris lied (Van Valin, 2004:24). 12. Experiencer This semantic role subsumes perceivers, emoters, cognizers, and other roles of this type (Van Valin, 2004:27). Artinya, peran ini salah satunya mencerminkan makna orang yang berpersepsi, merasakan, memikirkan, menganalisa, dan lain-lain. Misalnya The bird is hungry. Terkait semantic Roles tersebut di atas, dengan merujuk pada teori Fillmore, Parera (2002:139) menjelaskan beberapa kasus yang
33 33 memungkinkan dialami oleh sebuah nomina sebagai akibat dari sifat semantis verba dalam sebuah klausa atau kalimat. Adapun beberapa kasus tersebut sebagai berikut: 1. Agentif Jenis ini merupakan relasi kasus persona yang melakukan prakarsa/inisiatif atau pelaku perbuatan seperti yang dicirikan oleh makna verbum; agentif biasanya berciri nomen hidup atau bernyawa. 2. Instrumen Kasus jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan hubungan dorongan, kekuatan, dan penyebab perbuatan seperti yang dinyatakan olek makna verbum. 3. Datif Datif merupakan relasi kasus yang menyatakan sebuah nomen dikenai perbuatan atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan verbum. 4. Faktitif Faktitif merupakan relasi kasus yang menyatakan hasil perbuatan atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan verbum. 5. Lokatif Jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan tempat atau dimensi ruang untuk perbuatan atau keadaan yang dinyatakan dalam makna vernum.
34 34 6. Objektif Objektif merupakan relasi kasus yang secara semantis netral. Kasus jenis ini merupakan relasi semua kasus nomen dengan verbum yang dapat diinterpretasikan secara semantik berdasarkan makna verbum. Perlu diingatkan bahwa kasus ini tidak boleh dikacaukan dengan objek penderita atau akusatif. Sebagaimana diketahui bersama dari paparan di atas, bahwa semua kasus yang dialami oleh sebuah nomen nomina bertumpu pada sifat semantis verbum verba yang menduduki fungsi predikat dalam sebuah klausa atau kalimat sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya di atas. Berbicara masalah hiraki kasus dalam bahasa Jerman, terdapat empat jenis kasus yang berlaku dalam tata bahasa kasus bahasa Jerman, antara lain: a. Nominatif Nominatif merupakan hirarki kasus yang paling dasar dalam bahasa Jerman. Banyak ahli menyebutkan bahwa kasus ini merupakan kasus yang tidak mengalami proses gramatikal apa pun dan tidak berpemarkah, serta dialami oleh subjek. Morley (2000:94) menjelaskan In languages which have a developed case system, e.g. German, Russian and Latin, the subject of a main clause is associated with the nominative case. Dalam beberapa bahasa yang memberlakukan sistem tata bahasa kasus, misalnya bahasa Jerman, Rusia, dan Latin, subjek dalam sebuah klausa diasosiasikan dengan
35 35 kasus nominatif. Falk (2006:7) menambahkan dengan penjelaskan lebih rinci sebagai berikut: Subjects in many languages are realized with either no overt Case marking or with the same Case marking that is used with citation forms, two situations we can unify under the heading unmarked Case. This unmarked Case, often called nominative, is sometimes taken to be a defining property of subjects in Case-marking languages. Fungsi subjek dalam banyak bahasa muncul bersama entah dengan pemarkah kasus yang tidak jelas atau dengan pemarkah kasus yang sama dengan bentuk asalnya. Dua situasi ini kita bisa menyatukannya ke dalam sebutan kasus tak berpemarkah. Kasus tak berpemarkah ini sering disebut dengan nominatif, yang kadang-kadang digunakan untuk mendefinisikan sebuah subjek dalam bahasa-bahasa yang memberlakukan pemarkah kasus. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kasus nominatif merupakan kasus yang paling dasar yang tidak menyebabkan perubahan apa pun pada nomina yang bersangkutan, misalnya pada pemarkah jenisnya atau artikel penanda jenis nomina dalam bahasa Jerman. b. Akusatif Banyak ahli linguistik barat yang menerjemahkan kasus akusatif ini sebagai kasus yang dialami oleh sebuah nomina yang memiliki fungsi objek langsung dari sebuah verba transitif. Bader dan Bayer (2006:59) menyatakan bahwa The structural Case for objects being the accusative in German Tata bahasa kasus untuk fungsi objek dalam bahasa Jerman adalah akusatif. Selain itu, Bader dan Bayer (2006:59-79) juga menambahkan distribusi kasus akusatif salah satunya bisa mengisi peran semantik (semantic roles) goal, theme, dan experiencer.
36 36 c. Datif Datif merupakan sistem kasus yang berlaku dalam tata bahasa Jerman yang oleh banyak ahli dinyatakan berlaku pada konstituen yang menduduki fungsi objek tidak langsung atau indirect object. Namun demikian, Bader dan Bayer (2006:61) menambahkan The dative-dp bearing a beneficiary role Frasa determinan-datif menghubungkan sebuah peran penerima. Artinya, konstituen yang menduduki peran penerima, yang menurut Fillmore disebut dengan recipient akan mengalami kasus datif meskipun dia menduduki objek langsung, misalnya dari predikat helfen membantu. d. Genitif Genitiv merupakan salah satu jenis kasus dalam bahasa Jerman yang dikenakan kepada sebuah konstituen yang memiliki relasi semantis kepemilikan atau bagian dari konstituen yang lain. Hal itu juga ditegaskan oleh Corbert (2008:149) Genitive objects also occur with verbs in the semantic domains of possession Objek genitif juga terjadi pada verba yang memiliki medan semantis kepemilikan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa semantic roles menjadi salah satu kriteria berlakunya jenis kasus tertentu, khususnya keempat kasus yang berlaku dalam bahasa Jerman di atas. Namun demikian, terdapat pula berlakunya sebuah kasus tertentu yang dipengaruhi oleh reaksi sebuah preposisi yang mengendalikan kasus, perhatikan beberapa penggolongan preposisi di bawah ini:
37 37 No. Jenis Preposisi Akusatif Datif 1 Aus dari 2 Bei dengan/bersama dengan 3 Mit dengan 4 Nach dengan 5 Seit sejak 6 Von dari 7 Zu ke 8 An ke/ di dekat 9 Hinter di belakang 10 Auf di atas 11 Bis sampai 12 Für untuk 13 In di dalam 14 Neben di samping 15 Über di atas 16 Unter di bawah 17 Vor di depan 18 Zwischen di antara Tabel 1: Preposisi dalam bahasa Jerman Berdasarkan klasifikasi reaksi preposisi tersebut di atas, terdapat preposisi yang penentuan kasusnya tetap merunut pada sifat semantis
38 38 verba, tetapi juga ada preposisi yang menentukan kasusnya secara arbitrer tanpa merunut pada sifat semantis verba. Misalnya preposisi aus dari, bei dengan/bersama dengan, mit dengan, nach dengan, seit sejak, von dari dan zu ke. Kelima preposisi ini mutlak akan diikuti oleh nomina yang mengalami kasus datif; sedangkan preposisi yang bisa merespon pada kasus akusatif dan atau datif, misalnya preposisi an ke/ di dekat, hinter di belakang, auf di atas, in di dalam, neben di samping, über di atas, unter di bawah, vor di depan, dan zwischen di antara, adalah merujuk pada sifat seamntis verba atau predikatnya. Jika predikatnya menyatakan sebuah aktifitas yang menimbulkan sebuah perpindahan tempat (movement) dan atau memungkinkan menimbulkan keterangan tujuan, maka preposisi tersebut merespon pada kasus akusatif; tetapi bila sifat semantis verba menyatakan sebuah keadaan dan atau memunculkan keterangan tempat, maka preposisi yang bersangkutan akan merespon pada kasus datif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Schmitt (2008:182) menyusun sebuah konsepsi sederhana tentang konjungsi relatif dalam bahasa Jerman yang berupa artikel atau determinan penanda jenis sebuah nomina yang akan mengalami proses deklinasi sesuai dengan jumlah, dan hirarki kasus yang dialami oleh nomina yang direlatifkan sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
BAB V PENUTUP. ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan
BAB V PENUTUP Pada bagian ini dipaparkan simpulan dan saran sebagai bagian akhir dalam penelitian ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan analisis data
Lebih terperinciBAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang
BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas
Lebih terperinciBAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat
BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit
Lebih terperinciAlat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015
SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal
Lebih terperinciSTRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.
STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA oleh Dra. Nunung Sitaresmi, M.Pd. FPBS UPI 1. Pendahuluan Bahasa
Lebih terperinci2015 ANALISIS FRASA PREPOSISI DENGAN MODIFIKATOR AUS SEBAGAI ERGÄNZUNGEN DAN ANGABEN DALAM ROMAN BESCHÜTZER DER DIEBE
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi. Pada umumnya, masyarakat Indonesia menguasai dua bahasa yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam mempelajari bahasa, pembelajar sebaiknya mengenal kaidah dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam mempelajari bahasa, pembelajar sebaiknya mengenal kaidah dan struktur yang baku yang biasa disebut tata bahasa. Penguasaan tata bahasa merupakan salah
Lebih terperinciKONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA
HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur
Lebih terperinciRINGKASAN PENELITIAN
RINGKASAN PENELITIAN KONSTRUKSI KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI GURU-GURU SEKOLAH DASAR KABUPATEN CIAMIS OLEH DRA. NUNUNG SITARESMI, M.PD. FPBS UPI Penelitian yang berjudul Konstruksi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Verba berprefiks..., Indra Haryono, FIB UI, Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifakasikan diri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antarmanusia. Dengan bahasa seseorang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah alat komunikasi antarmanusia. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya, serta memberikan berbagai informasi kepada
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORETIS
BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia
Lebih terperinciKALIMAT. Menu SK DAN KD. Pengantar: Bahasa bersifat Hierarki 01/08/2017. Oleh: Kompetensi Dasar: 3. Mahasiwa dapat menjelaskan kalimat
KELOMPOK 5 MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA Menu KALIMAT Oleh: A. SK dan KD B. Pengantar C. Satuan Pembentuk Bahasa D. Pengertian E. Karakteristik F. Unsur G. 5 Pola Dasar H. Ditinjau Dari Segi I. Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi dengan sesamanya memerlukan sarana untuk menyampaikan kehendaknya. Salah satu sarana komunikasi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak
9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,
654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat
Lebih terperinciOleh Septia Sugiarsih
Oleh Septia Sugiarsih satuan kumpulan kata yang terkecil yang mengandung pikiran yang lengkap. Conth: Saya makan nasi. Definisi ini tidak universal karena ada kalimat yang hanya terdiri atas satu kata
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Istilah klausa dalam dunia linguistik bukanlah hal yang baru. Namun,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah klausa dalam dunia linguistik bukanlah hal yang baru. Namun, pemerian mengenai klausa tidak ada yang sempurna. Satu sama lain pemerian klausa saling melengkapi
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan. suatu tulisan yang menggunakan suatu kaidah-kaidah penulisan yang tepat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa secara umum dapat diartikan sebagai suatu alat komunikasi yang disampaikan seseorang kepada orang lain agar bisa mengetahui apa yang menjadi maksud dan
Lebih terperinciKALIMAT MAJEMUK KOORDINATIF BAHASA JERMAN: KAJIAN TATA BAHASA TRANSFORMASI. Abd. Kasim Achmad Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar
KALIMAT MAJEMUK KOORDINATIF BAHASA JERMAN: KAJIAN TATA BAHASA TRANSFORMASI Abd. Kasim Achmad Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar E-mail : abdulkasim@unm.ac.id ABSTRAK Penelitian ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering
Lebih terperinciSINTAKSIS. Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. B. KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS
SINTAKSIS Sintaksis adalah menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. A. STRUKTUR SINTAKSIS Untuk memahami struktur sintaksis, terlebih dahulu kita harus Mengetahui fungsi,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian. Selanjutnya dalam Bab 1 ini, penulis juga menjelaskan tentang identifikasi masalah, pembatasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi media massa berjalan dengan pesat saat ini.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi media massa berjalan dengan pesat saat ini. Dalam masyarakat moderen, media massa mempunyai peran yang signifikan sebagai bagian dari kehidupan
Lebih terperinciNOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA
NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA Suhandano Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana nomina ditata dalam sistem tata bahasa Indonesia. Pembahasan dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penulis mengambil beberapa jurnal, skripsi, disertasi dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan analisis kontrastif, adverbial
Lebih terperinciI. KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan adalah kesanggupan seseorang menggunakan unsur-unsur kesatuan dalam
I. KAJIAN PUSTAKA 1. Pengertian Kemampuan Kemampuan adalah kesanggupan seseorang menggunakan unsur-unsur kesatuan dalam bahasa untuk menyampaikan maksud serta kesan tertentu dalam keadan yang sesuai. Hal
Lebih terperinciKLATJSA RELATIF BAHASA JERMAN : KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIS
KLATJSA RELATIF BAHASA JERMAN : KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIS Makalah disampaikan dalam pembentangan disertasi doktor falsafah Oleh : Dian Indira Pusat Pengajian Bahasa dan Linguistik Universiii Kebangsaan
Lebih terperinciANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati
ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan
Lebih terperinciBAB IV SIMPULAN. Frasa 1 + dan + Frasa 2. Contoh: Veel kleiner dan die van Janneke
BAB IV SIMPULAN Dan sebagai konjungsi menduduki dua kategori sekaligus yaitu konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif. Posisi konjungsi dan berada di luar elemen-elemen bahasa yang dihubungkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di dalam pembelajaran bahasa, salah satu bahan ajar dasar penting yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pembelajaran bahasa, salah satu bahan ajar dasar penting yang harus dikuasai adalah tata bahasa. Dalam bahasa Jerman, tata bahasa atau yang biasa dikenal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai dari tingkat SMA sampai tingkat Universitas. Pembelajaran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa kedua yang diajarkan di Indonesia mulai dari tingkat SMA sampai tingkat Universitas. Pembelajaran bahasa Jerman sebagai bahasa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi dapat berupa percakapan (lisan) dan tulisan. Apabila pesan yang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat penting bagi manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi dapat berupa percakapan (lisan) dan tulisan. Apabila pesan yang disampaikan oleh penutur tidak
Lebih terperinciPEMAKAIAN KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM BUKU TEKS SEKOLAH DASAR. oleh. Nunung Sitaresmi. Abstrak
PEMAKAIAN KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM BUKU TEKS SEKOLAH DASAR oleh Nunung Sitaresmi Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pemakaian jenis kalimat bahasa Indonesia dalam buku teks Sekolah
Lebih terperinciSUPLEMEN BAGI PEMBELAJARAN MENULIS
SUPLEMEN BAGI PEMBELAJARAN MENULIS CONTOH-CONTOH KESALAHAN YANG UMUM DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DALAM MENULIS KARANGAN BAHASA JERMAN, YANG BERASAL DARI ASPEK BUDAYA 1. Ich und meine Freunde gehen in die
Lebih terperinci2015 PENGGUAAN MEDIA BOARDGAME GERMAN TRIP UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN MATERI ADJEKTIVDEKLINATION PADA SISWA SMA
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari dalam pendidikan di Indonesia. Dalam mempelajari bahasa Jerman, sama halnya dalam pengajaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komponen yang memiliki pola yang beraturan. Aturan tersebut dapat disusun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa adalah satu sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang memiliki pola yang beraturan. Aturan tersebut dapat disusun menjadi kaidah. Sebagai
Lebih terperinciPenggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pada Makalah Mahasiswa Non-PBSI 1 Nuryani 2
Penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pada Makalah Mahasiswa Non-PBSI 1 Nuryani 2 Abstrak Bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib di seluruh universitas, termasuk UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
Lebih terperinciJenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi)
Lecture: Kapita Selekta Linguistik Date/Month/Year: 25 April 2016 Semester: 104 (6) / Third Year Method: Ceramah Credits: 2 SKS Lecturer: Prof. Dr. Dendy Sugono, PU Clues: Notes: Kapita Selekta Linguistik
Lebih terperinciPENGGUNAAN FRASA DAN KLAUSA BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN SISWA SEKOLAH DASAR
Penggunaan Frasa dan Klausa Bahasa Indonesia (Kunarto) 111 PENGGUNAAN FRASA DAN KLAUSA BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN SISWA SEKOLAH DASAR Kunarto UPT Dinas Pendidikan Kacamatan Deket Kabupaten Lamongan
Lebih terperinciRELASI SUBJEK DAN PREDIKAT DALAM KLAUSA BAHASA GORONTALO SKRIPSI
RELASI SUBJEK DAN PREDIKAT DALAM KLAUSA BAHASA GORONTALO SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Wisuda Sarjana Pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Oleh NURMA
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat
BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang
Lebih terperinciFUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO
FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO Ni Kadek Nomi Dwi Antari Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Klausa ataupun kalimat dalam
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi dalam hierarki gramatikal yaitu wacana, pemahaman mengenai wacana tidak bisa ditinggalkan oleh siapa saja terutama dalam
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN TIM PASCASARJANA POLA PENGGUNAAN SATUAN LINGUAL YANG MENGANDUNG PRONOMINA PERSONA PADA TEKS TERJEMAHAN ALQURAN DAN HADIS
Kode/Nama Rumpun Ilmu** :741/ Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah LAPORAN PENELITIAN TIM PASCASARJANA POLA PENGGUNAAN SATUAN LINGUAL YANG MENGANDUNG PRONOMINA PERSONA PADA TEKS TERJEMAHAN ALQURAN
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Sejenis yang Relevan 1. Penelitian dengan judul Bentuk Frasa Pada Wacana Buku Teks Bahasa Indonesia Kelas XII SMA Karangan Dawud DKK Penerbit : Erlangga 2004 oleh
Lebih terperinciBAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS
BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS Sintaksis adalah bidang tataran linguistic yang secara tradisional disebut tata bahasa atau gramatika. Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti
Lebih terperinciTATARAN LINGUISTIK (3):
Nama : Hengki Firmansyah Nim : 1402408324 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS 6(0) Sebelumnya kita membahas istilah morfosintaksis. morfosintaksis adalah gabungan kata dari morfologi dan sintaksis. morfologi
Lebih terperinciBAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS
Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut
Lebih terperinciMerupakan salah satu bentuk konstruksi sintaksis yang tertinggi. Secara tradisional: suatu rangkaian kata yang mengandung pengertian dan pikiran yang
KALIMAT Merupakan salah satu bentuk konstruksi sintaksis yang tertinggi. Secara tradisional: suatu rangkaian kata yang mengandung pengertian dan pikiran yang lengkap. Secara struktural: bentuk satuan gramatis
Lebih terperinciTATARAN LINGUISTIK (3):
TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS 6(0) Sebelumnya kita membahas istilah morfosintaksis. morfosintaksis adalah gabungan kata dari morfologi dan sintaksis. morfologi pengertiannya membicarakan sruktur internal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Surat kabar sebagai media informasi dan publikasi. Surat kabar sebagai media
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surat kabar sebagai media informasi dan publikasi. Surat kabar sebagai media cetak selalu identik dengan tulisan dan gambar-gambar yang dicetak pada lembaran
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
9 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian pola kalimat yang sudah pernah dilakukan adalah analisis pola kalimat berpredikat verba dalam bahasa Indonesia pada buku mata pelajaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi tersebut, manusia memerlukan sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi
Lebih terperinciPEMBELAJARAN SINTAKSIS BAGI PEMBELAJAR ASING YANG BERBAHASA PERTAMA BAHASA INGGRIS
PEMBELAJARAN SINTAKSIS BAGI PEMBELAJAR ASING YANG BERBAHASA PERTAMA BAHASA INGGRIS Latifah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi Bandung Latifahtif357@gmail.com Abstrak Sintaksis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, pemerintahan, maupun dalam berkomunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mempelajari bahasa Jerman terdapat beberapa aspek penting yang harus dikuasai. Aspek-aspek tersebut terdiri dari keterampilan menyimak, berbicara, membaca,
Lebih terperinciBASINDO Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya Vol 1 No 1 - April 2017 (14-24)
BASINDO Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya Vol 1 No 1 - April 2017 (14-24) PERILAKU BENTUK VERBA DALAM KALIMAT BAHASA INDONESIA TULIS SISWA SEKOLAH ARUNSAT VITAYA, PATTANI, THAILAND
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang mempergunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.
Lebih terperinciPENULISAN KARYA ILMIAH
Modul ke: Fakultas.... PENULISAN KARYA ILMIAH Memahami pengertian karya ilmiah, ciri-ciri karya ilmiah, syarat-syarat karya ilmiah, bahasa yang benar dalam karya ilmiah, jenis-jensi karya ilmiah, tahapan-tahapan
Lebih terperinciPENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana
Lebih terperinciKata kunci: perilaku objek, kalimat, bahasa Indonesia. Abstract
PERILAKU OBJEK KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA Mas Sukardi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Vetaran Bangun Nusantara Jl. S. Humardani Jombor Sukoharjo/ Mahasiswa S3 Universitas Sebelas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi
Lebih terperinciPEMAKAIAN VERBA AKTIF TRANSITIF DALAM NOVEL GAWANG MERAH PUTIH: NOVEL REPORTASE TIMNAS U-19 KARYA RUDI GUNAWAN NASKAH PUBLIKASI
PEMAKAIAN VERBA AKTIF TRANSITIF DALAM NOVEL GAWANG MERAH PUTIH: NOVEL REPORTASE TIMNAS U-19 KARYA RUDI GUNAWAN NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Pendidikan Jurusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat bahasa Sunda. Dalam pandangan penulis, kelas verba merupakan elemen utama pembentuk keterkaitan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai
Lebih terperinciTATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA
TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik
Lebih terperinci: Bahasa Indonesia dalam Psikologi. Kalimat
Matakuliah Tahun : 2010 : Bahasa Indonesia dalam Psikologi Kalimat Pertemuan 04 Tujuan 1. Menjelaskan pengertian dan ciri-ciri kalimat. 2. Menggunakan kata dan frasa sebagai pembentuk kalimat, 3. Memahami
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Mempertanggungjawabkan hasil penelitian bukanlah pekerjaan mudah. Seorang penulis harus mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya disertai data-data
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna. Ujaran-ujaran tersebut dalam bahasa lisan diproses melalui komponen fonologi, komponen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa juga merupakan alat untuk berkomunikasi sehari-hari dan menjadi jembatan dalam bersosialisasi dengan manusia
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh
Lebih terperinciAnalisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar
Analisis Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 10 Sanur, Denpasar Wayan Yuni Antari 1*, Made Sri Satyawati 2, I Wayan Teguh 3 [123] Program Studi Sastra Indonesia,
Lebih terperinciVERBAL CLAUSAL STRUCTURE IN INDONESIAN AND JAPANESE: CONTRASTIVE ANALYSIS
STRUKTUR KLAUSA VERBAL DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JEPANG: SUATU ANALISIS KONTRASTIF Wahya, Nani Sunarni, Endah Purnamasari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRAK
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa concord adalah aturan gramatikal
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa concord adalah aturan gramatikal yang wajib diketahui dan dipenuhi yang terdapat pada bahasa Arab dan bahasa Inggris atau bahasa-bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan alat komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh manusia. Dengan bahasa seseorang juga dapat menyampaikan pikiran dan perasaan secara tepat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki bahasa Indonesia sebagai identitas kebangsaannya. Bahasa Indonesia tidak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Setiap bangsa tentunya memiliki bahasa sebagai identitas, seperti Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai identitas kebangsaannya. Bahasa Indonesia tidak hanya
Lebih terperinciBAB V TEKS ULASAN FILM/DRAMA
MODUL BAHASA INDONESIA KELAS XI SEMESTER 2 BAB V TEKS ULASAN FILM/DRAMA OLEH NI KADEK SRI WEDARI, S.Pd. A. Pengertian Teks Ulasan Film/Drama Teks ulasan yaitu teks yang berisi ulasan atau penilaian terhadap
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Secara garis besar kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perbedaan bahasa sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Tuntutan mendapatkan informasi inilah yang memunculkan
Lebih terperinciPenulisan Huruf Kapital
Syarat penulisan huruf kapital: Huruf pertama kata pada awal kalimat Huruf pertama petikan langsung Huruf pertama dalam kata dan ungkapan yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk
Lebih terperincianak manis D M sebatang rokok kretek M D M sebuah rumah mewah M D M seorang guru M D
Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari proses pembentukan kalimat, atau yang menganalisis kalimat atas bagian-bagiannya. Kalimat ialah kesatuan bahasa atau ujaran yang berupa kata atau
Lebih terperinci04/10/2016. Dengan bangga, kami mempersembahkan KALIMAT. Pertemuan 6
Dengan bangga, kami mempersembahkan KALIMAT Pertemuan 6 1 Bahasan Identifikasi Aktualisasi Unsur-unsur Struktur Pengembangan Identifikasi Kalimat ialah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan
Lebih terperinciBAB 5 TATARAN LINGUISTIK
Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,
Lebih terperinci